Gerdddd.docx

  • Uploaded by: Vincentius
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gerdddd.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,267
  • Pages: 28
REFERAT GASTROESOPHAGHEAL REFLUX DISEASE

Pembimbing: dr. AY. Haryanto Rahardjo, Sp. PD-KGEH, FINASIM

Penyusun: Andrew Wirjomartani 2017.060.10144 Amanda Gabriela

2018.060.10010

Inggrid Melisa Dewi 2017.060.10142 Vincentius

2017.060.10140

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya RS Panti Rapih Yogyakarta Periode 7 Januari 2019 – 16 Maret 2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas referat tentang GERD Adapun referat ini disusun sebagai tugas bersama dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam. Penulis berharap referat ini dapat berguna sebagai bahan untuk pembelajaran bersama baik bagi mahasiswa tingkat preklinik maupun klinik. Kami turut berterima kasih kepada dr. AY. Haryanto Rahardjo, Sp. PD-KGEH, yang telah membimbing dalam pengerjaan laporan ini dan kepada semua pihak yang terlibat. Akhir kata, kami mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam laporan ini. Kritik dan saran dalam perbaikan laporan ini sangat kami hargai. Atas perhatiannya, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 20 Februari 2019

Penulis

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit

refluks

esophagus (PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2 Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4 Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6 Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan 7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini pada tahap awal proses diagnosis.5,6

1.2. Rumusan Masalah Bagaimana cara mendiagnosis dan tatalaksana GERD?

2

1.3. Tujuan 1. Mengetahui alur diagnosis GERd 2. Mengetahui etiologi dan factor risiko GERD 3. Mengetahui patofisiologi GERD 4. Mengetahui tatalaksana untuk GERD

1.4. Manfaat 1. Menambah pengetahuan mengenai GERD 2. Menambah pengalaman penulis dalam menyusun laporan ilmiah

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi GERD didefinisikan sebagai gangguan di mana isi lambung mengalami refluks

secara

berulang

ke

dalam

esofagus

yang

menyebabkan

gejala/komplikasi yang mengganggu. Kata mengganggu menunjukkan bahwa penyakit ini memiliki pengaruh cukup besar terhadap kualitas hidup penderita.7 Definisi lainnya GERD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung dan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam esofagus dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang disertai nyeri dan pedih), serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam yang pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan odinofagia.8

2.2. Epidemiologi Prevalensi GERD memiliki jumlah yang cukup banyak dan terus bertambah seiring dengan berkembangnya negara industri. 20-40% penduduk di daerah barat dilaporkan memiliki gejala heartburn dan regurgitasi yang kronis. Lebih dari 9 juta kunjungan ke dokter berkaitan dengan GERD dan merupakan diagnosis tersering di bagian gastro-enterologi.9,10 GERD juga berkaitan dengan penurunan kinerja seseorang, gangguan keuangan berkaitan dengan biaya pengobatan dan kehadiran di tempat kerja.11 Epidemiologi GERD di Amerika menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgitasi asam minimal sekali dalam seminggu dan lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekurangkurang sekali dalam sebulan.11 Sementara itu mengenai data di daerah Asia, berdasakan population based study yang dilakukan di Asia prevalensi pada bagian Asia Barat merupakan yang tertinggi dibandingkan regio Asia lainnya. Negara dengan prevalensi tertinggi sebesar 20% adalah Turki. Selanjutnya diikuti dengan prevalensi sebesar 12,4% di Taiwan dan 10,5% di Singapura.12

