Gangguan Fungsi Hati

  • Uploaded by: Elwiz Hutapea
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gangguan Fungsi Hati as PDF for free.

More details

  • Words: 4,391
  • Pages: 20
Pertussis pada Anak

Nama : Edwinda Desy Ratu* NIM : 10.2010.229 Kelompok : D6

Alamat Korespondesi *Edwinda Desy Ratu UKRIDA 2010 Semester 4, Jl. Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta Barat, 11510, E-mail : [email protected]

Pendahuluan Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Sampai saat ini penularan pertusis hanya melalui udara secara kontak langsung dari penderita selama batuk. Diperlukan pengetahuan mengenai etiologi, epidemiologi, patofisiologi dari pertusis tersebut untuk mendiagnosis pasien tersebut menderita pertusis dan cara penyembuhannya.

Anamnesis Evaluasi diagnosis dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat serta menyeluruh. Banyak yang dapat dipelajari dari observasi sederhana pada anak dalam pengambilan anamnesis formal dengan orang tua. Dokter juga harus bertanya pada anak karena anak usia 3-4 tahun sering mengetahui hal-hal yang orang tuanya belum tahu (“minggu kemarin aku tercekik kacang”). Tanda-tanda atau gejala-gejala pada anak yang menderita penyakit jalan napas sering tampak cukup berbeda selama tidur, dan karenanya dokter harus menanyakan secara spesifik mengenai pengamatan anak saat sedang tidur.[1] Dari anamnesis berdasarkan kasus yang diberikan, dapat diketahui pasien anak yang berusia 5 tahun ini datang dengan keluhan utama batuk sejak 2 minggu yang lalu. Disertai juga dengan conjunctiva hemorragic. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit terdahulu dan keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien.

Pemeriksaan Fisik[2] Inspeksi Inspeksi paru terutama meliputi observasi pergerakan pernapasan, evaluasi kecepatan (jumlah per menit), irama (teratur, tidak teratur, atau periodic), kedalaman (dalam atau

dangkal), dan kualitas pernapasan (tanpa usaha, otomatis, sulit, atau dengan usaha). Perhatikan karakter bunyi napas, seperti ssuara berisik, suara yang rendah dan kasar, mendengkur, atau berat. Frekuensi pernapasan merupakan indikator penting pada status pernapasan. Setiap faktor yang mengganggu mekanisme pernapasan mungkin menyebabkan penapasan yang lebih cepat. Karena kecemasan atau kegembiraan juga meningkatakan frekuensi pernapasan, frekuensi pernapasan sedang tidur adalah yang paling dapat dipercaya. Pada anak usia 5 tahun, frekuensi pernapasan pada umumnya 25 kali/menit. Palpasi Palpasi dimulai dengan pemeriksaan telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen. Jari tubuh atau clubbing of finger bias didapatkan pada kanker paaru, abses paru, empyema, serta bronkiektasis. Tekanan vena jugularis diperlukan untuk mengetahui tekanan pada atrium kanan. Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah trakea tetap ditengah atau bergeser dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa. Pemeriksaan palpasi dada akan memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernapsan yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk menentukan tactile vocal fremitus. Untuk mengukur derajat ekspansi dada diperlukan pengukuran menggunakan pita ukur (mitlin, measuring tape). Pemeriksaan gerak dada dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan secara simetris pada punggung. Kedua ujung ibu jari diletakkan disamping linea vertebralis dengan jarak yang sama. Pasien diminta untuk melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada tidak simetris, jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap linea vertebralis akan berbeda. Pemeriksaan tactile vokal fremitus berdasarkan persepsi telapak tangan terhadap vibrasi di dada yang disebabkan oleh adanya transmisi getaran suara dari laring ke dinding dada. Sisi ulnar telapak tangan diletakkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta untuk mengucapkan kata tujuh puluh tujuh. Apakah vibrasi yang dirasakan pada beberapa tempat sama (normal) atau berbeda (ada yang lemah atau lebih kuat). Pemeriksaan tactile vocal fremitus dilakukan dengan satu tangan yang sama dan berpindah-pindah, bukan dengan dua tangan.

