GONORRHEA Oleh : Devi Wahyuni, S.Farm (18811123)
A. Pengertian Gonore (GO) didefinisikan sebagai infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoea, suatu diplokokus gram negatif. Infeksi umumnya terjadi pada aktivitas seksual secara genito-genital, namun dapat juga kontak seksual secara oro-genital dan ano-genital. Pada laki-laki umumnya menyebabkan uretritis akut, sementara pada perempuan menyebabkan servisitis yang mungkin saja asimtomatik(1).
B. Etiologi Gonore adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), suatu diplokokus gram negatif. Gonokokus adalah diplokokus gram negatif, tidak bergerak dan tidak berspora. Bentuk dari gonokokus menyerupai biji kopi dengan lebar 0,8 µ dan panjang 1,6 µ yang secara karakteristik tumbuh berpasangan dan bagian yang berdekatan adalah datar (rata)(2). Gonokokus bersifat anaerob obligat, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan zat desinfektan, hidup optimal pada suhu 25,5ºC dan pH 7,4. Untuk pertumbuhan optimal diperlukan kadar CO2 2-10%(2). Berdasarkan bentuk koloni gonokokus dibagi menjadi empat tipe. Koloni berbentuk kecil, cembung dan berkilau terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2, koloni ini memiliki pili (piliated) dan ditandai dengan P+. Sedangkan koloni berbentuk besar dan datar juga dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe 3 dan tipe 4, tidak memiliki pili (nonpiliated) dan ditandai dengan P- (2,3).
C. Tanda dan Gejala
Gejala pada laki-laki : 1. Infeksi
pada
uretra
(uretritis
gonore)
dapat
menyebabkan
munculnya sekret dari uretra (>80%) dan/atau disuria (>50%) sejak 25 hari setelah terpapar. 2. Uretritis gonore bisa jadi asimtomatik (<10%). 3. Infeksi rektal biasanya asimtomatik namun dapat menimbulkan sekret dari anal atau nyeri perianal/anal (7%). 4. Infeksi faringeal biasanya asimtomatik (>90%).
Gejala pada perempuan : 1. Infeksi pada endoserviks biasanya asimtomatik (hingga 50%). 2. Sekret vaginal yang berlebihan merupakan gejala yang paling umum (hingga 50%). 3. Nyeri perut bawah (hingga 25%). 4. Infeksi uretra menyebabkan disuria (12%) namun tidak sering. 5. Gonore
jarang
menyebabkan
perdarahan
di
antara dua
masamenstruasi atau menoragia. 6. Infeksi rektal biasanya berkembang dari paparan sekret genitaldan biasanya asimtomatik. 7. Infeksi faringeal biasanya asimtomatik.Infeksi Neisseria gonorrhoeae biasanya
juga
disertai
infeksi
oleh
Chlamydia
trachomatis,
Trichomonas vaginalis dan Candida albicans(4).
Tanda pada laki-laki : 1. Sekret uretral yang mukopurulen atau purulen. 2. Jarang, nyeri/bengkak pada epididimis atau balanitis.
Tanda pada perempuan : 1. Sekret
endoserviks
yang
mukopurulen
dan
mudah
terjadi
perdarahan endoserviks (<50%) (catatan : sekret mukopurulen bukan merupakan prediktor yang sensitif terhadap infeksi serviks). 2. Nyeri pelvis atau nyeri perut bawah (<5%).
3. Biasanya pada pemeriksaan tidak didapatkan tanda abnormalitas (4).
D. Jalur penularan Transmisi penyakit gonore terjadi melalui inokulasi langsung dari sekresi mukosa yang terinfeksi pada satu tempat ke tempat lainnya melalui kontak genitalgenital, genital-anorektal, oro-genital, atau dari ibu yang terinfeksi ke bayinya pada proses persalinan (2). Infeksi gonokokal pada vagina jarang terjadi pada wanita masa reproduksi, karena terjadinya penebalan epitel kolumnar pada vagina dan oleh karena kuatnya pertahanan biologiknya. Sedangkan pada infeksi gonore pada anakanak, wanita hamil dan pada wanita telah menopause mudah untuk terkena infeksi gonokokal pada vagina. Selain itu, cukup tingginya pasien gonore berstatus belum menikah mencerminkan banyaknya pasangan melakukan hubungan seksual pranikah, yang tidak menutup kemungkinan juga dilakukan secara berganti-ganti pasangan (5).
