Gangguan Perkembangan Pada Anak Usia Sekolah.docx

  • Uploaded by: Handre Putra
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gangguan Perkembangan Pada Anak Usia Sekolah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,262
  • Pages: 20
Referat Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Diska Yulia Trisiana Januari 2019

Kepada Yth. Dr. dr. Eva Chundrayetti,SpA(K)

GANGGUAN PERKEMBANGAN PADA ANAK USIA SEKOLAH PENDAHULUAN Gangguan perkembangan masa anak adalah berbagai jenis masalah perkembangan yang potensial terjadi pada masa anak. Pada dasarnya, tiap-tiap tahap perkembangan memiliki pontensi gangguan perkembangan yang berbeda-beda, tergantung pada tahapan perkembangan yang diemban masing-masing usia. Pada usia bayi, misalnya, gangguan perkembangan yang potensial terjadi adalah gangguan pada perkembangan berbahasa, masalah terkait pertumbuhan fisik, dan bisa juga demam tinggi yang berisiko memunculkan gangguan lainnya.1,2 Pada usia sekolah di mana aktivitas anak mencapai puncaknya, sangat tinggi kemungkinan terjadinya kelelahan atau kecelakaan yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan motorik. Berbagai gangguan perkembangan lainnya berupa gangguan tingkah laku, disabilitas belajar, Attention deficit hyperactivity disorders (ADHD), gagal sekolah dan bullying.3 Tujuan penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui lebih jauh tentang berbagai gangguan perkembangan yang terjadi pada masa usia sekolah serta bagaimana intervensi yang perlu dilakukan.

DEFINISI Usia sekolah juga disebut Middle childhood, dimulai pada usia 6 tahun dan berlanjut hingga awal usia remaja pada usia 12 tahun. Periode middle childhood ini sering juga disebut school years atau school age karena ditandai dengan dimulainya pendidikan formal pada kebanyakan anak. Pada periode usia sekolah atau masa praremaja pertumbuhan lebih cepat daripada masa prasekolah, keterampilan dan intelektual semaikn berkembang, anak senang bermain berkelompok dengan teman yang berjenis kelamin sama.4 Freud mendeskripsikan usia sekolah sebagai periode laten dimana psikodinamis dari hubungan dengan orang yang penting terutama keluarga ditandai dengan perubahan dari rasa sayang ke aktifitas sesuai usia. Erikson menggambarkan aktivitas anak usia sekolah kegiatan penuh semangat untuk menguasai dan berkompetensi. Piaget

menggambarkan pada usia ini pencapaian belajar dan pemahaman meningkat, anak mulai berpikir logis tentang kejadian konkrit, proses berpikir lebih rasional dan matang.2,5 Anak usia antara 6-12 tahun, periode ini kadang disebut sebagai masa anak-anak pertengahan atau masa laten, masa untuk mempunyai tantangan baru. Kekuatan kognitif untuk memikirkan banyak faktor secara simultan memberikan kemampuan pada anak-anak usia sekolah untuk mengevaluasi diri sendiri dan merasakan evaluasi teman-temannya. Dapat disimpulkan sebagai sebuah penghargaan diri menjadi masalah sentral bagi anak usia sekolah.2 Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan di luar sekolah. Anak belajar di sekolah, tetapi membuat latihan pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar di sekolah. Banyak aspek perilaku dibentuk melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan dan identifikasi. Anak-anak pada masa ini harus menjalani tugas-tugas perkembangan yakni : belajar keterampilan fisik untuk permainan biasa, membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri, belajar bergaul dengan teman-teman sebaya, belajar peranan jenis yang sesuai dengan jenisnya, membentuk keterampilan dasar : membaca, menulis dan berhitung, membentuk konsep-konsep yang perlu untuk hidup sehari-hari membentuk hati nurani, nilai moral dan nilai sosial, memperoleh kebebasan pribadi, membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga.lembaga.6 Masalah-masalah yang terjadi pada usia sekolah berhubungan perkembangannya. Pada perkembangan fisik tubuh mengalami pertambahan ukuran, aktifitas yang dinamis, perkembangan motorik, dan gangguan kesehatan yang terjadi akibat peningkatan aktifitas bahkan cedera fisik. Gangguan sensibilitas, visual, auditori, dan masalah bicara dapat menurunkan kapasitas pencapaian belajar sehingga mengakibatkan gangguan belajar dan fungsi kognitif. Gangguan perkembangan sosial dan emosional, gangguan perilaku, pemusatan perhatian dan hiperaktifitas.3,7

