PENGELOMPOKAN PULAU KECIL DAN EKOSISTEMNYA BERBASIS GEOMORFOLOGI DI INDONESIA
WIKANTI ASRININGRUM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya Berbasis Geomorfologi di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Maret 2009
Wikanti Asriningrum NRP C 561030224
ABSTRACT WIKANTI ASRININGRUM. Geomorphological Based Small Island and Its Ecosystems Classification in Indonesia. Under the direction of BUDY WIRYAWAN, DOMU SIMBOLON, IWAN GUNAWAN, and DANIEL R. MONINTJA. Fishing in Indonesia remains as open access. As the largest archipelagic country in the world mostly comprising of small islands, Indonesia’s big shallow water area around small islands has an important role as fishing ground area ecosystem, thus need bordering to control access of fishery. Small islands and its marine ecosystems have high variety of biogeophysical characteristic which made it difficult to obtain information from. The use of satellite imagery to identify small island and marine ecosystem is still constrained by the availability of the proper image processing technique for the variety of characteristics. This research aims at selecting remote sensing data processing techniques in order to analyze the geomorphology of small islands and its marine ecosystems, classifying island type, designing identification of marine ecosystem and also designing small islands classification based on geomorphological characteristics for fishery planning. Study areas selected at small islands of Kota Batam, Kabupaten Sikka, and Kabupaten Sitaro. Several islands are selected to represent tectonic, volcanic, and reef type and to represent the main marine ecosystems such as mangrove, coral reef and sea grass. Landsat, SPOT and QuickBird images, along with Geological map, Topographic map, Navigation map and field survey are used to find out geomorphologic data of small islands. Steps on image processing composed of multispectral fusion, enhancement and multispatial fusion techniques. Small islands geomorphological analysis method consists of morphology, morphogenesis, morphochronology, and morphoarrangement aspects which are conducted by landforms identification by landscape approach. Correlation between small island and shore fishery is analyzed by the number of fish species on seven locations with 3 and 10 meters depth using diversity, uniformity, and dominancy indexes. The first result shows three remote sensing data processing procedures for three types of island (tectonic, volcanic, and reef) and three for three marine ecosystems (mangrove, coral reef, and sea grass). Those six procedures use mustispectral fusion, enhancement and certain characteristics where multispatial function only used on small island. The second research result is morphogenesisbased small island type classification to ten island classes: fold tectonic, fault tectonic, intrusive volcanic, extrusive volcanic, stack, monadnock, hummock, alluvial, reef, and atoll. Each class is completed along with differentiated morphography for hills and low lands to illustrate ecosystem potential. The third research result is island type-based identification of marine ecosystem through visual and digital interpretation. Here, biogeophysical characteristic of small island and its ecosystem has been proven to be correlated with shore fishery. The fourth research result is classification of small island, designed through two phases, applicative phase and explorative phase. In applicative phase, small islands are classified into small island and group of small islands based on 12 miles radius. Further classification through explorative phase is needed if the radius factor is not sufficient to classify. Based on geobiophysical characteristics, small islands and its ecosystem will be classified into three categories: small islands, group of small islands and small island, and small islands. Keywords: small island, marine ecosystem, geomorphology, island type, landforms, remote sensing, classification and identification.
RINGKASAN WIKANTI ASRININGRUM. Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya Berbasis Geomorfologi di Indonesia. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, DOMU SIMBOLON, IWAN GUNAWAN, dan DANIEL MONINTJA. Penangkapan ikan yang bersifat akses terbuka masih terjadi di Indonesia yang mempunyai 75% wilayah lautan. Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia, sebagian besar terdiri atas pulau-pulau kecil, tentu mempunyai wilayah perairan laut dangkal relatif luas. Korelasi antara pulau kecil dan ekosistemnya terjadi proses alam yang berpengaruh pada daerah penangkapan ikan. Oleh karena itu, peranan pulau kecil dan ekosistemnya mempunyai arti penting untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Pulau-pulau kecil terbentuk terkait dengan proses pergerakan lempeng tektonik dan aktivitas magmatik yang terus berlangsung. Di wilayah tropis dinamika ini membangun suatu ekosistem laut yang khas. Hal ini menyebabkan keunikan pulau-pulau kecil dan ekosistemnya menjadi sangat beragam. Keunikan ini dipahami untuk bahan perencanaan pengelolaan sumberdaya yang dikandungnya. Namun, informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya masih menemui hambatan karena jumlahnya banyak dan distribusinya menyebar. Teknik penginderaan jauh satelit dapat dimanfaatkan untuk identifikasi pulau kecil karena kriteria sebuah pulau adalah tidak tenggelam saat pasang tertinggi. Dalam hal ini timbul permasalahan dalam perolehan informasi karakteristik biogeofisik antara lain disebabkan oleh teknik pengolahan citra satelit untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya belum terseleksi. Permasalahan lain adalah klasifikasi tipe pulau kecil belum mencerminkan karakternya dan identifikasi pulau kecil dan ekosistemnya belum tepat. Beberapa permasalahan tersebut menyebabkan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis karakteristik biogeofisik belum bisa dibangun. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi teknik pengolahan data penginderaan jauh satelit untuk analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya; serta menyusun klasifikasi tipe pulau kecil. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendesain identifikasi ekosistem laut dan mendesain pengelompokan pulau-pulau kecil berbasis geomorfologi untuk perencanaan perikanan. Daerah penelitian dipilih yang mempunyai banyak pulau kecil dan dapat mewakili tiga tipe pulau dan ekosistem laut utama. Dalam hal ini, Kota Batam, Kepulauan Riau dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe tektonik dengan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu dengan ekosistem terumbu karang. Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe vulkanik dengan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Model pulau-pulau kecil diseleksi berdasarkan tipe pulau, kelengkapan data, variasi proses geomorfologis, dan keragaman ekosistem laut. Citra Landsat, citra SPOT, dan citra QuickBird; serta Peta Geologi, Peta Rupa Bumi Indonesia, dan Peta Pelayaran digunakan untuk mendapatkan data geomorfologi model pulau-pulau kecil yang dikumpulkan di laboratorium. Selain itu, data lapangan juga dikumpulkan melalui tahap pra survei dan survei untuk mencapai verifikasi dan validasi yang ditempuh menurut unit lahan. Pengumpulan data ikan dilakukan pada kedalaman perairan laut 3 m dan 10 m. Stasiun
pengambilan sampel ikan dipilih di tiga tipe pulau kecil pada perairan yang berhadapan dengan berbagai karakteristik biogeofisik lahan. Pengolahan data citra meliputi fusi multispektral, penajaman, dan fusi multispasial yang diseleksi untuk setiap tipe pulau kecil dan ekosistem laut. Metode analisis geomorfologi meliputi aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfo-arrangement yang dilakukan secara visual. Analisis ini digunakan untuk identifikasi tipe pulau, bentuklahan pulau kecil, dan bentuklahan terumbu yang dilakukan dengan pendekatan bentanglahan. Sementara itu, metode analisis kerapatan mangrove menggunakan algoritma Normalized Difference Vegetation Index, sedangkan metode klasifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan algoritma Lyzengga. Uji verifikasi hasil identifikasi karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal dari analisis geomorfologi daratan ditempuh melalui analisis perikanan pantai. Analisis ini meliputi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. Hasil penelitian pertama diperoleh tiga prosedur pengolahan citra untuk pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu, serta tiga prosedur pengolahan citra untuk ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Pulau kecil tipe tektonik menggunakan fusi mutispektral 234 dan 345, penajaman autoclip dan high pass sharpen 2, yang dicirikan oleh bentuk beragam. Pulau kecil tipe vulkanik menggunakan fusi mutispektral 245, penajaman autoclip, levelslice, dan equalizer; serta lowpass average 3x3, lowpass diagonal, dan high pass sharpen 2, yang dicirikan oleh bentuk melingkar di samudra. Pulau kecil tipe terumbu menggunakan fusi mutispektral 257 dan 235, penajaman autoclip dan high pass sharpen 2, yang dicirikan oleh bentuk beragam dan warna cerah. Prosedur pada ketiga tipe pulau kecil ini menggunakan fusi multispasial. Mangrove menggunakan komposit RGB 543 dan dicirikan oleh warna merah bata di pesisir. Terumbu karang menggunakan komposit RGB 421 dan dicirikan oleh warna biru terang/kehijauan. Lamun menggunakan komposit RGB 421 dan dicirikan oleh warna kecoklatan di tempat terlindung. Ketiga ekosistem ini menggunakan penajaman autoclip dan high pass sharpen 2. Pulau-pulau kecil terbentuk melalui proses geomorfik berbeda. Untuk itu klasifikasi tipe pulau kecil disusun menurut morfogenesisnya. Hasil kedua diperoleh klasifikasi tipe pulau kecil menjadi sepuluh kelas yaitu tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock, hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Setiap tipe pulau kecil ditambahkan informasi morfografi yang dibedakan antara berbukit dan datar. Pertumbuhan ekosistem laut terkait dengan pulau kecilnya, sehingga identifikasinya didesain berbasis tipe pulau kecil. Di samping itu, hasil analisis kondisi ikan diketahui ada kaitan erat antara karakteristik biogeofisik pulau kecil, pertumbuhan ekosistem laut, dan perikanan pantai. Hasil ketiga adalah identifikasi ekosistem laut dengan analisis secara visual dan digital yang disusun sesuai karakteristik biogeofisiknya untuk memperoleh informasi bentuklahan terumbu, karang hidup, karang mati, lamun, dan mangrove. Hasil keempat adalah pengelompokan pulau-pulau kecil yang didesain secara aplikatif dan eksploratif. Secara aplikatif pulau-pulau kecil dikelompokkan menurut jarak 12 mil dan dibedakan menjadi dua yaitu kelompok pulau kecil dan kelompok gugus-pulau kecil. Jika dengan ketentuan jarak belum memisahkan pulau kecil, maka ditempuh cara eksploratif yaitu menurut karateristik biogeofisik; dan dibedakan menjadi tiga yaitu kelompok gugus-pulau kecil, kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil. Kata kunci: pulau kecil, ekosistem laut, geomorfologi, identifikasi, tipe pulau kecil, bentuklahan, penginderaan jauh, pengelompokan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGELOMPOKAN PULAU KECIL DAN EKOSISTEMNYA BERBASIS GEOMORFOLOGI DI INDONESIA
WIKANTI ASRININGRUM
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya Berbasis Geomorfologi di Indonesia
Nama Mahasiswa :
Wikanti Asriningrum
Nomor Pokok
:
C561030224
Program Studi
:
Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Anggota
Dr. Ir. Iwan Gunawan, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Daniel R. Monintja Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian: 4 Maret 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 November 1959 dari ayah Nindyo Putranto (alm.) dan ibu Sulastri. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta lulus Tahun 1986. Tahun 1992 lulus dari Diploma Post Graduate program Monitoring the Indonesian Environment di ITC, The Netherlands. Tahun 2002 lulus Magister Sain bidang Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tahun 2003 melanjutkan
ke
program
doktor
pada
Sekolah
Pascasarjana
IPB,
penyelenggaraan khusus, Program Studi Teknologi Kelautan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak tahun 1987 di Jakarta. Penulis sebagai Peneliti Madya di bidang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan sebagai pengajar di beberapa training di antaranya di LAPAN, BPPT, dan BAKOSURTANAL pada Diklat Technical Cooperation among Developing Country (TCDC) tahun 2001-2005. Beberapa karya tulis dari penulis telah diterbitkan dan dipresentasikan di antaranya
Pemodelan
Klasifikasi
Terumbu
Berbasis
Geomorfologi
dan
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang pada Buletin PSP Volume XVI No. 3 Desember 2008. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang dikaruniakan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi Doktor. Terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si., Bapak Dr. Ir. Iwan Gunawan, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja selaku dosen pembimbing. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, serta kepada Penguji pada Ujian Tertutup, yakni Bapak Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. maupun kepada Penguji pada Ujian Terbuka, yakni Bapak Ir. Mahdi Kartasasmita, Ph.D. dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA. Penghargaan dan terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rubini Yusuf, M.Sc. (alm.) dan Bapak Dr. Ir. J. Hardanto Sunarjo, serta Kepada Kepala Instalasi Pengolahan Data, Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, dan Deputi Penginderaan Jauh LAPAN, yang telah memberikan semangat dan membantu untuk menyelesaikan program studi doktor ini. Kepada Bapak Ir. Abang Muzni selaku Kepala Dinas Perikanan Kota Batam, Bapak Ir. Mauritz T. Da Cunha selaku Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sikka, Bapak Saeda Achmad, Kepala Desa Parumaan Kabupaten Sikka, dan Bapak Kepala Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro, disampaikan terimakasih atas bantuannya selama penulis melaksanakan survei. Para sahabat di LAPAN serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian naskah disertasi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih. Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda (alm.), ibunda terkasih, serta seluruh keluarga, khususnya kepada suami tercinta Wagiran, ananda Sulistyo Unggul Wicaksono dan Kirana Nuryunita atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor,
Maret 2009
Wikanti Asriningrum
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc. 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Ir. Mahdi Kartasasmita, Ph.D 2. Dr. Boedi Tjahjono, DEA
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………..……….
xv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………..………....
xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………..……….....
xviii
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………....
xix
1
2
PENDAHULUAN ………………………………..……………………....
1
1.1
Latar Belakang………………………………………………….….
1
1.2
Perumusan Masalah …………………………………………..….
4
1.3
Tujuan dan Manfaat…………………………………………….…
8
1.4
Hipotesis …………………………………………………….……..
9
1.5
Kerangka Pemikiran..……………………………………………..
9
TINJAUAN PUSTAKA …………..……………………………...….…..
12
2.1
Pulau Kecil ……………………………………………...…….…
12
2.1.1 Definisi pulau kecil ………….............................…………
12
2.1.2 Tipe pulau.……………………………………………….…..
16
Ekosistem Laut……………..……………...………………………
19
2.2.1 Mangrove …………...........................................…………
21
2.2.2 Terumbu karang.……………….……………………….…..
23
2.2.3 Lamun..............................................................................
27
Geomorfologi ...........................................................................
30
2.3.1 Geomorfologi pulau kecil …………....................…………
32
2.3.2 Geomorfologi terumbu.……………………………….…..
34
Data Penginderaan Jauh Satelit………………………….……...
38
2.2
2.3
2.4
+
2.5
2.4.1 Landsat ETM ………….....................................…………
39
2.4.2 SPOT.…………………..……….……………………….…..
41
2.4.3 QuickBird.........................................................................
44
Model dan Pengelompokan Pulau Kecil ..................................
45
2.5.1 Model ………………..……….……………………….….....
45
2.5.2 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis ................................................................
47
xii
3
METODOLOGI ……….…………………….……………………………
49
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian …………………….………..……
49
3.1.1 Kota Batam …………........................................…………
50
3.1.2 Kabupaten Sikka.……………………………………….…..
51
3.1.3 Kabupaten Sitaro.............................................................
52
3.2
Data dan Peralatan Penelitian…………………………………...
55
3.3
Pengumpulan Data …….…………………………………………
56
3.3.1 Data pulau kecil dan ekosistem laut .……………….…..
56
3.3.2 Data perikanan pantai......................................................
58
3.3.3 Citra penginderaan jauh satelit …………..........…………
60
Pengolahan Data……...............................................................
61
3.4.1 Fusi multispektral …...……………………………………...
61
3.4.2 Penajaman ……………...…………………………………..
62
3.4.3 Fusi multispasial ……………………………………………
63
Analisis Data.............................................................................
64
3.5.1 Pulau kecil .......................................................................
64
3.5.2 Ekosistem laut .................................................................
64
3.5.3 Perikanan pantai..............................................................
67
HASIL PENELITIAN………………………………….........................
70
3.4
3.5
4
4.1
Pulau Kecil dan Ekosistemnya…………………………...………
70
4.1.1 Tipe Tektonik ……………………….……………….……...
70
4.1.1.1 Bentuklahan model pulau kecil ...........................
70
4.1.1.2 Karakteristik biogeofisik ......................................
75
4.1.1.3 Pengolahan data …………………………...…..…
76
4.1.2 Tipe Vulkanik ……………………………………...…...…...
81
4.1.2.1 Bentuklahan model pulau kecil …………….. …..
81
4.1.2.2 Karakteristik biogeofisik …………. ……………..
91
4.1.2.3 Pengolahan data ………….. …………….. …..…
92
4.1.3 Tipe Terumbu ……………………………………….……...
99
4.1.3.1 Bentuklahan model pulau kecil ……………… …
99
4.1.3.2 Karakteristik biogeofisik ………….. ....................
102
4.1.3.3 Pengolahan data ……………. …………….……..
104
4.2
Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Berbasis Geomorfologi.................
109
4.3
Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau Kecil.............
113
xiii
4.3.1 Mangrove …………...........................................…………
113
4.3.2 Terumbu karang…..........................................…………...
119
4.3.3 Lamun…………...........................................…………......
127
Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan..........................
129
4.4.1 Pulau kecil..…................…................…...................…....
129
4.4.2 Kaitan pulau kecil dengan perikanan pantai ..…..............
130
4.4.3 Pengelompokan pulau kecil berbasis geomorfologi untuk perencanaan perikanan ..….................…..............
134
5 PEMBAHASAN ....................................................................................
140
4.4
5.1
Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya.........
140
5.1.1 Pulau kecil........................................................………….
140
5.1.2 Ekosistem laut .................................................………….
143
5.2
Desain Klasifikasi Tipe Pulau Kecil...........................................
146
5.3
Desain Identifikasi Ekosistem Laut ..........................................
147
5.3.1 Pulau kecil..........................................……..............…….
147
5.3.2 Korelasi pulau kecil dan ekosistem laut ..…............…….
150
5.3.3 Identifikasi ekosistem laut berbasis tipe pulau.................
153
Desain Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan .....…….
156
6 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
158
5.4
6.1
Kesimpulan...............................................................................
158
6.2
Saran........................................................................................
160
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….............................
161
LAMPIRAN…………………………………………………….......................
168
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Klasifikasi bentuklahan asal marin………………………………..
31
2
Klasifikasi bentuklahan terumbu menurut skala.........................
36
3
Tingkat perkembangan pulau terumbu......................................
37
4
Karakteristik kanal Landsat ETM+………………………………...
40
+
5
Spesifikasi Landsat ETM ………………………………………....
41
6
Spesifikasi SPOT-5……….………………………………………..
41
7
Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT-5……….………
42
8
Data teknis satelit SPOT...……….………………………………..
43
9
Spesifikasi Quickbird......................................................................
45
10
Karakteristik kanal Quickbird..........................................................
45
11
Pengumpulan data ikan……………………………………………
59
12
Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi….
66
13
Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe tektonik .
77
14
Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe tektonik…………
78
15
Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe tektonik……...…
78
16
80
17
Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Lengkang................................................................................... Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe vulkanik.
18
Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe vulkanik..............
95
19
Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe vulkanik..............
96
20
Nilai OIF ekosistem laut dari citra QuickBird di Pulau Pasighe..
97
21
97
22
Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Pasighe...................................................................................... Rata-rata nilai digital ekosistem laut di Pulau Pasighe..............
97
23
Luas bentuklahan Pulau Pomana………………………………...
102
24
Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe terumbu.............
107
25
Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe terumbu.............
107
26
Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis ….…………...
109
27
Nilai NDVI menurut tipe pulau....................................................
118
28
Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan..
131
29
Pengolahan citra menurut tipe pulau dan ekosistem laut..........
143
30
Matriks korelasi pulau kecil dan ekosistem laut......…...………..
152
31
Klasifikasi kerapatan mangrove……………………………..……
155
xv
92
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Contoh pulau kecil dari citra Landsat.............................
2
2
7
3
Struktur permasalahan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya………………………………………………………… Diagram alir kerangka pemikiran…………………….…………….
10
4
Klasifikasi terumbu menurut Maxwell.........................................
35
5
Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis............
48
6
Citra Kota/Kabupaten Batam, Landsat RGB 543.......................
50
7
Citra Kabupaten Sikka, Landsat RGB 542.................................
53
8
Citra Kabupaten Sitaro, Landsat RGB 542 ...............................
54
9
Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan.....................................
60
10
69
11
Diagram alir pengolahan dan analisis data penginderaan jauh satelit….......................................................................................... Foto pulau-pulau kecil tipe tektonik …………………..……………
12
Peta bentuklahan Pulau Lengkang................................................
74
13
Peta kedalaman laut Pulau Lengkang dan sekitarnya.................
74
14
Citra komposit model pulau kecil tipe tektonik...............................
79
15
Foto perairan laut dangkal pulau kecil tipe vulkanik………………
83
16
Pulau vulkanik terdenudasi dengan morfologi tidak melingkar.....
83
17
Peta bentuklahan Pulau Ruang.....................................................
86
18
Peta bentuklahan Pulau Babi.........................................................
86
19
Peta bentuklahan Pulau Pasighe...................................................
89
20
Peta kedalaman laut Pulau Ruang dan sekitarnya .....................
90
21
Peta kedalaman laut Pulau Babi dan Pulau Pomana.................
90
22
Citra komposit model pulau kecil tipe vulkanik..............................
94
23
Citra Landsat hasil penajaman dan fusi multispasial.....................
94
24
Citra Pulau Pasighe........................................................................
95
25
Skematik penampang melintang Pulau Pomana..........................
101
26
Foto pulau kecil tipe terumbu di Pulau Pomana............................
101
27
Peta bentuklahan Pulau Pomana-besar........................................
103
28
Peta bentuklahan Pulau Pomana-kecil..........................................
103
29
Citra komposit Landsat dan QuickBird Pulau Pomana.................
106
30
Citra mangrove di pulau kecil tipe tektonik ……………………….
115
31
Mangrove dan non-mangrove di pulau kecil tipe vulkanik............
115
32
Scattergram ekosistem laut Pulau Pasighe kanal 1 dan 2...........
115
xvi
71
33
Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Lengkang......................
117
34
Klasifikasi NDVI di Pulau Ruang...................................................
117
35
Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Pasighe........................
117
36
Breaker zone di Pulau Ruang........................................................
122
37
Klasifikasi terumbu karang dan lamun di pulau kecil tipe tektonik
1225
38
Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi......................................
125
39
Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pasighe................................
126
40
Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pomana-besar......................
126
41
Pulau sangat kecil, Pulau Kondo, dan Pulau Gunung-sari….....
129
42
131
43
Grafik indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan............... Pengelompokan pulau kecil...........................................................
44
Gugus-pulau kecil dan pulau kecil.................................................
136
45
Teknik pengolahan data pulau kecil tipe tektonik......................
140
46
Teknik pengolahan data pulau kecil tipe vulkanik......................
141
47
Teknik pengolahan data pulau kecil tipe terumbu......................
142
48
Teknik pengolahan data ekosistem mangrove......................
144
49
Teknik pengolahan data ekosistem terumbu karang.................
145
50
Teknik pengolahan data ekosistem lamun.................................
146
51
Diagram alir identifikasi ekosistem laut..........................................
154
xvii
135
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Batam ………………….
164
2
Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Sikka …………………...
169
3
Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Sitaro …………………..
169
4
Nilai OIF Pulau Lengkang menurut kombinasi kanal ................
170
5
Nilai OIF Pulau Babi menurut kombinasi kanal ........................
170
6
Nilai OIF Pulau Pomana-besar menurut kombinasi kanal ........
171
7
Variasi citra komposit dari tiga kombinasi kanal terseleksi, Pulau Palue .............................................................................. Penajaman spektral, citra komposit RGB 543, Pulau Palue .....
171
Penajaman spasial, (filtering) citra komposit RGB 543, Pulau Palue ......................................................................................... Data geomorfologi dan penutup lahan di daerah model pulaupulau kecil, hasil survei lapangan ………………………………. Data ikan karang hasil survei lapangan dengan teknik penyelaman ………………………………………………………... Klasifikasi bentuklahan
172
8 9 10 11 12
xviii
172
173 175 182
DAFTAR ISTILAH Algoritma (algorithm) : (1) suatu prosedur tertentu yang dikerjakan tahap demi tahap untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu hingga membuahkan hasil yang tertentu; biasanya prosedur itu disederhanakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang kompleks. (2) suatu prosedur yang diorientasikan dengan komputer untuk memecahkan permasalahan (Short, 1982). Bentuklahan (landform) : konfigurasi khusus suatu permukaan lahan, misalnya pegunungan, bukit, lembah, dan dataran (Strahler and Strahler, 1987). Citra (image) : (1) Gambaran dari suatu obyek yang dihasilkan oleh pantulan atau pembiasan dari cahaya yang difokuskan oleh lensa atau cermin. (2) gambaran suatu rekaman (umumnya sebagai suatu citra-foto) dari suatu obyek yang dihasilkan oleh optikal, elektro-optikal, optikal mekanikal, atau alat-alat elektronik lainnya. Gambaran tersebut umumnya digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu perujudan yang tidak langsung direkam pada film (Short, 1982). Ekosistem : kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007). Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) : sensor dalam Landsat 7 yang mengambil radiasi matahari yang direfleksikan oleh, atau dipancarkan dari bumi (EDC DAAC, 1999). Fusi (fusion): gabungan atau perpaduan. Penggabungan dalam pemanfaatan citra dapat berupa fusi multispektral (single sensor dan multisensor), multispasial, dan multi temporal. Geomorfologi (Geomorphology) : studi yang mendeskripsi bentuklahan dan proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut, dan menyelidiki hubungan timbal-balik dari bentuk-bentuk dan proses ini dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985). Interpretasi citra (image interpretation) : merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 yang diacu dalam Sutanto, 1986). Kanal (channel): suatu bagian panjang gelombang dari spektrum elektromagnetik (EDC DAAC, 1999).
xix
Kelas (class): suatu tipe karakteristik permukaan yang menarik bagi seorang peneliti, seperti hutan dengan tipe dan kondisinya, atau air dengan sedimennya (Short, 1982). Kawasan : bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007). Klasifikasi (classification) : proses pemberian tanda piksel individual pada citra multispektral menurut kategori tertentu; pada umumnya atas dasar karakteristik pantulan spektral (Short, 1982). Komposit (composite) : paduan dari citra beberapa kanal, bisa berupa komposit warna asli atau warna semu. Komposit warna asli terbentuk bila masingmasing kanal biru, hijau, dan merah secara tepat ditempatkan pada filter merah, hijau, dan biru. Sedangkan komposit warna semu dibentuk dengan menempatkan sembarang kanal pada filter merah, hijau, dan biru. Konservasi
sumberdaya
ikan
:
upaya
perlindungan,
pelestarian,
dan
pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
nilai
dan
keanekaragaman
sumberdaya ikan (UU RI No. 31 Th. 2004). Laut teritorial Indonesia : jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004). Lingkungan sumberdaya ikan : perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004). Multispektral (multispectral) : umumnya digunakan untuk penginderaan jauh yang memanfaatkan dua saluran spektral atau lebih, seperti saluran tampak dan infra-merah (Short, 1982). Optimum Index Factor (OIF) : sebuah parameter yang dikembangkan oleh Chaves (1982) untuk menilai kualitas citra komposit secara statistik (Jensen 1986). Pankromatik (pancromatic) : kanal yang sensitif untuk semua atau sebagian besar spektrum visibel, antara 0,4 - 0,7 μm (EDC DAAC, 1999). Pemrosesan citra (image processing) : meliputi berbagai operasi yang dapat diterapkan pada foto atau data citra. Hal ini meliputi kompresi citra, restorasi
xx
citra, penajaman citra, pemrosesan awal, kuantisasi, spatial filtering dan teknik pengenalan pola citra yang lain (Short, 1982). Penajaman (enhancement) : suatu teknik pengolahan citra untuk memperoleh kesan kontras citra yang lebih tinggi. Pengelolaan perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004). Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil : suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007). Penginderaan jauh (remote sensing) : penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. (Lillesand dan Kiefer, 1979 yang diacu dalam Sutanto, 1986). Perairan Indonesia: laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004). Perikanan: semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam satu bisnis perikanan (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004). Peta (map) : suatu gambaran pada suatu bidang datar, pada suatu skala tertentu, tentang kenampakan fisik (alami, buatan, atau keduanya) dari sebagian muka bumi, dengan orientasi yang telah ditentukan (Short, 1982). Pulau kecil : pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya (UU RI No. 27 Th. 2007). Rencana zonasi : rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiaptiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang
xxi
pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007). Resolusi (resolution) : suatu ukuran dari sejumlah detail yang dapat dilihat pada suatu citra; ukuran terkecil obyek yang dapat dikenali dengan menggunakan detektor (EDC DAAC, 1999). Scene : suatu kumpulan citra. Setiap scene Landsat berukuran 185x170 km (EDC DAAC, 1999). Zona : ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (UndangUndang RI No. 27 Th. 2007). Zonasi : bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batasbatas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007).
xxii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola migrasi ikan yang bersifat multi lintas, seperti lintas samudra dan lintas musim, juga masih menjadi penyebab terjadinya penangkapan ikan yang bersifat akses terbuka. Namun, pulau-pulau kecil dan ekosistemnya mempunyai area pengaruh yang terbatas dan menjadi bagian dari proses keberlanjutan ketersediaan sumberdaya ikan. Di negara kepulauan Indonesia, pulau-pulau kecil dan ekosistemnya dapat dibangun sebagai suatu bentuk pembatasan pada jarak tertentu. Informasi karakteristik pulau kecil dan ekosistemnya perlu diketahui terlebih dahulu agar wilayah yang dibatasi merupakan perairan laut yang memiliki sifat relatif homogen. Batas ini adalah batas imajiner yang memungkinkan pengelolaan ekosistem laut menjadi lebih sesuai dengan karakteristik alamiahnya. Perolehan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya memerlukan suatu teknik yang sesuai bagi puluhan ribu pulau kecil dan ekosistemnya yang terdapat pada wilayah dengan luas sekitar delapan juta kilometer persegi. Pulau kecil adalah salah satu ekosistem laut (Gambar 1). Pulau kecil memiliki keunikan geologis dan ekologis sebagai hasil proses dari beberapa ekosistem di sekitarnya dan membentuk sistem perikanan yang spesifik menurut ruang dan waktu. Pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan (Dutton, 1998). Di sisi lain, konsep negara kepulauan telah diperjuangkan melalui deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957, dan dimanifestasikan ke dalam konsep geopolitik dan geostrategi yaitu wawasan Nusantara. Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut (Dephankam dan BPPT, 1999). Penelitian di bidang perikanan sebagian besar membahas cara mengetahui posisi ikan dan pola perpindahannya. Sebagai contoh, perikanan internasional sejak tahun 2002 memiliki dua program yaitu memperkirakan data sumberdaya yang akurat di daerah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan mengembangkan teknologi perikanan yang sejalan dengan perkembangan zaman informasi. Dari kedua program ini dilakukan studi untuk mengkaji tentang aspek ekonomi sumberdaya ikan dan selanjutnya memperkirakan tangkapan maksimum lestari
(Maximum Sustainable Yield) (Sugimori et al., 2006). Di sini aspek lingkungan yang terkait dengan ekosistem laut belum menjadi prioritas kajiannya. Siklus hidup perkembangbiakan ikan tidak terlepas dari substrat dasar sehingga kondisi biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya perlu mendapat perhatian untuk dikaji. Pada Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Pasal (4), menyebutkan bahwa, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnyaPenataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kriteria yang perlu disepakati yaitu “pembagian zonasi (ruang) wilayah kerja“ untuk menetapkan batasan tanggung jawab masing-masing sektor dan menghindari terjadinya tumpang tindih kepentingan, tugas, dan wewenang.
a) Pulau Makalehi di Kabupaten Sitaro yang termasuk pulau kecil terluar berbatasan dengan negara Filipina. Pulau ini terbentuk di samudra, berbentuk melingkar, dan terdapat danau di tengahnya. Karakteristik fisik ini mengindikasikan sebagai pulau tipe vulkanik.
b) Pulau-pulau Semangkau, Besar, Nur, Cingam, Par, Terih, Nabi, dan Arus di Kota Batam. Contoh pulaupulau kecil ini dengan jarak berdekatan dan secara fisik tergabungkan oleh perairan laut dangkal. Di sini terbentuk guguspulau.
Gambar 1 Contoh pulau kecil dari citra Landsat.
2
Seiring dengan perubahan pendekatan pembangunan yang bergeser dari pendekatan sektoral ke pendekatan kawasan, maka diperlukan perencanaan pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan di sebuah wilayah kepulauan. Tata ruang yang dimaksud mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi empat zona yaitu: 1) zona preservasi, 2) zona konservasi, 3) zona penyangga, dan 4) zona budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri et al., 1996). Terhadap pulau-pulau kecil di Indonesia perlu dilakukan penataan menurut kondisi lingkungan alami (natural environment) untuk suatu desain sistem pembangunan negara maritim berkelanjutan. Di ruang wilayah ekosistem laut terkandung sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai sektor kepentingan yang berbeda. Sumberdaya ikan, saat ini, dijadikan sebagai penggerak utama di sektor kelautan oleh pemerintah. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat (UU RI No. 27 Tahun 2007). Tahun 1987, Jawatan Hidro Oseanografi menghitung pulau-pulau di Indonesia sebanyak 17.508 pulau yaitu 5.707 pulau bernama dan 11.801 pulau belum memiliki nama, yang disahkan oleh Menhankam melalui surat Nomor: B/858/M/IX/1987. Tahun 2006, Pusat Survei Geologi melakukan pengelompokan pulau-pulau kecil berdasarkan tektonogenesis menjadi empat kelompok. Tahun 2008, Tim Nasional pembakuan nama rupabumi telah melakukan verifikasi di lapangan terhadap 8.172 pulau untuk 25 provinsi. Proses verifikasi masih berlangsung di delapan provinsi lainnya, yaitu Nangroe Aceh Darusalam, Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Kebiasaan masyarakat pulau kecil sebagai nelayan atau petani dalam mengelola lingkungan dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Nelayan Indonesia sebagian besar memanfaatkan perairan laut dangkal atau zona neritik. Perairan ini merupakan daerah ikan yang produktif dan banyak mendapat pengaruh dari daratan. Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya memiliki karakteristik fisik dan potensi alam yang terkandung di dalamnya yang dapat dimanfaatkan guna pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Perencanaan pengelolaan pulau kecil dan semua ekosistem laut yang terkait memerlukan informasi kondisi biogeofisik dan sosialekonomi. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa, pemahaman terhadap karakteristik
3
biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya dapat memengaruhi sikap dan pola tindak dalam mengelola lingkungan kepulauannya terutama pada pengelolaan berbasis tradisional. Saat ini, untuk mengimbangi laju pembangunan yang pesat, maka informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya sangat diperlukan. Data penginderaan jauh satelit dapat memberikan informasi secara spasial, kualitatif, dan kuantitatif serta dapat diperoleh secara cepat dan akurat. Teknologi penginderaan jauh satelit telah berkembang sejak dekade tujuh-puluhan dan didukung oleh piranti lunak pengolahan citra dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu teknologi yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut. Keunggulan ini sesuai untuk diterapkan di Indonesia, karena variasi luas cakupan citra dan variasi tingkat kedetailan informasi ekosistem laut dapat ditampilkan dalam keterkaitan antar obyek secara spasial. Selanjutnya berbagai komponen terkait dianalisis untuk perencanaan pengelolaan wilayah ekosistem daerah penangkapan ikan. Salah satu sifat data penginderaan jauh satelit adalah mempunyai variasi tingkat resolusi spasial, sehingga data ini secara bertingkat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akurasi perolehan informasi karakteristik fisik permukaan bumi atau bentuklahan suatu pulau kecil. Identifikasi bentuklahan melalui analisis geomorfologi adalah didasarkan pada relief dan proses pembentukannya. Pada prakteknya hasil analisis ini banyak dipakai oleh bidangbidang aplikasi lain, seperti bidang perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan sumberdaya alam, melalui pengaturan tata ruang wilayah dan daerah.
1.2 Perumusan Masalah Negara kepulauan Indonesia mempunyai puluhan ribu pulau dimana sebagian besar adalah pulau kecil. Pulau-pulau ini terbentuk pada suatu wilayah dengan kondisi sebagai berikut: (1) Luas wilayah Indonesia adalah sekitar 8.686.000 km2 dengan luas laut kurang lebih 8 juta km2, pada koordinat antara 94°BT hingga 141°BT dan 6°LS hingga 11°LS. (2) Posisi Indonesia pada pertemuan tiga lempeng tektonik dan pada busur magmatik memungkinkan terjadi proses endogen secara aktif, sehingga sifat fisik pulau-pulau yang terbentuk menjadi beragam, (3) Posisi Indonesia di daerah tropis memungkinkan terumbu karang, mangrove, dan lamun berkembang baik. Selain itu, proses pelapukan, erosi,
4
dan pengendapan juga aktif sehingga ekosistem delta, estuari, dan dinamika pantai menjadi aktif, Kondisi wilayah perairan dan posisi Indonesia membentuk keragaman karakteristik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya. Permasalahan utama terkait dengan kondisi pulau-pulau kecil dan ekosistemnya ada empat macam meliputi cara perolehan informasi pulau kecil dan ekosistemnya, klasifikasi tipe pulau, identifikasi ekosistem laut, dan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya. Cara perolehan informasi pulau kecil dan ekosistemnya yang berupa karakteristik fisik belum diketahui secara menyeluruh dan sulit dilaksanakan, karena sulit dibangun metode yang dapat berlaku secara umum bagi keragaman yang ada di Indonesia. Skala peta yang tersedia sebagian besar masih relatif kasar bagi sebuah negara kepulauan yang memiliki banyak pulau kecil. Sebagai contoh, Peta Rupabumi Indonesia skala besar, 1:25.000, yang bersifat regional baru tersedia untuk Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini, peta skala besar, jika tersedia, masih bersifat sangat lokal karena peta-peta ini biasanya dibuat untuk memenuhi permintaan khusus, misalnya peta batimetri detail untuk pelabuhan. Teknologi penginderaan jauh dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pemecahan masalah ketersediaan data. Data penginderaan jauh satelit sumberdaya alam seperti Landsat memiliki berbagai tingkat resolusi spasial. Citra ini memiliki cakupan 185 km X 185 km, sehingga ukuran ini sesuai untuk keperluan identifikasi pulau kecil di Indonesia secara efisien dan efektif. Namun, teknik pengolahan dan bentuk analisis yang dapat diterapkan belum tersedia khususnya untuk karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya, sehingga dapat menyebabkan kesalahan interpretasi. Klasifikasi tipe pulau kecil belum mencerminkan karakter biogeofisiknya. Klasifikasi tipe pulau perlu didasarkan pada proses terbentuknya agar digunakan untuk memahami keragaman karakter biogeofisik ekosistem laut di sekitarnya. Di Indonesia peminat penelitian di bidang geomorfologi relatif masih kurang sehingga pemahaman proses terbentuknya pulau kecil dan ekosistemnya juga masih rendah. Bentuk klasifikasi yang didasarkan pada proses terbentuknya pulau juga dapat digunakan untuk membantu masalah sedikitnya jumlah interpreter dengan latar belakang ilmu geomorfologi. Perpaduan antara bentuk klasifikasi dan tenaga teknis dalam bentuk petunjuk kerja atau suatu model berguna untuk meningkatkan akurasi hasil interpretasi. Bentuk klasifikasi tipe pulau kecil diperlukan karena jumlah pulau kecil di Indonesia sangat banyak dengan karakteristik sangat beragam.
5
Identifikasi ekosistem laut tanpa memperhatikan pembentuk substrat dasarnya menyebabkan akurasi informasinya kurang sesuai. Keterkaitan antar ekosistem laut perlu dikenali secara menyeluruh dan pulau-pulau kecil mempunyai pengaruh nyata terhadap ekosistem perairan laut di sekitarnya. Pulau-pulau kecil ini terbentuk pada sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu wilayah lautan (75%), oleh karena itu identifikasi ekosistem laut perlu untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya diperlukan untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Laut Indonesia sebagai daerah penangkapan ikan perlu dilakukan zonasi. Zonasi yang diperlukan adalah yang dapat melokalisir permasalahan sumberdaya ikan sehingga dapat menuntun kepada bentuk perlakuan dan pengelolaan yang tepat. Akan tetapi, ekosistem laut daerah penangkapan ikan di Indonesia mempunyai karakteristik beragam sebagai akibat kondisi luas wilayah laut dan terbentuknya pulau-pulau kecil seperti disebutkan di atas. Akibatnya pengelolaan antar ekosistem laut belum terpadu dan pengelolaan pulau kecilnya juga kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Permasalahan geografis berupa aspek morfoarrangement adalah menyangkut ”pola” susunan keruangan setiap ekosistem laut yang belum dipahami. Permasalahan terakhir ini dapat diselesaikan dari berbagai sudut pandang, tetapi jika identifikasinya belum tepat, maka hasil informasi biogeofisiknya akan memiliki akurasi rendah. Dari keempat komponen struktur masalah yang diidentifikasi, secara mendasar yang menjadi masalah ilmiah dan masalah praktis pada pulau-pulau kecil dan ekosistemnya adalah: (1) Pengenalan karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya sulit dicapai karena belum dibangun metode yang selektif dan sesuai bagi keragaman yang ada di Indonesia, (2) Klasifikasi
tipe
pulau
kecil
kurang
mencerminkan
karakteristik
biogeofisiknya, (3) Ekosistem laut belum dapat dikenali secara menyeluruh karena belum tersedia metode identifikasinya, (4) Pengelolaan
ekosistem
mempertimbangkan
sifat
daerah alamiahnya,
penangkapan sehingga
akan
ikan sulit
kurang dicapai
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Berdasarkan
uraian
beberapa
permasalahan
tersebut,
penelitian
ini
membangun pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi.
6
Secara ringkas masalah pulau-pulau kecil di Indonesia secara skematik ditunjukkan pada Gambar 2, dalam bentuk diagram alir struktur masalah.
Posisi di busur magmatik dan tiga lempeng tektonik
Kondisi geografis Kepulauan Indonesia
Klasifikasi tipe pulau tidak mencerminkan karakternya Pengelolaan ekosistem laut kurang optimal
Dinamika proses magmatik & tektonik aktif tidak dipahami Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya tidak berbasis geomorfologi
Kaitan kondisi fisik antar ekosistem laut tidak diketahui Cara perolehan informasi biogeofisik pulau kecil tidak tersedia
Belum ada pengaturan pemanfaatan SDA pulau kecil berkelanjutan
Pengelolaan antara pulau kecil & ekosistemnya belum dipadukan
Posisi di daerah tropis
Identifikasi ekosistem laut belum tepat
Akurasi informasi biogeofisik rendah
Pola morfoarrangement belum dipahami
Belum ada zonasi pulau kecil berbasis karakteristik biogeofisik
Teknik pengolahan citra satelit untuk pulau kecil belum terseleksi
Gambar 2 Struktur permasalahan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya.
Pertanyaan
penelitian
yang
bersifat
praktis
sehubungan
dengan
permasalahan tersebut adalah: (1) Bagaimana teknik pengolahan citra penginderaan jauh satelit yang sesuai untuk analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya? (2) Dasar apa yang sesuai untuk membuat klasifikasi tipe pulau kecil agar dapat mencerminkan karakternya?
7
(3) Bagaimana bentuk penerapan hasil pengolahan citra penginderaan jauh satelit yang praktis untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya? (4) Bagaimana cara mengkaji korelasi kondisi fisik antara pulau kecil dan ekosistemnya? (5) Bagaimana penerapan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil untuk identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut? (6) Bagaimana penerapan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya dalam kaitannya dengan habitat ikan? (7) Apakah dasar untuk menentukan pengelompokan pulau-pulau kecil dan ekosistemnya sehingga terjaga pemanfaatan sumberdayanya secara berkelanjutan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan umum penelitian ini adalah menyumbangkan teknik pengolahan data penginderaan jauh satelit untuk pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya dengan pendekatan geomorfologi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menyeleksi teknik pengolahan data penginderaan jauh satelit untuk analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya, (2) Menyusun klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi, (3) Mendesain identifikasi ekosistem laut dan (4) Mendesain pengelompokan pulau-pulau kecil menurut karakteristik biogeofisik. Manfaat penelitian yang diperoleh, yaitu: (1) Menyediakan pilihan jenis fusi multispektral dan multispasial serta penajaman yang telah terseleksi menurut tipe pulau, (2) Menyediakan klasifikasi tipe pulau menurut morfogenesisnya dan cara identifikasinya dari data penginderaan jauh satelit, (3) Menyediakan identifikasi ekosistem laut untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik, (4) Menyediakan pilihan pengelompokan pulau kecil atas dasar karakteristik biogeofisik.
8
(5) Menyediakan cara zonasi daerah perairan laut dengan batas menurut pilihan pengelompokan pulau kecil atau karakteristik biogeofisik untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan.
1.4 Hipotesis Pulau kecil dan ekosistemnya merupakan suatu sistem yang kompleks dan saling terkait. Ekosistem-ekosistem ini berpengaruh pula pada perikanan pantai terutama sejauh perairan laut dangkal. Upaya untuk mendapatkan karakter biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya ini tidak dapat dilakukan secara parsial mengingat sifat antar ekosistem laut yang saling terkait. Pulau kecil yang berjumlah relatif banyak dapat dimanfaatkan dengan membatasi area pengelolaan ekosistem daerah
penangkapan
ikan
melalui
pengelompokan
pulau.
Pemanfaatan
sumberdaya ikan yang bersifat akses terbuka (Open Access Free Entry/OAFE), yaitu melalui pengelompokan pulau kecil dapat dirubah menjadi akses terbatas (License
Access
Limiting
Entry/LALE).
Dalam
hal
ini,
pengolahan
citra
penginderaan jauh satelit dapat memberikan pilihan yang optimal untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya. Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis kerja yang digunakan adalah: (1) Proses geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya yang berbeda memiliki karakteristik spektral berbeda. (2) Terbentuknya pulau-pulau kecil melalui proses yang berbeda yang menjadi karakteristiknya (3) Ekosistem laut mempunyai nilai spektral yang spesifik sesuai karakteristik biogeofisiknya (4) Proses geomorfologi mempengaruhi pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya.
1.5 Kerangka Pemikiran Indonesia memiliki wilayah lautan 75% dan terdapat puluhan ribu pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini memiliki bentuk beragam sebagai akibat adanya proses endogen seperti pergeseran lempeng tektonik dan aktivitas magmatik. Keragaman bentuk pulau-pulau kecil memiliki variasi sangat kompleks dan terkait dengan terbentuknya ekosistem laut di perairan laut dangkal sekitarnya. Lokasi pulau-pulau kecil sulit dijangkau dan distribusinya membentang di sekitar katulistiwa dari Sabang sampai Merauke.
9
Kondisi kepulauan Indonesia tersebut menimbulkan permasalahan dalam hal upaya menghimpun informasi karakteristik biogeofisik setiap pulau kecil. Kepentingan yang lebih utama adalah dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil karena jumlahnya banyak, sifatnya beragam, dan lokasinya berjauhan dan sulit dijangkau. Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil bagi negara kepulauan Indonesia adalah hal penting karena datanya menjadi dasar Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP- 3-K). Dalam UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tersurat bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K) perlu dijaga kelestariannya dan perlu dikelola secara berkelanjutan. Dalam hal ini, upaya perolehan informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya adalah bagian dari WP-3-K. Kerangka pemikiran seperti diilustrasikan pada Gambar 3 menguraikan secara khusus empat permasalahan pokok pulau-pulau kecil terkait dengan cara perolehan informasi karakteristik biogeofisiknya menggunakan data penginderaan jauh satelit. Spesifikasi dan cara pengolahan data penginderaan jauh untuk pulau kecil dan ekosistemnya merupakan tahap awal kegiatan penelitian. Citra penginderaan jauh untuk model pulau-pulau kecil yang telah diolah digunakan sebagai salah satu data untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya. Data lain yaitu Peta Geologi, Peta Rupabumi Indonesia, Peta Pelayaran, dan data survei lapangan juga digunakan untuk mengumpulkan informasi geomorfologis pulau kecil dan ekosistemnya. Agar dapat mewakili keragaman karakter pulau-pulau kecil di Indonesia, model pulau kecil dipilih untuk mewakili tiga tipe pulau dan tiga ekosistem laut utama yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun. Penelitian ini ditujukan untuk membangun pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi. Sebagai rangkaian penelitian, dibangun Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi dan identifikasi ekosistem laut menurut tipe pulau. Rangkaian model ini dapat diaplikasikan secara langsung untuk menentukan zonasi daerah perairan laut dengan batas tertentu untuk pengelolaan perikanan. Pembatasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Permasalahan mengenai peningkatan penggunaan citra satelit untuk pulau kecil dan ekosistemnya. (2) Permasalahan mengenai perolehan informasi biogeofisik secara efisien dan efektif
10
(3) Permasalahan mengenai pengelompokan pulau kecil berdasarkan sarkan karakteristik biogeofisik.
