Gadar Endokrin.docx

  • Uploaded by: aspa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gadar Endokrin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,255
  • Pages: 53
MAKALAH KEGAWAT DARURAT SISTEM ENDOKRIN diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Oleh : Ana Yulia Dede Diah Hardianti Florentinus Jhon Hendra Hendrikson Marcelina Intisari Jamin Mutiara Valerie Yeremia Manibuy Yudhita Sharlly Kurnia

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS PADALARANG 2015

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN A. Pengertian Sistem endokrin meliputi suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri dari sejumlah kelenjar penghasil zat yang dinamakan hormon. Kelenjar ini dinamakan “endokrin” karena tidak mempunyai saluran keluar untuk zat yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkannya itu dalam jumlah sedikit pada saat dibutuhkan dan dialirkan ke organ sasaran melalui pembuluh darah bercampur dengan darah.

B. Kelenjar Endokrin 1. Kelenjar Hipofisis Kelenjar Hipofisis (pituitary) disebut juga master of gland atau kelenjar pengendali karena menghasilkan bermacam-macam hormon yang mengatur kegiatan kelenjar lainnya. Kelenjar ini berbentuk bulat dan berukuran kecil, dengan diameter 1,3 cm. Hipofisis dibagi menjadi hipofisis bagian anterior, bagian tengah (pars intermedia), dan bagian posterior.

Gambar : Hipofisis bagian anterior dan posterior

a. Hipofisis Anterior

Gambar : Hormon yang dihasilkanHipofisis lobus anterior

Tabel : Hormon yang dihasilkan kelenjar Hipoifisis Anterior Hormon yang dihasilkan Hormon

Somatotropin

Hormon

pertumbuhan

Hormone / GH)

Fungsi (STH), Merangsang

sintesis

protein

dan

(Growth metabolisme lemak, serta merangsang pertumbuhan tulang (terutama tulang pipa) dan otot. kekurangan hormon ini pada anak-anak menyebabkan pertumbuhannya terhambat

/kerdil

(kretinisme),

jika

kelebihan akan menyebabkan pertumbuhan raksasa (gigantisme). Jika kelebihan terjadi pada saat dewasa, akan menyebabkan pertumbuhan tidak seimbang pada tulang jari tangan, kaki, rahang, ataupun tulang hidung yang disebut akromegali. Hormon

tirotropin

atau

Stimulating Hormone (TSH)

Thyroid Mengontrol

pertumbuhan

dan

perkembangan kelenjar gondok atau tiroid serta merangsang sekresi tiroksin

Adrenocorticotropic (ACTH)

hormone Mengontrol

pertumbuhan

dan

perkembangan aktivitas kulit ginjal dan merangsang

kelenjar

adrenal

untuk

mensekresikan yang

glukokortikoid

dihasilkan

untuk

(hormon

metabolisme

karbohidrat) Prolaktin (PRL) atau Lactogenic Membantu

kelahiran

dan

memelihara

hormone (LTH)

sekresi susu oleh kelenjar susu

Hormon gonadotropin pada wanita :

Merangsang pematangan folikel dalam

1. Follicle Stimulating Hormone ovarium dan menghasilkan estrogen (FSH) 2. Luteinizing Hormone (LH)

Mempengaruhi pematangan folikel dalam ovarium dan menghasilkan progestron

Hormone gonadotropin pada pria :

Merangsang terjadinya

1. FSH

(proses pematangan sperma)

2.

Interstitial

Cell

Hormone (ICSH)

spermatogenesis

Stimulating Merangsang sel-sel interstitial testis untuk memproduksi testosteron dan androgen

b. Hipofisis Posterior

Gambar : Hormon yang dihasilkan Hipofisis Posterior

Tabel : Hormon yang dihasilkan kelenjar Hipoifisis Anterior Hormon yang dihasilkan

Fungsi

Oksitosin

Menstimulasi kontraksi otot polos pada rahim wanita selama proses melahirkan.

Hormon ADH

Menurunkan

volume

urine

dan

meningkatkan tekanan darah dengan cara menyempitkan pembuluh darah

Gambar : Regulasi Hormon ADH

Banyak sedikitnya cairan yang masuk dalam sel akan di deteksi oleh hipotalamus. Jika cairan (plasma) dalam darah sedikit, maka hipofisis akan mensekresikan ADH untuk melakukan reabsorpsi (penyerapan kembali) sehingga darah mendapatkan asupan cairan dari hasil reabsorpsi tersebut. Dengan demikian kadar cairan (plasma) dalam darah dapat kembali seimbang. Selain itu, karena cairan pada ginjal sudah diserap, maka urinenya kini bersifat pekat. Jika seseorang buang air kecil terus menerus, diperkirakan hipofisis posteriornya mengalami gangguan sebab ADH tidak berfungsi dengan baik. Nama penyakit ini disebut diabetes insipidus.

2. Kelenjar TIROID Tiroid merupakan kelenjar yang terdiri dari folikel-folikel dan terdapat di depan trakea. Kelenjar yang terdapat di leher bagian depan di sebelah bawah jakun dan terdiri dari dua buah lobus. Kelenjar tiroid menghasilkan dua macam hormon yaitu tiroksin (T4) dan Triiodontironin (T3). Hormon ini dibuat di folikel jaringan tiroid dari asam amino (tiroksin) yang mengandung yodium. Yodium secara aktif di akumulasi oleh kelenjar tiroid dari darah. Oleh sebab itu kekurangan

yodium dalam makanan dalam jangka waktu

yang lama

mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok hingga 15 kali.

Gambar : Anatomi Kelenjar Tiroid Tabel : Hormon yang dihasilakan kelenjar Tiroid. Hormon yang dihasilkan

Fungsi

Tiroksin

Mengatur pertumbuhan,

metabolisme, perkembangan,

dan

kegiatan system saraf Triiodontironin

Mengatur pertumbuhan,

metabolisme, perkembangan

dan

kegiatan sistem saraf Kalsitonin

Menurunkan kadar kalsium dalam darah

dengan

cara

mempercepat

absorpsi kalsium oleh tulang

Gambar : Regulasi Hormon Tiroid

3. Kelenjar Paratiroid Berjumlah empat buah terletak di belakang kelenjar tiroid. Kelenjar ini menghasilkan parathormon (PTH) yang berfungsi untuk mengatur konsentrasi ion kalsium dalam cairan ekstraseluler dengan cara mengatur : absorpsi kalsium dari usus, ekskresi kalsium oleh ginjal, dan pelepasan kalsium dari tulang. Hormon paratiroid meningkatkan kalsium darah dengan cara merangsang reabsorpsi kalsium di ginjal dan dengan cara penginduksian sel–sel tulang osteoklas untuk merombak matriks bermineral pada osteoklas untuk merombak matriks bermineral pada tulang sejati dan melepaskan kalsium ke dalam darah. Jika kelebihan hormon ini akan berakibat berakibat kadar kalsium dalam darah meningkat, hal ini akan mengakibatkan terjadinya endapan kapur pada ginjal. Jika kekurangan hormon menyebabkan kekejangan disebut tetanus. Kalsitonin mempunyai fungsi yang berlawanan dengan PTH, sehingga fungsinya menurunkan kalsium darah.

Gambar : Anatomi Kelenjar Paratiroid Fungsi Hormon Parathiroid (PTH) yang dihasilakn dari kelenjar Paratiroid a. Mengatur metabolisme fosfor b. Mengatur kadar kalsium darah 4. Kelenjar Adrenal

Kelenjar ini berbentuk bola, atau topi yang menempel pada bagian atas ginjal. Pada setiap ginjal terdapat satu kelenjar suprarenalis dan dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar (korteks) dan bagian tengah (medula).