A. GANGGUAN TINGKAH LAKU Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simptom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusak kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh

melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja usia sekolah.8 Prevalensi gangguan tingkah laku menurut Deivasigamani di India yaitu 11,13%. Perilaku antisosial sebanyak 7,1%. Gangguan tingkah laku menurut laporan DSM-IV lebih tinggi pada anak laki-laki sebanyak 6%-10% dibandingkan anak perempuan 2%-9%. Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD (36%) dengan predominan tipe hiperaktivitas impulsive. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain.2,8 Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku berisiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.3,6 Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi perilaku anti sosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang mempredisposisi. Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa.3

Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan tingkah laku pada remaja adalah faktor kerentanan psikiatrik, neurologi, kognitif, dan keluarga. Remaja yang mempunyai gangguan tingkah laku mungkin menderita cedera pada sistem saraf pusat. Walaupun sebagian besar remaja yang mengalami gangguan tingkah laku tidak mengalami kerusakan saraf, perlu penilaian medis dan neuropsikologis yang teliti untuk mengetahui disfungsi sistem saraf pusat yang terjadi. Gangguan belajar sering terjadi pada remaja dengan gangguan tingkah laku. Remaja yang mempunyai kesulitan dalam membaca dan bahasa, sering sulit untuk menumpahkan kemarahannya melalui kata-kata, justru langsung bertindak dengan berperilaku anti sosial.7,9

Beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan tingkah laku dan kenakalan anak.3,6,9 a. Disregulasi neurologik Tingginya angka kejadian gangguan tingkah laku yang terjadi bersamaan dengan dengan ADHD yaitu sekitar 50% menguatkan anggapan bahwa yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah disregulasi neurologik. b. Faktor biokemikal Teori biokemikal mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya kadar serotonin pada sistem saraf pusat dengan terjadinya perilaku agresif dan impulsive. c. Faktor biologi anak Temperamen anak cenderung sebagai prediktor terjadinya gangguan tingkah laku. Apabila orangtua menanggapi dengan tidak sabar, tidak konsisten dan banyak memberikan larangan pada anaknya maka kelak anak ini akan mengalami gangguan tingkah laku. Perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah,

masalah

dalam

fungsi

pelaksanaan

(kemampuan

mengantisipasi,

merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori. d. Faktor sekolah Anak yang mengalami gangguan tingkah laku sering mempunyai intelektual dan prestasi akademik yang rendah. e. Psikologi orang tua Ibu yang depresi, ayah pecandu alkohol, penjahat dan mempunyai perilaku anti sosial berhubungan erat denga terjadinya gangguan tingkah laku pada anaknya. f. Peranan keluarga Perceraian, konflik dalam perkawinan dan kekerasan, interaksi orang tua dengan anak, kemelaratan dan genetik berpengaruh terhadap gangguan tingkah laku pada anak. Anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniru tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif, meskipun tidak menyenangkan, kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan. Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin

keras dan tidak konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-anak.5 g. Pengaruh teman sebaya10 Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan anti sosial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu: 1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif yang terdahulu 2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak. h. Faktor-faktor sosiologis.10 Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku kriminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi. Kombinasi perilaku anti sosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan kriminal. Faktor-faktor sosial berperan, korelasi terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua. Penanganan Gangguan Tingkah Laku3,10 Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak sistem dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat tinggal).  Intervensi keluarga Beberapa pendekatan untuk menangani gangguan tingkah laku mencakup intervensi bagi orang tua atau keluarga dari si anak anti sosial. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan teknik-teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan pemberian jeda serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau anti sosial. Penanganan multisistemik Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial

lainnya. Teknik yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, sistem keluarga, dan manajemen kasus. Pendekatan kognitif Penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi perilaku agresif. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok remaja yang mengalami ganguan perilaku.

B. GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN / HIPERAKTIVITAS Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan satu dari kelainan yang terbanyak pada anak usia sekolah. Ditemukan sekitar 3-5% anak usia sekolah. ADHD merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketidakmampuan mempertahankan perhatian, mengatur tingkat aktivitas, dan mengontrol tingkah laku impulsif. Inti gangguan ini adalah kurang/tidak adanya perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas. ADHD merupakan gangguan biologis pada fungsi otak yang bersifat kronis yang menimbulkan disfungsi kognitif (fungsi eksekutif) yang tidak sesuai dengan perkembangan usia anak. 11,3 Penyebab pasti ADHD belum diketahui sampai sekarang. Sebanyak 76% kelainan ini diturunkan. Diperkirakan beberapa faktor seperti neurologik, faktor pre dan post natal dan toksin berpengaruh terhadap kejadian ADHD. Penelitian oleh Linstrom dkk bahwa pada anak sekolah dengan ADHD ternyata didapatkan sebagian besar dengan riwayat kelahiran premature, anak kembar monozigot (80%) dan dizigot (40%), anak laki-laki memiliki risiko lebih besar 4:1 dibandingkan anak perempuan, faktor makanan seperti makanan dengan pewarna buatan masih diteliti kemungkinannya sebagai pencetus ADHD.11,12 Anak dengan ADHD sulit untuk berkonsentrasi pada tugas yang dikerjakan dalam waktu tertentu yang wajar sehingga mengalami penurunan dalam hal akademik. Anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengendalikan aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang. Banyak anak ADHD mengalami kesulitan