2.3. Faktor Resiko 4

1. Kelainan motorik LES LES memiliki pernan sebagai katup yang mencegah asam lambung naik ke esofagus. Peranan ini juga didukung oleh struktur anatomis lainnya seperti gastric sling, dan crura diafragma. Normalnya mekanisme sfingter esofagus saat beristirahat menyebabkan terjadi tekanan yang lebih tinggi (15-30 mmHg) daripada tekanan gaster. Akibatnya isi gaster tidak dapat naik ke esofagus. Pada beberapa pasien dengan LES <6 mmHg saat tekanan gaster melebihi tekanan tersebut terjadi refluks. Mekanisme lainnya adalah terjadi relaksasi LES spontan setiap beberapa waktu (Transient Lower Esophageal Sphincer Refluks). Terjadinya distensi gaster akibat stimulasi tekanan gaster proksimal dan reseptor regang diperkirakan menjadi hal yang mendasari TLESr. TLESr juga dirangsang oleh hal-hal seperti hormon endogen seperti kolosistokinin dan progesteron, obat-obatan (calcium channel blocker, nitrat, trisiklik, obat antidepresan, antikolinergik), makanan (lemak, coklat), kebiasaan (rokok, kopi). 2. Faktor anatomis: hiatal hernia Hiatal hernia menyebabkan gangguan pada sfingter gastro-esofageal karena terjadi dislokasi bagian proksimal gaster hingga ke rongga dada sehingga crura diafragma terpisah dari LES. 3. Pengosongan asam lambung Pengosongan asam lambung yang lambat berkontribusi dalam menyebabkan GERD pada sejumlah pasien. Khusunya pasien yang tidak berespon dengan pengobatan PPI. 4. Obesitas Berperan sebagai faktor independen dalam terjadinya GERD. Mekanisme yang mendasari terjadinya GERD pada obesitas yaitu penngkatan tekanan abdomen, melambatnya pengosongan lambung, peningkatan frekuensi TLESr 2.4. Etiologi Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance 5

esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD. Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 13: 1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier) Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES. 2. Mekanisme pembersihan esofagus Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut. 3. Daya perusak bahan refluks 6

Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD. 4. Isi lambung dan pengosongannya Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila13: 1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus 2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.

2.5. Patofisiologi Penyakit GERD bersifat multifactorial GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks. Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).13 Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan 7

lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.13 Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring. Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.13 1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat, 2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan, 3. Meningkatnya tekanan intraabdomen. Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :13 1. Adanya hiatus hernia 2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya. 3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain. 4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron menurunkan tonus SEB 8

yang dapat

5. Makanan berlemak dan alkohol. Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung.

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB.

Bersihan asam dari lumen esofagus Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD 9

memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif4

Ketahanan Epitelial Esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk melindungi mukosa esofagus Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari : 1. Membran sel 2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus. 3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas. Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.13 Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang.

10

Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks.13

Peran Sfingter Atas Esofagus SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.13

Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut antara lain adalah kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru. Mekanisme kedua adalah pajanan esofagus distal

11

akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring

2.6. Diagnosis Pada melakukan diagnosis pada umumnya, dimulai dengan anamnesis riwayat pasien. Pasien dengan GERD akan memiliki sedikit, jika ada pun kelainan dari pemeriksaan fisik, sehingga anamnesis sangat esensial dalam menegakkan diagnosis. Gejala klasik antara lain adalah; nyeri pada ulu hati yang dijelaskan sebagai sensasi terbakar, rasa asam atau pahit dimulut, dan regurgitasi asam, dapat mengidentifikasi GERD dengan sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%. Namun sebanyak 1/3 pasien GERD tidak akan menunjukkan gejala klasik ini, dan frekuensi, durasi maupun beratnya gejala memberikan gambar yang serupa pada pasien dengan derajat esophagitis yang berbeda, dan juga pada pasien dengan Barrett’s esophagus, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis komplikasi dari GERD. Jones R. et al (2009) telah membentuk skoring diagnostik untuk GERD dalam bentuk kuesioner (gatroesophageal reflux disease questionnaire atau GerdQ) berdasarkan data dari pasien dengan gejala GERD primer yang meliputi; nyeri seperti terbakar pada ulu hati, rasa panas pada perut atau heartburn, regurgitasi dari lambung, mual, gangguan tidur malam akibat regurgitasi, dan keperluan obat dari apotik (over the counter medicine) untuk gejala GERD. Data dinilai dengan frekuensi dalam seminggu, dan dinilai dari 0-2 poin: 0% kemungkinan menderita GERD, 3-7 poin: 50% kemungkinan menderita GERD, 8-10 poin: 79% kemungkinan menderita GERD, dan 11-18 poin: 89% kemungkinan menderita GERD. Penelitian oleh Bai Y. et al (2013) di Tiongkok menyarankan bahwa esofagitis akibat refluks asam lambung meningkat bersamaan dengan tingginya nilai dari GerdQ, sehingga GerdQ dapat digunakan untuk diagnosis GERD. Namun, nilai GerdQ yang rendah tetap tidak dapat mengeksklusikan kemungkinan dari GERD. 14