Gambar : Anatomi Kelenjar Adrenal

Tabel : Hormonn dari Kelenjar Adrenal dan Prinsip Kerja Hormon

Prinsip kerja

Bagian korteks adrenal

Mengontol

a. Mineralokortikoid

ion anorganik

b. Glukokortikoid

Mengontrol

metabolisme

metabolisme

glukosa Bagian Medula Adrenal

Kedua

hormon

tersebut

Adrenalin (epinefrin) dan bekerja sama dalam hal noradrenalin

berikut : a. dilatasi bronkiolus b.

vasokonstriksi

pada

arteri c. vasodilatasi pembuluh darah otak dan otot d.

mengubah

menjadi

glukosa

hati e. gerak peristaltik

glikogen dalam

f.

bersama

insulin

mengatur kadar gula darah

Gambar : Regulasi Hormon Adrenal

Gambar : Regulasi Medula Adrenal 5. Pankreas Kelenjar ini terdapat di belakang lambung didepan vertebra lumbalis I dan II. Sebagai kelenjar eksokrin akan menghasilkan enzim-enzim pencernaan ke dalam lumen duodenum. Sedangkan Sebagai endokrin terdiri dari pulau-pulau Langerhans, menghasilkan hormon. Pulau langerhans berbntuk oval dan tersebar diseluruh pankreas. Fungsi pulau langerhans sebagai unit sekresi dalam pengeluaran homeostatik nutrisi, menghambat sekresi insulin, glikogen dan polipeptida. Pada manusia, mengandung 4 macam sel, yaitu : a. sel A (atau α) : menghasilkan glukagon

b. sel B (atau β) : menghasilkan insulin c. sel D (atau γ) : menghasilkan somatostatin d. sel F (sgt kecil) : menghasilkan polipeptida pankreas Hormon insulin berguna untuk menurunkan gula darah, menggunakan dan menyimpan karbohidrat. Glukagon berfungsi untuk menaikan glukosa darah dengan jalan glikolisis. Sedangkan somatostatin berguna menurunkan glukosa darah dengan melepaskan hormon pertumbuhan dan glukagon.

Gambar : Pengaturan Kadar Gula Darah

Peningkatan glukosa darah diatas titik pasang (sekitar 90mg/100ml pada manusia) merangsang pankreas untuk mensekresi insulin, yang memicu sel –sel targetnya untuk mengambil kelebihan glukosa dari darah. Ketika kelebihan itu telah dikeluarkan atau ketika konsentrasi glukosa turun dibawah titik pasang, maka pancreas akan merespons dengan cara mensekresikan glukagon, yang mempengaruhi hati untuk menaikkan kadar glukosa darah. Hormon tiroid disintesis oleh glandula tiroidea. Sekresi hormon dipengaruhi oleh TRH dan TSH dari hipotalamus dan hipofisis anterior. Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk

mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap perubahan di dalam maupun di luar tubuh (Watson, 2002). Mekanisme feedback terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan oleh T3 dan T4.Sel-sel follikular kelenjar tiroid mensintesis tiroksin dan tiroglobulin.Tiroksin berikatan dengan tiroglobulin. Tiroksin yangterkandung dalam tiroglobulin disekresikan ke dalam koloid secara eksositosis. Iodine dari darah masuk ke dalam sel folikel dengan bantuan iodine pump. Iodine yang sudah sampai ke koloid akan berikatan dengan tiroksin yang terkandung dalam globulin (Agamemnon, 2001). Bila 1 iodine + 1 tyrosine = Monoiodotyrosine (MIT) Bila 2 iodine + tyrosine = Diiodotyrosine (DIT) MIT + DIT = T3 DIT + DIT = T4 T3 dan T4 kemudian dilepaskan ke dalam darah sedangkan iodine yang terikat pada MIT dan DIT dipergunakan kembali. TSH berperan untuk mempertahankan integritas kelenjar tiroid dan meningkatkan sekresi hormon tiroid dari kelenjar tiroid. Dalam keadaan fisiologis, faktor yang diketahui dapat meningkatkan sekresi TRH dan TSH dalam darah adalah rasangan udara dingin pada bayi baru lahir untuk meningkatkan produksi panas dan suhu tubuh (Agamemnon, 2001). Sedangkan pada orang dewasa mekanisme meningkatkan suhu tubuh tidak melalui TRH atau TSH melainkan melalui jalur simpatis. Respon terhadap kenaikkan kadar hormon tiroid di dalam darah dapat dideteksi setelah beberapa jam. Durasi kerjanya bisa sangat lama oleh karena responsnya akan tetap berlangsung sampai konsentrasi hormon tiroid di dalam darah normal dan juga karena hormon tiroid tidak didegradasi (Agamemnon, 2001).

MIKSEDEMA

A. Pengertian Miksedema Miksedema adalah keadaan hipotiroid berat pada orang dewasa, padamana terjadi penimbunan mukopolisakarida yang bersifat hidrofilik di dalam substansi dasar dermis dan jaringan lain. Miksedema adalah keadaan lebih lanjut yang diakibatkan oleh karena kadar hormon tiroid dalam darah berkurang. Karena kurang aktifnya kelenjar tiroid dalam menghasilkan hormon tiroid atau hormon tiroid yang dihasilkan terlalu sedikit (Hipotiroidisme). Miksedema merupakan bentuk hipotiroid terberat, pasien menjadi letargi dan bisa berlanjut pada keadaan stupor atau Koma Miksedema Miksedema adalah keadaan lebih lanjut yang diakibatkan oleh karena kadar hormon tiroid dalam darah berkurang.

B. Etiologi Koma miksidema diakibatkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi Kelenjar Tiroid, maka kadar Hormon Tiroid (HT) yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar Tiroid Stimulating Hormon (TSH) dan Tiroid Releaxing Hormon (TRH) karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH. Penurunan Hormon Tiroid dalam darah menyebabkan laju metabolism basal turun, yang mempengaruhi semua sistem tubuh. Faktor yang memicu terjadinya koma miksidema secara tiba-tiba terutama pada penderita hipotiroidisme, antara lain : 1. Obat-obatan (sedative, narkotika, dan obat anesthesi). 2. Faktor infeksi. 3. Stroke. 4. Trauma. 5. Gagal Jantung.

6. Perdarahan saluran pencernaan. 7. Hypotermia 8. Kegagalan pengobatan gangguan kelenjar tiroid. C. Manifestasi Klinis 1. Suhu tubuh biasanya rendah (hipotermi), suhu inti mungkin serendah 26,6o C 2. Gangguan mental yang parah termasuk halusinasi, disorientasi, kejang, dan akhirnya koma. 3. Pembengkakan yang signifikan (edema) diseluruh tubuh dengan mata bengkak dan penebalan lidah 4. Kesulitan bernafas 5. Penumpukan cairan di sekitar paru-paru dan jantung (efusi pleura dan efusi pericardium) 6. Kerja jantung melambat dan terjadi gangguan pemompaan darah. 7. Saluran pencernaan tidak berfungsi dengan baik dan kadang-kadang menjadi lumpuh, sehingga mengharuskan operasi. 8. Peningkatan cairan dalam tubuh sebagai contoh penurunan kadar natrium karena pengenceran yang disebabkan oleh tubuh mempertahankan air ekstra. D. Patofisiologi Gangguan pada kelenjar tiroid menyebabkan penurunan produksi hormon tiroid, sehingga mengganggu proses metabolisme tubuh. Yang berakibat : 1. Produksi ATP dan ADP menurun terjadi kelelahan (intoleransi aktifitas). 2. Gangguan fungsi pernafasan, terjadi depresi ventilasi (hipoventiasi). 3. Produksi kalor (panas) turun terjadi hipotermia. 4. Gangguan fungsi gastroentestinal, terjadi peristaltik usus menurun sehingga absorbsi cairan meningkat terjadi kontispasi. 5. Karena terjadi hipoventilasi suplai 02 ke jaringan berkurang demikian juga dengan otak sehingga terjadi perubahan pola kognitif terjadi perubahan proses pikir. E. Penatalaksanaan 1. Farmakoterapi : Dengan pemberian/penggantian hormon tiroid. 500 µg Tiroksin IV segera, disertai 100 µg T4, dan Hidrocartison 100 µg IV tiap 8 jam. 2. Diet rendah kalori. 3. Bila koma disebabkan karena kanker atau tumor sistem saraf pusat dilakukan kemoterapi atau radiasi.

