Gentur Sudjatmiko DOKTER SPESIALIS BEDAH PLASTIK
1--f------~---p ETU NJ UKP RAKTI S;.___..,\------1
PETUN}UK PRAKTIS ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSJ PENUU S:
Dr. Gent ur Sudjatmiko, SpBP
LAYOUT & DISAIN: PERCETAKAN :
Varna Design Consultancy
Mahameru Offset Printing
ISBN: 978-979-16288-0-8
© 2007 Yayasan Khazanah Kebajikan Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan Edisi 1: 2007
KATA PENGANTAR BISMILLAAHIR-RAHMAANIR-_R AHIIM
Semoga keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan selalu dilimpahkan Allah yang Maha Kuasa pada anda yang membaca. Puji syukur kepada Allah yang telah memberi karunia begitu banyak kepada hamba-Nya sehingga buku ini dapat terwujud. Semoga apa yang kami tuangkan dalam buku ini diperkenankan-Nya. Maksud d ari penulisan BUKU PETUNJUK PRAKTIS ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI ini adalah memberikan kemudahan bagi mereka yang belajar bedah plastik, khususnya residen bedah umum, residen bedah plastik, maupun mahasiswa fakulta s kedokteran. Belum banyak tulisan tentang ilmu bedah plastik di Indonesia dewasa ini, sehingga buku kecil ini diharapkan dapat menjadi jembatan antara pengenalan masalah pasien di klinik, dengan informasi ilmiah dalam buku. Textbook yang relatif tebal dan mahal, sukar untuk dibawa berkeliling antar ruangan di Rumah Sakit, untu k itulah disusun bentuk yang simpel dan penting dari tiap bab dalam buku ini. llmu Bedah Plastik (Rekonstruktif) adalah pengembangan dalam salah satu bidang di ilmu Bedah Umum, dengan fi losof i yang mendasarinya yaitu mengubah bentuk yang tidak normal karena sesuatu hal menjadi mendekati normal, dari segi fungsi maupun penampakannya. Hasil akhir dari perubahan bentuk yang dikerjakan akan dinilai beberapa lama kemud ian setelah bekas lukanya sudah matang. Bedah Plastik sering disebut sebagai spesialisasi yang unik menurut CH Thorne dalam Grabb abd Smith's Plastic Surgery Edisi 6. Dalam buku tersebut McCarthy menyebut spesialisasi Bedah Plastik sebagai "problem solving speciality" yaitu pengerjaan problem pasien yang tidak lagi dilakukan oleh spesialis lain. Apa yang dikerjakan Bedah Plastik t idak terikat pada sistem organ, akan tetapi dia mengerjakan sesuat u dari apa yang ada dan hasilnya dinilai di kemudian hari. Hal tersebut bisa
iii
dianggap mengurangi pekerjaan profesi lain, sehingga konsekuensi seorang plastikus, selain bebas bekerja dia juga mudah bersinggungan dengan disiplin lain, bahkan pekerjaan seorang plastikus sering dikerjakan oleh seseorang yang bukan dokter sekalipun. Untuk hal tersebut, seorang plastikus yang benar akan selalu memelihara kelebi hannya dengan terus mengembangkan teknik dan inovasi barunya. Kelainan yang sering d ijumpai di klinik Bedah Plastik maupun di praktek dokter spesialis Bedah Plastik dibahas satu per satu dalam buku ini, dalam bentuk bahasan per bab sebagai cara untuk mempermudah pemahamannya. Pembahasan tentang penyembuhan luka khususnya pada kulit, sampai skin graft dan penutupan defek menggunakan flap, dikemukakan dalam buku ini. Penulis berharap para pengguna buku kecil ini mendapatkan bekal untuk lebih mengenal ilmu Bedah Plastik khususnya rekonstruktif , sehingga kelak dapat diaplikasikan pada pengobatan penderita.
'·
Masih banyak kekurangan dalam buku ini yang perlu diperbaiki, untuk itu penulis akan menerima kritik dengan senang hati agar penyempurnaan ke depan bisa lebih bermanfaat bagi semua pihak.
Gentur Sudjatmiko
SPESIALIS BEDAH PLASTIK
UCAPAN TERIMAKASIH 1. Kepada Dr. Arief Wicaksono, asi ~ten peneliti yang t elah membantu mempersiapkan naskah dan penget ikan awal Buku Petunjuk Praktis Bedah Plastik ini 2. Kepada Dr. Radi Muharris Mulyana, asisten peneliti yang telah melengka pi naskah sampai selesainya proposal buku ini dicetak Semoga amal baik semua yang telah membantu penulis dibalas dengan berlimpah oleh Allah SWT.
Ami en.
v
DAFTAR ISI
. ' .. ;.,
2 4 12 14 15 23 26 27 30 33
LESI KULIT Neurofibroma Nevus Lipoma Fibroma Kista Ateroma Karsinoma Sel Basal (Basalioma) Karsinoma Sel Skuamosa Melanoma Hemangioma
37 38 40 41 44 45 47 49 51 54
REKONSTRUKSI KELAINAN Dl MUKA Rekonstruksi Kelainan di Muka Noma
59
KELAINAN KRANIOFASIAL Bibir dan Langit-langit Sum bing Sumbing Muka dan Kranial Fraktur Tulang Muka
65 66 71 74
LUKA BAKAR Luka Bakar Kontraktur Akibat Luka Bakar
79
KELAINAN BADAN, GENITALIA, DAN EKSTREMITAS Hipospadia Ulkus Dekubitalis Lesi Kuku: Ingrowing Toenail
91
KEPUSTAKAAN
vi
1
DASAR, PRINSIP & TEKNIK DALAM BEDAH PLASTIK Anatomi Kulit Luka dan Penyembuhannya Keloid Parut Hipertrofik Teknik Dasar Pembedahan Anestesi Lokal Defek Kulit (Kehilangan Kulit/Epitel Ku lit) Skin Graft Flap Bedah Mikro
TUNJUKPR.o\KTJ51lM\J l.lDAH PLASTlK JtEtc.ONSUtUI(SI
60 63
80 88 92 95 99 101
Anatomi Kulit Luka dan Penyembuhannya Keloid Parut Hipertrofik Teknik Dasar Pembedahan Anastesi Lokal Defek Kulit (Kehilangan Kulit/Epitel Kulit) Skin Graft Flap Bedah Mikro
ANATOMI KULIT EPIDERMIS 1. 2. 3. 4.
Berlapis, berkeratin, dan avaskular Stratum korneum : Lapisan keratin yang hampir aseluler Stratum lusidum: Lapisan sel-sel mati tanpa inti sel Stratum granulosum: Sitoplasma mengandung granula yang akan berkontribusi dalam pembentukan keratin
5. Stratum spinosum: Desmosom menghubungkan sel-selnya sehingga tampak seperti duri 6. Stratum germinativum (l apisan basal) a. Hemidesmosom menghubungkan sel-sel basal dengan membran basal b. Melanosit menghasilkan melanin, yang akan difagosit oleh keratinosit di sekitarnya.
DERMIS 1. Papila dermis: lapisan tipis superfisial yang terdiri atas jaringan vaskular long gar 2. Retikula de rm is: lapisan tebal yang lebih dalam, kurang vaskular 3. Mengandung fibroblas, adiposit, makrofag, kolagen, dan substansi dasar 4. Terdapat kelenjar keringat, folikel rambut, kelenjar sebasea, ujung saraf, dan pembuluh darah 5. Pembuluh darah berasal dari aa. perforator ke luar dari otot menembus fascia atau langsung sebagai pembuluh arteri kulit direkta.
ADNEKSA A. Folikel Rambut 1. Adanya pertumbuhan sel-sel epidermis ke dalam jaringan dermis dan subkutan di sekeliling rambut 2. Kelenjar sebasea yang berdekatan bersekresi ke folikel rambut
3. Dipertahankan pada thick split-thickness skin graft; dapat mengubah diri menjadi epitel kulit permukaan. B. Kelenjar ke rin gat ekrin
1. Struktur sekretori, bentuk kumparan pada jaringan subkutan, dengan satu saluran yang menuju permukaan 2. Berkurang atau tidak ada pada skin graft, sehingga kulit menjadi kering; ada pada kulit hasil skin graft.
2
N
K ll1tA
ILM
MDAH P' A
IK UKON
RUKS
GAMBAR 1. PENAMPANG KULIT, terdiri atas:
Stratum Korneum, (2 ) Epidermis, (3) Papila Dermis, [4) Kelenjar Sebasea, (5) Folikel Rambut, (6) Pleksus Papila Dermis, (7) Arteri Kutaneus Direkta, (BJ A. Perforator yang menghidupi satu area, [9] Fascia dan Otot, [10) Kelenjar Keringat, [11) Korpus Paccini (1 )
C. Kelenjar keringat apokrin 1. Ditemukan di d aerah aksila dan inguinal 2. Bersekresi ke folike l rambut
3. Aktif saat pubertas. D . Semua struktur adne ksa menjadi sumber epitelisasi pada luka dengan kehilangan sebagian ketebalan kulit partial-thickness.
KOLAGEN PADA KULIT A. Terdapat 13 tipe, dengan tipe predominan sebagai berikut: 1. Tipe 1: kulit , tendon, d an parut yang matang (4:1 tip e 1-11 1) 2. Tipe II : Tulang rawan
3. Tipe Ill: Pembuluh darah dan parut yang belum matang 4. Tipe IV: membran basal
}· B. Terdapat prokolagen yang merupakan ranta i asam amino tunggal C. Tropokolagen adalah tiga rantai prokolagen dihubungkan oleh ikatan disulfida, membentuk triple helix 1. Disekresi sel, dan bergabung membentuk filamen
2. Filamen b ergabung mem bentuk fibri l, yang kemud ian bergabung membentuk serat D. Vitamin C (asam askorbat): koenzi m dalam hidroksilasi prolin dan lisin, yaitu asam-asam amino yang membant u cross-linking ko lagen.
LUKADANPENYEMBUHANNYA PENYEMBUHAN LUKA NORMAL PENUTUPAN LUKA I. Penutupan primer: luka ditutup segera setelah ada luka. II. Penutupan primer tertunda 1. Luka dibiarkan terbuka beberapa hari (sampai 3 hari) sebelum ditutup 2. Mengurangi risiko infeksi pada luka yang terkontaminasi berat, pada luka yang tidak mampu dilakukan debridement dengan baik, atau karena perdarahan yang tidak dapat dikuasai. Ill. Penutupan sekunder Luka menutup sendiri setelah ada epitelisasi dari samping Sesuai untuk luka yang terinfeksi atau terkontaminasi Memungkinkan drainase eksudat Memungkinkan debridement saat penggantian penutup luka Proses inflamasi yang diperpanjang, meningkatkan terjadinya parut dan kontraktur. IV. Penutupan pada kehilangan epitel kulit misalnya pada luka bakar derajat 2 atau luka donor split thickness skin graft. V. Penutupan luka dari I sampai IV dikenali dengan keringnya bekas luka, karena telah ada epitel yang menutupi luka tersebut. Luka biasanya mengering antara 7 hari sampai beberapa minggu. Luka yang kering bukan berarti sembuh, yang dimaksud dengan sembuh adalah bila telah melalui ;.., proses remodelling antara 6 bulan sampai 1 tahun, bahkan bisa mencapai 2 tahun lamanya. VI. Luka telah benar-benar sembuh apabila dijumpai hal-hal sebagai berikut: 1. Gatal sangat berkurang 2. Warna kemerahan tidak ada lagi 3. Lebih rata dan menipis 4. Bila ditekan teraba lunak. 1. 2. 3. 4. 5.
FASE PENYEMBUHAN LUKA A. Fase lnflamasi 1. Dimulai saat mulai terjadi luka, bertahan 2 hingga 3 hari 2. Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis (efek epinefrin dan tromboksan) 3. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan, sehingga terjadi deposisi fibrin
4
4. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor B (TGF-B) dari granula alfa, yang menarik sel-sel inflamasi, terutama makrofag 5. Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas pembuluh darah meningkat (akibat histamin, platelet-activating factor, bradikinin, prostaglandin 12, prostaglandin E2, dan nitrit oksida), membantu infiltrasi sel-sel inflamasi ke daerah luka 6. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu debridement 7. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari 8. Sejumlah kecil limfosit juga memasuki luka, akan tetapi perannya tidak diketahui 9. Makrofag menghasilkan PDG F dan TGF- B, akan menarik fibroblas dan merangsang pembentukan kolagen .
B. Fase Proliferasi 1. Dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan bertahan hingga minggu ke-3 2 . Fibroblas: ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF- B: memasuki luka pada hari ke-3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7 3. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe Ill), angiogenesis, dan epitelisasi 4. Jumlah kolagen total meni ngkat selama 3 minggu, hingga produksi dan pemecahan kolagen mencapai keseimbangan, yang menandai dimulainya fase remodelling.
C. Fase Remodelling 1. Peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung selama 6 bulan hingga 1 tahun 2. Kolagen tipe I menggantikan kolagen ti pe Ill hingga mencapai perbandingan 4:1 (seperti pada kulit normal dan parut yang matang) 3. Kekuatan luka meni.ngkat sejalan dengan reorganisasi kolagen sepanjang garis tegangan kulit dan terjadinya cross-link kolagen 4 .. Penurunan vaskularitas 5. Fibroblas dan miofibroblas menyebabkan kontraksi luka selama fase remodelling.
PENYEMBUHAN Dl JARINGAN TERTENTU A. Kulit 1. Selain pembentukan jaringan penyambung dan kontraksi luka, terjadi epitelisasi.
2. Selapis sel tumbu h dari tepi luka (dan struktur adneksa pada luka
partial-thickness). kemudian me~bentuk lapisan-lapisan setelah lapisan pertama lengkap. 3. Luka partial-thickness mengalami re-epitelisasi selama satu hingga beberapa minggu, bergantung pada keda laman luka dan banyaknya struktur adneksa yang t ersedia. 4. Bila epitelisasi menjadi lebih panjang, misal nya pada penyembuhan sekunder atau pada luka partial-thickness yang dalam atau pada luka bakar, fase inflamasi bertahan lebih lam a sehingga produksi kolagen dan kontraksi luka meningkat, akhirnya menjadi parut hipertrof ik.
B. Tulang 1. Pada lokasi fraktu r t erjadi fase inflamasi dengan adanya invasi neutrofil dan makrofag 2. O steoinduksi: sel-sel prekursor di endosteum, periosteum, dan jaringan sekitarnya menjadi osteoblas 3. Osteokonduksi: Osteoblas memasuki daerah fraktur 4. Pembentukan kalus yang mengandung fibroblas, osteoblas, dan sel-sel lainnya 5. Kondroblas menghasilkan substansi dasar, f ibroblas menghasilkan kolagen, dan ost eob las menghasilkan hidroksi apatit 6. Aposisi tulang dan penulangan endokondral terjadi 7. Pad a awalnya kalus terdiri atas anyaman tulang yang tidak terorganisir, kemudi<;m terjadi remodelling oleh osteoklas dan osteoblas menjadi ·tulang lamelar 8. Semakin fraktur t erfiksasi kaku d an tereduksi, pembentukan kalus dan osifikasi endokondral semakin sedikit , penyembuhan selanjut nya berlangsung terutam a dengan aposisi 9. Setelah remodelling selesai, struktur tulang yang telah menyembuh sama dengan tulang normal, tanpa parut pada tu lang.
C. Tendon 1. Tendon mengalami penyembuhan melalui kombinasi dua mekanisme, yaitu penyembuhan intrinsik dan ekstrinsik. 2. Penyembuhan int rinsik: a. Fase inflamasi minimal b. Sel-sel epit enon berpindah ke lokasi cedera dan mulai menghasilkan kolagen, seperti fi broblas c. Penyembuhan int rinsik meningkat dengan adanya pergerakan tendon.
6
3. Penyembuhan ekstrinsik a. Terjadi fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling b. Setelah hemostasis, sel-sel inflamasi memasuki luka c. Fibroblas tertarik dan menghasilkan kolagen, yang kemudian mengalami remodelling d. Terjadi adhesi antara daerah yang cedera dengan daerah sekitarnya, dan berfungsi sebagai jalur migrasi sel dan revaskularisasi e. Adhesi yang terjadi pada penyembuhan ekstrinsik meningkat dengan imobilisasi.
D. Saraf 1. Akson di distal cedera akan difagosit oleh makrofag dan sel Schwann (terjadi degenerasi Wallerian) 2. Akson proksimal menghasilkan satu atau lebih serat regenerasi bermielin dengan pusat pertumbuhan pada ujung masing-masing serat, secara keseluruhan serat regenerasi tersebut disebut unit regenerasi saraf 3 . Unit regenerasi tumbuh ke arah distal, diarahkan oleh faktor-faktor kimiawi lokal.
E. Hati 1. Hati adalah satu-satunya organ dewasa yang mengalami regenerasi 2 . Seluruh sel di hati, termasuk hepatosit, sel bilier, dan sel-sel lainnya, terlibat dalam menciptakan kembali susunan hati yang normal secara histologis tanpa terbentuk parut 3. Parut (sirosis) terjadi pada kerusakan kronik atau parah.
KARAKTER MEKANIK A. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi dan proliferasi) B. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling C. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam beberapa minggu setelahnya D. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan E. Kekuatan maksimal adalah 7 5% dari jaringan biasa.
PENYEMBUHAN LUKA PADA JANIN A. Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada dua trimester pertama.
t'ETVNJIJK '"AKns ILMU I! OAt< •I.ASTII( oti!Y.ONSTitl!!<.
7
B. Banyak aspek jaringan pad a jan in dan lingkungan yang dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut 1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steri l 2. Cairan amnion mengandung faktor pertumb uhan d an molekul matriks ekstrasel 3. Fase inflamasi minimal, makrofag d iduga seb agai sel pengorgan isasi utama upad a proses penyembuhan fetus 4 . Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus, meski maknanya t idak diketahui.
GANGGUANPENYEMBUHANLUKA FAKTOR LOKAL A . lnsufisiensi arteri 1. lskemia lokal menyebabkan terha mbatnya produksi kolagen dan terjadinya infeksi 2. Pemeriksaan ankle-b rachial index harus dila kukan pada pasien dengan luka d i tungkai b awah dan pada pasien dengan risiko insufisiensi vaskuler 3. Koreksi kelainan yang mendasari iskemi dengan graft pintas atau penggunaan stent sebelum penyembuhan cedera iskem ik dapat berlangsung. B. lnsufisiensi vena 1. Peningkat an t ekanan vena menyebabkan ekstravasasi protein dan :.,
'mengurangi d ifusi oksien 2. Penl ngkat an t ekanan vena dapat menyeb abkan edema. C. Edema 1. Menyebabkan iskemi dengan cara meningkatkan volume ekstrasel, mengurangi d ifusi dan konsentrasi oksigen 2. Penting untuk melakukan kompresi dan elevasi untuk menghindari edema . D . lnfeksi lnfeksi in vas if terjadi bila kuant itas bakteri lebih dari 10 5 per gram jaringan a. Penyembuhan terganggu akibat berbagai mekanisme, termasuk peningkatan pemecahan kolagen dan berkurangnya epitelisasi b. Pembentukan parut hipertrofi meningkat
c. Penutupan menggunakan g raft at au f lap sulit berhasil d. Luka terinfeksi yang terbuka harus d itangani dengan antibiotik yang tepat dan dilakukan debridemen hingga konsent rasi bakteri ku rang dari 105 sebelum .
