Gabung Cedera Kepala.docx

  • Uploaded by: Kartika Fatmawati
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gabung Cedera Kepala.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,301
  • Pages: 69
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Trauma kepala terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor, jatuh/ tertimpa benda berat (benda tumpul), serangan/ kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan) dan akibat tembakan. Trauma kepala akibat kecelakaan lalu-lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaam kendaraan bermotor. Setiap tahun lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lenih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2012). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami trauma 84.774 orang dan tidak trauma 942.984 orang. Prevalensi trauma secara nasional adalah 8,2%. Prevalensi trauma tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Persentase jenis kelamin laki-laki lebih tinggi mengalami cedera kepala di banding dengan perempuan (Awaloei dkk, 2016). Trauma kepala (head injury) dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan kondisi bahaya dan harus segera ditangani. Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan juga terjadi penurunan

kesadaran, hingga lebih lanjut, akibat trauma ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat (Wahyudi, 2015). Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang (Pearce, 2011). Klien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan sistematis (Barret, 2015). Cedera kepala sedang dan berat memerlukan pemeriksaan CT scan untuk membantu mengambil keputusan. Cedera kepala sedang dikelompokkan berdasarkan beratnya melalui pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) bernilai 9-12. Sedangkan cedera kepala berat memiliki nilai GCS kurang atau sama dengan 8. Kerusakan otak pada cedera kepala dapat disebabkan karena cedera kepala primer (akibat langsung) dan sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Pemeriksaan klinis pada klien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, neurologis dan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, sensorik, dan reflex.

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT-scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Pemeriksaan CT-scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera kepala yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15, atau adanya defisit neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher. Pemeriksaan CT-scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan adanya kelainan intrakranial terutama pada cedera kepala berat dengan Glasgow Coma Score 8 (normal 15). CT-scan sangat bermanfaat untuk memantau perkembangan klien mulai dari awal trauma, pasca trauma, akan operasi, serta perawatan pasca operasi sehingga perkembangan klien senantiasa dapat dipantau. Tujuan utama dari pemeriksaan pada kasus trauma kepala adalah untuk menentukan adanya cedera intrakranial yang membahayakan keselamatan jiwa klien bila tidak segera dilakukan tindakan secepatnya. Penyebab utama cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh. Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab cedera kepala terhadap klien anak-anak bila dibandingkan dengan klien dewasa (Hurst, 2014). Glasgow coma scale (GCS), merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran klien cedera kepala. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai klien cedera kepala (Barret, 2015). Klien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan kirakira 90% kematian pra rumah sakit karena menderita cedera kepala. Kurang lebih 70% cedera otak memerlukan penatalaksanaan medik dikategorikan sebagai cedera kepala ringan, 15% sebagai cedera kepala sedang, dan 15% cedera kepala berat (Corwin, 2009). Oleh karena itu pengelolaan trauma kepala yang

komprehensif harus dimulai dari tempat kejadian, selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat berupa perawatan dan pemantauan hemodinamik, tanda vital, pengaturan posisi, pengaturan konservatif dan terapi obat-obatan akan mempengaruhi outcome pasien, dimana pre-hospital care hingga hospital care merupakan faktor yang sangat penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas.Seluruh tenaga kesehatan khususnya perawat yang berada di Unit Gawat Darurat (UGD) sebagai gerbang utama rumah sakit diharapkan mampu memberikan perawatan atau penatalaksanaan segera serta intervensi lanjut kepada pasien kritis dengan trauma kepala. Tujuan utama pengelolaan pasien dengan trauma kepala ialah pemulihan dari trauma kepala primer dan mencegah atau meminimalkan kerusakan otak lebih lanjut dari trauma kepala sekunder dengan pemberian asuhan keperawatan cepat dan tepat (Wahyudi, 2015; Safrizal, 2013).

1.2 RUMUSAN MASALAH Bagaimana asuhan keperawatan kritis, advokasi dan pendidikan kesehatan klien dengan trauma kepala ?

1.3 TUJUAN 1.3.1. Tujuan Umum Menjelaskan tentang asuhan keperawatan, kritis, advokasi, dan pendidikan kesehatan pada klien dengan trauma kepala agar dapat mengetahui konsep perawatan. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep teori dan masalah trauma kepala. 2. Mahasiswa mampu meyusun asuhan keperawatan kritis dengan trauma kepala. 3. Mahasiswa mampu memahami advokasi pada klien dengan trauma kepala

4. Mahasiswa mampu memahami pendidikan kesehatan pada klien dengan trauma kepala. 1.4 MANFAAT 1.4.1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan

penulis

tentang asuhan keperawatan

secara

komprehensif khususnya keperawatan kritis terkait dengan trauma kepala 1.4.2. Manfaat Praktis Dapat digunakan secara langsung di lapangan dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif terkait trauma kepala

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Kepala 2.1.1

Anatomi dan Fisiologi Kepala 1. Kulit kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin (kulit), conective tissue (jaringan ikat), aponeurosis (galea aponeurotika), loose connective tissue (jaringan ikat spons), dan pericranium. Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus (Pearce, 2011). 2. Tengkorak Tulang tengkorak merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/ fosa, fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum (Pearce, 2011). a. Tengkorak atau kalvaria Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe. Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium, sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk memproduksi sumsum darah. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat

melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi (Pearce, 2011). b. Kranium Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langitlangit rongga orbita; os parietal yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang membentuk dasar anterior kranium (Moore & Agur, 2002). 1) Bagian Anterior Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Gambar 1) (Moore & Agur, 2002).

Gambar 1. Aspek anterior kranium (Moore & Agur, 2002) 2) Bagian Lateral

Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah (Gambar 2). Os kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horizontal, yakni corpus mandibulae dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae (Moore & Agur, 2002).

Gambar 2. Aspek lateral kranium (Moore & Agur, 2002) 3) Bagian Posterior Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas (Moore & Agur, 2002).

4) Bagian Superior Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os parietale; sutura sagitalis memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea dan sutura sagitalis (Moore & Agur, 2002).

G a m b a r

3(a) aspek posterior kranium (b) superior cranium (Moore & Agur, 2002) 5) Bagian inferior dan bagian dalam dasar tengkorak

Aspek

inferior

tengkorak

setelah

mandibula

diangkat

memperlihatkan processus palatinus maxilla dan os palatinum, os sphenoidale, vomer, os temporale dan os occipitale. Permukaan dalam dasar tengkorak memperlihatkan tiga cekungan yakni fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior yang membentuk dasar cavitas cranii. Fossa cranii anterior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, os ethmoidale di tengah dan corpus ossis sphenoidalis serta ala minor ossis sphneoidalis di sebelah posterior. Fossa cranii media dibentuk oleh kedua ala major ossis sphneoidalis, squama temporalis di sebelah lateral dan bagian-bagian pars petrosa kedua os temporale di sebelah posterior. Fossa cranii posterior dibentuk oleh os occipitale, os sphenoidale dan os temporale (Moore & Agur, 2002). 3. Meningen Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen yang melindungi struktur saraf halus, membawa pembuluh darah dan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:

a. Dura mater Dura mater terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan

perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar,

yang

menyebabkan

gejala-gejala

neurologis

biasanya

dikeluarkan melalui pembedahan. Arteri-arteri meningeal terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan penyumbatan sumber perdarahan. b. Selaput arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. c. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

4. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Gambar 4. Lobus-lobus otak

a. Cerebrum Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu: 1) Lobus frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca

yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Nair, 2015) 2) Lobus temporalis Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis (Pearce, 2011). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.

3) Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (Pearce, 2011) 4) Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain dan memori (Pearce, 2011) 5) Lobus limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori

emosi

dan

bersama

hipothalamus

menimbulkan

perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom (Pearce, 2011).

Gambar 5. Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan samping Otak besar merupakan pusat dari : 1) Motorik: impuls yang diterima diteruskan oleh sel-sel saraf kemudian menuju ke pusat kontraksi otot yang kemudian menghasilkan gerakan 2) Sensorik: setiap impuls sensorik dihantarkan melalui akson sel-sel saraf yang selanjutnya akan mencapai otak antara lain ke korteks serebri 3) Refleks: serangkaian gerak umumnya sebagai respon akan adanya keadaan yang berbahaya dan mengancam bagi tubuh, berbagai kegiatan refleks berpusat di otak dan batang otak sebagian lain di bagian medulla spinalis 4) Kesadaran: bagian batang otak yang disebut formasio retikularis bersama bagian lain dari korteks serebri menjadi pusat kesadaran utama 5) Fungsi luhur: pusat berpikir, berbicara berhitung dan lain-lain. b. Otak kecil (cerebellum)

Gambar 6. Otak kecil Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Bagianbagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis (Suarnianti, 2016). Pada daerah serebelum terdapat sirkulus wilisi, pada dasar otak di sekitar kelenjar hipofisis, sebuah lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri carotid interna dan vertebral, lingkaran inilah yang disebut sirkulus wilisi yang dibentuk dari cabang-cabang arteri carotid interna, anterior dan arteri serebral bagian tengah dan arteri penghubung anterior dan posterior. Arteri pada sirkulus wilisi memberi alternatif pada aliran darah jika salah satu aliran darah arteri mayor tersumbat (Corwin, 2009).

c. Batang otak/ brainstem Batang otak adalah pangkal otak yang menyampaikan pesanpesan antara medula spinalis dan otak. Batang otak berhubungan dengan di ensefalon di atasnya dan medula spinalis dibawahnya (Hurst, 2014). Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan medulla oblongata.

Gambar 7. Brainstem 1) Pons Pons merupakan penghubung antar otak tengah dengan medula oblongata. Struktur pons terdiri dari bagian ventral (basis) dan dorsal (tegementum) (Alwi, 2007) 2) Sumsum belakang (medula oblongata) Fungsi utama dari medula oblongata adalah untuk mengontrol fungsi otonom di seluruh tubuh seperti detak jantung, pernapasan dan pencernaan selain itu medula oblongata juga bertanggung

jawab untuk mengendalikan gairah tidur, dan mengontrol gerakan. d. Sumsum tulang belakang (medula spinalis) Medula spinalis merupakan korda jaringan saraf yang terletak dalam kolumna vertebra dan memanjang dari medula batang otak sampai ke area vertebra lumbal pertama. Fungsi utama medula spinalis adalah mengendalikan refleks dalam menstransmisi impuls ke dari otak melalui traktus asenden dan desenden (Corwin, 2009). Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak refleks, denyut jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah dan berisi pusat pengontrolan yang penting (Pearce, 2011). e. Cairan Serebrospinal (CSS) Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari 2.1.2

Peredaran darah otak Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-

pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. 1. Peredaran darah arteri Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior.

2. Peredaran darah vena Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Waugh, 2014).

2.2 Konsep Dasar Trauma Kepala 2.2.1

Definisi Trauma Kepala Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Hurst, 2014). Menurut Brain Injury

Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Pearce, 2011). Jadi kesimpulan yang dapat diambil definisi trauma kepala adalah trauma pada kepala (tengkorak atau otak) yang terjadi baik langsung maupun tidak langsung hingga menimbulkan kelainan struckural fungsional hingga kematian 2.2.2

Etiologi Trauma Kepala Menurut Langlois et al (2006) dalam Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan 11% akibat kekerasan serta akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala. Trauma kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 2006). Lebih lanjut dijelaskan, trauma kontak bentur terjadi bila kepala membentur, yang dapat menyebabkan trauma benturan lokal (fraktur linier dan depresi tulang tengkorak, hematoma epidural, kontusi kup, dan fraktur basis kranii) dan trauma benturan di tempat lain. Kemudian goncangan (trauma akselerasi) disebabkan oleh benturan atau bukan yang menyebabkan gerakan cepat dari kepala atau translasi atau akselerasi deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.

Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009). Hal ini yang mengakibatkan trauma permukaan (hematoma subdural, kontusi kontra kup, dan kontusi ‘intermediatte’) dan trauma dalam (sindroma konkuso, trauma aksonal difusa, robekan jaringan dan perdarahan). 2.2.3

Karakteristik Penderita Trauma Kepala 1. Jenis kelamin Laki-laki dua kali lebih banyak mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Corwin, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, laki-laki cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan (Pearce, 2011). 2. Umur Risiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang tidak bertanggungjawab. Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (Pearce, 2011).

2.2.4

Klasifikasi Trauma/ Cidera Kepala Menurut Soertidewi (2012), klasifikasi trauma kepala berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau tertutup. Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal

juga sebagai hematoma epidural (EDH), hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan subaraknoid (SAH). Kemudian lebih lanjut, terdapat klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran (Skala Koma Glasgow/ GCS), dimana nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Klasifikasi ini banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan medis maupun paramedis (standar jelas). Kategori dan prognosis pasien trauma kranioserebral dapat diperkirakan dengan melihat nilai SKG yang meskipun diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama. Pemeriksaan berdasarkan tingkat keparahan didasarkan atas penilaian skala GCS, kemudian dikategorikan menjadi 3, yaitu: 1.

Trauma kepala a. Cidera kepala ringan Bila GCS 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral, hematoma b. Cidera kepala sedang Bila GCS 9-12 dapat terjadi kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak c. Cidera kepala berat Bila GCS 3-8 dapat terjadi kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.

2.

Cidera kepala terbuka a. Laserasi (luka robek atau koyak)

Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

b. Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak. c. Avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan (Alwi, 2007). 3.

Cidera serebral (trauma kepala tertutup) a. Komosio serebra adalah suatu kerusakan sementara fungsi neurologi yang disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya tidak merusak struktur tetapi menyebabkan hilangnya ingatan sebelum dan sesudah cidera, lesu, mual dan muntah. Biasanya dapat kembali pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan timbul sindroma berupa sakit kepala, pusing, ketidak mampuan untuk konsentrasi beberapa minggu setelah kejadian. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran (Pearce, 2011).

b. Commotio cerebri adalah gegar otak, yang ditandai dengan pingsan, muntah-muntah, kelumpuhan, kelainan denyut jantung, nadi, dan penafasan. Mekanisme penyebab commotio cerebri yakni “kontak bentur” atau “guncangan lanjut”. Cidera “kontak bentur” terjadi bila kepala membentur atau menabrak suatu obyek atau sebaliknya, sedangkan cidera “guncangan lanjut” dikenal sebagai cidera akselerasi, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun benturan benda keras lainnya (Yuliani, 2010). c. Hematoma epidural adalah perdarahan menuju ke ruang antar tengkorak dan durameter. Gambaran klinik klasik yang terlihat: hilangnya tingkat kesadaran dengan cepat menurun sampai dengan koma jika tidak akan menyebabkan kematian. d. Hematoma sudural adalah perdarahan arteri atau vena durameter dan araknoid. Hematoma subdural dapat timbul dalam waktu 48 jam, dengan gejala akut kepala mengetuk, bingung dan dilatasi fiksasi pupil ipsilateral. e. Hematoma intracerebral adalah perdarahan menuju jaringan serebral biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering didapat pada lobus frontal

dan

temporal.