Perkusi Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ paru di bawahnya yang akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada dan kerasnya bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lukasi perkusi. Perkusi di atas organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi dengan amplitudo rendah dan dengan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dull). Perkusi di atas organ yang berisi udara menimbulkan bunyi resonansi, hiperresonansi dan timpani. Auskultasi Auskultasi melibatkan penggunaan stetoskop untuk mengevaluasi suara napas. Suara napas paling baik didengar jika anak menarik napas dalam. Pada paru, suara napas diklasifikasikan sebagai cesikular, bronkovesikular, atau bronchial. Tidak ada atau menghilangnya suara napas selalu merupakan temuan abnormal yang memerlukan penyelidikan. Cairan, udara, atau massa padat pada tongga pleural dapat mengganggu konduksi suara napas. Hilangnya suara napas pada beberapa segmen paru harus diwaspadai. Peningkatan suara napas setelah terapi pulmonal menandakan peningkatan aliran udara melalui traktus respiratorius. Berbagai abnormalitas pulmonal menghasilkan suara napas tambahan yang normalnya terdengar pada dada. Suara ini dapat terjadi selain suara napas normal atau abnormal. Suara napas tambahan diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: ronki basah, yang diakibatkan oleh aliran udara melalui cairan atau bagian yang lembab, dan mengi, yang dihasilkan dari aliran udara melalui jalan napas yang menyempit, tanpa memerhatikan penyebabnya, seperti eksudat, inflamasi, spasme, atau tumor.

Pemeriksaan Penunjang Radiologi Roentgenogram dada sangat berguna dalam mendiagnosis penyakit pernapasan pada anak, tetapi pemeriksaan ini harus dilakukan dengan teknik yang benar dan diinterpretasi dengan tepat. Kegagalan memperoleh inspirasi yang memuaskan, merupakan masalah yang paling lazim, menyebabkan kesan kardiomegali yang salah atau adanya infiltrate. Lipatan kulit eksterna, rotasi atau posisi dada yang tidak tepat, atau gerakan juga dapat menyebabkan pencitraan yang menyimpang atau tidak jelas. Kpapnpun mungkin, roentgenogram dada harrus dilakukan pada projeksi posteroanterior dan lateral. Lesi dapat tampak pada adanya salah satu dari dua pandangan. Pandangan ekspirasi atau fluoroskopi membantu dalam mendeteksi adanya obstruksi bronchial parsial; paru-paru atau lobus yang tidak kosong pada saat ekspirasi tampak hiperinflasi. Esofagram barium sering kali berguna dalam diagnosis penyakit dada pada anak. Gangguan menelan atau motalitas esofagus, cincin vaskular, fistula trakeoesofagus, atau refluks gastroesofageal dapat menyebabkan aspirasi dan penyakit paru berulang atau menetap. Bila esofagram menunjukkan adanya struktur vaskular abnormal yang mengompresi esofagus, hal ini dapat merupakan kunci utama terdapat struktur pembuluh darah yang sama sedang mengompresi jalan napas. Bila pemeriksaan melibatkan pencarian fistula trakeoesofagus tipeH, bahan kontras harus diinjeksikan ke dalam esofagus di bawah tekanan melalui kateter sementara terdapat injeksi diamati pada proyeksi lateral. Penelanan barium sederhana jauh kurang mungkin memperlihatkan sambungan kecil yang sering terdapat pada trakea dan esofagus. Tomografi terkomputasi (CT) sangat berguna dalam mendiagnosis penyakit dada pada anak, terutama dalam mengevaluasi lesi pada mediastinum atau hilus. CT beresolusi tinggi, potongan halus, cepat, memberikan informasi mengenai ukuran lumen atau adanya massa dalam jalan napas intratoraks sentral; bronkiektasi juga dapat dideteksi. CT dada dapat juga berguna dalam evaluasi embolisme paru, efusi pleura, abses paru, dan pneumonitis intersisial.[1]

