JOBONG KAPUR INOVASI UNTUK EFFIISIENSI ENERGY DAN SWITCHING ENERGY
1.Kapur tohor. Kapur tohor (quick lime) adalah hasil kalsinasi batu kapur (calcium carbonate) pada temperature diatas 900 celsius , garis besar reaksi adalah CaCO3 Æ CaO + CO2. Dalam perdagangan kapur tohor digunakan sebagai campuran bangunan, kendali pH pada proses pengolahan limbah cair industry, neutralisasi dan pemurnian nira pada semua industry gula tebu, industry pengeboran dan pertambangan dll. 2.Jobong kapur. Jobong tradisional. Jobong kapur adalah tempat batuan kapur dibakar , hamper disemua Negara dikenal jobong tradisional yang hamper hamper serupa dengan jobong tradisional di Indonesia, dicirikan dengan invest yang murah dengan teknologi sederhana dengan menggunakan bahan bakar kayu , minyak kasar maupun batubara dengan effisiensi yang relative rendah (dibawah 20%).
Jobong tradisional Indonesia.
Jobong modern. Jobong kapur modern umumnya dapat berbentuk vertikal dan rotary dua duanya dioperasikan continu dengan teknologi yang lebih tinggi, investasi yang mahal dengan menggunakan bahan bakar minyak, gas (LNG, LPG maupun CNG) maupun batubara.
Vertical lime kiln Jepang.
Rotary Lime kiln di Freeport Papua. Type jobong modern diatas adalah type padat modal dan teknologi, agak krang sesuai dikembangkan untuk usaha usaha kecil dan menengah.
Pengembangan jobong di Malawi. 4 ton perhari kapasitas, mixed feed (kapur dan arang), hembusan paksa, vertical kiln.
Jobong kapur yang dikembangkan oleh The Scumacher Centre for Technology and Development di Malawi, bagian luar kiln adalah carbon steel tebal mm, diameter rongga dalam 1,1 meter dan bagian atas dikerucutkan dengan diameter 0,8 mtr, lapisan dalam adalah batu tahan api, diluarnya adalah batu isolasi dan bagian paling luar adalah batu merah. Bagian bawah dilengkapi dengan 4 pintu untuk keluaran kapur dan dilengkapi dengan hembusan udara dari blower 5,5 kw, batu kapur diisikan berlapis dengan arang (arang sebagai bahan bakar), 5,7 ton batu kapur pecahan 7,5 sd 12.5 cm memerlukan 0.8 ton arang kayu tiap hari.
6 ton perhari vertical kiln bahan bakar minyak.
Jobong dibuat dari batu tahan api yang diperkuat dengan carbon steel silinder sedangkan bagian liar dari pasangan batu merah biasa,tebal dinding bagian bawah kurang lebih 1 meter dan bagian atas kurang lebih 0,5 meter, penggunaan minyak tentu sudah diperhitungkan untung ruginya , utnuk mendapatkan kwalitas tinggi penggunaan oli bekas tidak disarankan . Dari 10,5 ton batu kapur mentah perhari atau 438 kg perjam, pecahan 4 cm sd 15 cm akan dihasilkan kurang lebih 6 ton kapur . Zona pemanasan dapat diilustrasikan sbb: 3 meter bagian atas adalah zona pemanasan awal (pre heating), 1,7 meter dibawahnya adalah zona calsinasi dengan temperature 1.100 celsius, kecepatan penururan adalah 0,2 mtr perjam yang artinya batu kapur pada proses calsinasi akan mengalami pemanasan 8 sd 9 jam, tiga buah burner dipasang sekeliling kiln dengan sudut 120 derajat. Energy yang diperlukan dinyatakan 1.500 kkal per kg kapur (6 kg kapur per liter bahan bakar), atau kapasitas burner yang diperlukan adalah 13 kg minyak perjam kali tiga burner atau total 39 liter minyak perjam, atau 936 kg minyak per 24 jam, effisiensi app 40%. Dengan pendekatan converse factor CO2 tiap kg heavy oil 3.223 maka pada operasi kiln tersebut tiap hari akan menghamburkan CO2 sebesar 3.016 ton atau kurang lebih 0,5 ton CO2 perton kapur.
3.Bahan bakar. Bahan bakar yang banyak digunakan untuk jobong kapur adalah kayu bakar (dongkel kayu jati, kayu mahoni dll) dan serbuk gergajian kayu (wood molding), penggunaan batu bara masih relative jarang digunakan karena teknologi pembakaran yang cenderung menimbulkan polusi dan mengganggu lingkungan (baik bau maupun asap), beberapa jobong verikal kontinu dioperasikan dengan menggunakan minyak kasar dengan campuran oli bekas dll.
Bahan bakar kayu dan serbuk gergajian , mahal dan agak sulit didapat. Penggunaan kayu maupun serbuk gergajian kayu pada kondisi saat ini sebenarnya sudah kurang ekonomis ( Rp 350/kg kapur dihasilkan ‐ 55% dari harga jual), dan juga ada kecenderungan mempercepat kerusakan lingkungan (terutama kerusakan hutan).
Polusi asap dan bau menyengat .