Permasalahan: (1) Teknik pengolahan citra satelit untuk pulau kecil dan ekosistemnya belum terseleksi (2) Klasifikasi tipe pulau tidak mencerminkan karakternya (3) Identifikasi pulau kecil dan ekosistemnya belum tepat (4) Belum ada pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis karakteristik biogeofisik
Informasi (karakteristik biogeofisik) pulau kecil dan ekosistemnya sulit diperoleh
Jumlah pulau kecil mencapai puluhan ribu Karakteristik biogeofisik pulau kecil beragam
Pengelolaan pulau kecil dan ekosistemnya kurang sesuai
Diperlukan data dan cara analisis pulau kecil dan ekosistemnya
(1) (2) (3) (4)
Analisis Pengumpulan data inderaja Teknik pengolahan data inderaja Geomorfologi pulau kecil Geomorfologi ekosistem laut
(1) Pengolahan data terseleksi (2) Klasifikasi tipe pulau kecil (3) Identifikasi ekosistem laut (4) Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya
Gambar 3 Diagram alir kerangka pemikiran.
11
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau Kecil 2.1.1 Definisi pulau kecil Pulau kecil adalah pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beller et al., 1990). Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS 1982 adalah: An island is a naturally formed area of land surrounded by water, which is above water at high tide, artinya pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu ada di atas air pada saat air pasang. Para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial ekonomi, dan demografis mendefinisikan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (IHP UNESCO, 1993) dan jumlah penduduk <200.000 jiwa. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di suatu pulau. Keterisolasian juga akan membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga memiliki lingkungan yang khusus dengan proporsi spesifik endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Secara ekologis, insularitas juga mempunyai konsekuensi keharusan untuk membuat evaluasi terhadap spesies endemik dan turunnya daya tahan flora, fauna, dan manusia akibat pendatang dari luar. Di samping adanya kerentanan ekologis, lingkungan pulau kecil juga banyak mengandung keuntungan (Hein, 1990). Pulau kecil yang bersifat insular mempunyai banyak kendala dalam pengelolaan, khususnya dari aspek ekonomi. Kecilnya ukuran sebenarnya bukan merupakan kelemahan jika produsen dan konsumen bersifat lokal (Brookfield, 1990). Namun, jarang terdapat kondisi yang demikian di era globalisasi ini sehingga kecilnya ukuran pulau sering menjadi kendala pembangunan ekonomis (Hess, 1990). Pulau kecil biasanya harus menanggung beban kontribusi yang lebih besar untuk membangun infrastruktur, pendidikan, penelitian, pemasaran, dan lain-lain agar aktivitas perdagangan berjalan lancar. Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka pembangunan ekonomi di pulau kecil akan lambat. Hal ini juga berarti bahwa pulau kecil sangat tergantung pada bantuan dari luar pulau. Walaupun
banyak kendala, terdapat beberapa pulau kecil yang berhasil membangun dan menjadi suatu pulau yang maju (Vernicos, 1990; Webster, 1990; Bheenick, 1990; Hamnett, 1990). Ekosistem dan lingkungan suatu pulau kecil mempunyai karakteristik antara lain sebagai berikut (DKP, 2001): (1)
Berukuran kecil
(2)
Sumberdaya alam yang terbatas dan rentan, sehingga diperlukan ketentuan yang ketat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
(3)
Rentan terhadap bencana alam seperti badai dan siklon.
(4)
Bahan organik alami keanekaragaman hayati yang terbatas.
(5)
Perubahan keanekaragaman hayati yang tinggi per km2 daratan.
(6)
Tempat hidup spesies endemik karena letaknya terpisah dari daratan besar dan kompetitornya terbatas.
(7)
Keseimbangan ekologis akan terganggu jika sifat keterisolasiannya dilanggar.
(8)
Kondisi iklim tidak banyak berfluktuasi, tetapi perubahan iklim yang besar memberikan dampak negatif yang kuat terhadap pulau kecil.
(9)
Keanekaragaman hayati laut berlimpah.
(10) Perubahan di daratan berdampak hampir langsung terhadap lingkungan pantai dan perairan lautnya. Berdasarkan fakta di atas, maka dalam mendefinisikan pulau-pulau kecil tidak hanya berdasarkan pada dua kriteria yang telah disebutkan di atas yaitu jumlah penduduk dan luas daratan, akan tetapi secara ilmiah dapat membuat suatu batasan yang dapat mengakomodir berbagai aspek yang dimiliki pulau kecil, seperti aspek fisik, ekologis, dan sosial ekonomi, yang lebih jauh dapat digunakan sebagai informasi dengan tujuan pengelolaan (DKP, 2001). Definisi pulau kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu dengan yang lain baik secara fisik, ekologis, dan sosial budaya ekonomi yang meliputi (DKP, 2001 dan 2002) : (1)
Secara Fisik 1) Terpisah dari pulau besar 2) Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri 3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut 4) Luas pulau kurang dari 10.000 km2, dan sangat rentan terhadap perubahan alam atau manusia seperti: bencana angin badai, gelombang
13
tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan 5) Substrat yang ada di pesisir biasanya bergantung pada jenis biota yang ada di sekitar pulau, dan biasanya didominasi oleh terumbu karang atau jenis batuan yang ada di pulau-pulau tersebut 6) Kedalaman laut rata-rata antar pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak pulau-pulau kecil. Pada daerah paparan benua, kedalaman rata-rata antar pulau adalah di atas atau kurang dari 100 m, contohnya pada Paparan Sunda di wilayah Indonesia bagian Barat (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Paparan Arafura di bagian Utara Australia/bagian Selatan Papua; sedangkan ke arah Timur Indonesia, pulau-pulau kecil yang terletak di daerah laut terbuka (Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian Utara), memiliki kedalaman laut yang sangat bervariasi. (2)
Secara Ekologis 1) Habitat/ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi dibanding proporsi ukuran pulaunya. 2) Memiliki risiko perubahan lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan kerusakan akibat aktivitas transpotasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, akibat bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, penambangan. 3) Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (ketersediaan air tawar dan tanaman pangan) 4) Melimpahnya biodiversitas laut.
(3)
Secara Sosial, Budaya, Ekonomi 1) Ada pulau yang berpenghuni dan tidak, 2) Penduduk asli mempunyai budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas, 3) Kepadatan penduduk sangat terbatas/rendah (hal ini berdasarkan daya dukung pulau dan air tanah), 4) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau induk atau kontinen, 5) Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, 6) Aksesibilitas (ketersediaan sarana prasarana) rendah dengan transpotasi maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan waktu yang terbatas. Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu.
14
Dalam menentukan suatu pulau sebagai pulau kecil, penggunaan ketiga kriteria di atas harus dipenuhi secara keseluruhan. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air, tidak termasuk kategori pulau kecil. Definisi gugus pulau adalah sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis saling berdekatan, di mana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan/interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya baik secara individual maupun secara kelompok. Batasan dan karakteristik ini merupakan pengertian bahwa gugus pulau adalah sekumpulan pulau dengan ciri-ciri fisik meliputi (DKP, 2002): (1) Secara Fisik 1) Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan dengan batas fisik yang jelas antar pulau, 2) Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat insular, 3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut, 4) Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah pulau, dan kepadatan penduduk, 5) Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah jenis biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi, 6) Pada wilayah tertentu, gugus pulau dapat merupakan sekumpulan pulau besar dan kecil atau sekumpulan pulau kecil dengan daratan terdekat (propinsi/kabupaten/kecamatan) di mana terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya, 7) Gugus pulau dapat terdiri atas sekumpulan pulau, atol atau gosong (gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat terdiri atas propinsi/kabupaten/kecamatan), 8) Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi) atau karena pengaruh manusia (fenomena kenaikan permukaan air laut, pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan). (2) Secara Ekologis 1) Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik,
15
2) Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik, 3) Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau, 4) Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut. (3) Secara Sosial, Budaya, Ekonomi 1) Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama dan kondisi sosial ekonomi yang khas, 2) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen, 3) Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transpotasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan waktu yang terbatas. Selain kriteria di atas, masih banyak kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan batasan pulau kecil dan gugus pulau dimana dapat pula mempertimbangkan ukuran minimal pulau, geologi pulau, kondisi penutupan vegetasi, dan masih banyak lagi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan batasan ini.
2.1.2 Tipe pulau Indonesia kaya akan pulau kecil dengan berbagai tipe, karena terletak pada zona tektonik dan magmatik aktif. Secara sederhana Dahuri (1998) membagi tipe pulau menjadi pulau oseanik (pulau vulkanik dan pulau koral) serta pulau kontinen. Dalam Ensiklopedi Nasional 1990, tipe pulau dibagi menjadi empat yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau koral, dan pulau barier. Beller et al., (1990), membagi tipe pulau menjadi dua yaitu pulau tinggi dengan ketinggian lebih dari 15 kaki dan pulau rendah dengan ketinggian kurang dari 15 kaki. Pulau tinggi terbentuk dari proses gunungapi, agregasi batuan kontinental, atau pengangkatan batuan terumbu, sedangkan pulau rendah terbentuk di tengah samudra, di kepulauan, dan berdekatan dengan pulau utama. Namun sebaliknya, Ongkosongo (1998) mencoba merinci tipe pulau ke dalam 24 dasar klasifikasi. Dasar klasifikasinya adalah ukuran, elevasi, keterjalan, proses pembentukan, genesis, perubahan muka laut, kestabilan elevasi, kondisi, litologi, tutupan
biota,
pengaruh
manusia,
bentuk,
geomorfologi,
aksesibilitas,
keberadaan penduduk, kepadatan penduduk, keaslian, pemanfaatan, keadaan politik, kesuburan, kepemilikan, kondisi khusus, dan lain-lain.
16
Bentuk lain klasifikasi pulau adalah berdasarkan kriteria fisik yang mengelompokkan
pulau
menjadi
pulau
berbukit
dan
pulau
datar
(Hehanusa,1998; Kantor Mentri Negara LH, 1996; dan Sugandhy, 1998). Pembagian ini berdasarkan pada morfologi dengan pembagian selengkapnya adalah: (1) Pulau Berbukit: 1) Pulau Vulkanik. Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklastik, lava maupun ignimbrit hasil kegiatan gunungapi, misalnya Pulau-pulau Krakatau, Banda, Gunungapi, dan Adonara. 2) Pulau Tektonik. Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulaupulau Nias, Siberut, dan Enggano. 3) Pulau Teras Terangkat. Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai dengan pembentukan teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras. Pulau ini banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, misalnya Pulau Ambon dan Pulau Biak 4) Pulau Petabah (monadnock). Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan-batuan ubahan (metamorf), terobosan/intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau-pulau Batam, Bintan, dan Belitung. 5) Pulau Gabungan. Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih tipe pulau di atas misalnya Pulau-pulau Haruku, Nusa Laut, Kisar, dan Rote. (2) Pulau Datar: Pulau datar adalah pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar yang terdiri atas pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral. 1) Pulau Aluvial. Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di pantai Timur Sumatra dan Delta Mahakam di Kalimantan.
17
2) Pulau Koral. Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta. 3) Pulau Atol. Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil daripada 50 km2, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1.000 m hingga 2.000 m. Sementara itu DKP (2004) membagi tipe pulau menjadi lima yaitu pulau benua/kontinen, pulau vulkanik, pulau koral timbul, pulau daratan rendah, dan pulau atol. Pulau Benua (Continental Islands), Pulau ini terbentuk sebagai bagian dari benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Jenis batuan dari pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silika. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru (dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada pula pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Plistosen, kemudian berpisah pada zaman Holosen ketika muka laut meninggi. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang, Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, dan Tasmania. Di Indonesia, pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Pulau Papua. Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau ini sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunungapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau tipe ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempenglempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Jenis batuan dari pulau tipe ini adalah basalt dan silika (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik yang terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunungapi (hot spots) yang terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawai, Marquesas, Aleutian, Antiles Kecil, Solomon, dan Tonga. Pulau Koral Timbul (Raised Coral Islands), Pulau ini terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi.
18
Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan rumahnya dan membentuk pulau koral. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau koral timbul. Pada umumnya, koral yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau koral timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda, Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara. Pulau Daratan Rendah (Low Islands), Pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau tipe ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana alam, seperti topan atau tsunami. Oleh karena pulau tipe ini relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara Teluk Jakarta. Pulau Atol (Atolls), Pulau Atol adalah pulau (pulau koral) yang berbentuk cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk terumbu tepi (fringing reef) kemudian berubah menjadi terumbu penghalang (barrier reef) dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukannya disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik semula dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah Pulau-pulau Tukang Besi.
2.2 Ekosistem Laut Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, membentuk suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri atas organisme hidup dan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun. Ekosistem laut adalah ekosistem yang terbentuk dari proses marin atau proses lain, tetapi masih mendapat pengaruh proses marin. Pada klasifikasi bentuklahan, ekosistem ini mencakup bentuklahan asal marin dan organik (Lampiran 1). Pakar pesisir membagi ekosistem ini berdasar sifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasa dijumpai antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun,
19
pantai berbatu, pantai berpasir, pantai berlumpur, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuari, lagun, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan permukiman. Ekosistem utama adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun (Dahuri, 1998). Keterkaitan antara ketiga ekosistem utama adalah bahwa ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang akan dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut, sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Selain itu ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun hutan mangrove (Kaswadji, 2001). Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling mendukung dan interaksinya sangat erat, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu maka ekosistem yang lain akan terpengaruh. Selain itu, Dahuri (2000) mengatakan bahwa keterkaitan antar ekosistem utama ini berupa dampak manusia, migrasi biota, bahan organik partikular, nutrien bahan organik terlarut, dan fisik. Keterkaitan antara tiga ekosistem utama dengan ekosistem laut lain adalah pada syarat tumbuhnya. Terumbu karang menghendaki laut cerah dan gelombang besar, sehingga pantai berlumpur tidak sesuai. Namun sebaliknya, pantai berlumpur sesuai untuk ekosistem mangrove, sedangkan ekosistem lamun sesuai pada ketiga ekosistem pantai meskipun bagus pada pantai lumpur berpasir (Bengen, 2000).
2.2.1 Mangrove Mangrove dapat hidup pada jenis pantai berlumpur dan pantai berpasir dengan berbagai substrat di antaranya adalah pasir, lava gunungapi, atau sedimen yang bersifat karbonat. Hutan mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap kadar garam yang tinggi, serta terhadap
20
tanah yang kurang stabil dan pengaruh pasang surut. Mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, yang mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat. Susunan spasial formasi penggunaan lahan daerah kepesisiran di Jawa, dari laut ke arah darat adalah perikanan, mangrove, tambak, permukiman di pematang gisik, dan sawah, sedangkan untuk daerah kepesisiran di Sumatra adalah mangrove/nipah, hutan pantai, hutan pasang surut, dan ladang (Malingreau dan Christiani, 1981). Penyebaran hutan mangrove dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin yang dikenal sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis. Tanah tempat tumbuhnya berlumpur, berlempung, dan atau berpasir. Penyebarannya juga terbatas akibat ketergantungannya terhadap aliran air tawar. Oleh karena itu, mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal. Hutan mangrove tumbuh di sepanjang pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, seperti muara sungai, delta, pantai yang terlindung, dan teluk yang dangkal. Gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi tumbuhnya mangrove ini. Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Nontji, 1987). Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat, dan morfologi pantai. Suksesi dan kematian mangrove dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan berupa kondisi, kecepatan pengendapan yang tetap, gerakan air yang minimal, keadaan pasang surut, dan salinitas air dan tanah tertentu. Sementara itu, ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yaitu (Nybakken, 1982): (1) Suplai air tawar dan salinitas Ketersediaan
air
tawar
dan
konsentrasi
kadar
garam
(salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dari ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada: 1) Frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, 2) Frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan 3) Tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies hutan mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang
21
mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem
pembuatan
irigasi.
Perubahan
penggunaan
lahan
darat
mengakibatkan terjadi modifikasi masukan air tawar yang dapat mengubah kadar garam serta aliran nutrien dan sedimen. (2) Pasokan nutrien Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: 1) frekuensi, jumlah, dan lama penggenangan oleh air asin dan air tawar dan 2) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus (Odum, 1992). (3) Stabilitas substrat Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove, (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic). Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Hutan mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera,
Xylocarpus,
Sonneratia,
Lumnitzera,
Laguncularia,
Aegiceras,
Aegitalis, Snaeda, Conocarpus (Bengen, 1999). Perakaran mangrove yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan pencari makan bagi berbagai macam hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan, penahan abrasi, amukan bagi topan, dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Sebagai fungsi
22
ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai obat-obatan. Selain juga sebagai pemasok larva ikan dan udang. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove yang dikembangkan di Indonesia adalah sebagai kawasan wisata alam. Hutan
mangrove
merupakan
ekosistem
pesisir
yang
mempunyai
produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974, yang diacu dalam Supriharyono, 2000), produktivitas primer hutan mangrove cukup tinggi dan dapat mencapai 5.000 gC/m2/tahun. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies sebanyak 89, terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Di Pasifik, Avicenia tumbuh pada keadaan yang teduh dan berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan dan di belakangnya tumbuh Rhizophora. Zona Ceriops dapat tumbuh bergabung dengan zona Bruguiera, sedangkan Sonneratia tumbuh menghadap ke arah laut pada daerah yang senantiasa basah. Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove adalah moluska, udang-udang tertentu, dan beberapa ikan yang khas.
2.2.2 Terumbu karang Terumbu karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenisjenis karang batu dan alga penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Karang di dunia dibagi dalam dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Perbedaannya terletak pada kemampuan karang hermatipik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan ini disebabkan adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dalam jaringan karang hermatipik. Sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia (Nybakken, 1982). Terumbu karang memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria=Scleractinia),
alga
berkapur,
dan
organisme
lain
yang
mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
23
Karang dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni. Individu karang disebut polip, terdiri atas bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae. Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang terakumulasi menjadi terumbu (Nybakken, 1982). Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat asuhan, tempat pencari makan, tempat pemeliharaan, tempat pemijahan, dan tempat pelindung fisik bagi berbagai biota (Nybakken, 1982). Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain dan rangkanya menjadi tempat berlindung berbagai spesies hewan seperti golongan moluska, crustasea, cacing polichaeta, tiram raksasa (kimah), gastropoda, echinodermata (terutama bulu babi, teripang, bintang laut, dan lili laut), bakteri, dan kepiting. Hewan dalam kelompok besar dan ikut dalam membentuk sistem terumbu adalah ikan baik ikan konsumsi maupun ikan hias yang mempunyai arti ekonomi penting (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken, 1982). Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata. Perikanan yang produktif dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan penduduk pesisir. Terumbu karang menghasilkan berbagai produk seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal. Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia dan sedikitnya ada empat fungsi yaitu fungsi pariwisata, perikanan, pelindung pantai, dan keanekaragaman hayati. Fungsi pariwisata adalah keindahan karang, kekayaan biologi, dan kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi. Fungsi perikanan; sebagai tempat ikan-ikan karang yang harganya mahal sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang, dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat
24
mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White dan Cruz-Trinidad, 1998). Perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister, 1998). Fungsi pelindung pantai; terumbu pinggiran dan terumbu penghalang adalah pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desadesa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuklahan terumbu ini. Fungsi
keanekaragaman
hayati
(biodiversity);
ekosistem
ini
mempunyai
produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hidup di ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis. Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensinya untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker, dan penggunaan lain sangat tinggi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas hanya berkisar 50-100 gC/m2/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998), sedangkan potensi perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824 ton/tahun (Dahuri, 2001). Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000). Organisme yang dapat kita temukan di terumbu karang antara lain; Pisces (berbagai jenis ikan), Crustacea (udang, kepiting), Moluska (kerang, keong, cumicumi, gurita), Echinodermata (bulu babi, bintang laut, timun laut, lili laut, bintang ular), Polychaeta (cacing laut), Sponge, Makroalga (Sargasum, Padina,
25
Halimeda), dan terutama hewan karang (Anthozoa). Begitu banyak jenis organisme yang hidup di sana sehingga terumbu karang adalah salah satu ekosistem di permukaan bumi ini yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Kunzmann (2001) menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia karena banyaknya spesies per satuan luas. Disebutkan bahwa di dunia ini terdapat sekitar 800 jenis karang dan sekitar 4.000 jenis ikan. Total spesies yang ada di terumbu karang adalah sekitar 9 juta spesies, tidak termasuk mikroba. Dari jumlah ini, 400 jenis karang, 3.000 jenis ikan karang, dan sekitar 1.700 jenis moluska berada di Asia Tenggara. Dari genus Acropora saja, Wallace et. al., (2001) mengidentifikasi dan membuat daftar
91
jenis
(spesies)
terdapat
di
Indonesia.
Maliskusworo
(1991)
menyebutkan bahwa perairan karang di Indonesia adalah terluas di Asia Tenggara. Hasil inventarisasi COREMAP-LIPI Tahun 2000, ekosistem terumbu karang di Indonesia tercatat seluas 20.731 km2. Data luas ini kemungkinan lebih kecil dari luas terumbu karang yang sebenarnya karena data ini diperoleh dari citra Landsat sehingga dimungkinkan masih terdapat kawasan terumbu karang pada kedalaman di luar jangkauan sensor satelit yang tidak tampak seperti yang terdapat pada tebing sangat curam. Salah satu parameter kualitas ekosistem terumbu karang adalah tingkat (persen) penutupan karang batu hidup di daerah terumbu karang. Jika persentase penutupan karang batu hidup 0 – 24,9% maka termasuk kategori rusak atau buruk, 25 – 49,9% kategori sedang, 50 – 74,9% termasuk baik, dan 75 – 100% termasuk kategori sangat baik (Gomez dan Yap, 1978). Di Indonesia pada tahun 1996 kondisi terumbu karang adalah 41,78% rusak, 28,30% sedang, 23,72% baik, dan 6,20% sangat baik (Dahuri, 2000). Hasil penelitian dan pengamatan COREMAP-LIPI tahun 2000 kondisinya adalah 70% rusak, 24% baik, dan 6% sangat baik. Data tersebut memperlihatkan bahwa secara umum kondisinya makin menurun dari tahun ke tahun. Kehidupan karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dibedakan menjadi tiga meliputi endogenik, eksogenik, dan antropogenik. Faktor endogenik berupa gempa bumi, letusan gunungapi, dan aktivitas tektonik. Faktor eksogenik meliputi kejernihan air, suhu, salinitas, cahaya matahari, arus dan gelombang, sedimentasi, dan erosi. Faktor antropogenik antara lain meliputi pengerukan
26
pasir di pelabuhan, penggundulan hutan, reklamasi pantai, pengambilan batu koral, penangkapan ikan dengan menggunakan sianida dan bahan peledak, aktivitas pelayaran, wisata bahari, pencemaran, dan polusi.
2.2.3 Lamun Lamun hidup di daerah pesisir atau perairan laut dangkal (2 – 12m) dan membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut. Lamun tumbuh di dasar laut berpasir dan jernih di mana sinar matahari masih dapat menembus untuk memungkinkan ilalang ini berfotosintesis. Umumnya semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal. Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut. Lamun adalah sejenis ilalang laut yang tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh dari rhizoma, yaitu bagian rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup terendam di dalam laut seperti ganggang/alga laut, lamun berbuah dan menghasilkan biji. Habitat lamun merupakan
kelompok
tumbuhan
berbiji
tunggal
(monokotil)
dari
kelas
angiospermae (Supriharyono, 2000). Pertumbuhan lamun memerlukan sirkulasi air yang baik yang menghantarkan zat-zat nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) ke luar daerah padang lamun (Dahuri, 2004). Di wilayah perairan Indonesia paling sedikit terdapat 7 marga dan 13 spesies lamun. Penyebarannya meliputi perairan Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Di Indonesia, padang lamun sering dijumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996 yang diacu dalam Supriharyono, 2000) Faktor penting pada distribusi dan stabilitas ekosistem padang lamun: (1) Kecerahan. Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi di mana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga
27
berpotensi untuk mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat mengganggu produktivitas primer dari ekositem padang lamun. (2) Temperatur. Walaupun spesies padang lamun menyebar luas secara geografis, hal ini mengindikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi temperatur, tetapi spesies lamun daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur optimal bagi spesies padang lamun adalah 28ºC - 30ºC dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut. (3) Salinitas. Walaupun spesies padang lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10‰ - 40‰. Nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang lamun. Kerusakan padang lamun disebabkan oleh berkurangnya air tawar dekat garis pantai yang hilang. Interaksi antara salinitas dan temperatur padang lamun tropik dimana spesies yang mempunyai toleransi lebih rendah dari salinitas normal dan pada temperatur yang rendah, tidak mampu mempertahankan hidupnya pada salinitas yang sama dan dalam kondisi temperatur yang lebih tinggi. (4) Substrat. Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri atas 40% endapan lumpur dan finemud. Kebutuhan substrat yang paling utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen adalah sebagai pelindung tanaman dari arus air laut serta sebagai tempat pengolahan dan pemasok nutrien. (5) Kecepatan arus perairan. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan. Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus sekitar 0,5m/detik. Dari beberapa contoh padang lamun menunjukkan produksi standing crop 262 gram berat kering/m2 dimana produksi totalnya adalah 4.570 gram berat kering/m2. Padang lamun (seagrass beds) merupakan ekosistem yang memiliki arti penting secara ekologis dan ekonomis yang pengelolaannya dipengaruhi oleh
28
gangguan yang bersifat antropogenik. Fungsi padang lamun antara lain (Koesoebiono, 1995; Supriharyono, 2000): (1) Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan serta menjernihkan air, (2) Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewanhewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar padang lamun, (3) Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang, (4) Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun, (5) Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut, (6) Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari, dan (7) Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan. Produktivitas primer komunitas lamun mencapai 1 kgC/m2/th. Namun, menurut Kirman dan Reid (1979, yang diacu dalam Supriharyono, 2000) dari jumlah tersebut hanya 3% yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain sangat kompleks. Sejumlah organisme yang dijumpai hidup di sini antara lain adalah invertebrata: moluska
29
(Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Crustasea (udang dan kepiting).
2.3 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan prosesproses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985). Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu, sedangkan proses geomorfik (geomorphic processes) adalah suatu proses alami, baik fisik atau kimiawi, yang mampu merubah bentuk permukaan bumi (Thornbury, 1954). Berdasarkan batasan tersebut, lingkup studi geomorfologi mencakup tiga aspek yaitu morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi (Thornbury, 1954), dan sebagian ahli menambahkan aspek morfo-arrangement (Zuidam, 1985). Aspek morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunungapi, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian, arah, dan sebagainya. Aspek morfogenesis
mencakup
kajian
terhadap
proses
geomorfik
atau
proses
geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek morfo-arrangement,
menyangkut
analisis
hubungan
keruangan/spasial
dari
berbagai bentuklahan dan prosesnya. Geomorfologi
kepesisiran
(coastal
geomorphology)
adalah
studi
geomorfologi yang mengkhususkan perhatiannya pada bentuklahan pesisir, evolusinya dan proses-proses yang membentuk dan merubahnya (Bird 1969, yang diacu dalam Sutikno, 1995). Di Indonesia upaya-upaya kontrol kualitas pemetaan tematik dasar secara nasional sedang berlangsung dan pembuatan standardisasi klasifikasi bentuklahan untuk skala 1:250.000 dan 1:50.000 sedang dilakukan (Fakultas Geografi UGM Bakosurtanal, 2000). Dalam upaya standardisasi tersebut, informasi sifat dan
30
perwatakan bentuklahan akan memberikan informasi-informasi tentang konfigurasi permukaan, proses geomorfologis, serta struktur geologis dan jenis batuan/mineral. Klasifikasi bentuklahan asal proses marin ditunjukkan pada Tabel 1, dan selengkapnya di Lampiran 11.
Tabel 1 Klasifikasi bentuklahan asal marin No.
1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan M.01 Delta
2.
M.02
Rataan pasut (tidal flat)
3.
M.03
Kompleks beting gisik
4.
M.04.
Dataran Pantai
5.
M.05.
Cliff
Kode
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan
M.01.a M.01.b M.01.c M.01.d M.01.e M.02.a M.02.b
Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt Marsh) Tanggul fluvio deltaik Rawa belakang deltaik Dataran delta Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt marsh)
M.03.a M.03.b M.03.c M.03.d M.03.e M.03.f M.03.g M.04.a M.04.b M.04.c M.04.d M.04.e M.05.a M.05.b M.05.c
Gisik (Beach) Beting gisik (Beach ridge) Swale (Swale) Bura (Spit) Tombolo (tombolo) Cuspate foreland Lagun (lagoon) Dataran lempung marin Pelataran laut (Marine Platfom) Teras marin Kompleks kuesta Outlier Cliff Runtuhan batu cliff Pilar laut
Sumber: Zuidam, 1985 dan Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.
Untuk studi terapan, geomorfologi dapat menunjang keperluan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu-ilmu sosial, kebumian, kajian gangguan lingkungan, pengembangan daerah pedesaan dan perencanaan wilayah, bidang perkotaan, dan bidang keteknikan (Verstappen, 1983). Geomorfologi terapan di Indonesia sangat penting dikembangkan, karena hasilnya akan lebih banyak memberikan manfaat kepada pembangunan masyarakat di Indonesia, di samping perlunya pengembangan di bidang-bidang lain seperti geomorfologi pantai, geomorfologi gunungapi, dan geomorfologi fluvial (Sutikno, 1995). Analisis tipe dan karakteristik pulau kecil dan ekosistem laut adalah studi terapan geomorfologi untuk 31
tujuan tata ruang. Proses marin yang terjadi pada pesisir pulau kecil seperti halnya pada pesisir pulau besar. Namun, oleh karena luas daratan pulau kecil relatif sempit sehingga proses marin relatif lebih dominan. Pantai berbatu adalah pantai yang mempunyai tebing pantai (cliff), biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan laut. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam dua macam adalah tebing pantai dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh, dan tebing koral yang umumnya keras dan tidak mudah hancur. Sementara itu, pantai berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri atas pasir bercampur batu, yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri. Pantai berlumpur banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuari, delta, dan pantai yang terlindung (Nybakken, 1982). Pantai di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe utama meliputi pantai dataran rendah (mangrove, berpasir, delta), pantai berbatu, dan terumbu karang dan pulau. Evolusi yang berlangsung dipengaruhi oleh faktor eksogenik dan endogenik yang terkait dengan lingkungan tropis basah/lembab, situasi geografis, dan struktur geofisik. Pantai berpasir jarang dijumpai karena pasir dari material yang dibawa oleh sungai-sungai hingga mencapai laut biasanya sangat kecil sebagai hasil pelapukan kimia yang hebat dan terkait dengan lingkungan tropik basah secara umum. Pantai berbatu ditentukan oleh tiga faktor penting meliputi struktur, neotektonik, dan litologi (Verstappen, 2000).
2.3.1 Geomorfologi pulau kecil Sumbangan atau peran penting geomorfologi untuk pulau kecil adalah untuk mengetahui karakteristik biogeofisiknya. Karakteristik di sini diberikan melalui analisis proses terbentuknya pulau kecil, sehingga tercermin sifat dasarnya yang menggambarkan potensi sumberdaya alamnya dan potensi risikonya. Penyajian informasinya secara deskriptif dan spasial dalam bentuk peta. Analisis geomorfologi berupa tipe pulau dapat memperjelas dan mempermudah pemahaman karateristik suatu pulau. Aspek-aspek geomorfologi digunakan untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil melalui interpretasi data penginderaan jauh satelit, peta, ataupun pengamatan lapangan. Geomorfologi adalah studi berdasarkan
32
kenampakan di permukaan bumi, sedangkan data penginderaan jauh menyajikan kenampakan permukaan bumi pula. Aplikasi data penginderaan jauh untuk geomorfologi
mulanya
menggunakan
foto
udara.
Contoh
aplikasi
data
penginderaan jauh satelit antara lain, analisis geomorfologi untuk mendapatkan pandangan umum daerah Bandung menggunakan citra SPOT oleh Nossin et al. (1996); dan analisis geomorfologi daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi untuk mendapatkan
kelas-kelas
bentuklahan
mengunakan
citra
Landsat
oleh
Asriningrum (1997). Adapun penerapannya untuk pulau kecil didasarkan pada pendekatan yang sama. Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit untuk identifikasi bentuklahan dapat dilakukan menggunakan aspek morfologi dan morfogenesis. Aspek morfokronologi hanya dapat mengenali tahap (stage) proses pembentukan namun tidak dapat mengenali umurnya (Asriningrum, 2002). Pada penelitian ini, pembedaan tipe pulau didasarkan pada aspek-aspek morfologi dan morfogenesis untuk
mendapatkan
informasi
proses
terbentuknya
pulau
kecil.
Aspek
morfoarrangement juga berperan mengingat data utamanya adalah citra penginderaan jauh satelit. Proses geomorfologis dibedakan menjadi endogenik dan eksogenik (Selby, 1985; Bloom, 1979; Strahler and Strahler, 1978; Thornbury, 1954), dan dari dua proses utama ini diturunkan ke dalam bentuk yang lebih detail dan rinci untuk mendapatkan klasifikasi tipe pulau. Aspek morfologi pulau kecil dapat dibedakan menjadi berbukit dan datar. Morfologi dapat dikenali dari citra penginderaan jauh satelit karena citra yang mempunyai gambaran dua dimensi ini dapat memunculkan kesan tiga dimensi dari konfigurasi warna yang ditampilkan. Ada tiga pendekatan dalam analisis geomorfologi yaitu genetik, bentanglahan (landscape), dan parametrik (Zuidam, 1985). Pendekatan genetik perhatiannya ke aspek proses geologis dan geomorfologis dan sedikit perhatian ke bentuklahan. Pendekatan bentang lahan lebih baik khususnya jika berbasis proses geomorfologis yang mempertimbangkan bentuklahan, litologi, dan genesis (proses yang lalu dan sekarang). Bentuklahan mencirikan bentang lahan cukup baik. Pendekatan parametrik terlalu detail dan akademis sehingga cenderung tidak berperan dengan jelas untuk mengetahui interaksi sistem ekologis. Adapun untuk penelitian ini digunakan pendekatan bentanglahan.
33
2.3.2 Geomorfologi terumbu Terumbu (reefs) adalah bentuklahan (landforms) submarin perairan laut dangkal yang banyak dijumpai pada pantai-pantai daerah tropik. Bentuklahan ini dibangun oleh organisme karang (coral) dan alga penghasil kapur (calcareous algae), meskipun kerang-kerangan, bunga karang, dan organisme marin jenis lain juga ikut membangun pada situasi tertentu. Terumbu-terumbu karang ini dapat tumbuh dan berkembang pada perairan laut dengan syarat-syarat tertentu, yaitu mempunyai kedalaman air kurang dari 100 m, kondisi air cukup jernih dimana cahaya dapat menembus untuk proses fotosintesis, terdapat batuan dasar sebagai fondasi pertumbuhan, suhu air tidak kurang dari 18ºC pada musim dingin, dan salinitas mendekati normal (32 - 35‰) (Selby, 1985; Bloom, 1979). Ketinggian permukaan terumbu umumnya sama dengan ketinggian rata-rata air pasang surut, sehingga pada saat air pasang terumbu ini tergenang. Salinitas yang sesuai dengan pertumbuhan hewan karang adalah sekitar 30- 36 ppt, oleh sebab itu jarang ditemukan terumbu di sekitar muara sungai yang besar. Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras untuk membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya. Faktor fisik lain yang turut mempengaruhi penyebaran terumbu karang adalah gelombang, arus dan tingginya kisaran antara pasang dan surut. Gelombang dan arus erat kaitannya dengan penempelan planula serta morfologi karang. Perbedaan pasang dengan surut, mempengaruhi lamanya karang terpapar sinar matahari saat laut surut. Pertumbuhan maksimum terumbu dapat dicapai dengan persyaratan gerakan gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar, dan terhindar dari proses sedimentasi. Persebaran terumbu-terumbu karang terbatas hanya pada zona intertropikal saja dan menurut Zuidam (1985) antara 30º Lintang Utara – 30º Lintang Selatan. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Terumbu karang lebih berkembang pada daerahdaerah yang mengalami gelombang besar (Nybakken, 1982). Bentuklahan terumbu secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu terumbu pinggiran (fringing reef) yang berkembang dari daratan ke arah laut, terumbu penghalang (barrier reef) yang terpisah dari pantai oleh lagun, dan
34
terumbu cincin (atoll) yang terbentuk melingkar dan memiliki lagun di tengahnya (Selby, 1985; Bloom, 1979). Terbentuknya terumbu cincin umumnya mempunyai hubungan yang erat dengan proses degradasi gunungapi submarin. Maxwell (1968, yang diacu dalam Zuidam, 1985), membagi terumbuterumbu menjadi dua kelompok yaitu terumbu paparan (shelf reefs) dan terumbu samudra (oceanic reefs) (Gambar 4). Selanjutnya, oleh Faku-G UGM & Bakosurtanal Tahun 2000 pembagian ini digunakan pada klasifikasi bentuklahan asal organik untuk tujuan pemetaan yang didasarkan pada asal mula pembentukan
(genesis)
bentuklahan
dengan
menggunakan
parameter-
parameter relief/topografi, struktur geologi/batuan, proses geomorfologi, dan tingkatan/intensitas proses geomorfologi yang bekerja pada bentuklahan (Tabel 2).
OCEANIC REEFS
SHELF REEFS
Reef
1 Embryonic colony
1 Embryonic colony
Island
Symmetrical elongation
180 m
Radial growth
Elongation 5 Wall reef
2 Platform reef
Prong formation 2. Fringing reef Submergence Vertical growth Expansion 3. Barrier reef
Island
Lagoon 180 m
Radial growth Central 3 Lagoonal platform f
Elongatio n Elongated platform f
Lagoon
Cuspatio n 6 Cuspate reef
Cuspate inversion
7 Prong reef Back-reef sedimentation Back-reef growth
8 Composite apron reef
Meshing
Triangular elongation Total submergence of island Lagoonal reef growth 4. Atoll
180 m
Resorbtio n 14 Resorbed reef
Lagoon
9 Open ring reef Rim reef flat
10 Open mesh
13 Plug reef
180 m 180 m
Lagoon
Resorbtion
11 Closed ring reef
12 Closed mesh reef
Gambar 4 Klasifikasi terumbu menurut Maxwell (Sumber: Zuidam, 1985).
Keseimbangan arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh tiga faktor yaitu hidrologi, batimetri, dan biologi. Jika ketiga faktor itu seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba atau berlagun. Namun, jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri maka akan terbentuk terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak
35
membentuk lagun yang benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Lagun adalah genangan air laut yang berada di tengah-tengah terumbu. Sedangkan terumbu paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat (Zuidam, 1985).
Tabel 2 Klasifikasi bentuklahan terumbu menurut skala No 1
2 3 4
Skala 1:250.000 Terumbu paparan pelataran (platform reef)
Terumbu paparan dinding (wall reef) Terumbu paparan sumbat (plug reef) Terumbu samudra (oceanic reef)
Nama Bentuklahan Skala 1:50.000 Terumbu pelataran bergoba (lagoonal platform reef) Terumbu pelataran lonjong (elongate platform reef) Terumbu pelataran tapulang (resorbed reef) Terumbu dinding tanduk (cuspate reef) Terumbu dinding garpu (prong reef) Terumbu sumbat (plug reef)
Terumbu pinggiran (fringing reef) Terumbu penghalang (barier reef) Terumbu cincin (atoll) Sumber: Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.
Terumbu dengan pulau memiliki lima tingkat perkembangan. Pertama, menunjukkan karakter gosong pada tingkat awal perkembangan yaitu berupa gundukan pasir dengan struktur sederhana. Kondisi gosong pada tingkat ini masih labil. Tingkat kedua adalah gosong di mana gundukan pasirnya telah berkembang lebih lanjut, relatif stabil dan sudah ditumbuhi vegetasi. Tingkat ketiga adalah gosong dengan gundukan berbatu bervegetasi atau berbatu tanpa vegetasi. Tingkat keempat adalah gosong di mana gundukan pasir yang bertingkat membentuk penghalang/budus/rampart. Sedangkan tingkat kelima adalah pulau yang telah berkembang dengan tingkat lanjut membentuk pulau terumbu dengan paparan batu gamping koral yang muncul dan berumur lebih tua. Secara singkat kelima tingkat gosong pasir tersebut diuraikan pada Tabel 3.
36
Tabel 3 Tingkat perkembangan pulau terumbu No 1 2 3 4 5
Tingkatan pulau Gosong pasir sederhana tak stabil bervegetasi (Simple sand cay, unstable, unvegetated) Gosong pasir bervegetasi stabil (Sand cay, vegetated stabilized) Gosong berbatu dengan atau tanpa vegetasi (Shingle cay, with or without vegetation) Gosong pasir dengan penghalang (Sand cay with shingle rampart) Pulau terumbu dengan paparan batu gamping koral muncul lebih tua (Coral island with older emerged coral limestone platform) Sumber: Zuidam, 1985.
Weyl (1970) membagi terumbu atas zona fore reef, reef flat, dan back reef. Reef flat atau dataran terumbu dijumpai ke arah darat yang terbentuk akibat menurunnya gerakan air sehingga karang yang rapuh bisa bertahan hidup. Berikutnya akan dijumpai terumbu belakang (back reef) di mana dasar laut tertutup oleh sedimen karbonat yang berasal dari skeletal berukuran pasir yang dicirikan dengan keadaan air yang relatif tenang. Kadang-kadang, kelompok karang yang terisolasi membentuk miniatur terumbu takat (patch reefs) yang muncul hampir ke permukaan laut. Patch reefs berbentuk lingkaran, tidak terlalu besar yang muncul di goba atau di belakang terumbu penghalang. Sedikitnya ada lima cara klasifikasi habitat terumbu karang dengan pemetaan penginderaan jauh (Mumby et al., 1998; 2000) yaitu: (1) Klasifikasi untuk pendefinisian habitat secara ad hoc, cara ini lebih sesuai untuk area yang familier, (2) Klasifikasi habitat untuk aplikasi studi yang spesifik, contoh: untuk satu spesies, (3) Klasifikasi habitat secara geomorfologi, cara ini lebih umum untuk penginderaan jauh dan sifatnya relatif langsung karena ada standarnya, (4) Klasifikasi habitat secara ekologi, contoh: dominan alge, dominan lamun, (5) Klasifikasi ekologis dan geomorfologis yang digabung secara hierarkhies, contoh: lagun dangkal dengan lamun. Berhubung penelitian ini berbasis geomorfologi maka dipilih cara klasifikasi geomorfologi. Namun, untuk mengkaji hubungan antara analisis visual dan analisis digital terumbu karang maka dilakukan juga cara gabungan klasifikasi ekologis dan geomorfologis.
37
2.4 Data Penginderaan Jauh Satelit Data penginderaan jauh merupakan suatu data hasil dari kegiatan mengindera sebuah obyek tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut. Data ini biasanya dalam bentuk suatu gambar atau image yang menggambarkan suatu obyek. Sebagai contoh adalah data foto yang diperoleh dari kamera merupakan suatu contoh data yang diperoleh dengan teknik penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni dalam mendapatkan informasi mengenai suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisa data yang didapat menggunakan alat yang tidak melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang diamati (Lillesand dan Kiefer, 1994). Di sisi lain, citra penginderaan jauh menyajikan gambaran muka bumi secara lengkap, sehingga memungkinkan penggunaannya untuk pelbagai bidang. Hal ini menguntungkan bagi pendekatan terpadu karena citra dapat digunakan untuk pelbagai bidang keahlian untuk satu tujuan (Sutanto, 1986). Analisis data penginderaan jauh satelit dibedakan menjadi dua, yaitu analisis digital dan visual. Analisis digital adalah klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya, yang dilakukan secara statistik dengan pengenalan obyek secara teracu (supervised) atau tak teracu (unsupervised). Sedangkan analisis visual adalah penyadapan data citra berupa pengenalan obyek dan elemen serta penyajiannya ke tabel, grafik, atau peta tematik (Sutanto, 1986). Analisis menggunakan Pengenalan
visual
data
unsur-unsur obyek
pada
penginderaan interpretasi citra
jauh
sebagai
umumnya
dilakukan
dengan
pengenalan
obyek.
satelit kunci
didasarkan
atas
penyidikan
karakteristiknya atau atributnya pada citra. Unsur interpretasi meliputi rona/warna, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, dan pola; ditambah dengan tiga unsur tambahan yaitu lokasi, asosiasi, dan resolusi. Unsur-unsur ini dapat digunakan satu-persatu atau secara gabungan. Selain unsur-unsur tersebut, diperlukan pula suatu teknik interpretasi citra, yaitu suatu cara ilmiah sebagai cara/alat khusus dalam metode penginderaan jauh. Cara tersebut antara lain menggunakan data acuan, kunci interpretasi citra, penanganan data, pengamatan stereoskopik, metode pengkajian, dan penerapan konsep multi, seperti multispektral, multispasial, dan multitemporal. Dalam melakukan interpretasi citra, harus dilakukan rangkaian prosedur secara metodik atau per topik dan dimulai dari obyek umum ke obyek
38
khusus dengan mendahulukan obyek-obyek yang telah diketahui. Saat interpretasi, hal yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa karakteristik citra dan kualitas citra pra pengolahan harus sudah diketahui oleh penafsir (Zee, 1990). Pemilihan jenis kanal menjadi pertimbangan dalam penggunaan data penginderaan jauh satelit yang memiliki sistem sensor multispektral. Pada masingmasing kanal mempunyai informasi spektral berbeda dan perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk membedakan antara obyek satu terhadap obyek yang lain. Untuk mengetahui hubungan antar kanal dalam merepresentasikan obyek yang sama sering digunakan parameter koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua kanal dapat dihitung, dan apabila didapatkan nilai yang rendah berarti bahwa kedua kanal ini mempunyai kecenderungan berbeda dalam merepresentasikan obyek yang sama. Dalam hal pembentukan citra komposit Red Green Blue (RGB), Chaves (1982, dalam Jensen, 1986) mengembangkan parameter Optimum Index Factor (OIF) yang secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standard deviasi nilai-nilai spektral pada tiga kanal dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal. Nilai OIF yang tinggi merupakan bentuk komposit yang memiliki keragaman informasi spektral terbanyak. Dalam kegiatan ini dipergunakan data penginderaan jauh hasil dari perekaman satelit, khususnya data Landsat, SPOT, dan QuickBird yang akan dibahas lebih lanjut.
2.4.1 Landsat-7 Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana peluncur roket Delta II. Pada bulan Juli 2003, sensor Scan Line Corrector (SLC) pada Landsat-7 tidak berfungsi yang mengakibatkan hasil rekamannya terdapat stripping di sisi kiri dan kanan setiap scene dan hanya 30% citra di bagian tengahnya dalam keadaan baik. Keunggulan citra Landsat-7 dibandingkan dengan seri sebelumnya adalah ditambahnya kanal pankromatik (kanal 8) dengan resolusi spasial 15 meter dan pada kanal 6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk analisis laut dan darat. Adanya keunggulan ini, maka Landsat-7 disebut juga Enhanced Thematic Mapper plus (ETM+). Adapun keterbatasan citra ini adalah adanya liputan awan (sebagai akibat sistem perekaman optik), dan resolusi spasial 15 meter masih termasuk kasar untuk tujuan pemetaan dengan skala besar. Karakteristik Landsat ETM+ disajikan pada Tabel 4 dan spesifikasinya pada Tabel 5.