Pemeriksaan Sputum Specimen sputum, walaupun penting dalam mengevaluasi proses pandangan pada jalan napas bawah, sering sukar diperoleh pada anak kecil. Specimen yang diludahkan mungkin tidak memberikan gambaran sampel sekresi jalan napas bawah yang representative, tetapi pemeriksaan makroskopis membantu menentukan dugaan sumber specimen sputum. Sputum seharusnya mengandung makrofag; sering juga ditemukan sel bersilia. Bahan yang mengandung sejumlah besar sel epitel squamosa kemungkinan besar tidak berasal dari jalan napas bagian bawah atau sangat terkontaminasi sehingga uji diagnostic yang dilakukan pada specimen seperti itu dapat menyebabkan hasil yang menyesatkan. Sputum yang terinfeksi harus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear dan satu organisme yang dominan dalam jumlah besar tampak pada pewarnaan Gram. Jika sputum tidak dapat diperoleh, pencucuian paru dengan bronkoskopi untuk diagnosis mikrobiologi atau sitologi mungkin berguna pada keadaan tertentu.[1] Pemeriksaan darah lengkap Darah sering diperiksa untuk mengetahui keadekuatan jumlah sel dan fungsinya. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah hitung darah lengkap, yang member informasi jumlah, konsentrasi, dan karakter fisik sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit yang ada di dalam sampel darah vena. Hitung darah lengkap diferensial bergantung usia dan pada tingkat yang lebih rendah, bergantung jenis kelamin. Latihan atau olah raga, status reproduksi, dan berbagai jenis obat dapat menyebabkan deviasi hasil pemeriksaan. Hitung darah lengkap diferensial figunakan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik, untuk penapisan kondisi spesifik, dan untuk menentukan kesehatanpascaoperatif. Hitung darah lengkap juga digunakan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan terapi.[3]

Diagnosis Kerja[4] Berdasarkan dari kasus yang diberikan, pasien menderita penyakit Pertussis atau biasa disebut batuk rejan atau whooping cough. Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang

diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670; istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)” karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whooping=berteriak). Pertusis harus dicurigai pada setiap individu yang mempunyai batuk murni atau dominan, termasuk jika yang berikut ini tidak ada: demam, malaise atau mialgia, eksantema, dan anantema, nyeri tenggorok, parau takipnea, mengi, dan rongki. Untuk kasus sporadik, definisi kasus klinis batuk yang lamanya 14 hari atau lebih dengan sekurang-kurangnya disertai satu gejala paroksismal, rejan atau muntah pascabatuk mempunyai sensitivitas 81% dan spesifisitas 58% untuk konfirmasi biakan. Leukositosis (15.000-100.000 sel/mm3) karena limfositosis absolut adalah khas pada akhir stadium kataral dan paroksismal. Limfositosis berasal dari sel T dan B dan merupakan sel kecil normal, bukannya limfosit atipik besar yang ditemukan pada infeksi virus. Orang dewasa dan sebagian anak yang imun mempunyai limfositosis yang kurang mengesankan. Penambahan neutrofil absolut member kesan berbagai diagnosis atau akibat infeksi berat. Eosinofilia tidak lazim pada pertusis, bahkan pada bayi muda sekalipun. Perjalanan berat dan kematian berkorelasi dengan leukositosis ekstrem dan trombositosis. Hiperinsulinemia ringan dan respons glikemia terhadap epinefrin yang menurun telah diperagakan; hipoglikemia hanya kadang-kadang dilaporkan. Radiografi dada sedikit abnormal pada sebagian besar bayi rawat inap yang menunjukkan infiltrate perihilus atau edema (kadang-kadang dengan gambaran kupu-kupu) dan berbagai atelektasis. Konsolidasi parenkim member kesan infeksi bakteri sekunder. Pneumothoraks, pneumomediastinum, dan udara di dalam jaringan lunak kadang dapat terlihat.[4]

Diagnosis Banding 1. Bordetella parapertussis[5]