besar untuk bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin persahabatan, hal ini mungkin karena mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat temantemannya merasa tidak nyaman. Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal melakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif.3,6 Skrining pada anak yang dicurigai ADHD dapat dilakukan dengan Conners parent and teacher rating scale, ADHD symptoms checklist karen J Miller, Children behaviour checklist (CBCL), Conners continous performance test (CPT), the integrated visual and auditory (IVA), Nadeau/Quinn/Littman ADHD self-rating scale for girls, IQ test, Learning disability evaluation (IQ versus achievment). Diagnosis ADHD didasarkan pada kriteria menurut DSM-V melalui anamnesis dan pemeriksaan untuk menentukan kondisi sesuai diagnosis dan komorbiditas.12 Diagnosis ADHD apabila terdapat 6 gejala atau lebih dari setiap gejala pemusatan perhatian, hiperaktivitas atau impulsivitas.11,12 1. Tidak dapat memusatkan perhatian -

Sering gagal memusatkan perhatian, membuat kecerobohan

-

Sukar mempertahankan perhatian pada tugas atau aktivitas

-

Tidak mendengarkan apabila diajak berbicara langsung

-

Tidak mengikuti petunjuk atau gagagl menyelesaikan pekerjaan

-

Kesulitan mengatur tugas dan aktivitas

-

Menghindari tugas yang membutuhkan dukungan mental yang terus menerus

-

Mudah terganggu oleh rangsang luar

-

Sering lupa akan aktivitas sehari-hari

2. Hiperaktivitas dan impulsivitas -

Tampak gelisah dengan tangan atau kaki menggeliat di tempat duduk

-

Sering meninggalkan tempat duduk ketika situasinya anak diharapkan duduk tenang

-

Sering berlari atau memanjat berlebihan dalam situasi yang tidak sesuai

-

Sering mengalami kesulitan bermain atau bersenang-senang dalam kondisi senggang

-

Bicara berlebihan

-

Bergerak terus atau berlaku seperti digerakkan oleh mesin

-

Sulit menunggu giliran

-

Menjawab dahulu sebelum pertanyaan diselesaikan

-

Sering menyela atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

3. - Semua gangguan tersebut paling sedikit terjadi selama 6 bulan -

Gejala tersebut terjadi sebelum usia 12 tahun

-

Terjadi pada 2 atau lebih tempat, seperti di sekolah, tempat bermain atau di rumah

-

Maladaptif dan inkonsisten dengan tahapan perkembangan

-

Tidak disebabkan oleh gangguan mental lainnya.

Karena simptom-simptom ADHD bervariasi, DSM-V mencantumkan tiga subkategori, yaitu:12 1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi. 2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif. 3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.

Patogenesis ADHD Genetik lingkungan (genes DAT1 atau DR4), faktor biologik lainnya

Disfungsi korteks prefrontal dan parietal, ganglia basalis

Disfungsi inhibisi

Gangguan proses regulasi perilaku

Inhibisi perilaku

Kurang perhatian, hiperaktif, impulsif

ADHD

Gambar 1. Patogenesis ADHD14

Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam memproses informasi mungkin berhubungan dengan masalah pada daerah frontal atau striatal otak. Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah di sekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki orang tua yang antisosial. Berdasarkan laporan dari para guru, anak ADHD lebih agresif, tidak patuh,

dan suka mengganggu dan angka kehadiran di sekolah yang rendah. Mereka berisiko drop out dari sekolah.3,14 Tatalaksana bersifat multidisiplin yang melibatkan dokter spesialis anak, psikiater anak, psikolog, terapisokupasi, fisioterapis, terapi wicara dan pekerja sosial. Terapi medikamentosa

berupa

pemberian

Methylphenidate,

dextroamphetamine,

catecholamine, atomoxetine, bupropion, antidepresan trisiklik agonis adrenergik serta obat-obatan psikotropik.13 Terapi non medikamentosa berupa terapi perilaku, terapi aktivitas fisik, konseling terhadap keluarga, guru, pengasuh, terapi edukasi, terapi lain seperti neurofeedback, terapi chelation, terapi dengan antijamur sistemik, terapi diet dan terapi vitamin. Deteksi dini yang diikuti penatalaksanaan akan memberi prognosis lebih baik. ADHD dapat berlanjut hingga dewasa sekitar 30-50% (Montauk SL) dan 30-70% (Murphy P), dan berakibat buruk pada prestasi dan hubungan interpersonal.3,13