39
Tabel 4 Karakteristik kanal Landsat ETM+ Ka nal 1
2
3 4
5
6
7
8
Panjang gelombang (μm) 0,45 – 0,515 (Biru)
Resolusi spasial (m) 30
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan batimetri pada air dangkal. Berguna untuk pembedaan antara tanah dan vegetasi. 0,525–0,605 30 Sesuai untuk mengindera puncak pantulan (Hijau) vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. 0,63–0,69 30 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil (Merah) yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. 0,75 – 0,90 30 Berguna untuk menentukan kandungan (Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai dekat) dan mem-bedakan antara tanaman-tanah dan lahan-air. 1,55 – 1,75 30 Menunjukkan kandungan kelembaban tanah (Inframerah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Bagus tengah I) untuk kekontrasan antara tipe vegetasi. 10,4 – 12,5 60 Berguna untuk mendeteksi gejala alam yang (Infra merah berhubungan dengan panas. Citra malam hari termal) berguna untuk pemetaan termal dan untuk perkiraan kelembaban tanah. 2,09 – 2,35 30 Sama dengan absorbsi kanal yang disebabkan (Inframerah oleh ion hidroksil dalam mineral. Rasio antara tengah II) kanal 5 dan 7 berguna untuk pemetaan perubahan batuan secara hidrotermal yang berhubungan dengan endapan mineral dan sensitif terhadap kandungan kelembaban vegetasi. 0,52 – 0,90 15 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk (Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail. Sumber: disarikan dari EROS Data Centre (1995). Pemrosesan data Landsat ETM+ dari stasiun bumi hingga sampai ke
pengguna adalah berbentuk data yang langsung diterima dari satelit melalui X band dalam dua paket data yang masing-masing ditransmisikan dengan laju 75 Mbps melalui kanal I dan Q. Kanal I membawa data untuk kanal 1 sampai 5 dan kanal 6 untuk low gain, sedang kanal Q membawa data untuk kanal 7 dan kanal 8, serta kanal 6 untuk high gain (Suhermanto, 2001). Level 0R merupakan raw data, dilengkapi dengan beberapa informasi di antaranya kalibrasi, radiometris, dan ketinggian dengan format High Density File (HDF). Level 1R terkoreksi radiometris dengan format HDF. Level 1G telah dikoreksi radiometris dan diresampling untuk koreksi geometris dan teregistrasi pada proyeksi peta. Level 1G ini memiliki
40
karakteristik resolusi radiometris 8 bit, tersedia 7 sistem proyeksi peta, tiga pilihan model resampling, dan dilakukan koreksi sistematik. Tabel 5 Spesifikasi Landsat ETM+ Tipe Spesifikasi Karakteristik orbit: 705 km Ketinggian 98,2° Inklinasi Orbit Sinkron matahari hampir polar Melintas ekuator 9.30 waktu setempat Periode orbit 99 menit 16 hari Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Tipe penyiam Opto–mechanical Resolusi spasial Pan: 15 m, MS: 30 m, Termal: 60 m Resolusi radiometrik 8 bit (256 level) Panjang gelombang 0,45 – 12,5 µm Jumlah kanal 8 Liputan 183 km x 170 km Lebar liputan 183 km Stereo tidak Dapat diprogram (Programmable) ya Sumber: disarikan dari EROS Data Center (1995).
2.4.2 SPOT SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre) 5 merupakan seri ke-5 dari satelit SPOT yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan seri sebelumnya. SPOT 5 diluncurkan pada Mei 2002 ke orbitnya dengan wahana peluncur Ariane 4. Spesifikasi SPOT-5 ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Spesifikasi SPOT-5 Tipe Karakteristik orbit: Ketinggian Inklinasi Orbit Melintas ekuator Periode orbit Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Resolusi spasial Resolusi radiometrik Panjang gelombang Jumlah kanal Liputan Lebar liputan Stereo
Spesifikasi 822 km 98,7 0 Sun-synchronous 10.30 waktu setempat 101,4 menit 26 hari 5/10/20 m 8 bit (256 level) 0,49 – 1,75 µm 6 60 km x 60 km 117 km Ya
41
Dapat diprogram (Programmable) Ya Sumber : disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ Sistem satelit SPOT dirancang oleh Centre National d’Etudes Spatiales (CNES) sebagai kontraktor utama, bekerjasama dengan Astrium dan SPOT Image. Lama operasi SPOT 5 adalah 5 tahun dan CNES bertanggung jawab atas operasi pengendalian orbit satelit dan kinerja sistem pengendali ruas bumi. Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5 ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5 Ka nal B0
Panjang gelombang (μm)
Resolusi spasial (m) HRG
Vege tasi
HRS
0.43 -0.47 (Biru)
-
1 km
-
0.49 -0.61 (Hijau)
10 m
-
-
0.61 -0.68 (Merah)
10 m
1 km
-
0.78 -0.89 (Inframerah dekat/NIR)
10 m
1 km
-
1.58 -1.75 (Inframerah tengah I/ SWIR)
20 m
1 km
-
2,5 m* atau 5m
-
10 m
B1
B2
B3
B4
PA N
0.49 -0.69 (Pankro matik) Lebar sapuan
2250 120 km km Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ 60 km
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan batimetri pada air dangkal. Sesuai untuk mengindera puncak pantulan vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. Berguna untuk menentukan kandungan biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai serta membedakan antara tanaman-tanah dan lahan-air. Menunjukkan kandungan kelembaban tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Bagus untuk kekontrasan antara tipe vegetasi. Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk identifikasi obyek lebih detail. -
SPOT 5 dilengkapi dengan sensor HRG (High Resolution Geometric) yang mempunyai ketelitian geometri tinggi yaitu 50 meter. Sensor HRG dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial 2,5 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut untuk sensor pankromatik dan multi-spektral. Resolusi 2,5 meter merupakan keunggulan SPOT 5 dengan luas liputan 60 km x 60 km. SPOT 5
42
juga dilengkapi dengan dua instrumen lain yaitu pertama, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) untuk menghasilkan pasangan citra stereo yang diperoleh sepanjang lintasan dengan luas liputan 120 km x 600 km. Sensor HRS pada SPOT 5 hanya bekerja pada panjang gelombang pankromatik. Pasangan citra stereo diperoleh dari sensor yang memiliki resolusi spasial 10 meter dengan sudut kemiringan sekitar 200. Citra stereo digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Models (DEM) dengan ketelitian ketinggian 10 meter atau bahkan lebih baik lagi. Kedua, instrumen VEGETATION untuk aplikasi vegetasi dan merupakan sensor yang sama seperti yang tersedia pada SPOT 4. Sensor ini mempunyai resolusi 1km x 1km, lebar cakupan 2.250 km, dan 4 kanal, yakni kanal yang sama seperti instrumen High Resolution Visible Infra Red (HRVIR) terdiri atas B2, B3, dan mid-IR dan interval pengulangan harian (Tabel 8). Tabel 8 Data teknis satelit SPOT SPOT 1- 4 SPOT 5 Instrument HRV/HRVIR HRG HRS Kanal spektrum PAN B1, B2, B3 SWIR VHR PAN B1, B2, B3 SWIR PAN Lebar sapuan (km) 60 60 60 60 60 60 60 120 Resolusi (m) 10 20 20 2.5 5 10 20 5*10 Akurasi lokasi mutlak 350 350 350 50 50 50 50 20 (tanpa GCP) (m) Akurasi geometrik (m) 5 5 5 <3 <3 <3 <3 <3 SNR (L2) 260 380 360 170 170 240 230 190 MTF (fn/2) 0.3 0.45 0.35 0.2 0.3 0.4 0.45 0.3 Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ Data SPOT yang didistribusikan ke pengguna, baik dalam bentuk data digital atau film-fotografi disediakan dalam beberapa tingkat olahan sebagai berikut: Level 1A: Produk level 1A merupakan row data. Untuk itu hanya dilakukan koreksi radiometrik terhadap signal yang diterima oleh detektor, yakni kalibrasi data dari detektor untuk masing-masing kanal spektral. Dalam hal ini belum dilakukan koreksi geometri. Level 1B: Pada level 1B selain dilakukan koreksi radiometrik, juga dilakukan koreksi geometrik terhadap penyimpangan geometri secara sistematik. Selain rotasi bumi dan bentuk kelengkungan bumi, juga dikoreksi pengaruh panorama yang terjadi akibat kemiringan cara pengambilan data dari instrumen High Resolution
Visible
(HRV).
Selain
itu
dilakukan
juga
koreksi
terhadap
43
penyimpangan yang terjadi selama proses pengambilan data akibat perubahan posisi lintasan. Koreksi dilakukan dengan membuat suatu model lintasan satelit, namun tanpa menggunakan titik kontrol tanah (Spot Image 1988). Ketelitian planimetri hasil produk level 1B adalah sekitar + 500 meter. Level 2A: Prosedur koreksi data untuk level 2A menyerupai prosedur pada level 1B. Namun, dalam menggunakan model lintasan pada prosedur ini masih ditambahkan suatu sistem proyeksi kartografi (Proyeksi -Lambert, -UTM, -polar, stereograf dan -polykonik). Hal ini dilakukan masih tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Ketelitian planimetri masih seperti level 1-B sekitar + 500 meter. Kemudian dilakukan lagi dua kali transformasi agar produk level 2A dapat memenuhi proyeksi dari peta topografi. Ketelitian planimetri setelah proses transformasi di atas sekitar ± 80 meter. Level 2B: Pengembangan dilakukan pada level ini selain koreksi sistematik (Level 1B) dan proyeksi kartografi (Level 2A) juga dilakukan koreksi geometrik yang lebih presisi dengan menggunakan bantuan titik kontrol tanah yang didapat dari peta topografi. Relief permukaan (ketinggian) dalam hal ini digunakan juga sebagai parameter koreksi geometrik. Ketelitian planimetri setelah koreksi presisi tersebut berkisar + 20 meter. Level S: Produk level S berdasarkan pada sistem koreksi pada level 2B, tetapi sebagai referensi tidak menggunakan peta topografi melainkan citra SPOT yang telah terkoreksi sebelumnya (Level 1B atau Level 2), dengan sudut kemiringan instrumen-HRV (+1.80) (Spot Image 1988). Ketelitian registrasi dari citra ke citra untuk 2 scene kanal pankromatik sekitar + 0.3 piksel.
2.4.3 QuickBird QuickBird adalah citra observasi bumi komersial yang mempunyai resolusi spasial tinggi. Citra ini dihasilkan oleh perusahaan DigitalGlobe. QuickBird diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 menggunakan wahana peluncur roket Delta II. Citra QuickBird disimpan dalam format GeoTIFF 1.0, NITF 2.1 atau NITF 2.0. Spesifikasi QuickBird disajikan pada Tabel 9. Data QuickBird terdiri atas 4 kanal multispektral yaitu biru, hijau, merah, dan infra merah dekat serta satu kanal pankromatik. Data QuickBird dipasarkan dalam bentuk raw data dan dalam bentuk data terolah yang dikenal dengan sebutan data pansharpen dengan resolusi spasial 0,61 m. Karakteristik kanal QuickBird ditunjukkan pada Tabel 10
44
Tabel 9 Spesifikasi QuickBird Tipe Karakteristik orbit: Ketinggian Inklinasi Orbit Melintas ekuator Periode Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Resolusi spasial
Spesifikasi 450 km 97,2° Sun-synchronous 10.30 waktu setempat 93,5 menit 1 – 3,5 hari sesuai posisi lintang (30° off-nadir)
Pan 0,61 m (nadir) – 0,72 m (25° off-nadir) MS 2,44 m (nadir) – 2,88 m (25° off-nadir) Resolusi radiometrik 8 bit dan 11 bit Panjang gelombang 0,45 µm – 9,0 µm Jumlah kanal 5 Liputan (Normal swat width) 16,5 km x 16,5 km (pada nadir) Lebar liputan 544 km Stereo Tidak Dapat diprogram Ya Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com
Tabel. 10 Karakteristik kanal QuickBird Ka nal 1
Panjang gelombang (μm) 0,450 – 0,520 (Biru) 0,520 – 0,600 (Hijau) 0,630 – 0,690 (Merah)
Resolusi spasial (m) 2,44
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk identifikasi obyek pada air dangkal. 2 2,44 Sesuai untuk mengindera obyek pada air dangkal dan pantulan vegetasi. 3 2,44 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. 4 0,760 – 0,900 2,44 Berguna untuk menentukan kandungan (Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai dekat) serta membedakan antara tanaman - tanah dan lahan - air. 5 0,450 – 0,900 0,61 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk (Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail. Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com
2.5 Model dan Pengelompokan Pulau Kecil 2.5.1 Model
45
Model atau pola pengelompokan hendaknya memperhatikan karakteristik wilayah Indonesia yang mempunyai keanekaragaman yang berkaitan dengan bio-geo-sosio-kultural dan bersifat georeferensi (Sulasdi, 2000). Model dapat merupakan contoh untuk ditiru, bentuk, pola atau rancangan, serta dapat merupakan cerminan, gambaran, atau abstraksi (Amirin, 1986). Model menjadi alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, perumusan tujuan dan pengembangan serta penentuan pilihan alternatif kebijaksanaan. Model adalah representasi kenyataan yang disederhanakan untuk menyajikan kenampakan atau hubungan yang jelas dalam suatu bentuk umum, misalnya perkiraan kenyataan yang selektif. Model dikategorikan menjadi tiga: 1) model deskriptif, yang menguraikan dunia nyata, seperti peta; 2) model prediktif mengenai perkiraan yang mungkin terjadi pada kondisi tertentu seperti model erosi tanah; 3) model keputusan, digunakan untuk menyarankan langkah kasus tertentu untuk diikuti dalam menanggapi lingkungan tertentu. Model keputusan dipertimbangkan sebagai rekomendasi terstruktur yang digunakan dalam kaitan dengan model-model prediktif dan deskriptif (Valenzuela, 1990). Permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Model adalah gambaran dari keadaan nyata. Model dikategorikan atas jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian, dan derajat keabstrakan. Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi: 1) analisis kebutuhan antar pelaku, 2) formulasi permasalahan, 3) identifikasi sistem, 4) permodelan sistem, 5) verifikasi dan validasi model, dan 6) implementasi model (Eriyatno, 1998). Model keputusan dengan pendekatan sistem sesuai untuk tujuan pengelolaan pulaupulau kecil yang bertujuan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Model yang canggih adalah yang memerlukan input sedikit tetapi mampu menjelaskan proses yang cukup banyak dengan tingkat ketelitian dan ketepatan yang relatif tinggi. Citra penginderaan jauh menggambarkan ujud dan letak obyek mirip dengan ujud dan letaknya di permukaan bumi, sehingga citra dapat disebut sebagai model medan. Ujud gambar di citra mirip ujud obyek sebenarnya sehingga citra merupakan model ikonik (Sutanto, 1986). Pada dasarnya model di dunia tidak pernah tertutup. Database dalam suatu SIG adalah model dunia nyata yang dapat digunakan untuk meniru aspek-aspek kenyataan tertentu. Suatu model mungkin disajikan dalam kata-kata, pernyataan-pernyataan matematis atau sebagai susunan hubungan-hubungan spasial yang disajikan sebagai suatu peta. Karakteristik terpenting SIG adalah kemampuan untuk fungsi
46
analisis spasial. Fungsi-fungsi ini menggunakan atribut-atribut spasial dan nonspasial dalam database untuk menjadi pernyataan-pernyataan tentang dunia nyata. 2.5.2 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan Tektonogenesis untuk Perencanaan Tata Ruang Darat, Laut, dan Dirgantara Nasional dibuat berdasarkan genesis dan kedudukan terhadap tataan tektonik regional pulau-pulau dan gugusan pulau di Indonesia saat ini (PSG, 2006). Pengelompokan ini membagi menjadi empat yaitu: (1) Kelompok pulau yang terbentuk di luar busur magmatik, disebut kelompok pulau busur muka, (2) Kelompok pulau yang terbentuk pada busur magmatk, disebut kelompok pulau busur magmatik, (3) Kelompok pulau yang terbentuk pada paparan benua dan busur belakang, disebut kelompok pulau paparan benua dan busur belakang, (4) Kelompok pulau yang terbentuk sebagai benua renik, disebut kelompok pulau benua renik (Gambar 6). Tektonogenesis digunakan sebagai dasar pengelompokan karena konsep tektonik lempeng terbukti memiliki kelebihan dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan teori–teori yang telah dikenal sebelumnya. Dasar pemikiran teori tektonik lempeng adalah bahwa bumi ini dianggap sebagai suatu benda yang dinamis yang sedang mengalami pendinginan secara konvektif dan di permukaan tampak gerakan-gerakan mendatar dengan kecepatan berkisar antara 1 hingga 13 cm per tahun. Tektonogenesis memberikan ciri khas bagi pulau kecil atau gugusan pulau yang memperlihatkan adanya keteraturan berdasarkan sifat-sifat geologinya. Tataan geologi wilayah Indonesia yang dikenal rumit, terjadi sebagai akibat interaksi 3 lempeng utama dunia, yaitu lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun, lempeng Samudera Hindia-Benua Australia (Indo-Australia) yang bergerak ke utara-timurlaut dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun, serta lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, namun resultante sistem kinematiknya menunjukkan gerakan ke arah baratdaya dengan kecepatan mencapai 13 cm per tahun. Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi adalah cara pengelompokan lebih rinci dan lebih detail dibandingkan cara yang berbasis tektonogenesis. Teknik pengolahan citra penginderaan jauh satelit dikaji sebagai
47
salah satu data untuk mengenali karakteristik pulau kecil dan ekosistemnya. Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya ini dibangun untuk pengelolaan daerah penangkapan ikan dengan mengkaji kondisi perikanan pantai.
48
Gambar 5 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis. Sumber: Pusat Survei Geologi Bandung (2006).
49
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian adalah dua tahun mulai pertengahan tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yang dibagi menjadi tiga periode meliputi pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Periode pengumpulan data membutuhkan waktu satu tahun dan paling lama adalah pengumpulan citra QuickBird karena menunggu saat perekaman yang bebas awan. Pengolahan data citra penginderaan jauh dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan perolehan data yaitu antara bulan Juni 2006 sampai Juni 2007. Verifikasi hasil pengolahan dan analisis sementara di lapangan dilaksanakan dalam kurun waktu 8 bulan antara bulan Februari sampai September Tahun 2007. Periode analisis data dilaksanakan dalam kurun waktu 10 bulan antara bulan Maret sampai Desember Tahun 2007. Pada bulan Januari 2008 dimulai penulisan hasil penelitian. Lokasi penelitian difokuskan pada tiga kota/kabupaten yang memiliki banyak pulau kecil agar pemilihan model dapat mewakili tiga tipe pulau beserta keragaman karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia yaitu 1) Kota/Kabupaten Batam 2) Kabupaten Sikka, dan 3) Kabupaten Sitaro. Dalam hal ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik, kepulauan di Kabupaten Sikka dapat mewakili pulau kecil tipe vulkanik dan pulau kecil tipe terumbu, dan kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil tipe vulkanik. Ketiga tipe pulau ini dapat mewakili karakteristik biogeofisik secara umum untuk pulau-pulau kecil di Indonesia. Selain itu, daerah penelitian juga ditentukan untuk mewakili tiga ekosistem laut utama. Ekosistem laut yang dimaksud adalah mangrove, terumbu karang, dan lamun. Pulau kecil dengan karakteristik biogeofisik tertentu akan membentuk ekosistem laut yang spesifik pula, sehingga pemilihan setiap tipe pulau kecil sebagai model pulau juga mempertimbangkan keragaman ekosistem lautnya. Dalam hal ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun, kepulauan di Kabupaten Sikka dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem terumbu karang, sedangkan kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem mangrove dan lamun. Kota Batam merupakan wilayah setingkat kabupaten dimana wilayah perairannya tersusun atas pulau-pulau kecil.
3.1.1 Kota Batam Kota/Kabupaten Batam, Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0°55’ – 1°55’ Lintang Utara dan 103°45’ – 104°10’ Bujur Timur dengan pusat kota pada 1°07’ Lintang Utara dan 104°07’ Bujur Timur (Gambar 6). Luas wilayah administrasi Kota Batam adalah 96.900 Ha.
G Gambar 6 Citra Kota/Kabupaten Batam, Landsat RGB 543.
50
Secara administratif Kota Batam berbatasan langsung dengan Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Karimun, yaitu: Sebelah Utara Sebelah Timur
: :
Sebelah Selatan : Sebelah Barat :
Selat Singapura Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepulauan Riau Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun, Kabupaten Karimun
Kota Batam berada di Laut Cina Selatan dan secara geografis mempunyai posisi yang strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan berjarak 12,5 mil laut dengan negara Singapura. Jumlah pulau yang bernama adalah 329 buah dan beberapa pulau belum diberi nama (Lampiran 1). Pulau Nipa sebagai pulau terluar yang terancam lenyap oleh penggalian pasir dapat menimbulkan kekhawatiran menyangkut batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Luas pulau-pulau di Kota Batam adalah 100.453 Ha, luas perairan 144.619 Ha, dan luas total wilayahnya adalah 245.073 Ha. Artinya bahwa persentase luas perairan wilayah Kota Batam adalah sekitar 59%. Sementara itu, panjang garis pantainya adalah 1.715 km. Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kota Batam termasuk dalam kelompok paparan benua dan busur belakang.
3.1.2 Kabupaten Sikka Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur berada di antara 8º05’ – 8º40’ Lintang Selatan dan 121º39’ – 122º39’ Bujur Timur. Daerah administrasi Kabupaten Sikka terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu daerah administrasi yang berada di pulau besar (Flores) dan daerah administrasi di pulau-pulau kecil (Gambar 7). Kabupaten ini merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas vulkanis
masih
berlangsung
intensif
pada
sistem
ini.
Aktivitas
tersebut
menghasilkan deretan pulau besar dan kecil yang banyak di antaranya merupakan pulau vulkanik (Bemmelen, 1970). Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kabupaten Sikka termasuk kelompok busur magmatik. Pulau-pulau kecil yang tercakup dalam kabupaten ini di antaranya adalah Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi, Pomana-besar, Pomana-kecil,
51
Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue. Di antara pulau-pulau kecil tersebut, pulau yang didiami adalah Pulau Palue (374,31 Ha), Pulau Parumaan (64,71 Ha), Pulau Pomana-Besar (50,9 Ha), dan Pulau Sukun (30,77 Ha). Pulau Babi (88,37 Ha) tidak didiami lagi sejak dilanda bencana tsunami tahun 1992, dan kini penduduknya tinggal di Nangahale, Pulau Flores. Meskipun sebagian dari nelayan yang berasal dari Pulau Babi masih tetap mencari ikan dan hasil laut lain di perairan sekitar Pulau Babi (Lampiran 2). Berdasarkan perhitungan dari citra Landsat, luas daratan Kabupaten Sikka adalah 285.622,894 Ha yang meliputi luas pulau kecil 28.407,475 Ha (9,9 %) dan luas wilayah di Pulau Flores adalah 257.215,419 Ha (90,1 %). Luas lautan adalah 471.569,969 Ha yang diukur dengan batas 4 mil dari garis pantai pulaupulau terluar. Dengan kata lain, wilayah lautan dua kali lebih luas dibandingkan luas daratannya. Panjang garis pantai di Kabupaten Sikka adalah 444.506,777 meter yang meliputi pantai di Pulau Flores bagian Utara adalah 205.659,01 meter (46,27%), di Pulau Flores bagian Selatan adalah 156.872,168 meter (35,29%), dan di pulau-pulau kecil (Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi, Pomana-besar, Pomana-kecil, Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue) adalah 81.975,599 meter (18,44%).
3.1.3 Kabupaten Sitaro Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara terletak antara 2°00’ – 3°00’ Lintang Utara dan 125°10’ – 125°50’ Bujur Timur dengan ibu kota kabupaten dan pusat kota di Ulu, Pulau Siau. Kabupaten Sitaro, namanya diambil dari nama pulau utama yang relatif besar yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro (Gambar 8). Jumlah pulaunya adalah sekitar 22 buah dan Pulau Makalehi sebagai pulau terluar berbatasan dengan Philipina (Lampiran 3). Kabupaten Sitaro resmi memisahkan dari Kabupaten Sangihe pada Tahun 2007. Berdasarkan hasil perhitungan dari citra Landsat, luas wilayah kepulauan Sitaro adalah 33.624,96 Ha (6,76%), luas laut dengan batas 4 mil adalah 463.969,788 Ha (93,24%), dan panjang garis pantai adalah 287.207,675 m. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Sangihe dan Kota Manado, yaitu: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat
: : : :
Kabupaten Sangihe Laut Maluku Kota Menado Laut Sulawesi
52
Gambar 7 Citra Kabupaten Sikka, Landsat RGB 542.
53
Gambar 8 Citra Kabupaten Sitaro, Landsat RGB 542.
Kabupaten Sitaro merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas vulkanis masih berlangsung intensif dan menghasilkan deretan pulau besar dan kecil yang banyak di antaranya merupakan pulau vulkanik (Bemmelen, 1970). Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kabupaten Sitaro termasuk kelompok busur magmatik. Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi aktif yaitu Gunung Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang.
54
3.2 Data dan Peralatan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Citra Landsat ETM+, Kota Batam, P/R 125/59 tanggal 11 Mei 1996, 15 April 2001, dan 8 Agustus 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (2) Citra Landsat ETM+, Kabupaten Sikka, Path/Row 112/066, tanggal 1 Juni 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (3) Citra Landsat ETM+, Kabupaten Sitaro, Path/Row 111/58, tanggal 18 Mei 2002 dan Path/Row 111/59, tanggal 7 September 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8, (4) SPOT-4, daerah Sitaro, tanggal 15 Januari 2007 dan daerah Batam, tanggal 12 Mei 2006, kanal 1, 2, 3, 4 dan SWIR, (5) SPOT-5, daerah Batam bagian utara, tanggal 7 April 2003, Pansharpen, (6) Citra QuickBird, Pulau Bokor dan Pulau Mentiang, Kota Batam tanggal 25 Mei 2006, Pansharpen, (7) Citra QuickBird, Pulau Babi, Kabupaten Sikka tanggal 19 Mei 2005, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5, (8) Citra QuickBird, Pulau Pomana, Kabupaten Sikka tanggal 25 Mei 2007, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5, (9) Citra QuickBird, Pulau Ruang dan Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro tanggal 2 Agustus 2005, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5. (10) Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Tanjungpinang dan lembar Tahuna skala 1:250.000 diterbitkan oleh Bakosurtanal, (11) Peta Rupa Bumi Indonesia: skala 1:25.000, tahun 1999: lembar Uwa 2207-414 (Pulau Palue), lembar Nebe 2207-611 (Pulau Babi), lembar Koja Besar 2207-521 dan 522 (Pulau Besar, Pulau Parumaan, dan Pulau Kondo), dan lembar Pomana 2207-523 (Pulau Pomana) diterbitkan oleh Bakosurtanal, (12) Peta Geologi skala 1:250.000, lembar Tanjungpinang oleh Kusnama, dkk, tahun 2004, lembar Ende, Nusa Tenggara Timur oleh N. Suwarna, dkk., tahun 1989, dan lembar Sangihe dan Siau, Sulawesi oleh Hanang Samodra, tahun 1994, diterbitkan oleh Puslitbang Geologi, Bandung, (13) Peta
Lingkungan
Pantai,
skala
1:1.000.000
diterbitkan
oleh
Bakosurtanal, (14) Peta Pulau-pulau Riau dan Air Pelayaran Sekitarnya skala 1:100.000 tahun 2001 dan Pulau-pulau Riau Selat Bulan skala 1:50.000, tahun
55
1999, Peta Laut Sulawesi, Pulau-pulau Sangihe, skala 1:200.000, 1:50.000, dan 1:25.000; Peta Air Pelayaran dan Tempat Berlabuh sekitar Flores Pantai Utara, Nusa Tenggara, Lembar II, skala 1:100.000, 1:50.000, dan 1:25.000 tahun 2001; diterbitkan oleh Jawatan HidroOseanografi, (15) Atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional, skala 1: 1.000.000 diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi, Bandung, (16) Data ikan karang daerah Batam untuk mewakli tipe pulau tektonik dan daerah Sikka untuk mewakili tipe pulau vulkanik dan tipe pulau terumbu, (17) Data geomorfologi dan penutup lahan pulau-pulau model di Batam, Sikka, dan Sitaro hasil survei lapangan, dan (18) Data perikanan dari Dinas Perikanan terkait dan wawancara langsung dengan nelayan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Komputer jenis PC, IBM compatible dengan sistem operasi Microsoft Windows XP, (2) Software ER-Mapper versi 6.4, (3) Arc-Info 3.5, Arc-View versi 3.1, (4) Adobe Photoshop versi 6.0, dan (5) Peralatan cek lapangan berupa citra, kamera, GPS, peta, kompas geologi, notebook, dan peralatan selam.
3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Data pulau kecil dan ekosistem laut Pengumpulan data pulau kecil dan ekosistem laut dimaksudkan sebagai pengumpulan data selain citra yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu di laboratorium dan di lapangan. Kegiatan di laboratorium meliputi pengumpulan data berupa peta-peta dan data sekunder lain. Pengumpulan data di lapangan dilakukan melalui kegiatan pra-survei dan survei yang bertujuan untuk pengamatan dan verifikasi hasil interpretasi. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan seperti diuraikan pada sub bab 3.2. Peta Geologi dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1:250.000 relatif tidak sebanding dengan citra Landsat, sehingga dengan kesenjangan ini peran data lapangan jadi meningkat. Peta Air Pelayaran memiliki skala bervariasi dan terdapat
56
skala detail untuk daerah-daerah tertentu yang berupa pelabuhan. Dari Peta RBI dikumpulkan data topografis berupa relief, ketinggian, dan kontur; sedangkan dari Peta Geologi dikumpulkan data geologis berupa jenis dan struktur batuan. Peta Air Pelayaran digunakan untuk mengetahui kondisi batimetri perairan laut dangkal di sekitar pulau. Data lapangan dikumpulkan sebagai dasar verifikasi akhir identifikasi tipe pulau dan ekosistem laut sehingga bersifat sebagai pengecekan hasil analisis di laboratorium. Metode pengumpulan data geomorfologi di lapangan dilakukan menurut unit lahan (landunit) untuk mewakili karakter biogeofisik lahan pulau kecil dan ekosistem lautnya. Pengumpulan data lapangan meliputi karakteristik bentuklahan (landforms) dan kualitas lahan, proses geomorfologi (erosi dan banjir/aliran lava dan piroklastik), tipe batuan, karakteristik tanah, karakteristik air permukaan dan air tanah, dan vegetasi alami dan lahan budidaya. Data hasil pengamatan ini disajikan di Lampiran 10. Kegiatan di lapangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pra-survei dan survei, yang keduanya dilakukan pada pulau kecil yang dipilih sebagai daerah model. Pra-survei dilakukan untuk validasi dan penentuan model pulau kecil yang mewakili tiga tipe dan tiga ekosistem laut utama, sedangkan survei dilakukan untuk verifikasi dan validasi hasil identifikasi parameter-parameter penelitian yang dilakukan di laboratorium. Survei ini selain mengumpulkan bukti-bukti kebenaran atau ketidakbenaran hasil interpretasi di laboratorium juga untuk melakukan analisis secara rinci di lapangan, terutama untuk obyek-obyek yang sulit diinterpretasi dan diidentifikasi di laboratorium. Data pulau kecil dikumpulkan untuk mewakili tiga tipe pulau yang berbeda yang digunakan sebagai model tipe pulau kecil untuk diteliti lebih rinci dan detail. Pulau kecil sebagai model tipe pulau memerlukan data morfologi, morfogenesis, jenis batuan, struktur batuan, dan relief. Dalam hal ini, pertimbangan aspek morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili prosesproses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil di Indonesia. Selain itu, setiap tipe pulau kecil dipilih beberapa pulau sejenis sebagai verifikasi yang digunakan untuk membandingkan tingkat akurasi pengolahan dan analisis. Hal ini dilakukan karena adanya kemungkinan variasi proses geomorfologis dan kondisi penutup lahan di atas pulau kecil yang setipe di daerah penelitian. Dengan demikian setiap tipe pulau kecil memiliki pasangan pulau kecil model dan pulau kecil verifikasi yang sejenis.
57
Setiap tipe pulau yang dikumpulkan datanya digunakan juga sebagai model yang mewakili variasi ekosistem laut. Model pulau kecil tipe tektonik dipilih dari lokasi yang berlainan untuk memperoleh variasi kondisi ekosistem laut. Model pulau kecil tipe vulkanik dipilih berdasarkan perbedaan tingkat aktivitas vulkanik yaitu pulau kecil dengan gunungapi aktif sampai dengan pulau kecil tipe vulkanik tidak aktif yang terdenudasi lanjut. Sementara itu, model pulau kecil tipe terumbu dipilih berdasarkan perbedaan ukuran pulau. Secara garis besar, pulau-pulau kecil yang dipilih sebagai model diseleksi berdasarkan pada 1) tipe pulau, 2) kelengkapan data yaitu citra penginderaan jauh dan peta, 3) variasi proses geomorfologis yang berlangsung, dan 4) keragaman ekosistem laut. Pengumpulan data pulau kecil tipe tektonik di Kota/Kabupaten Batam dikelompokkan menjadi lima yaitu model 1 terdiri atas Pulau Bokor dan Pulau Mentiang; model 2 meliputi Pulau Jandaberhias dan Pulau Lengkang; model 3 mencakup Pulau Dangsi dan Pulau Calang; model 4 terdiri atas Pulau Awi dan Pulau Ngenang; dan model 5 adalah Pulau Hantu, dan Pulau Ranu (Gambar 6). Pengumpulan data pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sitaro terdiri atas Pulau Tagulandang, Pulau Pasighe, dan Pulau Ruang (Gambar 7), dan di Kabupaten Sikka terdiri atas Pulau Besar, Pulau Palue, Pulau Babi, Pulau Parumaan, dan Pulau Kondo (Gambar 8). Pengumpulan data pulau kecil tipe terumbu di Kabupaten Sikka terdiri atas Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil (Gambar 8).
3.3.2 Data perikanan pantai Pengumpulan data perikanan pantai dimaksudkan untuk verifikasi hasil identifikasi karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal dari analisis geomorfologi daratan. Verifikasi ditempuh dengan menganalisis kaitan antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kesehatan perikanan pantai. Data ikan dikumpulkan melalui penyelaman dengan metode pengukuran visual (visual measurement assesment), wawancara dengan nelayan dan karyawan Dinas Perikanan setempat dan instansi terkait, dan dari database atau hasil laporan. Pengamatan langsung di lapangan melalui penyelaman dengan mencatat jenis spesies, jumlah tiap spesies, dan ukuran spesies yang dijumpai pada kedalaman 3 m dan 10 m sepanjang 50 m (Tabel 11).. Ukuran species dibedakan menjadi empat macam yaitu A: 0-10 cm; B: 10-20 cm; C: 20-30 cm, dan D> 30 cm. Kedalaman penyelaman dibedakan berdasarkan intensitas sinar matahari yaitu 3 m
58
atau pada bagian lereng atas terumbu atau gudus (reef crest) dan 10 m atau pada bagian lereng bawah terumbu atau tubir (reef slope) (English and Baker, 1997) untuk mewakili pertumbuhan terumbu yang baik dan yang kurang baik. Cakupan daerah pengambilan data menurut jarak lebar pandang penyelam. Hasil pengumpulan data ikan karang disajikan di Lampiran 11.
Tabel 11 Pengumpulan data ikan Komposisi ikan a. jenis spesies b. jumlah spesies c. ukuran spesies
Lokasi Di tiga tipe pulau dengan kondisi karakteristik biogeofisik berbeda
Cara perolehan Penyelaman dan wawancara
Stasiun pengambilan sampel ikan dipilih di tiga tipe pulau di Kabupaten Sikka yaitu pulau tipe vulkanik, pulau tipe terumbu, dan pulau tipe atol, dengan jenis bentuklahan berbeda yang berarti pada kondisi karakteristik biogeofisik berbeda. Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau kecil tipe vulkanik dipilih di Pulau Palue dan Pulau Babi. Pulau Palue adalah pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif dengan gunungapi aktif. Stasiun Pulau Palue-Timur berada di pantai yang relatif lebih rendah dari gangguan endapan piroklastik dan sampel diambil hanya pada kedalaman 10 meter karena keterbatasan waktu. Pulau Babi adalah pulau kecil tipe vulkanik yang dikelilingi oleh bentuklahan terumbu pinggiran bergoba. Stasiun Pulau Babi Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang sempit dengan pengaruh bentuklahan rawa payau dan bentuklahan rataan pasang surut. Stasiun Pulau Babi Utara berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang lebih lebar (Gambar 9 a dan b). Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe terumbu dipilih di Pulau Pomana-besar di bagian selatan dan barat. Stasiun Pulau Pomana-besar Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang mewakili perkembangan terumbu tahap awal, sedangkan stasiun Pulau Pomana-besar Barat berhadapan dengan bentuklahan terumbu paparan bergoba yang mewakili perkembangan terumbu tahap lanjut (Gambar 9 c). Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe atol dipilih di Pulau Gunung-sari pada dua lokasi. Stasiun Gunung-sari Dalam yaitu berada di bagian dalam terumbu cincin (atol) dan stasiun Gunung-sari Luar yaitu berada di bagian luar terumbu cincin. Di bagian dalam terumbu cincin, terumbu karang
59
berkembang berbentuk karung terbuka menghadap ke atas dengan kedalaman sekitar 30 m, sedangkan di bagian luar terumbu cincin, terumbu karang berkembang membentuk lereng terjal (Gambar 9 d).
a) Pulau Palue
b) Pulau Babi
d) Pulau Gunung-sari Gambar 9 Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan di Kabupaten Sikka. Lokasi stasiun c) Pulau Pomana-besar
3.3.3 Citra penginderaan jauh satelit Jenis data penginderaan jauh satelit yang dikumpulkan meliputi citra resolusi menengah yaitu Landsat dan SPOT-4 diperoleh dari LAPAN, serta citra resolusi tinggi yaitu SPOT-5 dan QuickBird dipesan dari agennya. Citra Landsat dipilih pada kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 8 dengan resolusi spasial 15 m. Citra SPOT-4 dipilih kanal 1, 2, 3, 4 dengan resolusi spasial 20 meter, sedangkan citra berupa pansharpen dengan resolusi spasial 5 meter. Citra QuickBird digunakan seluruh kanal yaitu kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 5 dengan resolusi spasial 0,6 m. Penggunaan citra SPOT-5 difungsikan untuk mendukung analisis visual, sedangkan citra QuickBird difungsikan untuk validasi dan verifikasi terhadap citra Landsat karena kedua citra ini memiliki kisaran panjang gelombang yang sama. Pengumpulan citra diupayakan dengan persentase liputan awan serendah mungkin dan kendala ini diselesaikan dengan cara menyeleksi citra dari beberapa tanggal perekaman yang tersedia. Pemilihan tanggal citra atau waktu perekaman tidak menjadi pertimbangan utama dalam analisis berbasis geomorfologi karena
60
analisisnya memanfaatkan obyek-obyek di permukaan yang relatif statis. Hal ini berbeda dengan obyek penutup/penggunaan lahan yang relatif dapat berubah lebih dinamis. Pulau-pulau kecil dan ekosistem laut yang dipilih sebagai model adalah daerah dimana citranya tanpa awan agar hasil pengolahan citra dapat mencerminkan nilai spektral obyek yang sebenarnya. Data tersebut dikumpulkan dengan pemotongan (cropping) citra dan disimpan dalam bentuk data set untuk citra kanal multispektral dan citra kanal pankromatik. Dengan demikian terdapat tiga kelompok data set citra meliputi pulau tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu termasuk di dalamnya ekosistem laut utama yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun. Tiap daerah model disimpan dalam bentuk data set yang dipisahkan antara kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda, yaitu untuk data Landsat akan diperoleh satu set data kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 meter, dan satu set data kanal 8 yang mempunyai resolusi spasial 15 meter. Bentuk data set serupa juga dibuat untuk citra SPOT dan QuickBird. Data set daerah model digunakan untuk permodelan pengolahan data yaitu fusi dan penajaman serta untuk analisis karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut. 3.4 Pengolahan Data 3.4.1 Fusi multispektral Fusi dimaksudkan sebagai penggabungan beberapa kanal yang terdapat pada citra Landsat ETM+, SPOT-4, dan QuickBird untuk mendapatkan tampilan citra yang tajam. Fusi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi multispasial. Fusi multispektral adalah penggabungan antar kanal dengan resolusi spasial sama. Dalam hal ini, untuk citra Landsat menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m. Fusi yang sama dilakukan pada citra SPOT-4 menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan SWIR dengan resolusi spasial 20 m, sedangkan citra QuickBird menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m. Fusi multispektral terbaik diseleksi menggunakan algoritma Optimum Index Factor (OIF) seperti pada persamaan 1 berikut:
(1) keterangan: Sk : standar deviasi nilai-nilai spektral pada kanal
61
Abs (rj): nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal. Citra Landsat dengan 6 kanal dapat diperoleh kombinasi 3 (tiga) kanal sebanyak C36 = 6! / (3!) (6-3)! = 20. Menurut Jensen (1986) dari 20 kombinasi tersebut hasil yang terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF tinggi. Namun Danoedoro (1996) mengemukakan bahwa bentuk kombinasi yang memakai kanal 1 atau spektrum biru sebaiknya tidak digunakan untuk tujuan interpretasi obyek, karena kanal 1 mengandung hamburan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan OIF untuk enam kanal citra Landsat, dan dipilih kombinasi yang mempunyai nilai OIF tertinggi selain kombinasi dengan kanal 1. Kombinasi dengan nilai tertinggi ini dapat menyajikan keragaman warna paling banyak sehingga informasi obyek-obyek dapat diidentifikasi secara optimal. Keragaman warna terbanyak dari tiga kanal, untuk resolusi radiometrik 8 bit, adalah sebesar (28)3 = 16.777.216 warna. Kombinasi tiga kanal yang terpilih digunakan untuk membuat citra komposit warna dengan memasukkan setiap kanal ke dalam filter merah, hijau, dan biru. Dari kombinasi 3 kanal terpilih, didapatkan P33 = 3! / (3-3)! = 6 kemungkinan tampilan citra komposit berwarna. Keenam tampilan citra komposit ini berbeda dalam warna, tetapi jumlah warna atau jumlah kisaran nilai digitalnya tetap sama. Dengan kata lain, tingkat kedetailan informasi keenam citra komposit adalah sama. Dalam hal ini, pada dasarnya kombinasi kanal yang optimal ditentukan oleh terain, iklim, dan sasaran interpretasi (Sabin, 1997).
3.4.2 Penajaman Penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah diperoleh fusi multispektral
terseleksi.
Penajaman
citra
meliputi
semua
operasi
yang
menghasilkan citra ‘baru’ dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral berbeda (Danoedoro, 1996). Pada tahap ini beberapa jenis penajaman dianalisis dan kemudian dipilih jenis penajaman terbaik. Kisaran nilai digital setiap obyek diketahui pada saat proses penajaman citra dikerjakan. Pada pengolahan data penginderaan jauh dikenal dua jenis penajaman, yaitu penajaman spektral atau kontras dan penajaman spasial atau filtering. Penajaman spektral
adalah
manipulasi
citra
dengan
merentangkan
histogram
untuk
mendapatkan kecerahan citra. Cara ini disebut juga operasi titik, karena di dalam
62
pemrosesan citra, operasi transformasi warna atau kecerahan dipakai pada setiap piksel (titik) dari suatu set data independen untuk diaplikasikan pada seluruh piksel lainnya. Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman yang ada pada perangkat lunak ER-MAPPER 6.4., yang meliputi transformasi linier, transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi nilai aktual. Setiap transformasi ini menghilangkan 0,5% di kanan dan kiri histogram. Proses penajaman spasial atau filtering dibagi jadi tiga jenis, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Filter yang pertama digunakan untuk menghaluskan kenampakan citra dan filter yang kedua digunakan untuk menonjolkan perbedaan antar obyek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat antar obyek (Danoerdoro, 1996). Filter yang kedua ini biasa digunakan untuk menajamkan detail tanpa berpengaruh pada bagian frekuensi rendah dari citra. Adapun filter yang ketiga dipakai untuk menajamkan obyek-obyek yang terletak di sekitar tepi pada citra (ER-MAPPER 5.5, 1997). Untuk penajaman spasial low pass filter, dipakai tiga jenis yaitu average 7 x 7, average 3 x 3, dan average diagram. Untuk penajaman spasial high pass filter dipilih tiga algoritma yaitu sharpen-2, sharpen-11, sharpedge, sedangkan untuk penajaman spasial edge detection filter dipilih tiga bentuk algoritma yaitu different, gradien in the x direction, dan gradien in the y direction. Algoritma-algoritma yang ada pada ketiga jenis penajaman spasial tersebut kemudian diterapkan pada model-model penajaman spektral yang telah diseleksi sebelumnya. Hasil dari proses-proses penajaman ini kemudian diseleksi dan dipilih satu yang memiliki tampilan visual paling jelas untuk setiap model pulau kecil. Data SPOT-4 dan QuickBird diolah untuk mendapatkan citra komposit dengan proses penajaman seperti yang dilakukan pada citra Landsat. Citranya digunakan sebagai pendukung dan pembanding analisis obyek-obyek di pulau kecil dan ekosistem laut.
3.4.3 Fusi multispasial Fusi multispasial merupakan penggabungan kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada penelitian ini dilakukan penggabungan antara komposit kanal multispektral dengan kanal pankromatik. Pengolahan ini disebut juga sebagai penajaman yaitu dengan meningkatkan resolusi spasial. Pada citra Landsat ETM+ dilakukan penggabungan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 resolusi
63
spasial 30 m dengan kanal 8 resolusi spasial 15 m. Pada citra QuickBird dilakukan penggabungan antara kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 resolusi spasial 2,44 m dengan kanal 5 resolusi spasial 0,6 m. Pada penggabungan ini, kanal 8 dan kanal 5 (pankromatik) ditempatkan pada bagian “intensity”, sehingga diperoleh suatu kombinasi Red Green Blue Intensity atau disingkat RGBI (ER-MAPPER 5.5, 1997). Citra SPOT-4 tidak diperoleh kanal pankromatik sehingga tidak dilakukan fusi multispasial. Demikian halnya untuk citra SPOT-5 dan citra QuickBird daerah Batam karena citra yang diperoleh telah diolah (bukan data asli) atau disebut citra pansharpen.
3.5 Analisis Data 3.5.1 Pulau kecil Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut diinterpretasi dari tampilan citra komposit dari hasil pengolahan citra terseleksi. Tahapan interpretasi dan analisis adalah identifikasi, delimitasi, dan delineasi bentuklahan. Identifikasi adalah mengenali bentuklahan atau obyek dan memberikan nama bentuklahan atau obyek. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan atau obyek pada citra yang diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya di lapangan, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan atau obyek tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan ke dalam bentuk peta bentuklahan dan menjadi suatu unit dalam deskripsi karakteristik biogeofisik. Satu unit bentuklahan berupa satu poligon. Analisis pulau kecil berbasis geomorfologi menggunakan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Analisis ini untuk mendapatkan kelas bentuklahan pada pulau-pulau kecil dan bentuklahan terumbu yang dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape). Cara pendekatan ini lebih sesuai karena berdasarkan pada prinsip geomorfologi yang menggunakan bentuklahan, litologi, dan genesis (proses masa kini dan masa lalu) (Zuidam, 1985). Metode klasifikasi bentuklahan dilakukan menurut kelas-kelas pada skala 1:50.000 sesuai dengan pedoman teknis pemetaan tematik dasar.