Penyakitnya lebih ringan, kira-kira 5% dari penderita pertusis. Dapat diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi. 2. Bronkitis merupakan akibat beberapa keadaan lain saluran pernapasan atas dan bawah, dan trakea biasanya terlibat. Bronkolitis (yaitu bronkolitis kapiler) seluruhnya merupakan penyakit yang berbeda. Etiologi Penyebab yang paling sering adalah virus seperti virus influenza, parainfluenza, adenovirus, serta rhiovirus. Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pnuemoniae, tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer. Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya, namun dilatarbelakango oleh penyakit kronik seperti emfisema, bronchitis kronik, serta bronkiektasis, infeksi bakteri ini harus mendapat perhatian serius.[6] Manifestasi klinis Bronkitis akut biasanya didahului oleh infeksi pernapasan aras, infeksi bakteri sekunder dengan Streptococcus pneumonia, moraxella cataarrhalis, atau Haemophilus influenzae dapat terjadi. Khasnya, anak datang dengan batuk yang sering, kering, pendek, tidak produktif dan tumbulnya relatif bertahap, mulai 3-4 hari setelah munculnya rhinitis. Ketidakenakan substernal bawah atau nyeri terbakar dada depan sering ada dan dapat diperjelek oleh batuk. Ketika penyakit menjelek, penderita dapat terganggu oleh suara siulan selama respirasi (mungkin ronki), nyeri dada, dan kadangkadang oleh napas pendek. Batuk paroksisimal atau rasa mencekik pada saat sekresu kadang-kadang disertai dengan muntah. Dalam beberapa hari, batuk menjadi produktif, dan sputum berubah jadi kernih ke purulen. Biasanya dalam 5-10 hari, mukus encer, dan batuk menghilang sexara berthap. Badan yang sangat malaise sering disertai dengan sakit yang dapat berlanjut selama 1 minggu atau lebih sesudah gejala-gejala akut mereda.[4] 3. Difteri Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh corynebacterium diphtheria. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip

mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan penyebab utama kematian anak dibarat pada awal abad ke 20 sampai menjadi kasus medic yang jarang, tanda mata modern kerapuhan keberhasilan tersebut menekankan perlunya pemakaian secara sungguh-sungguh

prinsip-prinsip

pemberantasan

yang

sama

pada

saman

ketergantungan vaksin dan satu masyarakat global. Pathogenesis Organisme C. diphtheria tidak bertoksin dan bertoksin menyebabkan infeksi kulit dan mukosa dan beberapa kasus infeksi jauh sesudah bakteremia. Organism ini biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Virulensi utama organism terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan necrosis local. Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernafasan, koagulum organism nekrotik tebal, sel epitel, fibrin, leukosit dan bentuk eritrosit, berlanjut dan menjadi pseudomembran melekat abu-abu coklat. Pengambilan sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati dan demielinisasi saraf. Karena dua komplikasi terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah terinfeksi mukokutan, mekanis patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara imunologik. Manifestasi klinis Difteri saluran pernafasaan Focus primernya adalah tonsil atau faring dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah masa inkubasi sekitar 2-4 hari, terjadi tandatanda dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39 derajat celcius. Infeksi nares anterior lebih sering pada bayi menyebabkan rhinitis erosive, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada difteritonsil dan faring, nyeri tenggorokan merupakan gejala – gejala awal yang umum tetapi hanya setengah penderita menderita demam dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Injeksi farik

ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Tingkat perluasan local berkorelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck dan kematian karena gangguan jalan nafas atau komplikasi yang diperantarai toksin. Membran pelekat seperti kulit, meluas ke belakang daerah tenggoro, relative tidak panas dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent. Flebitis infektif dan thrombosis vena jugularis dan mukositis pada penderita yang mengalai kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeksi laring, trakea dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dan infeksi faring, parau, stridor, dispnea dan batuk radang tenggorokan atau croup, merupakan kuncinya. Perbedaan dari epiglottis bakteri, laringotrakeitis virus berat dan trakeitis stafilokokus sebagai hubungan relative kecil dengan difteri dan terutama pada visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi. Penderita difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernafasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan saluran nafas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan.[4] 4. TB anak Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan mycobacterium tuberculosis tidak menunjukkan penyakit tuberculosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi adalah uji tuberculin (Mantoux) positif. Risiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat bila anak tersebut tinggal serumah dengan TB paru BTA positif.

