LATAR BELAKANG Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. KETIDAKADILAN GENDER DALAM MASYARAKAT ADAT Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku bangsa, yang didalamnya termasuk masyarakat adat. Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tanggal 17 Maret 1999 mendefinisikan masyarakat adat adalah “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Menurut data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 2010, Indonesia memiliki 1.128 suku. Data Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan sekitar 60-70 juta masyarakat adat atau sekitar 24-28 % dari total penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa. Sebagian dari mereka merupakan penganut kepercayaan diluar yang ditetapkan negara dan tinggal di pedesaan. Keberadaan masyarakat hukum adat sebenarnya telah diakui didalam konstitusi kita, yakni UUD Republik Indonesia 1945 Pasal 18 B (2) menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang”. Sedangkan dalam Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945 menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Akan
tetapi, pernyataan tersebut belum memiliki kebijakan yang implementatif sehingga hampir tidak memberi dampak apapun terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat adat. Hingga saat ini perempuan adat di seluruh pelosok nusantara masih mengalami beragam bentuk penyingkiran (eksklusi) dan kekerasan baik di ranah domestik, publik dan Negara (lihat Tsing 1998, KOMNAS Perempuan 2013 & 2015). Pemberian izin atau hak atas tanah di dalam masyarakat adat oleh Negara berakibat penghancuran dan penyempitan ruang hidup dan wilayah yang di kelola perempuan adat. Wilayah kelola perempuan adat ini pada umumnya adalah sumber penghidupan mereka untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Misalnya mata air, lubuk ikan, dan hutan obat. Disisi lain, masyarakat adat yang memiliki kondisi disabilitas berpotensi mendapat perlakuan diskriminasi ganda atau berlapis yaitu diskriminasi sebagai “masyarakat adat” dan sebagai “penyandang disabilitas”, belum lagi melekat jenis kelamin sebagai “perempuan adat”. Dimana perempuan seringkali di anggap sebagai warga kelas dua (the second sexs). Bentuk-bentuk diskriminasi yang masih terjadi yakni penghancuran hak perempuan adat atas kedaulatan pangan dan energi, pengambilan hak oleh laki-laki (suami) atas kepemilikan harta warisan yang dimiliki istri, kepemilikan harta yang belum diatur secara jelas oleh negara, penindasan, ketidakadilan perlakuan dalam berbagai aspek kehidupan, eksploitasi dan perampasan atas hak-haknya baik sebagai perempuan disabilitas dan perempuan adat yang diakibatkan dari tatanan kebijakan global, nasional, lokal dan komunitas yang seringkali belum berpihak dan kian diskriminatif. Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan dukungan penghidupan tidak secara layak dipenuhi sehingga memperparah marjinalisasi terhadap perempuan disabilitas dalam masyarakat adat. Selain itu ketiadaan pengalaman yang dimiliki berkaitan tentang lapisan sosial di dalam masyarakat adat, maka memungkinkan Hak Perempuan Adat rentan lainnya di dalam komunitas adat diabaikan baik urgensinya maupun pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak. Oleh karena itulah, adanya RUU Masyarakat Adat diusulkan agar menjadi suatu kebijakan atau aturan yang melindungi, menguatkan, memastikan hak-hak perempuan adat terpenuhi, termasuk pada perempuan disabilitas masyarakat adat dan kelompok marginal lainnya.