3.5.2 Ekosistem laut Mangrove Analisis data mangrove dilakukan secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi dengan pendekatan analisis geomorfologi, sedangkan analisis digital
64
adalah untuk mendapatkan informasi kualitasnya melalui tingkat kerapatan vegetasi. Metode analisis geomorfologi untuk mengenali mangrove dari aspek morfologi adalah dari bentuk topografi pulau kecil yang berupa dataran. Bentuklahan yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove antara lain bentukan asal marin dan fluvio-marin. Dari aspek morfoarrangement, mangrove tumbuh pada atau dekat dengan bentuklahan yang memungkinkan terbentuk air payau, seperti bentuklahan-bentuklahan delta, rataan pasang surut, dataran pantai, dan dataran aluvial pantai. Sebaliknya pada bentuklahan cliff dan beting gisik, mangrove jarang dijumpai. Analisis menggunakan aspek morfoarrangement pulau kecil memberikan informasi mengenai kemungkinan tumbuh atau tidaknya mangrove di suatu pesisir. Sementara itu, tipe pulau kecil memberikan informasi morfogenesis perkembangan mangrove. Vegetasi mangrove dikenali dari citra komposit RGB kanal terseleksi untuk mendapatkan perbedaan warna yang tegas antara vegetasi mangrove dengan vegetasi non mangrove. Kanal yang digunakan adalah kanal 3 (merah) dan kanal 4 (infra merah) dari citra Landsat dan QuickBird. Kanal 3 dan kanal 4 masingmasing bekerja pada panjang gelombang 0,63 – 0,69 µm dan 0,76 – 0,90 µm dimana pada selang panjang gelombang tersebut perbedaan kurva pantulan dari obyek vegetasi dan tanah sangat besar sehingga berguna untuk identifikasi mangrove. Perbedaan tingkat kerapatan mangrove dapat dilakukan melalui analisis indeks vegetasi, dengan menggunakan citra yang areanya telah diidentifikasi sebagai obyek mangrove. Hal ini penting dilakukan agar indeks kerapatan yang dihasilkan betul-betul berasal dari vegetasi mangrove. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu cara algoritma yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi vegetasi di antaranya ”kerapatan”. Indeks vegetasi ditentukan dengan rumus: (IR – R) NDVI = (IR + R)
(2)
keterangan: NDVI
=
Normalized Difference Vegetation Index
IR
=
Nilai digital pada kanal infra merah dekat
R
=
Nilai digital pada kanal merah
65
Nilai NDVI semakin besar menunjukkan bahwa nilai kehijauan vegetasi permukaan semakin tinggi. Dalam analisis indeks vegetasi, nilai kerapatan vegetasi ditentukan dengan melakukan pengklasifikasian ulang (reclassification) dari nilai hasil perhitungan NDVI dengan mempertimbangkan nilai histogram dan standar deviasinya. Nilai-nilai tersebut kemudian diklasifikasikan sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi Kelas
Kisaran NDVI
Keterangan
0
< 0.01 dan > 0.07
tidak bervegetasi
1
0,01 – < 0,18
sangat jarang
2
0,18 – < 0,32
jarang
3
0,01 – < 0,42
sedang
4
0,42 – < 0,42
lebat
5
0,49 – < 0,70
sangat lebat
Sumber : Danoedoro, 1996
Terumbu karang dan lamun Terumbu karang dan lamun merupakan obyek yang ada di bawah permukaan air laut. Analisis geomorfologi terumbu dan lamun dilakukan melalui interpretasi obyek-obyek secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi. Metode analisis secara geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan dengan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Tampilan terumbu karang dan lamun pada citra satelit seringkali sulit dibedakan dengan substrat dasar perairan laut dangkal, kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, karena informasi yang didapat dari citra awalnya masih tercampur dengan informasi lain. Dari analisis geomorfologis terumbu bermanfaat untuk memandu analisis ekologisnya. Analisis ekologis terumbu karang dilakukan untuk mendapatkan informasi kondisi ekologis terumbu karang, berupa karang mati dan karang hidup serta kondisi lamun. Analisis ekologis yang dimaksud menggunakan algoritma Lyzengga (1981) yang dilakukan secara digital menggunakan metode yang didasari oleh “Model Pengurangan Eksponensial” (Exponential Attenuation
66
Model). Algoritms ini menghilangkan efek kolom air untuk ekstraksi informasi obyek dasar laut dengan persamaan sebagai berikut: Lyz = Liˆ + (0,54 Lib - Liˆ) exp -2 kiz
(3)
keterangan: Li
= radiasi pada panjang gelombang i
Liˆ = radiasi yang diukur pada laut dalam Lib = radiasi dasar perairan (0 m), panjang gelombang i z
= kedalaman perairan (m)
ki
= koefisien atenuasi dari air pada panjang gelombang i
Persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y = [ln(TM 1)] − ⎡⎢⎛⎜ ki ⎞⎟(ln(TM 2) )⎤⎥ ⎣⎝ kj ⎠ ⎦ di mana: Y
(4)
: Hasil klasifikasi algoritma Lyzengga
TM1 dan TM2 : kanal 1 dan kanal 2 Ladsat. Koefisien ki dan kj diperoleh dengan cara:
ki
kj
a=
= a + a2 +1
[VarTM 1 − VarTM 2 ] 2 × (Co varTM 1TM 2 )
Pada prakteknya, algoritma pada Formula 4 diubah dari tanda negatif ( - ) menjadi positif ( + ) untuk menghasilkan variasi warna lebih banyak, sehingga dapat mengenali variasi terumbu karang secara tegas. Operasi algoritma Lyzengga ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna keabuan (gray scale), dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna pseudo (pseudo colour ) pada kisaran nilai digital antara 0 - 255. Gambaran ringkas keseluruhan proses pengolahan data dan analisis data penginderaan jauh satelit secara skematik ditunjukkan pada Gambar 10.
3.5.3 Perikanan pantai Analisis perikanan pantai dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kondisi perikanan pantai. Data ikan 67
dikumpulkan di beberapa stasiun yang mewakili variasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, seperti diuraikan pada sub-bab 3.3.2. Analisis menggunakan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi (Odum, 1992), adalah untuk membuktikan korelasi antara proses degradasi pada suatu bentuklahan di daratan pulau kecil, bentuklahan terumbu, dan kondisi perikanan pantai.
Analisis Indeks Keanekaragaman (H’) Analisis ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota perairan. Indeks ini juga untuk mengetahui kesehatan perikanan. Persamaan yang digunakan untuk indeks ini adalah persamaan Shannon-Wiener. s
H’ = - ∑ Pi ln Pi i =1
H’
= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener....(5)
H’ < 1 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak stabil atau kualitas air tercemar berat
Pi = ni/N
1 < H’ < 3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang H’ > 3 = komunitas biota dalam kondisi stabil (air bersih)
Analisis Indeks Keseragaman (E) Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota ikan yaitu seragam atau tidak seragam. Jika nilai indeks relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi seragam. Nilai indeks berkisar antara 0 - 1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan ShannonWiener.
H H ' maks
E
Nilai indeks: 0 – 1
H’
= indeks keanekaragaman
E
= 0 berarti keseragaman rendah
E =
= indeks keseragaman Shannon-Wiener …..(6)
H’ maks = ln s (s adalah jumlah spesies)
Analisis Indeks Dominansi (C) Menurut Odum (1971) untuk mengetahui adanya dominansi jenis ikan tertentu di perairan dapat digunakan indeks dominansi Simpson
⎡ ni ⎤ ∑ ⎢ ⎥ i =1 ⎣ N ⎦ s
C=
2
C
= indeks dominansi Simpson..............................(7)
ni
= jumlah individu jenis ke-i
N
= jumlah total individu, S = jumlah genera
Nilai indeks: 0 – 1
68
Peta : 1. RBI 2. Geologi 3. Pelayaran
Citra: 1.Landsat 2.SPOT 3.QuickBird Analisis visual multitingkat
Cek Lapangan Input
Penentuan model pulau kecil Pulau tektonik
Pulau terumbu
Pulau vulkanik
Algoritma Lyzengga
Algoritma NDVI
Kelas: karang hidup, karang mati, lamun
Tingkat kerapatan mangrove
Uji fusi multispektral
Penajaman
Pemfilteran
Uji multispasial Teknik pengolahan citra terseleksi Analisis geomorfologi pulau dan ekosistem laut
Kondisi biofisik/ bentuklahan pulau Analisis kondisi ekosistem laut (terumbu karang, lamun, mangrove)
Kondisi biofisik/ bentuklahan ekosistem laut
Analisis kaitan bentuklahan Proses Output
Identifikasi ekosistem laut berdasarkan tipe pulau
Pengelompokan pulau kecil
Gambar 10 Diagram alir pengolahan dan analisis data penginderaan jauh satelit.
69
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya 4.1.1 Tipe Tektonik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat diidentifikasi terutama dari aspek morfoarrangement atau susunan keruangan sekelompok pulau-pulau kecil, berupa pola igir memanjang dan dari aspek morfologi berupa bentuk yang beragam. Unsur interpretasi pola dari sekelompok pulau-pulau kecil menjadi petunjuk dalam mengenalinya sebagai pulau kecil tipe tektonik. Hasil analisis geomorfologi secara keseluruhan diperoleh bahwa pulau-pulau kecil di kepulauan Kota Batam termasuk kriteria tipe tektonik. Di kepulauan Kota Batam, dijumpai beberapa pulau kecil berbentuk melingkar (Gambar 30 b) yang menyerupai bentuk pulau kecil tipe vulkanik, tetapi bentuk melingkar ini terbentuk oleh mangrove. Beberapa pulau kecil yang melingkar dapat diidentifikasi dari citra Landsat. Di sisi lain, dari Peta Geologi ditunjukkan adanya batuan vulkanik yang tersingkap di Pulau Batam bagian utara, berupa granit yaitu batu beku dalam. Keberadaan batu vulkanik ini bukan indikasi untuk pulau kecil tipe vulkanik, karena proses magmatik yang pernah berlangsung bukanlah proses utama terbentuknya pulau. Kedua hal tersebut merupakan contoh yang perlu diamati secara khusus dalam identifikasi tipe pulau kecil.
4.1.1.1 Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) vulkanik/ magmatik, 2) tektonik/struktural, 3) fluvial, 4) marin, 5) organik, dan 6) antropogenik. Bentuklahan-bentuklahan magmatik yang berkembang di Pulau Batam adalah berupa perbukitan berbatuan granit yang persebarannya menempati daerah Nongsa, Batuampar, dan Pulau Tanjungsauh di sebelah Timur Pulau Batam. Perbukitan dicirikan dengan relief bergelombang dengan permukaan yang relatif luas dan tumpul, mempunyai elevasi tidak lebih dari 200 m (169 m, peta pelayaran Indonesia skala 1:50.000) dari permukaan air laut, dan amplitudo perbedaan ketinggian yang tidak lebih dari 50 m. Pada daerah ini, permukaan tanah banyak dicirikan oleh tekstur pasir sebagai hasil proses pelapukan batu
granit berupa disintegrasi yang menghasilkan mineral-mineral lepas. Dari hasil proses pelapukan membentuk tanah dengan solum tanah bervariasi dari sedang hingga agak dalam (40 - 60 cm), tetapi kedalaman menjadi agak dangkal pada bagian puncak (30 cm). Di bagian pesisir pantai endapan pasir kelabu-kehitaman dari granit ini membentuk gisik pasiran yang sebagian digunakan sebagai tempat rekreasi di Nongsa. Bentuklahan-bentuklahan
tektonik
(struktural)
yang
paling
banyak
ditemukan adalah dari struktur lipatan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan pola-pola igir yang secara umum memanjang dengan arah Baratlaut merupakan igir-igir homoklinal atau hogback (Gambar 11 b dan c) dengan kemiringan dip bervariasi dari 10° - 20°. Bentuklahan ini berselingan dengan lembah-lembah subsekuen yang mengikutinya. Pola seperti ini berkembang pada wilayah berbatuan sedimen yang secara umum terdiri atas perselingan antara batupasir, batulempung, dan konglomerat. Berdasarkan struktur peneplain yang didominasi oleh lipatan, maka pulau-pulau kecil yang terbentuk di perairan ini lebih banyak yang berupa igir-igir homoklinal. Pola igir hogback yang membentang dengan arah Baratlaut ini secara umum juga menunjukkan arah sumbu lipatan yang terbentuk. Pulau-pulau yang terdapat di Pelataran Sunda (Sunda shelf) adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam oleh air laut. Ini berarti bahwa Barelang juga merupakan igir-igir peneplain tersebut. Dari peta batimetrik yang dibuat oleh British Admiralty Chart no. 2757, terlihat bahwa Kepulauan Barelang-Bintan sebenarnya merupakan salah satu semenanjung purba di pantai Timur Sumatra. Bentuklahan fluvial di Barelang menempati wilayah yang tidak luas, terutama berkembang di daerah lembah-lembah sungai dan lembah antar perbukitan yang terkadang merupakan daerah rawa-rawa. Material yang diendapkan pada dataran aluvial di kepulauan ini kebanyakan berupa material pasir yang berasal dari pelapukan batupasir atau batu granit. Bentuklahan-bentuklahan asal proses marin lebih banyak didominasi oleh dataran pasang surut (tidal flat) yang banyak ditumbuhi oleh hutan mangrove di tepian pulau-pulau kecil. Pada bentuklahan ini, yang dinamakan lahan gambut, material yang diendapkan berbutir halus atau berupa lumpur. Bentuklahan lain seperti gisik pasir (sand beach) dapat juga dijumpai di beberapa pulau kecil. Sebagian besar material pasir ini bukan berasal dari kiriman material sungai yang kemudian dibawa oleh arus sepanjang pantai (longshore current), tetapi lebih
71
sebagai proses abrasi gelombang terhadap batupasir yang tersingkap di tepi pantai, seperti dijumpai di pantai Pulau Jandaberhias (Gambar 11 e) dimana pasir-pasir tersebut diendapkan di sepanjang garis pantai tersebut.
a) Mangrove dan permukiman di Pulau Lengkang
b) Hogback di bagian Utara Pulau Bokor
c) Pulau Mentiang dengan dominasi mangrove yang membentuk pulau jadi melingkar, tampak hogback
d) Ujung penunjaman antiklin di pantai Pulau Abang-kecil
e) Pantai berpasir di Pulau Jandaberhias
f) Perairan laut dangkal di Pulau Hantu
g) Pertumbuhan terumbu karang di Pulau Lengkang
h) Mangrove dan lamun jenis Enhalus di Pulau Air-manis
Gambar 11 Foto pulau-pulau kecil tipe tektonik. Terumbu karang tampak tumbuh di kepulauan Batam ini meskipun tidak merata dan terumbu karang yang mati sering muncul ke permukaan pada saat air laut surut, seperti yang terjadi di Pulau Hantu (Gambar 11 f). Di kepulauan ini
72
terumbu karang tumbuh di atas batuan dasar peneplain yang terendam air laut, seperti batupasir, batulempung, atau konglomerat, dan terkadang terumbu ini dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau di dekatnya dengan membentuk sebuah perairan laut dangkal seperti yang terjadi di Pulau Hantu. Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai di pulau-pulau kecil tipe tektonik adalah bentuklahan terumbu dan lahan gambut. Bentuklahan terumbu terbentuk oleh karang dan bentuklahan lahan gambut terbentuk oleh mangrove. Bentuklahan terumbu yang terbentuk merupakan bentuklahan terumbu paparan dinding yang tumbuh pada batuan dasar peneplain. Perbedaan tingkat perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi hidrologinya. Bentuklahan asal proses antropogenik banyak ditemukan khususnya di Pulau Batam, karena pulau ini merupakan pulau yang paling intensif dikelola oleh manusia. Hasilnya adalah di pulau ini banyak terjadi perubahan bentuklahan dan penggunaan lahan. Perubahan bentuklahan terutama disebabkan oleh Cut and Fill atau pemotongan perbukitan dan pengurugan pada daerah cekungan serta reklamasi daerah pesisir. Kegiatan ini dilakukan berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk penataan ruang seperti yang telah direncanakan khususnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Hal ini terjadi karena di pulau ini dicanangkan program percepatan pembangunan Pulau Batam (Otorita Batam) yang dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi internasional sejak era tujuh puluhan. Perataan relief ini untuk memenuhi kemudahan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya, termasuk pengurugan daerah tepi pantai atau reklamasi. Oleh sebab itu, bentuklahan di Pulau Batam banyak mengalami perubahan besar dalam waktu yang relatif singkat (tahunan) oleh manusia sebagai tenaga geomorfik yang memodifikasi permukaan bumi dibandingkan oleh proses alami yang dapat memakan waktu ribuan/jutaan tahun. Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran lebih detail tentang karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik dipilih Pulau Lengkang dan sekitarnya yang meliputi Pulau Gerit, Pulau Ladang, Pulau Anakladang, Pulau Resol, dan Pulau Jagung. Hasil klasifikasi bentuklahan secara visual ditampilkan dalam bentuk peta bentuklahan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Pulau Lengkang dikelilingi oleh perairan laut dangkal dan di sisi barat menghadap laut lepas mempunyai kedalaman lebih dari -50 m (Gambar 13).
73
Gambar 12 Peta bentuklahan Pulau Lengkang.
Gambar 13 Peta kedalaman laut Pulau Lengkang dan sekitarnya.
74
Secara deskriptif, geomorfologi Pulau Lengkang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya memiliki morfologi berbukit. Bentuklahan perbukitan antiklinal dijumpai di Pulau Anak-ladang, sedangkan perbukitan lipatan dijumpai secara dominan pada daratan pulau-pulau kecil ini. Bentuklahan dataran aluvial pantai terbentuk dari proses fluvial yang mengendapkan material dari perbukitan yang tererosi, sedangkan
dataran
pasang
surut
terbentuk
dari
proses
marin
yang
mengendapkan material lumpur-pasiran hasil dari proses abrasi air laut. Selain itu juga dijumpai bentuklahan teras marin yang dulunya merupakan bagian paparan yang terendam air laut. Mangrove dan lamun berkembang dengan baik meskipun lamun hanya dijumpai di beberapa tempat yang lebih terlindung. Sementara itu, terumbu karang tumbuh pada batuan dasar peneplain pada kondisi kurang bagus. Perkembangan ketiga ekosistem laut di sini terganggu oleh adanya permukiman di Pulau Lengkang dan jalur pelayaran internasional antara Batam dan Singapura.
4.1.1.2 Karakteristik biogeofisik Hasil analisis geomorfologis dari aspek morfoarrangement, keadaan umum Pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang atau disebut sebagai Kepulauan Barelang dicirikan oleh pola memanjang, dari Pulau Batam hingga Pulau Galang, dengan arah umum Baratlaut (NW). Pola ini berasal dari bentuklahan struktural yang berkembang di atas pulau-pulau tersebut dari morfologi igir-igir perbukitan yang memanjang dengan arah umum ke Baratlaut. Pola ini dapat dilihat dengan jelas dari citra Landsat yang digunakan. Secara umum morfologi Kepulauan Barelang didominasi oleh relief perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa dataran aluvial antar perbukitan. Namun demikian, pada kenyataannya sekarang di Pulau Batam banyak dijumpai daerah-daerah yang mempunyai relief datar. Daerah-daerah datar ini bukan dihasilkan oleh bentukan alam, akan tetapi oleh proses antropogenik dimana manusia sebagai tenaga perubah bentuk permukaan bumi. Kegiatan manusia ini berupa pemotongan bukit dengan alat-alat berat. Pantai yang terbentuk pada pulau-pulau kecil tipe tektonik dipengaruhi oleh singkapan batuan di pantai. Ada dua hal utama yang membedakan jenis pantai di sini ditinjau dari singkapan batuannya yaitu kemiringan dip struktur batuan di pantai dan jenis batuan yang tersingkap. Kondisi tersebut membentuk jenis pantai bervariasi berupa pantai terjal, landai, dan datar. Pantai terjal biasanya berbatu dan
75
pada perairan laut dangkalnya tumbuh terumbu karang, dimana semakin baik kondisi hidrologinya/air laut maka semakin baik pula terumbu karangnya. Pantai landai biasanya berbatu atau berpasir. Pantai landai berbatu pada kondisi hidrologi yang sesuai akan tumbuh terumbu karang, sedangkan pantai berpasir sesuai untuk mangrove dan lamun. Pantai datar kemungkinan berbatu, berpasir, atau berlumpur. Pantai datar berbatu dapat tumbuh terumbu karang, mangrove, atau lamun tergantung posisi pulau yang berarti kondisi hidrologinya. Pantai berpasir terbentuk dari abrasi batupasir atau batu granit yang tersingkap di pantai. Secara gradual, komposisi ukuran butir batuan di pantai datar ini membentuk variasi pertumbuhan ekosistem laut yaitu antara terumbu karang, mangrove, dan lamun yang dipengaruhi oleh posisi pulau kecil. Selain itu, pulau-pulau kecil di daerah ini tidak dijumpai muara sungai dengan muatan sedimen tinggi. Pantai dengan proses abrasi intensif akan membentuk lahan pasang surut atau gisik pantai dengan material lumpur ataupun pasir tergantung jenis batuan yang tersingkap. Jika pantai didominasi oleh endapan aluvial serta endapan sedimen halus dapat menyebabkan kekeruhan pada perairan laut dangkal. Faktor lain adalah jalur pelayaran yang dapat memperburuk kondisi terumbu karang. Contoh, di Pulau Lengkang, Batam bagian utara yang dekat dengan jalur pelayaran domestik dan internasional menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang lebih buruk dibandingkan dengan di Pulau Abang, Batam bagian selatan yang jauh dari jalur pelayaran. Aktivitas pelayaran ini mempengaruhi kualitas perairan.
4.1.1.3 Pengolahan data Karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat dimunculkan dari citra Landsat dengan kombinasi kanal 234 dan 345 (Tabel 13). Hasil perhitungan OIF, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, diperoleh bahwa kombinasi kanal 234 dan 345 sering muncul dengan nilai tertinggi. Oleh karenanya, kombinasi kanal 234 dan 345 ini adalah merupakan hasil fusi multispektral terseleksi untuk pulau kecil tipe tektonik. Perbedaan kombinasi kanal, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, secara umum dipengaruhi oleh perbedaan
pertumbuhan
ekosistem
laut.
Perbedaan
ekosistem
laut
ini
dipengaruhi oleh posisi/lokasi pulau kecil serta perbedaan tipe batuan di pantai. Hal inilah yang menjadikan perbedaan karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil tipe tektonik di daerah penelitian.
76
Tabel 13 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe tektonik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama pulau Bokor Mentiang Janda-berhias Lengkang Dangsi Calang Awi Ngenang Hantu Ranu
Kombinasi 345 345 234 245 345 234 234 234 235 234
Posisi pulau Di bagian utara & terlindung Di bagian utara & terlindung Di jalur pelayaran Di jalur pelayaran Di tengah-tengah kepulauan Di tengah-tengah kepulauan Di bagian timur Di bagian timur Berada jauh dari pulau-pulau lain Berada jauh dari pulau-pulau lain
Sumber : Hasil pengolahan data dengan formula 1. Nilai OIF yang diperoleh pada dasarnya berasal dari kisaran nilai digital yang merupakan cerminan karakteristik biogeofisik pulau kecil. Contoh urutan nilai OIF salah satu model yaitu Pulau Lengkang ditunjukkan pada Lampiran 4. Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan citra komposit yang dipilih ditunjukkan pada Gambar 14 a dan e untuk Landsat. Perbandingan antara Gambar 14 a dan e dari citra Landsat dengan Gambar 14 c dan f dari citra SPOT-5, menunjukkan bahwa morfologi pulau dapat dikenali dengan jelas dari citra Landsat resolusi spasial 30 m. Bahkan, dari 10 model pulau kecil, pulau paling kecil yaitu Pulau Mentiang (2,34 Ha) yang berbentuk melingkar tetap dapat dikenali. Hasil seleksi jenis penajaman spektral adalah autoclip (Tabel 14), sedangkan hasil seleksi jenis filter adalah high-pass sharpen 2 untuk model pulau-pulau kecil tipe tektonik (Tabel 15). Meskipun demikian, perbedaan jenis filter dan jenis penajaman juga dijumpai di antara model pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, citra komposit hasil penajaman dan pemfilteran autoclip sharpen 2 ditunjukkan pada Gambar 14 d. Penajaman autoclip dan filter high-pass sharpen 2 terseleksi sebagai jenis penajaman karena modelnya memiliki penutup lahan relatif homogen. Ukuran pulau yang kecil dan batuan dasar penyusun pulau kecil tipe tektonik merupakan faktor yang mempengaruhi homogenitas yang terbentuk. Penajaman autoclip menghilangkan 0,5% nilai digital di kanan kiri, sedangkan filter high-pass sharpen 2 menggunakan jumlah kernel paling sedikit yaitu 3 kernel. Dengan penajaman dan pemfilteran ini morfologi pulau kecil tipe tektonik dan obyek-obyek yang ada di perairan laut dangkal menjadi lebih jelas dan tajam.
77
Tabel 14 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe tektonik
Pulau
Linear
Bokor + Mentiang + Jandaberhias + Lengkang + Dangsi + Calang ++ Awi + Ngenang ++ Hantu + Ranu + Keterangan: : tidak jelas + : kurang jelas
Autoclip ++ ++ + + + ++ +++ +++ ++ +
Penajaman LevelEqualizer slice + + + + + ++ + + ++ + ++ + + +++ + ++ + ++ + +
++ : jelas +++ : sangat jelas
Gaussian + + + ++ + ++ ++ ++ ++ ++
Default Log. + + + ++ + + + + ++ ++
++++: paling jelas
Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4.
Tabel 15 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe tektonik Filter low pass high pass edge detection Pulau average average Sharpen Sharp Gradien Gradien 3x3 diagonal 2 edge in the x in the y direction direction Bokor + ++ + + + + Mentiang + ++ + + + + Jandaberhias ++ ++ ++ + + Lengkang +++ + ++ + + + Dangsi + + ++ + + Calang + + +++ + + Awi ++ ++ +++ + Ngenang ++ ++ +++ + + Hantu ++ ++ ++++ + Ranu + ++ ++ Keterangan: : tidak jelas ++ : jelas ++++ : paling jelas + : kurang jelas +++ : sangat jelas Sumber: Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4.
Hasil fusi multispasial membuat tampilan morfologi pulau-pulau kecil tipe tektonik menjadi lebih jelas dan tajam, seperti Gambar 14 b yang lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 14 a. Peningkatan kejelasan dan ketajaman obyek
78
disebabkan oleh perubahan resolusi spasial dari 30 m menjadi 15 m. Pada citra SPOT-5 pansharpen dengan resolusi spasial 2,5 m, dapat dibandingkan perbedaan ketajaman antara Gambar 14 c dan 14 d. Hal ini menunjukkan bahwa fusi multispasial berfungsi meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan morfologi dan obyek-obyek pulau kecil tipe tektonik. Namun, fusi multispasial membuat ketajaman perairan laut dangkal justru berkurang, seperti ditunjukkan pada perbedaan antara Gambar 14 a dengan 14 b.
a) Pulau Lengkang dan sekitarnya, Landsat RGB 542 resolusi 30 m
b) Pulau Lengkang dan sekitarnya, RGBI 5428, resolusi 15 m
c) Pulau Lengkang, SPOT-5 resolusi 2,5 m
d) Pulau Lengkang RGB 542 autoclip sharpen 2, resolusi 30 m lamun
Dangkalan
e) Pulau Bokor, Landsat RGB 543 resolusi 30 m
f) Pulau Bokor, SPOT-5 resolusi 2,5 m
g) Landsat RGB 421, warna biru terang adalah habitat terumbu karang
Gambar 14 Citra komposit model pulau kecil tipe tektonik.
Citra komposit terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453 yang dipilih dari pengamatan secara visual terhadap 12 citra komposit. Ke-12 citra komposit dibangun berdasarkan hasil kombinasi kanal terseleksi 234, yaitu RGB 234, 243,
79
342, 324, 423, dan 432. Demikian pula pada kombinasi kanal 345 juga diperoleh 6 komposit. Penempatan kanal 4 yang sensitif terhadap vegetasi pada layer Red, menampilkan warna merah bata yang diidentifikasi sebagai mangrove. Hasil seleksi di antara citra komposit RGB 321, 421, 521, atau 721, diketahui bahwa komposit RGB 421 paling tajam menampilkan obyek-obyek di perairan laut dangkal. Hasil seleksi citra komposit yang sesuai untuk identifikasi lamun adalah RGB 421. Pada data Landsat kanal 1 dan 2, nilai digital lamun berada di antara terumbu karang dan mangrove (Tabel 16). Berdasarkan nilai digital tidak diperoleh nilai yang spesifik untuk lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4. Karakteristik nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4 citra Landsat dapat dibedakan seperti ditunjukkan pada Tabel 16. Nilai digital mangrove pada kanal 4 jauh lebih tinggi dibandingkan terumbu karang dan lamun. Nilai digital terumbu karang pada kanal 1 dan 2 lebih tinggi daripada lamun dan nilai keduanya lebih tinggi daripada mangrove.
Tabel 16 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Lengkang Kanal
Mangrove
Terumbu karang
Lamun
1
77 - 83
90 – 120
84 – 91
2
55 – 66
65 – 108
61 – 68
3
42 – 57
47 – 113
49 – 54
4
62 - 77
14 - 55
17 - 25
Sumber : Hasil pengolahan data Landsat dengan software Er-Mapper.
80
4.1.2 Tipe Vulkanik Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa dari aspek morfologi, pulau kecil tipe vulkanik dikenali berupa pegunungan, perbukitan, dan dataran. Bentuklahan lereng gunungapi terdenudasi dengan pola aliran radial juga merupakan aspek morfologi untuk identifikasi pulau kecil tipe vulkanik. Sementara itu, dari aspek morfoarrangement pulau-pulau kecil tipe vulkanik membentuk suatu kelurusan sebagai cermin dari jalur magmatik. Pulau kecil tipe vulkanik dikenali terutama dari kunci interpretasi unsur bentuk dan lokasi, yaitu bentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar dan lokasi di samudra. Pulau kecil tipe vulkanik yang tidak berbentuk melingkar adalah hasil proses denudasi tahap lanjut. Dalam hal ini, identifikasinya dilakukan dengan mengenali bentuklahan asal vulkanik seperti kawah atau torehan dengan pola radial. Namun, pulau kecil tipe vulkanik dengan topografi datar, ciri-ciri tersebut sulit diidentifikasi dari citra satelit. Salah satu solusinya adalah dengan cek lapangan. Kasus ini diperkirakan banyak dijumpai terutama untuk pulau-pulau sangat kecil.
4.1.2.1 Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulaupulau kecil tipe vulkanik yang berkembang di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Sitaro dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) vulkanik/magmatik, 2) fluvial, 3) marin, dan 4) organik. Bentuklahan-bentuklahan magmatik/vulkanik yang berkembang di pulaupulau kecil di daerah penelitian adalah gunungapi dengan kondisi dari sangat aktif sampai kondisi tidak aktif dalam kurun waktu sangat lama. Pulau-pulau di Kabupaten Sikka berada pada suatu kelurusan, seperti deretan Pulau Palue, atol Gosong-goni, dan Pulau Babi yang berada pada suatu kelurusan di tengah Laut Flores. Di sebelah Selatan ada kelurusan yang menghubungkan Pulau Besar dan deretan gunungapi di Pulau Flores. Pulau-pulau di Kabupaten Sitaro berada pada suatu kelurusan dengan arah umum ke Utara – Selatan dan membentuk tiga kelompok pulau yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro. Pulau Makalehi berada jauh dari kelurusan tersebut yaitu di bagian Barat Pulau Siau. Seperti diuraikan pada Bab 3, Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi aktif yaitu Gunung Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang. Kepulauan Sitaro adalah bagian dari busur magmatik Kepulauan Sangihe. Morfologi umum pulaupulau berupa pegunungan dan perbukitan.
81
Bentuklahan kawah sebagai ciri gunungapi banyak dijumpai yang berada di ketinggian seperti di Pulau Siau (Gunung Karangetang, 1.827 m), Pulau Ruang (Gunung Ruang, 868 m), dan Pulau Palue (Gunung Rokatenda, 863 m) dan ada kawah yang berupa danau seperti di Pulau Sukun, Kabupaten Sikka dan di Pulau Makalehi, Kabupaten Sitaro. Morfologi kawah yang terdenudasi dapat dikenali dari citra Landsat seperti di Pulau Besar dan Pulau Tagulandang. Bentuklahan perbukitan vulkanik banyak dijumpai pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik yang secara umum disebabkan oleh proses deformasi lanjut dari tubuh vulkanik asalnya. Bentuklahan ini dicirikan oleh pola torehan yang khas pada gunungapi yaitu bertekstur halus cerminan sedikit torehan untuk material lava, atau bertekstur kasar cerminan banyak torehan untuk material piroklastik. Sebagai contoh, Pulau Babi yang tersusun secara dominan oleh batuan breksi andesit (lava) bertekstur halus dan Pulau Palue yang tersusun secara dominan oleh batuan tufa dan pasir (piroklastik) bertekstur kasar. Di Kabupaten Sikka dijumpai Gosong-goni berbentuk melingkar dengan kedalaman + 30 m dan mempunyai outlet di sebelah Timur. Besar kemungkinan bentuklahan terumbu karang ini tumbuh mengikuti pola batuan dasarnya (substrat) yang berupa tubuh vulkanik yang berada di bawah permukaan air laut. Tubuh gunungapi ini mungkin telah terhenti pertumbuhannya sebelum mencapai permukaan atau bisa juga berupa bekas tubuh gunungapi yang telah hancur oleh letusannya sendiri hingga terendam oleh air laut. Terumbu ini secara morfogenesis disebut atol yang merupakan tahap akhir perkembangan bentuklahan terumbu samudra. Gosong-goni ini dijumpai pada kelurusan antara Pulau Palue dan Pulau Konga, dan dengan posisi ini memperkuat dugaan bahwa Gosong-goni adalah atol. Pulau kecil Gunungsari (0,393 Ha) terbentuk di Gosong-goni sebagai hasil dari akresi pantai dengan elevasi pulau berkisar antara 1 – 1,5 meter dpal. Material penyusunnya adalah hancuran koral mati (rampat). Bentuklahan fluvial berupa dataran aluvial pantai terbentuk tapi relatif sempit. Proses fluvial dan fluvio-vulkanik di pulau-pulau yang terbentuk dari gunungapi aktif jenis strato memiliki proses eksogen yang berlangsung intensif dan memicu terjadinya longsor lahan. Efek dari aktivitas gunungapi dan longsor lahan yang intensif menyebabkan pertumbuhan terumbu karang terkendala yang terjadi di sekeliling pulau.
82
a) Singkapan batuan breksi andesit di sisi Barat Pulau Babi
b) Kapal nelayan di pantai berpasir hasil rataan pasang surut yang semula permukiman di Pulau Babi
c) Gisik dan tebing pantai di Pulau Ruang dari sisi Timur
d) Pola pertumbuhan terumbu karang di pulau kecil tipe vulkanik di Pulau Tagulandang, Sitaro
e) Asosiasi mangrove dan lamun jenis Enhalus di Pulau Pasighe
f) Padang lamun jenis Thalasia di Pulau Pasighe
Gambar 15 Foto perairan laut dangkal pulau kecil tipe vulkanik.
a) Pulau Dambila, Landsat RGB 542 bertekstur halus
b) Pulau Biaro, Landsat RGB 543 bertekstur kasar
Gambar 16 Pulau vulkanik terdenudasi dengan morfologi tidak melingkar.
83
Bentuklahan asal proses marin yang banyak dijumpai adalah gisik dengan material endapan hasil letusan gunungapi berupa batu dan pasir. Bentuklahan lain seperti rataan pasang-surut dapat dijumpai di beberapa pulau dengan material hancuran koral. Proses marin ini membentuk pantai berpasir dan pada pantai ini seringkali tersusun oleh material campuran antara hancuran koral dan endapan piroklastik. Bentuklahan asal organik untuk terumbu yang berkembang adalah terumbu samudra (oceanic reefs) yaitu terumbu pinggiran, terumbu penghalang, dan atol. Terumbu pinggiran banyak dijumpai di perairan laut dangkal di sebagian besar pulau vulkanik, sedangkan terumbu penghalang hanya terbatas seperti dijumpai di Pulau Besar bagian Barat. Perkembangan pembentukan terumbu bervariasi di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Perbedaan tingkat perkembangan bentuklahan terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik yaitu semakin tinggi aktivitas gunungapi semakin terkendala perkembangan terumbu. Contoh hasil identifikasi bentuklahan terumbu secara visual disajikan pada peta bentuklahan pulau-pulau model. Sementara itu, bentuklahan asal organik untuk lahan gambut dijumpai di daerah yang terlindung, seperti halnya dengan lamun. Ekosistem mangrove dan lamun yang berkembang dengan baik di daerah penelitian seperti dijumpai di Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro. Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran variasi bentuklahan lebih detail dipilih tiga pulau kecil yaitu Pulau Ruang, Pulau Babi, dan Pulau Pasighe. Ketiga pulau kecil ini dipilih menurut perbedaan tingkat aktivitas vulkanik. Hasil analisis secara visual dan klasifikasi bentuklahan ditampilkan dalam bentuk peta yang disajikan pada Gambar 17 sampai Gambar 19. Berikut uraian
analisis
geomorfologi
secara
deskriptif
untuk
menggambarkan
karakteristik biogeofisik pulau vulkanik.
Pulau Ruang Pulau Ruang merupakan salah satu pulau kecil tipe vulkanik yang mempunyai gunungapi aktif. Morfologi pulau ini secara umum berbentuk melingkar yang merupakan suatu kerucut gunungapi (volcanic cone) tipe stratovulkano. Pulau Ruang pernah mengalami longsoran dicirikan oleh adanya tebing longsoran berbentuk tapal kuda yang menghadap ke Utara. Pola ini tampak jelas dari citra satelit meskipun sebagian besar tubuh dari longsoran ini telah tertutup oleh endapan vulkanik yang baru dari aktivitas Gunung Ruang.
84
Endapan ini dapat berasal dari aliran piroklastik maupun lahar yang tampak jelas tersingkap pada bentuklahan tebing pantai (cliff), seperti terlihat di sepanjang pantai bagian Utara. Hasil pelongsoran tersebut telah menghasilkan bentuklahan berupa bukit-bukit kecil dan besar (hummock) terdiri atas campuran bongkahan batu-batuan lava basaltik dan andesitik serta piroklastik. Hummock yang berukuran kecil telah banyak tertutup oleh endapan vulkanik yang baru, sedangkan hummock yang besar masih tampak jelas di lapangan yang menduduki bentuklahan kerucut gunungapi lereng bawah di bagian Utara. Bentuklahan kerucut gunungapi dapat dipilahkan menjadi tiga yaitu lereng atas (35°), lereng tengah (20°), dan lereng bawah (5-10°). Letusan Gunung Ruang Tahun 2002 menghancurkan Desa Pumpete dan Desa Laingpatehi akibat derasnya jatuhan piroklastik (pyroclastic fall) yang terjadi. Jarak antara pusat letusan (kawah) dengan kedua desa ini kurang dari 2 km, sedangkan jatuhan piroklastik yang berukuran blok dan lapilli bisa mencapai radius 5 km. Letusan tersebut juga menghasilkan aliran piroklastik atau awan panas (nuees ardentes) yang secara umum mengalir ke arah Selatan dan Tenggara. Hal ini dicirikan oleh banyaknya endapan lapilli di lereng-lereng dan absennya vegetasi seperti kelapa dan semak belukar. Di bagian puncak Pulau Ruang terdapat dua kawah yang berdampingan dengan arah Timur-Laut (NE). Aliran lava hasil letusan Tahun 1949 berasal dari kawah sisi Timur-Laut dan mengalir ke arah Timur menuruni lereng hingga mencapai tepi pantai di Tanjung Kulukulu (Gambar 17). Aliran lava ini tampak jelas di citra dan dicirikan dengan masih sedikitnya vegetasi. Pantai pasir berbatu terbentuk oleh material yang berasal dari aliran piroklastik dan lahar. Terumbu karang masih belum banyak tumbuh di sekitar pulau vulkanik ini, sedangkan mangrove dan lamun juga tidak dijumpai. Gambaran aktivitas gunungapi tersebut menjadi dasar untuk memahami karakteristik biogeofisik ekosistem laut. Hasil analisis tersebut juga menjadi dasar untuk analisis digital. Berdasarkan Peta Geologi daerah penelitian (Samodra, 1994), Pulau Ruang tersusun atas aglomerat, lava, tuff, timbunan awan panas, endapan jatuhan, dan lahar. Aglomerat tersusun atas kepingan batuan andesit dan basalt yang tersebar di sebagian pantai yang curam. Lava andesit hornblende yang tersingkap di salah satu lereng berselingan dengan aglomerat terkekarkan membentuk struktur tiang dan melebar. Timbunan awan panas di lembah-lembah curam mengandung kepingan batuan beku, tuff terkersikkan, kayu terarangkan.
85
Gambar 17 Peta bentuklahan Pulau Ruang.
Gambar 18 Peta bentuklahan Pulau Babi.
86
Pulau Babi Pulau Babi dengan luas 88,37 Ha memiliki morfologi kubah dengan topografi bergunung dan elevasi tertinggi 338 mdpal. Material yang dominan adalah lava dan breksi andesit berumur Pleistosen. Kubah lava ini mengalami denudasi menjadi bentuklahan kubah lava terdenudasi. Kenampakan di lapangan menunjukkan material ini mempunyai garis-garis kekar hasil proses intrusi. Berdasar analisis citra Landsat yang didukung oleh cek lapangan serta peta rupa bumi, menunjukkan bahwa sebagian besar pantai yang terbentuk adalah pantai berpasir sebagai hasil dari hancuran terumbu karang membentuk bentuklahan gisik. Namun pada bagian Timur-Laut terbentuk pantai berbatu yang tersusun secara dominan oleh batuan breksi andesit (Gambar 15 a). Pola aliran yang terbentuk adalah radial sentrifugal dengan tingkat torehan menengah. Bagian Selatan Pulau Babi berupa dataran dan dijumpai sumur dengan kedalaman air tanah berkisar antara 2 - 5 meter. Kedalaman sumur ini dipengaruhi oleh lapisan batuan tak tembus air yang membatasi akuifer. Bagian atas perlapisan batuan tersebut tertutupi oleh material pasir yang diidentifikasi sebagai hasil pelapukan fisik pantai berbatu oleh proses abrasi air laut. Bukti dari proses abrasi air laut adalah berupa gerong laut (notch) di kaki gunungapi dengan jarak berkisar 677 meter dari pantai, dan kondisi ini menegaskan bahwa dataran yang ada merupakan bentuklahan rataan pasang surut. Di bagian selatan juga dijumpai bentuklahan rawa payau yang ditumbuhi mangrove. Lereng terjal yang terbentuk di sisi luar terumbu karang mengindikasikan batas dari terumbu pinggiran (fringing reefs) dan terbentuk bentuklahan goba (Gambar 18).
Pulau Pasighe Pulau Pasighe dengan luas 1,92 Km2 merupakan bentuklahan dataran sisa vulkanik yang mempunyai morfologi relatif datar dengan lereng landai (0° – 3°) serta mempunyai elevasi kurang dari 5 m. Menurut Peta Geologi daerah penelitian (Samudra, 1994) tipe batuan yang menyusun pulau ini sama dengan material gunungapi Malingge yang terdiri atas breksi gunungapi, lava, tuf, dan timbunan awan panas yang disertai adanya sisipan batupasir tufaan. Breksi vulkanik dan lava bersusunan andesit-basalt, sedangkan endapan awan panas mengandung kepingan andesit, basalt, diorit, batu apung, dan tuf tersilika yang menyudut. Sebagai sisipan pada tuff dan breksi gunungapi, tebal batupasir tufaan yang berbutir kasar hingga sangat kasar sekitar 20 cm.
87
Pulau Pasighe sudah tidak lagi mencerminkan suatu bentukan vulkanik seperti halnya Pulau Ruang. Hal ini mencerminkan bahwa, kemungkinan besar bentuklahan vulkanik ini telah hancur akibat letusan yang dahsyat di masa lalu dari Gunung Pasighe sendiri, sehingga menyisakan tubuh vulkanik yang rata dan hampir terendam oleh air laut. Dugaan ini diperkuat oleh bentuk dan pola pulau yang melingkar serta di sebelah utara pulau ini merupakan suatu perairan laut dangkal berbentuk cekung yang tersusun oleh pasir dan terumbu karang. Material pasir berasal dari produk vulkanik dan terumbu karang yang ada tentunya tumbuh di atas substrat batuan vulkanik dari sisa-sisa tubuh vulkanik lama. Letusan vulkanik yang besar yang umumnya dapat menghacurkan tubuh vulkanik adalah tipe letusan magmatik, seperti tipe plinian, yang umumnya mampu menghasilkan suatu kaldera yang didahului dengan semburan piroklastik abu-batuapung (ignimbrite) yang besar dan diendapkan di sekitar gunungapi. Jika lapilli batuapung yang ditemukan di Pulau Pasighe tersebut adalah berasal dari pulau itu sendiri, maka besar kemungkinan pulau ini secara morfogenesis merupakan suatu pulau vulkano-denudasional atau sebagai sisa-sisa tubuh vulkanik yang hancur di masa lalu. Permukaan lahan Pulau Pasighe terdiri atas endapan piroklastik berupa pasir dan kerikil (lapilli) yang mirip dengan endapan di Pulau Ruang. Besar kemungkinan jatuhan piroklastik dari letusan terakhir Gunung Ruang mencapai pulau ini, meskipun ditemukan jenis batuapung yang tidak ditemukan di Pulau Ruang. Lapili yang berada di atas pulau ini mempunyai bentuk runcing dan membulat. Yang pertama mencerminkan hasil dari letusan secara langsung (pyroclastic fall), sedangkan yang kedua mencerminkan hasil kerja dari ombak pantai terhadap endapan piroklastik yang jatuh di tepi pantai pulau ini. Di sebelah Utara Pulau Pasighe merupakan suatu perairan laut dangkal yang membentuk suatu lagun dengan air laut tersalurkan melalui suatu celah (inlet) yang berada di sisi Timur. Bentuklahan lagun dangkal dengan material pasir-lumpuran dan terumbu berada di bagian tepi, sedangkan bentuklahan lagun dalam dengan material pasir dan terumbu berada di bagian tengah. Bentuklahan gisik dengan material koral berpasir terbentuk mengikuti garis pantai yang kemudian dihancurkan oleh abrasi gelombang (Gambar 15 e). Sebagian dari dasar lagun tampak ditumbuhi oleh padang lamun pada substrat lumpur-pasiran terutama yang terletak di dekat Pulau Pasighe. Massa batuan vulkanik ini
88
merupakan tempat tumbuhnya terumbu karang, lamun, dan berbagai jenis tanaman bakau (mangrove) dan nonmangrove. Pulau Pasighe merupakan cagar alam dan sebagai lokasi untuk gerakan rehabilitasi lahan dan hutan (GERHAN) yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Di pulau ini kondisi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun dijumpai paling bagus dan dapat dijadikan sebagai contoh bentuk asosiasi pertumbuhan ketiga ekosistem utama yang ideal. Pulau Ruang, Pulau Pasighe, dan Pulau Tagulandang berada pada satu area perairan dangkal yang dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -1.000 m. Di bagian selatan kedalaman laut mencapai hingga lebih dari -600 m dan dijumpai Gugus-pulau Biaro (Gambar 20). Pulau Babi dikelilingi oleh perairan laut dangkal kecuali di sisi utara menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m. Di perairan laut dangkal ini dijumpai juga Pulau Pomana dan Gugus-pulau Besar (Gambar 21).
Gambar 19 Peta bentuklahan Pulau Pasighe.
89
Gambar 20 Peta kedalaman laut Pulau Ruang dan sekitarnya.
Gambar 21 Peta kedalaman laut Pulau Babi dan Pulau Pomana.
90
4.1.2.2 Karakteristik biogeofisik Tipe pulau vulkanik yang dipilih untuk penelitian ini adalah pulau-pulau kecil di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Sitaro. Hasil analisis secara geomorfologis dari aspek morfoarrangement, pulau vulkanik di Kabupaten Sikka berkembang mengikuti jalur magmatik yang membentuk kelurusan dengan arah umum ke barat - timur, seperti ditunjukkan pada kelurusan yang menghubungkan antara Pulau Palue, atol Gosong-goni, Pulau Babi, dan Pulau Konga (di sebelah barat Sikka). Sementara itu, di Kabupaten Sitaro pulau-pulau kecil berkembang memanjang dengan arah umum ke utara - selatan. Pola ini dapat dilihat dengan jelas dari citra Landsat yang digunakan dalam penelitian (Gambar 7 dan 8). Pulau-pulau kecil ini berkembang di samudra yaitu di Laut Flores dan di Laut Sulawesi dan termasuk kategori tipe vulkanik. Secara geomorfologis, keadaan umum pulau-pulau kecil tipe vulkanik dicirikan oleh bentuk pola morfologi pulau yang secara umum berbentuk melingkar seperti Pulau Palue di Kabupaten Sikka atau pola bentuk melingkar yang menyambung seperti Pulau Siau di Kabupaten Sitaro yang pada dasarnya merupakan ciri dari gunungapi. Namun, morfologi pulau kecil tipe vulkanik di daerah penelitian tidak seluruhnya berbentuk melingkar, misal, Pulau Dambila di Kabupaten Sikka dan Pulau Biaro di Kabupaten Sitaro (Gambar 16). Pulau vulkanik yang tidak lagi melingkar disebabkan oleh tingkat aktivitas vulkanis lebih lanjut dan asosiasinya dengan proses eksogenik. Secara umum morfologi Kepulauan Sikka dan Sitaro didominasi oleh relief pegunungan dan perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa dataran aluvial pantai dan rataan pasang surut. Perbedaan relief ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu tingkat aktivitas vulkanis dan komposisi material vulkanis. Faktor pertama, tingkat aktivitas gunungapi yang tinggi berpotensi membentuk relief pegunungan, sebaliknya aktivitas gunungapi yang semakin lama tidak aktif berpotensi membentuk relief perbukitan dan bahkan dataran. Pola morfologi tersebut hanya berlaku secara relatif terhadap suatu pulau kecil vulkanik, karena pada dasarnya morfologi pulau kecil yang dijumpai merupakan akhir aktivitas magmatik saat kini. Faktor kedua adalah komposisi material vulkanik antara piroklastik dan lava. Material piroklastik lebih rentan terdenudasi dibandingkan material lava, sehingga pulau vulkanik yang didominasi material piroklastik relatif lebih cepat terdenudasi membentuk dataran. Proses erosi dan longsor pada material piroklastik juga lebih intensif yang berpengaruh terhadap
91
ekosistem laut. Morfologi dataran umumnya dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan
permukiman,
sedangkan
morfologi
pegunungan
dan
perbukitan
dimanfaatkan untuk perkebunan. Pulau-pulau kecil di Sikka dan Sitaro dengan tipe vulkanik mempunyai substrat dasar yang tersusun atas endapan material vulkanik. Bentuklahan terumbu samudra akan berkembang di sini. Pada pulau kecil tipe vulkanik yang berupa gunungapi aktif, terumbu karang secara relatif kurang dapat berkembang karena terganggu oleh produk letusan, seperti yang terjadi di Pulau Ruang. Kegiatan gunungapi dengan periode letusan yang sering berpengaruh terhadap proses pertumbuhannya (banyak getaran, penaikan suhu serta sebaran materi vulkan yang mengganggu kejernihan air). Namun, secara umum terumbu karang lebih banyak berkembang dengan baik di pulau kecil tipe vulkanik ternudasi (tidak aktif) dibandingkan dengan di pulau kecil tipe tektonik. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sikka dijumpai terumbu karang sangat bagus karena posisinya berada di samudra, sedangkan mangrove relatif sedikit dan lamun tidak ada. Di Kabupaten Sitaro dijumpai terumbu karang, mangrove, dan lamun dengan kondisi lebih bervariasi.