Etiologi Penyebab pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis batu dapat dikembangkan pada media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies, yaitu B. pertussis, B. parapertussi, B. branchiseptica dan B. avium. Pertusis disebabkan oleh bordetella pertussis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5). Bakteri ini merupakan kokobasilus gram negatif, berbentuk ovoid dengan ukuran panjang 0,5-1 mm dan diameter 0,2-0,3 mm. Tidak dapat bergerak, tidak berspora dan mempunyai kapsul pada sekitar tubuhnya. Isolasi primer Bordetella pertussis memerlukan suatu media pembenihan, yaitu bordet gengou (potato-blood-glycerol-agar) dengan sifat-sifat pertumbuhan: -

Kuman aerob murni

-

Membentuk asam

-

Tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa

-

Sering menimbulkan hemolisis Bordetella pertussis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 55oC selama setengah

jam, tetapi bertahan pada suhu rendah. Kuman ini menghasilkan 2 macam toksin, yaitu toksin dan tidak tahan panas (heat labile toxin) dan endotoksin (lipopolisakarida).[5]

Patogenesis Penularan terutama melalui saluran pernapasan dengan Bordetella pertussis yang terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrosis trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi limfosit dan leukosit polimorfonuklear. Di samping itu, terjadi hyperplasia dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrosis

yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Di samping itu, dapat dijumpai perubahan patologis di organ lain, seperti hati dan otak. Pada otak dapat dijumpai adanya pendarahan otak dan atrofi kortikal. Pendarahan pada otak dapat masif dan mengenai parenkim, atau ruang subaraknoid terutama pada pertusis ensefalopati. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tingkatan, yaitu perlekatan perlawanan terhadap mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Bordetella pertussis tidak memasuki jaringan sehingga tidak dijumpai dalam darah. Setelah mikroorganisme terikat pada silia, fungsi silia akan terganggu sehingga aliran mukus /lendir terhambat dan terjadi pengumpulan lendir. Adanya organisme ini pada permukaan saluran pernapasan dapat terkihat dari bertambahnya secret mukus. Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Selain nekrosis pada epitel trakea dan bronkus, diduga Lymphocytosis Promoting Factor (LPF) memiliki peranan pada infeksi ini dengan mempertbeal destruksi sel lokal. Beberapa peneliti mengatakan bahwa bila tidak terdapat LPF dan FHA (Flamentous Hemmagglutinine), pelekatan bordetella pertussis pada silia akan terganggu. Peran antibodi baik lokal maupun sistemik sangan berhubungan dengan proteksi tubuh terhadap pertusis, dan kuman ini akan berangsur-angsur hilang dari saluran pernapasan, gerak silia menjadi baik, sekresi muku berkurang, lendir kental akan larut. [5]

Manifestasi Klinis Masa inkubasi pertusis adalah 7-14 hari. Ada tiga stadium yang diketahui: periode kataralis, piroksismal, dan penyembuhan. Manifestasi klinis bergantung pada etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun, yaitu batuk paroksismal (100%), whoop (60-70%), muntah (66-80%), dispnea (70-80%), dan kejang (20-25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lenih pendek. [5] Periode kataralis Periode kataralis berlangsung beberapa hari sampai seminggu. Periode ini tidak dapat dibedakan dengan salesma, yang disertai dengan rinore, bersin, batuk ringan, dan kadang infeksi konjungtiva ringan. Batuk berangsur-angsur menjadi nyata dan berat. Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Sering tidak dapat dibedakan dengan common cold. Pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.[6] Batuk yang timbul mula-mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin berat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lender dapat mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, dimana bayi terlihat sakit dan iritabel.[5] Stadium paroksismal/stadium spasmodic Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan batuk. Batuk sering 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernapas dan pada akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah. Pada anak-anak yang lebih tua bunyi whoop ini sering tidak terdengar. Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tak disertai bunyi whoop, tetapi oenderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apnu, sianosis, dan muntah.