8
lK RE
NSTRU
FAKTO R SISTEMIK A . Diabetes me llitus 1. Gangguan mikrovaskular dan makrovaskular yang berhubungan dengan
diabetes mellitus dapat menyebabkan iskemi lokal 2. Hemoglobin terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen lebih tinggi dari normal, sehingga pengantaran oksigen terganggu 3. Fungsi neutrofil terganggu, sehingga kemungkinan mendapat infeksi meningkat 4. Neuropati perifer menyebabkan peningkatan lama dan kuat tekanan pada jaringan karena sinyal untuk mengurangi nyeri dan tekanan berkurang atau tidak ada 5. Bila luka memiliki vaskularisasi yang memadai dan gula darah terkendali (<180 mg/dl), luka operasi pada pasien diabetes dapat sembuh secara baik. B. M alnutrisi
1. Persediaan protein cukup penting pada penyembuhan luka a. Kadar albumin normal lebih dari 3,5 'g/dl b. Usia paruh albumin adalah 20 hari, sehingga tidak menggambarkan perubahan nutrisi protein akut c. Pengukuran kadar prealbumin lebih baik untuk mengetahui perubahan nutrisi protein akut karena usia paruhnya lebih singkat (2-3 hari) d. Kadar prealbumin kurang dari 17 g/dl (normal 17-45) menandakan adanya malnutrisi protein 2. Orang dewasa sehat tanpa luka memerlukan 35 kcal per kg per hari untuk mempertahankan berat badan, dan memerlukan 0,8-2 gram protein per kg per hari 3. Kebutuhan kalori dan protein meningkat pada penderita luka kronik, cedera yang luas, dan luka bakar 4. Secara umum penutupan luka kronik tidak boleh dilakukan kecuali kadar albumin pasien sudah normal. C. D efisiensi vitamin dan mineral
1. Vitamin C, Cu, zat besi, tiamin, dan zinc penting dalam penyembuhan luka 2. Pemberian suplemen vitamin atau mineral jarang diperlukan dan tidak memperbaiki penyembuhan luka kecuali jika diketahui ada defisiensi yang spesifik a. Defisiensi vit amin C menyebabkan skorbut, dan gangguan penyembuhan luka karena berkurangnya cross-linkin g kolagen
b. Tidak ada bukti bahwa pemberian vitamin C meningkatkan penyembuhan luka pada pasien tanpa skorbut 3. Pemberian vitamin A dapat menguntungkan meski tanpa defisiensi. Pemberian vitamin A baik secara oral maupun topikal (bersama dengan antimikroba topikal) dapat mengurangi beberapa efek merugikan glukokortikoid pada penyembuhan luka. D. Kemoterapi 1. Dengan menghambat kemampuan sumsum tulang untuk menghasilkan
sel-sel inflamasi, fase inflamasi pada penyembuhan luka terhambat 2. lnfeksi luka juga meningkat. E. Merokok 1. Merokok meningkatkan karboksihemoglobin, sehingga mengurangi
pengantaran oksigen ke jaringan perifer 2. Nikotin, termasuk patch dan permen karet nikotin, menyebabkan vasokonstriksi perifer 3. Nikotin dapat menghambat penerimaan flap dan skin graft, di mana sangat dibutuhkan vaskularisasi 4. Agar hasil optimal, pasien harus berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum pembedahan dan tidak merokok hingga luka sembuh 5. Kadar kotinin pada urin dapat diukur praoperasi untuk melihat kepatuhan pasien.
:•
F. Penuaan 1. Berkurangnya fase inflamasi pada orang tua menghambat p roses penyembuhan 2. Baik kulit yang sehat maupun luka berkurang kekuatannya 3. Penuaan saja tidak menghambat penyembuhan luka, tapi dapat berkontribusi pada gangguan penyembuhan luka bila dikombinaiskan dengan faktor lainnya
4. Mengingat fase inflamasi berkurang, parut hipertrofik jarang terjadi.
G. Glukokortikoid 1. Menghambat fase inflamasi pada penyembuhan luka 2. Menghambat sintesis kolagen oleh fibroblas, mengakibatkan berkurangnya kekuatan luka 3. Penyembuhan dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin A.
10
I
LUKA KRONIK I.
Luka kronik adalah luka yang tidak menyembuh dalam waktu kurang lebih
3 bulan, contohnya adalah ulkus dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka traumatik atau luka operasi lama II. Penatalaksanaan: A. Debridement yang adekuat: luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan B. Penanganan infeksi: 1. Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi 2 . Kultur jaringan dan perhitungan kuantitatif sebaiknya dilakukan C. Penutupan luka yang baik 1. Desikasi adalah faktor yang seringkali menyebabkan gangguan penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik 2. Penutup luka harus dapat menjaga luka tetap lembab dan tidak terjadi desikasi 3. Penutup luka produk dari pabrik juga dapat digunakan untuk melakukan debridement, memberikan antibiotik, atau menyerap eksudatsesuai keadaan luka. D. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat penyembuhan luka, misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan lokal, dan gravitasi. E. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC) 1. VAC adalah suatu pendekatan noninvasif yang bertujuan membantu penutupan luka melalui pemberian secara topikal tekanan subatmosferik atau tekanan negatif ke permukaan luka 2. Mekanisme kerja VAC adalah mengurangi eksudat, merangsang angiogenesis, mengurang i kolonisasi bakteri, dan meningkatkan pembentukan jaringan granulasi 3. Keuntungan menggunakan VAC adalah kita dapat menutup luka dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil dapat epitelisasi sendiri.
~
11
KELOID DEFINISI Keloid adalah jaringa n parut yang tumbuh melebihi area luka/ cedera pada kulit yang menyembuh. Keloidosis adalah keloid multi pel atau pertumbuhan berulang keloid meski tidak pada tempat yang sama .
ETIOLOGI Dapat timbul pada luka/ cedera pada kulit, pada pembedahan, luka traumatik, daerah vaksinasi, terbakar, cacar, jerawat atau goresan kecil sekalipun. Terdapat peran growth factor pada pembentukan keloid, yaitu peningkatan kadar TGF-B.
INSIDEN Lebih sering pada wanita muda dan ras afroamerika. Kebanyakan awalnya berbentuk datar dan kurang diperhatikan selama beberapa tahun/ periode awal keloid. Risiko terjadinya keloid pada kulit berwarna 15x daripada kulit putih. PREDILEKSI Predileksi pada dada, deltoid dan lobulus telinga. lritasi karena garukan atau gesekan baju, bisa memperluas keloidnya. Paparan matahari selama tahun pertama pembentukan ke loid menyebabkan warna lebih gelap pada daerah sekitarnya di kulit. Warna gelap dapat menjadi permanen. TANDA & GEJALA Pada lesi kulit: warna keloid seperti otot, kemerahan atau merah muda. Berbentuk nodular atau berkelompok. Dapat gatal dan nyeri selama pertumbuhannya. Benjolannya lebih besar dari luka awal sehingga :., berbentuk seperti bunga kol.
PEMERIKSAAN Diagnosis berdasarkan penampakan pada kulit atau bekas luka. Biopsi kulit bisa diperlukan untuk menyingkirkan kelainan pertumbuhan kulit la innya (tumor).
GAMBAR2. [KIRIJ KELOID RESIDIF di dada perlu dikecilkan dengan operasi [KANAN] Setelah operasi pengecilan massa d ilanjut kan terapi kombinasi lainnya, bisa dipilih injeksi steroid intralesi, krim anti keloid, salep steroid, lembar silikon, atau penekanan.
12
PAA
llM 8
A "LA: K A
ON
•
GAM BAR 3. Penatalaksanaan keloid pada daun telinga dengan melakukan eksisi intralesi dan dilanjutkan krim anti keloid sebagai kombinasi. Pada kasus ini sukar dilakukan penekanan ataupun pemakaian lembar silikon pada permukaan yang tidak rata dan tipis. Suntikan steroid intralesi juga dapat diaplikasikan, dengan tidak terlalu sa kit pasca pengecilan benjolannya.
MANAJEMEN •
•
Dapat dikecilkan ukurannya dengan pembedahan, setelah itu diberikan salep anti keloid selama 2-3 bulan (Gambar 2 dan 3). Atau dapat dilanjutkan dengan injeksi kortikosteroid lokal. Pada keloid yang besar dapat dikombinasi dengan radiasi. Keloid bisa muncul kembali setelah pembedahan. Perubahan warna karena paparan matahari dapat dicegah dengan 'patch atau bandage' atau penggunaan tabir surya (sun block) ketika aktivitas siang hari/di luar ruangan. Perlindungan sekurangnya 6 bulan setelah pembedahan pada orang dewasa atau sampai usia 18 tahun pada anak.
PROGNOSIS •
•
Bukan hal berbahaya secara medis, namun dapat berefek pada penampilan. Pada beberapa kasus dapat mengecil sendiri namun dapat juga bersifat permanen. Pada pembedahan dapat menimbulkan bekas luka keloid lebih besar sehingga operasi pengecilannya dengan menyayat bukan pada kulit yang normal. Perlu ditekankan pada pasien bahwa terapi kombinasi lebih memberi harapan pada hasilnya.
KOMPLIKASI Gangguan psikologis dapat terjadi jika keloid besar dan menonjol atau tampak jelas, rekuren. Pasien juga dapat merasa tidak nyaman.
13
PARUT HIPERTROFIK DEFINJSI Pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak melebihi batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai ukuran tertentu dan kemudian st abil atau mengecil karena proses pertumbuhannya berhenti/matur.
ETIOLOGI Parut hipertrofik dihubungkan dengan penyembuhan luka yang tidak normal misalnya tegangnya tepi luka ketika dit autkan, adanya infeksi, benang jahit ya ng mengiritasi, epitelisasi yang terj adi lama set elah kehilangan lapisan. k~lit (seperti pada luka bakar).
TANDA Parut Iebar yang menebal, tampak tid ak baik dan dapat mengganggu rasa percaya diri pasiennya.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan dibawah mikroskop memberi hasil minimal, sehingga tampilan klinis serta pengamatan pertumbuhannya lebih penting.
MANAJEMEN Parut hipertrofik biasanya membaik dengan terapi . lnjeksi intralesi 5-FU atau kortikosteroid aman dan efektif pada terapi dan pencegahan parut hipertrofik. Terapi dapat dilanjutkan dengan menggunakan penutup silikon dan dilakukan penekanan selama 6 bulan atau lebih, kadang tidak d iperlukan sesuatu yang khusus pasca pembedahan (Gam bar 4).
GAMBAR4.
[KIRI) PARUT HIPERTROFIK pasca luka bakar, tampak seperti keloid pada awalnya. [KANAN) Pasca eksisi 3 minggu, ternyata tidak kambuh, demikian pula pada kontrol 1 tahun.
14
'UN
K l'1tAKTIS SLM If DAti PLA5nK 116. NSTAUilSI
TEKNIK DASAR PEMBEDAHAN Teknik dasar pembedahan yang dikemukakan adalah teknik pada kulit dan jaringan lunak, yaitu: 1. Eksisi lesi kulit 2. Penutupan luka pada kulit dengan penjahitan.
EKSISI LESI KULIT Membuat parut yang halus Tampilan akhir parut bergantung pada: a. Tekn ik atraumatik b . Teknik menjahit, khususnya pada lapisan dermis yang menggunakan benang yang diserap lama atau yang tidak diserap sama sekali c. Eversi tepi luka waktu menutup d. Penempatan parut sesuai arah garis kulit. Tekni k Atraumati k Pentingnya penanganan jaringan secara hati-hati Konsep yang digunakan adalah memanipulasi kulit dan jaringan subkutan yang secara histologis t idak mencederai sel atau jaringan ikat Meminimalkan trauma: pisau, gunting, jarum, hak yang tajam, serta jahitan dengan ukuran benang dan jarum yang tepat Posisi operator dan asisten diatur untuk mengurangi tremor, hal ini dapat membantu hasil yang atraumatik. Penempatan parut sesuai arah garis kulit; Parut akan lebih tidak terlihat, jika: Garis parut yang tipis (hasil dari perencanaan eksisi atau insisi yang baik) Mengikuti garis kulit bertegangan rendah/Re/axed Skin Tension Line (RSTL).
GARIS KONTUR
LINES OF DEPENDENCY (Garis akibat Gravitasi)
GARIS KERUT AKIBAT KONTRAKSI OTOT
Ga• s pembag: pada pertemuan b1dang tubun. ditemuk.:m pada pertemuan pipi-tel111g,1, kul:t kepala telinga, g,1ns kul>t vermd:on (Vermilion Cutaneous Lmc). dan sebaga1nya
D:!cmukan pada orang yang ~eb:h tua ak1bat gaya gravitdSI yang bckerja pada v~ringan kulit dan jeringan lemak (Turkey Gobbler Fold), contoh. rnenggelambirnya kul1t leher pada lak>-lak1 yang sangat tua
Umumny<~ terletilk tegak lurus dengiln surnbu panjang otot d1 bawahnya, disebabkan pengerutan yang rnenyerta1 kontraks> otot di bawahnya
PETUNJUK PRAK'Tts t~ BEDAH P"owASTIIC REKONSTMJ
15
GAMBAR 5. Garis
kerut pada kulit muka orang tua.
Hal-hal yang mempengaruhi parut dan t idak dapat d iu bah a. Usia (Gambar 5) b. Regio pada tubuh c. Tipe kulit d . Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan komplikasi e. Sekitar persendian.
Regio tubuh • Parut pada kelopak mata, telapak tangan, vermilion, serta mukosa lebih tidak tampak :..,. • Daerah risiko tingg i untuk parut yang jelek yaitu daerah sternal wan ita, (butterfly-shaped keloid), deltoid, dan lobulus. Panjang parut • Semakin kecillukanya, semakin kecil parutnya • Penempatan parut yang lebih panjang pada garis ke rut lebih dipi lih karena dapat menyamarkan • Hati-hati bila melakukan insisi panjang pada permukaan yang bersendi Parut bentuk U Tampak buruk, pada proses penyembuhan akan berkerut dan tampak sebagai lekuk yang m engelilingi kulit yang mencembung, sehingga mengganggu penampilan. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan z-plasty di bagian tengah parut.
Tipe kulit Kulit yang tebal dan berminyak banyak mengandung kelenjar sebasea yang hipertrofi dan hiperaktif. Luka pada jenis kulit tersebut akan menyembuh dengan parut jelas tampak dan melekuk ke dalam (cekung). Sering dijumpai pada puncak hidung.
Gangguan penyembuhan kulit dan parut yang terbentuk • Pada kelainan biosintesis jaringan fibrosa dan jaringan elastik dapat terbentuk parut yang menjadi Iebar • •
Penyakit yang mendasari harus diketahui sebelum operasi Pada sindrom Ehlers-Danlos, kulit menyembuh secara lambat dengan parut yang Iebar.
Metode Eksisi
a. Lesi dapat diangkat dengan membuat eksisi elips, baji, atau lainnya b. Disesuaikan dengan karakteristik kerutan dan penuaan kulit (Gam bar 5) c. Kulit diregangkan menggunakan ibu jari dan telunjuk sewaktu insisi. Eksisi elips sederhana (Gambar 6) • Digunakan untuk mengangkat lesi kulit tidak terlalu besar • Sumbu panjang elips ditempatkan sejajar garis kerut, garis kontur, atau lines
•
of dependency Sumbu panjang 4 kali lebih panjang dari sumbu pendek, bila terlalu pendek maka akan terbentuk 'dog ear', yaitu tonjolan seperti telinga anjing pada kedua ujung parut
o---o GAM BAR 6. IKIRIJ EKSISJELIPS DAN PENUTUPANNYA. Membuat eksisi elips dengan sudut minimal 30 derajat (atau panjang:lebar=4:1) akan memungkinkan penutupan yang baik. !KANAN] Eksisi elips yang terlalu pendek dibanding lesinya akan menyulitkan penutupan, sehingga terbentuk dog ears. Garis putus-putus menunjukkan cara menutup dog ears.
PET NJUt( -.m5 ILMU IIE.DAIHU.S
IIU:ON IIIJ
17
GAMBAR 7. [KIR I[ Lokasi eksisi baji pada muka. [KANAN) Eksisi Sirkuler dan penutupannya.
Teknik Eksisi Multipel pada satu lesi (Eksisi Serial) • Dapat diterapkan pada lesi kulit misal d i tung kai • Secara teoritis kulit yang mendapat tegangan akan me leba r dalam beberapa bulan • Digunakan pada kulit yang tidak tumbuh ram but • Diperlukan prosedur yang direncanakan dengan baik dan dimengerti pasien • Hasil akhir diha rapkan berupa satu garis lurus saja. Eksisi Baji (Gam bar 7) Lesi pada lokasi atau daerah yang berdekatan dengan tepi kulit bebas, misalnya bibir, tepi nostril, kelopak mata, telinga, bibir bawah dapat dieksisi dan ditutup dengan menjahit primer Eksisi sirkuler • Bila lesi di wajah berdekatan misalnya dengan tulang rawan di bawahnya sehingga tidak bisa ditutup primer. • Setelah penga ngkatan lesi kulit yang besar pada suatu bag ian tubuh. Penutupan defek setelah eksisi sirku ler: • Flap kulit lokal • Sliding subcutaneous pedicle skin flaps • Two triangular subcutaneous pedicle flap
18
GAMBAR 8. lnstrumen Eksisi Lesi Kulit.
• • •
Penutupan defek segitiga menggunakan teknik V-Y (Gambar 7) Flap transpos isi lokal (hati-hati menggunakan f lap ini pada wajah) Tissue ekspansion atau f lap rotasi dapat bermanfaat.
TEKNIK OPERASI UNTUK EKSISI LESI KULIT lnstrumen Gunakanlah gunting yang tajam, bilah pisau yang dapat dilepas,
jarum yang tajam, pemegang jarum yang berujung halus, dan pinset berujung kecil bergigi. Teknik insisi: lnsisi elips dan insisi baji.
METODE HEMOSTASIS Elektrokauter
• • •
Arus listrik frekuensi tinggi, dengan am per relatif t inggi dan voltase rendah Metode yang efektif untuk melakukan hemostasis pada pembuluh darah kecil dan sedang Dapat meminimalkan trauma dan meningkatkan kecepatan operasi.
Ligasi
Ligasi pembuluh darah menggunakan benang tipis misalnya 5.0 (baca lima nol)
19
·,
yang tidak diserap, monofilamen atau yang diserap sekitar 2 bulan. Penekanan dengan balutan • Penekanan luka terus ·menerus dapat mengendalikan kebocoran kapiler dengan efektif • Penekanan dilakukan hingga terjadi koagu lasi (+ 5 menit) • Untuk mencegah perdarahan pada daerah yang aktif berdarah, skin graft dapat dilakukan setelah penekanan 24-48 jam (delayed skin grafting). Vaso konstriktor • Epinef rin dapat bekerja baik wa lau diencerkan hingga 1 :500.000, tunggu selama +7 menit baru menyayat • Epinef rin topikal (1:1 00.000) pad a luka terbuka mengg unakan spons yang lembab untuk mengurangi perdarahan dari pembuluh darah kecil • 5emakin lama kerja vasokonstriktor, kemungkinan cedera iskemi semakin luas.
PENUTUPAN LUKA PADA KULIT Luka dapat d itutup menggunakan jahitan, plester kulit steril, klip kulit, atau perekat luka. Jahitan Tipe benang jahit: diserap dan tidak diserap.
EPIDERMIS
DERM IS
LEMAK
GAM BAR 9. [KIRIJ JAHITAN SUBKUTIS untuk mencegah terjadinya dead space. [KANAN) JAHITAN DERMAL DALAM d ianjurkan digunakan sebelum menjahit kulit dari sisi luar, untuk melawan regangan sampai luka matur. Perhatikan arah memasukkan jarum.
20
Benang jahit diserap
• • • •
Dibuat dari kolagen, asam poliglikolat, atau polidioksanon Digunakan di bawah permukaan untuk menutup lapisan subkutan atau untuk memperbaiki mukosa Lebih menguntungkan, tak perlu membuka, asalkan diletakkan pada lapisan kulit sebelah dalam
•
Benang jahit d iserap yang sering digunakan adalah asam poliglikolat Plain catgut diserap lebih cepat Dexon dan Vycril dapat direntangkan hingga membentuk benang
• •
kemudian dipilin membentuk benang jahit, lebih kuat daripada catgut Dexon memiliki daya ikat selama 30 hari, dan diabsorbsi dalam 90 hari Vicryl, memiliki daya ikat selama 32 hari, diabsorbsi dalam 70 hari.