4.1.2.3 Pengolahan data Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat diperoleh bahwa kombinasi kanal 245 sering muncul dengan nilai tertinggi pada model pulau-pulau kecil tipe vulkanik (Tabel 17). Contoh urutan nilai OIF Pulau Babi ditunjukkan pada Lampiran 5.
Tabel 17 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe vulkanik No
Nama pulau
Kombinasi
Kondisi pulau
1
Tagulandang, Sitaro
245
Vulkanik terdenudasi
2
Pasighe, Sitaro
247
Vulkanik terdenudasi, berlagun
3
Ruang, Sitaro
345
Vulkanik aktif
4
Besar, Sikka
245
Vulkanik terdenudasi
5
Palue, Sikka
345
Vulkanik aktif
6
Babi, Sikka
245
Vulkanik terdenudasi
7
Parumaan, Sikka
234
Vulkanik terdenudasi, sangat kecil
8
Kondo, Sikka
234
Vulkanik terdenudasi, sangat kecil
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 1, Lampiran 1.
92
Dari 8 model pulau kecil tipe vulkanik, 6 model merupakan gunungapi tidak aktif dan proses yang terjadi adalah denudasi. Di sisi lain, perbedaan tingkat proses denudasi yang berlangsung pada batuan vulkanik mempengaruhi perbedaan penutup lahan yang tercermin pada perbedaan kombinasi kanal (Tabel 17). Selain itu, perbedaan tingkat aktivitas vulkanik juga berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang dan bentuklahan terumbu. Dari kombinasi kanal terseleksi dapat dibuat enam citra komposit (Lampiran 7), seperti pada Gambar 22 a untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit dan Gambar 22 b untuk pulau kecil tipe vulkanik datar. Hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa kombinasi kanal terseleksi adalah 124 untuk Pulau Babi dan 134 untuk Pulau Pasighe dan Pulau Ruang. Gambar 22 c adalah citra komposit RGB 421 data QuickBird untuk Pulau Babi. Dari perbandingan antara Gambar 22 a (Landsat RGB 542) dan Gambar 22 c (QuickBird RGB 421), diketahui bahwa tampilan morfologi pulau relatif sama tajam. Padahal kedua citra ini memiliki perbedaan resolusi spasial berbeda yaitu 30 m dan 2,44 m. Hal ini menunjukkan bahwa kanal 1 tidak sesuai untuk tampilan daratan pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit seperti Pulau Babi. Hasil seleksi jenis penajaman spektral untuk pulau-pulau kecil tipe vulkanik adalah autoclip, levelslice, dan equalizer (Tabel 18). Sementara itu, hasil seleksi jenis filternya adalah low-pass average 3X3, low-pass average diagonal, dan high-pass sharpen 2 (Tabel 19). Artinya, untuk satu pulau dapat digunakan ketiga jenis penajaman dan ketiga jenis filter tersebut. Berdasarkan kondisi di lapangan diketahui, hal ini terkait dengan pola radial torehan pada pulau kecil tipe vulkanik. Hasil penajaman dan pemfilteran berfungsi meningkatkan kejelasan dan ketajaman morfologi pulau kecil tipe vulkanik berbukit, terutama pada efek kesan tiga dimensi (Gambar 23 a lebih jelas dibandingkan Gambar 22 a). Namun, pengaruh penajaman dan pemfilteran kurang berfungsi untuk morfologi pulau kecil tipe vulkanik datar, seperti ditunjukkan pada perbedaan antara Gambar 22 b dan 23 b. Contoh variasi citra komposit, penajaman, dan pemfilteran Pulau Palue ditunjukkan pada Lampiran 7, 8, dan 9. Hasil fusi multispasial meningkatkan kejelasan dan ketajaman tampilan morfologi pulau terutama untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit, seperti perbedaan antara Gambar 23 c dan d. Fusi multispasial juga meningkatkan kejelasan dan ketajaman tampilan mangrove, tetapi kurang sesuai untuk terumbu karang dan lamun.
93
a) Pulau Babi, Landsat RGB 542
c) Pulau Babi, QuickBird RGB 421
b) Pulau Pasighe, Landsat RGB 742
d) Pulau Pasighe, QuickBird RGB 431
Gambar 22 Citra komposit model pulau kecil tipe vulkanik. Landsat resolusi spasial 30 m dan QuickBird resolusi spasial 2,44 m.
a) Pulau Babi RGB 542 equalize, sharpen 2
b) Pulau Pasighe RGB 742 autoclip, sharpen 2
c) Pulau Babi RGBI 5428
d) P. Pasighe RGBI 7428
Gambar 23 Citra Landsat hasil penajaman dan fusi multispasial.
94
b) RGB 321 autoclip
a) RGB 321
c) RGBI 3215 pecahan koral karang hidup lamun
d) QuickBird RGB 421 e) Aplikasi Lyzengga
lagun
f) Landsat RGB 421
Gambar 24 Citra Pulau Pasighe.
Tabel 18 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe vulkanik
Pulau
Linear
Tagulandang + Pasighe ++ Ruang ++ Besar +++ Palue +++ Babi + Parumaan ++ Kondo ++ Keterangan: : tidak jelas + : kurang jelas
Autoclip +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++
Penajaman Level Equalizer slice +++ +++ ++ ++ ++ + +++ ++ +++ ++ +++ +++ ++ +++ ++ +++
++ : jelas +++ : sangat jelas
Gaussian ++ + + ++ +++ ++ +++ +++
Default Log + + + + + + ++ ++
++++: paling jelas
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper
95
Tabel 19 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe vulkanik Filter low pass high pass edge detection Pulau average average Sharpen Sharp Gradien Gradien 3x3 diagonal 2 edge in the x in the y direction direction Tagulandang +++ +++ ++++ + + Pasighe ++ ++ ++ Ruang ++ ++ +++ Biaro ++ ++ +++ + Palue ++ ++ +++ + Babi +++ +++ ++++ + + Parumaan ++ +++ +++ ++ Kondo ++ +++ +++ ++ Keterangan: : tidak jelas ++ : jelas ++++ : paling jelas + : kurang jelas +++ : sangat jelas Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software Er-Mapper.
Berdasarkan pengamatan terhadap kombinasi kanal terpilih pada citra Landsat yaitu 245, 247, dan 345; diketahui bahwa citra komposit RGB 453 menampilkan mangrove dengan jelas. Artinya bahwa ada kesamaan susunan kanal citra komposit untuk obyek mangrove pada pulau kecil tipe tektonik dan tipe vulkanik. Hasil perhitungan OIF citra QuickBird di Pulau Pasighe menunjukkan bahwa nilai tertinggi untuk mangrove adalah kombinasi kanal 134 dan untuk terumbu karang dan lamun adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20). Tampilan citra komposit RGB 431 citra QuickBird untuk mangrove ditunjukkan pada Gambar 24 d. Dari tampilan citra komposit ini masih sulit untuk mengidentifikasi mangrove. Sementara itu, pada citra QuickBird komposit warna asli (true color) RGB 321, mangrove berwarna coklat kehitaman (Gambar 24 a). Dari Gambar 14 a dan 22 b, mangrove ditampilkan dengan warna berbeda, yaitu hijau tua pada RGB 542 di Pulau Lengkang dan kuning pada RGB 742 di Pulau Pasighe. Contoh kasus ini, menunjukkan bahwa identifikasi obyek yang hanya didasarkan pada warna citra komposit hasil perhitungan OIF dapat menimbulkan kesalahan interpretasi. Karakteristik nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun dikaji melalui model Pulau Pasighe karena di pulau ini memiliki ketiga ekosistem laut terbaik (Tabel 21). Pada kanal 1, 2, dan 3 diketahui bahwa kisaran nilai digital terumbu karang dan lamun memiliki nilai lebih tinggi. Pada kanal 2 menunjukkan 96
perbedaan kisaran nilai digital paling nyata untuk terumbu karang dan lamun. Sementara itu, pada kanal 4 dijumpai nilai digital tertinggi adalah mangrove, disusul lamun, dan terakhir terumbu karang. Hal ini sesuai dengan karakterisitik kanal 4 yaitu memiliki kepekaan tinggi untuk vegetasi.
Tabel 20 Nilai OIF ekosistem laut dari citra QuickBird di Pulau Pasighe Kombinasi kanal Ekosistem laut
123
124
134
234
Mangrove
1,90
13,67
15,69
13,49
Terumbu karang
0,99
9,04
7,24
4,62
Lamun
1,75
3,17
2,95
2,85
Sumber : Hasil pengolahan data QuickBird dengan formula 1.
Tabel 21 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Pasighe Kanal Landsat
Ekosistem
Kanal QuickBird
laut
1
2
3
4
1
2
3
4
Mangrove
62-72
44-51
29-36
15-66
25-30
28-44
12-20
9-94
Terumbu karang Lamun
76-83
50-56
30-36
9-13
29-39
35-51
11-25
5-14
65-74
39-45
26-33
10-17
25-28
27-32
12-15
6-14
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper
Tabel 22 Rata-rata nilai digital ekosistem laut di Pulau Pasighe Ekosistem laut
Kanal 1
Kanal 2
Kanal 3
Kanal 4
Rata2
SD
Rata2
SD
Rata2
SD
Rata2
SD
Mangrove
69,50
0,69
48,00
0
34,00
1,39
72
0
Karang hidup
81,33
2,78
51,00
4,82
29,67
1,39
10,67
0
Pasir
86,00
1,39
60,50
3,48
35,50
0,69
10,50
0,69
Karang mati
98,00
2,78
76,50
4,87
44,00
1,39
10,00
0
Lamun
69,66
1,14
41,67
1,14
29,33
1,52
11,33
0,57
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper
97
Dari citra Landsat diperoleh rata-rata nilai digital ketiga obyek ekosistem laut berbeda (Tabel 22). Untuk kanal 1, 2, dan 3 menunjukkan nilai tertinggi adalah karang mati, kemudian pasir, karang hidup, lamun, dan terendah mangrove. Pola hubungan ini seperti ditunjukkan pada scattergram antara kanal 1 dan 2 di Pulau Pasighe pada Gambar 32. Sementara itu, pada kanal 4, mangrove memiliki nilai tertinggi dengan perbedaan yang sangat jauh dengan obyek lain, berikutnya secara berturut-turut adalah lamun, karang hidup, pasir, dan karang mati. Berdasarkan pengamatan terhadap nilai digital tersebut, maka identifikasi mangrove menggunakan kanal 4, sedangkan identifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan kanal 1 dan 2. Sementara itu, klasifikasi terumbu karang menjadi karang hidup, pasir, dan karang mati dapat dilakukan menggunakan kanal 1 dan 2. Nilai digital mangrove dan lamun terdapat nilai yang tumpang tindih yaitu 16 pada Landsat dan 10 -14 pada citra QuickBird (Tabel 21). Hal inilah yang mempengaruhi kesulitan dalam hal delimitasi antara kedua obyek tersebut. Namun, rata-rata nilai digital lamun pada kanal 1 dan 2 berbeda dengan terumbu karang, sedangkan di kanal 3 dan 4 sangat berbeda dengan mangrove (Tabel 22). Kedua kondisi ini memungkinkan untuk identifikasi lamun dengan memanfaatkan keempat kanal tersebut secara proporsional, serta menggunakan gabungan analisis visual dan digital. Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal tampak berwarna putih pada citra Landsat RGB 421. Di Pulau Lengkang, obyek berwarna putih ini merupakan substrat dasar atau peneplain yang terendam yang tersusun oleh batuan sedimen. Sementara itu, di Pulau Ruang merupakan material produk letusan Gunung Ruang yang tersusun oleh batuan bekudalam. Jenis substrat dasar terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini perlu dipertimbangkan pada identifikasi dan klasifikasi ekosistem laut secara digital.
98
4.1.3 Tipe Terumbu Hasil analisis geomorfologi di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil, diketahui bahwa pulau kecil tipe terumbu dikenali terutama dari aspek morfologi dengan bentuk memanjang atau tidak melingkar sebagai hasil dari proses pengangkatan pada batu gamping terumbu. Proses awalnya adalah biologik yaitu dari binatang karang. Selain itu, aspek morfoarrangement juga membantu dalam identifikasi karena susunan keruangan posisi pulaunya terkait dengan pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Aspek-aspek tersebut menjadi lebih berperan jika informasi jenis batuan belum tersedia. Pulau kecil tipe terumbu tampak dari citra Landsat RGB 543 dengan warna lebih cerah dibandingkan dengan pulau kecil tipe vulkanik. Hal ini terkait dengan batuan gamping terumbu dan vegetasi yang jarang. Interpretasi awal untuk pulau kecil tipe terumbu adalah dengan unsur warna yang cerah dan bentuk pulau yang memanjang. Dari tiga daerah penelitian, pulau kecil tipe terumbu yang dijumpai hanyalah Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang berada di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Warna citra untuk pulau kecil tipe terumbu ada kemiripan dengan pulau kecil tipe atol. Hal ini disebabkan oleh karena keduanya tersusun oleh batuan gamping terumbu. Akan tetapi keduanya memiliki morfologi pulau berbeda karena perbedaan proses terbentuknya. Pulau kecil tipe terumbu berbentuk memanjang, sedangkan pulau kecil tipe atol berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe atol berbentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar sebagai kelanjutan dari proses pembentukan terumbu akibat tenggelamnya pulau kecil tipe vulkanik.
4.1.3.1 Bentuklahan model pulau kecil Hasil analisis dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulau kecil tipe terumbu yang berkembang di Kabupaten Sikka dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) tektonik/struktural, 2) marin, dan 3) organik. Bentuklahan asal proses tektonik atau struktural yang dijumpai adalah bentuklahan
perbukitan
plato
berupa
dua
perbukitan
memanjang
dan
bentuklahan perbukitan mesa berupa bukit kecil. Perbukitan yang luas atau plato dinamakan Pulau Pomana-besar, sedangkan yang sempit atau mesa dinamakan Pulau Pomana-kecil. Kedua pulau ini memiliki morfogenesis yang sama yaitu terbentuk dari hasil pengangkatan terumbu. Perbedaan dijumpai pada ukuran
99
bukit dan kondisi cuspate foreland yang menjadikan perbedaan kategori bentuklahan. Proses pengangkatan yang berlangsung membentuk suatu kelurusan dari Pulau Sukun, Pulau Besar, dan Pulau Flores bagian timur, dimana pada kelurusan ini secara umum membentuk deretan gunungapi seperti diilustrasikan oleh Bemmelen (1970) secara skematik pada Gambar 25. Di antara deretan gunungapi ini juga terangkat terumbu yang terletak di antara Pulau Sukun dan Pulau Besar dan terbentuklah pulau kecil tipe terumbu yaitu Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil. Pulau kecil tipe terumbu ini terbentuk di atas batu vulkanik yang terangkat Bentuklahan asal proses marin yang dijumpai adalah bentuklahan cuspate foreland, bentuklahan tombolo, dan bentuklahan gisik. Bentuklahan cuspate foreland terbentuk dari hasil pengendapan batu gamping terumbu dari proses akresi. Bentuklahan tombolo terbentuk dari hasil perluasan cuspate foreland yang telah menghubungkan dua pulau kecil berbukit yaitu Pulau Pomana-besar. Bentuklahan gisik terbentuk sebagai hasil dari proses abrasi gelombang terhadap batu gamping terumbu yang kemudian diendapkan di sekitarnya. Bentuklahan gisik membentuk dataran pantai dan relatif sangat sempit. Ketiga bentuklahan asal marin tersebut membentuk dataran. Bentuklahan tombolo berada di antara dua bukit sedangkan cuspate foreland berada di bagian selatan dan timur Pulau Pomana-besar. Penduduk menempati tombolo dan cuspate foreland dan mendapatkan sumber air tawar yang berada di lereng bukit. Bentuklahan asal proses organik yaitu bentuklahan terumbu yang terbentuk oleh binatang karang di perairan laut dangkal pulau-pulau kecil tipe terumbu. Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai adalah bentuklahan terumbu paparan yang terdiri atas bentuklahan terumbu pelataran bergoba dan bentuklahan terumbu dinding tanduk. Goba atau lagun dijumpai di empat lokasi, yaitu di bagian timur dan selatan Pulau Pomana-besar dan dua di bagian utara Pulau Pomana-kecil. Goba dapat menjadi indikasi suatu tahapan perkembangan bentuklahan terumbu dan merupakan gambaran kondisi hidrologi pada bentuklahan terumbu. Pulau Pomana dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m kecuali di sisi Selatan. Di perairan laut dangkal ini, Pulau Pomana berada di antara Pulau Babi dan Gugus-pulau Besar, dimana keduanya termasuk kategori pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 21).
100
Gambar 25 Skematik penampang melintang Pulau Pomana, (Bemmelen, 1970).
a) Pulau Pomana-besar dengan tebing pantai yang terjal (cliff)
b) Pulau Pomana-kecil (0,9 Ha), gisik pantai dan cliff dari sisi Barat
c) Perairan laut dangkal di Pulau Pomana-besar
d) Perairan laut dangkal dengan terumbu karang di Pulau Pomana-kecil
e) Permukiman di bentuklahan tombolo di antara dua perbukitan
f) Batu gamping terumbu di Pulau Pomana-besar
Gambar 26 Foto pulau kecil tipe terumbu di Pulau Pomana.
101
Hasil analisis geomorfologi berupa peta bentuklahan Pulau Pomana-besar dan Pomana-kecil disajikan pada Gambar 27 dan 28. Pulau Pomana-besar terdiri atas bentuklahan-bentuklahan tombolo, cuspate foreland, perbukitan plato, terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-kecil terdiri atas bentuklahan-bentuklahan cuspate foreland, gisik, perbukitan mesa, terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil mempunyai ekosistem terumbu karang yang relatif luas dan luas masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Luas bentuklahan Pulau Pomana No
Bentuklahan
1 2 9 10 11 13 14
Terumbu pelataran bergoba Terumbu dinding tanduk Gisik Tombolo Cuspate foreland Lagun Daratan Total Total Terumbu Sumber : Data primer
Pomana-besar Luas (Ha) % 9.135 9.70 25.657 27.24 0 0.00 5.406 5.74 1.421 1.51 1.678 1.78 50.9 54.04 94.19 100.00 34.79 36.94
Pomana-kecil Luas (Ha) % 9.79 48.44 4.244 21.00 1.476 7.30 0 0.00 2.252 11.14 1.531 7.58 0.912 4.51 20.21 100.00 14.03 69.42
4.1.3.2 Karakteristik biogeofisik Model pulau kecil tipe terumbu, yaitu Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil di Kabupaten Sikka terletak di Laut Flores dan berada di antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 7). Di perairan Pulau Pomana-kecil ini area terumbu karang lebih luas daripada daratannya, dan mangrove dan lamun tidak dijumpai. Pulau Pomana-besar dengan luas 50,9 Ha memiliki morfologi perbukitan dan elevasi tertinggi 300 m dpal. Perbukitan ini dikembangkan untuk perkebunan jagung dan kacang-kacangan pada bagian lahan yang mempunyai solum tanah relatif paling tebal (20 – 30 cm) di perbukitan tersebut, terutama pada musim penghujan. Pulau Pomana-kecil dengan luas 0,9 Ha memiliki morfologi perbukitan dengan elevasi tertinggi 200 mdpal dan ditutupi oleh semak belukar. Unsur interpretasi warna yang cerah sebagai refleksi dari batu gamping terumbu dan vegetasi yang jarang dapat menjadi indikasi pada identifikasi awal pulau kecil tipe terumbu. Sementara itu, informasi jenis batuan yaitu gamping terumbu dapat diperoleh melalui Peta Geologi atau cek lapangan.
102
Gambar 27 Peta bentuklahan Pulau Pomana-besar.
Gambar 28 Peta bentuklahan Pulau Pomana-kecil.
103
Secara geomorfologis, keadaan umum Pulau Pomana dicirikan oleh perbukitan berupa dua punggungan bukit dan satu bukit kecil. Perbukitan ini dicirikan oleh morfologi bukit berteras dengan arah umum Timurlaut. Pola ini berasal dari proses tektonik yaitu pengangkatan yang berlangsung pada batu gamping terumbu. Hasil pengangkatan ini membentuk tiga pulau kecil yang termasuk pulau kecil tipe terumbu. Morfologi pulau secara umum berbentuk memanjang atau tidak melingkar. Pulau Pomana diduga merupakan tiga pulau yang terpisah. Dua pulau yang lebih besar yang telah terhubungkan oleh tombolo yang dinamakan Pulau Pomana-besar, dan satu pulau lebih kecil yang dinamakan Pulau Pomana-kecil. Bentuklahan tombolo adalah cuspate foreland yang telah menghubungkan dua pulau. Saat kini, ketiga pulau kecil ini telah terhubungkan oleh bentuklahan terumbu sehingga membentuk gugus-pulau. Secara
umum
morfologi
perbukitan
mendominasi
Pulau
Pomana,
sedangkan daerah dataran relatif sempit, yang berupa bentuklahan tombolo, cuspate foreland, dan gisik pantai. Dataran terbentuk dari endapan batu gamping terumbu hasil abrasi air laut. Dataran relatif luas dijumpai di antara dua perbukitan besar di Pulau Pomana-besar. Sementara itu, dataran sempit dijumpai di bagian Timur dan Selatan Pulau Pomana-besar. Dataran lain berupa dataran pantai yang relatif sangat sempit. Proses abrasi di tepi pantai pulau-pulau kecil ini menyisakan tebing terjal atau cliff (Gambar 26 a dan b). Pantai dengan tebing terjal mendominasi pantai di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil. Tebing pantai ini membentuk gerong laut (notch) yang mencerminkan kerja gelombang yang kuat. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa mangrove dan lamun sulit tumbuh dan berkembang. Di samping posisi pantainya berhadapan dengan gelombang besar, sedimentasi lumpur rendah, dan potensi pembentukan air payau yang rendah. Daerah dataran pantai berupa bentuklahan tombolo dan cuspate foreland dan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai permukiman. Masyarakat menggunakan sumber air tawar yang muncul di lereng perbukitan.
4.1.3.3 Pengolahan data Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat untuk model pulau kecil tipe terumbu diperoleh bahwa, kombinasi kanal untuk Pulau Pomana-besar adalah 257 dan untuk Pulau Pomana-kecil adalah 235. Urutan nilai OIF Pulau Pomanabesar ditunjukkan pada Lampiran 6. Perbedaan yang menyolok dari kedua model
104
pulau kecil ini adalah pada ukuran pulau. Nilai digital Pulau Pomana-kecil banyak dipengaruhi oleh perairan laut dangkal termasuk terumbu karang yang relatif luas. Sementara itu, hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa untuk Pulau Pomana-besar adalah kombinasi kanal 124 dan Pulau Pomana-kecil adalah 234. Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan salah satunya ditunjukkan pada Gambar 29 a dan b untuk citra Landsat dan Gambar 29 e dan f untuk citra QuickBird. Morfologi Pulau Pomana-besar tampak lebih jelas dari citra Landsat (Gambar 29 a dan b) dibandingkan dari citra QuickBird (Gambar 29 e dan f), padahal resolusi spasialnya jauh berbeda yaitu antara 30 m dengan 2,44 m. Demikian halnya untuk Pulau Pomana-kecil antara Gambar 29 b dan f. Hal ini menunjukkan bahwa citra Landsat sesuai untuk tampilan morfologi pulau-pulau kecil tipe terumbu. Kanal 7 pada kombinasi kanal 257 terseleksi memiliki nilai OIF tertinggi pada Pulau Pomana-besar. Citra komposit terpilih adalah RGB 752. Di sisi lain, hasil penelitian Parcharidis et al (1998) yang mempelajari fenomena karst di pantai utara Selat Corinthian menyebutkan bahwa kanal-kanal terseleksi adalah 1, 4, dan 7. Citra komposit terpilih adalah RGB 471. Adanya perbedaan ini diperkirakan dipengaruhi oleh perbedaan penutup lahan, akan tetapi pada kedua peneitian ini ada kesamaan yaitu terpilihnya kanal 7. Obyek–obyek ekosistem terumbu karang pada Gambar 29 e (QuickBird) lebih jelas daripada Gambar 29 a (Landsat). Sementara itu, Gambar 29 e (RGB 421) lebih jelas daripada Gambar 29 f (RGB 432), dimana keduanya memiliki karakteristik biogeofisik yang sama yaitu terumbu karang yang tumbuh pada batuan gamping terumbu. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara RGB 542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat. Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi spasial. Kanal 1 dan 2 lebih sesuai dalam menampilkan obyek–obyek ekosistem terumbu karang. Hasil penajaman spektral terseleksi untuk model pulau kecil tipe terumbu adalah autoclip, sedangkan hasil filter terseleksi adalah high-pass sharpen 2 (Tabel 24 dan 25). Model pulau-pulau kecil tipe terumbu mempunyai kondisi penutup lahan yang relatif sama. Contoh citra hasil penajaman dan pemfilteran ditunjukkan pada Gambar 29 c dan h.
105
a) Pulau Pomana-besar, Landsat RGB 752
b) Pulau Pomana-kecil, Landsat RGB 532
c) Pulau Pomana Landsat RGB 752 autoclip, sharpen 2
d) Pulau Pomana Landsat RGBI 7528
e) Pulau Pomana-besar, QuickBird RGB 421
f) Pulau Pomana-kecil, QuickBird RGB 432
g) Pulau Pomana, Citra Landsat RGB 421
h) Pulau Pomana, QuickBird RGB 421 autoclip, sharpen 2
Gambar 29 Citra komposit Landsat dan QuickBird Pulau Pomana.
106
Tabel 24 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe terumbu
Pulau
Linear
Pomana++ besar Pamana++ kecil Keterangan: : tidak jelas + : kurang jelas
Autoclip
Penajaman Levelslice Equalizer
++++
+++
+++
+++
Default Log +
++++
+++
+++
+++
+
++ : jelas +++ : sangat jelas
Gaussian
++++: paling jelas
Sumber: Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4
Tabel 25 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe terumbu
Pulau
Filter low pass high pass edge detection average average Sharpen Sharp Gradien Gradien 3x3 diagonal 2 edge in the x in the y direction direction ++ ++ ++++ + -
Pomanabesar Pamana++ kecil Keterangan: : tidak jelas + : kurang jelas
++
++++
++ : jelas +++ : sangat jelas
+
-
-
++++ : paling jelas
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4
Hasil fusi multispasial dari citra Landsat RGBI 7528 (Gambar 29 d) maupun dari citra QuickBird meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan morfologi dan obyek-obyek pulau kecil tipe terumbu. Namun, fusi multispasial tidak memperjelas atau tidak mempertajam tampilan obyek-obyek terumbu karang. Hal ini juga terjadi pada pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik yang menunjukkan bahwa terumbu karang memerlukan kisaran panjang gelombang lebih spesifik. Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu tidak dijumpai mangrove dan lamun tetapi dijumpai terumbu karang dengan pertumbuhan sangat baik. Teknik fusi multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) seperti RGB 421 dapat dibangun dari citra Landsat dan QuickBird. Citra komposit RGB 421 ini menampilkan terumbu karang dengan baik (Gambar 29 e dan g) dan menjadi lebih jelas lagi dengan penajaman autoclip sharpen 2 (Gambar 29 h). 107
Pada analisis bentuklahan terumbu berbasis geomorfologi, citra komposit RGB 421 dari Landsat sudah dapat menampilkan bentuklahan terumbu dengan baik. Perbandingan antara Gambar 29 g dengan 29 b di perairan Pulau Pomana-kecil, menunjukkan perbedaan kedetailan tampilan terumbu akibat perbedaan pilihan kanal; dimana kanal 1 dan 2 lebih baik. Sementara itu, perbandingan antara Gambar 29 g dengan 29 h menunjukkan bahwa identifikasi bentuklahan terumbu dan terumbu karang sudah dapat dicapai dari citra Landsat. Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi multispasial sesuai dalam mempertajam morfologi pulau dan mangrove. penutup lahannya homogen dan pulaunya kecil, penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Jadi teknik pengolahan datanya adalah (Gambar 46).
108
4.2 Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Berbasis Geomorfologi Hasil kajian pulau-pulau kecil di daerah penelitian dapat diketahui bahwa dasar klasifikasi pullau yang telah ada masih kurang mencerminkan karakteristik biogeofisik. Klasifikasi tipe pulau seperti diuraikan pada sub-bab 2.1.2; secara garis besar lebih menekankan pada tiga dasar klasifikasi yaitu 1) ketinggian, yang membedakan antara tinggi dan rendah, 2) topografi, yang membedakan antara berbukit dan datar, dan 3) lokasi, yang membedakan antara oseanik dan kontinen. Berdasarkan ketiga klasifikasi ini maka tampak bahwa karakter ekosistem laut yang tumbuh dan berkembang belum dapat digambarkan dengan baik. Dengan kata lain, klasifikasi yang ada belum dapat menggambarkan potensi pertumbuhan mangrove, terumbu karang, ataupun lamun. Berdasarkan hal tersebut makadalam penelitian ini klasifikasi tipe pulau kecil dilakukan berbasis geomorfologi, yaitu mengikuti proses geomorfik. Sistem klasifikasi tipe pulau kecil diawali dari morfogenesis dan kemudian dilengkapi dengan morfologi umum berupa morfografi. Hal ini diperlukan agar dalam pengkelasan tipe pulau kecil sekaligus dapat memberikan gambaran umum karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya.
Tabel 26 Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis Morfogenesis Endogenik
Eksogenik
Proses Tektonik
Tipe pulau
Morfografi
lipatan
Tektonik lipatan
Berbukit, datar
patahan
Tektonik patahan
Berbukit, datar
Vulkanik/
intrusif
Vulkanik intrusif
Berbukit, datar
Magmatik
ekstrusif
Vulkanik ekstrusif
Berbukit, datar
Gradasif
degradasif
Stack
Berbukit
Monadnock
Berbukit, datar
Hummock
Berbukit
Aluvial/delta
Datar
Moraine*
Datar
Terumbu
Berbukit, datar
Atol
Datar
mangrove
Gambut*
Datar, berbukit
manusia
Buatan*
Datar, berbukit
aggradasif
Biologik
Antropogenik
karang
Sumber: Hasil analisis geomorfologi. *) jarang terjadi di Indonesia.
109
Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi dibedakan menurut proses terbentuknya. Menurut Thornbury (1969), proses geomorfik yang membentuk muka bumi dibedakan menjadi tiga yaitu proses-proses endogen, eksogen, dan ekstraterestial. Proses endogen terdiri atas diastrofisme (lipatan dan patahan) dan magmatik (intrusi dan ekstrusi), sedangkan proses eksogen terdiri atas gradasi dan hasil kerja organisme termasuk manusia. Proses gradasi sendiri terdiri atas degradasi (pelapukan, gerakan massa, dan erosi) dan aggradasi (air, air tanah, gelombang, angin, dan glasial). Proses ekstraterestrial adalah jatuhnya meteorit dari luar angkasa ke permukaan bumi. Oleh karena proses ekstraterestrial jarang dijumpai maka konsentrasi studi ini difokuskan pada proses endogenik dan eksogenik. Pulau-pulau kecil diklasifikasikan dari kedua proses utama tersebut dan diuraikan ke dalam kelas-kelas yang lebih rinci. Untuk itu bentuk pembagian tipe pulau kecil disusun menurut morfogenesis dan dibedakan dari prosesnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 26. Dari 13 tipe pulau kecil, tiga di antaranya yaitu moraine, gambut, dan buatan diperkirakan sangat jarang terbentuk di Indonesia. Untuk itu, klasfikasi tipe pulau kecil dapat disederhanakan menjadi 10 meliputi tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock, hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Pulau kecil tipe tektonik terbentuk oleh proses tektonik yang secara umum berupa lipatan dan patahan. Pulau-pulau ini, pada atlas pengelompokan pulaupulau kecil berdasarkan tektonogenesis, berada di daerah kelompok pulau Busur Muka, Paparan Benua dan Busur Belakang, dan Benua Renik. Di daerah kelompok pulau Busur Muka struktur geologi sesar naik lazim dijumpai walaupun jenis sesar lain serta struktur lain seperti sinklin dan antiklin juga sering ditemukan. Di daerah kelompok pulau Paparan Benua dan Busur Belakang dijumpai struktur terban dan setengah terban menguasai wilayah ini, tetapi sering juga dijumpai sesar geser, sesar naik bersudut landai, serta sinklin dan antiklin. Di daerah kelompok pulau Benua Renik dijumpai sesar geser umumnya menguasai wilayah ini, meskipun sesar normal dan sesar naik serta sinklin dan antiklin juga sering dijumpai. Pada struktur sesar berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tektonik patahan, sedangkan pada struktur sinklin dan antikin berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tektonik lipatan. Pulau kecil tipe vulkanik terbentuk oleh proses magmatik yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu intrusif dan ekstrusif. Pulau kecil tipe
110
vulkanik tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudra. Daerah yang berpeluang untuk dijumpai pulau kecil tipe vulkanik adalah di daerah kelompok pulau Busur Magmatik. Struktur sembul dan terban umumnya menguasai wilayah Busur Magmatik. Di daerah struktur sembul diperkirakan terbentuk pulau kecil tipe vulkanik intrusif, sedangkan pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif diperkirakan dapat dijumpai di seluruh daerah Busur Magmatik. Pulau kecil tipe terumbu terbentuk oleh proses pengangkatan pada batu gamping terumbu. Oleh karena batu gamping terumbu terbentuk dari karang, maka peluang dijumpainya adalah di daerah terumbu karang yang mengalami proses endogen aktif. Jadi pulau kecil tipe terumbu awalnya terbentuk oleh proses biologik dan kemudian oleh proses tektonik yaitu pengangkatan. Pada klasifikasi ini (Tabel 26) dimasukkan ke dalam kelompok proses biologik karena proses biologik merupakan proses utama. Pulau kecil tipe atol terbentuk oleh proses penenggelaman (subsidence) pulau kecil tipe vulkanik yang semula menjadi substrat dasar pertumbuhan karang dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Pulau kecil tipe vulkanik, dan tipe atol pembentukannya terkait dengan kegunungapian. Daerah yang berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tipe atol adalah di daerah kelompok pulau Busur Magmatik seperti halnya untuk pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu. Stack adalah bentuklahan yang merupakan bagian dari suatu lapisan batuan dimana sebagian di antaranya telah tererosi. Monadnock adalah bentuklahan yang terbentuk oleh munculnya batuan yang resisten akibat tererosinya batuan di atasnya yang kurang resisten. Jika kedua bentuklahan tersebut terbentuk di lautan dan tidak tenggelam saat air laut pasang maka terbentuklah pulau kecil tipe stack dan monadnock. Pulau kecil tipe hummock dapat terbentuk di daerah yang relatif labil yang dapat menyebabkan suatu massa batuan bergeser dan membentuk bentuklahan hummock. Di daerah penelitian, contoh bentuklahan hummock dijumpai di daratan Pulau Ruang, dan jika bentuklahan ini terbentuk di lautan maka disebut pulau kecil tipe hummock. Morfologi pulau kecil tipe hummock berbentuk kubah atau dapat dikategorikan berbukit. Pulau kecil tipe hummock berpeluang dijumpai di daerah gempa. Pada Gambar 5, daerah gempa berada di Busur Muka, Busur
111
Magmatik, dan di Laut Jawa. Pulau kecil tipe hummock di Indonesia hanya dijumpai satu yaitu Pulau Rondo di Sumatra Utara (Rais, 2008). Pulau kecil tipe aluvial atau delta terbentuk oleh proses fluvial dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau kecil tipe aluvial berpeluang dijumpai di depan muaramuara sungai besar, seperti di depan muara-muara sungai di pantai Timur Sumatra dan di Delta Mahakam, Kalimantan. Analisis tipe pulau kecil melalui pendekatan geomorfologi untuk ekosistem laut memberikan informasi bentuk pulau, jenis batuan yang terkandung, dan proses terbentuknya. Dengan kata lain, melalui tipe pulau dapat diduga karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Sebagai contoh, pada pulau kecil tipe tektonik di Kepulauan Batam yang secara umum tersusun dari batupasir dan tuf dan di lokasi ini tidak dijumpai suatu muara sungai besar yang membawa muatan sedimen yang tinggi, maka ekosistem pantai yang terbentuk adalah pantai berbatu dan berpasir. Pada klasifikasi tersebut hanya membedakan antara morfografi datar dan berbukit, hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan. Topografi dapat dibedakan menjadi datar (0 – 100 m), berbukit (>100 – 300 m), dan bergunung (>300 m). Morfografi pulau kecil bergunung dan berbukit digabung menjadi morfografi berbukit, sehingga pulau kecil dengan ketinggian >100 m dimasukkan ke dalam kategori morfografi berbukit. Pada Tabel 25, jenis morfografi setiap tipe pulau kecil yang tercantum disesuaikan dengan kemungkinan ketinggian pulau kecil yang terbentuk. Karakteristik biogeofisik suatu pulau kecil terdapat kaitan yang erat antara morfografi (datar atau berbukit) dengan perkembangan ekosistem laut. Pola keterkaitan ini dijumpai pada model pulau-pulau kecil dan salah satu contoh fenomena yang menonjol dijumpai pada perbedaan karakteristik biogeofisik antara Pulau Ruang dengan Pulau Pasighe. Klasifikasi ini masih bersifat umum tetapi dapat dipakai sebagai panduan yang praktis untuk pembagian tipe pulau kecil dengan menggunakan data penginderaan jauh satelit atau data lainnya. Selanjutnya dari tipe pulau kecil ini dilakukan
analisis
untuk
mendapatkan
karakteristik
biogeofisik
melalui
pendekatan geomorfologi ataupun cara lainnya.
112
4.3 Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau 4.3.1 Mangrove Pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik, secara umum mangrove berkembang dengan baik. Pada tahap awal interpretasi secara visual, dari citra komposit warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 453, mangrove diidentifikasi dari unsur interpretasi warna, tekstur, dan lokasi. Warna mangrove adalah merah bata, bertekstur kasar, dan lokasinya di pantai (Gambar 30 a). Pada citra QuickBird, interpretasi mangrove dapat diperjelas dengan unsur pola yaitu bergerombol-gerombol (Gambar 30 c). Pada Gambar 14 b mangrove dapat dikenali lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 14 a. Hal ini menunjukkan bahwa fusi multispasial berperan dalam identifikasi mangrove yang berada di atas permukaan air laut. Dengan kata lain, mangrove dapat diidentifikasi tanpa kendala. Contoh kasus di Pulau Lengkang menunjukkan bahwa identifikasi mangrove dapat dilakukan hanya menggunakan unsur warna. Pada citra komposit RGB 453, mangrove berwarna merah bata (Gambar 30 a), sedangkan pada citra RGB 542, mangrove berwarna hijau tua (Gambar 14 a). Mangrove dapat diidentifikasi dengan baik pada kedua citra komposit tersebut. Sebaran mangrove di sini tidak terlalu luas, hanya terdapat pada sebagian sisi Pulau Lengkang, tetapi karena perbedaan warna antar obyek tampak kontras maka identifikasi mangrove dapat dilaksanakan. Warna mangrove yang kontras terkait dengan nilai digitalnya. Pada data Landsat kanal 4, kisaran nilai digital mangrove menunjukkan nilai yang tinggi dan berbeda nyata dengan terumbu karang dan lamun (Tabel 16). Perbedaan nyata atau keterpisahan nilai digital antar obyekobyek ekosistem laut ini membuat identifikasi mangrove menjadi lebih mudah. Contoh kasus di Pulau Jagung (Gambar 14 a bagian utara), dijumpai mangrove dengan tingkat kerapatan tinggi. Vegetasi ini tumbuh sampai batas daerah daratan yang dapat dicapai oleh air laut pada saat pasang tertinggi. Pada model pulau kecil tipe tektonik ini dijumpai keragaman penutup lahan, tetapi warna merah bata tampak kontras dengan warna lain. Secara umum, mangrove dapat tumbuh dan berkembang baik di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik, kecuali pada pantai berbatu dengan lereng terjal atau pantai yang telah banyak mendapat pengaruh aktivitas manusia seperti pencemaran. Pada model pulau-pulau kecil tipe vulkanik, mangrove dijumpai jika ada bagian pesisir pulau yang terlindung dari ombak. Hasil komposit RGB 453 citra
113
Landsat di Pulau Pasighe menunjukkan mangrove dengan warna merah bata juga. Namun, penutup lahan di Pulau Pasighe dominan mangrove sehingga warna merah bata tidak tampak kontrasnya, hanya sebagian kecil yang berwarna beda (Gambar 31 c). Kerapatan mangrove yang tinggi membuat tekstur obyek jadi lebih halus sehingga pola mangrove yang biasanya bergerombol tidak tampak. Dari unsur lokasi juga sulit digunakan untuk identifikasi. Mangrove di pulau kecil ini menempati seluruh pulau dan berada di tengah bentuklahan terumbu yang berbentuk lonjong. Artinya bahwa, pada tahap awal interpretasi mangrove menggunakan unsur warna, tekstur, dan lokasi masih menemui kesulitan. Pada kasus tersebut, identifikasi mangrove secara langsung dari RGB 453 menjadi terkendala. Salah satu kesulitannya adalah belum diketahuinya tipe dan karakteristik biogeofisik pulau kecil. Sebagai perbandingan fenomena pertumbuhan mangrove di pulau tipe vulkanik, adalah perbedaan antara Pulau Ruang dan Pulau Pasighe. Pada citra komposit RGB 453 di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe dijumpai warna merah yang tersebar dari tengah pulau hingga ke pesisir. Keberadaan warna merah dengan lokasi di pantai mengarah untuk diinterpretasi sebagai mangrove. Namun, hasil pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa di Pulau Ruang tidak dijumpai mangrove, dan warna merah di citra adalah pohon kelapa dan semak belukar. Kesulitan identifikasi mangrove di Pulau Ruang ini disebabkan oleh warna merah dan warna lain tidak terjadi kekontrasan yang berarti, sehingga tidak ada pembanding. Pulau Ruang adalah pulau kecil tipe vulkanik berbukit dengan gunungapi yang masih aktif. Hasil letusan Gunungapi Ruang berupa piroklastik dan lava. Pulau vulkanik ini muncul di samudra sehingga semua pantainya berhadapan langsung dengan gelombang besar. Kedua faktor tersebut, gunungapi aktif dan posisi di samudra, menjadi kendala pertumbuhan mangrove (Gambar 31 b). Di sisi lain, Pulau Pasighe adalah pulau kecil tipe vulkanik datar terdenudasi lanjut yang terlindung dari gelombang besar oleh adanya terumbu yang berbentuk lonjong di sekelilingnya. Karakteristik fisik Pulau Pasighe ini sesuai untuk pertumbuhan mangrove dan lamun. Pada kasus dua pulau ini, ditemukan bahwa identifikasi mangrove memerlukan informasi pemahaman karakteristik biogeofisik pulau kecil.
114
a) Pulau Lengkang Landsat RGB 453
b) Pulau Mentiang, Landsat RGB 453 resolusi 30 m
c) Pulau Mentiang QuickBird pansharpen resolusi 0,6 m
Gambar 30 Citra mangrove di pulau kecil tipe tektonik.
a) Pulau Pasighe QuickBird pansharpen
b) Pulau Ruang Landsat RGB 453
c) Pulau Pasighe Landsat RGB 453
Gambar 31 Mangrove dan non-mangrove di pulau kecil tipe vulkanik.
Gambar 32 Scattergram ekosistem laut Pulau Pasighe kanal 1 dan 2. Km = karang mati, p = pasir, kh = karang hidup, lm = lamun, mgr = mangrove.
115
Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe tektonik dipilih di Pulau Lengkang. Hasil analisis digital mangrove dari algoritma NDVI diperoleh selang nilai dari negatif sampai positif. Nilai NDVI negatif merupakan obyek air, sedangkan nilai NDVI positif adalah mangrove. Analisis ini dimaksudkan untuk mengelompokkan tingkat kerapatannya serta memisahkan antara mangrove dengan non mangrove. Area mangrove telah diidentifikasi terlebih dahulu secara visual menggunakan citra Landsat RGB 453. Identifikasi mangrove di sini tidak dijumpai kesulitan, antara lain disebabkan oleh adanya keragaman obyek, sehingga warna merah bata tampak lebih nyata dan lebih kontras dibandingkan dengan warna lain (Gambar 30 a). Nilai NDVI mangrove di Pulau Lengkang (+ 0,27 Km2) berkisar antara – 0,349 sampai +0,376. Berdasarkan nilai tersebut Pulau Lengkang dibagi menjadi 5 kelas. Dua kelas pertama adalah perairan, dan selanjutnya adalah mangrove dengan kelas kerapatan dari rendah, sedang, sampai tinggi. Hasil klasifikasi kerapatan mangrove ditunjukkan pada Gambar 33. Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe vulkanik dipilih di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe untuk mewakili fenomena kaitan antara pulau kecil tipe vulkanik dengan pertumbuhan mangrove. Hasil pengamatan di Pulau Ruang dijumpai warna merah dari tengah pulau hingga ke tepi pulau secara merata (Gambar 31 b). Di bagian tengah pulau memiliki nilai NDVI lebih tinggi daripada di bagian tepi pulau. Kisaran nilai NDVI adalah -0,135 sampai +0,602. Pengaruh massa air di tepi pulau lebih tinggi sehingga nilai digital kanal 4 akan rendah dan nilai NDVI akan lebih kecil dibandingkan di tengah pulau. Hasil cek lapangan diketahui bahwa, di Pulau Ruang (+ 13,55 Km2) tidak dijumpai mangrove tapi didominasi oleh kelapa dan semak belukar. Berdasarkan nilai NDVI Pulau Ruang dibagi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi dari sangat jarang hingga sangat lebat dan satu kelas perairan (Gambar 34). Hasil klasifikasi NDVI di pulau ini merupakan klasifikasi kerapatan vegetasi non mangrove. Hasil pengamatan pada citra Landsat RGB 453 di Pulau Pasighe dijumpai seluruh pulau berwarna merah bata yang kurang nyata, bertekstur halus yang mirip dengan padang rumput (Gambar 31 a dan c). Dari citra QuickBird Pulau Pasighe, mangrove dapat diidentifikasi dengan baik dengan pola vegetasi bergerombol. Nilai NDVI mangrove di Pulau Pasighe (+ 2 Km2) berkisar antara – 0,451 sampai +0,512. Hasil cek lapangan diketahui bahwa, di Pulau Pasighe didominasi oleh mangrove dan hanya sedikit area yaitu di tengah pulau yang
116
ditumbuhi oleh non-mangrove. Berdasarkan nilai NDVI tersebut Pulau Pasighe dibagi menjadi 3 kelas kerapatan mangrove yaitu rendah, sedang, dan tinggi, 2 kelas perairan, dan 1 kelas non-mangrove (Gambar 35). Kelas non-mangrove dengan NDVI di atas 0,4 adalah berupa hutan sangat lebat.
Warna
Nilai NDVI
Luas(ha)
Kerapatan
Ndvi <= 0
4,14
perairan
0< ndvi<=0,1
2,61
perairan
0,1
rendah
0,2
sedang
ndvi>0,3
tinggi
30,69
Gambar 33 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Lengkang.
