Tugas makalah materi vaksin dan alergi tingkat 4
Nama : Tegar Alji Nugraha Kelas : 2B Nim : P07234017078
PENDAHULUAN Telah diketahui sejak berabad abad yang lalu bahwa seorang yang telah sembuh darii penyakit infeksi akan terlindungi dari kekambuhan penyakit tersebut . Imunisasi adalah suatu tindakan terhadap tubuh agar tubuh mempunyai kemampuan imunitas terhadap penyakit tertentu. Walaupun cara cara imunisasi telah dipelopori oleh bangsa china pada zaman kuno, namun jenner lah yang merupakan orang pertama(1796) yang memperkenalkan cara cara melindungi orang orang terhadap penyakit cacar dengan jalan vaksinasi. Sejalan dengan perkembangan imunologi sendiri, maka imunisasi pun pada mulanya juga berkembang lambat, sebab baru seaad kemudian (1885) ditemukan vaksin untuk penyakit lain yaitu vaksin rabies untuk mencegah terhadap penyakit gila anjing. Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin konvesional baik vaksin generasi pertama yaitu vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup yang telah dilemahkan dan vaksin generasi kedua yaitu vaksin yang mengandung mikroorganisme yang telah dimatikan, serta vaksin generasi ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang mengandung fragmen antigenetik dari suatu mikroorganisme yang dapat merangsang sistem imun, yang dalam penggunaanya masih memiliki beberapa kelemahan.
Vaksin generasi pertama seringkali dapat bermutasi kembali menjadi virulen sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sedangkan vaksin generasi kedua adalah vaksin yang mengandung mikroorganisme yang telah dimatikan menggunakan zat kimia tertentu, biasanya dengan menggunakan formalin atau fenol, dalam penggunaanya sering mengalami kegagalan atau tidak menimbulkan respon imun tubuh. Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terjadi pada penggunaan vaksin generasi pertama dan kedua mulailah dikembangkan vaksin generasi ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit. Vaksin rekombinan lebih aman dibandingkan dengan vaksin yang mengandung sel virus, karena fragmen antigenik yang terdapat dalam vaksin rekombinan tidak dapat bereproduksi dalam tubuh penerima, disamping itu vaksin rekombinan tidak memiliki efek samping. Namun demikian vaksin generasi ketiga inipun ternyata hanya dapat menimbulkan respon imun humoral dan tidak dapat menimbulkan respon imun seluler.
PEMBAHASAN A. Pengertian vaksin imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit tetapi belum kebal terhadap penyakit yang lain.(Soekidjo,2003) Imunisasi adalah upaya memberikan bahan untuk merangsang produksi daya tahan tubuh. Sebagai akibat selanjutnya orang yang diberi vaksin akan memiliki kekebalan spesifik terhadap penyakit yang disebabkan kuman tersebut. Bahan tersebut pada dasarnya merupakan ancaman buatan bagi tubuh.(Achmadi,2006) Imunisasi disebut juga dengan vaksinasi atau inokulasi. Imunisasi memberikan perlindungan terhadap penyakit berbahaya. Walaupun beberapa penyakit ini jarang ditemukan. Ketika di imunisasi, diberikan vaksin yang dibuat dari sejumlah kecil bakteri atau virus penyebab penyakit tersebut. Vaksin ini akan merangsang tubuh membuat antibodi terhadap penyakit yang dimaksud.(Thompson,2003) Vaksin adalah bahan yang diberikan untuk menginduksi sistem imun agar dapat melawan penyakit infeksi spesifik. Vaksin biasanya mengandung sebagian atau seluruh organisme penyebab penyakit.
Imunisasi melindungi kita dari penyakit menular dengan menggunakan vaksin untuk menstimulasi respon imun atau imunoglobulin untuk meningkatkanya. Stimulasi sistem imun menyediakan perlindungan jangka panjang dan dalam jangka pendek membuat proteksi terhadap infeksi, atau pengobatan jika infeksi telah terjadi. Imunisasi aktif
Vaksin disuntikan, orang disuntik dengan vaksin yang mengandung mikroorganisme penybab penyakit yang telah dibunuh atau bentuk modifikasinya, atau bagian dari nmikroorganisme penyebab penyakit.
Sistem imun terstimulasi, vaksin menstimulasi sistem imun untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi.