C. GANGGUAN KOGNITIF Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget merupakan tahap operasional konkret, pada tahap ini anak mulai berpikir secara logis dan konkrit, lebih rasional dan matang. Kemampuan belajar konsep meningkat misalnya belajar matematika, membaca dan kemampuan verbal juga meningkat.5,15 Gangguan Belajar Kesulitan belajar di sekolah bermanifestasi sebagai gangguan fungsi visual motor, gangguan persepsi, kesulitan membaca dan mengeja (disleksia), kesulitan berhitung (diskalkulia), kesulitan menulis (disgrafia), bahasa dan gangguan tingkah laku.15 Gangguan belajar (learning disabilities) yang paling sering ditemukan yaitu gangguan membaca atau disleksia sebanyak 80% dari semua individu yang teridentifikasi kesulitan belajar. Dileksia didefinisikan sebagai gangguan spesifik dan signifikan dalam kemampuan membaca, tidak bisa dijelaskan dengan defisit intelegensia umum, kesempatan belajar, motivasi umum atau ketepatan sensoris.16 penelitian oleh Duff dkk menunjukkan vokabulari pada usia bayi (faktor vokabulari reseptif dan ekspresif laten) signifikan sebagai prediktor vokabulari anak kelak, fonologi, akurasi dan komprehensi membaca (sekitar 4% dan 18% variasi).17 Sebuah studi kasus kontrol yang dilakukan di Semarang pada siswa sekolah dasar yang memiliki prestasi belajar rendah menunjukkan bahwa 40,5% anak mengalami gangguan membaca. Disleksia bersifat diturunkan dan familial terjadi secara autosomal dominan,

sebuah bukti penelitian menunjukkan bahwa kelainan disleksia ini melibatkan lokus pada kromosom 2, 3, 6, 15, dan 18.18

Gambar 2. Mekanisme terjadinya disleksia dan kelainan penyerta19

Keluhan orang tua berupa keterlambatan bicara pada anak dapat menjadi indikator pertama bahwa seorang anak berisiko menderita kesulitan membaca. Pada anak dan remaja dengan disleksia, 40-60% diantaranya mempunyai riwayat kelainan psikologis. Mereka lebih sering mempunyai pikiran negatif, depresi, suasana hati yang tidak menyenangkan, dan kecemasan yang berhubungan dengan sekolah. Mereka sering merasa tersisihkan, disalahkan oleh guru, dan perasaan ditolak. Percobaan bunuh diri pada penderita disleksia 3 kali lebih tinggi daripada remaja yang bukan penderita disleksia pada usia yang sama.20,21 Tingkat gangguan depresi pada remaja dengan disleksia 2 kali lebih tinggi, gangguan kecemasan 2 kali lebih banyak. Gangguan yang paling umum menyertai disleksia pada usia sekolah dasar adalah ADHD (20%), diskalkulia (5%), kombinasi gangguan membaca dan mengeja (8%), mengeja saja (6%). Defisit neurokognitif yang mendasari masing-masing gangguan mungkin berbeda.3,6 Dasar diagnosis ICD-10 dan DSM-IV adalah gambaran klinis yang ditandai oleh kegagalan perkembangan proses membaca dan mengeja. Untuk menentukan apakah anak berisiko menderita disleksia, skrining biasanya dilakukan pada akhir masa taman kanak-kanak atau memasuki usia sekolah dasar.21 Pemeriksaan analisis fonologis untuk anak yang tersedia saat ini adalah Comprehensive test of phonological processing (CTOPP). Kelancaran membaca dapat dinilai dengan menggunakan the gray oral

reading test. Kemampuan membaca kata tunggal dapat diketahui dengan menggunakan Test of word reading efficiency (TOWRE).18,19 Penatalaksanaan tergantung pada beratnya disleksia dan kelainan psikologis lain yang menyertai. Medikamentosa tidak bermanfaat untuk disleksia, kecuali apabila disertai dengan ADHD, medikamentosa dapat memperbaiki kesulitan membaca yang ditimbulkan.22 Pada terapi dengan Read write and type (RWT) dan Lindamood phoneme sequencing program for reading, spelling, and speech (LIPS) selama 1 tahun, didapatkan perbaikan pada phonological awareness, rapid naming, phonemic decoding, akurasi dan kelancaran membaca, mengeja, membaca secara komprehensif. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung keterampilan berbahasa. Sebelum anak akan mulai bersekolah, setiap hari selama 15 menit orangtua dapat memberikan kegiatan pengenalan alfabet. Adanya permainan yang memperkenalkan irama dan kreasi, bersajak, mengenal huruf dan kalimat, bunyi huruf akan sangat membantu dalam program pencegahan disleksia.22,23 Allen dan Marshal melaporkan suatu metode Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) berupa kolaborasi terapis bicara dan bahasa dengan orang tua untuk menciptakan interaksi yang lebih tepat sesuai kebutuhan komunikasi anaknya. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, PCIT memiliki efek positif pada 3 dari 5 parameter komunikasi yaitu jumlah inisiasi bahasa, jumlah rata-rata morfem yang diucapkan, dan proporsi percakapan anak dengan orang tua, dan 2 parameter dalam efek marginal yaitu jumlah respon verbal dan non verbal.23