Warna Nilai NDVI 0< ndvi<=0,1 0,10,5
Luas (ha) 0 31,95 145,44 249,39 386,91 162,27
Kerapatan: perairan sangat jarang jarang sedang lebat sangat lebat
Gambar 34 Klasifikasi NDVI di Pulau Ruang.
Warna
Nilai NDVI Ndvi <= 0 0< ndvi<=0,1 0,10,4
Luas (ha) 9,36 6,30 8,91 27,99 112,05 34,56
Kerapatan: perairan perairan rendah sedang tinggi nonmangrove
Gambar 35 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Pasighe.
117
Tabel 27 Nilai NDVI menurut tipe pulau Nama pulau Lengkang Pasighe Ruang
Tipe pulau
Nilai NDVI
tektonik berbukit - 0,349 sampai 0,376 vulkanik datar terdenudasi - 0,451 sampai 0,512 vulkanik berbukit dengan gunungapi aktif - 0,135 sampai 0,602
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2
Klasifikasi tingkat kerapatan vegetasi di Pulau Ruang berbeda dengan Pulau Pasighe dipengaruhi oleh karakteristik biogeofisik pulau kecilnya. Sementara itu, analisis NDVI dari data Landsat dan QuickBird di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe menunjukkan kisaran nilai dengan pola yang sama. Hasil perhitungan NDVI menunjukkan bahwa mangrove memiliki kisaran nilai lebih sempit dibandingkan vegetasi secara umum, yaitu antara -0,349 sampai 0,376 untuk Pulau Lengkang, -0,451 sampai 0,512 untuk Pulau Pasighe, dan - 0,135 sampai 0,602 untuk Pulau Ruang (Tabel 27). Sebagai perbandingan, nilai NDVI dari data NOAA untuk hutan adalah 0,7. Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu mangrove tidak dijumpai. Di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang mewakili tipe pulau terumbu, tidak dijumpai mangrove dan lamun. Pulau ini mempunyai dataran yang terlindung dari aktivitas gelombang besar berupa tombolo di Pulau Pomanabesar dan cuspate foreland di Pulau Pomana-kecil bagian Barat. Namun, di lokasi tersebut tidak dijumpai mangrove dan lamun. Dari model pulau-pulau kecil tipe terumbu diketahui bahwa suplai air tawar tidak terjadi sehingga tidak sesuai untuk petumbuhan mangrove dan lamun. Hasil pengamatan diketahui bahwa hubungan antara bentuklahan dengan tipe pulau atau morfogenesis pulau menunjukkan bahwa pulau kecil tipe terumbu tidak sesuai untuk mangrove dan lamun tapi sangat sesuai untuk terumbu karang. Faktor salinitas, substrat, dan arus di sekeliling pulau kecil tipe terumbu ini diperkirakan tidak memenuhi syarat untuk pertumbuhan mangrove dan lamun. Salinitas tidak dapat terpenuhi karena tidak ada suplai air tawar. Faktor substrat tidak dapat terpenuhi karena pantainya berhadapan dengan laut lepas, sehingga kurang memungkinkan terbentuknya pengendapan sedimen. Sementara itu, faktor arus tidak sesuai untuk mangrove dan lamun karena pantainya berhadapan dengan laut lepas atau tidak ada pantai dengan posisi terlindung.
118
4.3.2 Terumbu karang Pada model pulau-pulau kecil ketiga tipe, unsur interpretasi warna yaitu biru terang dan unsur lokasi yaitu di perairan laut dangkal lebih mudah digunakan untuk identifikasi awal terumbu karang. Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal dan pada citra Landsat RGB 421 tampak berwarna biru terang. Namun, warna biru terang adalah kondisi umum perairan laut dangkal non-mangrove (Gambar 14 g, 24 f, dan 29 e). Pada perairan laut dangkal di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik, identifikasi terumbu karang secara visual dapat dibandingkan antara citra RGB 421 dengan RGB 542 (Gambar 14). Jika pada citra RGB 542 obyek tetap tampak maka obyek ini bukanlah terumbu karang. Obyek berwarna biru terang di pulau tektonik ini adalah batuan dasar peneplain yang tenggelam dan belum tentu tumbuh terumbu karang. Hasil cek lapangan diketahui bahwa warna biru terang, pada area terumbu karang ini, ternyata merupakan pasir, batuan dasar, batu lempung, konglomerat, kekeruhan atau terumbu karang (Gambar 11 f dan g). Artinya bahwa identifikasi terumbu karang secara langsung dari unsur-unsur interpretasi masih mengalami kesulitan. Tipe pulau dan informasi karakteristik biogeofisik di pulau-pulau kecil tipe tektonik berperan dalam analisis terumbu karang. Pulau-pulau kecil di Kota Batam dengan tipe tektonik mempunyai substrat dasar yang secara geologis tersusun atas batuan bekudalam (igneous rock) dan batuan sedimen (sedimentary rocks), sehingga bentuklahan terumbu paparan berkembang di daerah ini. Misalnya, perairan laut dangkal di Pulau Lengkang merupakan paparan yang tersusun oleh batuan bekudalam dan sedimen. Jenis substrat dasar ini terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini bermanfaat untuk reklasifikasi hasil analisis digital menggunakan algoritma Lyzengga. Pada model pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu, terumbu karang diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB 421 dari data citra Landsat dan QuickBird dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Di Pulau Pasighe (Gambar 24 f) dengan bentuk yang unik memperlihatkan detail perairan laut dangkal yang mengelilinginya. Gambar 24 f ini secara visual menjelaskan, warna biru cerah adalah pecahan koral atau karang mati, warna biru kehijauan adalah karang hidup, warna coklat gelap adalah lamun, dan warna biru adalah lagun. Untuk obyek terumbu karang Gambar 22 a lebih jelas dibandingkan Gambar 23 a. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara citra RGB
119
542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi spasial dalam menampilkan terumbu karang. Pada kasus ini, terumbu karang lebih sesuai ditampilkan dengan kanal 1 dan 2 seperti pada citra komposit RGB 421 Gambar 22 c. Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau kecil tipe vulkanik di daerah Sikka dan Sitaro diketahui kondisinya berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik di pulau kecil. Semakin tinggi aktivitas vulkanik semakin terkendala pertumbuhan karang. Secara berturut-turut contoh tingkat aktivitas vulkanik, dari paling aktif hingga tidak aktif dan terakhir membentuk atol adalah Pulau Palue dan Pulau Ruang, Gugus-pulau Besar, Pulau Pasighe, dan Pulau Gunung-sari. Pulau Babi berbentuk kubah lava terdenudasi hasil intrusi, sedangkan Pulau Gunung-sari terbentuk oleh tenggelamnya pulau vulkanik atau disebut atol. Model Pulau Besar yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan lava dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu penghalang, sedangkan model Pulau Palue yang terdapat gunungapi aktif dijumpai terumbu pinggiran. Terumbu penghalang terbentuk pada tahap lanjut dari pertumbuhan terumbu pinggiran. Model Pulau Pasighe yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu karang berkembang jauh lebih bagus (Gambar 24 f), sedangkan model Pulau Ruang yang terdapat gunungapi aktif dijumpai karang yang masih dalam tahap awal pertumbuhannya pada substrat dasar batuan vulkanik muda. Aktivitas vulkanik ini juga mempengaruhi kondisi perairan (hidrologi) yang menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan karang. Contoh pertumbuhan terumbu karang tahap awal pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d. Analisis terumbu karang berikut ini untuk Pulau Babi, Gugus-pulau Besar, Gosong-goni, dan Pulau Ruang menunjukkan spesifikasi karakteristik biogeofisik terumbu terkait dengan karakteristik biogeofisik pulaunya. Terumbu karang di Pulau Babi terbentuk secara terpisah sejauh 75 meter dari tepi pantai akibat sedimentasi dan secara horizontal lebar terumbu karang berkembang tidak seragam. Perkembangan terlebar, dari arah tepi pulau menuju laut lepas adalah 800 meter, dan bagian tersempit adalah 40 meter. Pada bagian Tenggara dan Barat-Laut, terumbu karang kurang berkembang, dan hanya
120
memiliki lebar berkisar 40-50 meter. Pada jarak 130 meter dari muara, terbentuk terumbu dengan lebar berkisar 68 meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa terumbu karang dapat berkembang dengan lebih baik pada bagian Barat, Utara, dan Timur Pulau Babi. Hal ini disebabkan karena pada bagian-bagian tersebut menghadap ke laut (sea ward), sehingga percikan ombak serta arus pasang naik dan hangat akan membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang. Terumbu karang pada Gugus-pulau Besar berkembang pada substrat yang berasal dari material vulkanis tua. Perkembangan terumbu karang tidak merata, mengikuti topografi dasar laut yang tidak teratur dan dipengaruhi oleh sedimentasi dari pulau kecil. Terumbu karang pada Pulau Parumaan berkembang terpisah berkisar 45-120 meter dari tepi pulau. Terumbu karang pada Pulau Kondo berkembang mengelilingi tepi pulau. Sementara itu, terumbu penghalang dijumpai di bagian barat Pulau Besar, hal ini wajar karena merupakan bagian gugus-pulau yang menghadap ke laut lepas (Gambar 44 a). Terumbu karang pada Gosong-goni (Gambar 41 b) tampak dari citra berbentuk melingkar yang berkembang dengan topografi menyerupai cekungan seperti karung yang terbuka. Bagian terumbu karang yang terdalam mencapai 30 m di bawah permukaan air laut. Bentuk topografi demikian, dapat disebabkan oleh bentuk substrat dasarnya yang menyerupai cekungan. Bentuklahan terumbu ini disebut atol yang sedang tumbuh (belum muncul ke permukaan). Di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di batuan vulkanik di luar area breaker zone dan masih sangat sedikit (Gambar 36). Di dalam wilayah breaker zone tidak tumbuh terumbu karang, tapi di luar zona itu bisa tumbuh terumbu karang. Hasil aplikasi algoritma Lyzengga menunjukkan warna kuning dan merah adalah perairan laut dangkal dan terdapat endapan piroklastik berupa batu dan pasir. Di sini terumbu karang tidak terdeteksi karena memang masih sangat sedikit. Pola pertumbuhan terumbu karang pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d. Di Pulau Ruang breaker zone tampak dengan jelas dari citra (Gambar 36 a) tapi di Pulau Pasighe kurang jelas. Di Pulau Pasighe terumbu karang tumbuh di dalam breaker zone yang merupakan perairan laut dangkal, sebaliknya di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di luar breaker zone. Pulau Pasighe memiliki area perairan laut dangkal yang berbentuk oval dengan material vulkanik. Di Pulau Lengkang tidak tampak breaker zone. Kasus ini menunjukkan
121
hubungan antara batimetri substrat dasar dengan nilai digital dan pentingnya informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang pada analisis digital.
a) QuickBird RGB 421
b) Landsat RGB 421 autoclip sharpen 2
c) aplikasi algoritma Lyzengga
Gambar 36 Breaker zone di Pulau Ruang, warna putih di pesisir.
Pasir Lamun Karang mati Karang hidup Laut dangkal Laut dalam
P. Airmanis
P. Lengkang
a) Landsat RGB 421, P. Lengkang
b) hasil algoritma Lyzengga B
P. Abang besar P. Pasir-buluh P. Abang kecil
c) Landsat RGB 421, Puau Abang-besar
A
d) Terumbu karang di Pulau Abang
Gambar 37 Klasifikasi terumbu karang dan lamun di pulau kecil tipe tektonik.
122
Hasil pengamatan pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik tersebut, diperoleh perbedaan pola pertumbuhan terumbu karang secara berturut-turut dari pantai ke arah laut yaitu: a) Pulau Babi adalah pasir kemudian terumbu karang; b) Pulau Pasighe adalah lamun, terumbu karang kemudian pasir; c) Pulau Ruang adalah batu berpasir kemudian terumbu karang. Perbedaan urutan ini terjadi terkait dengan proses terbentuknya pulau kecil. Hasil pengolahan digital menggunakan algoritma Lyzengga pada model pulau kecil tipe tektonik di Pulau Lengkang dan sekitarnya menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Di sisi lain, algoritma Lyzengga juga menterjemahkan sama antara terumbu karang dan pantai berpasir. Nilai ki/kj pada model Pulau Lengkang ini adalah 0,77835. Selain itu, tumpang tindih obyek dalam satu kelas juga dijumpai di model pulau-pulau kecil tipe tektonik lainnya. Analisis digital terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga mengelompokkan obyek-obyek yang dibedakan dalam warna. Berdasarkan perbedaan warna ini obyek-obyek di perairan laut dangkal atau di bawah permukaan air dikelompokkan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan tiap kelompok obyek menjadi bagian yang penting dan menjadi fokus perhatian penelitian ini karena berisiko timbul kekeliruan. Hasil aplikasi algoritma tersebut menunjukkan bahwa identifikasi terumbu karang dan lamun belum sesuai, meskipun telah menggunakan koefisien ki/kj yang dimaksudkan untuk mewakili keragaman daerah kajian. Pada kondisi lapangan memang obyek berwarna biru terang di daerah kajian merupakan batuan dasar peneplain. Kasus ini identik dengan kasus identifikasi mangrove dimana identifikasi obyek memerlukan pengetahuan tentang obyeknya. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya akurasi klasifikasi terumbu karang secara digital. Upaya reklasifikasi hanya dapat membedakan antara perairan laut dangkal dan pasir. Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik diketahui bahwa, aplikasi algoritma Lyzengga dapat membedakan dengan baik sampai batas perbedaan antara daratan dan perairan laut dangkal. Namun, algoritma ini belumlah memuaskan untuk digunakan pada klasifikasi terumbu karang dan lamun. Berdasarkan temuan tersebut di atas, dilakukan pengujian di
123
Pulau Abang yang memiliki data tentang kondisi terumbu karang. Hasil perhitungan ki/kj Pulau Abang dengan 30 area sampling adalah a = varb1-varB2/(2xcovarB1B2) = -0,29593 ki/kj = a+((a^2)+1)^0.5 = 0,741704 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh klasifikasi terumbu karang seperti ditunjukkan pada Gambar 37 d. Menurut hasil survei CRITC (2005) di Pulau Abang menunjukkan bahwa di lokasi A ditemukan 0% karang hidup; 87,5% pasir dan 12,5% pecahan karang, sedangkan di lokasi B ditemukan: 29,70% karang hidup; 19,80 karang mati; 9,9% pasir; dan 29,7% rumput laut (seaweed). Di lokasi A, hasil klasifikasi mendekati hasil survei, sebaliknya di lokasi B, hasil klasifikasi jauh dari hasil survei. Tingkat akurasi pada kasus ini menunjukkan bahwa faktor morfologi, yaitu keterjalan pantai, mempengaruhi akurasi klasifikasi secara digital. Pada pantai terjal di lokasi B, karang hidup 29,70%, oleh algoritma Lyzengga tidak dapat dikenali. Sebaliknya, pada pantai landai di lokasi A, pasir teridentifikasi sebagai karang hidup oleh algoritma Lyzengga. Hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Babi dibedakan menjadi 6 kelas yaitu karang mati, karang rusak, pasir, karang hidup, lamun, dan laut/lagun. Hasil reklasifikasinya menjadi karang hidup, karang mati, dan pasir (Gambar 38). Sementara itu hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Pasighe menjadi 6 kelas yaitu lamun, daratan pulau, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati/rubble. Hasil reklasifikasinya menjadi lamun, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati (Gambar 39). Reklasifikasi dilakukan berdasarkan informasi bentuklahan terumbu dan karakteristik biogeofisik perairan laut dangkal. Hasil analisis digital terumbu karang di pulau kecil tipe terumbu menggunakan data Landsat, di Pulau Pomana-besar ditunjukkan pada Gambar 40. Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga pada Gambar 40 a, kemudian dilakukan reklasifikasi dengan masukan hasil analisis karakteristik biogeofisik terumbu karang, dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 40 b. Analisis terumbu karang secara digital ini termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang adalah hasil analisis secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologi. Hasil reklasifikasi dapat membedakan antara terumbu karang (warna biru muda dan kuning) dan pasir (warna merah).
124
a) hasil algoritma Lyzengga Landsat
b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird : karang mati : karang rusak : pasir : karang hidup : lamun : Laut/lagun c) Hasil reklasifikasi Landsat
Gambar 38 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi.
a) hasil algoritma Lyzengga Landsat
b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird
c) Hasil reklasifikasi Landsat
Gambar 39 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pasighe.
125
Perbedaan data Landsat dan QuickBird untuk klasifikasi terumbu karang dengan algoritma Lyzengga adalah pada kedetailan hasil yang disebabkan oleh perbedaan resolusi spasial yaitu antara 15 m dan 2,5 m. Kesamaannya adalah dalam memanfaatkan kanal 1 dan kanal 2 yang keduanya memiliki kisaran panjang gelombang sama. Hasil klasifikasi terumbu karang dari data QuickBird ini dimanfaatkan untuk verifikasi dan validasi hasil klasifikasi dari data Landsat.
a) hasil algoritma Lyzengga citra Landsat
b) hasil algoritma Lyzengga citra QuickBird Karang hidup Laut
Pasir
Pulau Pomana-besar Karang mati
c) hasil reklasifikasi citra Landsat
Gambar 40 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pomana-besar.
126
Berdasarkan hasil analisis digital dari algoritma Lyzengga diperoleh pengelompokan nilai digital yang dibedakan dalam warna. Setiap warna diidentifikasi dan dibedakan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan obyek untuk tiap kelas pada saat reklasifikasi menjadi bagian yang penting dan fungsi informasi karakteristik biogeofisik menjadi panduan. Pada kasus terumbu karang di Pulau Pomana menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek yang berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Kondisi ini tidak dapat diselesaikan sepenuhnya pada saat reklasifikasi terumbu karang secara digital. Misalnya terumbu karang (warna merah) di bagian Tenggara Pulau Pomana-besar masuk ke kelas pasir. Berdasarkan
kasus-kasus
tersebut
di
atas,
diperlukan
informasi
karakteristik biogeofisik substrat dasar tempat tumbuh terumbu karang. Dari informasi ini secara tidak langsung juga dapat diperkirakan kedalaman perairannya. Pulau kecil memiliki perairan laut dangkal di sekelilingnya. Oleh karena terumbu karang tumbuh dengan baik pada kedalaman maksimum 30 m, maka area ini perlu dikenali dulu. Uraian di atas menjelaskan fenomena ekosistem terumbu karang dan tahapan untuk menggabungkan antara klasifikasi ekologis dan geomorfologis secara hierarkhis.
4.3.3 Lamun Secara visual, identifikasi lamun sulit dibedakan dengan kekeruhan karena lamun hidup di bawah permukaan air pada substrat pasir berlumpur. Lamun dan mangrove mempunyai syarat tumbuh yang terkait erat, sehingga untuk meyakinkan dalam interpretasi lamun dapat dibantu oleh keberadaan mangrove. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam mengenali lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 14 g). Hasil pengamatan di Pulau Air-manis dijumpai lamun jenis Enhalus yang tumbuh di dekat mangrove dan berada pada perairan yang terlindung (Gambar 11 h). Ekosistem lamun di pulau-pulau kecil di perairan kepulauan Kota Batam memiliki kondisi kerapatan yang beragam. Lamun dapat diidentifikasi secara langsung menggunakan teknik fusi multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 421 dari citra Landsat dan QuickBird. Lamun diidentifikasi berdasarkan unsur interpretasi posisi dan warna. Area lamun yang luas dijumpai di Pulau Pasighe,
127
dan pada citra RGB 321, lamun berwarna kecoklatan dengan posisinya di daerah yang terlindung (Gambar 24 a, b, dan c). Komposit true color RGB 321 citra Landsat dan QuickBird menampilkan lamun dengan tajam, tapi komposit lain dengan kanal 1 dan 2 dapat juga digunakan seperti komposit RGB 421, 521, atau 721. Penajaman dan pemfilteran untuk lamun sama dengan untuk terumbu karang yaitu autoclip highpass sharpen 2. Sementara itu, fusi multispasial terjadi pengkaburan pada penambahan kanal pankromatik. Ekosistem lamun di Pulau Pasighe memiliki jenis dan kerapatan yang beragam. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam identifikasi lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 24 f). Lamun di Pulau Pasighe dijumpai berkembang dengan sangat baik dengan posisi di sekitar mangrove. Persebaran lamun jenis Enhalus (Gambar 15 e) di Pulau Pasighe berada di dekat mangrove dan kemudian dijumpai jenis Thalasia (Gambar 15 f) secara berurutan. Sementara itu, lamun tidak dijumpai di pulau-pulau tipe vulkanik di daerah Sikka. Hal ini diperkirakan karena pantai-pantainya berhadapan langsung dengan laut lepas, jikapun ada pantai yang terlindung substrat dasarnya berupa batu. Lamun biasanya tumbuh pada perairan laut dangkal berlumpur sehingga dimungkinkan memiliki nilai digital yang sama dengan kekeruhan. Kekeliruan klasifikasi antara lamun dan kekeruhan pada klasifikasi digital dapat diperbaiki pada tahap reklasifikasi yaitu dengan memanfaatkan hasil analisis visual. Permasalahan dan pemecahannya untuk obyek ini sama seperti yang diuraikan pada klasifikasi terumbu karang. Tingkat akurasi klasifikasi lamun ditentukan pada saat proses reklasifikasi, yaitu menggunakan kelas-kelas yang dibentuk algoritma Lyzengga dan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik biogeofisik yang ada. Hasil pengamatan pada model pulau-pulau kecil di daerah penelitian diketahui bahwa untuk identifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan algoritma Lyzengga sebaiknya ditentukan batas daerah daratan pulau kecil secara visual. Berdasarkan uji coba model pulau, nilai digital batas antara darat dan perairan laut dangkal berbeda-beda bahkan pada satu pulau kecil sekalipun. Cara ini sangat berpengaruh pada akurasi klasifikasi terumbu karang dan lamun secara digital.
128
4.4 Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan 4.4.1 Pulau kecil Pulau kecil adalah salah satu ekosistem laut. Identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut di sekitar pulau kecil akan lebih terarah melalui identifikasi pulau kecilnya terlebih dahulu. Sedikitnya ada dua kendala pada identifikasi pulau-pulau kecil yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan liputan awan yang tinggi. Ukuran pulau yang sangat kecil diidentifikasi menggunakan citra resolusi menengah dan untuk identifikasi lebih detail menggunakan citra resolusi tinggi. Posisi pulau kecil adalah tidak pernah tergenang saat pasang tertinggi, atau berada di atas permukaan air laut. Posisi ini dapat diidentifikasi lebih baik dibandingkan obyek-obyek di bawah permukaan air laut, karena tidak terpengaruh oleh faktor atenuasi di air yang disebabkan oleh penyerapan dan hamburan energi matahari. Contoh pulau sangat kecil di daerah penelitian adalah Pulau Kondo yang termasuk tipe vulkanik ekstrusif berbukit dengan luas 0,491Ha (14 piksel) dan Pulau Gunung-sari yang termasuk tipe atol datar dengan luas 0,393 Ha (12 piksel). Keduanya dapat dikenali dari citra Landsat (Gambar 41).
Pulau Kondo P. Gunung-sari Pulau Parumaan
a) Pulau Kondo (0,491Ha), tipe vulkanik
b) Pulau Gunung-sari (0,393 Ha) di Gosong-goni, tipe atol
Gambar 41 Pulau sangat kecil, Pulau Kondo dan Pulau Gunung-sari.
129
Bentuk pulau kecil bervariasi dan pada analisis menggunakan citra satelit dapat menggunakan cara memperbesar (zoom in) dan memperkecil (zoom out) obyek. Memperbesar citra untuk analisis aspek morfologi dan memperkecil citra untuk analisis aspek morfoarrangement. Pada saat memperbesar atau memperkecil juga dapat dibangun variasi citra komposit sesuai dengan kondisi pulau kecil. Selain itu, hasil analisis pulau kecil dari citra satelit dapat bersifat melengkapi peta yang telah tersedia. Misal, Pulau Pomana (Gambar 29) dan Gosong-goni (Gambar 41 b) belum dipetakan pada Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1999 skala 1:25.000.
4.4.2 Kaitan pulau kecil dengan perikanan pantai Hasil perhitungan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan disajikan pada Tabel 28. Perhitungan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran, jadi untuk ikan sejenis yang berbeda ukuran dijumlahkan angkanya. Hasil pengumpulan data jenis dan jumlah ikan disajikan pada Lampiran 11. Kaitan antara pulau kecil dengan perikanan pantai dianalisis berdasarkan indeks tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 28) diketahui terdapat nilai yang kontras antara stasiun Pulau Palue Timur (PT) kedalaman 10 m dan stasiun Pulau Pomana-besar Selatan (PS) kedalaman 3 m. Di stasiun PT menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) tertinggi dan indeks dominansi (C) terendah. Nilai H’ = 2,758 berarti stabilitas komunitas biota dalam kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang. Nilai E = 0,954 artinya bahwa, keberadaan setiap jenis biota di perairan ini dalam kondisi seragam atau keseragaman antar spesies relatif tinggi atau jumlah individu masing-masing spesies relatif seragam. Nilai C = 0,067 berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lain atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. Sebaliknya, di stasiun PS pada kedalaman 3 m memiliki indeks keanekaragaman dan keseragaman terendah dan indeks dominansi tertinggi. Nilai H’ = 0,915 berarti stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak stabil atau kualitas air tercemar berat. Nilai E = 0,357 artinya bahwa keberadaan setiap jenis biota di perairan ini dalam kondisi tidak seragam. Nilai C = 0,660 berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lain, atau struktur komunitas labil karena terjadi tekanan ekologis (stres).
130
Tabel 28 Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan Stasiun pengambilan sampel Pulau Palue Timur (PT) Pulau Babi Selatan (BS) Pulau Babi Utara (BU) Pulau Pomana-besar Selatan (PS) Pulau Pomana-besar Barat (PB) Gunung-sari Dalam (GD) Gunung-sari Luar (GL)
10 m
Keaneka Keseragaman Dominansi ragaman (H’) (C) (E) 2,758 0,954 0,067
3m
2,267
0,784
0,168
10 m
2,017
0,764
0,211
3m
2,205
0,778
0,152
10 m
1,428
0,557
0,139
3m
0,915
0,357
0,660
10 m
1,827
0,735
0,238
3m
2,454
0,930
0,100
10 m
2,221
0,769
0,166
3m
1,922
0,678
0,197
10 m
2,220
0,708
0,131
3m
1,795
0,663
0,298
10 m
1,666
0,576
0,276
Sumber : Hasil analisis data perikanan dengan formula 5, 6, dan 7.
Indeks
Stasiun
Gambar 42 Grafik indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan.
131
Tabel 28 dan Gambar 42 di atas menjelaskan bahwa kondisi perikanan pantai di stasiun PT lebih baik dibandingkan dengan stasiun PS. Stasiun PT dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang berkembang pada batuan vulkanik. Pantai di stasiun PT, relatif rendah kemungkinan terjadinya longsoran piroklastik produk Gunung Rokatenda. Stasiun PS berhadapan dengan bentuklahan terumbu dinding tanduk yang berkembang di dekat bentuklahan tombolo. Pantai ini secara relatif sangat rentan terhadap sedimentasi yang berasal dari pasir di dataran bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai permukiman. Nilai indeks ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan perikanan pantai. Nilai indeks dominansi (C) antara BS dan BU hampir sama yang menunjukkan tidak terdapat spesies yang mendominansi dan struktur komunitas stabil, tetapi ada sedikit perbedaan nilai yaitu BS lebih tinggi daripada BU. Hal ini menunjukkan bahwa ekologis di stasiun BS lebih tertekan, dominansi ikan lebih tinggi, dan struktur komunitas lebih labil. Kasus di Pulau Babi atau stasiun BS dan BU tersebut menunjukkan perbedaan kondisi perikanan pantai pada pulau kecil yang sama yang disebabkan oleh karakteristik biogeofisik bentuklahan yang berlainan. Stasiun BS berada dekat dengan bentuklahan rawa payau dan rataan pasang surut dengan karakteristik biogeofisik memiliki tingkat kerentanan sedimentasi lebih tinggi, sedangkan stasiun BU berada dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang relatif luas dengan tingkat kerentanan sedimentasi lebih rendah. Di sini diketahui bahwa perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang rentan sedimentasi akan kurang baik kualitasnya dibandingkan dengan perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang kurang rentan sedimentasi. Artinya bahwa kondisi perikanan pantai ada korelasi dengan tingkat sedimentasi bentuklahan di pulau kecil. Kasus di Pulau Pomana-besar atau stasiun PS dan PB ini menunjukkan adanya perbedaan tekanan ekologis perikanan pantai akibat perbedaan tingkat kerentanan sedimentasi dari daratan pulau kecilnya. Stasiun PS berhadapan dengan bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai permukiman, sedangkan stasiun PB berhadapan dengan bentuklahan perbukitan plato yang digunakan sebagai perkebunan. Bentuklahan tombolo mempunyai potensi sedimentasi lebih tinggi dibandingkan dengan bentuklahan perbukitan plato. Perbukitan plato ini merupakan karst dengan proses pelarutan sehingga sedimentasinya sangat
132
rendah. Pengaruh perbedaan tingkat sedimentasi ini juga ditandai oleh perbedaan tahap pertumbuhan bentuklahan terumbu. Bentuklahan perbukitan plato dengan sedimentasi lebih rendah berhadapan dengan bentuklahan terumbu pelataran bergoba, sedangkan bentuklahan tombolo berhadapan dengan bentuklahan terumbu dinding. Terumbu pelataran bergoba merupakan tahap pertumbuhan bentuklahan lebih lanjut dari terumbu dinding. Kasus di Pulau Gunung-sari atau stasiun GD dan GL menunjukkan bahwa perbedaan kondisi perikanan pantai terkait dengan karakteristik biogeofisik antara bagian dalam dan bagian luar bentuklahan terumbu cincin atau atol. Kondisi perikanan pantai di stasiun GD (bagian dalam atol) lebih baik dibandingkan dengan stasiun GL (bagian luar atol), dan kedalaman 10 m lebih baik dibandingkan dengan kedalaman 3 m. Dengan kata lain, bagian dalam atol lebih terjaga dan semakin dalam kondisinya semakin baik. Hal ini ada korelasinya dengan kebiasaan nelayan setempat yang biasa mencari udang galah di bagian dalam atol pada kedalaman lebih dari 10 m. Perikanan pantai diketahui terdapat perbedaan kondisi menurut kedalaman perairan seperti ditunjukkan oleh indeks dominansi (C) di stasiun PS dimana nilai pada kedalaman 3 m lebih tinggi daripada 10 m. Artinya, pada kedalaman 3 m terjadi tekanan ekologis lebih tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi spesies ikan lebih tinggi. Stasiun PS ini berada di pulau kecil tipe terumbu berbukit tepatnya berhadapan dengan bentuklahan tombolo, yang berpotensi tinggi terjadi sedimentasi, dan terdapat bentuklahan terumbu dinding tanduk. Korelasi yang terjadi adalah pengaruh sedimentasi terhadap tekanan ekologis pada kedalaman 3 m lebih tinggi dibandingkan dengan 10 m. Di stasiun PB terjadi kondisi sebaliknya. Fenomena perikanan pantai menurut kedalaman lebih lanjut diketahui bahwa, di stasiun PS nilai H’ dan E pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m tapi terjadi sebaliknya pada stasiun PB. Di stasiun PS, pada kedalaman 3 m kondisi keseragaman dan kestabilan lebih rendah dibandingkan dengan 10 m tapi di stasiun PB terjadi kondisi sebaliknya. Di stasiun PS, menunjukkan bahwa perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan tombolo, semakin dalam kondisinya semakin baik, dan diduga dipengaruhi oleh sedimentasi. Sebaliknya, di stasiun PB perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan perbukitan plato, semakin dalam kondisinya semakin buruk.
133
Di stasiun BS dan BU diketahui bahwa nilai H’ dan E pada kedalaman 3 m lebih tinggi daripada 10 m, berarti kondisi ikan pada kedalaman 3 m lebih seragam dan kondisi air lebih baik dibandingkan dengan 10 m. Namun, nilai indeks dominansi (C) pada kedua kedalaman dan di kedua stasiun, termasuk kategori tidak terdapat spesies yang mendominasi. Di stasiun BS nilai indeks C pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m. Secara relatif dapat diartikan bahwa, pada kedalaman 3 m di stasiun BS kurang terjadi dominansi, sebaliknya di stasiun BU lebh terjadi dominansi. Di stasiun GD diketahui bahwa nilai indeks H’ dan E pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m, tapi terjadi sebaliknya pada stasiun GL. Berarti ikanikan di kedalaman 3 m kurang seragam dan kondisi air lebih tercemar dibandingkan 10 m, meskipun perbedaannya tidak begitu nyata. Nilai indeks C pada kedalaman 3 m di stasiun GD dan GL lebih tinggi dibandingkan dengan 10 m. Artinya, di pulau tipe tol ini pada kedalaman 3 m terjadi tekanan ekologis lebih tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi spesies ikan lebih tinggi. Dengan kata lain, kedua stasiun berada pada kategori bahwa tidak terdapat spesies yang mendominansi dan struktur komunitas stabil, tetapi pada kedalaman 10 m kondisinya relatif lebih baik. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya maka semakin baik pula kondisi ikan karang. Selain itu juga diketahui bahwa daratan pulau kecil yang terjaga dari pencemaran alami ataupun buatan maka kualitas ekosistem laut dan perikanannya lebih baik.
4.4.3
Pengelompokan
pulau
kecil
berbasis
geomorfologi
untuk
perencanaan perikanan Pengelompokan pulau kecil adalah penggabungan beberapa pulau kecil ke dalam
satu
kelompok
yang
kepadanya
dapat
diterapkan
satu
bentuk
pengelolaan. Cara ini dimaksudkan untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Pengelompokan pulau kecil bersifat spasial yang didasarkan pada karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya melalui pengolahan data penginderaan jauh. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan gugus-pulau kecil dianalisis menurut proses terbentuknya atau morfogenesis. Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi digunakan sebagai upaya yang terstruktur untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya. Di sisi lain,
134
kriteria ekologis, untuk identifikasi jenis ekosistem laut, dilakukan analisis dalam hubungannya dengan tipe pulau. Pengelompokan pulau kecil dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu aplikatif dan eksploratif. Secara aplikatif, dilakukan menurut jarak 12 mil dan dibedakan menjadi dua macam yaitu kelompok pulau kecil dan kelompok gugus-pulau kecil. Secara eksploratif, dilakukan menurut karakteristik biogeofisik dan dibedakan menjadi tiga macam yaitu kelompok gugus-pulau kecil, kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil. Secara skematik pengelompokan pulau-pulau kecil ditunjukkan pada Gambar 43. Pengelompokan pulau kecil dilakukan dengan langkah-langkah berikut: 1) identifikasi dan pemilahan antara pulau kecil dan gugus-pulau kecil, 2) pengelompokan pulau kecil atau gugus-pulau kecil dengan jarak 12 mil, 3) identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, gugus-pulau kecil, dan ekosistemnya, 4) pengelompokan gugus-pulau kecil, 5) pengelompokan pulau kecil dan gugus-pulau kecil yang berdekatan, 6) pengelompokan pulau kecil dan pulau kecil.
1) Pulau kecil I) Aplikatif
Pengelompokan menurut jarak 12 mil 2) Gugus-pulau kecil 3) Gugus-pulau kecil
II) Eksploratif
Pengelompokan menurut karakteristik biogeofisik
4) Pulau kecil dan gugus-pulau kecil 5) Pulau kecil dan pulau kecil
Gambar 43 Pengelompokan pulau kecil.
Pengelompokan pulau kecil secara aplikatif, dilakukan dengan mengukur jarak 12 mil. Pulau kecil atau gugus-pulau kecil yang berada jauh di antara pulaupulau kecil lain diukur jaraknya dan jika berjarak lebih dari 12 mil maka merupakan satu kelompok. Kemungkinannya dapat berupa kelompok pulau kecil atau kelompok gugus-pulau kecil. Contoh di daerah penelitian adalah Pulau
135
Palue dan Pulau Sukun di Kabupaten Sikka serta Pulau Makalehi di Kabupaten Sitaro (Gambar 1a). Ketiganya termasuk kategori pengelompokan kesatu yaitu kelompok pulau kecil. Jika pulau kecil yang terpisah membentuk gugus-pulau maka feomena ini termasuk kategori pengelompokan kedua yaitu kelompok gugus-pulau kecil Pulau Palue berjarak 11 mil dengan Pulau (besar) Flores dan berjarak 31 mil dengan Pulau Sukun, sedangkan Pulau Makalehi berjarak 13,5 mil dengan Pulau Siau. Kasus ini menjadi pertimbangan ketentuan jarak sejauh +12 mil sebagai cara aplikatif untuk mengelompokkan pulau-pulau kecil. Pulau Palue, Pulau Sukun, dan Pulau Makalehi adalah pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit. Jarak pulau-pulau kecil yang berjauhan berpotensi dijumpai pada pulau kecil tipe vulkanik, tipe atol, dan tipe terumbu yang proses terbentuknya berada di daerah samudra dan terkait dengan aktivitas magmatik.
P. Bakau P. Sekila
P. Moimoi
Landsat RGB 543 a) Gugus-pulau Besar
Landsat RGB 421 P. Awi b) Pulau Moimoi
P. Buhias
Landsat RGB 421
P. Pahepa
Landsat RGB 421
P. Ranuh
P. Behang
P. Masere P. Laweang
P. Biora c) Pulau Pahepa
P. Hantu
P. Abang-kecil d) Pulau Ranuh
Gambar 44 Gugus-pulau kecil dan pulau kecil.
136
Pengelompokan pulau kecil secara eksploratif, dilakukan dengan cara mengeksplorasi atau mengidentifikasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut dilakukan pengelompokan yang dibedakan menjadi tiga macam yaitu kelompok guguspulau kecil, kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil. Kelompok gugus-pulau kecil atau pengelompokan ketiga. Keterkaitan dan interaksi pulau-pulau kecil yang termasuk kategori gugus-pulau dikaji dari kondisi perairan laut dangkalnya. Contoh di daerah penelitian, Gambar 1 b, menunjukkan pulau-pulau kecil tipe tektonik yang tergabung dalam satu paparan yang dapat dikategorikan sebagai suatu gugus-pulau. Gambar 44 a menunjukkan warna biru terang adalah bentuklahan perbukitan sisa vulkanik yang tergenang oleh air laut dan membentuk bentuklahan terumbu yang menjadi penghubung antara Pulau Besar, Pulau Kondo, Pulau Parumaan, Pulau Dambila, dan Pulau Pangabatang. Kumpulan pulau-pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit dan datar ini membentuk gugus-pulau kecil. Di sini pertumbuhan terumbu karang semakin merekatkan pulau-pulau kecil tersebut. Gambar 29 g menunjukkan bentuklahan terumbu telah menjadi penghubung antara Pulau Pomana-besar dengan Pulau Pomana-kecil, sehingga kedua pulau kecil tipe terumbu ini juga dapat dikategorikan sebagai gugus-pulau kecil. Uraian
tersebut
menjelaskan
bahwa
kelompok
gugus-pulau
kecil
merupakan cara pengelompokan pulau kecil yang mengikuti fenomena proses alami. Cara pengelompokannya dapat memanfaatkan data penginderaan jauh seperti diuraikan di atas. Contoh tersebut juga menguraikan fenomena terbentuknya gugus-pulau kecil yang terbentuk pada satu tipe pulau kecil. Tidak tertutup kemungkinan, gugus-pulau kecil terbentuk oleh pulau-pulau kecil yang berlainan tipenya. Metode identifikasinya sama seperti halnya pada satu tipe pulau kecil yaitu melalui kondisi perairan laut dangkal yang berupa paparan, peneplain, atau bentuklahan terumbu. Jika gugus-pulau kecil terbentuk pada tipe pulau kecil yang berlainan maka pengelolaannya perlu mempertimbangkan adanya karakteristik biogeofisik yang berlainan. Kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil atau pengelompokan keempat. Contoh di daerah penelitian, Gambar 44 d, Gugus-pulau Hantu dan Pulau Ranuh yang keduanya merupakan pulau kecil tipe tektonik lipatan berbukit. Berdasarkan karakteristik biogeofisik memungkinkan untuk dijadikan satu kelompok. Pada
137
Gambar 44 c, dijumpai Pulau Buhias, Pulau Pahepa, Pulau Behang, dan Pulau Masere telah membentuk gugus-pulau kecil yang disatukan oleh bentuklahan terumbu. Sementara itu, Pulau Laweang dan Pulau Biora merupakan pulau-pulau kecil yang terpisah dengan jarak berdekatan. Gugus-pulau kecil dan kedua pulau kecil ini merupakan pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit terdenudasi. Oleh karena karakteristik biogeofisik gugus-pulau kecil dan pulau-pulau kecil ini sama maka dapat dijadikan satu kelompok. Kelompok pulau kecil dan pulau kecil atau pengelompokan kelima. Pada Contoh di daerah penelitian, Gambar 44 b, dijumpai pulau-pulau kecil yang berdekatan dan semuanya merupakan pulau kecil tipe tektonik berbukit dengan kondisi ekosistem laut serupa. Pulau-pulau kecil ini dapat dijadikan dalam satu kelompok karena memiliki karakteristik biogeofisik sama. Sebaliknya, pada Gambar 8 dijumpai Pulau Ruang, Pulau Tagulandang, dan Pulau Pasighe dengan jarak berdekatan. Ketiga pulau kecil ini berada pada satu area perairan laut dangkal (Gambar 20). Ketiganya merupakan pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit dan datar mulai dari sangat aktif hingga tidak aktif. Meskipun ketiga pulau kecil tersebut berdekatan, tetapi berdasarkan karakteristik biogeofisik tidak dapat dijadikan dalam satu bentuk pengelolaan. Produk letusan Gunungapi Ruang yang aktif di Pulau Ruang menyebabkan pertumbuhan terumbu karang perairan sekelilingnya ketiga pulau tersebut terkendala. Pulau Tagulandang di sebelahnya mempunyai terumbu pinggiran yang berkembang baik. Sementara itu, Pulau Pasighe mempunyai hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang jauh lebih baik. Fenomena ini adalah contoh pulau-pulau kecil satu tipe yang berdekatan tetapi tidak sesuai dijadikan satu kelompok. Jika pulau-pulau kecil dengan jarak berdekatan mempunyai karakteristik biogeofisik sangat berlainan perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya. Pengelompokan aplikatif dan eksploratif seperti diuraikan di atas, selanjutnya dibuatkan batas yang menjadi zonasi (ruang) wilayah kerja pengelolaan yaitu menggunakan jarak, misalnya dengan cara membagi dua. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengelompokan pulau kecil lebih mudah dimulai secara aplikatif kemudian secara eksploratif. Jika (if) pada jarak 12 mil terdapat pulau-pulau kecil belum terpisahkan, maka (then) ditempuh cara eksploratif. Penarikan jarak ditentukan menurut kedalaman perairan laut dangkal yaitu pada batas surut terendah atau batas pecah gelombang (breaker
138
line). Perairan laut dangkal di pulau kecil tipe tektonik berupa paparan, di pulau kecil tipe vulkanik berupa endapan material hasil letusan, dan di pulau kecil tipe terumbu berupa bentuklahan terumbu. Jarak ditarik mulai dari sisi paparan atau terumbu terluar. Dari citra Landsat RGB 421 atau RGB 543 perairan laut dangkal berwarna biru terang. Pada pulau dengan topografi pantai terjal daerah pecahan gelombang (breaker zone) dapat dikenali seperti pada Gambar 36. Cara pengelompokan ini mengandung risiko adanya suatu kelompok pulau berada di bawah dua daerah kewenangan secara administratif.
139
5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Penutup lahan yang homogen dan pulau yang kecil sesuai dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 45.
Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 234 atau 345 (komposit RGB 432 atau 543) Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 Fusi multispasial Tidak Pulau kecil tipe non-tektonik
Bentuk beragam? Ya Pulau kecil tipe tektonik Identifikasi karakteristik biogeofisik
Gambar 45 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe tektonik.
Pulau kecil tipe vulkanik ditandai terutama oleh bentuklahan vulkanik seperti kawah. Unsur interpretasi yang sangat membantu adalah bentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar, lokasi di samudra pada suatu kelurusan, dan pola torehan radial. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya bervariasi terkait dengan tingkat aktivitas vulkanisme. Morfologi pulau kecil vulkanik adalah bergunung, berbukit, dan datar. Secara umum, tekstur torehan kasar adalah dari materi piroklastik, sedangkan torehan halus adalah dari materi lava. Materi letusan dan tingkat torehan berpengaruh pada penutup lahan. Variasi tersebut membuat karakter spektralnya beragam yang berpengaruh pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah kombinasi 245. Penutup lahannya lebih bervariasi dibandingkan pulau tektonik sehingga penajaman yang sesuai yaitu autoclip, levelslice, equalizer serta lowpass 3x3 dan diagonal dan highpass sharpen 2. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk pulau kecil tipe vulkanik ditunjukkan pada Gambar 46.
Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 245 (komposit RGB 542) Penajaman: Autoclip, levelslice, equalizer; lowpass average 3x3 dan diagonal; highpass sharpen 2, & Fusi multispasial Tidak Bentuk melingkar di samudra?
Pulau kecil tipe non-vulkanik
Ya Pulau kecil tipe vulkanik Identifikasi karakteristik biogeofisik
Gambar 46 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe vulkanik.
141
Pulau kecil tipe terumbu ditandai terutama oleh batu gamping terumbu. Proses tektonik pengangkatan pada batu gamping terumbu membentuk pulaupulau kecil berupa perbukitan memanjang. Identifikasi awal pulau kecil tipe terumbu dapat dibantu dari warna cerah sebagai cerminan vegetasi yang jarang dan bentuk beragam sebagai cerminan dari pengangkatan. Perbukitan di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil relatif gersang. Sementara itu, ekosistem terumbu karang berkembang sangat baik, tetapi mangrove dan lamun sulit tumbuh. Area terumbu karang di Pulau Pomana-besar adalah 36,94%, sedangkan di Pulau Pomana-kecil adalah 69,42%. Penutup lahannya homogen dan ukuran pulaunya relatif kecil. Kondisi tersebut berpengaruh pada karakter spektralnya dan hasil fusi multispektral terseleksi adalah 247 dan 235. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau. Penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk menampilkan pulau kecil tipe terumbu ditunjukkan pada Gambar 47.
Landsat (citra sejenis) Fusi multispektral: 257 atau 235 (komposit RGB 752 atau 532) Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 & Fusi multispasial
Tidak Bentuk beragam, warna cerah
Pulau kecil tipe non-terumbu
Ya Pulau kecil tipe terumbu
Identifikasi karakteristik biogeofisik
Gambar 47 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe terumbu.
142
Tabel 29 Pengolahan citra menurut tipe pulau dan ekosistem laut Tipe pulau & ekosistem laut Tektonik
Fusi multispektral 234 dan 345
Penajaman spektral Autoclip
Penajaman spasial (filtering) Highpass sharpen 2
Fusi multispasial 4328 dan 5438
Vulkanik
245
Autoclip, Levelslice, equalizer
Terumbu
257 dan 235
Autoclip
Lowpass: average 3x3 dan diagonal serta highpass sharpen 2 Highpass sharpen 2
5428
7528 dan 5328
Mangrove
453
Autoclip
Highpass sharpen 2
4538
Terumbu karang Lamun
421
Autoclip
Highpass sharpen 2
-
421
Autoclip
Highpass sharpen 2
-
Teknik pengolahan data berupa fusi multispektral, penajaman spektral, penajaman spasial, dan fusi multispasial untuk pulau kecil dan ekosistemnya disajikan pada Tabel 29. Teknik ini bermanfaat untuk tujuan analisis visual, seperti analisis karakteristik biogeofisik dengan pendekatan geomorfologi. Berdasarkan hasil tampilan citra komposit terseleksi diketahui bahwa citra Landsat lebih jelas dan tajam atau mempunyai kemampuan relatif tinggi dibandingkan dengan citra QuickBird. Peranan kanal 5 dan 7 dari citra Landsat berfungsi secara baik untuk tampilan morfologi pulau kecil. Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dalam menampilkan morfologi pulau kecil dibandingkan dengan resolusi spasial.