Sistem imun siap merespon, jika infeksi dari mikroorganisme tersebut terjadi, telah tersedia antibodi untuk melawan infeksi itu.
Imunisasi pasif
Pengumpulan atibodi,darah yang mengandung antibodi diambil dari orang atau hewan yang baru saja sembuh dari suatu penyakit
Transfusi, darah diberi perlakuan tertentu dan dimurnikan sehingga menghasilkan serum. Serum disuntikian ke orang yang memerlukan proteksi terhadap infeksi penyakit tertentu.
Proteksi, antibodi menyerang organisme bila terjadi infeksi, atau menyediakan perlindungan jangka pendek terhadap infeksi.
B. Tujuan imunisasi/vaksinasi Tujuan imunisasi yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia. Pada kasus tetanus, imunisasi aktif memberikan keuntungan untuk individu bersangkutan, tetapi bukan untuk masyarakat luas. Vaksinasi terhadap tetanus tidak akan memberantas mikroorganisme yang biasanya bemukim di dalam kotoran hewan dan sporanya tahan hidup dalam tanah. Sebaliknya pada mikroorganisme penyebab penyakit yang inangnya hanya manusia, pembentukan imunitas pada sebagian besar dari populasi akan dapat menolong melindungi seluruh masyarakat yang lebih luas apabila
vaksinasi dapat menurunkan jumlah mikroorganisme. Contoh akan hal tersebut ditemui pada pelaksanaan vaksinasi terhadap cacar atau difteri. Vaksinasi bertujuan untuk membangkitkan imunitas yang efektif sehingga terbentuk antibody dan sel sel memory. Makin sering dilakukan vaksinasi makin banyak umlah sel memory yang terbentuk. Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi antara lain : 1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular 2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular 3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita.
C. Manfaat vaksinasi Ada beberapa manfaat dari vaksinasi, antara lain 1. Bagi anak Sebagai upaya pencegahan untuk melindungi anak dari serangan penyakit tertentu, yang mungkin bisa menyebabkan penderitaan atau bahkan cacat permanen. 2. Bagi keluarga Bagi keluarga, vaksinasi bermanfaat untuk menghilangkan kecemasan akan kesehatan dan biaya pengobatan jika anak sakit. Menumbuhkan keyakinan dan harapan bahwa anak anak akan menjalani masa pertumbuhannya dengan aman dan ceria. Sehingga, orang tua bisa sedikit terlepas dari kekhawatiran anaknya terserang dari penyakit penyakit tertentu yang selalu menjangkiti anak anak. 3. Bagi Negara Vaksinasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk meningkatkan taraf kesehatan warganya. Dengan vaksinasi diharapkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan lebih meningkat dan citra negara dimata dunia menjadi lebih baik.
Vaksinasi yang berhasil akan memberikan perlindungan kepada tubuh terhadap serangan infeksi. Hal tersebut bergantung akan beberapa hal, misalnya spesifitas vaksin, cara memberikan vaksin, vaksin yang dapat membangkitkan respon imun, jenis vaksin dan lain lainnya. Perlu diingat bahwa cara penyimpanan bahan vaksin sangat menentukan efektifitas vaksin, terutama untuk vaksin yang hidup.
D. Jenis vaksin Pada dasarnya,vaksin dapat dibagimenjadi 2 jenis yaitu
Live attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan)
Inactived (bakteri,virus atau komponenya yang dibuat tidak aktif)
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan vaksin ini digunakan. Vaksin hidup attenuated diproduksi dilaboratoriumdengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri , atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.. vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang infactivated) dan produk sub-unit atau sub-vision. Seagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel polisakarida asli bakteri. Vaksin konjugasi polisakarida adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein, dengan konjugasi membuat polisakarida tersebut menjadi lebih baik menghasilkan antibodi.
1. Vaksin hidup Attenuated Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium,biasanya dengan cara pembiakan berulang ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk
mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954.
Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi didalam tubuh dan meningkat umlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar)dapat membuat vaksin tersebut tidak efektif.
Vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu bbinfeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan daninfeksi dengan virus liar.
Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup : vaksin campak, gondongan (parrotitis), rubela, polio, rotavirus, dan demam kuning (yellow fever). Sedangkan yang berasal dari bakteri hidup :vaksin BCG dan demam tifoid oral.