4. Hipotermia harus dihindari dengan memakai selimut yang tebal, suhu ruangan hangat. 5. Hiponatremia dan hipoglikemia sering terjadi, dan harus diobati dengan benar. Misalnya dengan pemberian cairan infus yang mengandung dextrose. F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah yang mengukur kadar Hormon Tiroid (T3 dan T4), Tiroid Stimulating Hormon, dan Tiroid Releasing Hormon akan dapat mendiagnosis kondisi dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi tiroid biasanya menunjukkan: 1. T4 serum rendah, TSH meningkat 2. Respon dari TSH ke TRH meningkat 3. Cholesterol meningkat. 4. Hiponatremia, konsentrasi pCO2 meningkat (Hipoksemia). 5. Pemeriksaan rontgen dada bisa menunjukkan adanya pembesaran jantung.. 6. Pemeriksaan EKG dan enzim-enzim jantung diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan fungsi jantung. G. Konsep Dasar Keperawatan 1. Pengkajian Dampak penurunan kadar hormon dalam tubuh sangat bervariasi, oleh karena itu lakukanlah pengkajian terhadap ha1-ha1 penting yang dapat menggali sebanyak mungkin informasi antara lain a. Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama. b. Kebiasaan hidup sehari-hari seperti 1) Pola makan 2) Pola tidur (klien menghabiskan banyak waktu untuk tidur). 3) Pola aktivitas. c. Pemeriksaan fisik mencakup : 1) Penampilan secara umum; amati wajah klien terhadap adanya edema sekitar mata, wajah bulan dan ekspresi wajah kosong serta roman wajah kasar. Lidah tampak menebal dan gerak-gerik klien sangat lamban. Postur tubuh keen dan pendek. Kulit kasar, tebal dan berisik, dingin dan pucat. 2) Pemeriksaan fisik a) Sistem muskuloskeletal : Parastesia dan reflek tendon menurun

b) Sistem integumen : Penderita tampak pucat, kulitnya kuning, pinggiran alis matanya rontok, rambut tipis dan rapuh, ekspresi wajahnya kasar, kuku rapuh, lengan dan tungkainya membengkak serta fungsi mentalnya berkurang. 3) Sistem kariovaskular : Tanda-tanda vital menunjukkan perlambatan denyut jantung, suhu tubuh rendah, dan hipotensi.

Hiperosmolar Hyperglycemic State

A. Pengertian Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) atau

Sindrom

hiperglikemik hiperosmolar (SHH) adalah komplikasi yang mengancam nyawa dari penyakit diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol. Pertama diketahui lebih dari seabad yang lalu namun jarang didiagnosis sampai adanya laporan dari Sament dan Schwartz pada tahun 1957 (Venkatraman & Singhi, 2006). Sindrom Hiperglikemik hiperosmolar (SHH) ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa yang ekstrim dalam darah yang disertai dengan hiperosmolar tanpa adanya ketosis yang signifikan, dan biasanya jarang terjadi pada anak-anak. Namun hasil studi kasus belakang ini menjelaskan bahwa kejadian SHH pada anak diprediksi akan meningkat (Zeitler at al., 2011). Sindrom yang merupakan kumpulan gejala: hiperglikemia (+), hiperosmolar (+), ketonemia (-) dan ketonuria (-). Berdasar definisi sederhana tersebut jelas bahwa untuk menegakkan diagnosis HHS setidaknya dibutuhkan empat pemeriksaan penunjang penting: Kadar Gula darah, Osmolaritas serum/kadar elektrolit darah, kadar Keton di darah dan urin. Jadi, SHH adalah komplikasi yang mengancam nyawa dari DM-Tipe 2 dan merupakan defisit insulin efektif dalam darah yang diikuti dengan peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan tanpa adanya ketosis yang signifikan,biasanya jarang terjadi pada anak-anak. B. Patofisilogi Hiperosmolar Hiperglikemik State (HHS ) terjadi sebagai akibat dari kombinasi penurunan fungsi insulin dan peningkatan kontra-regulatori hormon, sepert glukagon, katecholamin, kortisol, dan growht hormon yang ditandai dengan sindrom HHS yaitu dehidrasi, hiperglikemia, hiperosmolar tanpa dosertai adanya ketosis. Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneoginesis di hati dan produksi insulin di ginjal serta gangguan penggunaan insulin pada jaringan perifer , yang pada akhirnya dapat

menyebabkan hiperglekemi dan hiperosmolar pada ruang ekstraseluler tanpa ketosis karena pada HHS insulin plasma tidak adekuat untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh jaringan akan tetapi sangat adekuat untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis lewat metabolisme yang belum diketahui, HHS biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, penyakit penyerta, infeksi, efek pengobatan, penyalahgunaan obat, dan noncompilance. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHS adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi ( >600 mg/dL) dan osmolaritas serum yang tinggi ( 320 mOsm / kg { 290 ± 5}) dengan ph lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan. HHS menybabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam elektrolit. Kadar natrium harus di koreksi jika kadar glukosa darah pasien sangat meningkat . Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan adanya peningkatan hiperglikemi parah yang dapat dilihat peningkatan osmolaltias serum dan bukti klinis adanya dehidrasi tanpa akumulasi α-hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids. Hiperglikemi disebabkan karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena penurunan respon insulin dari jaringan (resistensi insulin). Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis yang dapat meningkatkan proses pembentukan glukosa dari glikogen dan senyawa lain di dalam tubuh, selain itu terjadi penurunan uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Venkatraman & Singhi, 2006). Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis. Munculnya kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran urin oleh ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih parah. Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan sebagai katup penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravascular atau penyakit ginjal dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi glomerulus) menyebabkan kadar glukosa meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium menyebabkan hiperosmolar. Insulin diprosuksi, namun tidak cukup mampu

untuk menurunkan kadar glukosa, terutama pada kondisi resistansi insulin pada penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005) Penelitian hipertonisitas kronik menunjukkan bahwa sel otak memproduksi “idiogenic osmoles” yaitu substansi aktif yang secara osmotik mempertahankan volume intraseluler melalui peningkatan osmolalitas intraseluler. Penderita dipercaya memiliki faktor resiko edema serebral jika jumlah penurunan osmolalitas serum melebihi batas kemampuan sel otak unruk eliminasi partikel osmotik. Oleh karena itu, secara teori anak-anak dengan SHH yang prolonged, peristen hieprtonisitas merupakan resiko terbesar untuk edema serebral dibandingkan dengan pasien DKA (diabetic ketoacidosis). Defisiensi insulin relatif pada penderita DM dapat menyebabkan penurunan penggunaan glukosa, peningkatan glukoneogenesis dan peningkatan pemecahan glikogen menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis. Glikogenolisis juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh stress fisiologis melalui peningkatan hormon glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol. Keadaan ini selanjutnya akan menyebabkan hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah). Hiperglikemi menyebabkan munculnya glukosa dalam urin (glucosuria) dan peningkatan

osmolalitas

intravaskular.

Glucosuria

selanjutnya

menyebabkan

kehilangan air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan gmunculnya gejala dehidrasi yang selanjutkan akan mempengaruhi fungsi ginjal. Kondisi dehidrasi dan peningkatan osmolalitas intravaskular akan menimbulkan kondisi hiperosmolar. Hal ini menyebabkan munculnya sindrom hiperglikemi hiperosmolar (Stoner, 2005; Zeitler at al., 2011).

Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar (Zeitler at al., 2011)

C. Etiologi Faktor pencetusnya adalah infeksi dan faktor lainnya adalah : 1. Diskontinuasi atau pengobatan insulin yang inadekuat 2. Pankreatitis 3. Infark miokard 4. Obat 5. Dehidrasi 6. Pneumonia 7. ITU 8. Penyakit akut Stroke, perdarahan intrakranial, miokard infark, meningkatkan hormon ( kortisol, katekolamin, stress, emboli pulmo, meningkatkan level glukosa, glukagon )

9. Disfungsi ginjal 10. Gagal jantung kongestif 11. Obat

yang

meningkatkan

level

glukosa,

menghambat

insulinatau

menyebabkan dehidrasi diuretikn : diuretik, B-Blocker, antipsikotikatipikal, alkohol, dextrose 12. Elder abuse 13. Noncomplience terapi oral hipoglikemik / insulin

D. Manifestasi Klinis Menurut Hudak dan Gallo (edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi dari diabetes yang ditandai dengan : 1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat. 2. Asidosis ringan. 3. Sering terjadi koma dan kejang lokal. 4. Kejadian terutama pada lansia. 5. Angka kematian yang tinggi.

Tanda dan gejala umum pada klien dengan HONK adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur, banyak kencing, mudah lelah. Gejala-gejala meliputi : a. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma. b. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul. c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas. d. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi). e. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl. f. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal. g. Hipernatremia. h. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat. i. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat). j. Kerusakan fungsi ginjal.

k. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L. l. Kadar CO2 normal. m. Celah anion kurang dari 7 mEq/L. n. Kalium serum biasanya normal. o. Tidak ada ketonemia. p. Asidosis ringan.

E. Penatalaksanaan Medis 1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairan NACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik ½ normal diguyur 1000 ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia. Gklukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250 mg%. Defisit cairan pada pasien HHS berkisar 100-200 mL/kgBB (rata-rata butuh 9L). Hati-hati terhadap komplikasi edema cerebri dan overload cairan. Pada pasien yang mengalami syok hipovolemik, pertimbangkan penggunaan plasma expanders. Jika mengalami syok kardiogenik, jangan lupa melakukan monitor hemodinamik ketat.

2. Penggantian elektrolit Kalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda fungsi ginjal membaik, perhitungan kekurangan kalium harus segera diberikan. Target konsentrasi kalium adalah 4.0-5.0 mEq/L. Jika kadar kalium < 3.3 mEq/L maka pemberian insulin dapat ditunda. Jika kadar kalium 3.3-5.0 mEq/L, maka kombinasi kalium klorida: kalium fosfat (2:1) dapat diberikan dengan dosis 20-30 mEq setiap liter cairan intravena yang diberikan. Jika kadar kalium > 5.0 mEq/L, maka kadar kalium harus diturunkan hingga dibawah 5.0 mEq/L dengan monitoring setiap 2 jam. 3. Insulin Pastikan cairan telah diberikan secara adekuat sebelum memulai memberikan insulin. Inuslin inisiasi diberikan dengan bolus 0.15 U/kgBB

secara IV, diikuti dengan drip 0.1 U/kgBB per jam, dengan target glukosa 250300 mg/dL. Laju penurunan glukosa darah diharapkan 50-70 mg/dL setiap jam, jika belum mencapai angka tersebut maka dosis insulin dapat ditingkatkan. Jika kadar gula darah sudah mencapai < 300 mg/dL, insulin tetap diberikan dengan diturunkan dosis secara perlahan (sliding scale). Targetnya adalah kesadaran pasien yang membaik dan osmolaritas serum yang teresolusi.

Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hipersemolar hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema mirip proprotokol ketoasidosis diabetik.

4. Hindari infeksi sekunder Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter 5. Obat – obatan Steroid ( khusunya untuk glikokortikoid), Beta Blockers, Thiazide diuretik, Kalsium chanel Bloker, Phenytoin, Epinephrine, Psychotropic (including tricyclic antidepresants), Sympathomimetich, Analgesics, Cimetidine, Calcium chanel blockers , Immunosuppewssants, Diazoxide.

F. Pengkajian 1. Primery Survey a. Air way Kemungkinan ada sumbatan jalan nafas, terjadi karena adanya penurunan kesadaran/koma sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak. b. Breathing Tachypnea, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen. c. Circulation Sebagai akibat diuresis osmotik, akan terjadi dehidrasi. Visikositas darah juga akan mengalami peningkatan, yang berdampak pada resiko terbentuknya trombus. Sehingga akan menyebabkan tidak adekuatnya perfusi organ.

2. Sekunder Survey Bilamana managemen ABC menghasilkan kondisi yang stabil, perlu pengkajian dengan menggunakan pendekatan head to toe. Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda dehidrasi seperti turgor turun disertai tanda kelainan neurologist, hipotensi postural, bibir dan lidah kering, tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan, dan tidak ada pernapasan Kussmaul. 3. Pemeriksaan fisik a. Neurologi : Stupor, Lemah, disorientasi, Kejang, Reflek normal,menurun atau tidak ada. b. Pulmonary : Tachypnae, dyspnae, Nafas tidak bau acetone, Tidak ada nafas kusmaul. c. Cardiovaskular

: Tachicardia, Hipotensi postural, Mungkin penyakit

kardiovaskula ( hipertensi, CHF ), Capilary refill > 3 detik. d. Renal : Poliuria( tahap awal ), Oliguria ( tahap lanjut ), Nocturia, inkontinensia e. Integumentary : Membran mukosa dan kulit kering, Turgor kulit tidak elastis, Mata lembek, Mempunyai infeksi kulit, luka sulit sembuh. f. Gastrointestinal : Distensi abdomen dan penurunan bising usus 4. Tersier Survey a. Riwayat Keperawatan 1. Persepsi-managemen kesehatan Riwayat DM tipe II, Riwayat keluarga DM, Gejala timbul beberapa hari, minggu. 2. Nutrisi – metabolik Rasa haus meningkat, polidipsi atau tidak ada rasa haus, Anorexia, Berat badan turun. 3. Eliminasi Poliuria, nocturia, Diare atau konstipasi. b. Aktivitas dan latihan Lelah dan Lemah. c. Kognitif

Kepala pusing, hipotensi orthostatik, Penglihatan kabur,Gangguan sensorik. d. Pemeriksaan Diagnostik 1. Serum glukosa: 800-3000 mg/dl. 2. Gas darah arteri: biasanya normal. 3. Elektrolit biasanya rendah karena diuresis. 4. BUN dan creatinin serum

meningkat karena dehidrasi atau gangguan

ginjal 5. Osmolalitas serum: biasanya lebih dari 350 mOsm/kg. 6. pH > 7,3. 7. Bikarbonat serum> 15 mEq/L. 8. Sel darah putih meningkat pada keadaan infeksi. 9. Hemoglobin dan hematokrit meningkat karena dehidrasi. 10. EKG mungkin aritmia karena penurunan potasium serum. 11. Keton urine tidak ada atau hanya sedikit. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan : Kriteria diagnostik dan klasifikasi

HHS

Glukosa plasma dalam ( mg/dL)

>600

pH arteri

>7,3

Bikarbonat serum ( mEq/L)

>15

Keton urin

Ringan/-

Keton serum

Ringan/-

Osmolaritas serum ( mOsm/kg )

>320

Anion Gap

<>

Osmolaritas darah = 2 ( Na serum ) + Glukosa plasma / 18. e. Membedakan HHS dan DKA 1. Lansia, pasien HHS sebagian besar berusia > 60 tahun, beberapa di usia muda dan belum pernah ditemukan pada anak-anak. 2. Riwayat DM (-), hampir 50% pasien HHS belum terdiagnosis DM sebelumnya atau jika pun sudah terdiagnosis biasanya mereka belum menggunakan terapi insulin rutin.