Gejala-gejala

meliputi:

sakit

kepala,

menurunnya kesadaran, pupil ipsilateral. f. Hematoma subarachnoid adalah hematoma yang terjadi akibat trauma, meskipun pembentukan hematoma jarang. Tanda gejala meliputi: kaku duduk, sakit kepala, menurunnya tingkat kesadaran, hemiparesis dan ipsilateral dilatasi pupil.

2.2.5

Perdarahan Intrakranial 1. Perdarahan epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang terjadi diantara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan epidural atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan epidural disebabkan fraktur di daerah temporal yang memutuskan arteri meningea media didalam suatu alur di tulang temporal. Darah dengan segera akan terkumpul di rongga di antara dura mater dan tulang tengkorak. Darah akan menekan jaringan otak ke arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap N III sehingga pupil yang sepihak dengan epidural hematoma akan melebar (midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata tidak akan menggerakkan musculus ciliaris (rangsang cahaya negatif). Seseorang yang mengalami epidural hematoma harus segera dioperasi (craniotomy). Pada waktu baru terjadi trauma kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar, bahkan masih mampu menolong diri sendiri, setelah beberapa jam kemudian (biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai menurun, kedua pupil akhirnya berdilatasi penuh dan rangsang cahaya pada kedua mata menjadi negatif dan penderita meninggal. Tenggang waktu antara kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran disebut “lucid interval”. Kedua pupil yang berdilatasi penuh dengan rangsang cahaya yang negatif menujukkan keadaan yang disebut “herniasi tentorial”. Herniasi tentorial terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial dimana batang otak terdesak kearah caudal dan akhirnya terperangkap oleh tentorium. 2. Perdarahan subdural Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu: a. Perdarahan subdural akut

Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak. b. Perdarahan subdural subakut Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. c. Perdarahan subdural kronis Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik. Perdarahan ini dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun mekanisme aselerasi – deselerasi kepala sehingga memutuskan bridging veins (vena yang menghubungkan permukaan jaringan otak dan duramater) atau pecahnya pembuluh-pembuluh kortikal jaringan otak (baik arteri maupun vena yang berada pada permukaan otak). Bila terjadi akut, segera setelah trauma kapitis, hal ini menunjukkan suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus perdarahan subdural akut (acute SD) memerlukan tindakan operasi segera. Operasi dilakukan untuk membuang darah sehingga diharapkan penderita segera pulih kembali. 3. Perdarahan subaraknoid Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Pearce, 2011).

4. Perdarahan intraventricular Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral. 5. Perdarahan intraserebral Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah di dalam jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan kesadaran. Tergantung dimana letak perdarahan, operasi dapat menolong penderita tetapi disertai dengan cacat yang menetap. Perdarahan juga dapat terjadi di dalan sistem ventrikel, disebut perdarahan ntraventrikular (intraventricular hemorrhage). Darah akan menyumbat sistem ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan menyebabkan sistem ventrikel melebar dan mengandung banyak cairan, sehingga terjadi hidrocephalus. Bila perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak akan terganggu (Alwi, 2007). 2.2.6

Patofisiologi Mekanisme trauma memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Bila kepala bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam keadaan tidak bergerak, tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mulamula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak

serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak. Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan luka/ robekan/ laserasi pada bagian bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena-vena kecil yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging veins). Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda, misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan) secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya, jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya karena “menabrak“ tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung seperti yang terjadi bila posisi badan berubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan perubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Lesi “countercoup” ialah lesi pada jaringan otak yang terjadi “di seberang” tempat terjadinya pukulan/ benturan yang diterima kepala. Misalnya kepala dipukul di daerah oksipital, terjadi perdarahan jaringan otak di frontal.Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010). 1.

Mekanisme cedera otak primer setelah trauma

Cedera primer bisa berhubungan dengan koma yang berkepanjangan dan mempengaruhi respon motorik sebagai degenerasi subcortical matter yang tersebar, yang biasanya disebut sebagai diffused axonal injury (DAI). Secara klinis DAI diperkirakan terjadi karena trauma luas berupa mild concussion dimana tidak ada lesi structural yang bisa ditunjukkan dan bisa terjadi penyembuhan total secara klinis, koma yang berkepanjangan, bahkan kematian (Andrews et al, 2002). Kerusakan pada cedera kepala dapat berupa fokal lesi maupun diffuse, terletak pada area spesifik atau tersebar. Diffuse injury sedikit terlihat pada gambaran neuroimaging namun akan tampak jelas pada pemeriksaan histopatologis post mortem secara mikroskopis. Dimana tipe dari diffuse injury dapat berupa concusion atau diffuse axonal injury. Lesi fokal biasa berhubungan dengan fungsi dari kerusakan area yang terjadi, manifestasi berupa gejala hemiparesis atau aphasia. Gambaran fokal lesi yang dapat terlihat pada CT Scan berupa Laserasi Cerebri, Contusio Cerebri (bila darah bercampur dengan jaringan otak), Intrakranial hemoragik (bila darah tidak bercampur dengan jaringan otak). Lesi intra axial berupa Intracerebral hemoragik, dimana perdarahan terjadi pada jaringan otak itu sendiri. Sedangkan yang termasuk lesi extra-axial berupa Epidural Hematome (perdarahan antara skull dan duramater), Subdural Hematome (perdarahan antara duramater dengan arachnoid mater), Subarachnoid Hemoragik (perdarahan antara arachnoid membrane dengan piamater) dan Intraventrikuler Hemoragik (perdarahan didalam ventrikel) (Franco et al, 2000; Andrews et al, 2002). 2. Mekanisme cedera otak sekunder setelah trauma Cedera sekunder meliputi kerusakan blood-brain barier, pelepasan faktor inflamasi, kelebihan radikal bebas, pelepasan neurotransmitter glutamate, influks ion calsium dan sodium kedalam neuron, dimana menyebabkan disfungsi dari mitokondria(Jess et al, 2000). Cedera otak

bisa berawal dari perkembangan hematom pada intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan iskemia, dan semua hal di atas bisa diperburuk oleh kondisi hipoksia yang sistemik, hipotensi, atau pyrexia. Faktor lainnya pada cedera otak sekunder yaitu terjadi perubahan pada aliran darah ke otak, iskemia(karena insufisiensi blood flow), hipoksia serebri (Insufisiensi oksigen dalam otak), edema serebri (swelling dari otak), dan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial mungkin hasil dari swelling atau pendesakan masssa dari lesi, seperti hemoragik. Sebagai akibatnya terjadi penurunan tekanan perfusi serebral dimana dapat menimbulkan terjadinya iskhemik biasanya berlangsung dalam 24 jam paska trauma (Moppett, 2007)

2.2.7

Manifestasi Klinis Reissner (2009), Masjoer (2007), dan Soertidewi (2012), dijelaskan gejala klinis umum pada pasien dengan trauma kepala adalah seperti berikut: a. Airway : resiko lidah jatuh terbelakang dan sumbatan akibat muntahan proyektil. b. Breathing

: pola pernapasan Cheyne Stokes, kadang hiperventilasi

neurogenik sentral atau ataksik atau sebagian besar hipoventilasi. c. Circulation

: hipertensi, hipovolemia (akibat perdarahan luar/ ruptur

organ dalam trauma dada, tamponade jantung, pneumothoraks dan syok septik), sianosis. d. Disability

: penurunan kesadaran (dari sadar, gelisah, menjadi tidak

sadarkan diri), pupil anisokor (tanda herniasi otak), muntah (tanda peningkatan tekanan pada pusat reflex muntah di medulla), suhu tubuh kadang meningkat (hipertermi).

e. Gejala peningkatan tekanan intra cranial, seperti : nyeri kepala hebat, muntah proyektil, pupil edema, pupil anisokor (dengan midriasis disisi lesi akibat herniasi pada EDH), dan perubahan tipe kesadaran. Gejala Trias Cushing : denyut jantung/nadi menurun (bradikardi), tekanan darah meningkat/hipertensi, respiration rate menurun hingga apnea. g. Gejala fraktur basis kranii : Battle sign (hematoma retroaurikular); periorbital ecchymosis dan racoon eyes/ brill hematoma/ hematoma bilateral periorbital (hematoma kacamata); Rhinorrhoe dan otorrhoe (cairan likour yang keluar dari hidung dan telinga).