2. Vaksin inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated)
dengan
penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme
tersebut dibuat murni dan hanya komponen -komponennya yang dimasukan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari bakteri penumokokus)
Vaksin inativated tidak dapat tumbuh dan tidak hidup, maka seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan definisi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada didalam sirkulasi darah.
Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral,hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular.
Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikatan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhdap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).
a. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,
Seluruh selvirus yang inactivated ,contoh influenza,polio injeksi(disuntikkan), rabies hepatitis A
Seluruh bakteri yang inactivated ,contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit,hepatitis B, influenza,pertusis a-seluler, tivoid Vi, lyme disease.
Toksoid contoh diftera, tetanus, botulinum.
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophillus influenzae tipe b.
Polisakarida konjugasi (haemophillus influenzae tipe b, pneumokokus, dan meningokokus).
3. Vaksin polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang molukel gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus, dan haemophillus influenzae tipe b.
Respons imun terhedap poliskarida murni adalah sel T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selali imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Umur <2 tahun tidak memberi respons terhadap antigen poliskarida; mungkin ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya terutama fungsi sel T.
Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat.
4. Vaksin rekombinan Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia. 1) Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B kedalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni. 2) Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria salmonella typhi yang secara genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit. 3) Tiga dari 4 virus yang berada dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami replikasi.
E. Bahaya imunisasi atau vaksinasi
Setiap vaksin membawa bahaya tertentu dan dapat menghasilkan reaksi merugikan pada beberapa orang. Kepentingan reaksi ini harus dipertimbangkan dibandingkan dengan resiko alamiah. Jika resiko suatu penyakit terlalu tinggi untuk ditanggulangi, maka reaksi berat karena vaksin dianggap lebih dapat diterima daripada penyakit ringan atau kecil akibatnya. Sulit memperkirakan risiko yang tepat sehubungan dengan seumlah tindakan imunisasi. Dokter enggan mempertimbangkan suatu penyakit setelah imunisasi sebagai akibat suatu rekomendasi dan bujukan mereka terhadap ibu untuk mengimunisasi bayinya. Reaksi lokal akan nyata, tetapi komplikasi yang bersifat berat terjadi dalam 6-12 jam atau 8-10 hari sesudah vaksinasi sehingga tidak mungkin diperkirakan sebagai kemungkinan berhubungan dengan vaksinasi. Reaksi ini mungkin kejadian timbul kebetulan setelah imunisasi dan tak berhubungan sama sekali. Insiden beberapa reaksi yang diketahui setelah imunisasi mungkin pada tingkat 1:100.000, sehingga dokter sebelumnya mungkin tidak melihat komplikasi demikian, dan mungkin tidak menghubungkannya dengan imunisasi. Tetapi penting agar dokter menyadari bahaya yang diketahui, yang terjadi pada macammacam vaksin. Semua reaksi serius yang mengikuti pemberian vaksinapa pun (yang dianggap karena vaksin atau tidak) harus secepatnya dilaporkan. Di inggris pemberitahuan ini harus dibuat ke ‘committee on safety mediciens’, DHSS,elephent and castle, london SEI 6BY, pada kartu kuning standar, dan leih disukai juga ke distrik lokal atau dokter komunitas.
Daftar pustaka Achmadi,Umar Fahmi.2006.Imunisasi,mengapa perlu?.Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Notoatmodjo,soedkijo.2003.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.Jakarta
Thompson,June.2003. Toddlercare:Pedoman Merawat Bayi.Jakarta : Erlangga
Subowo,1993. Imunologi Klinik
Radji,maksum.2009. Vaksin DNA : Vaksin Generasi Keempat. Majalah ilmu kefarmasian vol VI, 29
ALERGI TIPE 4 PENDAHULUAN Definisi reaksi alergi (reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normalmengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan. Reaksi ini dibagi menjadi 4 kelas (tipe 1-4) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukan adanya reaksi yang melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). IgE terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang berada didalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditermukan didalam jaringan. Sel antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia yg dapat merusak atau melukai jaringan sekitarnya. Alergen bisa berupa debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon kekebalan. Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata berair, mata terasa gatal,dan kadang bersin. Pada reaksi yang ekstrim bisa terjadi gangguan pernapasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi ini disebut anafilakis, yang bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau obat-obatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.