3. Riwayat Penyakit Ginjal (+) atau Jantung (+), 85% pasien HHS memiliki riwayat penyakit lain: Mayoritas Gagal Ginjal Kronik dan Penyakit Jantung Koroner. Beberapa kasus yang pernah dilaporkan: penyakit Cushing, tirotoksikosis dan akromegali. 4. Riwayat Pemakaian Diuretik (+). HHS sering disebabkan oleh beberapa pemakaian obat diuretik seperti: furosemid, tiazid dan manitol. Beberapa obat lain yang dapat menyebabkan HHS adalah: digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol.

Diabetic Ketoasidosis (DKA)

A. Pengertian Diabetik ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketoasis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus. Suatu kedaruratan medik akibat gangguan metabolisme glukosa dengan tanda hiperglikemia (kadar gula sewaktu >300mg/dl). Hiperketonemia/ketonuria dan asidosis metabolik (ph darah <7,35 dn bikarbonat darah <15mEq/L).

B. Etiologi 1. Insulin yang tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi. 2. Penyakit atau keadaan yang meningkatkan kenaikan metabolisme sehingga kabutuhan nilai insulin meningkat (infeksi, trauma) dan peningkatan kadar hormon anti insulin (glukagon,epinefrin,kortisol). 3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang terdiagnosis dan tidak diobati.

C. Patofisiologi Hiperglikemia pada keadaan defisiensi insulin seluruh tubuh dan jaringan seperti otot,lemak,dan hati tidak bisa memanfatkan glukosa sehingga terjadi hiperglikemia pada keadaan puasa atau defisensi insulin terjadi karena: 1. Glukoneogenesis meningkat. 2. Glukogenolisis dipercepat. 3. Gangguan penurunan glukosa oleh jaringan perifer. 4. Pengaruh hormon anti insulin. Secara klinis hiperglikemia akan menyebabkan diuresis osmotik karena ginjal mempunyai ambang terhadap kadar glukosa darah (180mg/dl) yang dapat direabsobsi diuresis osmotik (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan rasa haus dehidrasi ini akan menyababkan berat badan menurun hiperglikemia akan menyababkan hiperosmolalitas yang selanjutnya dapat mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.

osmolaritas plasma < 320 mosm/l dapat menyebabkan komaosmolaritas plasma dapat dihitung (na (mmol/l) x 2) + glukosa (mmol/l)+ urea (mmol/l) . Ketosis dan metabolisme lipidefisiensi insulin akan menyebabkan lipolisis sehingga kadar asam lemak dalam darah meningkat asam lemak bebas kemudian diambil oleh hati yang selanjutnya dioksidasi menjadi badan badan keton (aseto asetat dan asam hidroksi butirat) penimbunan

badan keton atau hiperketonemia akan

menyebabkan asidosis metabolik hiperlidipidemia dan asidosis akan menyebabkan keseimbangan elektrolit akan terganggu terutama pada diabetik ketoasidosis sering terjadi pseudohiponatremia.

D. Manifestasi klinis 1. Hiperglikemia pada DKA akan menimbulkan poliuria dan polidipsi 2. Pasien mengalami penglihatan kabur, kelemahan dan sakit kepala. 3. Hipotensi pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatistik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmhg atau lebih pada saat berdiri). 4. Terjadi ketoasidosis dan ketosis . 5. Gangguan GI (anoreksia, mual,muntah dan nyeri abdomen) 6. Napas bau keton. 7. Nilai bikarbonat yang rendah (0-15 mEq/L) 8. Pernapasan kusmaul.

E. Pemeriksaan diagnostik 1. Kadar gula darah > 300mg/dl dan tidak >800 mg/dl 2. Elektrloit darah 3. Analisa gas darah,BUN,kreatinin. 4. Darah lengkap (Hb A1c). 5. X-RAY thorax 6. Ketosis dan ketoasidosis 7. Aseton plasma 8. Osmolalitas serum

F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan

DKA

difokuskan

pada

tiga

permasalahan

utama:

dehidrasi,kehilangan elektrolit dan asidosis. 1. Dehidrasi a. Rehidrasi untuk mempertahankan perfusi jaringan. b. Penggantian cairan akan meningkatkan ekskresi glukosa yang berlebih. c. Pasien mungkin memerlukan cairan 6 hingga 10 liter cairan infus untuk mengganti kehilangan cairan akibat hiperventilasi,diare,mual dan muntah. d. Larutan normal saline hipotonik (0,45%) dapat digunakan pada pasien hipertensi atau hipernatrium, atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. e. Pemantauan status volume cairan dan tanda-tanda vital. 2. Kehilangan elektrolit a. Pemantauan kalium dan penambahan kalium jika terjadi hipokalemi b. Pemantauan TTV dan intake output. c. EKG bila perlu. 3. Asidosis a. Asidosis pada DKA dapat diatasi melalui pemberian insulin. Biasanya diberikan melalui IV dengan kecepatan lambat . b. Pemberian insulin dapat dilanjutkan selama 24 jam sampai kadar bikarbonat membaik. c. Pengukuran gula darah tiap jam. d. Dekstrosa tambahan pada cairan infus (Dex5Ns).

B. Prinsip pengelolaan DKA: 1. Penggantian cairan dan garam yang hilang. 2. Menekan lipolisis lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin. 3. Mengatasi stress sebagai pencetus DKA. 4. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

C. Komplikasi Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian akibat KAD adalah: 1. Terlambat didiagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma. 2. Pasien belum tahu bahwa ia menyandang DM. 3. Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat, seperti: renjatan (syok), stroke, dll. 4. Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang suksesnya penatalaksanaan KAD Komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD yaitu: 1. Edema paru 2. Hipertrigliserida 3. Infark miokard akut 4. Hipoglikemia 5. Hipokalsemia 6. Hiperkloremia 7. Edema otak 8. Hipokalemia D. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Anamnesis : a. Riwayat DM b. Poliuria, Polidipsi c. Berhenti menyuntik insulin d. Demam dan infeksi e. Nyeri perut, mual, mutah f. Penglihatan kabur g. Lemah dan sakit kepala 2. Pemeriksan Fisik : a. Ortostatik hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri) b. Hipotensi, Syok c. Nafas bau aseton (bau manis seperti buah) d. Hiperventilasi : Kusmual (RR cepat, dalam) e. Kesadaran bisa CM, letargi atau koma f. Dehidrasi

3. Pengkajian gawat darurat : a. Airways : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda asing yang menghalangi jalan nafas. b. Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot bantu Pernafasan. c. Circulation : kaji nadi, capillary refill. 4. Pengkajian head to toe a. Data subyektif : 1) Riwayat penyakit dahulu. 2) Riwayat penyakit sekarang. 3) Status metabolic Intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi atau penyakitpenyakit akut lain, stress yang berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lain yang mempengaruhi glukosa darah, penghentia insulin atau obat antihiperglikemik oral. b. Data Obyektif : 1) Aktivitas / Istirahat Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun,gangguan istrahat/tidur Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas, letargi/disorientasi, koma. 2) Sirkulasi Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan kesemutan padaekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia. Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak ada,disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan, bolamata cekung. 3) Integritas/ Ego Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungandengan kondisi. Tanda : Ansietas, peka rangsang

4) Eliminasi Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar, kesulitanberkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare. Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadioliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi),abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare). 5) Nutrisi/Cairan Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatanmasukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu,haus, penggunaan diuretik (Thiazid). Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah,pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah),bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton). 6) Neurosensori Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesi, gangguan penglihatan. Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA). 7) Nyeri/kenyamanan Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat) Tanda :Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati. 8) Pernapasan Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak). Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan meningkat. 9) Keamanan Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit Tanda : Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya kekuatan umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).

10) Seksualitas Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi) Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita. 11) Penyuluhan/pembelajaran Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan. Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah. 5. Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul. a. Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH

menurun) akibat hiperglikemia, glukoneogenesis,

lipolisis b. Ketidakefektifan

pola

napas

berhubungan

dengan

penurunan

kemampuan bernapas. c. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebihan (diuresis osmotic) akibat hiperglikemia.