12

Data validitas evidence-based masih terbatas untuk mengetahui gold standard modalitas diagnosis GERD, namun terdapat beberapa kerangka diagnosis untuk membantu penegakkan diagnosis. Menggabungkan modalitas diagnosis dapat meningkatkan sensitivitas diagnosis hingga hampir mencapai 100%, yang terdiri dari; PPI challenge test, pemantauan pH selama 24 jam dan endoskopi, namun pendekatan diagnosis ini tidak selalu praktis dalam pelayanan klinik pada umumnya.

13

Modalitas diagnostik tidak dapat mengeksklusikan GERD walaupun hasilnya negatif, sehingga percobaan empiris dengan pengobatan anti-sekretori (H2RA atau PPI) adalah cara tercepat untuk mendiagnosis pasien GERD dengan gejala klasik tanpa komplikasi. Percobaan perlu dilakukan selama 2 minggu, dimulai dengan dosis standar antara H2RA dua kali sehari, atau dengan PPI 30-60 menit sebelum makan pagi, dan berakhir dengan perbaikan gejala. Dosis awal dapat ditentukan menurut derajat keparahan gejala pasien. Jika gejala tidak membaik, dan percobaan dimulai dengan H2RA, dapat digantikan dengan PPI setiap hari, namun jika dimulai dengan PPI, peningkatan dosis PPI hingga maksimal per harinya atau dua kali sehari (30-60 menit sebelum makan pagi dan makan malam) dapat dianjurkan. Jika tetap tidak ada respon dengan dosis maksimal, percobaan dapat dilanjutkan hingga delapan minggu, namun jika gejala membaik, terapi dapat dijalani selama 8-12 minggu dan dilanjutkan dengan tapering down selama 1 bulan hingga dosis terendah atau hanya jika diperlukan. Jika gejala tidak membaik selama 2 bulan, pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan. Respon baik dari gejala GERD dengan PPI jangka pendek (satu kali sehari selama 2 minggu) dapat mendukung diagnosis jika terdapat gejala nyeri dada nonkardiak, 14