•
Benang jahit tak diserap • Benang jahit sintetik (nilon, dacron, atau polipropilen)
•
•
Benang jahit dari logam (stainless stee~ Staples stainless steel.
Faktor yang menentukan kualitas bekas jahitan pada kulit: • Lamanya benang jahit berada pada tempat jahitan
• • • • •
Tegangan jahitan Hubungan benang jahit dengan tepi luka apakah inert atau reaktif Lokasi pada tubuh, misalnya dekat sendi lnfeksi Kecenderungan pembentukan keloid
• • •
Benang jahit yang ada di bawah kulit Eversi tepi luka Penutupan tepi luka dengan ketebalan berbeda.
TEKNIK OPERASI UNTUK MENJAHIT LUKA PADA KULIT Metode menjahit luka (Gambar 10) • Jahitan satu-satu. Metode ini sering digunakan dan aman • Jahitan matras vertikal. Tujuannya untuk mempertemukan sebanyak· mungkin tepi luka. Jangan d igunakan pada tepi yang tegang • Jahitan matras horizontal • Jahitan matras horizontal setengah terbenam. Digunakan bila tidak menginginkan bekas pada salah satu sisi luka. Jarang digunakan • Jahitan jelujur subkutikular. Bertujuan menghindari bekas jahitan yang tampak tebal, dan agar tidak perlu membuka atau mengangkat jahitan • Jahitan karung. Bertujuan untuk cepat menyelesaikan tindakan .
21
Simpul
• • • •
Menggunakan needle holder untuk _mengikat simpul Yang sering digunakan adalah square knot dengan tambahan half knot Harus hati-hati dalam menempatkan awalan square knot Ikat setidaknya 5 kali simpul pada jahitan catgut, pada asam poliglikolat 4 kali.
Perekat Jaringan Masih belum banyak digunakan pada manusia karena tidak mentautkan dan memegang lama kedua tepi dermis.
Jahitan satu-satu
Jahltan matras vertlkal
Jahitan matras horizontal
Jahitan karung
Jahitan jelujur subkutikuiar
Jahltan matras horizontal setengah terbenam
GAMBAR 10. Teknik operasi untuk menjahit luka pada kulit
22
N
KP
I MU BEPAH PLASTiK REKONSTR\IKSI
ANASTESI LOKAL SIFAT KIMIA A. Molekul zat anestesi lokal terd iri atas bagian aromatik lipofilik, rantai intermediate yang terdiri atas este r atau amid, dan bagian amin hidrofilik. Berdasarkan jenis rantai intermediate nya, zat anestesi lokal dibedakan menjadi jenis amino amid dan amino ester. B. Zat anestesi lokal ya~ sering digunakan: 1. Amino amid: lidokain 2. Amino ester: prokain, kokain.
MEKANISME KERJA A. Menghambat konduksi saraf . Zat anestesi lokal berdifusi secara pasif melalui membran sel dalam keadaan non-ionik, kemudian menjadi bermuatan dan menghambat kanal natrium dalam sel saraf, sehingga menghambat terjadinya potensial aksi. B. Serat saraf berdiameter kecil lebih sensitif terhadap zat anestesi lokal, sement ara serat saraf berm ielin berd iam eter besar lebih sulit·d ihambat. C. Zat anestesi lokal menghambat sensasi nyeri terlebih dahulu, kemudian dingin, panas, sentuhan, dan tekanan.
FARMAKOLOGI I. FARMAKOKINETIK A. Potensi zat anestesi lokal bergantung pada kelarutannya d alam lemak, semakin larut lemak maka semakin cepat zat tersebut melewati membran. B. Kecepatan aw itan kerja 1. Ditentukan oleh pKa a. Semakin besar konsentrasi molekul zat anestesi lokal yang tidak terionisasi, semakin cepat awitan kerjanya b. Semakin rendah pKa, konsentrasi zat anestesi lokal pada pH tertentu semakin tinggi, sehingga awitan kerja lebih cepat c. Penambahan natrium bikarbonat akan meningkatkan pH, sehingga meningkatkan kecepatan awitan kerja, dan dapat mengurangi nyeri saat infiltrasi 2. Jaringan yang terinflamasi memiliki pH yang rendah, sehingga mengurangi konsentrasi zat anestesi tidak terionisasi, dan mengurangi efek anestesi lokal.
~
23
C. Lama kerja 1. Efek vasodilatasi intrinsik pada .zat anestesi lokal umumnya dapat mengurangi lama kerjanya 2. lkatan protein meningkatkan lama kerja zat anestesi lokal.
II. METABOLISME
A Seluruh amid dan sat u ester dimetabolisme di hati B. Sebagian b esar ester dimetabolisme plasm a kolinesterase
C. Gangguan fungsi hati dapat mengganggu met abolisme golongan aminoamid.
Ill. REAKSI ALERGI
A Biasanya akibat rantai ester, bukan amid B. Amid dapat merangsang terjadinya hipertermia maligna.
PEMBERIAN ZAT ANASTESI LOKAL A Metode pemberian zat anestesi lokal yaitu blok saraf perifer, anestesi topikal, atau anestesi lokal inf iltrasi B. Blok saraf perifer terdiri at as blok saraf perifer minor yaitu blok satu saraf, dan blok saraf perifer mayor yaitu blok dua atau lebih saraf atau blok satu pleksus saraf
C. Anestesi topikal yang digunakan di antaranya Eutectic Mixture of Lokal Anesthetics (EMLA), ELA-max, tetrakain dan kokain, dan iontoforesis
D. Anestesi lokal infiltrasi adalah pemberian zat anestesi lokal pada lokasi operasi tanpa melakukan blok saraf secara selektif. lnjeksi dapat dilakukan :., secara int radermal, subkutan, atau kombinasi keduanya E.. Pilihan zat anestesi lokal disesuaikan dengan lamanya kebutuhan anestesi. Dapat ditambahkan epinefrin untuk memperpanjang masa kerja zat anestesi lokal F. Pemberian Lidokain umumnya digunakan konsentrasi 1-2%, dengan dosis maksimal tanpa epinefrin 5 mg/kgBB, dengan epinefrin 7 mg/kgBB, dosis maksimal dewasa 300-500 mg (15-25 cc lidokain 2%), dengan lama kerja 2-4 jam G. Perhitu ngan dosis maksimum = BB x konsent rasi zat anestesi lokal (%) x konsentrasi maksimum zat anestesi lokal (mg/kgBB).
TOKSISITAS ZAT ANASTESI LOKAL A Toksisitas sistem saraf pusat: dapat berupa stimulasi atau depresi, gejalanya dapat berupa gelisah, sakit kepala, kejang, tremor, apnoe B. Toksisitas kardiovaskuler: depresi miokardium, dilatasi arteriol
--------------------------------------------------------------------~-
24
N UK PRA.I< 5
IU"AH IILAST
REKON-STRUI(SI
1
C. Toksisitas neuromuskuler: berkurangnya eksitabilitas dan kontraktilitas otot D. Terapi: 1. Pemberian oksigen menggunakan ambubag hiperventilasi 2. Diazepam 0,1 mg/kgBB 3. Bila hipotensi dapat diberikan infus cairan, posisi Trendelenburg, dan epinefrin.
TEKNIK PEMBERIAN ZAT ANASTESI LOKAL A. Cara memasukkan obat ke jaringan: 1. Pakai jarum kecil misalnya nomor 25, juga pakai spuit kecil 2,5 cc yang berulir 2. Masukkan jarum sampai ke bag ian distallesi kemudian semprotkan obat perlahan-lahan sambil menarik jarum agar obat tidak masuk ke dalam pembuluh darah. B. Cara mencampur obat anestesi lokal dengan vasokonstriktor 1. Isap adrenalim 1/1000 sebanyak 1 strip pad a spuit 2,5 cc 2. Kemudian isap lidokain 2% sebanyak 2 cc 3. Obat siap disuntikkan pada pasien.
)EFEK KULIT Setiap defek pada kulit (kehilangan ku lit/epitel ku lit) harus ditangani sesuai dengan komponen yang hi lang, penyebab yang mendasari, lokasi anatomis, estetika, gangguan fungsi yang berhubungan, dan ketersediaan jaringan donor dan resipien. Kesesuaian donor dan resipien dapat d inilai dari warna kulit, tekstur, ketebalan, dan kerapatan tumbuhnya rambut. Kesehatan pasien secara umum juga perlu diperhatikan. Konsep yang umum digunakan adalah skema anak tangga (Reconstructive Ladder, Gam bar 11 ), yaitu urutan pilihan rekonstruksi dari teknik yang sederhana hingga kompleks. Urutan teknik tersebut adalah penyembuhan sekunder, penutupan jaringan secara langsung, skin graft, pemindahan jaringan lokal, pemindahan jaringan regional, dan free tissue transfer. Reconstructive ladder berfungsi sebagai panduan dalam terapi defek pada kulit, meski kadang teknik yang lebih kompleks langsung digunakan bila diperlukan.
PEMINDAHAN JARINGAN BEBAS
..
A
PEMINDAHAN JARINGAN JAUH
A PEMINDAHAN JARINGAN LOKAL
A SKIN GRAFT
A PENUTUPAN LUKA LANGSUNG
A PENUTUPAN LUKA SEKUNDER GAMBAR 11.
Skema anak tangga dalam penanganan d efek kulit
I
SKIN GRAFT DEFINISI Skin graft adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit dari satu tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut bergantung pada pertumbuhan pembuluh darah kapiler baru dari jaringan penerima untuk menjamin kehidupannya. Bagian kulit yang diangkat meliputi epidermis dan sebagian/seluruh dermis, tergantung ketebalan kulit yang dibutuhkan. JENIS 1. SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT (STSG), yaitu skin graft yang terdiri atas epidermis dan sebagian dermis, dibagi lagi menjadi: Thick : Epidermis + % bagian lapisan dermis
Medium : Epidermis + Y2 bagian lapisan dermis Thin : Epidermis + % bagian lapisan dermis 2. FULL THICKNESS SKIN GRAFT (FTSG), yaitu skin graft yang terdiri atas epidermis dan seluruh bagian tebal dermis. 3. COMPOSITE GRAFT, yaitu skin graft yang terdiri atas epidermis, dermis, dan lemak subkutan.
INDIKASI a. Pili han tindakan setelah penutupan luka secara primer tidak dapat dilakukan b. Tak terdapat jaringan sekitar luka yang bisa dipakai menutup luka Uumlah, kualitas, lokasi, dan penampakan). c. Luka pasca pengangkatan tumor ganas yang tidak dapat diyakini bebas tumor. d. Bila cara lainnya lebih merugikan dari sisi morbiditas, risiko, hasil, atau komplikasinya. e. Faktor lain: status gizi, umur, comorbid condition, perokok, kepatuhan, atau biaya (seandainya dengan cara lain lebih mahal).
SPLIT THICKNESS SKIN GRAFT KEUNTUNGAN: • Kemungkinan take lebih besar. • Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas. · • Donor dapat diambil dari daerah tubuh mana saja. • Daerah donor dapat sembuh sendiri/epitelisasi, KERUGIAN: • Punya kecenderungan kontraksi lebih besar. • Punya kecenderungan terjadi perubahan warna.
27
• •
Permukaan kulit mengkilat. Secara estetik kurang baik.
FULL THICKNESS SKIN GRAFT KEUNTUNGAN: • Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil. • Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil. • Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil. • Secara estetik lebih baik dari split thickness skin graft. KERUGIAN: • Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan STSG . • Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas. • Donor harus dijahit atau sebagian ditutup oleh STSG bila luka donor agak luas sehingga tidak dapat ditutup primer. • Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal, supraklavikular, retroaurikular.
ASAL SKIN GRAFT 1. Autograft: Graft berasal dari individu yang sama . 2. Homograft: berasal dari individu lain yang sama spesiesnya. 3. Heterograft (xenograft): berasal dari mahluk lain yang berbeda spesies .
••• I
._
..
••
••••••• •• •• • ••••• •••
GAMBAR 12. Lokasi pengambilan kulit graft
SYARATTAKE a. b. c. d. e.
28
Vaskularisasi resipien yang baik. Kontak yang akurat antara skin graft dengan resipien . lmobilisasi. Tidak ada perdarahan atau hematom. Tidak ada infeksi.
UNJ\.K P'RAkllS IL.MU IE.DA.H Pl.ASlU( lfP::ON51ltl.NCSl
TEKNIK STSG a. Pengambilan: dapat menggunakan pisau/skalpel (pisau Hambey, pisau no.22 atau no.1 0), drum dermatome, air driven dermatome, electricity driven dermatome. b. Penggunaan meshed graft meningkatkan luas daerah yang dicakup sementara meminimalkan luas jaringan yang diambil, dapat dilakukan pada permukaan ireguler, mengurangi kemungkinan hematom atau seroma, dapat mengurangi ukuran luka akibat adanya kontraksi luka sekunder, dan lebih baik secara estetika (Gambar 13). c. Perawatan daerah donor: dapat digunakan occlusive dressings, semiocclusive dressings, semiopen dressings, atau open dressings, dengan masing-masing konsekuensinya. Biasanya dibuka setelah 2-3 minggu. d. Perawatan daerah resipien: penutup yang tidak menempel, cukup lembab, dan memberikan tekanan yang merata. Penutup dibuka pada hari ke empat, sedangkan kasa lema k (tulle) atau penutup yang tidak menempel bisa dipertahankan lebih lama agar tidak menggeser graftnya.
TEKNIKFTSG a. Persiapan luka: pembersihan, debridement, dan hemostasis. b. Pengambilan: jaringan lemak dipisahkan dari kulit agar jaringan dapat bertahan melalui imbibisi di daerah resipien. c. Perawatan luka : di daerah donor ditutup secara primer, di daerah resipien diberikan penutup dengan tekanan yang merata. Biasa dibantu dengan jahitan pada graft ke dasarnya atau memakai tie over untuk memfiksasi. d . Tissue Expansion di daerah donor yang dilakukan sebelum pengambilan dapat meningkatkan luas daerah donor dan memungkinkan penutupan secara primer.
GAM BAR 13. (KIRI] Pengambilan kulit untuk split thickness skin graft. [TENGAH] Penggunaan mesh.(KANAN] Pemasangan kulit pada resipien.
PEl\JN UK P«AKTIS tLMU BEOAH rt.ASTlK III:EKONSTRU
29
FLAP DEFINISI Flap adalah segmeri~]aringan "mobile" sebagai hasil suatu tindakan bedah, d i mana jaringan te rsebut tetap berhubungan dengan suplai pembuluh darah asalnya melalui pedikel. Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung pembuluh darah, pedike l juga dapat mengandung kulit, jaringan subkutis, fasia, otot, saraf maupun tulang. Definisi lainnya adalah jaringan kulit dan subkutan yang dipindahkan dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya dengan satu sisinya dilepaskan dari landasan vaskuler, dan dari sisi lain tetap melekat dengan landasan vasku lernya dengan tujuan untuk memberi kehidupan flap tersebut.
JENIS FLAP Dibedakan berdasarkan: 1. VASKULARISASINYA Random Skin Flap: tidak memiliki sumber pembuluh darah tertentu yang dominan. Axial Skin Flap : memiliki sumber pembuluh darah yang dominan, jenisnya antara lain peninsular axial, island axial, free flap. Reverse-flow flaps: sumber pembuluh darah proksimal dipotong, flap bertahan dengan sumber kehidupan dari perdarahan dari distal. 2. CARA BERPINDAH Rotasi dengan Pivot Point: Rotasi, Transposisi, lnterpolasi. Advancement Flap: Single pedicle, V-Y advancement, Y-V advancement, Bipedicle advancement. Tak langsung: Kulit ditempel ke pergelangan tangan, 3 minggu kemudian dilepas kemudian ditempel ke tempat baru, dengan tangan sebagai pembawa/perantara kehidupan flap. 3. JARAK DARI DEFEK Lokal, terdiri atas • Flap yang bertumpu di satu titik: flap rotasi, transposisi, interpo lasi • Flap advancement: single-pedicle, V-Y, Y-V, bipedicle. Flap Regional. Flap jauh (distant skin flaps). Free flap.
30
UPIJUt( -I
4. JARINGAN YANG DIMILIKI Cutaneous Fasciocutaneous Musculocutaneous Osteocutaneous Osteomusculocutaneous Omentum.
FLAP KULIT lndikasi: 1. Rekonstruksi defek lokal dengan jaringan yang serupa tampilannya. 2. Menutup jaringan yang relatif kurang vasku lar, m isalnya tula ng tanpa periosteum. Jenis cutaneous flap: 1. Random-pattern flap. 2. Axial-pattern flap. 3. Advancement flap: single-pedicle, bipedicle, V-Y advancement flap. 4 . Rotation flap: basic (unilobe), bilobed flap. 5. Transposition flap: Z-plasty, Limberg (rhomboid), Dufourmentel, interpolasi.
FLAP FASCIO-CUTANEOUS Flap yang meliputi fascia-dalam sehingga mengikutkan pembuluh darah dalam fascia yang memperdarahi kulit flap. Dapat disertakan juga saraf kutan, sehingga bagian kulit dapat merasakan sensasi raba. Dapat digunakan pada flap lokal, regional, atau free flap FLAP MUSCULO-CUTANEOUS
(Gambar 14)
lndikasi: 1. Diperlukan massa yang besar 2. Menghilangkan ruang rugi dan infeksi 3. Mengembalikan fungsi motorik. Keuntungan: 1. Massa yang cukup besar untuk menutupi defek 2 . Dapat menyesuaikan dengan luka tidak beraturan 3. Vaskularisasi ba ik 4. Dapat mengikutkan tulang pada transfer 5. Dapat mentransfer saraf motorik dan saraf sensorik. Kerugian: Mengorbankan sebagian atau seluruh fungsi otot tersebut.
.'
GAMBAR 14. FLAP MUSKULOKUTANEUS. [ATAS] Defek Inguinal kanan pasca eksisi keganasan. Akan ditutup
dengan flap kulit dengan perdarahan dari Perforator Arteri Epigastrika Inferior Profunda (DIEP). tTENGAH] Pengambilan flap DIEP. Perhatikan pedikel yang berisi pembuluh darah di sisi kiri pada gambar. [BAWAH] Bekas luka donor ditutup langsung dan defek telah ditutup flap.
32
BEDAHMIKRO DEFINISI Bedah mikro adalah pemindahan jaringan beserta pembuluh darah yang menghidupinya kemud ian d isambungkan dengan pembuluh darah resipien, menggunakan mikroskop operasi atau kaca pembesarllup. Teknik ini tidak tergantung pada jarak donor ke resipien, tetapi yang dipertimbangkan adalah: a. b. c. d.
Kebutuhan pada defek Tebal tipisnya flap dan kualitasnya Besarnya pembuluh darah donor Pembuluh darah resipien yang akan dipergunakan
e. Tidak perlu operasi dengan tahapan. Walaupun jenis operasi ini seolah tidak mengenal batas jarak donor ke resipien, faktor lamanya operasi, mahalnya mikroskop dan instrumen mikro, hasil operasi yang ekstrem flap bisa hidup baik di tempat baru tapi bisa juga gaga I total dengan kematian flap menyebabkan ahli bedah plastik harus mempertimbangkan dari awal cocok tidaknya jerih payah di atas dengan hasil akhirnya.
INSTRUMEN A. PEMBESARAN 1. Mikroskop: pembesaran 6-40x 2. Lup: pembesaran 2,5-3,5x. B. INSTRUMEN BEDAH MIKRO biasanya kecil dan halus, terpisah dari instrument biasa dengan perawatan khusus agar tidak cepat rusak. C. BENANG JAHIT biasa digunakan benang yang tidak diserap dengan ukuran sangat kecil sehingga dapat digunakan untuk menjahit rambut kepala sekalipun 1. Terbuat dari Nilon atau polipropilen monofilamen 2. Ukuran 8-0: pembuluh darah dan saraf lengan atau pergelangan 3. Ukuran 9-0 atau 10-0: pembuluh darah atau saraf jari 4. Ukuran 11-0: pembuluh darah jari distal dan pada anak.