Batuk paroksismal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan muka penderita menjadi merah dan sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita seringkali memuntahkan lender kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk dapat pelebaran pembuluh darah yang jelas di kepada dan leher, bahkan sampat terjadi ptekie di wajah, pendarahan subkonjungtiva dan sclera bahkan ulserasi frenulum lidah. Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak kelihatan seperti biasa. Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin meningkat hebat dan sering, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1-3 minggu dan berangsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.[5] Stadium konvalesens Dalam periode penyembuhan, berat dan frekuensi batuk berangsur-angsur berkurang, namun, batuk paroksismal berlanjut dari berminggu-minggu sampai berbulan-bulan setelah pasien mulai membaik. Paroksismal bisa hilang, hanya kembali dalam bentuk lebih ringan pada penyakit pernapasan berikutnya. Pasien tidak infeksius selama periode penyembuhan. Namun, penurunan berat badan atau sulit menambah berat badan bisa terjadi, terutama pada bayi muda.[6]

Epidemiologi Pertusis sangat menular menghasilkan angka serangan lebih dari 90% pada populasi yang rentan. Manusia merupakan satu-satunya hospes B. pertussis yang diketahui; penularannya melalui droplet yang dikeluarkan saat batuk kuat.[1] Penderitaan paling berat dalam hal kesakitan dan kematian akibat pertusi ditanggung oleh bayi. Semakin muda anak, semakin besar kemungkinan meninggal akibat pertusis. Di

Amerika Serikat, bila bayi yang berusia kurang dari 6 bulan menderita pertusis, 74% dirawat di rumah sakit, 20% menderita pneumonia, 2,6% menderita kejang, 0,8% menderita ensefalopati, dan 1% meninggal. Bayi rentan terhadap pertusis dan komplikasinya sejak lahir, yang berarti bayi itu kurang terlindungi dengan baik oleh antibody ibu melalui plasenta. Oleh karena itu vaksinasi pertusis diberikan pada bayi masa dini.[6] Epidemi penyakit ini pernah terjadi di bebrapa negara, seperti Amerika Serikat selama tahun 1977-1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 penderita dengan kematian 17.000 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia diperkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.[3]

Penatalaksanaan Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk. Antibiotik Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis, namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan klinis penyakit ini terutama bila diberikan pada stadium paroksismal. Beri eritromisin oral (13,5 mg/kg/BB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.[7] Oksigen Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,

karena akan memicu batuk. Selalu upayakaan agar hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi. [7] Kortikosteroid Beberapa peneliti menggunakan: -

Betamerasone oral dengan dosis 0,075 mg/kgBB/24 jam, hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuscular dengagn dosis 30 mg/kgBB/24 jam, kemudian diturunkan secara perlahan-lahan dan dihentikan pada hari ke-8.

-

Prednison oral 2,5-5 mg/hari.[5]

Tatalaksana jalan napas Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posis telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran secret. -

Bila anak mengalami episode sianosis, hisap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati

-

Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.[7]

Perawatan penunjang Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat hisap lender, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT. Jangan juga berikan penekan batuk, obat sedative, mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam (≥ 39oC) yang dianggap dapat menyebabkan distress, berikan parasetamol. Berikan ASI atau cairan peroral. Jika anak ridak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distress pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari

risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.[7]

Komplikasi[5] Pada saluran pernapasan 1. Pneumonia Merupakan kompikasi paling sering yang disebabkan oleh B. pertussis sendiri atau akibat dari infeksi bakteri sekunder (pneumokokus, H. influenzae, S. aureus). Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terhadinya distress pernapasan secara cepat secara cepat. Tatalaksana dilakukan sesuai tatalaksana pneumonia 2. Otitis media Karena batu-batuk hebat, kuman masuk melalui tuba eustaki ke telinga tenah sehingga menyebabkan otitis media 3. Bronkitis Batuk mula-mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau ronki kasar atau ronki kering 4. Atelektasis Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli 5. Emfisema pulmonum Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah 6. Bronkiektasis Terjadinya pelebaran bronkus akbat tersumbat oleh lender yang kental dan dapat disertai dengan infeksi sekunder. 7. Aktivasi tubekulosis 8. Kolaps alveoli paru