dengan omeprazole dosis tinggi (40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada malam hari) memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 85%, sedangkan dosis standard memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah. Ambulatory acid probe test dapat menilai jumlah asam yang terdapat pada esofagus selama 24 jam. Alat ini dapat mengidentifikasi kapan dan berapa lama asam lambung regurgitasi kepada esofagus. Monitor dapat berbentuk selang tipis dan fleksibel (kateter) yang dimasukan melalui hidung hingga ke esofagus, namun juga terdapat monitor yang dapat ditempatkan langsung pada esofagus ketika dilakukan endoskopi, yang nantinya akan keluar dengan proses digestif tubuh. Pengobatan medikamentosa dapat dihentikan selama pemeriksaan. Endoskopi digunakan untuk mencari kerusakan mukosa, striktur esofagus, Barrett’s esophagus atau keganasan pada esofagus. Endoskopi dilakukan dengan memasukan endoscope dari tenggorokan, dan dalam proses endoskopi dapat juga dilakukan pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan biopsi. Eosinophilic esophagitis dapat didiagnosis dengan perubahan histologist dari mukosa dan biopsi (setidaknya 5 pada daerah proksimal dan distal esofagus). Kerusakan mucosa didapatkan kurang dari 50% dari pasien dengan gejala GERD, sehingga sensitivitas dibawah 50%, namun spesifisitas 95%. Endoskopi perlu dilakukan bagi pasien yang tidak merespon terhadap pemberian PPI dua kali sehari, dan merupakan indikasi untuk mendeteksi Barrett’s esophagus dan eosinophilic esophagitis. Biopsi pada daerah nodular perlu dilakukan jika terlihat gambaran Barrett’s esophagus atau jika dicurigai eosinophilic esophagitis. Pemeriksaan manometri dapat menilai motilitas dan tekanan pada esofagus. Pemeriksaan ini meliputi penempatan selang plastic yang fleksibel dari hidung ke esofagus hingga gaster. Pemeriksaan akan menghitung tekanan dan motilitas ketika istirahat dan ketika menelan air. Pemeriksaan manometri merupakan lini kedua untuk diagnosis GERD dan bukan merupakan sebuah indikasi, namun manometri dapat mendeteksi achalasia, spastik achalasia, atau distal esophageal spasm, yang penting jika pasien akan menjalani operasi antireflux. Pemeriksaan lainnya untuk GERD antara lain adalah; esophageal acid perfusion testing (Bernstein testing), esophageal sensory testing, dan barium esophagram, namun bukan merupakan indikasi untuk diagnosis GERD.14-17

2.7. Tatalaksana 15

Pada melakukan diagnosis pada umumnya, dimulai dengan anamnesis riwayat pasien. Pasien dengan GERD akan memiliki sedikit, jika ada pun kelainan dari pemeriksaan fisik, sehingga anamnesis sangat esensial dalam menegakkan diagnosis. Gejala klasik antara lain adalah; nyeri pada ulu hati yang dijelaskan sebagai sensasi terbakar, rasa asam atau pahit dimulut, dan regurgitasi asam, dapat mengidentifikasi GERD dengan sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%. Namun sebanyak 1/3 pasien GERD tidak akan menunjukkan gejala klasik ini, dan frekuensi, durasi maupun beratnya gejala memberikan gambar yang serupa pada pasien dengan derajat esophagitis yang berbeda, dan juga pada pasien dengan Barrett’s esophagus, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis komplikasi dari GERD. Jones R. et al (2009) telah membentuk skoring diagnostik untuk GERD dalam bentuk kuesioner (gatroesophageal reflux disease questionnaire atau GerdQ) berdasarkan data dari pasien dengan gejala GERD primer yang meliputi; nyeri seperti terbakar pada ulu hati, rasa panas pada perut atau heartburn, regurgitasi dari lambung, mual, gangguan tidur malam akibat regurgitasi, dan keperluan obat dari apotik (over the counter medicine) untuk gejala GERD. Data dinilai dengan frekuensi dalam seminggu, dan dinilai dari 0-2 poin: 0% kemungkinan menderita GERD, 3-7 poin: 50% kemungkinan menderita GERD, 8-10 poin: 79% kemungkinan menderita GERD, dan 11-18 poin: 89% kemungkinan menderita GERD. Penelitian oleh Bai Y. et al (2013) di Tiongkok menyarankan bahwa esofagitis akibat refluks asam lambung meningkat bersamaan dengan tingginya nilai dari GerdQ, sehingga GerdQ dapat digunakan untuk diagnosis GERD. Namun, nilai GerdQ yang rendah tetap tidak dapat mengeksklusikan kemungkinan dari GERD.