E. Patofisiologi Patogenesis terjadinya infeksi oleh Neisseria gonorrhoeae diawali dengan perlekatan (adherence) bakteri pada sel-sel mukosa kolumnar atau kuboid, sel epitel yang tidak mengalami kornifikasi melalui perantaraan pili dan Opa. Selanjutnya terjadi interaksi antara bakteri dan neutrofil, dimana sebagian besar bakteri (gonokokus tidak mengandung pili) akan mengalami fagositosis oleh neutrofil sehingga berada di dalam sel (Neisseria intraseluler). Sedangkan gonokokus yang mengandung pili mampu melekat lebih baik dan menghindar dari fagositosis. Perlekatan pada neutrofil diperankan oleh protein Opa dan porin bekerja menghambat maturasi fagosom dan fungsi neutrofil, menurunkan ekspresi opsonindependent receptor CR3, serta mengubah myeloperoxiadase-mediated oxidative killing. Perlekatan bakteri secara selektif pada sel-sel yang mensekresikan mukus tanpa silia akan mengalami invasi ke dalam sel, untuk mengadakan multiplikasi dan pembelahan intraseluler. Saat berada di dalam sel epitel, bakteri mampu bertahan dari antibodi, komplemen atau neutrofil. Invasi diperankan oleh P1A, protein Opa,
dan LOS pendek nonsialylated. Kerusakan jaringan terjadi akibat enzim (fosfolipase, peptidase) yang dihasilkan oleh LOS dan peptidoglikan (2). Selama infeksi, lipopolisakarida (LOS) dan peptidoglikan bakteri dilepaskan melalui autolisis sel. Lipooligosakarida akan memicu produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel mukosa yang progresif dan invasi submukosa akan disertai dengan respon leukositik polimorfonuklear yang banyak, pembentukan mikroabses, dan eksudasi material purulen ke dalam lumen organ yang terinfeksi. Pada keadaan infeksi yang tidak terobati, leukosit polimorfonuklear secara gradual akan digantikan oleh sel mononuclear (6). Selain kerusakan jaringan secara lokal, dapat terjadi diseminasi (bakterimia dengan atau tanpa disertai artritis septik). Diseminasi terjadi akibat kemampuan bakteri bertahan dari antibodi dan komplemen pada serum manusia (resistensi serum). Bakteri yang resisten terhadap serum manusia merupakan bakteri dengan LOS panjang. Resistensi serum terjadi pula akibat blokade akses antibodi pada LOS yang diperankan oleh Rmp dan Por (C4bp dan faktor H yang berikatan pada loops dari Por) yang menghambat deposit dan aktivasi komplemen (7).
F. Terapi farmakologi Berdasarkan pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 anjuran pengobatan gonore tanpa komplikasi adalah cefiksim 400 mg peroral, atau levofloksasin 500 mg peroral, atau kanamisin 2 g intramuskular, atau tiamfenikol 3,5 g oral, atau seftriakson 250 mg intramuskular yang semuanya diberikan dalam dosis tunggal (8). Centers for Disease Control and prevention (CDC) 2010 merekomendasikan pemberian terapi dengan seftriakson 250 mg intramuskular atau sefiksim 400 mg atau regimen sefalosporin injeksi dosis tunggal dengan azithromycin 1 g dosis tunggal atau doksisiklin 2x100 mg selama satu minggu. Tujuan pemberiannya bersamaan dengan doksisiklin diperkirakan selain untuk eradikasi Neisseria gonorrhoeae, juga untuk eradikasi Chlamydia trachomatis, sebab infeksi Gonore seringkali mengalami koinfeksi dengan Chlamydia trachomatis (9).
Berikut adalah pilihat terapi pengobatan untuk gonorhea yaitu (10).
G. Terapi Non Farmakologi 1. Penggunaan kondom pada saat melakukan hubungan intim 2. Hindari perilaku hidup seks bebas atau berganti-ganti pasangan 3. Selalu menjaga kebersihan pada daerah kelamin(8).