2.2.8

WOC

Gambar 7. Patofisiologi trauma kepala

2.2.9

Komplikasi 1. Kejang pasca trauma Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami klien merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensi sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera) disebut early seizure terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma) disebut late seizure. Faktor risiko adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10. Diberi profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari. 2. Demam dan menggigil Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid. 3. Infeksi Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii, walaupun antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis. 4. Hidrosefalus Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dannon komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi 5. Spastisita Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa

penanganan ditujukan pada: pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan benzodiazepin 6. Agitasi Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 klien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi

sentral.

menggunakan

Penanganan

antikonvulsan,

farmakologi

antihipertensi,

antara

lain

antipsikotik,

dengan buspiron,

stimulant, benzodiazepin dan terapi modifikasi lingkungan 7. Mood, tingkah laku dan kognitif Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford, menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk masalah daya ingat pada 74%, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada klien dengan gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal. Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor risiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbiditas dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan 8. Sindroma post kontusio

Sindroma post kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: somatik: nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/ dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil. 9. Gastrointestinal Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari. 2.2.10 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk memonitor TIK klien. Terapi medika mentosa digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil CT-scan klien.

Penurunan

aktivitas

otak

juga

dibutuhkan

dalam

prinsip

penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma. Klien yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.

1.

Terapi farmakologi Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi. Bila ditemukan

peningkatan TIK yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskular adekuat, klien dapat diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolisme serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez, menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan TIK, mempertahankan volume intravaskular. Akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari. Tujuan utama penanganan klien dengan peningkatan TIK adalah: a. Menurunkan TIK b. Memperbaiki tekanan perfusi serebral c. Menurunkan perubahan dan distorsi otak serta pengaruh sistemik lainnya (Rosyidi, 2013). Beberapa hal yang berperan besar dalam menjaga agar TIK tidak meningkat adalah: a. Mengatur posisi kepala lebih tinggi sekitar 30’-45’, dengan tujuan memperbaiki aliran balik jantung b. Menggusahakan tekanan darah yang optimal, tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya akan menyebabkan edema dan peningkatan TIK c. Mencegah dan mengatasi kejang d. Menghilangkan rasa cemas, agitasi dan nyeri e. Menjaga suhu tubuh normal 36-37,5’c

Kejang,

gelisah,

nyeri

dan

demam

akan

menyebabkan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat metabolisme. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, di lain pihak suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian TIK. f. Hindari kondisi hiperglikemia g. Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron h. Pasang kateter vena sentral untuk memasukkan terapi hiperosmolar atau vasoaktif jika diperlukan. MAP <65 mmHg harus segera dikoreksi i. Atasi hipoksia Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema otak dan peningkatan TIK j. Pertahankan kondisi normokarbia (PaCO2 35 - 40 mmHg) k. Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan yang berlebihan. 2. Pemantauan peningkatan TIK Memonitor TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi ke fase dekompensasi. Secara objektif, pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar terhindar dari cedera otak selanjutnya,

dimana dapat bersifat irreversibel dan letal. Dengan pemantauan TIK kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak. 3.

Terapi nutrisi Dua minggu pertama klien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. Diberikan kebutuhan metabolisme istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi

4.

Terapi prevensi kejang Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neurotransmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi pada terapi prevensi kejang adalah kondisi klien yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi

5.

Penanganan cedera kepala ringan Klien dengan CT-scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila: mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/ keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/ gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan ganda/ gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/ terlalu pelan, pola nafas yang abnormal

6.

Penanganan cedera kepala sedang

Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Post Trauma Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skor 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan, dan skor 7 tidak ada amnesia. Bachelor (2003), membagi cedera kepala sedang menjadi : a. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness b. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma c. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali. Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi kognitif, dan psikoedukasi 7. Penanganan cedera kepala berat Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU. 2.2.11 Pemeriksaan Diagnostik Menurut Brunner & Suddart (2003) dan Soertidewi (2012), pemeriksaan diagnostik terbagi menjadi pemeriksaan radiologi dan labolatorium dari cedera kepala antara lain: 1. Pemeriksaan Radiologi a. CT-scan : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan: untuk mengetahui

adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injury untuk mengetahui adanya massa/ sel perdarahan, hematoma, letak dan luasnya kerusakan/ perdarahan. b. MRI (Magnetic Resonance Imaging) : digunakan sama seperti CTScan dengan atau tanpa kontras radioaktif. c. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. d. Cerebral Angiography : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan otak menjadi edema, perdarahan dan trauma. e. EEG

(Electroencephalogram)

:

dapat

melihat

perkembangan

gelombang yang patologis. f. PET (Positron Emission Tomography Scanning) : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak. g. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /edema) atau fragmen tulang. h. BAER (Brainstem Auditory Evoced Response) : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil. i. EEG untuk melihat adanya aktivitas gelombang listrik diotak yang patologis 2. Pemeriksaan Laboratorium a. Hb, leukosit, diferensiasi sel : Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah komosio. b. Gula darah sewaktu (GDS) c. Ureum dan kreatinin : pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.

d. ABGs (Arthery Blood Gas Analysis) : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intra kranial (TIK). Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. Kadar pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 35-40 mmHg. Kadar pCO2 dipertahankan normal, bila <28 terjadi vasokontriksi pembuluh darah dan jika terlalu tinggi terjadi vasodilatasi yang bisa menyebabkan volume darah meningkat diikuti dengan peningkatan tekanan intra cranial. e. Kadar Elektrolit (Na, K, dan Cl): untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan TIK. Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran. f. Screen Toxikologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga menyebabkan penurunan kesadaran g. Albumin serum (hari 1) : Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali. h. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen : pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.