16

Data validitas evidence-based masih terbatas untuk mengetahui gold standard modalitas diagnosis GERD, namun terdapat beberapa kerangka diagnosis untuk membantu penegakkan diagnosis. Menggabungkan modalitas diagnosis dapat meningkatkan sensitivitas diagnosis hingga hampir mencapai 100%, yang terdiri dari; PPI challenge test, pemantauan pH selama 24 jam dan endoskopi, namun pendekatan diagnosis ini tidak selalu praktis dalam pelayanan klinik pada umumnya.

17

Modalitas diagnostik tidak dapat mengeksklusikan GERD walaupun hasilnya negatif, sehingga percobaan empiris dengan pengobatan anti-sekretori (H2RA atau PPI) adalah cara tercepat untuk mendiagnosis pasien GERD dengan gejala klasik tanpa komplikasi. Percobaan perlu dilakukan selama 2 minggu, dimulai dengan dosis standar antara H2RA dua kali sehari, atau dengan PPI 30-60 menit sebelum makan pagi, dan berakhir dengan perbaikan gejala. Dosis awal dapat ditentukan menurut derajat keparahan gejala pasien. Jika gejala tidak membaik, dan percobaan dimulai dengan H2RA, dapat digantikan dengan PPI setiap hari, namun jika dimulai dengan PPI, peningkatan dosis PPI hingga maksimal per harinya atau dua kali sehari (30-60 menit sebelum makan pagi dan makan malam) dapat dianjurkan. Jika tetap tidak ada respon dengan dosis maksimal, percobaan dapat dilanjutkan hingga delapan minggu, namun jika gejala membaik, terapi dapat dijalani selama 8-12 minggu dan dilanjutkan dengan tapering down selama 1 bulan hingga dosis terendah atau hanya jika diperlukan. Jika gejala tidak membaik selama 2 bulan, pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan. Respon baik dari gejala GERD dengan PPI jangka pendek (satu kali sehari selama 2 minggu) dapat mendukung diagnosis jika terdapat gejala nyeri dada nonkardiak, 18

dengan omeprazole dosis tinggi (40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada malam hari) memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 85%, sedangkan dosis standard memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah. Ambulatory acid probe test dapat menilai jumlah asam yang terdapat pada esofagus selama 24 jam. Alat ini dapat mengidentifikasi kapan dan berapa lama asam lambung regurgitasi kepada esofagus. Monitor dapat berbentuk selang tipis dan fleksibel (kateter) yang dimasukan melalui hidung hingga ke esofagus, namun juga terdapat monitor yang dapat ditempatkan langsung pada esofagus ketika dilakukan endoskopi, yang nantinya akan keluar dengan proses digestif tubuh. Pengobatan medikamentosa dapat dihentikan selama pemeriksaan. Endoskopi digunakan untuk mencari kerusakan mukosa, striktur esofagus, Barrett’s esophagus atau keganasan pada esofagus. Endoskopi dilakukan dengan memasukan endoscope dari tenggorokan, dan dalam proses endoskopi dapat juga dilakukan pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan biopsi. Eosinophilic esophagitis dapat didiagnosis dengan perubahan histologist dari mukosa dan biopsi (setidaknya 5 pada daerah proksimal dan distal esofagus). Kerusakan mucosa didapatkan kurang dari 50% dari pasien dengan gejala GERD, sehingga sensitivitas dibawah 50%, namun spesifisitas 95%. Endoskopi perlu dilakukan bagi pasien yang tidak merespon terhadap pemberian PPI dua kali sehari, dan merupakan indikasi untuk mendeteksi Barrett’s esophagus dan eosinophilic esophagitis. Biopsi pada daerah nodular perlu dilakukan jika terlihat gambaran Barrett’s esophagus atau jika dicurigai eosinophilic esophagitis. Pemeriksaan manometri dapat menilai motilitas dan tekanan pada esofagus. Pemeriksaan ini meliputi penempatan selang plastic yang fleksibel dari hidung ke esofagus hingga gaster. Pemeriksaan akan menghitung tekanan dan motilitas ketika istirahat dan ketika menelan air. Pemeriksaan manometri merupakan lini kedua untuk diagnosis GERD dan bukan merupakan sebuah indikasi, namun manometri dapat mendeteksi achalasia, spastik achalasia, atau distal esophageal spasm, yang penting jika pasien akan menjalani operasi antireflux. Pemeriksaan lainnya untuk GERD antara lain adalah; esophageal acid perfusion testing (Bernstein testing), esophageal sensory testing, dan barium esophagram, namun bukan merupakan indikasi untuk diagnosis GERD.14-17