Disabilitas Intelektual Suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensia yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal. Menurut Sebastian SC (2002) retardasi mental adalah keterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial. Prevalensi retardasi mental sekitar 2-3%.24 Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Intelegence Quotient).25 IQ adalah MA/CA x 100% MA = Mental age, umur mental yang didapat dari hasil tes CA = Chronological age, umur berdasarkan perhitungan tanggal lahir

Weschler Intelligence Scale for Children (WISC) merupakan tes yang banyak dipakai untuk menilai intelegensia anak-anak usia 6-16 tahun terdiri dari skala verbal dan skala performance. 25 Tabel 1. Intelegensia berdasarkan skala25 Skala

Nilai

<65

Mental defective / keterbelakangan mental

66-79

Borderline / Lambat belajar

80-90

Dull Normal / lambat belajar

91-110

Average / rata-rata

111-119

Bright normal / di atas rata-rata

120-127

Superior / superior

>128

Sangat superior / sangat superior

Tipe retardasi mental :24 1. Tipe klinik Mudah dideteksi sejak dini karena kelainan fisik dan mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering adalah organik. Orang tua anak penderita retardasi mental tipe ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya. 2. Tipe sosiobudaya Biasanya kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal, begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Orang tua mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa kali. Tabel.1 Kemampuan Berdasarkan Kemampuan untuk Dididik/Bimbingan26 Kategori

IQ

Pendidikan

Bimbingan

Prevalen

1. Ringan

55-70

Mampu didik

Kadang

0,9-2,7%

2. Sedang

40-54

Mampu latih

Terbatas

3. Berat

25-39

Tidak mampu latih

Ekstensif

4. Sangat

<25

Tidak mampu latih

Pervasif

Berat

0,3-0,4%

Etiologi yang mendasari retardasi mental yaitu adanya disfungsi otak, penyebabnya sangat kompleks dan multifaktorial. Penyebab retardasi mental meliputi : 1. Pranatal : kelainan kromosom, penyakit herediter, infeksi maternal, zat-zat racun, teratogen, alkohol, toksemia kehamilan dan insufisiensi plasenta. 2. Perinatal : Infeksi, masalah kelahiran (asfiksia berat, prematuritas, trauma lahir, hiperbilirubinemia) 3. Pascanatal : infeksi SSP, zat-zat racun, tumor, trauma kepala, masalah psikososial seperti deprivasi maternal, kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis, faktor sosiokultural, kurangnya stimulasi, interaksi anak dengan pengasuh yang tidak baik, penelantaran anak.20 Diagnosis retardasi mental baru bisa ditegakkan mulai umur 6 tahun, bila retardasi mental pertama kali didiagnosis sebelum umur 6 tahun, sebaiknya digunakan istilah Global developmental delay(GDD) kecuali bila merupakan bagian dari suatu sindrom. Diagnosis retardasi mental berdasarkan DSM-IV adalah : 1. Intelegensi secara bermakna di bawah rata-rata. Rata-rata IQ sekitar 70. 2. Terdapat kelainan fungsi adaptif paling sedikit 2 area, yaitu : komunikasi, merawat diri, kemampuan sosial dan interpersonal, menggunakan sarana prasarana yang ada di masyarakat, kemampuan fungsi akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan dan keamanan 3. Onset terjadi sebelum umur 18 tahun. Skrining perkembangan dilakukan secara rutin dengan Denver II, dilanjutkan dengan Bayley Scales of Infant Development (BSID-II), Wechsles scale, atau Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS) diagnosis dini dapat segera dibuat. Setelah anak berumur 6 tahun, dapat dilakukan tes IQ (Wechslerscale).25

Penatalaksanaan anak retardasi mental bersifat multidimensional dan sangat individual. Anak dengan retardasi mental memerlukan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan taraf IQ nya. Sekolah khusus untuk anak retardasi mental ini adalah SLB-C. Di sekolah ini, anak diajarkan berbagai keterampilan, baik buruknya suatu tindakan sehingga mereka dapat mandiri di kemudian hari, tidak melakukan tindakan tidak terpuji, seperti mencuri, merampas, dan kejahatan sosial.15,16 Karena penyembuhan retardasi mental ini boleh dikatakan tidak ada, dan fungsi selsel otak yang rusak tidak mungkin dapat kembali normal, yang penting adalah pencegahan primer, yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit.

Konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan secara rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan, dan bersalin pada tenaga kesehatan yang berwenang. Mengentaskan kemiskinan dengan membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki sanitasi lingkungan, meningkatkan gizi keluarga, akan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Dengan adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang merupakan stimulasi mental dini dan deteksi dini, perkembangan anak dapat dioptimalkan.3,7,16

D. Gagal sekolah Gagal atau tidak berhasilnya seseorang mencapai tujuan proses pembelajaran di sekolah, berupa tidak tercapainya standar nilai minimal yang ditetapkan sekolah, tidak naik kelas, dan berujung pada dikeluarkannya seseorang dari sekolah. Kesiapan sekolah yang tidak dipersiapkan dengan matang dan faktor-faktor penyebab mogok sekolah (school avoidance) yang tidak diantisipasi akan dapat menimbulkan gagal sekolah, semuanya merupakan suatu rangkaian proses yang saling mempengaruhi.27 Sekitar 5% anak sekolah mengalami pengulangan atau gagal naik kelas di sekolah. Kejadiannya lebih banyak pada anak laki-laki, golongan minoritas, anak yang berasal dari keluarga miskin dan yang diasuh oleh orang tua tunggal. Gagal sekolah dapat terjadi pada awal masuk sekolah, pindah sekolah dan memasuki usia remaja awal.28 Kondisi dan faktor yang berhubungan dengan gagal sekolah :15 1. Faktor endogen : penyakit kronik, absen sekolah, gangguan sensoris, kondisi prenatal, gangguan neurologis, kesulitan belajar, retardasi mental, penyakit genetik, gangguan endokrin, gangguan psikiatri, gangguan cemas, penyalahgunaan obat 2. Faktor eksogen : keluarga (perceraian, sering pindah rumah, penelantaran), lingkungan, teman sebaya, sekolah, transisi. Kesiapan sekolah Kesiapan anak untuk belajar sesuai standar fisik, intelektual, dan perkembangan sosial, sehingga anak tersebut mampu memenuhi standar yang ditentukan kurikulum sekolah. Tidak ada standar baku untuk kesiapan sekolah ini, di kalangan pendidik maupun orang tua.29

Faktor-faktor yang berperan dalam menilai kesiapan sekolah diantaranya faktor genetik anak ras kulit hitam memiliki kesiapan sekolah yang lebih baik dibandingkan kulit putih, usia lebih muda lebih sering mengalami ketidaksiapan masuk sekolah, laki-laki lebih sering mengalami kesulitan selama TK, berat badan lahir rendah, prematuritas, cacat fisik, malnutrisi, lingkungan sosioekonomi keluarga, pola asuh dan kesiapan berpisah dengan orang tua atau pengasuh.15 Penilaian kesiapan sekolah yang penting adalah kuesioner untuk orangtua yang mencakup skrining kemampuan berbahasa anak, kemampuan motorik, kognitif, praakademik, kemampuan sensoris, dan juga pengamatan terhadap anak selama proses penilaian. Ada beberapa tes readiness yang dapat dilakukan yaitu tes kognitif antara lain Peabody Picture Vocabulary Test Revised (PPVT-R), Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence -Revised (WPPSI-R). Untuk menilai tingkah laku anak antara lain The Child Behavior Checklist (CBCL), The Behavioral Problems Index (BPI).29 Pusat

Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendikbud pada

tahun

2009 telah

mengembangkan Tes Kesiapan Bersekolah untuk siswa PAUD, dengan mengadaptasi 5 dimensi kesiapan bersekolah yang disusun oleh The National Education Goals Panel (1995), meliputi perkembangan Motorik Kasar, Motorik Halus, Sosioekonomi, Bahasa. Keseluruhan tes berjumlah 53 soal. Untuk anak yang tidak lulus tes readiness harus dibuat perencanaan untuk proses pendidikannya oleh dokter, dan dibicarakan bersama dengan para guru di sekolah.30

Mogok Sekolah Perilaku anak mogok sekolah (school avoidance) meliputi menolak sekolah (school refusal) atau fobi sekolah (school phobia) dan bolos sekolah (truancy). Mogok sekolah terjadi pada hampir 2% anak usia sekolah, sekitar 5% anak SD dan 5% anak SLTP mengalami hal ini. Usia puncak terjadinya mogok sekolah yaitu usia 5 atau 6 tahun sebagian besar disebabkan oleh gangguan cemas akibat perpisahan dengan orang tua atau pengasuhnya, usia 11 sampai 13 tahun muncul dalam bentuk yang kompleks disebabkan kecemasan dan gangguan afektif, usia 14 tahun ke atas lebih banyak berhubungan dengan bolos sekolah yang berisiko berkembang ke arah gangguan mental yang lebih serius.28 Etiologi mogok sekolah dibagi menjadi 2 tipe. Tipe pertama karena anak cemas akan hal yang akan ditinggalkannya dirumah dan yang akan dihadapinya di sekolah. Tipe kedua

(sekunder) bukan disebabkan oleh cemas melainkan oleh penyakit akut atau kronis yang membuat anak harus sering atau berulang kali beristirahat di rumah.9 Beberapa manifestasi klinis gejala dan tanda yang dapat ditemukan antara lain :2 1.