2.2.12 Penatalaksanaan Medis 1. Penanganan Awal Pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil medriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan a. Airway

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan. Pemosisian awal pada bagian leher dan tulang belakang pasien (cervikae spine control), kepala tidak boleh hiperekstensi, hiperflexi, atau rotasi. Waspadai pada pasien dengan fraktur basis cranii yang kontraindikasi pada posisi head tilt chin lift, pertimbangkan posisi jaw thrust dan pemasangan collar neck atau collar brace. Atur posisi, posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah penekanan/ bendungan pada vena jugularis. Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut b. Breathing Penilaian awal gerakan napas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda pneumothoraks, hematothorax, flail chest dan fraktur costae. Ventilator control dilakukan dengan : Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten, kemudian cari dan atasi faktor penyebab. Pertimbangkan pemakaian ventilator. c. Circulation 1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis pada kuku, bibir) 2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya 3) Monitoring tanda-tanda vital 4) Pemberian cairan dan elektrolit 5) Monitoring intake dan output d. Disability

Penilaian awal tingkat kesadaran melalui GCS dan penilaian terhadap pupil terkait ukuran (size), kesamaan anatara kiri dan kanan (equal) dan reflek pupil. e. Exposure Penilaian dan pemeriksaan terkait cedera lain yang mungkin pada bagian tubuh lainnya seperti lesi, fraktur dan perdarahan Sedangkan Tim Neurotrauma dalam Guideline in Management of Traumatic Brain Injury (2014), menjabarkan acuan tatalaksaan umum (general measure) dan algoritma tatalaksana pada pasien trauma kepala sebagai berikut : 1) Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak a) Penanganan cedera otak primer b) Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder c) Optimalisasi metabolisme otak d) Rehabilitasi 2) Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat a) General precaution : informed to consent dan informed consent b) serta perlindungan diri (cuci tangan dna pemakaian APD) c) Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation). d) Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ). e) Pemeriksaan neurologis f) Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan. g) Menentukan diagnosis pasti. h) Menentukan tatalaksana. 2. Penanganan Lanjutan a. Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI) Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI : 1) GCS < 8

2) GCS < 13 dg tanda TIK tinggi 3) GCS < 15 dengan lateralisasi 4) GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil. 5) Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi. 6) Pasien pasca operasi e. Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) 1) Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi 2) Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat. 3) Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari ICU/ROI IRD Tatalaksana hospital di perawatan intensif dalam Chirtanto, dkk; Soertidewi (2012) dan Brunner & Suddarth (2002). a.

Penilaian ulang jalan nafas (Airways) dan ventilasi (Breathing) : Klien dengan intubasi, observasi jalan napas dan pernapasan secara ketat. Ventilasi control : oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermiten; dan monitoring ketat ventilator, umumnya dengan moda kontrol volume.

b.

Monitor hemodinamik (Circulation) : Observasi fungsi hemodinamik (cegah hipotensi atau hipertensi), pertimbangkan monitoring ICP, selain itu observasi dan waspadai adanya perdarahan organ dalam, resusitasi cairan rumatan yang bersifat isoosmoler (ringerfundin).

c.

Disability : Observasi tingkat kesadaran dan reaksi pupil. Waspadai peningkatan suhu tubuh dengan pertimbangkan pemakaian matras pendingin atau dilakukan kompres hangat dan pemberian antipiretik sesuai dosis dan berat badan. 1) Pengukuran Epidural (EDP) : Penanaman sensor tekanan atau penempatan transducer langsung di atas permukaan dura.

2) Pemantauan tekanan subdural 3) Pemantauan tekanan ventrikuler d.

Manajemen peningkatan TIK Posisi tidur dengan bagian kepala ditinggikan (head up) 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu bidang. Terapi diuretic dengan diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm. Loop diuretic (furosemid) : Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari intravena.

e.

Bladder

: pemasangan kateter, observasi produksi urine secara

kontinu dan ketat. f.

Bowel : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik harus diberikan sesegera mungkin, semisal dengan entrasol 100 tiap 4 jam.

g.

Medikasi 1) Phenytoin sebagai anti kejang diberikan intravena. 2) Propofol dan atracurium kontinyu serta dexketoprofen intravena diberikan sebagai sedatif, analgesik serta 3) memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik pada pasien ini. 4) Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB diberikan sebagai usaha mengendalikan TIK.

h.

Radiologi dan labolatorium CT Scan lanjutan : CT-scan lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk

menilai perdarahan yang progresif. Labolatorium

: pemeriksaan

blood gas analysis, gula darah sewaktu, dan darah lengkap.

3. Prioritas keperawatan Implikasi keperawatan yang dapat dilakukan terkait perubahan posisi untuk klien dengan cedera kepala terkait kontraindikasi dan yang perlu untuk diperhatikan adalah: a. Hindari posisi tengkurap dan trendelenburg. Kontrovesi juga pada posisi klien datar. Posisi datar mampu menaikkan CPP dan MAP tetapi meningkatkan tekanan intracranial b. Elevasi bed bagian kepala digunakan untuk menurunkan ICP. Beberapa alasan bahwa elevasi kepala akan menurunkan ICP, tetapi berpengaruh juga terhadap penurunan CPP. Alasan lain bahwa posisi horizontal akan meningkatkan CPP. Maka posisi yang disarankan adalah elevasi kepala antara 15-30º, yang mana penurunan ICP tanpa menurunkan CPP. Aliran darah otak tergantung CPP, dimana CPP adalah perbedaan antara Mean Arterial Pressure (MAP) dan ICP. CPP = MAP – ICP. MAP = (2 diastolik + sistolik)/ 3. Nilai normal CPP= 70 – 100 mmHg untuk orang dewasa, dan > 60 mmHg pada anak diatas 1 tahun, > 50 mmHg untuk infant 0-12 bulan c. Kepala klien harus dalam posisi netral tanpa rotasi ke kiri atau kanan, fleksi atau ekstensi dari leher supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar d. Elevasi bed bagian kepala tidak boleh ≥ 40º karena berkontribusi terhadap postural hipotensi dan penurunan perfusi otak e. Elevasi kepala merupakan kontra indikasi pada klien hipotensi sebab akan mempengaruhi CPP (Bahrudin, 2008).

BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN Berdasarkan Soertidewi (2012) dan Tim Neurotrauma (2014) pengkajian pada pasien dengan cedera kepala, antara lain : 1. Primary Survey a. Airway dan Cervical Control Pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, sumbahan akibat muntahan proyektil. Atau sumbatan yang dsebabkan oleh benda asin, fraktur mandibula atau maksila, fraktur tulang wajah, fraktur larink atau trachea. Dapat dilakukan “head tilt”. “chin lift”, atau “jaw thrust” selama tidak ada kontraindikasi. Selama melakukan pemeriksaan dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan C-spain control dengan tidak melakukan ekstensi, flleksi, atau rotasi leher. Untuk meminimalisir pergerakan pada leher, maka dapat dilakukan jaw thrust dibanding head tilt atau chin lift. b. Breathing dan Ventilation Inspeksi frekuensi nafas, gerakan otot bantu nafas, suara nafas tambahan dan palpasi adanya fraktur atau trauma pada dada. Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi baik pula. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. c. Circulation dan Hemorrahage Control 1) Volume darah dan curah jantung. Kaji perdarahan aktif klien. Jika terjadi hipotensi dicurigai terjadi

hipovolemia.

Tiga

observasi

cepat

untuk

menilai

hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. Inspeksi adanya sianosis, bradikardia, akral dingin, pucat, dan basah, perunuran poduksi urin, CRT >2 detik, hipovolemia dan hipertensi. 2) Kontrol perdarahan Lakukan bebat atau penutupan dan elevasi pada lokasi perdarahan. Perlu diwaspadai terjadi shock jika lokasi perdarahan terletak di pembuluh darah yang besar. d. Disability Kaji tingkat kesadaran dan kondisi umum, ukuran dan reaksi pupil. Pada pasien dengan trauma kepala akan ditemukan pupil unisokor, muntah proyektil, dan hipertemia. e. Exposure dan Environment Control Dilakukan pemeriksaan fisik head to toe untuk memeriksa adanya lesi, perdarahan, atau fraktur. 2. Secondary Survey a. Identitas pasien : Nama, umur, sex, suku, agama, pekerjaan, alamat b. Keluhan utama : nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo c. Mekanisme trauma d. Waktu dan perjalanan trauma e. Status kesadaran saat kejaian : pernah pingsan atau sadar setelah trauma f. Amnesia retrograde atau anterograde g. Riwayat mabuk, narkotika, pasca operasi trepanasi. h. Riwayat penyakit dahulu : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi, dan DM, serta gangguan faal pembekuan darah. i. Pertolongan yang diberikan setelah kejadian trauma. j. Aktivitas/ istirahat Gejala

: merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda

: perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,

ataksia, cara berjalan tidak tegang k. Sirkulasi Gejala

: perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi

l. Integritas ego Gejala

: perubahan tingkah laku dan kepribadian

Tanda

: cemas, mudah tersinggung, agitasi, bingung, depresi dan

impulsif m. Makanan/ cairan Gejala

: mual, muntah dan mengalami perubahan selera

Tanda

: muntah, gangguan menelan

n. Eliminasi Gejala

: inkontinensia, kandung kemih/ usus mengalami gangguan

fungsi

o. Neurosensori Gejala

: kehilangan

kesadaran

sementara,

amnesia,

vertigo,

sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman Tanda

: perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status

mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris p. Nyeri/ kenyamanan Gejala

: sakit kepala

Tanda

: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri

yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih q. Pernafasan Tanda

: perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh

hiperventilasi nafas berbunyi) r. Keamanan Gejala

: trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda

: fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang

gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh s. Interaksi sosial Tanda

: apasia motorik/ sensorik, bicara tanpa arti dan berulang,

disartria 3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi : a. Pemeriksaan kepala 1) Jejas di kepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. 2) Tanda patah dasar tengkorak meliputi : ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius. 3) Tanda patah tulang wajah meliputi :fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula

4) Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. 5) Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis b. Pemeriksaa leher dan tulang belakang Kaji adanya tanda cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Waspadai adanya racoon eyes, batel signs, bloody othore dan rinorea. c. Kardiovaskuler : pengaruh peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial). d. Sistem syaraf : kesadaran klien (GCS) 1) Fungsi saraf kranial: trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. N.I

: penurunan daya penciuman

N.II

:

pada

trauma

frontalis

terjadi

penurunan penglihatan N.III, IV, VI

: penurunan lapang pandang, refleks cahaya

menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, unisokor N.V

: gangguan mengunyah

N.VII, XII

: lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya

rasa pada 2/3 anterior lidah N. VIII

: penurunan pendengaran dan keseimbangan

tubuh N.IX, X , XI

: jarang ditemukan

a) GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)

b) GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS) c) GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB) 2) Fungsi sensori-motor: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipertesia, hiperalgesia, riwayat kejang. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik, hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM (Range Of Motion), Respon

Skala

Kekuatan normal

5

Kelemahan sedang

4

Kelemahan berat (antigravity)

3

Kelemahan berat (not antigravity)

2

Gerakan trace

1

Tak ada gerakan

0

kekuatan otot.

e. Sistem pencernaan Sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, dan refleks batuk, mudah tersedak. f. Waspadai fungsi ADH, aldosteron: retensi natrium dan cairan g. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia h. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis i. Psikososial : ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga. j. Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

1) Breathing : Penilaian ulang jalan nafas (Airways) dan ventilasi (Breathing) melalui inspeksi klien dengan intubasi, observasi adanya 2) suara napas stupor dan secret atau darah yang menyumbat jalan napas. 3) Palpasi gerakan dada, suara napas, dan frekuensi pernapasan secara 4) ketat. Auskultasi seuruh lapang paru. 5) Blood : Inspeksi adanya sianosis perifer dan sentral serta pucat, frekuensi nadi dan jantung (adanya bradikardi), tekanan darah (adanya 6) hipotensi atau hipertensi), monitoring ICP, selain itu observasi dan 7) waspadai adanya perdarahan organ dalam, serta CRT. 8) Brain : Inspeksi tingkat kesadaran, reaksi pupil dan suhu tubuh. 9) Bladder

: pemasangan kateter, observasi produksi urine

secara kontinu dan ketat, waspadai kelebihan cariran. 10) Bowel

:

cedera

kepala

berat

menimbulkan

respons

hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. 11) Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik harus diberikan 12) sesegera mungkin, semisal dengan entrasol 100 tiap 4 jam. 13) Bone : inspeksi adanya fraktur, lesi dan perdarahan. 3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Domain 4, Kelas 4, Kode Diagnosis 00201 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera otak, neoplasma otak, aneurisma serebral.

2. Domain 4, Kelas 4, Kode Diagnosis 00032 Ketidakefektifan pola nafas (00032) b.d Cedera medula spinalis 3. Domain 12, Kelas 1, Kode diagnosis 00132 Nyeri akut b.d agen cedera fisik misal trauma 4. Domain 11, Kelas 2, Kode Diagnosis 00047 Kerusakan integritas jaringan kulit 5. Domain 11, Kelas 1, kode diagnosis 00004 Resiko Infeksi 3.3 PERENCANAAN No

Diagnosa

NOC

NIC

Keperawatan 1.

Risiko

ketidak- Setelah

efektifan perfusi asuhan jaringan (00201)

dilakukan

tindakan Monitor tekanan intra kranial

keperawatan,

otak menunjukan status

klien



sirkulasi

Kaji, observasi, evaluasi tandatanda

penurunan

b.d dan perfussion cerebral tissue

serebral:

gangguan

tumor otak misal membaik dengan kriteria hasil:

pingsan,

reaksi

perfusi mental, pupil,

penyakit



TIK normal (040602)

penglihatan kabur, nyeri kepala,

neurologis,



BP dalam keadaan normal

gerakan bola mata

trauma

(120/80 mmHg) (040617) 

Nilai

sistolik



Identifikasi tindakan

(100-120

risiko: valsava

hindari manuver

mmHg) dan diastolik (80-

(suction lama, mengedan, batuk

100

terus-menerus)

mmHg)

(040613)

normal 

Lakukan tindakan bedrest total



Posisikan kepala klien lebih tinggi dari badan (30-40 derajat)



Minimalkan stimulasi dari luar



Monitor vital sign serta tingkat

kesadaran 

Monitor tanda-tanda TIK



Kolaborasi obatan

pemberian

untuk

volume

obat-

meningkatkan

intravaskuler

sesuai

perintah dokter 2.

Ketidak efektifan Setelah pola

dilakukan

asuhan

nafas keperawatan,

(00032)

klien

Monitor pernapasan (3350) 

b.d menunjukkan pola nafas yang

gangguan

efektif dengan kriteria hasil:

neurologis misal



trauma kepala

Frekuensi pernafasan 16-

Irama

nafas



Monitor suara nafas tambahan



Monitor

pola

nafas

bradipneu,

Suara

pernafasan vesikuler

misal

takipneu,

hiperventilasi 

(041504)

Monitor dan catat perubahan saturasi oksigen pada klien yang



O2

Saturasi

kesulitan

seperti mengi atau ngorok teratur

auskultasi: 

dan

irama,

bernafas

(041502) 

kecepatan,

kedalaman,

20x/menit (041501) 

Monitor

:

95%

tersedasi 

(041508)

Kolaborasi dokter untuk terapi, tindakan dan pemeriksaan

3.