19

2.7. Diagnosis Banding Pada umumnya, tanda dan gejala klinis dari GERD cukup karakteristik. Namun perlu dibedakan dengan penyebab nyeri ulu hati lainnya, seperti esofagitis karena infeksi, esofagitis akibat obat, atau esofagitis eosinofilik, ulkus peptikum, sindroma dyspepsia, kolik bilier, penyakit jantung koroner, dan kelainan motilitas esofagus.Penyakit jantung koroner perlu dibedakan segera dari GERD, karena penyakit jantung koroner dapat berisiko mematikan. Diagnosis banding lainnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan endoskopi, upper gastrointestinal series (rontgen traktus gastrointestinal atas), atau dengan manometri esofageal. Pada pemeriksaan endoskopi GERD, didapatkan adanya esofagitis karena erosi pada esophagogastric junction. Untuk membedakan etiologi esofagitis dapat dilakukan dengan endoskopi, namun biopsi mukosa dapat membantu mengevaluasi inflamasi karena infeksi atau eosinofilik.14

Endoskopi esofagitis erosif Pada endoskopi ulkus peptikum pada esofagitis, didapatkan ulkus soliter pada bagian distal. Sedangkan pada ulkus infeksius terdapat punktata dan ulkus difus.14 Esofagitis eosinofilik (EoE) didiagnosis berdasarkan kombinasi dari gejala tipikal pada esofagus dan biopsi mukosa esofagus. Pada biopsinya didapatkan inflamasi epitel skuamosa dengan banyak eosinofil. Etiologi dari EoE adalah hipersensitivitas terhadap obat, kelainan jaringan ikat, sindroma hipereosinofilik, Chron’s disease, kelainan yang diinduksi oleh sensitisasi 20

antigen. Perlu dipikirkan terjadinya EoE pada dewasa atau anak dengan disfagia dan impaksi makanan pada esofagus. Pada preadolesen, gejala yang timbul dapat berupa nyeri dada atau abdomen, mual, muntah dan aversi makanan. Gejala lainnya pada dewasa dapat berupa nyeri dada atipikal dan rasa terbakar pada dada. Pada sebagian besar pasien didapatkan adanya riwayat atopik, seperti alergi makanan, asma, dermatitis atau rhinitis alergi. Pada endoskopi ditemukan hilangnya batas vascular karena edema, cincin esofageal multiple, dengan sulcus linear, punktata eksudat putih, dan terdapat striktur. Histopatologi dari EoE berupa gambaran infiltrasi epitel skuamosa esofagus dengan eosinofil, terdapat juga gambaran hyperplasia sel basal dan fibrosis pada lamina propria.14

Histopatologi EOE

Endoskopi EOE

Esofagitis karena obat timbul saat pil yang diminum gagal untuk melewati seluruh esofagus dan tertanam diantara lumen esofagus. Hal ini dapat terjadi jika mengkonsumsi pil/tablet dengan air yang kurang atau langsung tiduran setelah minum pil. Area yang sangat sering didapati kelainan tersebut adalah mid-esofagus dekat persimpangan carina atau aorta. Gejala tipikal dari esofagitis karena obat adalah nyeri dada akut dan odinofagia. Nyeri dada akan terjadi dalam waktu beberapa jam atau membuat terbangun saat tidur. Ulserasi esofagus karena obat biasanya singular dan dalam pada area lumen yang sempit, terutama didekat carina. Pada pemeriksaan CT scan thorax didapatkan adanya penebalan esofagus yang konsisten dengan inflamasi transmural. Pada 21

umumnya, kondisi ini akan membaik dalam waktu beberapa hari sampai minggu, tetapi gejala masih dapat terjadi sampai beberapa bulan kemudian dan dapat terbentuk striktur pada kasus yang berat.14