5.1.2 Ekosistem laut Mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh di atas permukaan air. Di daerah penelitian, mangrove dijumpai di pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik. Mangrove diidentifikasi dari warna yang spesifik dan lokasinya di pesisir. Fusi multispektral terseleksi dari citra Landsat adalah 345, dan citra komposit terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453. Dari citra komposit RGB 453 mangrove berwarna merah bata, sedangkan dari RGB 543 berwarna hijau. RGB 453 dipilih karena tampilan warna merah lebih tegas untuk membedakan dengan vegetasi lain. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam obyek mangrove karena permukaannya sebagian besar berada di atas permukaan air laut. Penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan
143
data untuk menampilkan mangrove ditunjukkan pada Gambar 48. Mangrove kemungkinan dapat dijumpai di pulau kecil tipe delta/aluvial, karena pulaunya tersusun oleh materi berlumpur atau berpasir hasil pengendapan proses fluvial. Terumbu karang dan lamun seluruh bagiannya berada di bawah permukaan air. Karakteristik ini berpengaruh pada pilihan kanal yang digunakan untuk membangun citra komposit. Terumbu karang diidentifikasi secara visual dan digital, sedangkan bentuklahan terumbu secara visual, tetapi sasaran obyeknya sama. Hasil perhitungan OIF tertinggi untuk terumbu karang dan lamun adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20) dan sesuai ditampilkan dengan citra RGB 421. Kanal 1 dan 2 memiliki pantulan tertinggi untuk obyek-obyek di air. Penajaman yang sesuai adalah autoclip, highpass sharpen 2. Fusi multispasial akan menggaburkan obyek-obyek di bawah permukaan air, artinya terumbu karang dan lamun memerlukan kanal dengan panjang gelombang lebih spesifik. Selain itu, gradasi perbedaan antar obyek-obyek terumbu karang dan lamun relatif lebih kecil dan pola obyek kurang tegas dibandingkan dengan obyek-obyek di daratan, misalnya permukiman. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk terumbu karang dan lamun ditunjukkan pada Gambar 49 dan 50.
Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 435 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2 & Fusi multispasial
Tidak
Warna merah bata, di pesisir?
non-mangrove
Ya Mangrove
Identifikasi karakteristik biogeofisik Gambar 48 Teknik pengolahan data ekosistem mangrove.
144
Perbedaan karakteristik biogeofisik tipe pulau kecil memberikan perbedaan ketajaman tampilan terumbu karang pada citra. Pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu lebih tajam dibandingkan dengan pulau kecil tipe tektonik karena struktur batuannya lebih miskin akan sedimen halus. Di daerah penelitian, terumbu karang dijumpai di ketiga tipe pulau kecil, sedangkan lamun dijumpai di pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik. Berdasarkan karakteristik fisik, terumbu karang kemungkinan dapat dijumpai di pulau-pulau kecil tipe stack, monadnock, hummock, dan atol karena pantainya berbatu dengan proses sedimentasi relatif rendah. Lamun diperkirakan dapat dijumpai di semua tipe pulau kecil jika ada bagian pulau yang terlindung dan terjadi proses fluvial atau marin yang membentuk substrat berlumpur. Aplikasi algoritma pada Gambar 45 sampai 50 bersifat umum dan merupakan tahap awal prosedur interpretasi, sehingga perlu memperhatikan karakteristik biogeofisik umum setiap tipe pulau kecil dan ekosistem laut seperti diuraiakan di atas. Anomali morfologi pulau kecil adalah salah satu contoh yang perlu dicermati.
Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 421 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2
Tidak
Warna biru terang/ kehijauan?
non-terumbu karang Ya
Terumbu karang
Identifikasi karakteristik biogeofisik
Gambar 49 Teknik pengolahan data ekosistem terumbu karang.
145
Landsat (citra sejenis) Komposit RGB 421 Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2
Daerah terlindung, warna kecoklatan
Tidak Bukan lamun
Ya Lamun
Identifikasi karakteristik biogeofisik
Gambar 50 Teknik pengolahan data ekosistem lamun.
5.2 Desain Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis (Tabel 26) bersifat mempertajam dari klasifikasi sebelumnya dan menarik benang merahnya melalui pendekatan geomorfologi. Beberapa nama tipe pulau kecil tetap digunakan dengan tambahan istilah proses geomorfik lebih spesifik, yaitu tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, dan vulkanik ekstrusif. Tipe pulau yang sebelumnya tidak tercantum pada tinjauan pustaka adalah stack, hummock, moraine, gambut, dan buatan. Pulau kecil tipe hummock terdapat di Indonesia, sedangkan tipe lainnya kemungkinan dijumpainya relatif rendah. Selain itu, istilah ”koral” seperti yang dikemukakan oleh Dahuri (1998) diubah menjadi ”terumbu” untuk lebih mencerminkan asal terbentuknya pulau kecil yaitu dari terumbu. Peranan informasi morfografi, yang dibagi menjadi datar dan berbukit, dapat memberikan gambaran kemungkinan jangkauan gelombang laut menuju daratan pulau kecil. Informasi ini berfungsi sebagai parameter untuk analisis potensi perkembangan ekosistem laut serta untuk analisis pemulihan ekosistem
146
yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, cara klasifikasi yang tidak mempertimbangkan morfografi atau topografi, misalnya berdasarkan lokasi, kurang menggambarkan potensi perkembangan ekosistem laut. Informasi morfografi pada pulau kecil memberi arti penting karena dapat menggambarkan karakteristik biogeofisik ekosistem laut yang terbentuk, misalnya, hubungan antara proses denudasi di daratan dengan proses marin. Informasi morfologi dapat diperoleh dari identifikasi berbagai sumber data yang telah tersedia, seperti citra penginderaan jauh dan peta Rupabumi. Contoh klasifikasi tipe pulau kecil sesuai Tabel 26, untuk Pulau Ruang adalah termasuk kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit, sedangkan Pulau Pasighe termasuk kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif datar. Perbedaan ekosistem laut yang terbentuk diuraikan pada sub-bab 4.1.2. Pulau-pulau kecil yang diketahui tipenya dapat memberikan informasi karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Informasi ini bermanfaat untuk menjaga kesehatan perairan laut dangkal yang menjadi daerah penangkapan ikan yang potensial. Pada penelitian ini, karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya digunakan untuk pengelompokan pulau kecil. Pulau-pulau kecil yang mempunyai tipe sama dapat dikelompokkan menjadi satu, dan secara lebih detail pengelompokannya lebih mempertimbangkan karakteristik biogeofisiknya.
5.3 Desain Identifikasi Ekosistem Laut 5.3.1 Pulau kecil Jumlah pulau kecil di Indonesia tercatat lebih dari 10.000 buah dan perairan di sekelilingnya merupakan ekosistem daerah penangkapan ikan. Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi
karakteristik
biogeofisik
pulau-pulau
kecil
dan
ekosistemnya. Guna mendapatkan informasi tersebut sedikitnya ada dua kendala yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan liputan awan yang tinggi. Wilayah Indonesia mempunyai area sekitar 14% yang sering tertutup awan. Kondisi ini sering menjadi masalah buat sebagian pengguna citra penginderaan jauh satelit yang memanfaatkannya untuk interpretasi sumberdaya alam. Namun, tidaklah demikian pada analisis berbasis geomorfologi, karena yang diamati adalah bentuklahan dan proses-proses yang berlangsung. Bentuk kajian ini mengamati perubahan dalam kurun waktu lama karena dinamika endogen dan eksogen yang dikaji berlangsung dalam hitungan tahun geologi. Oleh karenanya,
147
kondisi liputan awan tersebut dapat diatasi dengan memilih citra yang rendah liputan awannya, sehingga tidak terikat pada tanggal perekaman. Sebagai contoh, citra Kota Batam (Gambar 6) merupakan mozaik citra Landsat Tahun 2001 dan 2002, dan analisis beberapa pulaunya menggunakan citra Tahun 1996 karena adanya tutupan awan. Artinya prospek pemanfaatan data penginderraan jauh untuk pulau kecil dan ekosistemnya cukup menjajikan. Ada empat aspek yang digunakan pada analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya meliputi morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Ukuran pulau mempengaruhi bentuk pilihan jenis citra penginderaan jauh yang digunakan. Pulau dengan ukuran kecil dapat menggunakan citra resolusi menengah, sedangkan pulau dengan ukuran sangat kecil dapat menggunakan citra resolusi tinggi. Pengolahan citra terseleksi disiapkan untuk mempercepat proses analisis geomorfologi pulau kecil. Pilihan ini mempengaruhi hasil analisis aspek morfologi pulau kecil. Pada morfografi pulau yang berukuran besar seperti gunungapi yang tinggi dan dataran yang luas, serta morfometri yang mempunyai variasi besar, seperti ukuran bentuklahan yang luas dan beda tinggi yang mencolok, maka citra resolusi menengah dapat berperan cukup baik. Dari empat aspek geomorfologi, aspek morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili prosesproses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil. Pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit diidentifikasi dari aspek morfologi yaitu melingkar dari bentuklahan kawah, kaldera, atau lereng kaki gunung. Morfologi yang khas berupa kerucut atau gabungan beberapa kerucut menunjukkan suatu jalur magmatik. Dikenalinya pulau tipe terumbu di jalur magmatik (Kabupaten Sikka) adalah dari morfologi pulau berbentuk memanjang dari perbukitan yang relatif datar di permukaannya. Sebaliknya, dijumpainya morfologi pulau kecil berbentuk melingkar pada jalur tektonik, bukanlah indikasi pulau tipe vulkanik, melainkan vegetasi mangrove yang berkembang pada habitat yang sesuai sehingga berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe tektonik dicirikan oleh relief perbukitan. Untuk aspek morfogenesis, peranan citra bervariasi tergantung pada morfologi pulau kecil. Morfologi Pulau Ruang misalnya yang berbentuk kerucut melingkar bisa memberi petunjuk bahwa morfogenesis pulau tersebut adalah vulkanik. Meskipun, morfologi Pulau Lengkang dan Pulau Pasighe sulit dilakukan interpretasi morfogenesisnya, karena pola atau bentuk dari pulau tidak
148
mencerminkan suatu proses geomorfik tertentu. Artinya, interpretasi tipe pulau pada kedua morfologi tersebut sulit dilakukan secara langsung dari citra dan perlu didukung oleh data lain seperti peta Geologi, peta Rupabumi Indonesia, dan pemahaman geomorfologi. Di sini aspek morfoarrangement menjadi berperan, misalnya Pulau Pasighe terletak di kompleks gunungapi, sehingga besar kemungkinan pulau ini juga merupakan tubuh gunungapi, tapi yang telah terdegradasi. Dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) magmatik/vulkanik, (2) tektonik/struktural, (3) fluvial, (4) marin, (5) organik, dan (6) antropogenik. Bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe vulkanik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) magmatik/vulkanik, (2) fluvial, (3) marin, (4) dan organik. Bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe terumbu dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) tektonik/struktural (2) marin, dan (3) organik. Bentuklahan asal proses marin dan organik adalah bentuklahan yang banyak dijumpai di pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia. Analisis geomorfologi pada aspek morfokronologi adalah untuk mengenali keterkaitan proses berbagai bentuklahan secara relatif dan absolut. Proses terbentuknya bentuklahan secara relatif seperti tahapan proses geomorfik, maka peranan citra banyak dipakai; tetapi untuk mengenalinya secara absolut diperlukan dukungan informasi dari peta geologi dan peta Rupabumi Indonesia. Contoh Pulau Ruang (Gambar 36 b), ada dua tanjung yang berseberangan, di sebelah Timur dan Barat. Tanjung di Timur berwarna hitam yaitu lahan tanpa vegetasi; sedangkan tanjung di Barat, pantainya berwarna hijau-kemerahan, dan ke arah puncak terdapat warna merah yaitu vegetasi dan warna hijau-kemerahan yaitu lahan terbuka. Interpretasi menduga bahwa kronologis atau tahap pembentukan tanjung di Timur terjadi lebih akhir dibandingkan dengan tanjung di Barat. Hal ini disebabkan tanjung di Timur dibentuk oleh aliran lava muda (dicirikan oleh tiadanya vegetasi), sedangkan tanjung di Barat kemungkinan besar dibentuk oleh aliran lava lebih tua, yang telah tertutup oleh endapanendapan piroklastik muda. Endapan ini saat sekarang telah ditumbuhi oleh vegetasi. Tanjung di Barat ini, pada bagian dasar tanjung tersusun atas bongkahbongkah batu besar yang diduga berasal dari bongkah-bongkahan batu dari aliran lava tua. Tanjung di Timur adalah produk letusan tahun 1949, sedangkan
149
tanjung di Barat tidak tercatat tahun terbentuknya. Namun diduga bahwa, terbentuknya tanjung di Barat melalui proses yang identik dengan tanjung di Timur. Unsur warna lebih berperan dalam interpretasi untuk menduga perbedaan tahap pembentukan antara kedua tanjung melalui penutup lahannya. Unsur pola (seperti torehan) juga banyak membantu pada analisis morfokronologi. Untuk
aspek
morfoarrangement,
atau
mengenali
hubungan
antar
bentuklahan dalam susunan keruangannya, banyak didukung oleh citra satelit terutama pada citra resolusi menengah seperti Landsat dan SPOT. Di Kepulauan Batam, morfoarrangement pulau-pulau kecil banyak ditunjukkan oleh hubungan pola igir-igir perbukitan struktural yang memanjang dan banyak dijumpai di Pulau-pulau Batam, Rempang, hingga Galang. Hasil analisis tipe pulau di Kepulauan Batam menunjukkan adanya pulau kecil tipe tektonik dan diperkirakan tipe ini mendominasi keseluruhan pulau yang ada. Di Kepulauan Sikka dan Sitaro, morfoarrangement pulau-pulau kecil dengan morfologi berbentuk melingkar, menunjukkan suatu pola yang serupa, yaitu berada pada suatu kelurusan di tengah samudra. Hasil analisis di Kepulauan Sikka dan Sitaro menunjukkan adanya pulau-pulau kecil tipe vulkanik dan satu pulau kecil tipe terumbu. Aspek morfoarrangement di sini paling berperan untuk analisis tipe pulau, yaitu untuk identifikasi tipe pulau kecil pada skala makro.
5.3.2 Korelasi pulau kecil dan ekosistem laut Pulau kecil dan ekosistem laut di sekelilingnya merupakan satu kesatuan yang membentuk karakteristik biogeofisik yang khas. Karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal memiliki korelasi erat dengan pulaunya. Perkembangan ekosistem laut juga dipengaruhi oleh posisi pulau dan jenis pantai. Posisi pulau terkait dengan sirkulasi gelombang laut, sedangkan jenis pantai terkait dengan singkapan batuan. Pulau-pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu dapat membentuk pantai terjal, landai, dan datar dengan material berbatu, berpasir, dan berlumpur. Pulau-pulau kecil tipe tektonik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh singkapan batuan di pantai, dimana pantai terjal berbatu, pantai landai berpasir, dan pantai datar akan berlumpur. Mangrove berkembang lebih baik pada pantai datar dan landai dan pada posisi terlindung; demikian halnya dengan lamun. Sementara itu, terumbu karang berkembang lebih baik pada pantai terjal berbatu dengan posisi pantai menghadap laut lepas. Pantai landai dan datar dengan
150
material berbatu juga berpotensi untuk perkembangan terumbu karang. Di daerah penelitian, pulau kecil tipe tektonik lipatan berbukit sangat berpotensi untuk dijumpai terumbu karang, sedangkan pada morfologi datar sangat berpotensi untuk dijumpai mangrove. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh material letusan gunungapi dan perbedaan tingkat aktivitas vulkanis yang berlangsung. Di daerah penelitian, mangrove dan lamun dijumpai pada bentuklahan dataran sisa vulkanik di Pulau Pasighe, yaitu pada pantai datar di tengah sisa tubuh gunungapi dan mangrove dijumpai pula pada bentuklahan rawa payau di Pulau Babi. Keduanya berada pada pantai dengan posisi terlindung. Terumbu karang berkembang baik di pulau-pulau kecil pada semua tingkat aktivitas vulkanik mulai dari bentuklahan terumbu pinggiran, terumbu penghalang, sampai atol. Hal tersebut terutama disebabkan, pulau kecil tipe vulkanik muncul di samudra dimana kondisi perairannya relatif lebih jernih karena sirkulasi arus dan gelombang laut lebih baik. Perkembangan bentuklahan terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanis; demikian halnya dengan terumbu karang. Semakin rendah aktivitas vulkanik semakin lanjut pertumbuhan bentuklahan terumbu. Pulau-pulau kecil tipe terumbu, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh posisi pantai. Pantai terjal berbatu posisinya berhadapan dengan laut lepas, sedangkan pantai landai berpasir atau berlumpur posisinya terlindung. Mangrove sulit berkembang karena pantainya berhadapan dengan laut lepas dan proses solusional yang ada tidak membentuk air payau. Lamun juga sulit berkembang disebabkan oleh ketiadaan mangrove. Di Pulau Pomana yang berbatuan gamping terumbu, air hujan turun melalui celah-celah batuan sehingga sedimentasi di pantai rendah dan kondisi ini kurang mendukung bagi pertumbuhan mangrove dan lamun. Perkembangan bentuklahan terumbu sangat bagus dan terdapat perbedaan terkait posisi pantai, yang dalam hal ini berhubungan dengan arus dan gelombang laut, demikian halnya dengan terumbu karang. Bentuklahan terumbu berkembang lebih baik pada sisi pulau yang lebih terbuka mendapat arus dan gelombang laut. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi lagun, dimana semakin lancar arus laut semakin luas terbentuk lagun. Di Pulau Pomana dijumpai bentuklahan terumbu paparan berupa terumbu pelataran bergoba dan terumbu dinding tanduk. Korelasi antara tipe pulau kecil dan ekosistem laut disajikan pada Tabel 30.
151
Tabel 30 Matriks korelasi pulau kecil dan ekosistem laut Ekosistem Tipe pulau kecil laut Tektonik Vulkanik Terumbu sulit tumbuh Mangrove lebih baik di pantai tumbuh pada sisi landai dan datar pulau yang datar yang lebih dan terlindung terlindung Lebih baik pada aktivitas vulkanik lebih baik pada Terumbu posisi perairan laut semakin rendah pantai terjal karang yang lebih terbuka terumbu karang berbatu yang semakin baik menghadap laut lepas lebih baik di tumbuh pada sisi sulit tumbuh Lamun daerah yang lebih pulau yang terlindung terlindung Sumber : Hasil analisis geomorfologi model pulau-pulau kecil
Suatu pulau kecil dimana seluruh bagiannya merupakan wilayah pesisir, maka mangrove bisa mendominasi seluruh pulau, dengan kata lain, tidak hanya terbatas pada daerah yang dekat dengan laut. Kondisi ini terutama banyak dijumpai pada pulau kecil dengan morfologi datar. Di sisi lain, pada lingkungan fisik yang sama, pulau kecil datar lebih berpotensi untuk pertumbuhan mangrove daripada pulau kecil berbukit, contoh, Pulau Pasighe (tipe vulkanik ekstrusif datar) dan Pulau Lengkang (tipe tektonik lipatan datar). Sementara itu di pulaupulau besar, mangrove dapat dijumpai di sekitar muara sungai. Kasus ini menjelaskan perbedaan fenomena pertumbuhan mangrove antara pulau besar dan pulau kecil. Keterkaitan antara mangrove dan karakteristik biogeofisik pulau kecil ini mengarahkan untuk lebih mencermati pada klasifikasi tipe pulau yang membedakan morfologi pulau kecil antara pulau berbukit dan pulau datar. Pada pulau tektonik seperti di Batam, terumbu karang mulanya tumbuh dan berkembang pada substrat dasar perairan laut dangkal yang merupakan peneplain (Gambar 11 g). Pada pulau vulkanik, terumbu karang mulanya tumbuh dan berkembang pada batu vulkanik yang terendapkan di perairan sekeliling pulau (Gambar 15 d) dan selanjutnya berkembang dan bergabung membentuk terumbu pinggiran. Di pulau-pulau vulkanik denudasional yaitu dengan gunungapi yang telah lama mati, terumbu karang dapat berkembang lebih baik. Sementara itu, pada pulau kecil tipe terumbu diperkirakan proses pertumbuhan terumbu karang merupakan tahap lanjut yang semula berawal pada batuan vulkanik.
152
5.3.3 Identifikasi ekosistem laut berbasis tipe pulau Identifikasi ekosistem laut didesain berbasis tipe pulau untuk mendapatkan informasi obyek-obyek ekosistem laut meliputi bentuklahan terumbu, terumbu karang, lamun, dan mangrove. Informasi bentuklahan terumbu membantu dalam identifikasi antara karang hidup dan karang mati. Data tipe pulau kecil dan petapeta digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan pendekatan analisis geomorfologi. Obyek-obyek tersebut diidentifikasi menggunakan data penginderaan jauh satelit dengan citra komposit dan penajaman tertentu. Korelasi antara pulau kecil dan ekosistemnya yang beragam membutuhkan suatu kerangka identifikasi yang terstruktur. Selain diperlukan pula informasi ekosistem laut yang bersifat kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Informasi kualitatif diperoleh dari karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan terumbu, sedangkan informasi kuantitatif dan spasial diperoleh dari data penginderaan jauh satelit. Diagram alir identifikasi ekosistem laut disajikan pada Gambar 51. Identifikasi ekosistem laut dilakukan secara visual dan digital. Analisis visual adalah untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, bentuklahan terumbu, lamun, dan mangrove. Analisis digital adalah untuk identifikasi antara karang hidup, karang mati, dan lamun; serta klasifikasi kerapatan mangrove. Hasil analisis visual bentuklahan terumbu digunakan sebagai dasar reklasifikasi terumbu karang dari hasil algoritma Lyzengga. Identifikasi obyek-obyek ekosistem laut secara digital akan lebih akurat jika dilakukan pemisahan secara visual terlebih dahulu antara daratan dan perairan laut dangkal dan antara mangrove dan non-mangrove. Hal ini terkait dengan tingginya keragaman karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia. Pemetaan bentuklahan terumbu dari data penginderaan jauh satelit dilakukan melalui analisis visual. Klasifikasi bentuklahan terumbu secara geomorfologis dapat digunakan kriteria menurut Maxwell (Zuidam, 1985) yang telah dinyatakan sebagai standar (Tabel 2). Klasifikasi terumbu karang secara digital termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan analisis secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologis. Analisis terumbu karang secara digital dapat menggunakan algoritma Lyzengga seperti dirumuskan pada persamaan 3 dan 4 Bab 3. Tahap penggabungan antara klasifikasi terumbu berbasis geomorfologis secara visual dengan klasifikasi terumbu karang berbasis ekologis dilakukan saat reklasifikasi.
153
Peta Rupa Bumi, Peta Geologi, & Peta Pelayaran
Tipe pulau kecil, cek lapangan
Landsat (citra sejenis) kanal multispektral dan kanal pankromatik input
citra komposit pulau kecil: tipe tektonik: 4328 & 5438, tipe vulkanik: 5428, tipe terumbu: 7528 & 5328; penajaman dan fusi multispasial mangrove 4538, terumbu karang 421, lamun 421 & penajaman autoclip sharpen 2
Pemisahan laut & darat/pesisir
Analisis geomorfologi
Laut dangkal
Karakteristik biogeofisik pulau kecil & ekosistemnya
Laut dalam
Y= ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2) Bentuklahan terumbu
proses
Karang hidup
Karang mati
Lamun
Darat/pesisir
Klasifikasi visual
Mangrove
output Non mangrove
Gambar 51 Diagram alir identifikasi ekosistem laut.
154
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dirasakan perlu ada pra analisis sebelum dilakukan analisis digital terumbu karang; seperti kasus identifikasi mangrove yang tidak dapat sepenuhnya hanya dengan membatasi warna merah bata di daerah pesisir. Informasi tipe pulau dan karakteristik biogeofisiknya dapat memandu interpreter dalam identifikasi mangrove, terumbu karang, dan lamun. Sementara itu, karakteristik ekosistem laut pada pulau kecil tipe vulkanik perlu dicermati terlebih dahulu tingkat aktivitas gunungapi yang ada karena perbedaan ini memberi pengaruh yang nyata. Tahapan/proses secara ringkas identifikasi obyek-obyek ekosistem laut utama berbasis geomorfologi menggunakan data penginderaan jauh secara skematik disajikan pada Gambar 51 dengan rincian sebagai berikut: 1) Mengenali tipe pulau kecil. Informasi ini belum tersedia dan masih perlu dianalisis sesuai dengan klasifikasi tipe pulau kecil pada Tabel 26, 2) Membangun citra komposit dan penajamannya sesuai dengan tipe pulau kecil, untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan terumbu. Selain itu juga dilakukan analisis geomorfologi untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik mangrove, terumbu karang, dan lamun, 3) Mendelineasi secara visual batas antara daratan dan perairan laut dangkal serta mangrove dan non mangrove, menggunakan citra komposit RGB 421 untuk terumbu karang dan lamun dan RGB 453 untuk mangrove, 4) Klasifikasi kerapatan mangrove menggunakan algoritma NDVI dengan kelas kerapatan seperti tercantum pada Tabel 31. 5) Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga; serta reklasifikasi untuk mendapatkan kelas karang hidup, karang mati, dan lamun menggunakan informasi klasifikasi bentuklahan terumbu.
Tabel 31 Klasifikasi kerapatan mangrove Kelas
Penutup lahan dan kerapatan
1
perairan dangkal, non hutan
2
mangrove kerapatan rendah
3
mangrove kerapatan sedang
4
mangrove kerapatan tinggi
5
hutan non mangrove
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2 dan cek lapangan.
155
5.4 Desain Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan Pengelompokan pulau kecil dilakukan menurut karakteristik biogeofisik untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan sangat kecil dapat diperoleh menggunakan citra penginderaan jauh satelit serta peta-peta dan cek lapangan. Kaitan antara pulau kecil dan ekosistemnya dengan kondisi ikan terbukti menunjukkan korelasi yang erat. Pulau kecil dan ekosistemnya merupakan suatu kesatuan dalam rangkaian siklus hidup ikan pantai, sehingga pengelompokan pulau kecil juga dapat menjadi bentuk zonasi ekosistem daerah penangkapan ikan. Jadi pengelompokan pulau kecil dapat merupakan suatu cara untuk pengelolaan perikanan pantai yang bersifat akses terbatas untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Desain pengelompokan pulau kecil untuk perikanan ini menjawab tujuan penelitian yang keempat atau terakhir. Pulau-pulau kecil tipe tektonik di Kota Batam memiliki karakteristik biogeofisik relatif homogen dibandingkan dengan pulau-pulau kecil tipe vulkanik, demikian pula ekosistemnya. Karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik di daerah
Batam
mempunyai
potensi
pertumbuhan
mangrove
lebih
baik
dibandingkan tipe vulkanik dan tipe terumbu. Mangrove dan lamun juga dapat tumbuh bagus pada pantai berbatu disebabkan oleh posisi pulau yang terlindung dari sirkulasi gelombang laut. Variasi pertumbuhan ekosistem laut dipengaruhi oleh singkapan batuan dan posisi pulau. Mangrove dan posisi pantai dapat dikenali dengan baik dari citra satelit. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor ekosistem laut perlu lebih dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau-pulau kecil tipe tektonik. Pulau-pulau kecil tipe vulkanik memiliki karakteristik biogeofisik relatif heterogen, sehingga pola perkembangan ekosistemnya juga relatif berlainan. Pulau-pulau yang berdekatan dimungkinkan memiliki karakteristik biogeofisik yang sangat berbeda. Tingkat perkembangannya bervariasi dari kondisi gunungapi aktif seperti Pulau Ruang dan Pulau Palue hingga proses denudasi lanjut pada bebatuan gunungapi seperti Pulau Pasighe dan Pulau Besar. Proses vulkanisme pada suatu pulau kecil berpengaruh terhadap perkembangan ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor jarak antar pulau dan korelasi antar ekosistem laut perlu dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau kecil tipe vulkanik.
156
Pulau-pulau kecil tipe terumbu memiliki karakteristik biogeofisik relatif spesifik terkait dengan proses pelarutan atau solusional pada batuan gamping terumbu. Di daerah penelitian, proses tektonik berlangsung pada batuan gamping terumbu yang membentuk tiga pulau kecil tipe terumbu dan kini terhubungkan oleh bentuklahan terumbu (Gambar 29). Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor kondisi ekosistem laut perlu dipertimbangkan dalam pengelompokan pulau kecil tipe terumbu. Di Kabupaten Sikka, dijumpai Pulau Gunung-sari, Pulau Pomana, dan Pulau Besar yang jarak antar ketiganya kurang dari 12 mil. Secara berturut-turut pulau-pulau tersebut adalah tipe atol datar, terumbu berbukit, dan vulkanik ekstrusif berbukit. Pengelompokan pulaupulau yang berbeda dari tipe tersebut perlu dipisahkan karena masing-masing memerlukan bentuk pengelolaan yang berlainan. Implikasi
pengelompokan
pulau
kecil
dan
ekosistemnya
terhadap
pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan adalah pada efisiensi dana. Hal ini karena pemahaman karakteristik biogeofisik akan mengarahkan pada sasaran lebih tepat dan waktu lebih singkat. Secara khusus, bentuk pengelompokan ini ditujukan untuk mengelola ekosistem daerah penangkapan ikan, akan tetapi pengaruhnya akan meluas hingga ke perairan laut dalam di sekelilingnya. Dengan kata lain, pengelompokan ini dapat memberi pengaruh bagi kelestarian ikan dan biota laut lainnya di seluruh wilayah lautan negara Kepulauan Indonesia.
157
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan penelitian ini adalah: (1)
Dalam pengolahan data penginderaan jauh satelit terdapat perbedaan teknik antara pulau-pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu; serta antara ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik spektral setiap pulau kecil dan ekosistemnya yang terjadi akibat proses terbentuknya masing-masing tipe pulau kecil tersebut.
(2)
Klasifikasi tipe pulau kecil dibangun menurut morfogenesis dan untuk Indonesia disederhanakan menjadi sepuluh kelas yaitu tektonik lipatan, tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock, hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Setiap tipe pulau kecil ditambahkan informasi morfografi yaitu berbukit, datar, atau keduanya. Bentuk klasifikasi ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan proses identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, serta dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk menggambarkan potensi pertumbuhan ekosistem laut.
(3)
Identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut didesain berbasis tipe pulau kecil karena lebih terarah dalam teknik pengolahn data dan lebih fokus dalam mengenali karakteristiknya. Langkah selanjutnya berupa analisis visual dan analisis digital ditempuh secara selektif untuk mengakomodir keragaman karakteristik biogeofisik ekosistem laut, tetapi bisa diperoleh hasil yang lebih akurat dan waktu yang lebih cepat. Hasilnya adalah informasi yang bersifat spasial, kualitatif, dan kuantitatif, sehingga bermanfaat bagi penentuan kebijakan pengelolaan pada masing-masing ekosistem laut.
(4)
Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya yang berbasis geomorfologi berupa kelompok pulau kecil, gugus-pulau kecil, pulau kecil dan guguspulau kecil, dan beberapa pulau kecil. Pada desain pengelompokan ini telah tercakup di dalamnya kondisi homogenitas kualitas ikan pantai. Oleh karena itu, cara pengelompokan ini merupakan upaya secara langsung untuk membatasi atau membuat zonasi suatu wilayah pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan.
6.2 Saran Beberapa saran sehubungan dengan penelitian ini adalah: (1)
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia perlu lebih memperhatikan arti penting pulau-pulau kecil dari semua bidang. Dalam hal ini, identifikasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya merupakan awal yang perlu diprioritaskan. Saat ini telah ada Atlas pengelompokan pulau kecil berbasis tektonogenesis yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi, Kementrian Energi Sumberdaya Alam dan Mineral, yang memberikan informasi pola umum karakter pulau-pulau kecil. Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil ini belum tersedia. Untuk itu pemerintah perlu memprioritaskan perolehan informasi tersebut agar rencana pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan dapat lebih mendekati harapan.
(2)
Ekosistem laut merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pulau kecilnya. Sementara itu, proses-proses antropogenik ataupun eksogenik yang berlangsung padanya mempengaruhi kualitas habitat ikan dan kualitas ikan pantai. Untuk itu, rencana pengelolaan ekosistem daerah penangkapan perlu informasi yang terpadu antara pulau kecil dan ekosistemnya. Dalam hal ini, teknologi penginderaan jauh merupakan alternatif cara perolehan informasi karakteristik biogeofisik yang lebih efisien dan efektif.
(3)
Penelitian ini menemui adanya keterbatasan saat pemanfaatan kanal 1 (biru) dan kanal 2 (hijau) untuk identifikasi terumbu karang dan lamun. Data yang digunakan belum mampu membedakan keragaman terumbu karang yang ada sesuai dengan keinginan agar dapat memerinci lebih detail lagi. Di sisi lain, Indonesia terletak di daerah tropis dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, dimana daerah ini bagus untuk pertumbuhan karang. Untuk itu, perlu ditinjau kembali hasil-hasil pengembangan teknologi sensor penginderaan jauh multispektral yang mempunyai kisaran panjang gelombang lebih sempit terutama pada kanal-kanal 1 dan 2.
(4)
Saran secara khusus untuk penelitian lanjutan terutama yang tidak dapat diselesaikan dalam penelitian ini meliputi: 1) Penelitian tentang pengolahan citra suatu tipe pulau kecil yang memberikan ukuran kuantitatif bagi setiap pilihan teknik pengolahan data.
159
2) Penelitian yang berkaitan dengan pengembangan perangkat lunak pengolahan data dan algoritma untuk identifikasi obyek ekosistem laut secara terstruktur. Algoritma Lyzengga perlu modifikasi, mengingat bahwa substrat dasar pada setiap tipe pulau kecil menentukan keragaman nilai spektral terumbu karang. 3) Penelitian teknik pengolahan citra untuk pulau-pulau kecil di daerah lain yang mengkaji penerapan Tabel 29 dan algoritma Gambar 45 sampai 50. 4) Penelitian menyangkut ekosistem mangrove dan lamun yang berbasis geomorfologi, seperti kaitan mangrove dengan bentuklahan gambut serta korelasi antara tipe pulau kecil dengan lamun. 5) Penelitian serupa untuk tipe pulau kecil lain yang tersisa yaitu tujuh dari sepuluh tipe pulau kecil. 6) Penelitian yang berfokus pada pemanfaatan sumberdaya pulau kecil dan ekosistemnya menurut tipe pulau kecil, yang mengkaji faktor sosial dan ekonomi, terutama untuk pulau kecil yang berpenghuni dan pulau kecil terluar.
160
DAFTAR PUSTAKA Amirin, TM. 1986. Pokok-pokok Teori Sistem. Rajawali. Jakarta. 95 hal. Asriningrum, W. 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM untuk Identifikasi Bentuklahan (Landforms) di Daerah Jakarta-Bogor, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 124 hal. Asriningrum, W., Kushardono, D., Indratmo, H W., Dasanto. B D. 1997. Analisis Geomorfologi Daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi dengan Citra Landsat, Prosiding Mapin ITB Bandung. Hal 1-12. Beller, W., d’Ayala, P., and Hein, P. 1990. Observation and Recommendations of The Interoceanic Workshop. Dalam Beller, W., d’Ayala, P., and Hein, P. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 365 – 396. Bemmelen, RW. van. 1970. The Ecology of Indonesia. Vol. 1 A. General Geology. Martinus Nijhoff. The Hague. 732 p. Bengen, DG. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil. Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai, dan Pulaupulau Kecil. Ditjen Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil. DKP. Jakarta. 14 hal. Bheenick, R. 1990. Sustainable Development and Environmental Management in Mauritus- or a Tale of Two Birds. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 215 – 226. Bloom, AL. 1979. Geomorphology. A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landforms. Prentice Hall of India. New Delhi. 510 p. Brookfield, HC. 1990. An Approach to Islands. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 23 – 33. [CRITC] Coral Reef Information and Training Centre - LIPI. 2004. Studi Baseline Ekologi Batam. Jakarta. Kerjasama COREMAP dan LIPI. 143 hal. Dahuri, R. 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 1 No. 2. Dahuri, R., Rais, J., Ginting, SP., Sitepu, MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. 328 hal.
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital (Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh). Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. 254 hal. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta. 21 hal. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Jakarta. 108 hal. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Profil Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Jilid 1 Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta. 104 hal. Dewan Hankamnas dan BPP Teknologi. 1996. Benua Maritim Indonesia. Jakarta. Dit. TISDA – PKA BPP Teknologi. 169 hal. Dutton, IM. 1998. Sambutan Chief of Party Proyek Pesisir. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri- BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. vi-vii. English, S.C., and Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd edition). ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. 145 hal. ER Mapper 1997. ER Mapper 5.5 Level One Training Workbook. Western Australia. Earth Resorce Mapping. 285 p. EDC DAAC User Services. 1999. Applications of Landsat Data. http://caster. gsfc.nasa.gov/lps/ExtIntFaces/satellite.html. [2 April 1999]. EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls, USA South Dakota. October 31 – November 2, 1995. Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang. Yogyakarta. 113 hal. Ginting, SP. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol.1 No. 2. Guerschman, JP., Paruelo, J M., Di Bella C., Giallorenzi, Mc., and Pacin, F.. 2003. Land Cover Classification in The Argentine Pampas Using Multitemporal Landsat TM Data. Int. Journal of Remote Sensing. Vol 24 Nu. 17, 10 September 2003. p:3318- 3402. Guilcher, A. 1988. Coral Reef Geomorphology. John Willey & Sons. Chichester 228 p.
162
Hamnett, MP. 1990. Pacific Island Resources Development and Environmental Management. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 227 – 257. Hein, PL. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 35 – 42. Hess, AL. 1990. Overview: Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 3 – 14. Hehanussa, PE., Haryani, G.S., Fakhrudin, M., dan Wibowo, H 1998. Ketersediaan Air Sebagai Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di Pulau Biak, Irian Jaya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulaupulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama DepdagriBPPT-CRMP (USAID), Jakarta. Hal: B32 - B42. Hutabarat, S dan Evans, SM. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press. Jakarta. 159 hal. Jensen, JR. 1986. Introductory Digital Image Processing. A Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall, New Jersey. Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem didalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia. Katili, JA. 1973. Geochronology of West Indonesia and Its Implication On Plate Tectonics. LIPI. Jakarta. p:195-212. Kenchington, R. 1995. Future Prospect for Coastal Zone Management. Dalam Hotta, K. dan Dutton, IM. (Editor): Coastal Management in The Asia-Pacific Region: Issues and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation, Tokyo. p: 385 -392. Koesoebiono, 1995. Ekologi Wilayah Pesisir. PPLH-LP-IPB Bogor. 111 hal. Kompas, 2005. Nelayan Pulau Rempang Beralih ke Arang Bakau. 27-7-2005. Kunzmann, A. 2001. Corals, Fishermen and Tourists. Jurnal Pesisir & Lautan, Vol. 4(1): 17 – 23. Lillesand, TM. dan Kiefer, RW. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 612 hal.
163
Lyzengga, DR. 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing, 2:71-82. Malingreau, JP. and Christiani, R. 1981. A Land Cover/Land Use Classification for Indonesia. The Indonesian Journal of Geography. Vol. 11(41): 13 - 50. Maliskusworo, H., Hadisubroto, I., Wahyono MM. dan Prahoro, P. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Karang. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 25 hal. Martosubroto, P., Naamin, N., Abdul Malik, BB. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 104 hal. Maxwell, WGH. 1968. Atlas of The Great Barrier Reef. Elsevier, Amsterdam. 20 p. Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edwards AJ. 1998. Benefits of water colomn correction and contextual editing for mapping coral reefs. Int. Jounal of Remote Sensing 19. p: 203-210. Mumby PJ, Green EP, Clark CD, Edwards AJ. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal management. In: 3 (ed) Coastal management sourcebooks. UNESCO, Paris, p: 316. Naamin, N., Farid, A., Sumiono, B., Suman, A. dan Subagyo, W. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Udang. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 25 p. Narayanan, R.M., M.K. Desetty and S.E. Reichenbach. Effect of Spatial Resolution on Information Content Characterization in Remote Sensing Imagery Based on Classification Accuracy. Int. Journal of Remote Sensing. Vol 23 Nu. 3, 10 Februari 2002. p:537- 554. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hal. Nossin, JJ., Voskuil, PGA. and Dam, RMC. 1996. Geomorphologic Development of The Sunda Volcanic Complex. West Java, Indonesia. ITC Journal. 1996-2, p:157-165. Nybakken, JW. 1982. Marine Biology. An Ecological Approach. Penerjemah: M. Eidman dkk. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 459 hal. Odum, EP. 1992. Fundamental Philadelphia,USA. 574p.
of
Ecology.
W.B.Saunder
Company.
Ongkosongo, OSR., 1998. Permasalahan dalam Pengelolaan Pulau Kecil. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri- BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. Hal. B34 - B47.
164
Parcharidis, I., Psomiadis, E. and Stamatis, G. 1998. Using Landsat TM Images To Study The Karstic Phenomenon. ITC Journal 1998-2. Enschede-Netherlands. P:118-123. [PSG] Pusat Survei Geologi. 2006. Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan Tektonogenesis untuk Perencanaan Tata Ruang Darat, Laut, dan Dirgantara Nasional. Bandung. 29 hal. Rais, J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan, T., Sumampouw, M., Soeprapto, TA., Suhardi, I, Karsidi, A., Widodo, S. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. 251 hal. Rais, J. 2008. Toponimi, Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Pradnya Paramita. Jakarta. 250 hal. Sabins, FFJR. 1987. Remote Sensing, Principles and Interpretation 2nd ed. W.H Freeman and company, New York, 449 p. Selby, MJ. 1985. Earth’s Changing Surface. An Introduction to Geomorphology. Oxford University Press. New York. 607 p. Short, NM. 1982. Landsat Tutorial Workbook-Basics of Satellite Remote Sensing. Washington DC : NASA. Simbolon, D. 2006. Daerah penangkapan ikan sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan ikan; Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabhakti Prof Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Departemen PSP-FPIK-IPB Bogor hal 67-70. Snedaker, SC. and Getter, CD. 1985. Coastal Resources Management Guidelines. Research Planning Institut, Inc., Columbia, SC, USA. 251 p. Strahler, AN. and Strahler, AH. 1978. Modern Physical Geography. John Willey & Sons. New York. 502 p. Subani, W., Marzuki, S., Kastoro, WW., Azis, A. dan Nuraini, S. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Moluska dan Teripang di Perairan Indonesia. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 23 hal. Sugandhi, A. 1998. Pengelolaan Lingkungan Pulau-pulau Kecil. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri-BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. Hal. B32 - B42. Sugimori, Y., Moriyama T., Tedjasukmana, B., Soesilo, I. dan Swardika, K. 2006. Estimation of Fishery Resources by M-F GIS Using Satellite Data and Its Application to TAC for Sustainable Fishery Production. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. Vol. 3 September 2006 IReSES publishing. p: 59-79.
165
Suhermanto. 2001. Teknis Operasionalisasi Data Landsat 7. LAPAN, Jakarta. 20 p .(belum diterbitkan). Sulasdi, WN. 2000. Potensi Sumberdaya Kelautan Non-Perikanan di Indonesia serta Pola Pemanfaatannya dalam Perspektif Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Laut. Temu Pakar: Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Penataan Ruang. 10 Oktober 2000. Jakarta, Direktorat Jendreral Urusan Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil, DKP. 10 hal. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 108 hal. Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh (Jilid 1). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 168 hal. Sutikno. 1995. Geomorfologi dan Prospeknya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. 30 hal. Thornbury, WD. 1954. Principles of Geomorphology. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. 594 p. Tjia, HD. 1980. Zeithschrift fur Geomorfology; The Sunda Shelf, Southeast Asia. Gerbruder Borntraeger, Berlin. p: 405-427. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of Indonesia Series. Volume VII. The Ecology of Indonesian Seas. Part One: vii-xiv, 1-642. Volume III, Part two: iii-v, 643-1388. Periplus Edition. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 51 hal. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. 43 hal. Valenzuela, CR. 1990. Data Analisis and Modelling. Introduction to Geographic Information Systems. ITC, Enschede. The Netherlands. p: 31-53. Vernicos, N. 1990. The Islands of Greece. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 141 – 168. Verstappen, HTh. 1983. Applied Geomorphological Surveys for Environmental Development. Elsevier Sci., Publ., Comp. Amsterdam. 73 p. Verstappen, HTh. 2000. Outline of The Geomorphology of Indonesia. ITC, Enschede. The Netherlands. 212 p.
166
Wallace CC .2001. Wallace’s Line and Marine Organism: The Distribution of Staghorn Corals (Acropora) in Indonesia. In: Metcalf I (ed) Faunal and Floral Mitigations and Evolution in SE Asia-Australasia. Balkema, Rotterdam p: 168178. Webster, J. 1990. The Ecological Sustainability of Economic Growth in The Isle of Maan. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. Hal.: 183 – 196. Weyl, PK. 1970. Oceanography. An Introduction to The Marine Environment. John Wiley & Sons, Inc. New York. 254 p. Wiryawan, B. 2006. Kawasan Konservasi Laut Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Tangkap: Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabhakti Prof Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Departemen PSP-FPIK-IPB Bogor. hal: 95-113. Zee, D. van der. 1990. Introduction to Airphoto Interpretation, Landcover Land Use Classification and Settlement Analysis. ITC, Enschede. The Netherlands. 23 p. Zuidam RA. van. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. ITC, Enschede. The Netherlands. 442 p.