Akibat batuk paroksismal yang lama pada anak-anak sehingga dapat menyebabkan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba-tiba. Pada sistem saraf pusat Terjadi kejang karena: 1. Hipoksia dan anoksia akibat apnu yang lama 2. Pendarahan subaraknoid yang massif 3. Ensefalopati akibat atrofi kortikal yang difus 4. Gangguan elektrolit karena muntah

Prognosis[5] Prognosis bergantung pada usia. Anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Risiko kematian pada bayi berkisar 0,5-1% dan disebabkan oleh ensefalopati. Pada observasi jangka panjang, apnu atau kejang dapat menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.

Pencegahan[2] Imunisasi umum anak dengan vaksin pertusis, mulai pada masa bayi, adalah inti pengendalian pertusis. Walaupun banyak upaya, mekanisme penting imunitas pascapenyakit atau imunisasi, serologis berkorelasi proteksi dan penyebab kejadian-kejaidan yang merugikanakibat vaksin belum diketahui. Satu-satunya standar untuk manfaat vaksin sekarang adalah kemanjuran dan keamanan. Tujuan imnunisasi sekarang adalah proeteksi individu dari sakit batuk berat dan pengendalian penyakit endemic dan epidemik. 1. Imunisasi pasif

Dapat diberikan human hyperimmune globuline. Namun, berdasarkan beberapa penelitian di klinik pemberian human hyperimmune globuline tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan atau pengobatan pertusis. 2. Imunisasi aktif Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella pertussis yang telah dimatikan untuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersamasama dengan vaksin dipteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar yang dianjurkan adalah 12 iu dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika perevalensi pertusis di masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur >7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen karena proteksi menurun selama masa remaja. Walaupun demikian, infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya rinan dan hanya merupakan sumber infeksi Bordeltella pertussis pada bayi non-imun. Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis: -

Panas yang lebih dari 38oC

-

Riwayat kejang

-

Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejan, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.

Kontak erat pada anak usia <7 tahun yang sebelumnya telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir. Juga diberikan Eritomisin 50 mg/kgBB/24 jam dalam 2-4 dosis selama 14 hari. Kontak erat pada usia >7 tahun juga perlu diberikan Eritromisin sebagai profilaksis. Pangobatan Eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan penderita pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi Eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya Erotromisin diberikan sampai penderita berhenti batuk atau setelah penderita mendapat Eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan Eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.

Kesimpulan Berdasarkan gejala klinis dan hasil laboratorium yang diberikan pada kasus, pasien didiagnosa menderita pertusis. Pertusis memiliki gejala batuk whooping disertai conjunctiva hemorrogic yang juga dialami oleh pasien. Dengan pengobatan dan pencegahan yang tepat, pasien dapat sembuh dari penyakit pertusis yang dialaminya.

Daftar Pustaka 1. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. Jakarta: EGC, 2003.h.440-1,560-5. 2. Mark HS. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC, 2002.h.164-70 3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007.h.405 4. Behrman RE, Kliegman RM, Ann M. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC;2000.h.955-9 5. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropic pada anak. Jakarta: EGC, 2005.h.19-30 6. Rudolph CD, Rudolph AM. Buku ajar pediatric Rudolph. Jakarta: EGC 2002.h.656-8 7. World Health Organization. Pelayanan kesehataan anak di rumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009.h.109-13

Related Documents

Gangguan Fungsi Hati
October 2019 43
Gangguan Hati: Kelompok 2
December 2019 23
Gangguan Fungsi Hati.docx
October 2019 21
Hati-hati
June 2020 43
Hati
May 2020 43

More Documents from ""

Gangguan Fungsi Hati.docx
October 2019 21
Brinkitis.docx
October 2019 26
Demam+tifoid
October 2019 31
Gangguan Fungsi Hati
October 2019 43
Oksiuriasis Sp
October 2019 30