PEMBAHASAN A. Hipersensitivitas/alergi tipe 4 Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperntarai oleh sel T CD4+ dan CD8+. Reaksi dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin, reaksi inflamasi granulosa, reaksi penolakan transpalant. Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut : limfosit T tersensitasi. Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang
diperantarai oleh sel T langsung. Timbul manifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan transpalant. Hipersensitivitas tipe 4 (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel. Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan membuat limfosit T menjadi peka sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin. Reaksi lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel berinti tunggal. Ciri-ciri reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Gupte (1990) adalah: 1). Perlu rangsangan antigen. 2). Pada penderita yang peka reaksi terjadi pada pemaparan terhadap antigen yang khas misalnya reaksi tuberculin. 3). Masa inkubaasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari. 4). Hipersensitivitas tipe lambat dapat dipindahkan melalui sel-sel jaringan limfoid, eksudat peritoneum dan limfosit darah.
B. Gejala-gejala dari reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu : 1). Toksemia umum: 0,1 ml tuberkulin pada penderita tuberculosis menyebabkan reaksi hebat yang terlihat berupa kelesuan, batuk, sesak nafas, nyeri tungkai, muntah, kekakuan dan limfopenia. 2). Reaksi fokal: jika sejumlah besar antigen dimasukkan pada jaringan segar yang peka, akan timbul reaksi alergi disertai nekrosis jaringan, misalnya pada bronkopneumonia tuberculosis. 3). Reaksi lokal: merupakan reson kulit yang khas.
C. Reaksi hipersensitivitas tipe IV terdiri dari 2 jenis, yaitu : 1). Reaksi granulomatosa. Ditandai dengan pembentukan granuloma yang terdiri dari sel-sel berinti tunggal yang telah berubah, histiosit, sel-sel epiteloid dan sel-sel dari benda asing. 2). Reaksi tuberculin. Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk filtrate biakan yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Sel limfosit T CD4+ berperan dalam reaksi ini.. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivate protein yang dimurnikan (PPD),
daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T (Baratawidjaja., dkk, 2012). Pemaparan
ulang sel T memory pada kompleks antigen-MHC kelas II yang
ditampilkan oleh APC merangsang sel T CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari populasi limfosit yang teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag ke tempat bersangkutan. Makrofag merupakan sel APC utama yang berperan dalam reaksi tuberkulin, walaupun ada juga sel-sel CD1+ yang memuktikan keterlibatan sel langerhans dalam reaksi ini. Limfosit dan makrofag yang terdapat dalam infiltrate mengekspresikan HLADR. Sel-sel PMN segera meninggalkan tempat tersebuttetapi sel-sel mononuklear tetap berada di tempat, membentuk infiltrate yang sebagian besar erdiri atas limfosit CD4+ dan CD8+ dengan perbandingan 2:1, dan sel seri monositmakrofag (Kresno, 2010).
Tipe IV: Reaksi Hipersensitivitas Tertunda/Terlambat Berlawanan dengan imunitas humoral/antibodi, imunitas selular (cell mediated immunity = CMI) mencakup aspek-aspek fungsi imun yang terutama dilakukan oleh limfosit T spesifik antigen. Tahap pertama dalam reaksi ini, yaitu terikatnya alergen dengan limfosit T yang spesifik melalui reseptornya. Apabila limfosit T diaktifkan melalui kontak dengan antigen yang disajikan oleh sel yang cocok, menyusul tahap berikutnya yaitu pelepasan zat-zat solubel oleh limfosit T efektor dalam bentuk berbagai jenis limfokin. Beberapa dari limfokin menarik dan mengaktifkan sel-sel mononuklear lain seperti misalnya monosit, sel makrofag dan limfosit non-imun. Aktivasi ini merupakan sebuah contoh kaskade: Aktivasi limfosit T spesifik yang berjumlah sangat sedikit mampu mendorong kearah reaksi yang melibatkan sebagian besar sel mononuklear yang ada, dan bertanggung jawab atas akhir reaksi yang ternyata sel-sel limfosit T yang tidak spesifik antigen. Antigen yang membangkitkan jenis respons imun ini dapat berupa jaringan asing (misalnya respons terhadap jaringan cangkok), parasit intraselular (misalnya infeksi virus dan