H. Kasus Resep
Kasus Pasien Ny.X usia 63 tahun datang ke puskesmas dengan keputihan, pasien sering memcuci alat kelamin dengan sabun sirih, kencing nanah. Dokter mendiagnosis pasien menderita gonore (GO), clamidiasis, dan BV (Bacterial Vaginosis). Dokter meresepkan obat Cefixime 400 mg (single dose), Azitromisin 1 gram (single dose), dan Metronidazol 500 mg 2x1 (7 hari). Obat Cefixime 400 mg (single dose) dan Azitromisin 1 gram (single dose) diminum ditempat (Puskesmas Ngaglik I) dan dipantau oleh apoteker Puskesmas Ngaglik 1). Tekanan darah pasien 120/80 mmHg. Hasil pemeriksaan laboratorium : DGNI : positif Sniff Test : positif pH : 9 Subjective Nama
Ny. X
Keluhan
keputihan, pasien sering mencuci alat kelamin dengan sabun sirih, kencing nanah. Objective
Usia
63 tahun
Diagnosa
Gonore (GO), clamidiasis, dan BV (Bacterial Vaginosis)
Tekanan
120/80 mmHg
darah Terapi
Cefixime 400 mg (single dose), Azitromisin 1 gram (single
pengobatan
dose), dan Metronidazol 500 mg 2x1 (7 hari)
Hasil
DGNI : positif
pemeriksaan
Sniff Test : positif
laboratorium
pH : 9 Assesment
Cefixime
Pemberian obat sudah tepat
400 mg dan Obat Cefixime 400 mg oral sebagai dosis tunggal ditambah Azitromisin 1 oral azithromisin 1 gram sebagai dosis tunggal merupakan gram
first line therapy dari GO dengan clamidiasis
(4)
. Hasil
pemeriksaan laboratorium DGNI positif yang menunjukkan ditemukan adanya bakteri GO. Metronidazol Pemberian obat sudah tepat 500 mg kali
2 First line therapy untuk BV adalah pemberian obat
sehari Metronidazol 500 mg dengan dosis 2 kali sehari selama 7
selama 7 hari
hari (11). Hasil pemeriksaan laboratorium Sniff Test positif yang mengindikasikan adanya infeksi BV, dan pH menunjukkan nilai 9 yang menunjukkan adanya bakteri vagina yang berpotensi buruk dapat berkembang biak, karena pH organ intim yang baik antara 3,5-4,5. Plan
Therapy Plan Obat Cefixime 400 mg dan Azitromisin 1 gram tetap digunakan sesuai dengan regimen terapi yang sudah
diberikan dengan tujuan membunuh bakteri penyebab GO dan Clamidiasis. Obat Metronidazol 500 mg
tetap digunakan sesuai
dengan regimen terapi yang sudah diberikan untuk pengobatan BV. Monitoring Plan
Monitoring efektivitas terapi terhadap perbaikan gejala klinis. Monitoring efek samping obat jika ada efek samping yang muncul setelah adanya pengobatan
seperti
gangguan saluran cerna (diare, mual, muntah, dispepsia, kembung), reaksi hipersensitivitas (ruam kulit, urtikaria, pruritus). Monitoring kepatuhan pasien dalam pengobatan terutama dalam jadwal rutin pasien minum obat dan kontrol ke dokter. Conseling
Pemberian informasi terkait terapi non farmakologi yang
Plan
dapat menunjang kesembuhan pasien seperti : Hindari melakukan hubungan seksual yang tidak sehat dan berganti-ganti pasangan Jika melakukan hubungan seksual, usahakan memakai pengaman Hindari penggunaan sabun khusus kewanitaan atau produk khusus kebersihan organ intim wanita Usahakan alat vital selalu dalam keadaan kering setelah BAB atau BAK Jangan menunda BAK Menjaga organ intim Cuci pakaian dalam secara terpisah dan rendam dengan air panas sebelumnya Perbanyak minum air putih hangat
Obat harus dihabiskan sesuai aturan meminumnya
DAFTAR PUSTAKA 1) Malik SR, Amin S, Anwar AI. Gonore. Dalam: Amiruddin MD, editor. Penyakit Menular Seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. p. 65–85 2) Sparling, P.F. Biology of Neisseria Gonorrhoeae. 2008. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D. H. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill .p.607-26. 3) Criss, A.K., Kline, K.A., Seifert, S. 2005. The Frequency and Rate of Pilin Antigenic Variation in Neisseria Gonorrhoeae. Mol Microbiol. 58(2) : 510-19. 4) Bignell C and FitzGerald M (2011). UK national guideline for the management of gonorrheain adults. International Journal of STD & AIDS, 22 : 541-547. 5) Aral SO, Over M, Manhart L, Holmes KK. Sexually transmitted infections. In Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, et al, editors. Disease control priorities in developing countries. 2nd ed. Washington DC: The international bank for reconstruction and development/ The world bank; New York: Oxford University Press; 2006. 6) Cornelissen, C.N. 2011. Molecular Pathogenesis of Neisseria Gonorrhoeae. Front Microbiol. 2:224-25. 7) Hook, E.W., Handsfield, H.H. Gonococcal Infection in Adult. 2008. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D. H. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York. McGraw Hill. p.627-45. 8) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Jakarta : 2011
9) Centers for disease control and prevention (CDC). STD treatment guideline. Gonococcal infections. Morbidity and mortality weekly report (MMWR). 2015 : 64(3) 10) Dipiro.JT.,2015.Pharmacoterapy Handbook 9th edition. Mc Graw Hill. New York 11) Sexually transmitted diseases treatment guideline 2002. Centers for Disease Control and Prevention MMWR Recomm Rep 2000;51(RR-6):1–80. Accessed online January 23, 2019, at: http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr 5106a1.htm.