Keadaan umum : insomnia, selalu mengantuk, gelisah, selalu merasa lelah, seperti demam, selalu merasa dirinya sakit

2.

Kulit : tampak pucat

3. Telinga hidung dan tenggorokan : nyeri menelan atau sakit tenggorokan berulang, masalah sinus yang berulang, seperti menderita flu setiap hari 4. Respirasi : hiperventilasi, sering batuk 5. Kardiovaskuler : palpitasi, nyeri dada 6. Gastrointestinal : nyeri perut berulang, anoreksia, mual, muntah diare 7. Skeletal : nyeri tulang, nyeri sendi, nyeri punggung 8. Neuromuskuler : sakit kepala, pusing, pingsan, merasa lemah. Kriteria diagnosis menolak sekolah yang dipakai :28 1. Adanya rekurensi gejala atau keluhan fisik 2. Tidak ditemukan penyebab fisik/organik setelah dilakukan pemeriksaan 3. Gejala tersebut terutama terjadi pada pagi hari atau saat akan berangkat sekolah 4. Anak lebih dari 5 hari tidak masuk sekolah karena gejala fisik ini. Tatalaksana multidisipilin harus dilakukan oleh dokter umum/spesialis anak, psikolog, psikiater anak, kerjasama orangtua, lingkungan, teman dan pihak sekolah. Terapi psikodinamis dapat dilakukan di luar rumah sakit dengan berkoordinasi dengan keluarga dan pihak sekolah. Terapi tingkah laku dikatakan lebih efektif dan efisien dibandingkan tes psikodinamik. Model terapi berupa Cognitive Behavioral Treatment Components (CBT) yang meliputi psikoedukatif, edukasi afektif, self monitoring, graded exposure methods, cognitive coping statements dan cognitive restructuring,

latihan

relaksasi

dan

positive

reinforcement/Contingency

management. Terapi medikamentosa simptomatis dapat diberikan jika anak memang sangat membutuhkan bantuan. Obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) dan Tricyclic antidepresan (TCAs) dikatakan cukup membantu terutama pada tipe mogok sekolah dengan cemas.4,6

E. KEKERASAN TERHADAP ANAK Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,

kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.3 Klasifikasi kekerasan terhadap anak terdiri dari :3 1. Kekerasan fisik (physical abuse) Kekerasan diarahkan secara fisik kepada anak sehingga anak merasa tidak nyaman dengan tindakan tersebut. Berupa tendangan, pukulan, mendorong, mencekik, menjambak rambut, meracuni, membenturkan fisik ke tembok, menyiram dengan air panas atau menenggelamkan. 2. Kekerasan seksual (sexual abuse) Pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami/tidak mampu memberi persetujuan. Aktifitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain, ditujukan untuk memberi kepuasan bagi pelaku. Berupa prostitusi/pornografi, pemaksaan melihat kegiatan seksual, pedofilia, stimulasi seksual, perabaan, hubungan seksual, perkosaan, incest, sodomi. 3. Kekerasan emosional (emotional and psychological abuse) Dapat diduga dengan ditemukannya riwayat kekerasan fisik, perubahan emosi dan perilaku serta terhambatnya perkembangan fungsi fisik mental dan sosial. Berupa pembatasan

gerak,

mengkambinghitamkan,

meremehkan mengancam,

anak,

memburukkan/mencemarkan,

menakut-nakuti,

mendiskriminasi,

mengejek atau menertawakan, penolakan yang kasar. 4. Kelalaian (neglect) Kurangnya perhatian atas kebutuhan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologi, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh anak. Pembiaran mogok sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak. Penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan yang mengakibatkan penyakit atau gangguan tumbuh kembang. Dampak kekerasan terhadap anak :3,8,9 1. Fisik Obesitas, gangguan makan seperti bulimia dan anorexia, penyakit di masa dewasa, cacat permanen, kerusakan otak/saraf, keterlambatan perkembangan, gangguan perkembangan emosi, bahkan kematian 2. Mental

Depresi, post-traumatic stress disorders, gangguan tidur, mati rasa dan gangguan afek. Penggunaan alkohol dan obat, bunuh diri, perilaku agresif. Prostitusi, aktivitas seksual dini, berganti-ganti pasangan, aborsi, penyakit menular seksual. 3. Pendidikan Gangguan belajar, prestasi sekolah yang kurang, pekerjaan yang dimiliki pada level pekerja kasar, dikucilkan teman sekolah, mogok sekolah, putus sekolah.