2.8. Komplikasi Komplikasi pada GERD berhubungan dengan terjadinya esofagitis kronis (perdarahan dan striktur) dan adenokarsinoma esofagus.14 Esofagitis atau kerusakan mukosa esofagus adalah komplikasi yang paling sering terjadi. Esofagitis terjadi pada kurang lebih 50% pasien GERD. Esofagitis dapat didiagnosis dengan endoskopi, tetapi tidak semua esophagitis dapat dilihat dengan endoskopi. Derajat esophagitis dapan ditentukan dengan klasifikasi dari Savary-Miller. Berikut klasifikasinya :17 

Grade 1: erosi singel/multipel pada 1 lipatan



Grade 2: erosi multiple pada beberapa lipatan, erosi bisa berkonfluens.



Grade 3: erosi sirkumferensial atau bulat multiple



Grade 4: ulkus, stenosis atau pemendekkan esofagus



Grade 5: epitel Barret. Metaplasia kolumnar terlihat mikroskopik dalam bentuekstensi sirkular atau nonsirkular

Gambar peptic esophagitis dan refluks. Striktur merupakan bentuk lebih lanjut dari esophagitis dan disebabkan karena adanya fibrosis sirkumferensial karena kerusakan dalam yang kronis. 22

Striktur dapat menyebabkan terjadi disfagia dan esofagus memendek. Pada refluks gastroesofageal, striktur biasa terjadi di mid sampai distal esofagus dan dapat dilihat dengan endoskopi. Pasien dengan striktur esofageal merupakan indikasi untuk terapi surgikal. Pasien dengan disfagia merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan esofagografi dengan barium untuk mengevaluasi kemungkinan terbentuknya striktur.17 Komplikasi histologis paling berat dari GERD adalah terjadi metaplasia Barret yang beresiko berprogresi menjadi adenokarsinoma. Secara endoskopik pada metaplasia Barret didapatkan gambaran lidah pada mukosa berwarna merah salmon pada proksimal dari gastroesophageal junction. Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan metaplasia epitel kolumnar. Oleh karena metaplasia Barret beresiko progresi menjadi adenokarsinoma, jika ditemukan adanya mukosa yang ireguler penting untuk diinspeksi lebih teliti dan dibiopsi seluas mungkin.14

Gambar Endoskopi Barret Esophagus tanpa dan dengan adenocarcinoma

23

2.9. Prognosis Kebanyakan pasien dapat membaik dengan medikasi, namun sering berulang setelah berhenti mengkonsumsi obat. Hal ini menjadi indikasi untuk long-term maintenance therapy. Sangat penting untuk mengidentifikasi dan memberikan tatalaksana yang agresif pada pasien dengan GERD yang lebih beresiko memiliki komplikasi serius. Pada pasien dengan resiko tinggi menjadi komplikasi berat operasi lebih dini akan membuat prognosis pasien lebih baik pada kurang lebih 92% pasien.17 Pada penelitian LOTUS, yang dilakukan 5 tahun dengan exploratory randomized, open, parallel-group trial, ditemukan dengan terapi antirefluks dengan obat supresi asam atau dengan operasi laparoskopik untuk GERD, kebanyakan pasien mengalami perbaikan gejala dan tidak timbul perburukan selama 5 tahun. GERD pada bayi dapat berespon baik dengan terapi nonfarmakologik. Sebagian besar (80%) akan hilang pada usia 18 bulan. Beberapa pasien memerlukan medikasi untuk mengurangi asam dan hanya sebagian kecil yang memerlukan operasi. Refluks gastroesofageal yang berlanjut setelah 18 bulan merupakan suatu kondisi kronis dan jika terus berlanjut hingga usia anak-anak membutuhkan terapi jangka panjang denan obat antisekretorik. Kasus-kasus refraktor atau dengan komplikasi (striktur, aspirasi, Barret esofagus), dibutuhkan terapi surgical (funduplikasi) untuk prognosis yang lebih baik. Morbiditas dan mortalitas operasi lebih tinggi pada pasien dengan problem medis yang lebih kompleks yang memperberat refluks esofagealnya.17