167
LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kota Batam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Pulau Jandaberhias Seraya Semangkau Besar Saloko Dangas Pucong Bokor Mentiang Tanjung Man Sali Teritip Pakcui Arus Kencang Baka Dodik Makminah Mengkudu Kapo Selat Lanjut Capak Karang Burung Batu Timun Gelam Dongkol Asa Besar Asa Kecil Sekenah Trailing Betingan Dumping Piayu Meregah Kasem Semangkau Kecil Putri Moi Moi Sekila Cuma Matang Sekikir
Posisi Lintang 1o6.6’ 1o7.2’ 1o8.4’
No
Nama Pulau
Bujur 103o54.0’ 103o54.6’ 103o64.2’
42 43 44
Kubang Menjing Raja
1o6.0’ 1o9.0’ 1o9.0’ 1o9.0’
103o51.6’ 103o57.0’ 103o56.4’ 103o56.4’
45 46 47 48
1o8.4’ 1o7.2’ 1o5.4’ 1o6.0’ 1o7.2’ 1o7.2’
103o59.4’ 103o55.2’ 103o55.8’ 103o54.6’ 103o54.6’ 103o54.6’
49 50 51 52 53 54
Lapang Lukus Ngenang Tanjung Sauh Tubu Sau Limau Kuras Bulan Buluh Tengah
1o7.2’ 1o7.2’ 1o7.2’
103o54.6’ 103o54.6’ 103o54.6’
55 56 57
1o6.6’ 1o6.0’ 1o6.0’ 1o5.4’
103o54.6’ 103o54.6’ 103o54.0’ 103o53.4’
1o5.4’ 1o5.4’ 1o6.0’ 1o5.4’ 0o59.4’ 0o58.8’ 0o59.4’ 1o0.6’ 1o1.2’ 1o1.2’ 0o59.4’ 0o59.4’ 1o1.2’ 1o1.8’ 1o7.8’ 1o12.0’ 0o59.4’ 0o59.4’ 1o0.6’ 1o0.6’ 0o56.4’
Posisi Lintang 1o1.2’ 1o0.6’ 1o1.2’
Bujur 104o8.4’ 104o9.0’ 104o9.0’
1o1.2’ 1o2.4’ 1o0.0’ 1o2.4’
104o 8.4’ 104o 9.0’ 104o 9.6’ 104o 9.6’
1o4.8’ 1o4.2’ 1o1.8’ 0o58.2’ 1o1.2’ 0o58.2’
104o10.2’ 104o10.8’ 104o6.6’ 103o53.4’ 103o55.8’ 103o58.8’
1o1.8’ 1o3.6’ 1o1.8’
103o55.2’ 103o54.0’ 103o54.6’
58 59 60 61
Boyan Melat Tanjung Kubu Bulang Jello Cengkui Bedari
1o1.2’ 0o58.2’ 0o56.4’ 0o55.2’
103o52.8’ 103o51.0’ 103o53.4’ 103o54.6’
103o53.4’ 103o53.4’ 103o52.8’ 103o52.8’ 104o2.4’ 104o 4.8’ 104o 4.2’ 104o 6.0’ 104o 5.4’ 104o 4.8’ 104o 2.4’ 104o 6.0’ 104o 7.2’ 104o 7.2’ 104o 3.6’
62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
Cungkul Luing Darat Selat Nenek Ladi Luing Laut Temoyong Resam Besar Nipis Melintang Tengah Kojok Seraya Mengkada Cole Tebuan
0o57.0’ 0o53.4’ 0o54.6’ 0o55.2’ 0o52.2’ 0o55.8’ 0o55.2’ 0o56.4’ 0o52.8’ 1o1.8’ 0o57.0’ 0o58.2’ 0o59.4’ 1o0.6’ 1o00.0’
103o53.4’ 103o57.0’ 103o57.0’ 103o57.0’ 103o58.2’ 103o57.6’ 103o58.2’ 103o58.8’ 103o58.2’ 103o55.2’ 103o58.8’ 103o59.4’ 103o57.6’ 103o57.6’ 103o57.6’
104o 4.2’ 104o 7.8’ 104o 8.4’ 104o 8.4’ 104o 8.4’ 104o0.6’
77 78 79 80 81 82
Lembu Air Biawak Linau Dangsi Selat Gantang
1o00.0’ 1o00.0’ 1o00.0’ 1o00.0’ 1o00.0’ 1o1.8’
103o58.2’ 103o58.2’ 103o57.0’ 103o58.8’ 104o00.0’ 103o52.8’
169
No 83 84 85 86
Nama Pulau
Posisi Lintang 0o57.6’ 0o57.6’ 0o58.8’ 0o57.6’
No
Nama Pulau
Bujur 104o6.0’ 104o0.0’ 104o1.2’ 104o1.8’
127 128 129 130
Teluk Pasir Teluk Dalam Kecik Labu
0o57.6’ 0o58.2’ 0o57.0’ 0o58.2’ 0o58.8’ 0o58.2’ 0o56.4’ 0o55.2’ 0o55.2’ 0o52.8’ 0o55.2’ 0o54.0’
104o1.8’ 104o1.8’ 104o1.8’ 104o1.8’ 104o2.4’ 104o3.0’ 104o3.6’ 104o1.8’ 104o2.4’ 104o2.4’ 104o1.8’ 104o2.4’
131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142
0o53.4’ 0o58.2’
104o1.8’ 104o5.4’
143 144
Kuyung Kecil Bakau Kecil Krupa Bulat semut Gua Babi Tembuan Tenga Jambul Anak Mati Perca Tanjung Butun Cula Kepala Jerih
1o1.2’ 1o2.4’ 1o1.2’
0o58.2’ 0o59.4’ 1o04.2’ 1o01.8’ 1o03.0’
104o5.4’ 104o57.6’ 103o53.4’ 103o55.2’ 103o54.0’
145 146 147 148 149
Penyalan Anak Pulau Buntung Ketapa Serai Cudung
1o0.6’ 0o58.2’ 1o2.4’ 1o2.4’ 1o3.0’
103o46.2’ 103o48.6’ 103o48.0’ 103o49.8’ 103o49.2’
1o3.6’ 1o3.0’ 1o4.2’ 1o4.2’ 1o5.4’
103o48.6’ 103o51.0’ 103o49.2’ 103o51.6’ 103o49.8’
1o5.4’ 1o5.4’ 1o2.4’ 1o2.4’ 1o5.4’ 1o9.0’
103o52.2’ 103o52.2’ 103o48.0’ 103o48.0’ 103o52.2’ 103o52.8’
1o9.6’ 1o10.2’ 1o9.0’
103o54.0’ 103o53.4’ 103o54.0’
1o9.6’
103o52.8’
1o9.6’ 0o57.0’ 0o57.0’ 0o56.4’ 1o7.2’
103o52.2’ 103o46.2’ 103o45.6’ 103o47.4’ 103o52.8’
1o03.0’ 1o03.0’ 0o55.2’ 0o52.8’ 0o52.8’
103o53.4’ 103o53.4’ 103o55.2’ 103o58.2’ 103o58.2’
150 151 152 153 154
111 112 113 114 115 116
Kurah Besar Kurah Kecil Lance Panjang Darat PanjangLaut Akar Mentima Aur Tonton Nipa Setoko Bulat Bukit Sepak Laut Penjahit Layar Kaloh Kayu Angin Arang Lotong Mati Penyalan Bulat Jerambang Besar Terendak Sebalok June Luing Sempal Luing Sengkek Luing Lamat LuingBendera Luing Bakau Bukit Biawak Kecil Resam Bakau
0o52.8’ 0o53.4’ 0o53.4’ 0o54.6’ 0o55.2’ 0o55.2’
103o58.2’ 103o58.2’ 103o58.8’ 103o57.0’ 103o57.0’ 103o58.8’
155 156 157 158 159 160
117 118 119
Resam Laut Borek Bakau Kobek
0o55.2’ 1o01.2’ 1o2.4’
103o58.2’ 103o51.0’ 103o52.8’
161 162 163
120
Sungai Kobek Nipong Kapal Besar Kapal Kecil Catur Manek
1o2.4’
103o52.8’
164
Batu Ampar Lumbabesar Kasu Bertam Semangkau Besar Lingke Pasir Tandur Buntong Bulat Belakang Padang Sambu AnakSambu Bontot Mariam Lengkana
1o4.2’ 1o8.4’ 1o8.4’ 1o8.4’ 1o7.8’
103o53.4’ 103o50.4’ 103o50.4’ 103o49.8’ 103o50.4’
165 166 167 168 169
Tolop Lotong Sayak Telan Air Manis
87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110
122 123 124 125 126
Posisi Lintang 1o1.8’ 1o2.4’ 0o59.4’ 1o00.0’ 0o59.4’ 0o58.8’ 0o58.8’ 0o55.8’ 0o56.4’ 0o57.6’ 0o58.2’ 0o58.8’ 0o57.6’ 0o58.2’ 1o3.0’
Bujur 103o53.4’ 103o53.4’ 103o58.2’ 103o58.2’ 103o58.8’ 103o59.4’ 103o59.4’ 104o3.0’ 104o 2.4’ 104o 4.2’ 104o 2.4’ 104o 4.2’ 104o 2.4’ 104o 5.4’ 103o53.4’ 103o50.4’ 103o42.6’ 103o46.8’
170
No 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179
Nama Pulau Layang Mecan Nirup Anak Ladang Gerit Sekila Timbul/Timba Kramat Tolop Lengkang Kecil Jagung
Posisi Lintang 1o7.8’ 1o7.2’ 1o7.8’ 1o7.8’ 1o8.4’ 1o7.2’ 1o6.0’ 1o9.6’ 1o7.2’
Bujur 103o50.4’ 103o50.4’ 103o49.8’ 103o52.8’ 103o52.8’ 103o53.4’ 103o52.8’ 103o52.2’ 103o52.2’
No. 215 216 217 218 219 220 221 222 223
Air Asam Mariam Combon Terong Seret Saban Resoi Anak Ladan Udang
1o7.2’
103o53.4’
224
Tanjung Ladan Panjang
1o6.0’
103o47.4’
225
181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195
Pemping Besar Nipa Pelampong Tokong Besar Tokong Kecil Babon Besar Babon Kecil Kujam Bolak Jerpit Berunuk Siantu Semukit Nangka Panjang Dongdang
1o8.4’ 1o7.8’ 1o7.2’ 1o6.6’ 1o6.0’ 1o5.4’ 1o6.6’ 1o6.0’ 0o57.6’ 0o58.8’ 0o58.2’ 0o58.8’ 0o58.8’ 0o59.4’ 1o00.0’
103o39.6’ 103o42.0’ 103o42.6’ 103o43.2’ 103o46.8’ 103o46.8’ 103o49.2’ 103o51.6’ 103o49.2’ 103o49.2’ 103o49.2’ 103o48.6’ 103o49.2’ 103o49.2’ 103o48.6’
226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239
196 197 198 199 200 205 206 207 208
Pecong Pecong Kecil Miang Combon Serapat Dongkan Daun Geranting Katumba
1o00.0’ 1o6.0’ 1o6.0’ 0o58.2’ 1o6.0’ 0o58.2’ 0o58.8’ 1o0.6’ 0o58.2’
103o49.2’ 103o49.2’ 103o49.8’ 103o49.2’ 103o52.2’ 103o42.6’ 103o45.6’ 103o46.2’ 103o47.4’
209
Kelapa Gading Kucing
0o58.2’
103o48.0’
1o3.6’
103o52.8’
1o4.8’
103o52.2’
1o4.8’
103o52.2’
1o4.8’ 1o4.8’
103o52.2’ 103o52.8’
180
240 241 242 243 244 245 246 247 248 249
210
212 213 214
Gondeng Besar Gondeng Kecil Sudin Padi
Posisi Lintang 1o7.8’ 1o8.4’ 0o58.8’ 0o57.0’ 1o5.4’ 1o5.4’ 1o7.2’ 1o1.2’ 1o1.2’
Bujur 103o52.2’ 103o49.8’ 103o49.2’ 103o46.2’ 103o51.0’ 103o51.0’ 103o53.4’ 103o45.0’ 103o45.0’
1o0.6’
103o45.6’
1o0.6’
103o45.6’
Kote Buca Kecil Labu Siali Bulat Mamat Kera Sememal Pelangi Teluk Garam Bajang Galang Busuk Betina Besar Betina Kecil
1o00.0’ 1o0.6’ 1o0.6’ 1o1.2’ 1o1.8’ 1o3.6’ 1o3.6’ 1o3.6’ 1o3.0’ 1o1.0’ 1o1.8’ 1o2.4’ 1o1.8’ 1o 3.0’’ 1o3.6’
103o46.2’ 103o46.8’ 103o48.0’ 103o48.6’ 103o48.0’ 103o48.6’ 103o48.6’ 103o49.2’ 103o49.2’ 103o49.8’ 103o50.4’ 103o50.4’ 103o49.8’ 103o49.2’ 103o49.2’
Keramba Panjang Bosing Besar Bosing Kecil Renjis Rawa Amin Puaka Tanjung Kramat Siondok
1o3.6’ 1o1.8’ 1o3.6’ 1o3.6’ 1o5.4’ 1o4.2’ 1o2.4’ 1o1.8’ 1o1.8’
103o49.2’ 103o48.0’ 103o49.8’ 103o49.8’ 103o51.0’ 103o48.6’ 103o49.8’ 103o49.8’ 103o49.8’
1o3.0’
103o52.8’
Lengkang Besar Mat Belanda
1o7.2’
103o52.8’
1o9.0’
103o52.8’
TanjungPana
1o6.6’
103o47.4’
AnakAirJohor Semangkau Arus
1o6.0’ 1o5.4’
103o48.0’ 103o49.2’
250 251
211
Nama Pulau
252 253 254 255
171
No
Nama Pulau
256 257
Penembuk TanjungMide
258 259
Mat Aim Serapat Malang Merah Batu Majid Lebah Semangkau Nabi S. Cingam S. Pari
260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295
Injin Beras S. Mempela S. Terih S. Nur S. Pulau Lontok Perahak Tumba Tanjung Lombok Montoh Kabe Seduduk Terumbu Lebar Subar Catuk AnakLayang Kajang Anak Mecan Piring Sarang Cukus Payung Lumut Taman Perincit Derkat Besar Muntigi Besar Segayang Anak Segayang Cucu Petong
Posisi Lintang 1o4.8’ 1o5.4’
No
Nama Pulau
Bujur 103o48.6’ 103o49.2’
298 299
S. Ketem Pangkalan Tudak Dua Bakau
Posisi Lintang 1o5.4’ 1o5.4’
Bujur 103o52.2’ 103o52.2’
296 297
1o5.4’ 1o5.4’
103o51.6’ 103o51.6’
0o59.4’ 0o56.4’
103o48.6’ 103o46.2’
1o4.8’ 1o4.8’ 1o2.4’ 1o5.4’
103o49.8’ 103o49.8’ 103o49.2’ 103o49.8’
300 301 302 303
Tengah Sisik Belerang Tanjung Jati
0o57.6’ 0o56.4’ 0o56.4’ 1o1.8’
103o49.8’ 103o49.2’ 103o49.8’ 103o49.8’
1o6.0’ 1o6.0’
103o49.8’ 103o49.8’
304 305
0o58.2’ 0o58.2’
103o42.6’ 103o46.8’
1o6.0’ 1o5.4’ 1o6.0’ 1o6.0’ 1o5.4’ 1o5.4’ 1o6.0’ 1o6.0’ 1o6.6’
103o49.8’ 103o49.8’ 103o49.8’ 103o49.8’ 103o49.8’ 103o50.4’ 103o51.0’ 103o51.0’ 103o51.6’
306 307 308 309 310 311 312 313 314
Tanahmerah Katumba Kecil Akar Labun Nguan Cingam Len TelejikBesar Telijik Kecil GalangBaru Dempo
0o56.4’ 0o40.2’ 0o39.0’ 0o39.0’ 0o37.8’ 0o37.2’ 0o36.0’ 0o39.6’ 0o36.0’
103o46.2’ 104o13.8’ 104o14.4’ 104o14.4’ 104o17.4’ 104o17.4’ 104o17.4’ 104o15.6’ 104o18.0’
1o6.6’ 1o6.0’ 1o6.0’ 1o9.0’
103o51.6’ 103o51.6’ 103o51.6’ 103o53.4’
315 316 317 318
Udik Pengalap Kalo Tukil
0o31.8’ 0o30.0’ 0o28.2’ 0o27.6’
104o18.0’ 104o17.4’ 104o18.0’ 104o18.6’
1o9.0’ 1o7.8’ 1o7.8’ 1o7.2’ 1o7.2’ 1o7.2’ 1o6.6’ 1o6.6’ 1o6.6’ 1o7.2’ 1o6.0’ 1o7.8’ 0o37.8’
103o49.8’ 103o50.4’ 103o51.0’ 103o51.0’ 103o49.8’ 103o50.4’ 103o51.0’ 103o50.4’ 103o50.4’ 103o51.0’ 103o51.0’ 103o51.0’ 104o6.6’
319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331
Pelintang Dedap Sawang Apil SawangBesar SepintuBesar Abang Besar Abang Kecil Sekate Pasir Buluh Ranoh Hantu Petong Melor Besar
0o28.2’ 0o28.8’ 0o30.6’ 0o30.6’ 0o30.6’ 0o34.8’ 0o32.4’ 0o34.8’ 0o33.6’ 0o33.6’ 0o32.4’ 0o37.8’ 0o44.4’
104o16.2’ 104o16.2’ 104o15.6’ 104o15.0’ 104o14.4’ 104o12.6’ 104o13.8’ 104o10.8’ 104o12.6’ 104o13.8’ 104o15.0’ 104o 5.4’ 104o10.8’
0o36.6’
104o 6.0’
332
0o44.4’
104o10.8’
0o37.8’ 0o37.2’
104o 2.4’ 104o 1.8’
333 334
Melor Harimau Melinik Anak Melinik
0o44.4’ 0o43.8’
104o11.4’ 104o11.4’
0o38.4’
104o 0.6’
335
0o43.8’
104o12.0’
Tanjung Kompak
172
No
Nama Pulau
336 337 338 339
Pumpun Semantar Melor Penyabung
340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351
Mubut Darat Mubut Laut Bunaki Karas Besar Karas Kecil Sembur Ende Teluk Nipa Nanga Sembibing Bunta Korek Busung Korek Rapat Tanjung Dahan Pakaul Probas Perantau Nibung Subangmas Kinun Tunjuk Air Raja Manjaras Rempang Combang Jemara Kera Semukit Dapur Tiga Gong Petang
352 353 354 355 356 357 358 359 360 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 ‘
Posisi Lintang 0o48.0’ 0o47.4’ 0o44.4’ 0o42.6’
Bujur 104o13.2’ 104o11.4’ 104o10.8’ 104o12.6’
No
Nama Pulau
375 376 377 378
0o49.2’ 0o49.2’ 0o46.2’ 0o46.2’ 0o48.6’ 0o40.8’ 0o40.8’ 0o40.2’ 0o40.2’ 0o40.8’ 0o40.8’ 0o40.8’
104o16.8’ 104o18.0’ 104o16.8’ 104o19.8’ 104o19.8’ 104o17.4’ 104o16.2’ 104o19.2’ 104o18.0’ 104o18.0’ 104o18.0’ 104o19.8’
379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390
0o40.8’ 0o40.8’
104o20.4’ 104o19.2’
391 392
Penempan Bedempan Samak Tanjung Gemuk Baralukut Burus Singa Berkat Kecil Cek Dulah Cekukur Mentigi Kecil Buaya Ujung Baran Air Saka Ranoh Kecil Tanjung Siadan Supu Aki
0o52.2’ 0o48.0’ 0o48.0’ 0o45.0’ 0o57.0’ 0o55.2’ 0o56.4’ 0o58.2’ 0o58.2’ 0o51.6’ 0o57.0’ 0o54.6’ 0o53.4’ 0o48.0’ 0o47.4’ 0o53.4’ 0o47.4’
104o14.4’ 104o13.2’ 104o13.2’ 104o10.8’ 104o 9.6’ 104o10.2’ 104o12.0’ 104o 9.6’ 104o10.2’ 104o 9.6’ 104o 8.4’ 104o12.6’ 104o11.4’ 104o12.6’ 104o12.6’ 104o55.8’ 104o 9.6’
393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404
Sambang Sepintu Kecil Sawang Kecil Taher Akop Nurdin Kalo Kecil Buntar Galang Uku Bama Nilir
Posisi Lintang 0o42.0’ 0o39.6’ 0o39.6’ 0o40.2’
Bujur 104o13.8’ 104o14.4’ 104o14.4’ 104o14.4’
0o37.8’ 0o39.0’ 0o38.4’ 0o37.8’ 0o36.6’ 0o36.6’ 0o36.0’ 0o36.0’ 0o32.4’ 0o33.6’ 0o33.6’ 0o33.0’
104o15.0’ 104o14.4’ 104o15.6’ 104o 6.6’ 104o 6.6’ 104o 6.0’ 104o 6.0’ 104o 6.0’ 104o12.0’ 104o13.2’ 104o14.4’ 104o13.8’
0o32.4’ 0o32.4’
104o15.0’ 104o15.0’
0o31.8’ 0o32.4’ 0o30.6’ 0o28.2’ 0o28.2’ 0o28.2’ 0o28.2’ 0o40.8’ 0o41.4’ 0o55.8’ 0o56.4’ 0o55.8’
104o15.0’ 104o13.8’ 104o14.4’ 104o16.8’ 104o16.8’ 104o16.8’ 104o18.0’ 104o18.0’ 104o15.6’ 104o 9.0’ 104o 9.0’ 104o 9.0’
173
Lampiran 2: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kabupaten Sikka No
Nama Pulau
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Palue Babi Parumaan Kondo Sukun Dambila Besar Pomana besar Pomana kecil Pangabatang
Posisi Lintang 8o18’ o 8 25.2’ 8o26.4’ 8o25.6’ 8o07.2’ 8o28.2’ 8o25.4’ 8o25.4’ 8o21.0’ 8o28.4’
Bujur 121o42.0’ 122o30.0’ 122o27.0’ 122o27.0’ 122o07.2’ 122o25.6’ 122o21.0’ 122o18.0’ 122o25.6’ 122o28.2’
Lampiran 3: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kabupaten Sitaro No 1 2 3 4 5
Nama Pulau Apeng Binuni Apeng Dalal Batu Darua Batu Salana Batu Sele
Posisi Lintang 2o05.4’
No
Nama Pulau
Bujur 125o21.0’
17
Makalehi
2o04.8’ 2o06.0’ 2o06.6’ 2o05.4’
125o20.4’ 125o20.4’ 125o23.4’ 125o23.4’
18 19 20 21
2o22.2’
125o20.4
7 8 9 10 11 12
Batu Singgelohi Batutikus Biaro Buhias Kaluhaghi Kalukuohi Kapuliha
2o40.2’ 2o16.2’ 2o40.8’ 2o06.0’ 2o04.2’ 2o40.4’
125o25.2 125o22.2’ 125o27.6’ 125o30.6’ 125o21.6’ 125o28.8’
22 23 24 25 26 27 28
13
Kemboling
1o50.4’
125o05.4’
29
14 15
Laweang Lumontang
2o39.0’ 2o05.4’
125o28.8’ 125o22.2’
30 31
16
Mahoro
2o39.6’
125o29.4’
6
Posisi Lintang 2o44.24’
Bujur 125o09.6’
Tagulandang Masare Mundung Pahepa (Palida) Pasighe
2o12.6’ 2o39.6’ 2o06.6’ 2o49.8’
125o13.8’ 125o28.2’ 125o21.6’ 125o27.6’
2o21.6’
125o18.0’
Ruang Salangka Seha Besar Seha Kecil Siau Tambonan Besar Tambonan Kecil Tandukuhang Tonggeng Napoto
2o19.2 2o07.2’ 2o07.2’ 2o07.2 2o43.2’ 2o06.0’
125o22.2’ 125o22.2’ 125o21.0’ 125o21.0’ 125o24.6’ 125o21.0’
2o06.0’
125o20.4’
2o05.4’ 2o06.0’
125o19.8’ 125o21.6’
174
Lampiran 4: Nilai OIF Pulau Lengkang menurut kombinasi kanal Kombinasi 145 147 245 124 134 247 345 234 125 135 347 157 235 257 357 137 237 127 457 127
Jumlah Standar Deviasi 61.335 48.511 63.955 52.603 57.461 51.131 68.813 60.081 54.589 59.447 55.989 50.497 62.067 53.117 57.975 46.623 49.243 41.765 59.863 78.555
Korelasi 0.51 0.495 0.682 0.631 0.722 0.656 0.939 0.842 0.811 0.893 0.902 0.814 1.001 0.963 1.2 1.071 1.168 1 2.573 2.722
Niai OIF 120.26 98.002 93.776 83.364 79.586 77.944 73.283 71.355 67.311 66.570 62.072 62.036 62.005 55.158 48.312 43.532 42.160 41.765 23.266 28.859
Lampiran 5: Nilai OIF Pulau Babi menurut kombinasi kanal Kombinasi 145 147 157 134 135 125 245 124 257 247 235 234 137 345 127 457 357 347 237 123
Jumlah Standar Deviasi 65.972 50.331 59.152 49.034 57.855 56.702 68.788 47.881 61.968 53.147 60.671 51.85 42.214 69.941 41.061 71.238 63.121 54.3 45.03 39.764
Korelasi 0.933 0.938 1.151 1.122 1.345 1.363 1.678 1.184 1.833 1.653 1.958 1.768 1.448 2.452 1.459 2.802 2.658 2.434 2.031 2.118
Niai OIF 70.710 53.658 51.392 43.702 43.015 41.601 40.994 40.440 33.807 32.152 30.986 29.327 29.153 28.524 28.143 25.424 23.748 22.309 22.171 18.774
175
Lampiran 6: Nilai OIF Pulau Pomana-besar menurut kombinasi kanal Kombinasi 157 145 125 135 147 257 245 235 127 137 134 124 247 357 345 237 234 457 347 123
Jumlah Standar Deviasi 76.424 74.457 73.221 74.729 59.112 80.38 78.413 78.685 57.876 59.384 57.417 55.909 63.068 81.888 79.921 63.34 61.373 81.616 64.576 56.181
Korelasi 1.438 1.414 1.646 1.696 1.393 1.951 1.946 2.15 1.653 1.699 1.708 1.672 1.914 2.677 2.662 2.142 2.17 2.895 2.626 2.4
Niai OIF 53.146 52.657 44.484 44.062 42.435 41.199 40.294 36.598 35.013 34.952 33.616 33.438 32.951 30.590 30.023 29.570 28.282 28.192 24.591 23.409
Lampiran 7: Variasi citra komposit dari kombinasi kanal terseleksi, Pulau Palue
543
534
453
435
354
345
176
Lampiran 8: Penajaman spektral, citra komposit RGB 543, Pulau Palue
linear transform
autoclip transform
Level slice transform
Histogram equalize
Gaussian equalize
default logaritmic
Lampiran 9: Penajaman spasial, (filtering) citra komposit RGB 543, Pulau Palue
edge/different
edge/gradien x
edge/gradien y
Highpass/sharpe edge
Highpass/Sharpen 11
Highpass/sharpen2
lowpass/ average 3
lowpass/average 7
lowpass/average diagonal
177
Lampiran 10 Data geomorfologi dan penutup lahan di daerah model pulau-pulau kecil, hasil survei lapangan No
Pulau
Koordinat
Bentuklahan
mangrove
1
Bokor
103:58BT; 1:9:1.7LU
2
Menti-ang
103:59 BT; 1:8:6.9LU
3
Janda berhias
103.91 BT 1.1070 LS
4
Lengkang
103.87 BT 1.1180 LU
5
Dangsi
104.04 BT 0.9893 LU
6
Calang
104.097 BT 0.9873 LS
7
Awi
8
Nge-nang
104.152 BT 1.0217 LU 104.156 BT 1.0022 LU
Dataran aluvial pantai Dataran aluvial pantai Dataran aluvial pantai Dataran aluvial pantai Dataran Aluvial pantai Dataran Aluvial pantai Perbukitan lipatan Perbukitan lipatan
9
Hantu
10
Ranu
104.25 BT 0.5444 LU 104.24 BT 0.556 LU
Perbukitan lipatan Perbukitan lipatan
Penutup lahan
Relief
datar
Proses geomorfologi Erosi Banjir/ aliran lava/ piroklastik Sheet tanpa
Tipe batuan Batuan Kedalaman pelapukan (cm) Tufa, sand- < 30 stone
mangrove
Ber-bukit
Sheet
tanpa
Tufa, sandstone
< 30
Mangrove, Lahan terbuka, Mangrove
datar
Sheet
tanpa
Tufa, sandstone
< 30
datar
Sheet
tanpa
Tufa, sandstone
< 20
Mangrove, kebun kelapa mangrove
datar
Sheet
tanpa
Tufa, sandstone
< 30
datar
Sheet
tanpa
Tufa, sandstone
< 30
Mangrove
ber-bukit
sheet
tanpa
Mangrove, belukar
berbukit
Sheetriil
tanpa
Tufa, sandstone Tufa, sandstone
Lahan terbuka Mangrove, semak
datar
sheet
tanpa
datar
sheet
tanpa
Tufa, sandstone sedimen
Tanah Tekstur Solum (cm) Pasir & lempung Pasir & lempung pasir
30
30
30
Pasirberlum pur Pasir& lempung Lempung
20
< 30
pasir
30
< 30
30
< 30
Lempung, pasir pasir
30-40
< 30
pasir
30-40
30
30
178
No
Pulau
Koordinat
11 12
Tagulanda ng Pasi-ghe
125.37 BT 2.36 LU 125.29 BT 2.3633 LU
13
Ruang
125.37 BT 2.3153 LU
14
Besar
8.26 BT 122.35 LU
15
Palue
122.23 BT 8.38 LS
16
Babi
122.51 BT 8.42 LS
17
Paru-maan
122.45BT 8.45 LS
18
Kondo
122.43 BT 8.44 LS
19
Poma-nabesar
122.28BT 8.37 LS
20
Poma-nakecil
122.28 BT 8.46 LS
21
Gosonggoni
122.23 BT 8.38 LS
Bentuk-lahan
Penutup lahan
Relief
Dataran vulkanik Dataran sisa vulkanik
Semak, perkebun-an mangrove
Bergu nung datar
Proses geomorfologi Erosi Banjir/ aliran lava/ piroklastik sheet, tanpa riil sheet tanpa
Lereng bawah gunungapi strato aktif Lereng bawah gunungapi strato Lereng atas gunungapi strato Kubah gunungapi tua terintrusi Gunungapi strato
Semak, kebun kelapa
bergu nung
sheet, riil, gully
Lava, piroklastik
Semak belukar
bergu nung
sheet, riil, gully
tanpa
Semak, hutan, permu-kiman Singkapan batuan, semak Semak, singkapan batuan semak
bergu nung
sheet, riil, gully
tanpa
bergu nung
riil
bergu nung
Tipe batuan Batuan Kedalaman pelapukan (cm) Andesit < 50 Pasir vulkanik, pumice Pasir vulkanik, andesit Andesit
< 30
< 50
50-100
50-100
tanpa
Pasir vulkanik, pumice Diorit
< 50
Sheet, riil
tanpa
Andesit
< 50
berbu kit
Sheet, riil
Banjir periodik
Andesit
tanpa
semak
berbu kit
Sheet
tanpa
Limestone
50-100
Cliff,
semak
berbu kit
Sheet, riil
tanpa
Limestone
< 50
Dataran pantai terumbu
Lahan kosong
Gunungapi strato tidak aktif terintrusi Perbukitan plato
berom Sheet Banjir rampat bak periodik Keterangan: Air tanah hanya dijumpai pada model 11 (<50 m bening), 14, dan 15 (>500 cm agak bening).
tanpa
Tanah Tekstur Solu m (cm) Pasir < 40 berbatu Pasir < 30 berlem pung Pasir < 25 berbatu Debu & lempung Pasir berbatu
2550
Debu & lempung Debu & lempung pasir
< 25
Debu & lempung Debu & lempung kerikil
<25
2550
< 25
< 25
<25
<25
179
Lampiran 11 Data ikan karang hasil survei lapangan dengan teknik penyelaman
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14 15
Jenis Pomacentrus moluccensis Labroides dimidiatus Neoglyphidodon melas Thalassoma lunare Pomacentrus coelestis Chromis Margaritifer Parapercis sp Dascyllus arvanus Apogon nigrofasciatus Scolopsis lineate Hemiglyhidodon plagimetopon Chromis Lepidolesis Pseudanthias bicolor Pseudanthias squamipinnis Pascyllus trimaculatus
Babi Selatan 3m 10 m Σ U Σ U 7 A -
Babi Utara 3m 10 m Σ U Σ U -
Pomana Selatan 3m 10 m Σ U Σ U 2 A
Pomana Barat 3m 10 m Σ U Σ U 7 A 12 A
Gosong Goni Dalam 3m 10 m Σ U Σ U 19 A 5 A
Gosong-goni Luar 3m 10 m Σ U Σ U - - -
Palue Timur 3m Σ U -
4
A
-
-
-
-
1
A
2
A
2
A
7
A
1
A
-
-
3
A
-
-
1
B
-
-
2
A
-
-
-
-
-
-
-
-
1
A
-
-
2
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
19 48
B A
1 -
B -
2 30
B A
82
A
140
A
15
A
-
-
-
-
1 40
B A
3 17
A A
11 4
B A
1 -
B -
10 -
B -
6
A
2
B
8
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
B
-
-
1
A
-
-
-
-
2 14 4
C A A
2 -
B -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4 -
A -
-
-
3 -
A -
-
-
-
-
-
-
4 3
B B
-
-
2 -
C -
-
-
1 -
B -
-
-
3 -
A -
1 -
A -
1 -
C -
2 -
A -
-
-
-
-
8 -
D -
3
A
2
A
12
B
1
B
7
A
2
A
-
-
-
-
1
A
4
A
2
A
-
-
-
-
3
B
12
A
2
A
-
-
4
A
50
A
3
A
-
-
2
B
13
A
10
B
2
B
-
-
10
A
-
-
20
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
A
-
-
-
-
3
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
180
Lampiran 11 lanjutan
No 16 17 18 19 20 21 22 24 25 26 27
Jenis Parupeneur reticulates Dascillus reticulates Acanthurus blochii Holichoeres chrysus Chaetodon kleini Chaetodon kleini Scarus SP Cephhalopholis miniata Chaetodon decussates Pygoplites Gamphosus varius
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Hemygymnus fasciatus Parupeneus barberinus Chromis analis Pterocaesio randalii Scarus ghobban Balitapus undulatus Genicanthus lamarck Chaetodon Jagabundus Scarus sp Scarus ghobban
Babi Selatan 3m 10 m Σ U Σ U 1 C 5 A 1 B 2 B - 5 A - - 21 A - 2 B - 2 B - 1 B - 1 B - 1 B - - - - -
Babi Utara 3m 10 m Σ U Σ U 5 B 10 B - - - - 10 B - - - 2 B 1 B
Pomana Selatan 3m 10 m Σ U Σ U - - 10 A 3 A - - 13 A - 5 A 1 B 1 B - - - - - - - - - - -
Pomana Barat 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - 2 A - 2 A - 1 A - 1 B - - - - - - - - - - - - - 7 B - - - - -
Gosong Goni Dalam 3m 10 m Σ U Σ U - - - - - - 1 A - - - - - - 1 A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Gosong-goni Luar 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - 6 B 5 B - - - - - - - - 1 B - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - -
Palue Timur 3m Σ U 10 D -
-
3 20 3 1 1 1 1 -
-
-
-
2 -
8 -
-
-
-
B A C C B B B -
2
B
1
B
4 21 2
B C C
-
-
-
-
-
-
-
2 -
B -
B -
1 3 -
B B -
D -
181
Lampiran 11 lanjutan
No
Jenis
38 39 40
Chromis caudalis Amphiprion clarkia Chromis lepidolepsis Plectroglyphidodon dickii Parapercis hexopthalma Pomacentrus Amboinensis Halichaeres hortulanus Zebrasoma scopus
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Dascyllus trimalatus Chantigaster valencii Pomacentrus smithi Sigarus vulpinus Heniochus varius Heniochus varius Chaetodon trifascialis Neoniphon sammaru Sargocentron cudimaculatum Scolopsis trilineata Epinephelus guoyanus Apogon compressus
Babi Selatan 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - -
Babi Utara 3 m 10 m Σ U Σ U - - 3 A - - 1 A - - - - - - -
Pomana Selatan 3m 10 m Σ U Σ U 1 A - - 2 B 3 A 1 B
Pomana Barat 3m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - -
-
-
-
-
-
-
-
-
1
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 1 -
B A -
13 2 -
A A -
2 2 3 1 3 1 1
A B B A B B B
2
A
1
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 1 2
A A A
Gosong Goni Dalam 3m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - -
Gosong-goni Luar 3m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - -
Palue Timur 3m Σ U -
-
7
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 -
A -
1 2 -
A A -
-
-
-
-
-
-
-
-
2 -
A -
-
-
-
-
-
-
182
Babi Selatan
No 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
Jenis Diproctacanthus Xanthurus Dascyllus aruanus Amblyglyphidoden curacao Amblyglyphidoden curacao Chaetodontoplus mesoleucus Amblyglyphidodon leucogaster Centropyge bicolor Chromis tertanensis Anthias sp Chromis lepidolepsis Thalassoma hardwickii Paracaesio xanthura Paracaesio xanthura Pomacentrus coelestis Abudefdud vaigiensis Pygoplites diacanthus Cheilodipterus lineatus Cabroides dimidiatus Pterocaesio tile Pascyllus reticularus
Babi Utara
Pomana Selatan
Pomana Barat 10 m
3m
3m
10 m
3m
Σ -
U -
Σ -
U -
Σ -
U -
Σ -
-
-
Σ -
U -
Σ -
U -
Σ -
U 29
Σ A
-
-
Σ -
U -
Σ -
U -
Σ -
U -
Σ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 2
B A
-
-
-
-
-
-
-
-
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12
A
-
-
-
-
-
-
-
-
10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
A
-
-
1
B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 -
B -
6 1 1 3
A B B A
-
-
1
B
10
C
1
C -
5
A
-
-
-
-
110 -
B -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
36 2 30 1 1 2 2 -
10 m
B B B B B A C -
1 1
B A
3m
2 -
B -
10 m
Palue Timur 3 10 m m
10 m
-
3m
Gosong-goni Luar
3m
-
10 m
Gosong Goni Dalam
-
1 -
A
A
D -
183
Lampiran 11 lanjutan
No 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Babi Selatan 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - -
Babi Utara 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - -
Pomana Selatan 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - -
Pomana Barat 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - -
Gosong Goni Dalam 3m 10 m Σ U Σ U - 4 A - 1 A - - 30 B
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
B
-
-
-
-
-
-
Ctonochaetus striatus Dascyllus verticulatus Chromus ternatensis Thalassoma hardwickii Scarus tricolor Scarus tricolor
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 -
A -
1 1 1 1 1
B A A B B
-
-
-
-
Halichueres purpureum Caesio pisang Ambliglyphidodon melas Dascyllus reticulates Dascyllus reticulates Chaetodon tritascialis Amblyglyphidodon aureus Plectorhincus orientalis Pterocaesio randalii Pterocaesio randalii Pterocaesio randalii Lutianus deeussatus
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 50 -
B B -
2 2 74 10 1 5 1 1 30 -
B A B B B A B D B -
2
C
Jenis Chromis viridis Chantigaster valencii Cheilodipterus quinquelineatus Apogon cyanosoma
Gosong-goni Luar 3m 10 m Σ U Σ U -
Palue Timur 3m Σ U - - - -
184
Lampiran 11 lanjutan
No 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110
Jenis Lutianus deeussatus Lutjanus tuluiflama Caesio teres Caesio lunaris Lethrinus erythhropterus
Babi Selatan 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Babi Utara 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Pomana Selatan 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Pomana Barat 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Gosong Goni Dalam 3m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Gosong-goni Luar 3 m 10 m Σ U Σ U - - - - - - - - - - - - - - - -
Palue Timur 3m Σ U 8 D 10 D 10 D 10 D 4 D
Scolopsis margaritifer Acanthurus lineatus Dascyllus trimaculatus Chaetodon vagabundus Chaetodon raflesi Chaetodon citrinellus
-
-
-
-
-
-
8 10 10 2 2 2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
D D A B B B
Keterangan: Σ : Jumlah
Di stasiun Pulau Babi Selatan banyak Juvenil, kemungkinan merupakan tempat nursery ground.
U : ukuran
Di stasiun Gosong-goni dalam, pada kedalaman 3 m karang lebih bagus daripada kedalaman 10 m. Dijumpai karang
A = 0 - 10 cm
massive yang besar sekali pada beberapa titik dan dijumpai pasir di beberapa tempat. Pada kedalaman 10 m banyak
B = 10 - 20 cm
karang, tapi banyak juga yang rusak, serta ditemukan binatang pemakan karang (COT) 9 ekor.
C = 20 - 30 cm
Di stasiun Gosong-goni luar, terumbu membentuk dinding terjal. Pada kedalaman > 20 m kondisi karang sangat baik.
D = > 30 cm
Di stasiun Pulau Palue hanya diambil sampel pada kedalaman 10 m.
185
Lampiran 12 Klasifikasi bentuklahan 1 Bentuklahan Asal Struktural (S) No.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan S.01. Pegunungan lipatan (Fold Mountains)0
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Pegunungan lipatan Pegunungan antiklinal Pegunungan sinklinal Pegunungan homoklinal Pegunungan dome Peg. igir strike dome Pegunungan blok sesar Pegunungan sembul (horst) Terban pegunungan blok Gawir sesar peg. blok Faset segitiga peg. blok Pegunungan plato Pegunungan plato karbonat Peg.plato sedimen klastik Pegunungan plato basal Perbukitan lipatan Perbukitan antiklinal Perbukitan sinklinal Perbukitan homoklinal Perbukitan monoklinal Lembah antiklinal Lembah sinklinal Perbukitan dome Igir strike peg. dome Lembah strike peg. dome Perbukitan inti dome Cekungan inti dome Flatiron Perbukitan blok sesar Perbukitan sembul Terban per. blok sesar Gawir sesar perb.blok sesar Faset segitiga perb. blok Flatiron perbukitan blok Perbukitan plato Perbukitan mesa Perbukitan bute Bergantung bentuklahan yg ada pada peg. kompleks S.10.a Bergantung bentuklahan yg ada pada perb. kompleks S.11.a Perbukitan dike S.11.b Perbukitan sill
2.
S.02.
3.
S.03.
4.
S.04.
5.
S.05
6.
S.06
7.
S.07
8.
S.08
9.
S.09
Kode S.01.a S.01.b S.01.c S.01.d Pegunungan Dome S.02.a (Dome mountains) S.02.b Pegunungan blok sesar S.03.a S.03.b S.03.c S.03.d S.03.e Pegunungan plato S.04.a S.04.b S.04.c S.04.d Perbukitan lipatan S.05.a S.05.b S.05.c S.05.d S.05.e S.05.f S.04.g Perbukitan dome S.06.a S.06.b S.06.c S.06.d S.06.e S.06.f Perbukitan blok sesar S.07.a S.07.b S.07.c S.07.d S.07.e S.07.f Perbukitan plato S.08.a S.08.b S.08.c Pegunungan kompleks S.09.a
10.
S.10.
Perbukitan kompleks
11.
S.11.
Perbukitan dike/sill
1.
186
2 Bentuklahan Asal Gunungapi/Vulkanik (V) No. 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan V.01. Gunungapi strato
2.
V.02.
3.
V.03.
4. .
V.04.
5.
V.05
6.
V.06
7.
V.07
8.
V.08
9.
V.09
10.
V.10.
11.
V.11.
12.
V.12.
Kode V.01.a V.01.b Kawah/danau kawah V.02.a V.02.b V.02.c V.02.d Kaldera/danau kaldera V.03.a V.03.b V.03.c V.03.d Kerucut gunungapi V.04.a V.04.b V.04.c V.04.d Lereng gunungapi V.05.a V.05.b V.05.c V.05.d V.05.e Kaki gunungapi V.06.a V.06.b V.06.c Dataran gunungapi V.07.a V.07.b V.07.c Medan lava/lahar V.08.a V.08.b Gunungapi perisai V.09.a V.09.b V.09.c V.09.d V.09.e Gunungapi bocca V.10.a V.10.b Sumbat lava V.11.a (Lava plugs) Leher gunungapi V.12.a (Volcanic necks)
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Gunungapi strato aktif Gunungapi strato tidak aktif Kawah aktif Danau kawah aktif Kawah tidak aktif Danau kawah tidak aktif Kaldera aktif Danau kaldera aktif Kaldera tidak aktif Danau kaldera tidak aktif Kerucut gunungapi cinder Kerucut gunungapi piroklastik Kerucut gunungapi abu vulkan Kerucut parasiter Lereng gunungapi Lereng gunungapi atas Lereng gunungapi tengah Lereng gunungapi bawah Lembah baranco Kaki gunungapi Dataran kaki gunungapi Kipas fluvio gunungapi Dataran gunungapi Dataran fluvio gunungapi Dataran antar gunungapi Medan lava Medan lahar Puncak gunungapi perisai Lereng gunungapi perisai Kaki gunungapi perisai Plato lava basalt Aliran lava basalt Gunungapi bocca Kaki gunungapi bocca Sumbat lava Leher gunungapi
187
3 Bentuklahan Asal Denudasional (D) No. 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan D.01. Pegunungan Denudasional
Skala 1 : 50.000 Kode Nama Bentuklahan D.01.a Peg. Denud. Terkikis kuat (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.01.b Peg. Denud. Terkikis sedang (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.01.c Peg. Denud. Terkikis ringan (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.02.a Perb. Denud. Terkikis kuat (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.02.b Perb. Denud. Terkikis sedang (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.02.c Perb. Denud. Terkikis ringan (bervariasi menurut batuan beku, sedimen dan metamorf) D.03.a Perbukitan sisa (Residual hills) D.03.b Perbukitan terisolir (Isolated hills) D.03.c Perbukitan monadnocks D.03.d Inselberg D.04.a Permukaan planasi D.04.b Dataran nyaris (Peneplains)
2.
D.02.
Perbukitan denudasional
3.
D.03
Kompleks perbukitan sisa dan terisolir (Inselberg/Residual hills)
4. .
D.04.
Permukaan planasi
5.
D.05.
Kipas koluvial dan kerucut koluvial
D.05.a Kipas koluvial D.05.b Kerucut koluvial
6.
D.06.
Lereng Kaki (Footslopes)
7.
D.07.
Dinding Terjal (scarps)
D.06.a D.06.b D.06.c D.07.a
8.
D.08.
Lahan Rusak (Badlands)
D.08.a Lahan Rusak
Lereng kaki rombakan Lereng kaki erosi Piedmonts Dinding terjal
188
4 Bentuklahan Asal Fluvial (F) No.
1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan F.01 Dataran Aluvial (Alluvial Plains)
Kode F.01.a F.01.b F.01.c F.01.d F.01.e F.01.f F.01.g F.01.h F.01.i F.01.j F.01.k F.01.l F.01m F.01.n F.01.o F.01.p
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Dataran Aluvial Dataran Banjir (Flood plains) Cekungan Fluvial (fluvial basin) Rawa air tawar (fresh water swamp) Tanggul alam aktif (Active natural leeves) Tanggul alam tidak aktif (Inactive natural leeves) Rawa belakang (back swamp) Meander Terpenggal (Oxbow) Danau tapal kuda (Oxbow lake) Gosong sungai (sand bar) Gosong sungai lengkung dalam (point bar) Endapan fluvial di luar tanggul (Creavasse splay) Dasar sungai mati (Abandoned river bottom) Dataran lembah isian (Infilled valley plain) Estuari (Estuary) Dataran aluvial pantai (Coastal aluvial plains) Teras Sungai Deposisional Teras Sungai erosional
2.
F.02
Teras Sungai (Fluvial terraces)
F.02.a F.02.b
3.
F.03.
Kipas Aluvial (Alluvial fans)
F.03.a Kipas aluvial aktif Kipas aluvial tidak aktif Gabungan kipas aluvial (pedimen)
5 Bentuklahan Asal Solusional (K) No. 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan K.01 Perbukitan Karst (Karstic hills)
2.
K.02
Kompleks Depresi Karst (Karst Depression complexs)
3.
K.03.
Dataran Aluvial Karst (Karst Alluvial Plains)
Kode K.01.a K.01.b K.01.c K.01.d K.02.a K.02.b K.02.c K.02.d K.03.a K.03.b K.03.c K.03.d
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Perbukitan karst Karst sinoidal Karst kerucut (Cone Karst) Karst menara (Tower Karst) Dolin (Dolines) Uvala (Uvalas) Polje (Poljes) Lembah buta (blind valley) Dataran aluvial karst Dataran aluvial dolin Dataran aluvial uvala Dataran aluvial polje
189
6 Bentuklahan Asal Marin (M) No. 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan M.01 Delta
2.
M.02
3.
M.03
4. .
5.
Rataan pasut (tidal flats)
Kode M.01.a M.01.b M.01.c M.01.d M.01.e M.02.a M.02.b
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt Marsh) Tanggul fluvio deltaik Rawa belakang deltaik Dataran delta Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt marsh)
Kompleks beting gisik M.03.a (Beach ridges complexs) M.03.b M.03.c M.03.d M.03.e M.03.f M.03.g M.04. Dataran Pantai M.04.a M.04.b M.04.c M.04.d M.04.e M.05. Cliff
Gisik (Beach) Beting gisik (Beach ridges) Swale (Swales) Bura (Spit) Tombolo (tombolo) Cuspate foreland Lagun (lagoons) Dataran lempung marin Pelataran laut (Marine Platfoms) Teras marin (Marine terraces) Kompleks kuesta Outlier M.05.a Cliff M.05.b Runtuhan batu cliff M.05.c Pilar laut (Stack)
7 Bentuklahan Asal Angin (A) No. 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan Kode A.01. Gumuk Pasir A.01.a A.01.b A.01.c A.01.d A.01.e A.01.f A.01.g A.01.h A.01.i
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Gumuk pasir normal (hummoky) Gumuk pasir melintang Gumuk pasir sejajar Gumuk pasir bintang (star dune) Gumuk pasir parabola Gumuk pasir sabit (barchan) Gumuk pasir sisir Gumuk pasir gabungan barkhan Blow out hollow
190
8 Bentuklahan Asal Glasial (G) N0 1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan G.01 Glasial Erosional
2.
G.02
Kode G.01.a G.01.b G.01.c G.01.d G.01.e G.01.f G.01.g Glasial Deposisional G.02.a G.02.b G.02.c G.02.d G.02.e G.02.f G.02.g G.02.h G.02.i G.02.j G.02.k
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan Horn Arete Col Truncated spur Tarn Dasar cirqui berombak Dasar cirqui bergelombang Medan firm Drumlin Moraine Dasar lembah Crevasse glacial Dataran Fluvio-glacial Pinggos Kerucut talus glacial Dinding terjal aliran salju Danau-danau kecil glasial Finger lakes (danau glasial menjari)
9 Bentuklahan Asal Organik (O). NO 1
Skala 1: 250.000 Kode Nama Bentuklahan O.01 Terumbu paparan pelataran (platform reef)
Kode O.01.a O.01.b O.01.c
2
O.02
Terumbu paparan dinding (wall reef)
O.02.a O.02.b
3
O.03
4
O.04
5
O.05
Terumbu paparan sumbat(plug reef) Terumbu samudra (Oceanic reef)
O.03.a O.04.a O.04.b O.04.c
Lahan gambut O.05.a (peat land) O.05.b Sumber: F-G UGM & Bakosurtanal, 2000
Skala 1: 50.000 Nama Bentuklahan Terumbu pelataran bergoba (lagoonal) Terumbu pelataran lonjong (elongated) Terumbu pelataran tapulang (resorbed) Terumbu dinding tanduk (cuspate) Terumbu dinding garpu (prong reef) Terumbu sumbat (Plug reef) Terumbu pinggiran (fringing reef) Terumbu penghalang (barrier reef) Terumbu cincin (atoll) Lahan gambut (Peat land) Kubah gambut (Peat dome)
191