mikobakteria), protein soluble atau satu dari sejumlah bahan kimia yang mampu menembus jaringan kulit dan bergabung dengan protein tubuh yang bertindak sebagai pengemban (carrier). Reaksi hipersensitivitas tertunda ini berlangsung pada respons imun selular yang melibatkan sel T spesifik. Berbeda dengan ketiga tipe reaksi hipersensitivitas yang terdahulu, reaksi tipe IV ini tidak melibatkan efektor humoral antibodi, sehingga hipersensitivitas ini merupakan penyimpangan dari respons imun selular. Berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe lain, hipersensitivitas tipe lambat tidak dapat ditularkan ke individu lain dengan menyuntikkan serumnya, melainkan perlu melalui pemindahan limfosit T-nya. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi hipersensitivitas tipe IV benar-benar melibatkan efektor selular. Nomenklatur untuk respons semacam ini berubah-ubah dalam perjalanan waktu, biasanya didasarkan pada penggunaannya seiring dengan perjalanan sejarahnya. Penamaan aslinya respons tersebut semula disebut: reaksi tuberkulin, yang pada awalanya berasal dari pengamatan Koch dalam tahun 1890. Pada masa itu orang-orang yang terinfeksi oleh M. tuberculosis akan memberikan uji kulit positif jika padanya disuntikkan intradermal dengan cairan biakkan M. tuberculosis. Sebagai konsekuensi sifat keterlambatan awal respons yang berlangsung 2-3 hari, yang berlawanan dengan lebih cepatnya reaksi hipersensitivitas lain yang melibatkan efektor antibodi, maka akhirnya respons dinamakan delay type hypersensitivity atau DTH. Bentuk reaksi hipersensitivitas yang dinamakan sebagai “delay type hypersensitivity” atau DTH ini ditemukan pada beberapa reaksi alergi terhadap bakteri, virus, dan fungi, reaksi terhadap bahan-bahan kimia sebagai dermatitis kontak dan reaksi terhadap jaringan cangkok. Contoh yang telah banayak diketahui dan paling tepat adalah reaksi Mantoux (yang semula disebut reaksi tuberculin), sebagai reaksi suntikan intradermal tuberculin pada seseorang yang pernah terpapar oleh M. tuberculosis yang diikuti oleh respons imun selular sebelumnya. Reaksi tersebut bercirikan eritema dan pengerasan (indurasi) kulit di daerah sekitar suntikan yang timbul setelah 24-48 jam. Akhirnya reaksi tersebut mereda. Gambaran histologi pada fase dini menunujukkan adanya kumpulan sel-sel mononuklear sebagai selubung sekitar pembuluh darah yang kemudian diikuti peningkatan eksudasi sel-sel polinuklear. Segera sel-sel polinuklear meninggalkan daerah reaksi sehingga akhirnya daerah tersebut dikuasai oleh kumpulan sel-sel mononuklear yang terdiri atas limfosit dan monosit / sel makrofag.
D. Ciri umum Sesungguhnya peristiwa reaksi tipe IV ini bermula dengan telah dikenalnya alergen bersangkutan oleh klon limfosit T tertentu dalam periode sensitisasi yang memerlukan waktu 12 minggu. Dalam periodesensitisasi tersebut berlangsung pemekaran klon sel T spesifik terhadap antigen bersangkutan. Antigen tersebut harus disajikan dahulu oleh molekul MHC kelas lI yang terdapat pada pemukaan sel penyaji antigen (AFC). Dalam kasus parasit intraselular yang berada dalam sel makrofag, penyajian ini dapat merupakan konsekuensi langsung dari pertumbuhan parasit dalam sel. Antigen lain, seperti protein atau virus harus diproses lebih dahulu dalam sel penyaji dan kemudian baru disajikan oleh molekul MHC kelas II. Karena limfosit T merupakan sel~sel yang beredar, sekali telah diinduksi dalam jumlah yang cukup, sel-sel tersebut akan masuk dalam peredaran melalui nodus lymphaticus, kemudian pembuluh limfe yang kemudian bermuara dalam ductus thoracicus yang akhimya bermuara dalam pembuluh darah. Peredaran tersebut dilanjutkan, ketika darah mencapai nodus lymphaticus sehingga limfosit T berkesempatan masuk dalam jaringan limfoid menembus venula pasca kapiler (HEV). Dengan beredarnya limfosit T tersebut, sel-sel T sangat mampu mendapatkan paparan dan kontak dengan antigen pada sembarang titik dalam peredaran di sembarang tempat di tubuh, tidak pandang jaraknya jauh atau dekat. Apabila di kemudian hari setelah sensitisasi ini terjadi paparan lagi oleh antigen yang sama, juga disajikan kepada limfosit T memory dengan cara yang sama terjadilah picuan serangkaian peristiwa yang mengarah kepada hasil yang khas dalam bentuk CMI beserta citi-drinya. Sel memory dari respons imun tersebut bersama-sama dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel makrofag yang menyajikan alergen yang sama, akan terangsang unruk berproliferasi.