D. OBAT-OBATAN DAN LARUTA N 1. NaCI atau ringer laktat ditambah heparin 100 U/m l , dijaga hangat, untuk irigasi tepi pembuluh darah agar tidak terjadi trombosis 2. Lidocaine 2% untuk mengurangi vasospasme 3. Papaverin untuk melawan efek vasospasme, di mana papaverin bila bertemu heparin akan mengendap.
33
PERSIAPAN BEDAH MD
TEKNIK ANASMOSIS MIKROVASKULAR A. UMUM 1. Jarum harus memasuki pembuluh darah pada sudut yang sesuai pada tepi luka, dengan jarak sedikit lebih dari ketebalan dinding pembuluh darah 2. Endotel tidak boleh terkena instrumen tajam, hanya boleh dikenai oleh dilator pembuluh darah 3. Jarum harus menembus seluruh ketebalan dinding pembuluh darah :., 4. Gunakan tiga ikatan untuk setiap simpul 5. Selalu visualisasi lumen dengan cara menyemprot menggunakan larutan NaCI atau RL 6. Setelah selesai, lepaskan klem distal terlebih dahulu untuk melihat aliran balik, setelah diperbaiki, klem proksimal dapat dibuka 7. Bila tidak ada kebocoran yang besar, biarkan pembuluh darah yang teranastomosis selama 10 me nit dengan dilembabkan menggunakan spons basah, setelah itu dapat diperiksa patensinya.
B. ANASTOMOSIS TEPI KE TEPI 1. Teknik setengah-setengah (Halving Technique) a. Umum digunakan b. Dua jahitan kunci ditempatkan dengan jarak 160-180°, pembuluh darah disambung setengah bag ian atas, kemudian d ibalik dan setengah bagian lainnya disambung.
2. Teknik segitiga (Triangulation Technique) a Tiga jahitan kunci ditempatka n pada jarak masing-masing 120° b. Retraksi jahitan sisi posterior dan sisi belakang dengan bantuan asisten dapat mencegah terjadinya backwalling. 3. Teknik bawah ke atas (Back Wall Up Technique) a. Bermanfaat pada daerah sempit atau lubang yang dalam di mana pembuluh darah tidak dapat dibalik b. Jahitan pertama ditempatkan pada dinding bawah, kemudian jahitan berikutnya berurutan ke arah atas. C. ANASTOMOSIS TEPI KE SISI 1. Mempertahankan aliran darah dari pembuluh darah resipien ke jaringan 2. Memungkinkan anastomosis pembuluh darah berbeda ukuran .
Klem Pembuluh Darah
Pemegang Jarum
Pembuluh darah dengan diameter 1,5 mm
Jahitan Kendali/Kunci
Pin set
GAM BAR 15. Anastomosis tepi ke tepi
Pembuluh Darah Flap
Pembuluh Darah Resipien
GAMBAR 16. Anastom osis tepi ke sisi
36
Neurofibroma Nevus Lipoma Fibroma Kista Ateroma Karsinoma Sel Basal (Basalioma) Karsinoma Sel Skuamosa Mela noma Hemangioma
NEUROFIBROMA
38
DEFINISI Neurofibroma adalah tumor saraf perifer jinak, tumbuh lambat sejak usia muda, berasal dari sel Schwann dan Proliferasi Fibroblas Perineural pada saraf Perifer. Neurofibroma merupakan tumor saraf tersering. Neurofibroma dengan lesi multipel dapat terjadi pad a Neurofibromatosis von Recklinghausen .
ETIOLOGI Belum jelas, pada sindrom kongenital yang langka terdapat kena ikan insiden. PATOGENESIS Bentuk tunggal belum diketahui, sedangkan bentuk multi pel diwariskan.
LOKASI • •
Di beberapa bag ian submukosa atau subkutan; dapat juga timbul di t ulang Di badan dan ekstremitas.
GEJALA KLINIS Nodul submukosa satu atau banyak yang tertutup oleh mukosa atau kulit normal. Tumbuh lambat, kadang terasa nyeri atau terasa seperti terkena sengatan listrik. Biasanya t idak menimbulkan gansguan neurologis. Kadang-kadang tertutup bercak kulit 'Cafe-au-Lait'. Lesi ini dapat muncul pada usia bera papun, biasanya t imbul antara usia 20-30 tahun.
GAM BAR 17. [KIRII Neurofibroma bentuk nodul. [KANAN] Bentuk Pleksiform.
NJUK PRAKT S ILMU
AU Pl.ASTt!( RrKONSTRU.CS1
PEMERIKSAAN TAMBAHAN •
Penilaian Radiografi: Tidak tampak; pada sentral tulang dapat terlihat
•
radiolusen namun jarang Penilaian Mikroskop: Tidak berkapsul, pe nampakan sel fibrosa seperti saraf.
TERAPI •
•
Bedah eksisi untuk lesi tunggal; sedangkan pada lesi multipel atau pleksiform dilakukan e ksisi paliatif, karena kita tidak mampu mengenali batas saraf yang terlibat. Bila neurofibroma tidak mengenai serabut saraf besar, saraf yang mengandung tumor biasanya dioperasi. Bila sera but saraf besar terkena, biasanya tumor dipisahkan dari saraf kemudian diangkat, atau dibiarkan bila tidak bergejala.
KOMPLIKASI Dapat berulang; bentuk multipel dapat berbentuk kurang bag us, mengge layut (menarik ke bawah) palpebra, hidung, mulut dan sebagainya dan berdegenerasi menjadi ganas.
PROGNOSIS Lesi tunggal baik, sedangkan lesi multipel kurang baik.
GAMBAR 18. (KIRI] Nodul multipel difus. (KANAN] Bercak Cafe-au-lait.
PETUNJUk PRAI{"""S II,.MU BEOAH PLASTlK REK0Nrlt1.:
39
NEVUS
40
DEFINISI Nevus adalah tumor yang paling sering dijumpai pada manusia, merupakan tumor yang berasal dari sel-sel melanosit. Nevus umumnya muncul saat lahir atau segera setelah lahir, terbanyak pada dewasa muda, dan menu run pada orang tua.
JENIS 1. Junctional nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan epidermis dan dermis 2. Intradermal nevi: sel-sel nevus terdapat di lapisan dermis 3 . Compound nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan epidermis dan dermis dan di lapisan dermis.
PERJALANAN PENYAKIT Sel-sel nevus yang terletak antara dermis dan epidermis dapat berubah menjadi Melanoma Maligna, meski jarang. Tanda-tanda yang mengarahkan kecurigaan tersebut: 1. 2. 3. 4.
Ulserasi dan perdarahan spontan Membesar dan warna lebih gelap Pigmen menyebar dari lesi ke kulit sekitarnya Lesi satelit berpigmen
5. lnflamasi tanpa didahului trauma 6. Nyeri dan gatal.
TERAPI :.\'
•
Nevus umumnya tidak memerlukan terapi kecuali bila pasien menginginkan nevus diangkat atau dokter mencurigai metaplasi ke arah keganasan . Terapi yang dipilih adalah eksisi sederhana. Nevus yang dicurigai ganas harus dibiopsi dan sekalian diangkat/dioperasi.
GAMBAR 19. N evus.
UNJtnC PAAKTIS tLMU BE0AH PLASllK R£KONSTRUKSI
r
LIPOMA DEFINISf Lipoma adalah tumor jinak j aringan lemak yang dikelilingi kapsul fibrosa tipis. Sering dijumpai di daerah kepala, leher, bahu, dan punggung. EPIDEMIOLOGI Lipoma dapat muncul pada segala usia akan tetapi sering dijumpai pada usia 40-60 tahun. Dapat juga dijumpai Lipoma Kongenital. Lipoma So liter ditemukan dengan perbandingan sama pada laki-laki dan perempuan. Lipoma Multipel lebih sering ditemukan pada laki-laki.
ETIOLOGI Penyebab lipoma belum p asti, akan tetapi kecenderungan mendapat lipoma dapat diturunka n. Beberapa jenis lipoma dapat terjadi akibat trauma tumpul. Orang yang gemuk tidak meningkatkan kemungkinan terjadi lipoma.
KLASIFIKASI Terdapat beberapa variasi lipoma, yaitu Angiolipoma, Lipoma Neomorfik, dan Adenolipoma.
DIAGNOSIS •
Lipoma tumbuh lam bat dan hampir selalu jinak. Biasanya tampak sebagai
•
benjolan yang bulat, tidak nyeri, dan dapat digerakkan. Pada perabaan terasa lunak dan terdapat Pseudofluktuasi. Kadang lipoma dapat dihubungkan dengan beberapa sindrom misalnya Lipomatosis Herediter Multipel, Adiposis Dolorosa, dan Sindrom Madelung. Lipoma dapat juga ditemukan pada jaringan yang lebih dalam, misalnya
•
•
Septum lntermuskular, Organ Abdomen, rongga mulut, Kanal Auditori lnterna, sudut Serebelopontin, dan rongga dada. Secara mikroskopis, lipoma terdiri atas sel-sellemak matur yang tersusun dalam lobus-lobus, dan banyak di antaranya dikelilingi kapsul fibrosa. Kadang lipoma yang tidak berkapsul dapat menginfiltrasi otot, yang disebut lipoma berinfiltrasi. Lipoma dapat dibedakan dengan keganasan liposarkoma meski penampakannya mirip, di antaranya nyeri, tumbuh cepat , dan terfiksasi. Bila terdapat keraguan dapat d ilakukan biopsi jarum ha lus ata u CT scan.
TATALAKSANA a. Pada umumnya lipoma tidak memerlukan tindakan apapun, kecuali bila lipoma membesar dan nyeri. Pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah bedah maupun non bedah.
PETUNJUK PRAKTIS tlMV 8 OAH PLA nft R KONSTR
41
b. Tindakan bedah dengan melakukan eksisi atau enukleasi. c. Persiapan bedah 1. Gam bar batas lipoma dan rencana eksisi pada permukaan kulit 2. Bersihkan kulit dengan povidone iodine atau klorheksidin, kemudian dipasang duk steril 3 . Anestesi lokal menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin, dilakukan dengan field block, dengan cara menginfiltrasi subkut.an di sekeliling daerah operasi .
Daerah yang di ber i antiseptik
Eksisi Elipsoid
GAM BAR 20. Persiapan Eksisi Lipoma.
:., d. · Enukleasi Lipoma ukuran kecil dapat diangkat dengan cara enukleasi. lnsisi d ilakukan sepanjang 3-4 mm di atas benjolan. Kemudian lipoma dibebaskan dari jaringan sekitarnya menggunakan kuret. Setelah bebas, tumor dikeluarkan melalui celah insisi menggunakan kuret. Jahitan biasanya diperlukan, dan digunakan balut bertekanan untuk mencegah terjadinya hematoma. e. Eksisi Lipoma yang lebih besar diangkat dengan eksisi. Prosedurnya sebagai berikut: 1. lnsisi d ilakukan pada kulit di atas benjolan dengan bentuk elips mengikuti garis tegangan kulit, dengan ukuran lebih keci l dari benjolan di bawahnya. 2. Kulit bagian tengah yang akan d ieksisi dipegang dengan hemostat atau klem Allis untuk memberikan traksi agar tumor dapat diangkat.
42
T\JNJUK PRAKllS ILMU BEDAH P\.ASTIK REKONSTRUK51
GAMBAR 21 . Langkah-langkah Eksisi Lipoma.
3. Pemotongan d ilakukan di luar lemak subkutan t umor menggunakan skalpel no 15 atau gunting, dengan menghindari saraf atau pembuluh darah yang mungkin terdapat di sekeliling tumor. 4. Setelah lipoma dilepaskan dari jaringan sekitar, klem hemostat dapat dipindahkan ke tumor untuk membantu memegang tumor. 5. Lipoma dikeluarkan secara utuh, dan dipastikan tidak ada jaringan yang tertinggal. 6. Dilakukan hemostasis terhadap perdarahan yang mungkin terjadi. 7. Ruang di bawah kulit ditutup dengan jahitan satu-satu menggunakan benang yang diserap 2-5 bulan. 8. Kulit kemudian ditutup dengan jahitan satu-satu menggunakan benang yang tidak diserap. 9. Digunakan balut bertekanan untuk mencegah terjadinya hematoma. 10. Luka d iperiksa setelah 2-7 hari. 11. Benang dapat diangkat setelah 7 hari, bergantung pada lokasi di tubuh. 12. Lipoma yang dikeluarkan diperiksa secara Histopatologis.
KOMPLIKASI Komplikasi pengangkatan lipoma jarang terjadi, di antaranya infeksi, terbentuk hematoma, cedera saraf atau pembuluh darah sekitar, deformitas, parut bekas operasi, cedera atau iritasi otot, emboli lemak, periostitis atau osteomielitis, atau kekambuhan.
PET\JNJUK P•AnJS ll.MU BEOAH PlASTlK .a
43
FIBROMA DEFINISI Fibroma adalah pertumbuhan reaktif fibroblas pada ku lit. EPIDEMIOLOGI Muncul saat dewasa. ETIOLOGI Pada banyak kasus dilaporkan adanya riwayat gigitan serangga atau tumbuhnya rambut sebelum muncul gejala. Oleh karena itu dermatofibroma oleh sebagian ahli dianggap sebagai reaksi inflamasi, sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai neoplasma. KLASIFIKASI Terdapat variasi histologis yaitu sel bening, sel granular, xanthomatous, berosifikasi, dan berpalisade.
DIAGNOSIS
,,
A. Umumnya dermatofibroma dapat didiagnosis secara klinis. Dermatofibroma berupa nodul sol iter atau mult i pel yang keras, tidak nyeri. Biasanya di ekstremitas. Ukuran kurang dari 5 mm. Warna merah atau merah coklat, dapat juga biru kehitaman karen a deposisi hemosiderin. Dimple sign positif, yaitu bila ku lit sekitar lesi dicubit maka benjolan akan melekuk ke dalam. B. Pada pemeriksaan histologi, tampak proliferasi fibroblas dan miofibroblas. Pada tepi. lesi terdapat lapisan tebal kolagen berhialin . Epidermis di atasnya mengalami hiperpigmentasi. C. Diagnosis diferensial Lesi jinak: kista, parut hipertrofik, neurilemmoma (atau schwannoma), neurofibroma, Piloleiomioma, tofus, eritema elevatum diutinum Lesi g anas: karsinoma sel basal, dermatofibrosarkoma protuberans, giant cell tumor pada kulit, melanoma nodular, karsinoma saluran keringat bersklerosis.
TATALAKSANA Penatalaksanaan dermatofibroma d ilakukan dengan eksisi untuk mengangkat seluruh benjolan pada kulit. lnsisi dilakukan berbentuk elips dengan sumbu panjangnya para lei terhadap garis kulit bertegangan rendah (Relaxed Skin Tension Line). Penutupan d i lakukan 2 lapis dengan jahitan satu-satu.
44
PETUNJUI< rRAKliS lt.MU BEDAH P\ASTUC REkONSTRUKSI
KISTA ATEROMA DEFINISI Bentukan yang kurang lebih bulat dan berdinding tipis yang terbentuk dari ke lenjar sebasea, terbentuk akibat sumbatan pada muara ke lenjar sebasea . Kista ate rom disebut juga kista sebasea. EPIDEMIOLOGI Kista ateroma banyak ditemukan di Indonesia. Jumlah insidennya tidak diketahui pasti.
ETIOLOGI Sumbatan pada muara kelenjar sebasea, dapat disebabkan oleh infeksi atau trauma
DIAGNOSIS A Banyak dijumpai di daerah yang banyak mengandung kelenjar sebasea, misalnya di muka, kepala atau punggung. Kadang disertai bau asam. B. Bentuk bulat, berbatas tegas, berdinding tipis, bebas dari dasar, melekat pada dermis di atasnya. Daerah muara yang tersumbat terdapat puncta. lsi bubur eksudat warna putih abu-abu, berbau asam .
MANAJEMEN A Penatalaksanaan kista ateroma dilakukan dengan eksisi menyertakan kulit dan puncta untuk mengangkat seluruh bag ian kista hingga ke dindingnya secara utuh. Bila dinding kista tertinggal saat eksisi, kista dapat kambuh, oleh karena itu harus dipastikan seluruh dinding kista telah terangkat. B. Bila terjadi infeksi sekunde r dan terbentuk abses, dilakukan insisi, evakuasi, dan drainase. Setelah tenang misalnya 3-6 bulan, dapat dilakukan operasi definitif.
GAM BAR 22. Gamba ran histologis Kista Aterom.
PEIJNJVK PRAKTIS llMU 8 -,Afi PLAST K REKONSTRt.
45
Punctum
I
PENAMPANG MELINTANG
I
I
,,'
,~
~ ............ ~
~
•
, I
•• '••
'' • ••
- -•
.I
I
I
~
~
......
,
~~'
,,
I
lnsi si elips dengan menggunakan pisau no.15
.I
- -• .I
Jahitan kulit luar setelah dibuat jahitan dalam
GAMBAR 23. Pengangkatan Kista Ateroma.
46
UNJU1< l'tiAKTIS 11.MU IIUWII'\ASllK REKOHSTI
KARSINOMA SEL BASAL [BASALIOMA] DEFINISI Karsinoma Sel Basal (KSB) adalah tumor ganas lokal yang destruktif, biasanya tidak bermetastasis. Merupakan salah satu tumo r kulit ganas terbanyak.
ETIOLOGI 1. Predisposisi genetik ya itu sedikitnya pigmen pada kulit: orang dengan pigmen kulit sedikit dan lebih banyak terpapar radiasi ultra violet sehingga lebih mudah terkena KS B 2. Kulit yang terpapar radiasi ultra violet 3. Zat arsenik 4. Pengobatan lama imunosupresi dapat menambah risiko KSB. KSB juga dihubungkan j uga dengan xeroderma pigmentosa dan sindrom Sel Basal Nevus.
EPIDEMIOLOGI Di Jerman terdapat 100 kasus baru setiap 100.000 penduduk per tahun. Rata-rata usia sekitar 60 tahun. Laki dan perempuan mendapat kemungkinan terkena yang sama. Sebanyak 80% ka:;us t erpap ar di daerah kepala dan leher. Bisa menyebabkan kematian, terutama bila terdapat di daerah vital.
TIPE KASINOMA SEL BASAL Karsinoma Karsinoma Karsinoma Karsinoma Karsinoma
sel sel sel sel sel
basal nodular basal penyebaran superfisial basal morfeaform basa l berpigmen basal tipe adneksa
MANISFESTASI KLINIS Biasanya, pertumbuhan tumor dimulai tanpa stadium pre kanker dan jarang diperhat ikan. KSB mula-mula tumbuh sebagai nodus kecil, dengan teleangektasi karakteristik. Pada pertumbuhan lebih lanjut t erjad i ulserasi sentral (ulkus rodens), sedang pinggirnya yang menonjolkecil atau tampak tidak ada adalah khas untuk stad ium ini. Tidak jarang KSB ini bermula pada parut dan Nevus Sebacei. Tipikal KSB, timbul, tampak jelas, lesi berwarna kuning kemerahan dengan batas seperti pucat. Pertumbuhannya lambat, jarang bermetastasis. Bisa saja berpigmen melanin (KSB dengan pigmentasi), multifokal atau sklerotiklmorfoik. Timbul di usia pertengahan hingga t ua. Biasanya di area
kepala dan leher. Pemeriksaan meliputi: ukuran tumor (diameter horisontal), lokalisasi, tipe basalioma, penyebara~ ke jaringan lebih dalam (diameter vertikal), batas keamanan terapi eksisi (biasanya 5 mm pada jaringan sehat).
MANAJEMEN Tindakan pembedahan eksisi, dapat ditambahkan radioterapi . PROGNOSIS KSB pada kulit berkembang dalam beberapa bulan atau tahun dan menjadi ulkus rodens yang dapat merusak struktur jaringan lebih dalam. lnsiden metastasis diperkirakan kurang dari 1:1 000.