Nyeri

akut Setelah

dilakukan

(00132) b.d agen keperawatan,

asuhan Manajemen nyeri (1400) tingkat



cedera fisik misal kenyamanan klien meningkat, trauma

nyeri

terkontrol dengan

ketidak nyamanan 

kriteria hasil: 

Observasi reaksi nonverbal dari

Gunakan

teknik

komunikasi

terapeutik

untuk

mengetahui

Nyeri

yang

dilaporkan

pengalaman

klien

mulai

berkurang/

sebelumnya

hilang (210201)



nyeri

klien

Kontrol faktor lingkungan yang

 

Ekspresi

wajah

(210206)

suhu

Klien dapat istirahat dan

kebisingan

tidur (210208) 

mempengaruhi

tenang

Frekuensi

nafas

teratur

nyeri

ruangan,

seperti

pencahayaan,



Kurangi faktor presipitasi nyeri



Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(210210)

(farmakologis/

non

farmakologis) 

Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri



Kolaborasi

untuk

pemberian

tindakan

pengurang

analgetik 

Evaluasi

nyeri/ kontrol nyeri 4.

Kerusakan

Setelah

dilakukan

asuhan Pressure Ulcer Prevention Wound

integritas jaringan keperawatan, kulit (00047)

masalah care (3540)

kerusakan integritas jaringan 

Anjurkan

kulit

menggunakan

dapat

teratasi dengan

kriteria hasil : 





pakaian

untuk yang

longgar

Perfusi jaringan normal 

Jaga kulit agar tetap bersih dan

(0407)

kering

Tidak

ada

tanda-tanda 

infeksi 

pasien

Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali

Ketebalan

dan

tekstur 

Monitor

kulit

akan

adanya

jaringan normal

kemerahan

Menunjukkan pemahaman 

Oleskan lotion atau minyak/baby

dalam proses perbaikan

oil pada daerah yang tertekan

kulit

dan

mencegah 

Monitor aktivitas dan mobilisasi

terjadinya cidera berulang 

Menunjukkan

pasien

terjadinya 

proses penyembuhan luka



Monitor status nutrisi pasien Memandikan

pasien

dengan

sabun dan air hangat 

Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan



Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman

luka,

karakteristik,warna granulasi,

jaringan

tanda-tanda

cairan, nekrotik,

infeksi

lokal,

formasi traktus 

Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka



Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKTP, vitamin



Cegah kontaminasi feses dan urin



Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril



Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka



Hindari kerutan pada tempat tidur

5.

Resiko (00004)

Infeksi Setelah

dilakukan

keperawatan, dapat

resiko

asuhan Infection Control (Kontrol infeksi) infeksi (6540)

diminimlisir dengan

kriteria hasil :



Pertahankan teknik isolasi

 

Klien bebas dari tanda dan

Instruksikan pada pengunjung

Mendeskripsikan proses

untuk mencuci tangan saat

penularan penyakit, faktor

berkunjung dan setelah

yang mempengaruhi

berkunjung meninggalkan

penularan serta

pasien  

timbulnya infeksi Jumlah leukosit dalam

Menunjukkan perilaku

Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung



batas normal 

Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

Menunjukkan kemampuan untuk mencegah



Batasi pengunjung bila perlu,

gejala infeksi

penatalaksanaannya 



Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat



hidup sehat

Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum



Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing



Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal



Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase



Kolaborasi pemberian terapi antibiotik bila perlu

BAB 4 CONTOH KASUS

Pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 18.00 WIB terjadi kecelakaan sepeda motor, korban dibawa oleh penolong ke IGD RS Dr. Soetomo. Klien dibawa dalam kondisi tidak sadarkan diri, terdapat luka lecet lengan kiri dan lutut kiri, hematom ± 14 cm dahi kiri, deformitas tangan kiri, terdapat bula di kaki kiri. Tekanan darah : 90/60 mmHg, nadi : 60 x/menit, RR : 32 x/menit, S : 37,4°C. Setelah dilakukan triage da tindakan awal di IGD klien dipindahkan ke ruang ICU jam 20.00 WIB guna mendapatkan perawatan intensif. Terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir, terdengar suara nafas tambahan yakni gurgling, setelah dilakukan penatalaksaan tidk terdengan suara nafas tambahan. Terpasang masker non rebrithing 12 lpm, klien tampak gelisah.

Ruangan

: ICU

Tanggal masuk

: 12 Maret 2019

Tanggal pengkajian

: 12 Maret 2019

Dx

: cidera kepala berat (CKB)

1.1 Pengkajian Keperawatan 1. Identitas klien Nama

: Tn. K

Umur

: 24 tahun

Alamat

: Mulyorejo RT 03/05 Surabaya

Status perkawinan

: Belum kawin

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Diagnosa medis

: Cedera kepala berat

Tanggal masuk RS

: 12 Maret 2019 pukul 18.00 WIB

Tanggal pengkajian

: 12 Maret 2019 jam 20.00 WIB

No RM

: 264123/1071567

2. Penanggung jawab Nama

: Ny. M

Umur

: 53 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah tangga

Alamat

: Mulyorejo RT 03/05 Surabaya

Hubungan dengan klien

: Ibu Kandung

3. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Penurunan kesadaran (koma) b. Riwayat kesehatan sekarang Pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 18.00 terjadi kecelakaan sepeda motor, korban dibawa oleh penolong ke IGD RS Dr.Soetomo. Klien dibawa dalam kondisi tidak sadarkan diri, terdapat luka lecet lengan kiri dan lutut kiri, hematom ± 14 cm dahi kiri, deformitas tangan kiri, terdapat bula di kaki kiri. Tekanan darah : 90/60 mmHg, nadi : 60 x/menit, RR : 32 x/menit, S : 37,4°C. Setelah dilakukan triage dan tindakan awal di IGD klien dipindahkan ke ruang ICU jam 20.00 WIB guna mendapatkan perawatan intensif. Terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir, terdengar suara nafas tambahan yakni gurgling, setelah dilakukan penatalaksaan tidk terdengan suara nafas tambahan. Terpasang masker non rebrithing 12 lpm, klien tampak gelisah. c. Riwayat penyakit dahulu Keluarga mengatakan bahwa baru kali ini klien masuk rumah sakit dan klien tidak pernah menderita penyakit seperti DM, hipertensi dan TBC yang mengharuskan klien dirawat di rumah sakit, dan hanya menderita

penyakit seperti pilek, demam dan setelah minum obat biasanya langsung sembuh. 4. Primary survey a. Airway + C spine control : terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir b. Breathing + ventilator Look

: adanya pengembangan dinding dada, frekuensi 32x/menit

Listen

: tidak terdengar suara nafas tambahan

Feel

: terasa hembusan nafas, terlihat otot bantu pernafasan

c. Circulation

+

hemorraghea control: kulit pucat, terdapat perdarahan di

telinga, hidung, mulut, CRT >3 detik, akral dingin d. Disability : GCS 7 (E2, M3, V2), kesadaran sopor, keadaan umum jelek e. Exposure and environmental control: pemeriksaan fisik

5. Secondary survey TTV BP

: 90/60 mmHg

HR

: 60 x/menit

RR

: 32 x/menit

T

: 37,4oC

Pemeriksaan fisik (B1-B6) a. Blood (jantung) Perkusi

: mur-mur (-), gallop (-), S1 dan S2 normal

b. Breathing (thoraks) Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, terdapat otot bantu pernapasan, bentuk dada simetris, terpasang masker non rebrithing 12 lpm Palpasi

: tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa

Perkusi

: suara resonan, taktil vermitus normal

Auskultasi: frekuensi 32 x/menit, tidak ada wheezing c. Brain Inspeksi : (kepala) bentuk simetris, terdapat hematome di bagian wajah dan kepala rambut klien kotor, terdapat bercak darah di rambut; (mata) bentuk simetris, klien selalu memejamkan matanya karena pada mata terdapat hematom; (hidung) bentuk simetris, tidak ada polip, keluar darah dari hidung; (telinga) bentuk simetris, terdapat darah; (mulut) bau mulut tidak sedap; (leher) tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, getah bening dan vena jugularis, dicurigai adanya fraktur servikal Palpasi