E. Penampilan Jaringan Penyuntikan intradermal kepada hewan atau individu yang tersensitisasi, tidak segera menampakkan respons yang jelas dapat diamati, melainkan baru tampak sekitar 18-24 jam setelah tantangan antigen tersebut. Kurun waktu inilah yang membedakan secara khas dengan respons antibodi yang tampak lebih awal. Delapan belas sampai 24 jam setelah diberikan tantangan antigen yang sama tampaklah erythema (kemerahan kulit) dan indurasi (pengerasan) pada tempat suntikan, yang mencapaj puncaknya 24-48 jam setelah penyuntikan. Indurasi kulit
sangat mudah dibedakan dengan udema (penimbunan cairan) melalui penekanan dengan jari pada kulit, yang tidak meninggalkan lekukan bekas tekanan jari. Indurasi pada kulit terbentuk oleh timbunan fibrin dalam jejas jaringan. Walaupun reaksi pada kulit tersebut bersifat parah, namun jarang mengarah kepada kerusakan nekrotik karena akan mereda secara perlahan-lahan. Jika dilakukan biopsi kulit pada saat awal dari reaksi, akan ditemukan terutama kumpulan sel-sel mononuklear dari keluarga monosit/sel makrofag dengan sebaran sel limfosit. Infiltrasi sel-sel mononuklear tersebut sangat khas membentuk selubung disekitar pembuluh darah, sebelum berlangsung invasi yang luas pada lokasi timbunan antigen berada. Keberadaan sel-sel netrofil bukanlah merupakan gambaran yang mencolok pada awal reaksi. Tetapi biopsi pada saat kemudian akan menampilkan pola yang kompleks, yaitu dengan kedatangan sel-sel B dan pembentukan granuloma pada jejas yang permanen. Granuloma merupakan kumpulan sel~sel makrofag dalam jaringan.
F. Mekanisme CMI Beberapa pakar menyatakan bahwa untuk mengurai mekanisme CMI, mengingatkan kita kepada permainan “jigsaw”. Sejumlah aspek CMI yang diungkapkan dalam penelitian khusus yang terpisah baik secara in vivo maupun in vitro, akhimya dikumpulkan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam suatu gambaran komprehensif yang kini telah luas diperkenalkan. Disimpulkan bahwa mekanisme tersebut dapat dipisahkan dalam tahap: 1) Penyajian antigen dan aktivasi sel T 2) Pelepasan limfokin. 1. Penyajian Antigen dan Aktlvasi Sel T Seperti telah diuraikan dalam Buku Imunobiologi, sel-sel T spesifik antigen yang sedang beredar akan kontak dengan antigen ketika disajikan oleh sel penyaji antigen melalui molekul MHC kelas II yang cocok. Sel-sel T ini masih dalam fase Go, sehingga perlu diaktivasi dengaq sinyal kedua dalam bentuk IL-1 yang dilepaskan oleh sel penyaji yang akan mengaktifkan sel T tersebut, setelah terjadi kontak dengan antigen bersama MHC kelas II melalui reseptor sebagai sinyal pertama.Kerjasama antara limfosit T dengan sel penyaji diperkuat melalui ikatan antara molekul CD4 dengan molekul MHC kelas II. Aktivasi limfosit T tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa cara : 1) pembesaran sel; 2) menjadi blastoid ; dan 3) pembelahan sel. Walaupun peristiwa tersebut dapat diamati
secara langsung, tetapi pengamatan tersebut tidak mudah dan kompleks. Maka pengamatan langsung telah diganti dengan cara yang umum dipakai yaitu menggunakan pengukuran ploriferasi sel. Biasanya digunakan pelabelan dengan thymidine berlabel H. Aktivasi tersebut merupakan contoh sebuah kaskade : aktivasi sel-sel T spesifik antigen yang jumlahnya tidak banyak mengarahkan kepada sebuah reaksi yang melibatkan sel-sel mononuklear yang berjumlah banyak dan bertanggung jawab kepada hasil akhir sebagai reaksi yang sebenarnya bersifat tidak spesifik kepada antigen / alergen. Antigen yang dapat membangkitkan respond demikian, mungkin berasal dari jaringan asing (sebagai reaksi terhadap alograf), parasit intraselular (virus, mycobacteria), protein solubel, atau satu dari banyak bahan kimia yang mampu menembus kulit yang kemudian bergabung dengan protein jaringan sebagai pengemban (carrier).