GAM BAR 24.
Karsinoma sel basal pada puncak hidung pra o pe rasi. [KANAN) Pasca operasi hari ke lima dengan skin graft take diatas d efek. [KIRI[
48
U~JU~ PIIAKTlS ILMU !EDAH PIAS"1K ~Ofm'IWKSI
KARSINOMA SEL SKUAMOSA DEFINISI Keganasan yang berasal dari lapisan sel skuamosa berkeratin pada permukaan kulit. EPIDEMIOLOGI Keganasan kulit t erbanya k kedua setelah karsi noma sel basal.
FAKTOR RESIKO 1. Radiasi UV 2. Pajanan zat kimia: beberap a pestisida, hidrokarbon organik misalnya tar, bahan bakar minyak, parafin, arsen 3. lnfeksi virus: infeksi human papilloma virus (HPV), herpes simpleks 4. Radiasi 5. Ulkus M arjo lin : terjadi pada luka kronik, di mana perubahan seluler terjadi karena inflamasi kronik 6. Gangguan imunitas: imunosupresan, A IDS 7. Genetik: kulit putih, albino, xeroderma pigmentosum
PATOFISIOLOGI Penyebab utama karsinoma sel skuamosa adalah radiasi matahari. Karsinoma sel skuamosa umumnya muncul di daerah yang terpajan sinar matahari. lnflamasi dan indurasi yang terjadi menandai perubahan lesi prekanker menjadi karsinoma sel skuamosa. KLASIFIKASI Tipe karsinoma sel skuamosa 1. Ve rukosa: tumbuh lam bat, eksofitik, jarang bermetastasis 2. Ulseratif: tumbuh cepat, invasif lokal
DIAGNOSIS LESI PREKURSOR 1. Keratosis aktinik (4% menjadi karsinoma sel skuamosa)
2. Penyakit Bowen 3. Leukoplakia (15% menjadi keganasan) 4. Keratoakantoma. Ulserasi kecil pada kulit dan lesi lain yang dicurigai sebagai kanker terlebih dahulu dirawat dengan menggunakan antibiotik topikal dan penutup luka. Bila dalam 2-3 minggu lesi kulit tidak membaik, maka lesi tersebut dianggap keganasan hingga terbukti seba liknya.
MANAJEMEN Teknik yang digunakan 1. Eksisi dengan tepi yang sehat sejauh 20 mm 2. Pembedahan Mohs: eksisi horizontal berturutan, dilakukan pada karsinoma sel skuamosa risiko tinggi 3. Terapi ajuvan radioterapi dilakukan pada karsinoma sel skuamosa dengan faktor risiko tinggi.
PROGNOSIS Sebanyak 5-1 0% karsinoma sel skuamosa bermetastasis. Karsinoma sel skuamosa yang terjadi dari ulkus Marjolin atau xeroderma pigmentosum memiliki kemungkinan metastasis lebih tinggi.
50
'
U><JUK PIIAKTIS llMU BEDAH PU.SllK R!KONrntuKSI
MELANOMA DEFINISI Melanoma adalah keganasan pada sel-sel melanosit yang terdapat pada kulit dan organ tubuh lainnya. Biasanya lesi primer terdapat di kulit.
EPIDEMlOLOGI Melanoma merupakan keganasan terbanyak ke-8 di AS, dengan pertambahan setidaknya 40.000 kasus baru setiap tahunnya. Risiko terkena melanoma selama hidup mencapai 0,5%. Di Indonesia jarang dijumpai. FAKTOR RESIKO A. Demografik: kulit putih, mata dan rambut berwarna muda, tinggal di ketinggian dan letak lintang lebih tinggi, laki-laki, status sosioekonomi lebih tinggi, dan riwayat paparan radiasi ultraviolet B. Genetik: riwayat melanoma pada keluarga dekat, sindrom nevus displastik, Xeroderma Pigmentosum.
PATOFISIOLOGJ A. Melanoma disebabkan oleh berbagai proses yang menyebabkan transformasi melanosit menjadi ganas. Paparan sinar matahari pada orang dengan predisposisi genetik dapat menyebabkan proses keganasan tersebut. Riwayat melanoma sebelumnya memberi kemungkinan terjadinya melanoma kedua sebanyak 3-5%. B. Lesi prekursor yang berisiko menjadi melanoma: nevus kongenital (5-20%), nevus melanositik akuisita (semakin banyak semakin berisiko), Nevus displastiklatipikal, Hiperplasia Atipik Melanosit Junctional, Nevus Spitz.
KLASIFIKASI A. Tipe melanoma yang utama: 1. Melanoma permukaan (superficial spreading melanoma) 2. Melanoma. nodular (nodular melanoma) 3. Melanoma maligna lentigo (lentigo malignant melanoma) 4. Melanoma lentigo akral (acrallentiginous melanoma). B. Melanoma lainnya: 1. Melanoma mukosa 2. Melanoma okular 3. Melanoma dengan primer tak diketahui. C. Staging dan faktor prognostik 1. Faktor prognostik: ketebalan (kedalaman), nodus/in-transit metastases (paling bermakna), lokasi anatomi (di ekstremitas lebih baik daripada di
I'£TUN.I\JK PIIAI<'lS II.MU BEOAH I'IASTIK ltKONSll!l;
51
ns
Melanoma in situ
a: tanpa ulserasi dan Clark levelll/lll
b: dengan ulserasi dan Clark leveiiVN Tl
< l,Omm
T2
1,01 ·2,0mm
a: tanpa ulserasi b: dengan ulserasi
a: tanpa ulserasi b: dengan ulserasi
2,01·4,0mm
a: tanpa ulserasi
b: dengan ulserasi >4,0mm
a: tanpa ulserasi b: dengan ulserasi
a: mikrometastasis
b: makrometastasis a: mikrometastasis b: makrometastasis
IB
Tl b NO MO, T2a NO MO
IIA
T2b NO MO, T3a NO MO
liB
T3b NO MO, T4a NO MO
II(
T4bNOMO
lilA
T1-4a Nl a MO, Tl ·4a N2a MO
IIIB
T4b Nla MO, T1-4b N2a MO,T1·4a Nlb MO T1-4a N2b MO, T1 ·4a/b N2c MO
IIIC
IV
T1-4b Nlb MO, T1· 4b N2b MO, setiapT N3 MO setiap T setiap N Ml a, setiap T setiap N Ml b
setiap T setiap N M 1c
lABEL 1. Sistem staging Melanoma dari AJCC tahun 2002
52
;n;NJUK PRAKTIS ILMU BEDAH PLASnK REKONSTRUKSI
badan), dan jenis kelamin (perempuan lebih baik dari laki-laki) 2. Terdapat sistem staging TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC).
DIAGNOSIS Tampilan klinis utama yaitu: 1. Asimetri 2. Batas ireguler 3. Perubahan warna 4. Diameter lebih dari 6 mm. Diagnosis pada melanoma primer dilakukan dengan melakukan analisis histopatologi pada spesimen biopsi seluruh ketebalan.
MANAJEMEN A. Penatalaksanaan definitif 1. Eksisi lokal luas (wide local excision) sebagai terapi pilihan 2. Jarak tepi kulit saat pembedahan disesuaikan dengan ketebalan melanoma. B. Penatalaksanaan nodus limfatik 1. Pembedahan elektif (Elective lymph Node Dissection/ ELND). 2. Biopsi sentinel (Sentinel lymph Node Biopsy/ SLNB). C. Tindak lanjut pasca operasi 1. Pasien tanpa keluhan diperiksa setiap 3-4 bulan selama 2 tahun pertama, setiap 6 bulan pada 3 tahun berikut, dan berikutnya setiap 1 tahun. 2. Foto radiologi toraks dan tes fungsi hati (LDH dan alkali fosfatase). 3. Rekurensi lokal dapat muncul dalam jarak 5 em dari lesi utama dalam
3-5 tahun pertama, biasanya di kulit, subkutan, atau nodus limfatik jauh. 4. Dapat ditambahkan kemoterapi atau imunoterapi.
KOMPLIKASI Pada melanoma diseminata dapat terjadi gagal napas dan komplikasi pada sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan kematian.
ft TUNJUK PRAKTIS tlMU IEDAH PLASnte REKONSTRU
53
HEMANGIOMA DEFINISI Suatu tumor pembuluh darah dengan ciri proliferasi endotel yang meningkat pesat pada waktu bayi (1 tahun pertama), dan dapat mengalami involusi secara perlahan pada masa kanak-kanak melalui proses kematian sel secara progresif atau terjadinya fibrosis (sampai usia 6-7 tahun). EPIDEMIOLOGI lnsiden hemangioma di AS (bersama dengan malformasi vaskular) terjadi 0,54 setiap 1.000 kelahiran . lnsiden pada bayi kulit putih 10-12%, sedangkan pada bayi prematur dengan be rat badan < 1OOOgram insidennya sebanyak 22%. Hemangioma lebih banyak terjadi pada anak perempuan dengan perbandingan 2-5:1.
PATOGENESIS Hemangioma merupakan suatu tipe angiogenesis murni, yaitu m eningkatnya faktor angiogenesis dan berkuran gnya faktor supresi sel-sel. Hemangioma yang berproliferasi terdi ri atas ku mpulan sel-sel endotel yang membelah dengan cepat. Saat mengalami involusi, aktivitas endotel berkurang, dan sel-selnya menjadi lebih rata dan matur. Bekas hemangioma yang tela h involusi berupa kulit yang agak tipis, pig men b isa berkurang, atau ada b ag ian yang sedikit lebih gelap, d engan permu kaan tidak terlalu rata.
GAM BAR 25.
IKIRI] Hemangioma leher kanan dengan kerusakan p ermukaan/aberasi pre operasi. !KANAN] Pasca operasi dengan flap transp osisi.
54
NJUK PIW<TIS ILMU BEDAH 1'\AST!" l
KLASIFIKASI MULLIKEN PADA KELAINAN VASKULER A. Hemangioma, menunjukkan proliferasi endotel yang meningkat. Tumbuh sangat cepat pada tahun pertama, melambat pada masa kanak-kanak dan mengalami involusi sampai usia 6-7 tahun. B. Malformasi Vaskular, terdiri atas pembuluh displastik tapi siklus endotelnya normal. Biasanya tidak selalu tampak saat lahir. Malformasi Vaskular tidak pernah mengalami regresi dan sering meluas/mengembang, dan tumbuh proporsional dengan kecepatan tumbuh pasiennya.
PERJALANAN PENYAKIT HEMANGIOMA A. Hemangioma biasanya ditemukan pada 2 minggu pertama masa neonatal, tapi pada hemangioma subkutan atau viseral baru muncul pada usia 2 hingga 3 bulan. Saat kelahiran hemangioma dapat tampak sebagai bintik pucat, bercak merah, atau daerah kemerahan yang menyerupai memar. Sebanyak 70% saat lahir sudah ada titik kemerahan, 56% terdapat di muka. B. Fase proliferat if : Hemangioma tumbuh cepat pada 6-8 bulan pertama. Kulit menjadi menonjol dan berwarna merah mud a terang. Bila letaknya lebih dalam maka kulit hanya sedikit menonjol dan berwarna kebiruan.
C. Fase involusi: Warna kulit berubah menjadi keunguan, dan tumor menjadi melunak. lnvolusi terjadi pada SO% anak usia 5 tahun dan 70% anak usia 7 tahun. Pada SO% anak kulit akan kembali seperti semula. Sisanya dapat meninggalkan kemerahan, keriput, daerah kekuningan yang hipoplastik, parut (bila terjadi ulserasi}, atau sisa fibrosis jaringan lemak.
MASALAH a. Bintik kecil seperti jarum pentul kemerahan di kulit muka biasa diabaikan orang tua pasien. Tiba-tiba membesar cepat dan keluarga pasien tersebut menjadi stres. b. Bila tumor membesar (dan kita tidak pernah tahu seberapa luas pembesarannya), dapat merugikan karena jaringan normal lebih banyak c.
yang rusak dan teregang, misal palpebra . Kecemasan orang tua, perdarahan, tidak adanya involusi bila menyangkut
mukosa atau berada sekitar mulut dan mata sehingga menutupi Ia pang pandangan dan sering menyebabkan kebutaan karena mata tidak kena sinar. d. Dokter pertama yang menemukan hamangioma pada pasiennya, kurang mempertimbangkan keuntungan dieksisi (operatif).
GAMBAR26.
jKIRI] Hemangioma pada columella, sulit dieksisi dan rekonstruksi pra operasi. !KANAN] involusi pasca injeksi steroid intra lesional.
DIAGNOSIS Hemangioma umumnya dapat didiagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Pada hemangioma dalam, diperlukan CT scan dan MRI untuk lebih memastikan apakah melibatkan struktur lebih dalam.
MANAJEMEN Meski umumnya mengalami involusi spontan, tindakan operatif dilakukan segera d an secara agresif pada keadaan sebagai berikut: 1. Obstruksi jalan napas 2 . Gaga I jantung 3. Utserasi dan perdarahan yang tidak terkendali
'· 4: lnfeksi berulang yang sulit dikendalikan
5. Trombositop enia 6. Obstruksi struktur vital, misalnya mata atau kana lis audit orius 7. Obstruksi aksis visual 8. Gangguan pertumbuhan tulang 9. Lesi kecil (sehingga mudah d iangkat tanpa risiko kosmetik maupun fungsional) 10. Nyeri.
Manajeme n hemangioma: 1. Te rapi bedah (Gambar 25 dan 27): Operasi tanpa perlu takut banyak perdarahan sebagaimana malf ormasi vasku lar. Begitu diketahui besarnya masih sebesar t iti k merah, bisa dioperasi dan bekasnya hanya b erupa garis merah 3-5 mm. Bila hemangioma te lah memb esar dan dioperasi karena alasan perdarahan, infeksi at aupun kemungkinan menutupi pandangan
56
UNJt..K PAAtcrS II.MU BEDAH PLASTlK REKONSTRUKSI
r
GAMBAR27. (KIRI ATAS)
•
Hemangioma di pelipis kiri, pasien usia 2 bulan, p ra operasi. (KANAN ATAS) Pasca operasi eksisi dan tutup primer. (KIRI BAWAHJ
Hemangioma lidah, pasien usia 2 bulan,pra operasi. (KANAN BAWAHJ
operasi mencegah perdarahan. Post operasi 2 minggu, tidak mengganggu fungsi lidah.
2. 3. 4.
5.
mata, maka defek kulit epitel yang terjadi dapat ditutup dengan Skin Graft atau Flap. Penanganan perdarahan dan ulserasi (Gambar 25). Mengatasi komplikasi. Terapi non bedah (Gambar 26): kostikosteroid, interferon alfa, laser, kemoterapi, pressure therapy, thermal therapy/cryotherapy, radiasi, embolisasi dan skleroterapi, tentunya dengan mempertimbangkan efek negatif sistemik. Observasi secara berkala untuk memantau perjalanan penyakit.
PROGNOSIS Perbaikannya tergantung kecepatan mendiagnosa dan ketepatan mengangkatnya secara operatif. Pasien harus ditindaklanjuti selama beberapa tahun untuk evaluasi.
KOMPLIKASI a. b. c. d.
Problem psikososial pada keluarganya Gangguan penglihatan (amblyopia, strabismus) bila terlambat dioperasi Perdarahan Perubahan bentuk organ misalnya bibir dan p a lpebra.
Pn\JNJUK PRAKnS I.MU BEOAH f't.ASTIK REKONSTRt.
57
GAMBAR28. [KIRI) Hemangioma palpebra terlambat dioperasi. [KANAN) Pasca operasi hasil m emadai namun ambliopia.
58
VNJVK Pfi.AKliS ILMU &£0AH Pl.A$11K REKONSTRlJXSI
Rekonstruksi Kelainan di Muka Noma
REKONSTRUKSI KELAINAN DI MUKA REKONSTRUKSI KELOPAK MATA I. ANATOMI KELOPAK MATA YANG PENTING DIKETAHUI A. Kulit kelopak mata adalah yang paling tipis di selu ruh tubuh B. Otot-otot konstriktor: m. orbicularis oculi, m. corrugator supercilii, m. procerus C. Septum orbita: jaringan fibrosa berlapis yang membatasi mata dan orbita D. Jaringan lemak orbita: posterior dari septum dan anterior dari otot retraktor E. Otot-otot retraktor: m. levator palpebra, m. Muller (atas), fasia kapsulopapebra, m. tarsal inferior (bawah) F. Tarsus: penyangga struktur kelopak mata menyerupa i kartilago, terdapat kelenjar Meibom di dalamnya G. Konjungtiva: sel epitel gepeng berlapis H. Tendon kantus: berhubungan dengan tarsus atas dan bawah, di medial dan lateral I. Peredaran darah: a. oftalmika dan cabang-cabangnya (a. supraorbita dan a. lakrimalis), a. temporalis, dan a. angular J. Persarafan: 1. Sensorik: N V1 (atas). N V2 (bawa h) 2. Motorik: N Ill, N VII. II. :., A. B. C. D.
KELAINAN PADA KELOPAK MATA
Entropion: tepi kelopak mata melekuk ke dalam Ektropion: tepi kelopak mata melekuk ke lua r Ptosis: kelopak mata t idak dapat membuka sempurn a Leserasi/ ruptur palpe bra.
Ill. REKONSTRUKSI KELOPAK MATA
A. Perbaikan laserasi tepi kelopak mata 1. Kedua tepi kelopak mata disejajarkan posisinya 2. Tarsus dijahit dengan jahitan tidak menembus konjungtiva, dengan benang halus misal 6-0 3. Tepi kelopak mata dijahit dengan jahitan matras vertikal 4. Kulit dijahit dengan jahitan satu-satu, juga dengan benang halus (misal 6-0) dan jarum atraumatik.
B. Rekonstruksi kelopak mata 1. Defek kecil dijahit secara primer
2. Defek besar memerlukan bantuan Flap Miokutan atau Graft Tarsokonjungtival dari kelopak mata sebelahnya yang sehat 3. Defek besar di kelopak mata bawah dapat ditutup dengan flap rotasi dari pipi.
C. Defek kantus 1. Pada defek kantus medial bila terdapat kerusakan pada sistem drainase lakrimal, maka harus diperbaiki lebih dahulu 2. Tendon kantus medial dan lateral harus dipast ikan tetap melekat pada tulang 3. Bila defek kulit kecil di atas kantus dapat dijahit langsung, sedangkan bila besar dapat ditutup d engan flap atau full thickness skin graft.
REKONSTRUKSI lllDUNG I. ANATOMI HIDUNG A. Hidung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu atas (tulang hidung dan septum tulang), tengah (tulang rawan lateral atas dan septum tulartg rawan), dan bawah (tulang rawan alar). B. Jenis kulit dibagi dua, yaitu kulit tipis (dorsum nasi dan kolu mela), dan kulit tebal (ujung hidung dan ala). C. Peredaran darah: a. angular cabang a. fasialis, a. labial is superior, a. oftalmika cabang dorsonasal, dan a. maksilaris interna cabang infraorbita. D. Persarafan: 1. Sensorik: N V (trigeminus) yaitu N V1 (oftalmika) dan V2 (maksilaris) 2. Motorik: N VIII (fasialis). II. REKONSTRUKSI HIDUNG A. Tujuan 1. Mempertahankan terbukanya jalan napas dan bentuk estetika yang baik 2. Mengganti kulit dengan warna, ketebalan, dan tekstur yang sama 3. Mencegah terjadinya deformitas pasca operasi. B. Rekonstruksi yang baik harus mengganti seluruh lapisan kulit yang hilang dengan jaringan yang serupa, yaitu termasuk mukosa hidung, penyangga struktur hidung, dan ku lit penutup hidung. C. Rekonstruksi dilakukan segera, kecuali pada keadaan pasca reseksi tumor di mana batas tumor meragukan atau direncanakan radioterapi, serta
61
adanya invasi tumor ke tulang. D. Rekonstru ksi dap at dilakukan dengan menggunakan flap jaringan sekitar atau dengan pre fabricated f ree flap yaitu dibentuk terlebih dahulu ku lit cuping hidung, sete lah beberapa lama, dipindahkan satu unit kulit hidung baru dengan pembuluh d arahnya ke temp at lokasi hidung dan d isambung pembuluh darahnya ke resipien.