24

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan GERD didefinisikan sebagai gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus yang menyebabkan gejala/komplikasi yang mengganggu. Penyebabnya terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Diagnosis GERD sebagian besar dapat ditegakkan melalui anamnesis dan menggunakan GERD-Q. Komplikasi GERD antara lain adalah esofagitis kronis (perdarahan dan striktur) dan adenokarsinoma esophagus. Prognosis GERD pada umumnya kebanyakan membaik dengan medikasi, namun sering berulang setelah berhenti mengkonsumsi obat.

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta 2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005 3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available : http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf 4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749. 6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014 7. Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the management of gastroesophageal reflux disease: update. Gastroenterol Hepatol 2008;23:822. 8. Martinez-Serna T, Tercero F, Jr., Filipi CJ, et al. Symptom priority ranking in the care of gastroesophageal reflux: a review of 1,850 cases. Dig Dis 1999;17:219-24 9. El-Serag HB. Time trends of gastroesophageal reflux disease: a systematic review. Clin Gastroenterol Hepatol. 2007;5:17–26. 10. Fedorak RN, Veldhuyzen van Zanten S, Bridges R. Canadian Digestive Health Foundation public impact series: gastroesophageal reflux disease in Canada: incidence, prevalence, and direct and indirect economic impact. Can J Gastroenterol. 2010;24:431–434. 11. Peery AF, Dellon ES, Lund J, et al. Burden of gastrointestinal disease in the United States: 2012 update. Gastroenterology. 2012;143:1179e1-3–1187e1-3. 12. Jung Hye-Kyung. Epidemiology of Gastro-Esophageal Reflux in Asia: A Systematic Review. J Neurogastroenterol Motil. 2011 Jan; 17(1): 14–27. 13. Karamanolis Goeege, et al. Risk factors for gastroesophageal reflux disease and analysis of genetic contributors. World J Clin Cases. 2018 Aug 16; 6(8): 176–182 26

14. Heidelbaugh JJ, Harrison RV, et al. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). UMHS

GERD

Guideline,

September,

2013.

[Internet]

https://www.med.umich.edu/1info/FHP/practiceguides/gerd/gerd.12.pdf 15. Jones R, Coyne K, Wiklund I. The gastro-oesophageal reflux disease impact scale: a patient management tool for primary care. Aliment Pharmacol Ther. 2007;25(12):1451–1459. 16. Rubin G, Uebel P, Brimo-Hayek A, Hey KH, Doerfler H, Heading RC. Validation of a brief symptom questionnaire (ReQuest in Practice) for patients with

gastro-oesophageal

reflux

disease. Aliment

Pharmacol

Ther.

2008;27(9):846–851. 17. Bai Y., Du Y., et al. Gastroesophageal Reflux Disease Questionnaire (GerdQ) in real-world practice: a national multicenter survey on 8065 patients. J Gastroenterol Hepatol. 2013 Apr;28(4):626-31. doi: 10.1111/jgh.12125.

27

More Documents from "Vincentius"

Gerdddd.docx
April 2020 7
Aa.docx
April 2020 9
Hiv Epid.docx
April 2020 12
Seni Rupa.docx
December 2019 11