2. Pelepasan Limfokin
Sel-sel limfosit T yang teraktifkan tersebut akan menghasilkan sejumlah mediator (limfokin) yang akan berfungsi dalam reaksi hipersensitivitas, khususnya dalam menarik dan mengaktifkan sel makrofag, dan monosit. Mediator tersebut juga membantu sel-sel T sitotoksik menjadi sel pembunuh (Killer Cell) yang akan ikut merusak jaringan. Limfokin yang dilepaskan oleh limfosit T setelah diaktifkan, yaitu: MCF (macrophage chemotactic
factor),
Interferon-y,
MIF
(macrophage
inhibitingfactor),
MAF
(macrophageactivating factor). Lymphotoxin, dan 11-2. G. Dampak Reaksl Hipersensitivitas Tipe IV Hipersensitivitas tipe lambat dapat berlangsung pada berbagai kondjsi, seperti misalnya: infeksi. Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat terhadap produk bakteri mungkin bertanggung jawab atas kerusakan yang berhubungan dengan alergen bakteri seperti pada gejala kerusakan pada infeksi tbc atau pembentukan granuloma pada kulit penderita kusta tipe peralihan. Apabila perjuangan antara bakteri yang memperbanyak diri dengan pertahanan tubuh berada dipihak bakteri sebagai peenang, maka secara terus menerus antigen bakteri akan dilepaskan sehingga menimbulkan reaksi lokal hipersensitivitas tipe lambat. Pelepasan limfokin yang terus menerus oleh limfosit T akan menghimpun sejumlah besar sel makrofag di daerah itu. Di antara sel-sel makrofag tersebut ada yang beralih fungsi menjadj sel epiteloid (yang tidak mempunyai kemampuan fagositosis) dan sebagian lain menjadi sel datia (giant cell). Sel makrofag yang memiliki antigen bakteri pada permukaannya akan menjadi sasaran sel T sitotoksik dan akan dihancurkan. Kerusakan berikutnya akan berlangsung sebagai akihat dari aktivasi sel makrofag oleh limfokin dan sel NK dan tentu saja oleh limfotoksinnya sendiri. Campuran limfosit yang berproliferasi dengan berbagai jenis sel tersebut bersama Ebroblas dalam daerah fibrosis dan jaringan nekrosis dinamakan granuloma khronik. Gambaran ini tidak lain dimaksudkan untuk membatasi meluasnya infeksi ke daerah lain. Perubahan penampilan permukaan kulit pada penyakit cacar, campak, dan herpes simpleks sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat dengan disertai kerusakan sel-seljaringan yang terinfeksi virus oleh limfosit T sitotoksik. Gambaran serupa dijumpai pula pada infeksi jamur dan penyakit parasit Iain. H. Dermatitis kontak
Rute antigen melalui epidermis kulit rupanya menguntungkan respons limfosit Tkarena melalui sel-sel Langerhans. Sel Langerhans menyajikan hapten kepada limfosit T efektor dalam jaringan limfoid. Maka seringkali reaksi hipersensitivitas pada kulit disebabkan oleh bahanbahan asing (hapten) yang bergabung dengan protein tubuh sebagai pengemban (carrier). Reaksi yang timbul biasanya terlihat 12-15 jam, yang diikuti oleh kumpulan sel-sel mononuklear serta oedem dari epidermis sebagai lepuh-lepuh kecil. Reaksi tersebut banyak dijumpai setelah orang bersentuhan dengan bahan-bahan kimia, kosmetika, perhiasan dan tanaman tertentu. Seperti juga pada dermatitis atopik, jejas pada dermatitis kontak juga menunjukkan adanya eritema, papula, vesikula dan bula sewaktu dalam tahap akut yang akan berubah nantlnya ketika masuk dalam tahap kronik. Dalam tahap kronik kulit menjadi menebal, dan bersisik yang merupakan proses terjadinya lichenifikasi. Secara histopatologik baik dermatitis atopik maupun dermatitis kontak, menunjukkan adanya vasodilatasi dalam jaringan