REKONSTRUKSI PIPI I.
Tujuan rekonstruksi pada pipi adalah menutup defek, mengemb alikan fungsi, dan mempertahankan estetika.
II. Defek kecil pada pipi dapat d itutup secara primer setelah dilakukan insisi elips. Ahli bedah harus mengusahakan parut yang pendek dan sejajar dengan arah lipatan kulit. Defek yang lebih besar dapat ditutup dengan menggunaka n graft atau lebih baik menggunakan flap. Ill. Pada defek jaringan lunak yang lebih besar, penggunaan konsep unit estetika dalam rekonstruksi dapat mengurangi kemungkinan terjad inya deformitas. Unit estetika pipi d ibagi menjadi 3 daerah yang saling bertumpuk, yaitu daerah subo rbita l, p reaurikular, dan buccomandibular. Parut yang ditempatkan pada perbatasan un it-unit est etika dapat lebih menyamarkan penampakannya.
REKONSTRUI<SI TELINGA I. '·
Kelainan pada telinga dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau didap·at. a. Kelainan b aw aan: Mikrotia, telinga menonjol, Kriptotia, tel inga seperti kele lawar. b. Kelainan didapat: keganasan, trauma, ata u cedera suhu.
II. Rekonstruksi telinga akibat kelainan bawaan dilakukan sesuai lokasi kelainan dan luasnya defek. Umumnya d ilakukan pada usia 7 tahun, digunakan flap, dan bila perlu ditambahkan graft tulang rawa n dari sisi yang sehat. Ill. Pada rekonstruksi total dapat digunakan jaringan tulang rawan dari daerah iga sebagai kerangka telinga, dan ditutup dengan flap dan graft dari kulit sekitar telinga.
62
IJHJUK I'IIAKTIS MU lt.DAH I'I.AIT1K •W-ONITI!III(SO
NOMA DEFINISI Penyakit infeksi (Cancrum Oris) yang merusak jaringan Orofasial serta struktur sekitarnya dengan penyebabnya kuman Fusobacterium Necrophorum pada anak dengan gangguan imunitas. EPIDEMIOLOGI Noma biasanya ditemukan di daerah penduduk miskin dengan malnutrisi kronis, disertai higiene mulut jelek, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak. Angka kejadian di beberapa negara Afrika berkisar antara 2-4 setiap 10.000 anak. Penelitian di Senegal menunjukkan kejadian 2,88,4 kasus setiap 10.000 anak usia 1-5 tahun, sedangkan di Nigeria sebanyak 7-14 setiap 10000 anak usia 0-6 tahun. PATOFISIOLOGI 1. Sering didahului penyakit berat, misalnya campak, malaria, cacar air, tuberkulosis (pada campak terjadi penurunan interleukin 12 yang diperlukan dalam mediasi imunitas seluler). 2. Terjadinya acute necrotizing gingivitis. Dalam hal ini peranan virus herpes mung kin saja terjadi, yaitu pada anak-anak dengan higiene mulut yang jelek. 3. Ditemukan pula kuman lain sebagai penyerta yaitu Prevotella lntermedia, Alpha Hemolytic Streptococcus, Actinomyces sp. 4. Penelitian di Afrika oleh Cyril 0. Enwonwo dkk. Tahun 1999 menemukan penurunan kadar Zinc (<1 0,8 umoi/L}, Retinol (<1 ,05 umoi/L), Ascorbate (<11 umoi/L), dan peningkatan kadar kortisol bebas pada saliva pasien dengan noma. 5. Setelah terjadi nekrosis pada jaringan lunak, nekrosis dapat berlanjut pada tulang sehingga terjadi Fusi Maksila sehingga mandibula dan pasien akan terkunci mulutnya.
DIAGNOSIS Pasien datang dengan adanya defek pada bibir, komisura mulut, hidung, pipi, dan kadang kelopak mata bagian bawah, yang didahului dengan riwayat luka yang menghitam. Kerusakan otot pengunyah juga dapat menyebabkan trismus. Pasien yang datang pada keadaan yang lebih dini dapat ditemukan gingivitis akut, Nekrosis Mukosa, dan Ulserasi Mukosa mulut yang luas.
MANAJEMEN 1. Pada stadium akut terapi oleh bagian anak dengan eradikasi infeksi,
63
perbaikan gizi, dan nekrotomi. 2. Pada kasus lanjut, jaringan parut bisa dipakai sebagai inner lining, fusi tulang dibebaskan, dan dilakukan penutupan raw surface tanpa usaha untuk memperbaiki defek atau kekurangan jaringan lunaknya pada saat yang bersamaan. Pasien sekaligus dilatih membuka dan menutup mulut.
PROGNOSIS Pasien noma yang sampai ke tangan plastikus biasanya dalam usia yang sudah dewasa dengan defek sekitar mulut. Banyak diantara mereka yang mengalami trismus akibat penyatuan mandibula dengan maxilla dan adanya jaringan ikat tebal dan keras sekitar defek. Secara fungsional pasca rekonstruksi, mereka bisa membuka dan menutup mulut kembali serta penutupan defek jaringan lunaknya memerlukan beberapa kali operasi dengan jarak tiap operasi 6 bulan.
GAMBAR29.
Pasien noma dewasa, pasca e ksisi jaringan parut, membebaskan fusi mandibula maksila, dan dilatih buka mulut kurang lebih 6 bulan. [KANAN] Pasca caterpilllar/jump flap dari inguinal ke pergelangan tangan lalu ke defek mulut untuk menutup inner lining dan outer lining. [KIRI]
64
KELAINAN
Bib ir Sumbing dan Langit-Langit Sumbing Muka dan Kranial Fraktur Tulang Muka
BIBIR DAN LANGIT-LANGIT SUMBING DEFINISI Bib ir sum bing adalah terd apatnya celah pada bibir atas yang sering disertai cel ah palatum, yaitu terd apat ce lah pada atap/l angit -langit mulut sehingga t erdapat hubung an langsung antara hidung dan mulut.
EPIDEMIOLOGI lnsiden bervariasi pad a et nis yang berbeda. lnsiden bibir sumbing terjadi seb anyak 2,1 dalam 1.000 kela hiran pad a etnis Asia, 1:1 .000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1.000 pada etnis Afrika-Amerika. Sum bing b ibir saja ditemukan pad a 21% pend erita, sum bing bibi r dan palatum 46%, dan sumbing palatum (Isolated Cleft Palate) 33% dari seluruh penderita. ETIOLOGI Bibir sumbing t erjad i secara multifaktorial. Di antara faktor penyebabnya adalah keturunan, obat-obatan tertentu (Fenitoin, Talidomid, lsotretino in), alko hol, rokok, defisiensi asam folat d an vitamin B6 serta defisiensi Zinc.
FAKTOR RESIKO a. Riwayat Penyakit Keluarga (contoh : Sind rom Van der Woude), tingkat b. c. d. e.
rekurensi 2-6% tergantung p ada riwayat kelu arga . Etnik/Ras: Asia > Kaukasia Penggunaan ant ikonvu lsan pada penderit a epilepsi dan pada ibu hamil Usia orang .tua: usia kedua orang tua > 30 tahu n, risiko semakin tinggi Riwayat .sum bing pada orang tua/keluarga.
PATOFISIOLOGI A. Timbul b ila ada gangguan saat perkembangan wajah d i usia keham ilan 3-8 minggu (terut ama usia kehamilan S-6 minggu). B. Terjadi akibat: 1. Gagalnya penyatuan tonjo lan nasal medial dan tonjolan maksila pada sat u sisi (sum bing bibir unilateral) atau pada kedua sisi (sumbing bibir b ilateral). 2 . Gagalnya penyatu an tonjolan palatum median (b erasal dari tonjolan Frontonasa l dan tonjolan Nasal Medial) dan t onjolan palatum lateral (berasal dari tonjo lan maksila) yang menyebabkan sumbing palatum.
KLASIFIKASI a. Sumbing bibir unilateral: Microform cleft lip, Incomplete cleft lip, Complete cleft lip
66
\INJUt< PfW
b. Sumbing bibir bilate ral: Incomplete bilateral cleft, Complete bilateral cleft c. Sumbing pa latum: Unilateral cleft lip and palate, Bilateral cleft lip and palate, Isolated cleft palate, Submucous cleft palate.
DIAGNOSIS A. Bibir sumbing (dengan atau tanpa s umbing palatum/cleft palate) 1. Jaringan yang t e rlibat: a. Dapat meliputi hanya batas vermilion b. Beberapa kasus sampai pada palatum dan dasar hidung. 2. Dapat dihubungkan dengan gangguan/abnormalitas gigi. 3. Sumbing dapat unilateral atau bilateral. 4. Sering d ihubungkan dengan abnormalitas kolumela. B. Sumbing langit-langit/Palatoschizis (sumbing palatum) 1. Defek ga ris tengah berawal di uvula 2. Dapat melibatkan jaringan lunak dan keras palatum serta foramen insisivus.
GAMBAR30. (KIRI ATAS) (KANAN ATASI
Bibir sumbing satu sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral cleft lip), pra-operasi. pasca-operasi. (KIRI BAWAH) Bibir sumbing satu sisi lengkap (Complete Unilateral cleft lip and palate), pra-operasi. (KANAN BAWAH] Pasca-operasi.
67
GAMBAR31 .
(KIRI] Bibir sumbing dua sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral cleft lip], pra-operasi. (KANAN) Pasca-operasi.
KONDISI YANG BERHUBUNGAN A . Pierre Robin Syndrome (dibaca: Pierre Robang)
1. Micrognathia 2. Sumbing palatum U-shape 3. Glossoptosis. B. Sindrom EEC
1. Ectrodactyly (split tangan dan kaki) 2. Ectodermal dysplasia 3. Sum bing bibir dan palatum (cleft). C. Sindrom Trisomi 13
1. Holoprosencephaly 2. Amnion Rupture Sequence. D. Abnormalitas Hypothalamus dan Pituitary
1. 2. 3. 4.
Defisit Hormon Hipotala mus Panhypopituarism Septo-optic dysplasia Sindrom Kallmann.
TATALAKSANA ASUPAN MAKANAN A . AIR SUSU IBU
Laktasi untuk b ayi dengan b ibir sum bing atau palatum baik d iberikan, bila perlu dibantu dengan melakukan pe nekanan pada payudara B. BOTOL SUSU BAYI
1. Pertimbangan obturator plastik untuk menutup palatum.
68
UN
GAM BAR 32. Sindrom Pierre-Robin.
2. Puting buatan halus dengan lubang besar. 3. Menggunakan botol dengan bagian ujungnya bisa dipencet.
TATALAKSANA PEMBEDAHAN A. PERIOPERATIF 1. Kriteria Pre-operatif yang siap dioperasi a. Tak ada tanda infeksi sistemik dengan tanda demam yang bisa disertai leukositosis. b. Hidrasi/cairan tubuh anak baik, Ht ~ 30%. 2. Pasca operatif a. Pernafasan nasal yang baik. b. Asupan cairan pada 3 minggu pertama pasca bedah yang adekuat. c. Menjaga bagian yang dibedah agar tidak tersentuh oleh anak (siku dibidai dengan karton, dibungkus kapas).
GAMBAR33.
Teknik Modifikasi Rotation Advancement Millard pada sumbing sisi kiri komplit. Tujuan desain adalah menurunkan titik 3 agar satu level dengan titik 2.
69
B. OPERASI BIBIR SUMBING 1. Metoda Rotation Advancement meyupakan dasar dari desain operasi. 2. Dapat dikerjakan pada usia sekitar 3 bulan, berat badan > 5 kg, Hb>10gr%. 3. Revisi dapat dilakukan pada usia pra sekolah A. Koreksi pembedahan hidung Pada saat perbaikan palatum atau pada masa remaja B. Perbaikan sumbing palatum 1. Waktu perbaikan tergantung tipe variasi kerusakannya 2. Biasanya diperbaiki sekitar usia 1,5 tahun (saat mulai belajar bicara) 3. Gangguan bicara dapat terjadi jika perbaikan ditunda hingga usia 3 tahun.
KOMPLIKASI AWAL a. Jebol b. lnfeksi c. Perdarahan d. Kematian.
KOMPLIKASI HASIL AKHlR a. Asimetri bibir at au nostril b. Parut yang tidak baik c. Bicara sengau atau tidak mampu mengucapkan huruf/suara tertentu d. Hipoplasi maksila dan maloklusi geligi.
:.-, TUJUANPERBAIKAN 1. Menyeimbangkan cupid's bow, yaitu satu levelnya titik 3 dan titik 2 2. Menyamakan ketinggian vertikal bibir, antara bagian yang sumbing dan tidak 3. Menyamakan ketinggian vermilion pada bagian lain yang d iperbaiki 4. Menjaga lajur dan lesung filtrum 5. Menyamakan panjang columella bagian yang sumbing dan tidak 6. Penempatan parut yang tidak terli hat pada garis kulit alami, yaitu pada lajur filtrum 7. Mengembalikan fungsi dan orientasi otot Orbicularis oris 8. Mengembalikan sulcus labiobuccal 9. Menyeimbangkan dan reposisi basis ala nasi 10. Menaikan /ower lateral cartilage terdepresi pada cuping hidung 11 . Menyamakan kemba li segmen maxilla yang biasanya hipoplasi.
70
AH Pt.ASlliiC
REM:ONS'TM.IK5~
SUMBING MUKA DAN KRANIAL DEFINISI Sumbing muka dan kranial atau sumbing kran iofasial adalah terdapatnya celah pada struktur muka dan kranial. Sumbing muka dan kranial yang melibatkan tulang dan jaringan lunak terdapat di sepanjang garis-garis penyatuan struktur kraniofasial. Sumbing di daerah orbita dapat mempengaruhi bola mata dan otot-otot ekstraokular. EPIDEMJOLOGI lnsiden sum bing muka 1,5-5 per 1000 kelahiran, biasanya nonfamilial. · KLASIFIKASI Biasanya digunakan klasifikasi Tessier 1. Sum bing di atas tepi kelopak mata disebut sumbing kranial 2. Sumbing di bawah tepi kelopak mata disebut sumbing muka 3. Sumbing kranial dan muka biasanya muncul bersamaan, yaitu pada dua lokasi dengan jumlah angka 14 (misalnya sumbing di garis 0 dan 14, 4dan10). Klasifikasi Tessier paling bermanfaat bagi ahli bedah plastik ka rena klasifikasi tersebut menghubungkan penampakan klinis dengan anatomi pembedahan. Klasifikasi Tessier juga mengintegrasikan topogr~fi observasi klinis dengan gangguan skeletal yang mungkin terjadi. Adanya kelainan jaringan lunak dapat digunakan untuk memperkirakan kelainan pada tulang di bawahnya, misalnya: 1. Sekumpulan rambut abnormal. 2. Garis rambut atau alis yang ireguler. 3. Tepi kelopak mata yang ireguler.
MANAJEMEN Untuk memudahkan pembahasan dan penatalaksanaan di lapangan, maka sumbing muka dan kranial dibagi dalam empat grup besar sesuai dengan klasifikasi Tessier, yaitu
1. SUMBING ORAL-NASAL a. Karakteristik grup ini ditandai adanya sumbing di daerah antara garis tengah dan cupid's bow, akibatnya terjadi gangguan struktur pada bibir dan hidung b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 0,1 ,2, dan 3
PElUNJUK ""AKT llMU lllOAH PVSl!< M£ Of<STltl.!
71
GAM BAR 34. Klasifikasi sum bing muka menu rut Tessier, ditandai dengan nomor 0 hingga 14. [GAM BAR ATAS] adalah lokasi sum bing pada jaringan lunak muka, sedangkan ]GAM BAR BAWAH] adalah lokasi sumbing pada tulang.
c. Operasi sulit dan dapat terjadi komplikasi akibat pertumbuhan dan perkembangan di daerah kelainan tersebut.
2. SUMBING ORAL-OKULAR a. Grup ini mencakup kelainan yang menghubungkan rongga mulut dan '· orbita tanpa ada gangguan pada hidung. Kelainan ini mumcullateral dari cupid's bow, sedangka n struktur muka bagian tengah secara umum t etap baik. b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 4, 5, dan 6. c. Operasi dilakukan secara bertahap, bekerjasama dengan dokter mata karena sering ditemukan kelainan pada mata itu sendiri. Tujuan operasi adalah untuk menjaga stru ktur bola mata dan kemampuan penglihatan. d. Operasi harus segera dilakukan karena kemungkinan menyebabkan gangguan penglihatan. 3. SUMBING MUKA LATERAL a. Sumbing muka lateral meliputi sumbing nomor 7, 8, dan 9 pada klasifikasi Tessier, dan digambarkan dalam beberapa sindrom misalnya sindrom Treacher Collins, sindrom Goldenhar, mikrosomia hemifasial, dan displasia fasial nekrotik.
72
b. Perbaikan sumbing muka nomor 7 dilakukan pada awal kehidupan, dengan menyatukan kulit, mukosa, dan otot. c. Perbaikan sum bing nomor 8 dan 9 melibatkan rekonstruksi kantus lateral dan memperbaiki posisinya pada orbita.
4. SUMBING ORBITA KRANIAL a. Grup ini meliput i sumbing di superior mulai dari orbita lateral hingga garis tengah, dan dapat berhubungan dengan sumbing muka d i bawah orbita b. Sum bing muka ini meliputi kelainan Tessier nomor 10-14 c. Dapat terjadi gangguan neurologi karena te rjadi gangguan perkembangan otak.
GAMBAR 35. [KIRI[ Sumbing bibir bilateral
disertai sumbing muka kanan Tessier 3-11 pra·operasi. Perhatikan parut d i kedua bibi r, dan aksis mata kanan dan kiri yang tidak segaris. [KANAN[ Pasca operasi.
FRAKTUR TULANG MUKA DEFINISI Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah patah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula). Tulang muka sifatnya berbeda dengan tulang panjang, sifatnya spongiosa dan lebih vaskuler dibandingkan tulang cortical/tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6 minggu penyembuhan fraktur sudah selesai, sudah rigid.
PENYEBAB, TIPE PREVALENSI, KARAK.TERISTIK Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor tanpa menggunakan helm (pelindung kepala). Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial dan luka tembak.
'·
Penelitian/studi di RSCM Jakarta oleh Makagiansar dan Sudjatmiko (2002): Terdapat 203 kasus trauma tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001, dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka dengan cedera lain, kebanyakan trauma dengan cedera otak. Penelitian terdahulu fraktur muka, oleh: Lee et al. (1987) mendapati kasus yang terbanyak adalah fraktur tulang pada muka bagian atas sedangkan fraktur mandibula/muka bagian tengah lebih sedikit berpengaruh pada cedera otak Davidoff et al (1988), mendapati sebanyak 55% kasus terjadi cedera kepala tertutup dengan fraktur muka Haug et al (1994), mendapati hanya 17,5% terjadi cedera kepala tertutup dengan fraktur muka Nakhgevany et al (1994), mendapati sebanyak 68% trauma muka berhubungan dengan cedera kepala Keenan et al (1999), berpendapat bahwa risiko terjadinya trauma otak bertambah pada pasien dengan fraktur tulang muka, sedangkan risiko tertinggi trauma otak pada fraktur maksila.
74
Karakteristik 385 pasien fraktur tulang muka, pada penelitian oleh Fawzy dan Sudjatmiko di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006, mendapati: 348 pasien pria (90,4%), 37 pasien perempuan (9,6%) 107 pasien (27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat 278 pasien (72,2%) menderita cedera kepala ringan 90 pasien menderita fraktur mandibula, 267 pasien menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan kombinasi 232 pasien (60,3%) menggunakan helm, 153 pasien (39,7%) tanpa menggunakan helm.