Perempuan Minangkabau dari segi ekonomi dimapankan oleh adatnya. Harta pusaka tinggi menurut adat diwariskan kepada kaum perempuan. Harta tersebut berupa rumah, sawah, dan ladang. Hal itu memperlihatkan bahwa perempuan Minangkabau dilindungi oleh adatnya. Sebagai perempuan, mereka dihormati, ditinggikan, dan dilindungi sehingga tidak dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan gender dalam kehidupan bermasyarakatnya. Dalam sistem dalihan na tolu terdapat kesetaraan antara satu sama lain karena dalam sistem ini tidak mengenal kasta. Selain itu, posisi masing-masing akan selalu berganti dengan kata lain tidak ada satu orang yang selalu memiliki posisi hula-hula atau boru tetapi silih berganti tergantung situasi dan kondisi. Ditinjau dari sudut kesetaraan gender, sistem dalihan na tolu mengalami ketidakadilan. Kedudukan laki-laki dalam dalihan na tolu menjadi kelas utama sedangkan perempuan hanya pelengkap. Hal ini terjadi akibat ideologi patriarki yang terdapat dalam sistem dalihan na tolu yang berpusat kepada laki-laki. Laki-laki disebut sebagai raja sedangkan perempuan hanya puteri raja (boru ni raja) dan tidak pernah menjadi ratu. Apabila dikaji lebih mendalam sistem dalihan na tolu yang terdapat pada Suku Batak, sistem ini berkaitan dengan budaya patriarki. Perempuan menjadi kelompok inferior dan laki-laki sebagai kelompok superior. Kedudukan perempuan dalam dalihan na toluhanya sebatas objek sedangkan laki-laki menjadi subjek. Posisi setiap orang dalam dalihan na tolu ditentukan oleh laki-laki dan perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki.Dalam Budaya Batak, perempuan harus ikut keluarga laki-laki implikasinya segala sesuatu ditentukan oleh laki-laki. Pemahaman akan perempuan yang meninggalkan orangtua dan pergi ke keluarga suaminya mengakibatkan terjadinya ketidaksetaraan gender. Perempuan mendapatkan kedudukan sebagai kelas dua dan laki-laki sebagai prioritas. Perempuan menerima kondisi ini sebagai takdir dan tidak perlu dipertanyakan. Laki-laki Batak mewariskannya melalui hegemoni dan Perempuan Batak hanya sanggup menerima apa yang diputuskan laki-laki. Perempuan Batak sudah puas dengan panggilan puteri raja dan tidak pernah memiliki panggilan sebagai ratu. Sebutan puteri raja (boru ni raja) akan perempuan Batak menunjuk kepada seorang raja yang memiliki puteri. Yang diutamakan (dihormati) dalam pernyataan ini adalah rajanya (laki-laki) bukan puterinya.Tanpa disadari, Lakilaki Batak yang dipanggil sebagai raja memperisteri seorang perempuan bukan ratu melainkan sebatas puteri raja (boru ni raja). Perempuan Batak tidak ada dipanggil sebagai ratu atau sejenisnya tetapi hanya puteri seorang raja. Sebutan ini membuktikan bahwa Perempuan Batak tidak pernah setara dengan Laki-laki Batak. Oleh sebab itu dalam sistem dalihan na tolu terjadi ketidaksetaraan gender.
Ketidakadilan gender dalam ekonomi keluarga Marginalisasi Menurut Mansur Faqih, proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang termarginalkan kepada dirinya. Demikian juga yang dialami oleh perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam ketidakadilan gender ini. Sebagai contoh dalam pekerjaan, perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki. Marginalisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses penyingkiran perempuan dalam pekerjaan. bentuk marginalisasi dalam empat bentuk, yaitu: (1) Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dan dinilai kurang terampil. (3) Proses feminitas atau segresi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu, tau sematamata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja. (4) Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan upah. Marginalisasi nampaknya juga dialami oleh mayoritas perempuan dalam komunitas Aboge. Dalam hal ini, meskipun perempuan dalam komunitas Aboge Telah bekerja dari pagi hingga sore hari, tetapi dengan asumsi gender peran mereka hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak hanya dinikmati oleh dieinya sendiri, tetapi untuk keperluan seluruh anggota keluarganya
BENTUK KETIDAKADILAN GENDER Marginalisasi Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan. Contohnya : Perempuan dipinggirkan
dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki juga pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani. Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan, Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Selain itu terdapat juga contoh misalnya guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Subordinasi atau penomorduaan Ialah Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Contoh apa bila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri. Selain itu masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki. Kemudian dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. Dan juga
masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif ).
Stereotype Adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Atau dalam hal ini seperti suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Contohnya apabila seorang lakilaki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan. Beban Ganda Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Misalnya wanita karir yang juga sibuk sebagai ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga yang bekerja di lebih dari dua rumah yang juga sibuk denga pekerjaan rumahnya. Kemudian seorang guru yang menghabiskan banyak waktu untuk mengajar anak orang lain dan bahkan menyita waktunya untuk mengajari anak anaknya.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki. Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi. Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. B.
SARAN
Saya memberikan saran kepada kaum wanita untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia dalam segala aspek pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Mudahmudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.