dermis sehingga menghasilkan udema intrasel dari lapisan Malpighi epidermis. Kondisi ini diikuti oleh reaksi peradangan dalam dermis dengan parakeratosis, bersisik dan akantosis dari epidermis. Butir pembeda antara dermatitis atopik dan dermatitis kontak yang penting yaitu sifat penyebaran jejas dari kedua radang kulit tersebut. Penyebaran jejas kulit pada dematitis atopik meluas (multiple). Sifat ini sangat berlawanan dengan penyebaran pada dermatitis kontak. Keterbatasan penyebaran dan lokalisasi jejas merupakan kunci pembeda antara dua macam radang kulit tersebut. Demikian pula terdapat perbedaan mekanisme imunologik antara kedua jenis dermatitis tersebut. Perbedaan yang mendasar dengan dermatitis atopic, selain pada cara masuknya alergen juga pada mekanisme reaksi yang berlangsung. sehingga dalam menegakkan diagnosis dan menetapkan pengobatannya harus selalu didasarkan pada kedua hal tersebut. Karena pada atopic dermatitis gejala yang timbul di antaranya disebabkan oleh pengaruh mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan sel-sel lain yang terlibat, maka pengobatannya harus ditujukan pada netralisasi pengaruh mediator-mediator tersebut. Sebaliknya pada contact dermatitis yang disebabkan karena aktivasi limfosit T dan sel-sel radang lain, maka pengobatan yang ditujukan
kepada mediator yang dihasilkan oleh mastosit tidak ada gunanya. Demikian pula contact dermatitis yang mumi, diagnosisnya tidak dapat ditegakkan berdasarkan peningkatan kadar IgE dalam darah. Untuk menegakkan diagnosis dapat dibantu dengan menetapkan bagaimana caranya masuk alergen ke dalam tubuh apabila alergen melalui kontak langsung dengan kulit, maka kemungkinan kita berhadapan dengan contact dermatitis. Sebaliknya atopic dermatitis timbul karena alergen yang dapat berbentuk sebagai ingestan, inhalan ataupun injektan, bahkan seringkali tidak dapat ditentukan bagaimana alergen tersebut masuk.
I. Diagnosa tertentu, karena itu tujuan utama dari diagnosis adalah mengenali alergen. Alergen bisa berupa tumbuhan musim tertentu (misalnya serbuk rumput atau rumput liar) atau bahan tertentu (misalnya bulu kucing). Jika bersentuhan dengan kulit atau masuk ke dalam mata, terhirup, termakan atau disuntikkan ke tubuh, dengan segera alergen akan bisa menyebabkan reaksi alergi. Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya berhubungan dengan allergen apa penyebabnya serta menentukkan obat yang harus diberikan. Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya meningkat).Tes RAS (radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi IgE dalam darah yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa membantu mendiagnosis reaksi alerki kulit, rinitis alergika musiman atau asma alergika. Tes kulit sangat bermanfaat untuk menentukan alergen penyebab terjadinya reaksi alergi. Larutan encer yang terbuat dari saripati pohon, rumput, rumput liar, serbuk tanaman, debu, bulu binatang, racun serangga, makanan dan beberapa jenis obat secara terpisah disuntikkan pada kulit dalam jumlah yang sangat kecil. Jika terdapat alergi terhadap satu atau beberapa bahan tersebut, maka pada tempat penyuntikkan akan terbentuk bentol dalam waktu 15-20 menit. Jika tes kulit tidak dapat dilakukan atau keamanannya diragukan, maka bisa digunakan tes RAS. Kedua tes ini sangat spesifik dan akurat, tetapi tes kulit biasanya sedikit lebih akurat dan lebih murah serta hasilnya bisa diperoleh dengan segera.
DAFTAR PUSAKA