KRISIS TIROID

A. Pengertian Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam nyawa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Krisis tiroid sering terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan terapi atau mendapat terapi yang tidak adekuat, dan dipicu oleh adanya infeksi, trauma, pembedahan tiroid atau diabetes melitus yang tidak terkontrol. Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid/thyrotoxic crisis/thyroid storm adalah kedaruratan medis yang disebabkan oleh eksaserbasi akut dari gejala-gejala hipertiroid. Hal ini dapat berakibat fatal dan mematikan. Namun jarang terjadi apabila deteksi dini dilaksanakan dan pengobatan diberikan secepatnya (Hannafi,2011). Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam nyawa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna.

B. Abnormal Fungsi Tiroid Jika terjadi gangguan pada kelenjar hipofisis anterior maupun kelenjar tiroid dalam fungsi sekresi hormon tiroid akan dapat mengakibatkan kondisi hipotiroidisme dan hipertiroid. Hipotiroidisme yaitu sekresi hormone tiroid yang tidak adekuat selama perkembangan janin dan neonates akan menghambat pertumbuhan fisik dan mental karena penekanan aktivitas metabolic tubuh secara umum. Pada orang dewasa, hipotiroidisme memiliki gambaran klinik berupa letargi, proses berpikir yang lambat dan perlambatan fungsi tubuh yang menyeluruh. Hipertiroidisme merupakan sekresi hormone tiroid yang berlebihan dan dimanifestasikan melalui peningkatan kecepatan metabolisme. Jika gangguan berupa hipotiroid tidak segera ditangani, maka akan

dapat mengakibatkan terjadinya koma miksedema yang menggambarkan hipotiroid yang paling ekstrem dan berat, di mana pasien mengalami hipotermia dan tidak sadarkan diri. Sedangkan jika hipertiroid tidak segera ditangani, maka akan dapat mengakibatkan krisis tiroid berupa hipertiroid berat yang biasanya terjadi dengan awitan mendadak dan ditandai dengan hiperpireksia, takikardia yang ekstrim serta perubahan status mental yang sering terlihat sebagai delirium (Smeltzer, 2002).

C. Etiologi Menurut Sherwood (2012) disfungsi tiroid berupa hipertiroid yang dapat menjadi krisis tiroid dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 2. Adanya long-acting thyroid stimulator (penyakit graves) yang ditandai dengan peningkatan hormone T3 dan T4 dalam sirkulasi dengan penurunan hormone TSH 3. Sekunder karena sekresi berlebihan hipotalamus atau hipofisis anterior yang ditandai dengan peningkatan hormone T3 dan T4 sebagai hasil dari peningkatan TRH pada hipotalamus dan TSH pada hipofisis anterior 4. Tumor tiroid dengan hiperpireksia juga menyebabkan hipertiroid dengan peningkatan hormone tiroid dan penurunan hormone TSH 5. Factor pencetusnya krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007)

D. Manifestasi Klinis Penderita umumnya menunjukkan semua gejala tirotoksikosis tetapi biasanya jauh lebih berat. 2. Demam > 370 C 3. Takikardi > 130 x/menit 4. Gangguan sistem gastrointestinal seperti diare berat 5. Gangguan

sistem

neurologik

seperti

dehidrasi,gangguan kesadaran sampai koma 6. Peningkatan frekuensi denyut jantung

keringat

yang

berlebihan

sampai

7. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap katekolamin 8. Penurunan berat, peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik) 9. Peningkatan frekuensi buang air besar 10. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid 11. Gangguan reproduksi 12. Cepat letih 13. Mata melotot (exoptalmus)

E. Pemeriksaan Diagnostik Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini :Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid. 1. TSH(Tiroid Stimulating Hormone) 2. Bebas T4 (tiroksin) 3. Bebas T3 (triiodotironin) 4. Tiroid scan untuk melihat pembesaran kelenjar tiroid 5. Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum 6. Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia

F. Komplikasi Komplikasi Krisis tiroid yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT

dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106°F), dan, apabila tidak diobati, infak miokardium, gagal jantung,hipotiroidisme, koma, kematian. G. Penatalaksanaan 1. Konservatif b. Obat Anti-Tiroid. Obat ini menghambat produksi hormon tiroid. Jika dosis berlebih, pasien mengalami gejala hipotiroidisme.Contoh obat adalah sebagai berikut : Obat

Dosis awal (mg/hari)

Pemeriksaan (mg/hari)

-

Karbimatol

30 – 60

5 – 20

-

Metimazol

30 – 60

5 – 20

-

Propiltiourasil

300 – 600

50 – 200

c. Beta-adrenergic reseptor antagonist. Obat ini adalah untuk mengurangi gejalagejala hipotiroidisme. Contoh: Propanolol 2. Surgical a. Radioaktif iodine. Tindakan ini adalah untuk memusnahkan kelenjar tiroid yang hiperaktif Indikasi pengobatan dengan yodium radioaktif diberikan pada: 1. Pasien umur 35 tahun atau lebih 2. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid. 3. Tidak mampu atau tidak mau pengobatan

dengan

obat

antitiroid b. Tiroidektomi. Tindakan Pembedahan ini untuk mengangkat kelenjar tiroid yang membesar

H. Konsep dasar keperawatan 1. Pengkajian 1) Integumen a) Kulit kering, pecah-pecah, bersisik dan menebal b) Pembengkakan, tangan, mata dan wajah c) Tidak tahan dingin d) Pertumbuhan kuku buruk, kuku menebal 2) Muskuloskeletal a) Volume otot bertambah, glossomegali b) Kejang otot, kaku, paramitoni c) Artralgia dan efusi sinovial d) Osteoporosis e) Pertumbuhan tulang terhambat pada usia muda f) Umur tulang tertinggal disbanding usia kronologis g) Kadar fosfatase alkali menurun 3) Neurologik a) Letargi dan mental menjadi lambat b) Aliran darah otak menurun c) Kejang, koma, dementia, psikosis (gangguan memori, perhatian kurang, penurunan reflek tendon) d) Ataksia (serebelum terkena) e) Gangguan saraf ( carfal tunnel) f) Tuli perseptif, rasa kecap, penciuman terganggu 4) Kardiorespiratorik a) Bradikardi, disritmia, hipotensi b) Curah jantung menurun, gagal jantung c) Efusi pericardial (sedikit, temponade sangat jarang) d) Kardiomiopati di pembuluh. EKG menunjukkan gelombang T mendatar/inverse e) Penyakit jantung iskemic f) Hipotensilasi g) Efusi pleural 5) Gastrointestinal a) Konstipasi, anoreksia, peningkatan BB, distensi abdomen

b) Obstruksi usus oleh efusi peritoneal c) Aklorhidria, antibody sel parietal gaster, anemia pernisiosa 6) Perkemihan a) Aliran darah ginjal berkurang, GFR menurun b) Retensi air (volume plasma berkurang) c) Hipokalsemia 7) Hematologi a) Anemia normokrom normositik b) Anemia mikrositik/makrositik c) Gangguan koagulasi ringan 8) Sistem endokrin a) Pada perempuan terjadi perubahan menstruasi seperti amenore / masa menstruasi

yang

memanjang,

menoragi

dan

galaktore

dengan

hiperprolaktemi b) Gangguan fertilitas c) Gangguan hormone pertumbuhan dan respon ACTH, hipofisis terhadap insulin akibat hipoglikemi d) Gangguan sintesis kortison, kliren kortison menurun e) Insufisiensi kelenjar adrenal autoimun f) Psikologis / emosi : apatis, agitasi, depresi, paranoid, menarik diri, perilaku maniak

Hipoglikemia

A. Pengertian Hipogliekmia adalah glukosa darah 60 mg/dl atau kurang. Hipoglikemia merupakan kondisi yang ditandai oleh kadar glukosa serum < 50 mg/dl yang disebabkan oleh ketidak adekuatan produksi glukosa untuk memenuhi kebutuhan pengunaan glukosa. hipoglikemia adalah komlikasi diabetes tipe 1 yang mudah dikenali pada pasien. Jadi, hipoglikemia merupakan kondisi dimana kadar glukosa dalam serum menurun.