GEJALA DAN TANDA KLINIS A. Adanya riwayat trauma pada muka. B. Tampak deformitas muka, bisa berupa: 1. Bengkak, asimetri, miring disertai lecet kulit sampai ke luka jaringan lunak 2. Hematoma atau perdarahan di luka atau dari lubang hidung dan mulut sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/fraktur. C. Pemeriksaan fisik, bisa dijumpai: 1. Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karen a tulang pi pi h), "step in" atau diskontinuitas tepi tulang mandibula dan tulang rima orbita. Periksa sekaligus sisi kanan dan kiri serta bandingkan. 2. Tonjolan pipi yang menghilang. 3. Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi) yaitu tonjolan gigi premolar yang tidak bertemu dengan cekungan gigi lawan/ pasangannya, juga bisa tampak laserasi g inggiva daerah fraktur, kadang dijumpai maxilla yang mengambang dalam hematom (floating maxilla). 4. Hipestesi pada cuping hidung.
GAM BAR 37. FRAKTUR LEFORT KOMPLEKS 1·111. Secara klinis garis patah tidak harus seperti gambar ini.
D. Radiologis: 1. Foto AP: walaupun garis patab kadang tidak jelas, dengan membandiingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan pengaburan gamba r sinus. 2. CT Sca n bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologi biasa. CT Scan 3-Dimensi akan menggambarkan bentuk tukang muka keseluruhan dan lubang tu lang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.
GAMBAR 37. Blow Out Fracture
MANAJEMEN A. Penanganan awal a. Pri mary survey: Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya t etap diawasi. b. Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga, hidung, wajah bagian tengah, mandibula, rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menu nda timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tu lang muka. c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi definitif. d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. e. Bila ada hematoma sept um nasi atau hemato ma auricula, harus d ilakukan drainase dan di lanjutkan dengan balut tekan/tamponade hidung.
76
UNJl.k R.AI
B. Penanganan lanjut yaitu pada minggu pertama pasca trauma
a. Fraktur Mandibula: Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan wire ataupun Arch Bar menghasilkan "union" dan "occlusi" yang dicapai dalam ± 5 minggu. Reduksi kemudian fiksasi dengan mini plate screw tidak mernerlukan penguncian geligi sebagaimana pada wire dan arch bar. b . Fraktur Maxilla: Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobuccalis dan infra cilliar palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan wire atau mini p late screw. c. Fraktur Rima Orbita penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi untuk mengembalikan bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu. d. Fraktur Nasal sebaiknya direparasi tidak terla lu lama sejak traumanya, mengingat tulang nasal adalah p ipih dan sering patahnya berbentuk impresi, deviasi atau remuk.
PROGNOSIS Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis dapat baik. Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhannya jadi masalah. Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan p rosedur bedah multipel dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik.
GAMBAR 38. Laki-laki, 25 tahun dengan riwayat kecelakaan lalu lintas. Terdapat deformitas muka dan ekskoriasi hematom palpebra superior dextra, step in rima orbita lateral d extra, depresi nasal. Gamba ran rad iologis: garis fraktur d i sutura zygomatica frontalis dextra, kompleks zygoma maxilla dextra, kompleks nasoethmoid dextra, mandibula intak.
77
PENCEGAHAN Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahq_ng bawah dapat unt uk mencegah trauma maxillofacial.
GA M BAR 39.
Laki-laki, 30 tahun. Riwayat kecelakaan lalu lintas, dengan nyeri dan sedikit perdarahan dari mulut. Pemeriksaan fisik: jelas terdapat maloklusi. Pada angulus mandibula kiri tampak jelas garis fraktur, juga pada simfisis mandibula. [KIRI ATASI Pra operasi. [KANAN ATASJ Pasca operasi dengan fiksator archbar pada geligi agar tercapai oklusi yang baik. [PEMERIKSAAN RADIO LOGISJ Dijumpai garis fraktur jelas pada angulus mandibula kiri dan simfisis (fraktur segmental)
78
UNJUI< P'IIAK115 OIU llllAH I'IASTII< ll£l
Luka Bakar Kontraktur Akibat Luka Bakar
LUKABAKAR DEFINISI Luka
bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan oleh api, atau oleh penyebab lain seperti oleh air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi. Kerusakan dapat menyertakan jaringan d i bawah kulit. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut . Luka bakar juga dapat menyebabkan koagulasi nekrosis pada kul it dan terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam termasuk efek terhadap sistem organ lainnya . Fungsi kul it adalah: 1. Penutup jaringan dibawahnya 2. Melindungi trauma 3. Mencegah penguapan 4. M encegah invasi bakteri, virus, jamur 5. Mengatur penguapan cairan.
PATOFISIOLOGI • • '·
•
• •
Keparahan luka bakar berhubungan dengan suhu dan lamanya pajanan terhadap sumber panas. Kulit memiliki kandungan air yang tinggi,' sehingga mengalami overheat secara perlahan, dan sebaliknya juga mendingin secara perlahan. Panas akan terus menembus jaringan yang lebih dalam meski sumber panas telah disingkirkan. Pendinginan yang segera setelah luka bakar dapat mengurangi suhu kulit yang terkena panas, akan tetapi kurang bermanfaat pada luka bakar yang luas. Daerah luka bakar terbagi 3: sentral (Zona Koagulasi), tengah (Zona Stasis), dan luar (Zona Hiperemia). Perubahan mikrosirkulasi: penurunan aliran darah diikuti vasodilatasi ar:teriol. Mediator endogen meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema dan hipoproteinemia. Hipoproteinemia menyebabkan berpindahnya cairan ke jaringan interstisial.
PENILAIAN LUKA BAKAR a. Anamnesis/Penyebabnya b. Kedalaman c. Luas luka
80
d. Lokasi e. Usia.
ANAMNESJS/PENYEBABNYA Luka bakar dapat disebabkan oleh api, cairan panas, bahan kimia, uap panas, ledakan, dan sebagainya. Penting juga diketahui lamanya dan lokasi pajanan. Konsumsi obat-obatan atau alkohol terakhir juga perlu ditanyakan. Mekanisme cedera yang berhubungan juga perlu ditanyakan, misalnya ledakan, jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya .
KEDALAMAN LUKA BAKAR (Gambar 40) Klasifikasi:
a. Derajat 1 Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis. Kulit tampak kemerahan. Nyeri hi lang dalam 48-72 jam. Sembuh tanpa cacat. B. Derajat 2
Kerusakan mengenai seluruh epidermis disertai sebagian dermis, terasa nyeri, kulit kemerahan, edematous, dan timbu l bulae. Luka bakar derajat 2 dibagi 2 jenis, yaitu : • Superfisial,. Kulit kemerahan, edematous, timbul bulae, nyeri. Banyak sel basal selamat, alat-alat di bagian dermis masih baik, pelebaran pembuluh darah. Sembuh dalam 2 minggu dengan tanpa parut atau parut minimal.
Derajat 1 Derajat 2 Dangkal Derajat 2 Dalam
Derajat 3 Kedalaman luka bakar pada kulit, dibagi atas derajat 1, derajat 2 dangkal, derajat 2 dalam, dan derajat 3.
GAM BAR 40.
81
•
Dalam. Kerusakan lapisan epidermis dan sebagian dermis, masih basah tapi tampak pucat, nyeri kuran..9 dibandingkan derajat 2 superfisia l. Dapat sembuh dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan disertai jaringan parut.
c. Derajat 3
Kerusakan se luruh lapisan dermis atau lebih dalam. Tampak epitel terkelupas dan, daerah putih karena koagulasi protein dermis. Derm is yang terbakar akan mengering dan menciut disebut eskar. Tidak ada perfusi
GAMBAR41.
Luka bakar derajat 1. [KANAN ATAS] Derajat 2 dangkal. [KIRI BAWAH] Derajat 2 dalam. [KANAN BAWAH] Derajat 3. [KIRI ATAS]
darah dan tak ada sensasi rasa nyeri. Penyembuhan spontan tidak mungkin terjadi. Setelah minggu kedua tampak jaringan granulasi yang harus d itutup dengan skin graft, bila dibiarkan akan terjadi kontraktur Qaringan parut yang meneba l dan menyempit). LUAS LUKA BAKAR Persentasi dari total area permukaan tubuh yang terbakar (TBSA). Untuk memudahkan perhitungan, satu telapak tangan pasi en adalah ± % % TBSA (Gam bar 42).
82
VN.1LH< PftAJ(llS lt.MI.IBEOAH Pt.ASTlK ltEKONSTRUKSI
Perhitungan berdasarkan "Rule of Nines" (Wallace): • Kepala, leher : 9% • • • •
Lengan, tangan Paha, betis, khaki Dada, perut, punggung, bokong Genitalia
: 2 x 9% : 4 x 9% : 4 x 9% : 1%
Penilaian berbeda pada anak karena ukuran kepala-dada dan tungkai berbeda Anak 5 tahun: • • •
Kepala : 14%. Tungkai, kaki : 16%. Bagian lain sama dengan dewasa.
Bayi 1 tahun: • • •
Kepala, leher : 18%. Tungkai khaki: 14%. Bagian lain sama dengan dewasa.
Cara perhitungan yang lain menggunakan Lund and Browder Chart, mungkin lebih tepat, tapi sukar dipakai sebagai acuan dalam praktek sehari-hari (Gambar 41).
GAMBAR42.
Menggunakan t elapak tangan untuk mengukur luas luka bakar. Satu telapak tangan pend erita = 0.78% Total Body Surface Area/TBSA (Amirsheybani HR, Crecelius GM, Timothy NH, Pfeiffer M, Saggers GC, Manders EK. Plast ic & Reconstructive Surgery. 107(3):726-733, Mar 2001).
PC'TlJN.JUK. NA!r"S ILMlJ ltDAH PL.u-JC REKONS1'R1...
83
IGNORE SIMPLE._ERYTHEMA
c
IIIII
c
DEEP SUPERFICIAL
%
REGION
HEAD NECK ANT. TRUNK POST. TRUNK RIGHT ARM LEFT ARM BUTIOCKS GENITALIA RIGHT LEG LEFT LEG TOTAL BURN
Persentase Luas Permukaasn Tubuh Berdasarkan Usia AREA
AGEO
A • l> of Head
9.5
8.5
B • Y, ofThigh
2.75
3.~5
2.5
2.5
C - Y, of One Leg
6.5 2.75
1S
4.5
3.5
4.5
4.5
4.75
3.25
3.25
3.5
GAMBAR43.
LUND AND BROWDER CHART
84
ADULT
10
5.5
USIA Luka bakar terjadi pada usia ekstrem dapat membawa morbiditas dan mortalitas lebih besar. Perhatian terhadap usia <3 atau >60 tahun, karena imunitas kurang dibanding usia lainnya . LOKASI Wajah dan leher, tangan, kaki dan Perineum (area primer) memerlukan perhatian khusus.
PEMBAGIAN BERAT LUKA BAKAR BERAT/KRITIS • Derajat 2 lebih 25% • Derajat 3 lebih dari 10% a tau terdapat di muka, kaki tangan • Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas, atau fraktur • Luka bakar akibat listrik. SEDANG • Derajat 2 :15-25% • Derajat 3 kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan. RINGAN • Derajat 2 kurang dari 15%. FAKTOR KO-MORBID Penyakit kardiovaskuler, respirasi, renal, penyakit metabolik. INDIKASI RAWAT INAP • Usia 10-40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 15% TBSA, luka bakar derajat 3 lebih dari 3% TBSA • Usia <1 0 tahun dan >40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 10% TBSA. setiap luka bakar derajat 3 • Luka bakar yang mengenai wajah , tangan, kaki, atau perineum • Luka bakar sirkumferens ial di ekstremitas • Luka bakar akibat listrik • Luka bakar yang menyebabkan penderita tidak dapat merawat diri sendiri atau tidak dapat menopang kehidupannya sendiri di rumah .
MANAJEMEN 1. Pertolongan Pertama • Jauhkan dari s umber trauma
PE
N UK PRAKTIS LM
£\ED~ PLASTIK REKONSTR
85
• • •
Bebaskan jalan nafas Perbaiki pernafasan Perbaiki sirkulasi
•
Bilas dengan air mengalir terus menerus sampai pertolongan selanjutnya yang memadai Penutup luka/t ubuh diganti dengan yang steril Pemberian analgetik dan prof ilaksis tetanus Ant ibiotika intravena profilaksis tidak diperlukan.
• • •
2. Perawatan Luka • Cuci dengan larutan detergen encer, bilas dengan air mengalir (kran) • Ku lit yang terkelupas dibuang, bulae jangan d ikel upas • Bula utuh dengan cairan > 5 cc dihisap, < Sec dibiarkan • Luka dikeringkan, d iolesi m ercurochrom atau SSD • •
Perawatan terbuka atau tertutup dengan balutan Pasien dipindahkan ke tempat steril.
3 . Terapi cairan dan elektrolit • Tujuannya unt uk memperbaiki sirkulasi dan mempertahankannya • •
Bila, derajat 2/3 > 25% Bila, tidak dapat minum. Menurut EVANS, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut: HARI1 BB x% luka bakar x 1 cc (elektrolit/NaCI) BB x% luka bakar x 1 cc (Keloid) 2000cc Glukosa 10%. HARI2 BB x % luka bakar x Y2 cc (elektrolit/NACL) BB x % luka bakar x Y2 cc (Keloid) 2000cc Glukosa 10% Monitor urine; Y2 -1 cc/jam.
86
•
Pemberian disesuaikan dengan monitoring
•
Yz vol. Diberikan 8 jam pertama sejak trauma
• • •
Y2 vol sisa diberikan 16 jam berikutnya Monitor: kateter urine, CVP Monitor sirkulasi: Tensi, nadi, pengisian vena, pengisian kapiler, kesadaran, Diurese, CVP, Hb dan Ht tiap jam
• •
Bila d iuresis < 1cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan dipercepat 50% Bila diuresis > 2cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan diperlambat 50%. Menurut BAXTER, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut: HARI1 BB (kg) x 4 cc (RL). HARI2 Koloid 500-2000cc + Glukosa 5% untuk maintenance.
4. N utrisi • Cara pemberian: enteral dan parenteral • Persamaan Harris-Benedict untuk kebutuhan kalori: kebutuhan kalori 24 jam= (25 kka l x kg BB) + (40 kkal x %TBSA) • Protein: 2,5-3 g/Kg per hari (dewasa), 3-4 g/Kg per hari (anak) • Pada pasien dengan luka bakar luas dapat dilakukan pemantauan kadar prealbumin untuk memantau keadaan nutrisi pasien. 5. Eksisi dan graft • Eksisi luka bakar secara tangensial dan graft dilakukakan setelah hemodinamik stabil, biasanya dilakukan mulai hari ke 2-4 • Eksisi dilakukan lapis demi lapis hingga tercapai lapisan kulit yang masih viable • Sebelum dilakukan graft harus dilakukan debridement luka yang baik, infeksi d iatasi, dan keadaan nutrisi harus baik.
KOMPLIKASI • • •
Parut yang sukar diperba iki Kontraktur Cacat tubuh
•
Kematian.
PROGNOSIS Hasil terbaik tergantung pada ukuran luka bakar dan usia pasien sendiri.
KONTRAKTUR AKIBAT LUKA BAKAR DEFINISI Komplikasi serius pada luka bakar yang terjadi akibat reorganisasi kolagen. Terjadi pada saat scartelah matang, menebal, dan akan mengencang dan menahan gerakan. Kontraktur dibagi menjadi 2: 1. Kontraktur ekstrinsik: Parut yang berbat as tegas, menarik ja ringan sekitar (kulit yang memendek). Membutuhkan pembebasan segera. 2. Kontraktur intrinsik: Kontraktur langsung dari suatu organ, misalnya tendon. Butuh rekonstruksi khusus dalam pembebasannya.
PENYEBAB Parut sudah kering tapi belum matang. Akibat gerakan sendi maupun gravitasi, kapiler baru pecah sehingga timbul perdarahan dan penyembuhan luka yang mulai dari awal lagi . Jaringan fibrosa akan teballalu mengkerut.
INDIKASI PENGOBATAN OPERATlF KONTRAKTUR PRIORITAS PROSEDUR PEMBEDAHAN: a . Penting: pembebasan pada fase akut untuk memelihara kehidupan jaringan dan fungsinya. Contohnya pada kornea dan kartilago telinga. b. Esensial: pembebasan untuk mengembalikan fungsi. Contohnya pada kontraktur sendi. c. Diinginkan: memperbaiki penampilan mendekati normal. Contohnya pada rambut di kepala atau a lis .
..
GAMBAR 44. [KIRI)
88
'
J
Kontraktur pada Aksila. [KANAN) Pasca release kontraktur de ngan flap da n gra ft.
I'<WCTIS llMU B£0AH Pt.AST1K ""t
GAMBAR45.
Balut tekan pada tungkai selama 1-2 tahun agar bekas luka tidak kontraktur karena gravitasi.
MENCEGAH KONTRAKTUR a. Balut tekan hingga lemas atau menggunakan pressure garment b. Bidai 3 minggu dilanjutkan bidai di malam hari saja.
WAKTU OPERASI a. Disarankan untuk menunda intervensi bedah setelah parut telah sepenuhnya matang, biasanya 18-24 bulan setelah terbakar. b. Operasi dapat dipercepat b ila terdapat masalah kelangsungan hidup jaringan tubuh dan gangguan fungsi, contohnya pada kontraktur sendi proksimal interfa lang. c. Menunggu waktu operasi dapat mengganggu keadaan psikologis dan pekerjaan pasien. Pertimbangkan untuk dilakukan konsultasi psikiatrik. d. Kepastian waktu operasi disesuaikan dengan keadaan pasien.
89
METODE OPERAS! PEMBEDAHAN UNTUK KON TRAKTUR a. Dilakukan eksisi parut untuk merelease kontraktur sehingga gerakan sendi bisa bebas b. Luka ditutup skin g raft c. Rekonstruksi dengan flap untuk menutup bekas parut tersebut.
TUJUAN a. Memaksimalkan fungsi b. Memfnimalkan kerusakan/kecacatan c. Memp erbaiki penampilan.
GAM BAR 46. [KIRII Kontraktur pada ekstremitas bawah. [KANAN! Pasca release kontraktur dengan flap.
90
P ·TIJI"'IIJtJI( f'R,fd('flS M..MU llfDAH PlASTlK REfC.ONSTRUK51
Hipospadia Ulkus Dekubitalis Lesi Kuku: Ingrowing Toena il
HIPOSPADIA DEFINISI Suatu kelainan bawaan di mana Meatus Uretra Eksternus terletak di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari tempatnya yang normal pada ujung penis. Hipospadia biasanya disertai bentuk abnormal penis yang disebabkan adanya Chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang. EPIDEMIOLOGI Di AS terjadi pada setiap 300-350 ke lahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainan nya dan makin jarang frekuensinya.
POTENSJ PENYEBAB a. Produksi androgen abnormal b. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada jaringan yang berhubungan, misalnya tuberkulum genital c. Estrogen dari lingkungan.
PATOFISIOLOGI a. Lipatan uretra bisanya bergabung pada raphe di garis tengah, dari perineum hingga glans. Hipospadia terjadi karena lipatan uretra gagal menyatu secara lengkap. b. Perkembangan dipengaruhi testosteron yang menginduksi virilisasi genitalia eksterna.
KLASIFIKASI Sesuai a. b. c.
posisi meatus uretra eksterna Anterior: Glanular, koronal, subkoronal. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal.
GAM BAR 47. [KIRIJ Hipospadia
92
tipe glanular. [TENGAH) Tipe penile. [KANAN) Tipe penoskrotal.
UNJUK P~AI
DIAGNOSIS Tanda/gejala Hipospadia yang khas: Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian ventral menyerupai meatus uretra eksternus. Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian dorsal. Adanya Chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi Meatus dan membentang ke distal sampai basis glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar. Kulit penis d i bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis. Tunika dartos, fasia Buch dan Korpus Spongiosum tidak ada. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis dari glans penis. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok. Sering disertai undescended testis. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
KELAINAN PENYERTA 1. 2. 3. 4.