4. Effisiensi energy. Hampir hamper tidak ada tolok ukur effisiensi energy yang digunakan oleh para pengrajin , hal ini karena keterbatasan keterbatasan baik teknologi maupun info teknologi, maupun permodalan yang sampai kepada mereka, rasa puas dan bersukur apabila ada keuntungan dan keluh kesah apabila menderita kerugian adalah bagian dari budaya para pengrajin, upaya upaya improvement dll meskipun hanya sedikit hamper hamper tidak dilakukan. Memang sangat sedikit referensi yang menyajikan berapa sebenarnya energy yang diperlukan untuk kalsinasi per satuan berat kapur,andaikan adapun sangat terlalu scientis sehingga tidak semua orang akan memahami, pendekatan pendekatan dari referensi didapatkan kebutuhan energy untuk calsinasi perton kapur yang dihasilkan adalah dalam kisaran 3.200 MJperton kapur ( 764.800 kkal/ton kapur) . Data data dari lapangan agak susah untuk disimpulkan 14 truk serbuk gergajian kayu (@ 4 ton pertruk) untuk menghasilkan 40 ton kapur tohor, dengan rata rata kandungan kalori serbuk gergaji dalam kisaran 3.500 kkal/kg maka diperlukan energy sebesar 14 truk kali 4.000 kg kali 3.500 kkal = 196.000.000 kkal/ 40 ton atau sama dengan 4.900 kkal per kg kapur (15,5% eff). Lepas dari angka angka matematis diatas memang dilapangan terjadi ineffisiensi energy karena berbagai alas an antara lain tingginya heat losses, system operasional dll sehingga beberapa referensi menyatakan bahwa effisiensi energy hanya dalam kisaran 15%.
5. Propose. Beberapa kelemahan diatas dapat dieliminir dengan melakukan beberapa improvement baik peralatan maupun system operasional pembakaran kapur, improvement meliputi “penggantian bahan bakar dengan residu pertanian dengan teknologi gasifikasi” terpasang pada “ Vertikal continu lime kiln manual feeding dan unloading” , vertikkal lime kiln dikembangkan berdasar vertical lime kiln yang ada di Bali (gambar diatas) dengan switching penggunaan bahan bakar dari minyak ke biomass gasifikasi dengan sasaran sbb:
Ilustrasi proposal vertical kiln dengan biomass gasifikasi.
Sasaran. Effisiensi dan diversifikasi energy. Secara ekonomis industry pembakaran kapur adalah industry padat energy , lebih dari 50% pengeluaran adalah untuk biaya energy, dengan propose diatas diharapkan pengeluaran biaya untuk energy dalam kisaran 30% dari harga jual produksi dan dengan limitasi investasi yang harus tersimulasi sehingga layak untuk didanai oleh perbankan, hal ini akan membangkitkan kembali kelangsungan hidup pengrajin kapur yang saat ini mengalami kesulitan energy, sehingga juga berdampak terserapnya kembali tenaga tenaga kerja yang sudah terbiasa dilingkaran usaha perkapuran. Lingkungan. Penggunaan bahan bakar batu bara berdampak negative akibat buangan gas CO2, sementara dengan bahan bakar kayu maupun serbuk gergajian kayu meskipun menghasilkan CO2 neutral tetapi ada kecenderungan terhadap kerusakan hutan (deforestation) seperti halnya yang terjadi di Negara Negara lain, disamping itu polusi udara baik asap maupun bau dari pembakaran kapur dengan batubara, minyak kasar maupun kayu dengan pembakaran yang kurang sempurna .Penggunaan biomas residu pertanian dengan teknologi gasifikasi perlu diterapkan untuk mengeliminasi dampak negative tersebut diatas dengan predikasi awal tiap kg kapur memerlukan 0,8 kg biomas dengan konversi factor 2.3 maka tiap kg pembakaran kapur akan dikeluarkan CO2 netral sebesar 1.8 ton. Limbah padat dan cair. Limbah pembakaran sekam (atau tongkol jagung dll) dengan terapan gasifikasi berupa arang (char) yang dapat digunakan sebagai organic fertilizer (pupuk organic) dengan kandungan beberapa hara macro dan C organic yang relative tinggi sehingga dapat berfungsi sebagai soil conditioner mempunyai kemampuan menahan air dan nutrisi (water and nutriti retainer), aplikasi pada tanah yang marginal akan dapat ditanami tanaman tanaman keras utamanya disekeliling jobong, dengan perhitungan tiap pohon akan menyerap 0,5 sd 1 ton CO2 pertahun maka integrasi ini selain menguntungkan secara ekonomis juga berdampak positip, kelebihan arang yang masih mempunyai nilai ekonomis dapat dijual pada masarakat petani. Kecil sekali limbah cair yang keluar dari sebagian kondensasi berupa asap cair yang ditampung dan tidak dihamburkan kelingkungan, asap cair sangat beracun dengan kandungan phenol dll dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan organic (food preservative ) maupun untuk organic perstiside (pestisida organic) yang keduanya adalah ramah lingkunan. Kwalitas produk. Pembakaran dengan gas bakar dari gasifier tidak menyertakan abu maupun ikutan lainnya sehingga diprediksi produk tidak terkontaminasi ikutan ikutan lain dan akan dihasilkan kapur tohor dengan kwalitas yang lebih baik.
Konstrain. Bahwa biomass gasifier untuk pembakaran kapur belum pernah dilaksanakan di Indonesia, maka tentu perlu keberanian berdasar perhitungan teknis dan ekonomis untuk melakukan inovasi inovasi, kepedulian beberapa fihak terkait diharapkan member partisipasi nyata. .