Bullying Bullying adalah penyalahgunaan kekuatan yang disengaja dan berulang-ulang oleh seorang anak atau lebih terhadap anak lain, dengan maksud untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan tertekan/stress.31 Penelitian Amy pada tahun 2006, diperkirakan 10%-16% pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas IV-VI di Indonesia mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu. Bullying pada anak paling sering terjadi di sekolah, tetapi belum banyak guru di Indonesia yang menganggap bullying sebagai masalah serius. Survei di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa bullying paling banyak terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD), dan selanjutnya menurun hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi bullying tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun. Anak laki-laki lebih sering terlibat dalam bullying dibandingkan anak perempuan.31,32 Berbagai penelitian menyebutkan bullying sebagai fenomena multifaktorial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan individu, keluarga, sekolah dan level komunitas yang lebih luas.10 Tabel. 3 Faktor risiko dan faktor protektif terjadinya bullying pada berbagai level33 Lingkungan

Faktor risiko

Faktor protektif

Individu

Rendahnya konsep diri

Percaya diri tinggi

Disabilitas fisik

Keterampilan sosial tinggi

Keterampilan sosial kurang Agresifitas Keluarga

Disiplin otoriter

Komunikasi keluarga yang

Kurang pengawasan

berkualitas

keluarga

Keterlibatan keluarga

Insiden kekerasan

dalam kehidupan sekolah

Sekolah

Tempat tinggal

Sekolah terlalu padat/ramai

Orientasi berbasis

Iklim konflik dalam sekolah

pembelajaran

Persahabatan yang

Persahabatan dengan role

mentolerir kekerasan

model yang positif

Mengutamakan keamanan

Terdapat fasilitas olahraga dan rekreasi

Tipe bullying tersering adalah fisik, diikuti verbal, psikologis, dan emosional. Menurut Olweus, bentuk bullying tersering di sekolah ialah ejekan, diikuti pemukulan, ancaman, dan penyebaran gosip. Penelitian Kshirsagar dkk 18 memperlihatkan tipe bullying tersering pada anak SD di India ialah verbal (ejekan, nama panggilan), diikuti psikologis, dan emosional (penyebaran gosip, isolasi sosial). Hasil penelitian Soedjatmiko dkk (2013) tidak berbeda dengan penelitian Olweus maupun Kshirsagar karena proporsi bullying tipe fisik dan verbal tidak berbeda jauh (93,8% versus 90,8%). Korban bullying terisolasi sosial, dikucilkan teman sebaya dan kurang mendapat dukungan dari guru. Korban lebih sering dari kelas dan sekolah yang besar, kemungkinan dikarenakan guru kesulitan untuk memantau perilaku anak keseluruhan secara individual.10,31 Masalah emosi dan perilaku lebih banyak dijumpai pada anak yang terlibat bullying dibandingkan mereka yang tidak terlibat. Di antara subyek yang terlibat dalam bullying, kelompok korban sekaligus pelaku memiliki risiko paling tinggi timbulnya perilaku psikopatologis.32 Penelitian menunjukkan bahwa mogok sekolah (school avoidance) secara signifikan menurunkan kesuksesan akademis, anak yang sering mogok sekolah karena korban bullying berisiko lebih besar putus sekolah. Pencapaian prestasi akademis pada subyek yang terlibat bullying lebih rendah dibandingkan subyek yang tidak terlibat. Korban dan korban sekaligus pelaku memiliki prestasi akademis yang paling rendah.28,32 Identifikasi adanya bullying dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, komorbiditas, potensi adanya kekerasan, menanyakan ke korban dan keluarga mengenai perilaku anak di sekolah. Kuesioner yang secara luas digunakan di dunia dan memiliki validitas dan reabilitas yang baik yaitu Olweus Bully/Victims Quessioners.31,32 Penanganan harus melibatkan berbagai pihak orang tua, pelaku, korban dan sekolah.3 Klinisi harus mendengarkan dengan cermat keluhan dari orang

tua dan korban, mereka memerlukan jalan keluar, tidak menyalahkan korban. Memberikan dukungan sosial pada anak dari guru dan teman dan menghindari situasi dimana bully dapat terjadi. Ketika pelaku bully telah teridentifikasi, klinisi mengedukasi orang tua dan anak bahwa perilaku tersebut serius dan dapat menimbulkan akibat yang potensial bermasalah. Langkah awal mengubah perilaku dengan membantu anak dan orang tua mengetahui tentang perilaku yang dapat menyakiti orang lain dan bagaimana jika hal tersebut dialami olehnya. Orang dewasa bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung perilaku sosial yang positif. Klinisi dan pemegang kebijakan dalam suatu komunitas harus mensosialisasikan praktek dan intervensi sehingga dapat mengubah dan meningkatkan norma sosial di lingkungannya.3,10,33

Related Documents


More Documents from "Ayu Rahayu Alinti"