Tidak ada yang spesifik, harus dicari misalnya atresip ani Pembesaran prostatic utricle (1 0-15%). Hal ini menyulitkan kateterisasi Intersex (9%), genitalia meragukan antara pria atau wanita Undescended testis.
MANAJEMEN Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat berkemih dengan normal, bentuk penis norma l, dan memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil pembedahan yang diharapkan adalah penis yang lurus, simetris, dan memiliki Meatus Uretra Eksternus pada tempat yang seharusnya, yaitu di ujung penis. Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp.
A. TEKNIK TUNNELING SIDIK-CHAULA DILAKUKAN OPERASI 2 TAHAP. 1. Tahap pertama: release Chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis • Dilakukan pada usia 1Yz -2 tahun • Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal • Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagial") dorsal dan kulit penis. 2. Tahap kedua: dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut
93
sudah lunak • Dibuat insisi paralel pada..tiap sisi uretra sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah • Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian lateral yang ditarik ke ventral dan dipertemukan pada garis median Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi I telah matang.
B. TEKNIK HORTON DAN DEVINE, DILAKUKAN 1 TAHAP, dilakuka n pada anak lebih b esar d engan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis Dist al. Uretra dibuat dari flap Mukosa dan kulit bag ian dorsal dan distal penis deng an pedikel kemud ian ditransfer ke Ventral.
KOMPUKASI 1. Fistula uretrocutaneous 2. Stenosis uretra 3. Striktur uretra 4. Twisted penis.
'·
ULKUS DEKUBITALIS DEFINISI Nekrosis atau Ulserasi akibat t ekanan yang lama, biasanya t erjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi. EPIDEMIOLOGI Data di Amerika tahun 1994, Ulkus Dekubitalis terjadi pada kurang lebih 10% pasien yang dirawat, di mana 60% di antaranya berusia di atas 70 tahun.
ETIOLOGI A. ETIOLOGI UTAMA 1. Tekanan a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan jaringan lebih dari 32 mmHg, sirkulasi setempat menurun dan terjadi iskemi b. Saat terlentang tekanan pada tum it dan sakrum mencapai 40-60 mmHg, sedangkan saat duduk tekanan pada iskium dapat mencapai 100 mmHg c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang diperlukan untuk terjadi iskemi d. Meski tekanan melebih i tekanan kapiler, terjadinya Ulkus Dekubitalis dapat dicegah dengan menghilangkan tekanan secara periodik (ubah posisi setiap 2 jam). 2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan trombosis dan iskemi. 3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat pemindahan posisi pasien. 4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat t erjadi akibat lnkontinensia atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus. B. ETIOLOGI TAMBAHAN 1. Malnutrisi 2. Gangguan saraf sensoris (cedera daerah Vertebra) 3. lnfeksi pada luka 4. Usia 5. lmobilisasi 6. Penyakit sistemik: Diabetes Mellit us, merokok, penyakit pembuluh darah.
KLASIFIKASI Klasifikasi ulkus sesuai National Pressure Ulcer Advisory Panel system di Amerika: Stage I Eritema yang bertahan lebih dari 1 jam setelah tekanan dihilangkan, kulit utuh
Stage II Stage Ill
Kehilangan kulit partial thickness Kehi langan kulit full thickness hingga subkutan tapi belum
mencapai fascia Kerusa kan m elewati fascia mengenai ot ot, tu lang, tendon, Stage IV atau persendian.
DIAGNOSIS Terdapat kemera han at au ulserasi pada pasien ya ng mengalami imobilisasi. Pad a posisi terlentang biasanya terdapat d i sakrum dan tumit , pada pasien posisi duduk sering terdapat di iskium dan t rokanter.
' GAM BAR 48.
Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering. Kiri pad a.Posisi supinasi (terlentang), kanan pada pasien dengan posisi duduk.
MANAJEMEN A. PENCEGAHAN: 1. Mengatasi faktor risiko utama a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi setiap 2 jam, pasien duduk diangkat setiap 10 men it selama lebih dari 10 detik b. Minimalkan ke lembaban dengan·sering mengganti pakaian dan seprai c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang nyaman dan sesuai d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hati-hati.
96
.UK I'RAI<TIS tL111
8EDAH P\ASTIK MKONS11tVKS
2. Mengatasi faktor risiko sekunder a. Obati infeksi b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal
c. Hentikan rokok d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada.
B. PENANGANAN ULKUS DEKUBITALIS 1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala setiap 2 jam.
2. Ulkus Dekubitalis partial thickness a. Atasi semua etiologi b. Penutup luka, bisa dit ambah d engan silver sulfadiazin c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif. 3. Ulkus Dekubitalis full thickness a. Atasi semua etiologi b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati
c. Penutup luka lemb ab-b asah, antibiotik bila infeksi, penutup oklusif untuk luka pasca-debridement t idak terinfeksi, mengobati infeksi jaringan lunak (debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik sistemik), atau p enggunaan Vacuum Assisted Closure pada luka decubitus t ertentu d . Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau pada kasus sederhana bisa dengan graft (Gambar 49).
GAMBAR49.
Ulkus dekubita/is pada punggung dan sakrum-iskium. [KIRI] Pra-operasi. [KANAN] Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak mengalami gangguan sensibilitas permanen.
~·
GAM BAR 50.
Ulkus Dekubitalis pada sakrum-iskium. (KIRI] Pra-operasi. (KANAN ( Pasca operasi dengan flap V-W advancement gluteus maksimus pada daerah sakrum .
98
lit REKONSTRUXII
LESI KUKU: INGROWING TOENAIL DEFINISI Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh berlebih dan melukai tepi jari. EPIDEMIOLOGI Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti jumlahnya.
ETIOLOGI Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate tumbuh lebih Iebar dari nail bed.
FAKTOR RESIKO 1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai jaringan lunak waktu berdiri 2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan mudahnya 3. 4. 5. 6.
tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi Sepatu yang terlalu sempit Kebersihan kaki yang buruk Pergerakan kaki yang salah Deformitas di kaki .
PATOFISIOLOGI 1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing dan menghambat penyembuhan luka.
G AMBAR 51. INGROWING TOENAIL pada jari kaki kiri bagian medial, sampai ke bagian proksimal. Perlu
dilakukan operasi "nail plasty." Perhatikan pada gambar kiri, daerah yang mengalami inflamasi. [TAMPAK DEPAN) penonjolan jaringan lunak tepi kuku akibat proses peradangan.
99
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien tidak dapat memotong seluruh kukunya ·dan menyisakan sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut "fishhook nail". Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing toenail bertambah parah.
MANAJEMEN 1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah adanya kuku yang melukai sisi lat eral nail groove. 2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat dilakukan manajemen konservatif, diantaranya: a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove menggunakan kapas yang diberi pelembab b. Splinting mengunakan potongan selang i nfus yang diletakkan di antara kuku dan lateral nail groove, dipertahankan selama 3-4 minggu c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali bagian tepi) dapat membuat kuku lebih fleksibel d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan menggunakan perekat kulitlplester. 3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal, maka dapat dilakukan pembedahan (Gambar 52).
GAM BAR 52. NAI L PLASTY.
Setelah anestesi blok dan torniquet menggunakan kasa yang dipe lintir, 3mm kuku dipotong menanjang sampai dengan nail fold. [KANAN ATASJ Kuku patologis diambil. [KIRI BAWAHJ Penjahitan kuku dan kulit secara "through and through." [KANAN BAWAHJ luka d iberi antibiotik topikal dan ditutup perban ketat melingkar. lstirahat beberapa hari sangat membantu proses penyembuhan. [KIRI ATASI
100
:-.;\I 0.1\11 ~ Ll.ll Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Swrgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004. (Hal. 1-2)
l'l " " \h• IH'- l J.;' Sam mer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004. (Hat. 1-8/
.l:.llllll D \:\ 11·\lll TI ll PUll ROl l. 1.
Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various methods of treating keloids and Hypertrophic Scars: a 10-year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9. 2. Reiken R, Wolfert F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth using Selectively Photo Thermolysis. Lasers Surg Med. 1997; 21:7-12. 3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic Scars: A Comprehensive Review. Plas Recons Surg. 1989; 84:827-37. 4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of Hypertrophic Scars and Keloids with Triamcinolone. Plas Recons Surg. 1971 ;48:256-9. 5. Blackburn WR, Cosman B. Histologic Basis of Keloid and Hypertrophic Scar differentiation. Clinicopathologic Correlation. Arch Pathol. 1966;82:6S-71. 6. Cosman B, Cricklair GF, et.al. The Surgical Treatment of Keloids. Plas Recons Surg. 1961; 27:335-9. 7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared. (Online). Dapat diakses di: www. phudson.com/scar/keloidvhyper.html 8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD. (Online). Dapat diakses di: www.aocd.org/ skin/dermatologic_diseases/keloid_and_hypert.html 9. Kantor J. Keloid. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/000849 .htm 10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of Hypertrophic Scars and Keloid: A Multifaceted Approach. (Online). Dapat diakses di: www.thaicosderm.org/med.topikl keloidRX.htm
rfi\.:-.J I. I> \'> \R PI \ 111·1 >\It' Trussler AP. Surgical Tecnoques and Wound Management. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004./Hal. 9·15/
'"'' r.~ l'"-"
Thorne AC. Local Anesthetics. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hat. 99-103/
"1\1 <,RAI I 1> \:\ 111\P 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7.
Chang E. Grafts. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. /Hal. 16-20/ Lynch J. Flaps. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. /Hal. 22-30/ Spector J, Levine J. Cutaneous Defects: Flap, Grafts, and Expansion. Current Therapy in Plastic Surgery. Saunders, Philadelphia. 2006. (Hat. 11-20) Perdanakusuma D. Skin Grafting. Airlangga University Press. Surabaya. 1998. (Hal. 7-27/ Smith JD, Pribaz JJ. Flaps. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indicat ions, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 261-290/ M atheus J, Foad N . Text book of application of Flap. 2nd ed. CV. Mosby Company, St. Louis. 1998. (Hal. 585-1>09/ Grande D. Skin Grafting. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: www.emedicine. com/derm/topic867 .htm
8.
Hart JP. Skin Graft. (Online). 6 Okt 2005. Dapat diakses di: www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/article/002982.htm
1\HHH \111-.RO 1. 2.
Borschel GH. M icrosurgery. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 38-431 5henaq SM, Sharma SK. Principles of Microvascular Surgery. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. 73-771
"lt,ROI IIIR0\1' 1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 78]
2.
3. 4. 5. 6. 7.
Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and Generalized Skin Disorders. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. 150-15 1) Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5. Panit ia Kanker RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta.1999. (Hal. 565-87] Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/hsddental/opath/cards/ neurofibroma.html Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di: http:/len.wikipedia.org/wiki/ neurofibroma Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat diakses d i: www. childrenshospital.org/az/site 1085/printerfriendlypageS1 085PO.html Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.maxillofacialcenter.com/bondbookl softtissue/neurofib.html
"' \l.i~
Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin Lesion: Tumors of Melanocyte System . Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 305-307]
111'0.\1.-\ 1. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. 2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar 2002. Dapat diakses d i: http://www.aafp.org/afp/20020301 /901.html 3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://www.maxillofacialcenter.com/BondBookl softtissue/lipoma.html 4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http://www.webmd.comlhw/skin_ and_beauty/tp21226.asp 5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://www.mayoclinic.com /health/lipoma/ DS00634
FIBROMA Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2006;19:151-152.
"--STA ATEROMA Pieter J ., Prasetyono TO H, Bisono, Halimun M . Kista. Dalam Sjamsuhidajat, DeJong W. Buku Ajar llmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta 2005. (Hal. 3211 KARSINOMA SLL BASAl. 1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980; 7:301-31 1. 2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker RSUP dr Sardjito.
3. 4. 5. 6. 7.
Yokyakarta·. 1996. h. 448-452. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of management of basal and Squamous Cell Carcin_oma of the Skin. Cancer. 1995. 75:699-704. Richmond JD, Davie RM. The Significance of lncomplex excision in Patients with Basal Cell Carcinoma. Br J Plast Surg. 1987. 40:63-67 Riefkohl R, Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of Difficult Basal Cell and Squamous Cell Carcinoma of Skin. Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104 Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma). Dermatology in Focus. Elsevier Churchill Livingstone. Edinburg. 2005.p.130. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor Infiltration in Basal Cell Carcinoma. J Dermatol Surg Oneal. 1991. 17:574-57
I \ ,J 0\ I \ '' I \t-. l 10\ \ Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 315-324/
1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 61-73/ 2. Mecht SD. Melanoma. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. (Hal. 325-355/ I 1.
2.
1\ l l I I Cavaliere CM. Vascular Anomalies. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 80.81/ Mulliken JB. Vascular Anomalies. Da lam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. 191-196/
3.
4. '•
Dufresne CR. The Management of Hemangiomas and Vascular Malformations of the Head and Neck. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St.Louis. 2000. (Hal. 973-995/ Kantor J. Hemangioma. University of Maryland Medical Centre. (Online). 2004. Dapat diakse~ di: www.umm.edu/ency/article/001459.htm
ttl·~ 0:-i' IIH 1\\1 Kl-1 \1 "UJ \ll t-. \ Brown DL, Borschel GH. Facial Reconstruction (Section). Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia 2004. (Hal. 109-34}
\1
1. Enwonwu CO, Falkler WA Jr, ldigbe EO, Afolabi BM, Ibrahim M, Onwujekwe D, dkk. Pathogenesis of Cancrum Oris (Noma): Confounding Interactions of Malnutrition with Infection. Am. J. Trap. Med. Hyg., 60(2), 1999, (Hal. 223-232/ 2. Bourgeois DM, Diallo B, Frieh C, Leclercq MH. Epidemiology of the incidence of orofacial noma: a study of cases. Am. J . Trop. Med. Hyg., 61 (6), 1999, {Hal. 909-913/ 3. Devi SR, Gogoi M. Aesthetic restoration of fa cial defect caused by cancrum oris: A case report. Indian Journal of Plastic Surgery, Vol. 36, No. 2, Dec, 2003, (Hal. 13 1-133/
l I{ \l \1111 l Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2004. (Hal 151-9/ 2. La Rossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, 1.
3.
4.
5.
Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. {Hal. 755-67/ Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. {Hal. 769-97/ Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft Lip and Palate. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plast ic Surgery. Ed. 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. {Hal. 237-44/ Byrd, HS. Unilateral Cleft Up. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed . 5. New York: Lippincott-Raven; 1997. {Hal. 245-253/
6.
Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Up and Nose Repair. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: LippincottRaven; 1997. {Hal. 255-263/ 7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000 . {Hal. 1111-1112/ 8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215 9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171 -89 10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di: www.fpnotebook.com/ NIC7.htm ll "\ \l \II' I~<. 1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial Syndromes. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manua l of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. {Hal. 165-173/ 2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. /Hal. 349-363/
3.
Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related Deformities. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman Ill JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. {Hal. 741-754/
l\1\11 It Ill\'\< .\ 111\.\ Manson PN. Facial Fractures. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia : 1997. {Hal. 383-406/ 2. Edward SP. Facial Trauma. Dalam Brown DL, Borschel GH, edit or. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. {Hal. 174/ 3. Mas'ud AF, Sudjatmi ko G, Prasetyono T, Susanto I. Association beetwen Facial Bone Fracture and Traumatic Bone Inj ury. Makalah PIT Bali 2006. Divisi Bedah Plastik RSCM. Jakarta. 2006 4. Richardson ML. Facial and Mandibular Fractures. University of Washington School of Medical. (Online). 2000. Dapat diakses di: www.rad.washington.edu/mskbooklfacialfx. html 5. Darmadiputra, Bisono, et.al. Fraktur Tulang Wajah. Buku Ajar llmu Bedah. Ed.2. EGC. Jakarta. 2003. {Hal. 337-339/ 6. Setiamihardja S. Trauma/Fraktur Tulang Muka. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI Bag. llmu Bedah RSCM. 1995{Hal. 425-7/ 7. Dolan KD, Jacoby CG, et.al. The Radiology of Facial Fractures Radiographies. 1984;4:575-663. 8. Facial Fracture Symptoms. (Online). Dapat diakses di: www.emedicinehealth.com/ facial_fracture/page3_em.htm 9. Harris, Troetscher. Face and Mandible. (Online). Dapat diakses di: www.uth.tmc. edu/radiology/test/er_primer/face/facetxt.html 10. Mitchell, B. Maxillofacial Trauma . Gale Encyclopedia of Medicine. (Online). Des 2002. Dapat diakses di: www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/maxillofacial_trauma.jsp 11 . Facial Bone Fracture. (Online). Dapat diakses di: www.health_care_clinic.org/injuries/ facial-bone-fracture.ht m
1.
P£1UNJUK "'AI
1 OS
l.UKA 1\.U, \U 1. , Pacella, S. ~ul;l! Bu!ns. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of • • Plastic Surgery. Lipptr;cott W illiams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 380-386} ,.·: 2. 5etiamihardja S. Luka bakar. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. 1
1
(Hal. 435-40}
1
I
•
About Burn Injuries. (Orji'\_e). Dapat diakses di: www.burn_recovery.org/injuries.htm .• 1 Burns management. (O~Ii ~). Dapat diakses di: www.health.nsw.gov.au/public_health/ J burns/burnsmgt.pdf . : .r 1 , \ 5. Www.brnj.bmjjournalsoq:>m6cgi/contentlfull/329/7460/274?etoc. t'··~\J ~-~~sacflUs~ l{ljwry ~eporting System. 2001 . Annual Report. (Online). Dapat ;t · ' ,- diakl~ di: 'www.ma"!~!fov/jJ fslosfm/firedata/mbirslmbirs_2001 ar.pdf • • \ 7. wwvtmecl,scape.corrfvievt3rticle/535519?rss
J\
3. 4.
:;. ' \ B. ~-~"Ur;r~~rtoa1i~:~om/pic.asp?icat=6&ipic•7
\.~~~I It ;:··,f R
-:-. ' ' ; }
· :"" flarr . Burn lre,eo'?Struction. British Medical Journals. 31 July 2004; 329; 274-276. : :2.\ 'WoJ! r G. B ~e~nstruction. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan an c ~u~ery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 390-396} . B' • ~ctiojl> (Online). Dapat diakses di: www.btinternet.com/-bmphilp/ • eburn i'lrn_re~~struction.html
~
H 1. 2.
lJ.!~ •
_; •
Coleman DJ, Banwell PE. Hypospadias. In Mathes SJ, editor, Plastic Surgery. 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2006. [Hal. !259-!2791 Hollenbeck BK. Nelson CP. Hypospadias. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual c;>f Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. (Hal. 372-374}
3.
4.
5.
..
Horton Sr CE, Horton Jr CE, Devine CJ Jr. Hypospadias, Epispadias and Exstrophy of the Bladder. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery: Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. (Hal. !!Ol-1lOS} Baskin, LS. Hypospadias. Anatomy, Embryology and Reconstructive Techniques. University of California. USA. (Online) 2000. Dapat diakses di: www.brazjurol.com. br/novembro/ baskin_621 _629 .htm Sastrasupena, H. Hipospadia. Kumpulan Kuliah llmu Bedah. FKUI. Jakarta. 1995. (Hal. 428-434}
~.
6.
7. 8. 9.
Www.mercksource.com/pp/us/cns Soomro, NA., Neal, DE. Treatment of Hypospadias: an Update of Current Practice. Hosp Med. 1998; 59:553-556. ' Hypospadias. Www.surgicaltutor.org.ukldefaulthome.htm? system/hnep/hypospadias. htm-right. www.pennhealth.com/. ../hypospadiasrepair_4.html
1:\:(, I< I '\\II Krull EA. Toenail Surgery. Dalam Krull EA, Zook EG, Baran R, Haneke E, editor. Nail Surgery, A Text and Atlas. Philadelphia: Lippincott-Williams&Wilkins; 2001. (Hal. !35-!6!]
1:-\G ltO~
106