B. Etiologi Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme kontrol pada metabolisme glukosa. Antara lain: inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan endokrin dan pengaruh obat-obatan maupun toksin. Penyebab umumnya adalah syok insulin, insulinoma, kesalahan metabolisme bawaan, stress, penurunan BB, pasca gastrektomi, berhubungan dengan penggunaan alkohol, defisiensi glukokortikoid, hipoglikemia akibat puasa, malnutrisi berat, olahraga lama, penyakit hati berat, sepsis berat, efek obat : (etanol,salisilat, kuinin, haloperidol, insulin, sulfonilurea, sulfonamid, alopurinol, klobifat, agen beta- adrenergik).

C. Patofisilogi Ketergantungan otak setiap saat pada glukosa yang disuplai oleh sirkulasi diakibatkan oleh ketidakmampuan otak untuk membakar asam lemak berantai panjang, kurangnya simpanan glukosa sebagai glikogen didalam otak orang dewasa, dan ketidaktersediaan keton dalam fase makan atau kondisi posabsorptif terdapat sedikit perdebatan tentang manakala gula darah turun dengan tiba-tiba, otak mengenali defisiensi energinya setelah kadar serum turun jauh dibawah sekitar 45 mg/dl. Kadar dimana gejala-gejala timbul akan berbeda dari satu pasien dengan pasien lain, dan bukanlah hal yang tidak lazim pada kadar serendah 30 sampai 35 mg/dl untuk terjadi (misal, selama test toleransi) tanpa gejala-gejala yang telah disebutkan.

Gejala dapat ditimbulkan dari respon sistem saraf simpatik terhadap hipogliekmia atau dari respon neuroglikopenik. Hipotalamus bereaksi terhadap kadar glukosa yang rendah untuk meningkatkan respons adernergik, yang mencakup takikardia, palpitasi, teremor, dan kecemasan. Seperti bagian besar jaringan lainnya, metabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas otak dapat memperolah glukosa dari penyimpanan glikogen diastrosit, namun itu dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak,otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah kedalam jaringan interstitial dalam sistem saraf pusat dan saraf-saraf didalam sistem saraf tersebut. Oleh karena itu jika jumlah glukosa yang disuplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga dibawah 65 mg/dl (3,6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga dibawah 10 mg/dl (0,55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma. Apabila jumlah insulin berkurang jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula, disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali, kedua faktor ini akan menimbulkan hipoglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersamasama air dan elektrolit ( seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotic yang ditndai oleh urinari berlebihan ( poliuria ) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak ( lipolisis ) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliseral. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati, pada keton asidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut, badan keton bersifat asam, dan bila tertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik, Pada hipoglikemia ringan ketika kadar gula darah menurun, sistem saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah menyebabkan selsel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tandatanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan

berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, pengelihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi dari gejala ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang. Pada hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.

D. Klasifikasi hipoglikemia Tipe hipoglikemia digolongkan menjadi beberapa jenis yakni : 1. Tranasisi dini neonatus (early transitional neonatal) : ukuran bayi yang besar ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin. 2. Hipoglikemia klasik sementara : terjadi jika bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan lemak dan glikogen. 3. Sekunder : sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen. 4. Berulang : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau metabolisme,

Selain itu hipoglikemia juga dapat diklasifikasikan sebagai: 1. Hipoglikemia ringan (glukosa darah 50-60 mg/dl) : terjadi jika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. 2. Hipoglikemia sedang (glukosa darah < 50 mg/dl) : penurunan kadar glukosa dapat menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, pengelihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.

3. Hipoglikemia berat (glukosa darah <35 mg/dl) : terjadi gangguan pada sistem saraf pusat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemianya. Gejalanya mencakup disorientasi, serangan kejang, sulit dibangtunkan , bahak kehilangan keasadaran.

E. Tanda dan Gejala Hipoglikemia terjadi karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga menyebabkan rendahnya kadar gula dalam darah. Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepaskan epinefrin ( adrenalin ) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabakan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Tanda dan gejala dari hipoglikemi terdiri dari 2 fase antara lain : 1. Fase pertama yaitu gejala-gejala yang timbul akibat aktivitas pusat autonom di hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon epinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual ( glukosa turun 50 mg %). 2. Fase kedua yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak gejalanya berupa pusing, pandangan kabur, ketajaman mental menurun, hilangnya keterampilan motorik yang halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang dan koma ( glokosa darah 20 mg % ). Adapun gejala-gejala hipoglikemi yang tidak khas adalah sebagai berikut : a. Perubahan tingkah laku b. Serangan sinkop yang mendadak c. Pusing pagi hari yang hilang dengan makan pagi d. Keringat berlebihan pada waktu tidur malam e. Bangun malam untuk makan f. Hemiplegi/apasia sepintas g. Angina pectoris tanpa kelainan arteri koronaria

F. Penatalaksanaa hipoglikemia 1. Glukosa oral Sesudah didiagnosis hipoglikemia ditegakan dengan pemeriksaan glokosa darah kapiler, 10-20 gram glukosa oral harus segera diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glokosa seperti jus buah segar dan non diet cola. Sebaiknya coklat manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat mengabsorsi glokosa. Bila belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 gram karbohidrat komlpek. Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian gawat, pemberian madi atau jel glokosa lewat mukosa ronga hidung dapat dicoba. 2. Glukosa intramuskular Glukosoa 1 mg intramuskuler dapat diberikan dan hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Kecepatan kerja glukagon tersebut sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar pemberian glukagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 gram ( 4 sendok makan ) dan dilanjutkan dengan pemberian 40 gram karbohidrat dalam bentuk tepung seperti crakres dan biskuit untuk mempertahan kan pemulihan, mengigat 1 mg glukagon yang singkat ( awitannya 8 hingga 10 menit dengan kerja yang berlangsung selama 12 hingga 27 menit ). Reaksi insulin dapat pulih dalam waktu 5-15 menit. Pada keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemi yang di induksi alkohol, pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektifitas glukagon tergantung dari simulasi glikogenolisis yang terjadi. 3. Glukosa intravena Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi 40 % IV sebanyak 10-25 cc setiap 10-20 menit sampai pasien sadar disertai infus dekstrosa 10 % 6 kolf/jam.

G. Pemeriksaan penunjang 1. Gula darah puasa Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa( sebelum diberi glukosa 75 gram oral ) dan nilai normalnya antara 70-110 mg/dl.

2. Gula darah 2 jam post prandial diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam. 3. HBA1c pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula darah yang sesungguhnya karena pasein tidak dapat mengontorl hasil test dalam waktu 2-3 bulan. HBA1c menunjukan kadar Hemoglobin terglikolisasi yang pada orang normal antara 4-6%. Semakin tinggi maka akan menunjukan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi. 4. Elektrolit, terjadi peningkatan kreatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu. 5. Leukosit, terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi.

H. Penangaanan kegawatdaruratan prehospital hipoglikemia Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk tidak memasukan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat didalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil.

I. Pengkajian Primer Hipoglikemia 1. Airway Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bernafas dengan bebas,ataukah ada secret yang menghalangi jalan nafas. Jika ada obstruksi, lakukan : a. Chin lift/ Jaw thrust b. Suction

c. Guedel Airway d. Instubasi Trakea 2. Breathing Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan : a. Beri oksigen b. Posisikan semi Flower 3. Circulation Menilai sirkulasi / peredaran darah: a. Cek capillary refill b. Auskultasi adanya suara nafas tambahan c. Segera Berikan Bronkodilator, mukolitik. d. Cek Frekuensi Pernafasan e. Cek adanya tanda-tanda Sianosis, kegelisahan f. Cek tekanan darah Penilaian ulang ABC diperlukan bila kondisi pasien tidak stabil 4. Disability Menilai kesadaran pasien dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Kaji pula tingkat mobilisasi pasien. Posisikan pasien posisi semi fowler, esktensikan kepala, untuk memaksimalkan ventilasi. Segera berikan Oksigen sesuai dengan kebutuhan, atau instruksi dokter.

J. Pengkajian Sekunder Hipoglikemia Data dasar yang perlu dikaji adalah : 1. Keluhan utama : sering tidak jelas tetapi bisanya simptomatis, dan lebih sering hipoglikemi merupakan diagnose sekunder yang menyertai keluhan lain sebelumnya seperti asfiksia, kejang, sepsis. 2. Riwayat : a. ANC b. Perinatal c. Post natal d. Imunisasi e. Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga

f. Pemakaian parenteral nutrition g. Sepsis h. Enteral feeding i. Pemakaian Corticosteroid therapi j. Ibu yang memakai atau ketergantungan narkotika k. Kanker 3. Data fokus Data Subyektif: a. Sering masuk dengan keluhan yang tidak jelas b. Keluarga mengeluh bayinya keluar banyak keringat dingin c. Rasa lapar d. Nyeri kepala e. Sering menguap f. Irritabel Data obyektif: a. Parestisia pada bibir dan jari, gelisah, gugup, tremor, kejang, kaku, b. Hight—pitched cry, lemas, apatis, bingung, cyanosis, apnea, nafas cepat irreguler, keringat dingin, mata berputar-putar, menolak makan dan koma c. Plasma glukosa < 50 gr/ 4. Pengkajian head to toe Data subyektif : a. Riwayat penyakit dahulu b. Riwayat penyakit sekarang c. Status metabolik : intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori,infeksi atau penyakit-penyakit akut lain, stress yang berhubungandengan faktorfaktor psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lainyang mempengaruhi glikosa darah, penghentian insulin atau obat antihiperglikemik oral. Data Obyektif a. Aktivitas / Istirahat Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus ototmenurun, gangguan istrahat/tidur Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitasLetargi/disorientasi, koma b. Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dankesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yanglama, takikardia.Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yangmenurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung. c. Integritas/ Ego Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi. Tanda : Ansietas, peka rangsang d. Eliminasi Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasanyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeritekan abdomen, diare.Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembangmenjadi oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemahdan menurun, hiperaktif (diare) e. Nutrisi/Cairan Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badanlebih dari beberapa hari/minggu,

haus,

kering/bersisik,

penggunaan

turgor

jelek,

diuretik

(Thiazid)Tanda

kekakuan/distensiabdomen,

:

Kulit muntah,

pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhanmetabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton) f. Neurosensori Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesi, gangguan penglihatanTanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut),gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendondalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA). g. Nyeri/kenyamanan Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati h. Pernapasan

Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak). Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan meningkat

Nursing Care Plan

1. Diagnosa kegawat daruratan MIKSEDEMA Hipotermia berhubungan dengan penurunan produksi kalor tubuh. Tujuan : setelah 1×24 jam suhu meningkat. Kriteria hasil : suhu 37oc, akral HKM Intervensi : a. Anjurkan pasien untuk menggunakan selimut atau baju tebal. Rasional : selimut atau baju tebal bertujuan untuk mengurangi penguapan suhu tubuh. b. Anjurkan pasien untuk menghindari pendingin. Rasional : menghindari pendingin agar pasien lebih nyaman dan suhu tidak menurun. c. Berikan suhu ruang yang hangat. Rasional : agar pasien nyaman dan suhu ruangan tidak mempengaruhi suhu tubuh pasien. d. Pantau suhu tubuh pasien. Rasional : pemantauan suhu tubuh untuk meminimalkan suhu pasien agar tidak turun.

Diagnosa kegawat darurat HSN 2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran berlebihan (diuresis osmotik) akibat hiperglikemia. Intervensi : a. Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan setiap jam b. Observasi kepatenan atau kelancaran infus c. Monitor TTV dan tingkat kesadaran tiap 15 menit, bila stabil lanjutkan untuk setiap jam d. Observasi turgor kulit, selaput mukosa, akral, pengisian kapiler e. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN/kreatinin, osmolaritas darah, natrium, kalium) f. Monitor pemeriksaan EKG g. Monitor CVP h. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam

1. Pemberian cairan parenteral 2. Pemberian terapi insulin 3. Pemasangan kateter urine 4. Pemasangan CVP jika memungkinkan Diagnosa kegawat daruratan DKA 3. Rencana Keperawatan a. Risiko tinggi terjadinya gangguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH menurun)akibat hiperglikemia, glukoneogenesis, lipolisis. Kriteria Hasil : 1) RR dalam rentang normal 2) AGD dalam batas normal : pH : 7,35 – 7,45

HCO3 : 22 – 26

PO2 : 80 – 100 mmHg

BE : -2 sampai +2

PCO2 : 30 – 40 mmHg Intervensi : 1) Berikan posisi fowler atau semifowler ( sesuai dengan keadaan klien) 2) Observasi irama, frekuensi serta kedalaman pernafasan. 3) Auskultasi bunyi paru 4) Monitor hasil pemeriksaan AGD 5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam : (a) Pemeriksaan AGD (b) Pemberian oksigen (c) Pemberian koreksi biknat ( jika terjadi asidosis metabolik)

4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas. Kriteria Hasil : Pola nafas pasien kembali teratur. a. Respirasi rate pasien kembali normal. b. Pasien mudah untuk bernafas. Intervensi: a. Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal. b. Berikan fisioterapi dada termasuk drainase postural.

c. Penghisapan untuk pembuangan lendir. d. Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas. e. Kolaborasi dalam pemberian therapi medis. 5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme, peningkatan beban kerja jantung Kriteria Hasil : mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh yang ditandai dengan tanda vital stabil, denyut nadi perifer normal, pengisian kapiler normal, status mental baik, tidak ada disritma. Intervensi: a. Ukur tanda-tanda vital tiap 15 menit sampai stabil Rasional: Untuk memantau dan dapat melakukan pencegahan secepatnya. b. Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan. Perhatikan besarnya tekanan nadi. Rasional : Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari vasodilatasi perifer yang berlebihan dan penurunan volume sirkulasi c. Pantau EKG untuk Frekuensi dan irama Rasional : Untuk memantau perubahan aktivitas listrik jantung d. Berikan O2 sesuai pesanan Rasional : Untuk mempertahankan saturasi arteri lebih adekuat

Daftar Pustaka Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III), EGC, Jakarta. FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta Hudak dan Gallo.Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II. Jakarta: EGC. Jevon,Philip.2009.Pemantauan Pasien Kritis Edisi 2. Jakarta: Erlangga. Joint British Diabetes Societies. 2012. The Management of The Hyperosmolar State (HHS) in Adults with Diabetes. Sergot PB. Hiperosmolar hyperglycemic state. Emrdicine. 2008 Smeltzer,Suzanne C.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC Stillwell, susan B. 2011.pedoman keperawatan kritis.jakarta:EGC. Terry,Cynthia Lee.2013.Keperawatan kritis DeMYSTiFied.Yogyakarta:Rapha Publising. Umplerrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetik ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar syndrome. 2002 ( sitasa 20 mei 2009 ) Venkatraman, R. & Singhi, S.C. 2008. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic Syndrome.Indian Journal of Pediatric, 2008(73):1 Zeiter, P., Haqq, A., Rosenbloom, A. & Glaser, N. 2011. Hyperglicemic Hyperosmolar Syndrome in Children: Pathophysiological consideration and Suggested Guidelines for Treatment. The Journal of Pediatric 2011(4):1

Related Documents

Gadar Rpl.ppsx
October 2019 33
Dok. Gadar
June 2020 27
Gadar Urgent.docx
November 2019 35
Gadar Fix.docx
May 2020 15
Gadar Syok.docx
October 2019 37
Buku Gadar
June 2020 18

More Documents from "Suparjo, Skep.Ns"