: (kepala) tidak ada ketombe, benjolan, terdapat nyeri tekan

pada bagian oksipital; (mata) ada nyeri tekan di kedua mata; (hidung) ada nyeri tekan; (telinga) ada nyeri tekan d. Bowel Inspeksi : bersih, tidak ada kelainan Auskultasi: bising usus normal (10 x/menit) e. Bladder Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat jejas, terpasang kateter Perkusi

: timpani (redup pada organ)

Palpasi

: turgor kulit elastis, ada nyeri tekan

f. Bone Atas

: refleks bisep dan trisep normal, deformitas tangan kiri, terpasang infus di tangan kanan, fleksi dan ekstensi (+)

Bawah

: tidak ada kelainan, jari-jari lengkap, terdapat bula di kaki kiri

g. Kulit Inspeksi : turgor elastis, warna kulit merata, kulit tubuh tampak kotor 6. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai normal

Glukosa sewaktu

167

mg/dl

70-140

Urea

30

mg/dl

10-50

Kreatinin

1,00

mg/dl

0,5-1,2

SGOT

25

u/L

0-31

SGPT

15

u/L

0-32

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai normal

K

41

Mmol/L

3,4-5,4

Na

135

Mmol/L

135-155

Cl

90

Mmol/L

95-108

HbsAg

Negatif

WBC

14,50

[10^3/uL]

4,8-10,8

RBC

3,90

[10^6/uL]

4,2-5,4

HGB

11,3

[g/dL]

12-16

HCT

35,6

[%]

37-47

b. Pemeriksaan CT-scan Terdapat edema serebral pada daerah kepala 7. Terapi pengobatan Nama obat Cefotaxime

Golongan

Indikasi

Dosis

Antibiotik

Infeksi-infeksi

golongan

disebabkan oleh kuman antara

sefalosporin

lain -

yang 2x1 gr

Infeksi saluran pernafasan bagian bawah (termasuk pneumonia)

-

Infeksi kulit dan struktur kulit

-

Infeksi tulang dan sendi

Piracetam

Nootropic

-

Infeksi intra-abdominal

-

Infeksi saluran kemih

Pengobatan infark serebral

3x1 gr

2x1 amp

agents Ranitidin

Antasid

Terapi untuk tukak lambung

Keterolac

Analgesik

Terapi jangka pendek untuk 3x30 mg nyeri akut berat

Phenytoin

Natrium

Anti kejang, antiaritmia

2x1 amp

Fenitoin Kalnex

Tranexamic

Membantu

acid

kondisi perdarahan

Manitol

menghentikan 3x500 mg

Menurunkan TIK, menurunkan 4x125 ml edema otak

RL

Mengembalikan keseimbangan

20 ts/i

elektrolit pada dehidrasi 1.2 Diagnosa Keperawatan Analisa data Analisa data

Etiologi

Masalah

DS : -

Kerusakan pola

Pola

DO :

pernafasan dimedula

efektif

KU: jelek, kesadaran: sopor, GCS: oblongata, cedera E2V3M2, terpasang O2 dengan nasal cidera otak Terpasang masker non rebrithing 12 lpm, pernafasan: 32x/menit, terdapat secret di tenggorokkan dan mulut, suara nafas gargling, klien tampak gelisah

nafas

tidak

DS : -

Edema

DO :

peningkatan

KU : jelek, kesadaran : sopor, GCS : penurunan

serebral, Risiko

penurunan

TIK, perfusi

jaringan

O2

ke cerebral

E2V3M2, klien terpasang infus pada serebral tangan

kanan,

terpasang

O2

Terpasang masker non rebrithing 12 lpm, tekanan darah : 90/60 mmHg, nadi: 60x/menit, suhu : 37,4oC, pernafasan : 32x/menit, klien tampak gelisah, pupil anisokor DS :-

Penurunan

DO :

kesadaran,

Defisit self care

KU : jelek, kesadaran : sopor, GCS : kelemahan fisik E2V3M2,

rambut

klien

kotor,

terdapat bercak darah di rambut, bau mulut

tidak

sedap,

kulit

tubuh

tampak kotor Rumusan masalah 1. Risiko penurunan perfusi jaringan cerebral b/d edema serebral, peningkatan TIK, penurunan O2 ke serebral 2. Pola nafas tidak efektif b/d kerusakan pola pernafasan dimedula oblongata, cedera cidera otak 1.3 Intervensi Keperawatan No

Diagnosa

NOC

NIC

Keperawatan 1.

Risiko

NOC:

NIC:

penurunan

Perfusi Jaringan: Otak

Peningkatan

perfusi jaringan 

Mempertahankan

Serebral

Perfusi

cerebral

b/d

tingkat

kesadaran, Independen 

edema serebral,

kognisi, dan fungsi

peningkatan

motorik dan sensorik

berhubungan

TIK, penurunan 

Mendemonstrasikan

situasi

O2 ke serebral

tanda vital stabil, dan

penyebab

koma,

tidak

penurunan

perfusi



ada

tanda

Tentukan faktor yang dengan individu,

peningkatan TIK

serebral

Tidak menunjukkan

kemungkinan TIK

perburukan lanjut

lebih



atau

Pantau dan dokumentasi status

pengulangan kejadian deficit

dan

neurologis

dengan sering 

Pantau TTV



Evaluasi

pupil

catat

ukuran bentuk ukuran kesamaan

dan

reaksi

terhadap cahaya 

Dokumentasi perubahan fungsi penglihatan



Kaji bicara jika klien sadar



Kaji

peningkatan

kegelisahan dan awitan aktivitas kejang 

Posisikan kepala sedikit ditinggikan

dalam

posisi netral 

Pertahankan baring

tirah



Beri lingkungan yang tenang,

batasi

pengunjung Kolaborasi 

Beri

medikasi

sesuai

indikasi 

Persiapkan

untuk

pembedahan

jika

dibutuhkan Monitoring 

Pantau

hasil

pemeriksaan laboratorium

sesuai

indikasi 2.

Pola nafas tidak

Setelah dilakukan asuhan 

Kaji status pernafasan

efektif b/d

keperawatan 3 x 24 jam

klien

kerusakan pola

klien menunjukan pola 

Kaji

pernafasan

nafas yang efektif dengan

ketidakefektifan

dimedula

kriteria hasil:

nafas

oblongata,

- Pernafasan

cedera cidera otak

16- 

20x/menit, teratur - Suara nafas bersih

penyebab pola

Beri posisi head up 3545 derajat



Monitor

perubahan

- Pernafasan vesikuler

tingkat kesadaran, status

- Saturasi O ≥ 95%

mental, dan peningkatan

2:

TIK 

Beri

oksigen

sesuai

anjuran medis 

Melakukan suction jika

diperlukan 

Kolaborasi dokter untuk terapi,

tindakan

pemeriksaan

dan

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (akselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi). Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada klien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika klien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 4. Jakarta: IPD FKUI Pusat. Bahrudin. (2008). Posisi Kepala Dalam Stabilitasi Tekanan Intrakranial. Jakarta: Program Residensi Sp.KMB Universitas Indonesia. Barret, e. a. (2015). Buku Ajar Fisiolohi Kedokteran Ganong Edisi 24. Jakarta: EGC. Bulechek, G., Butcher, H., Dochterman, J., & Wagner, C. (2013). Nursing Intervention Classification. Philadelphia: Elsevier. Corwin, J. E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. Hargis, A. M. (2016). Chapter 17 The Integument. The Integument Journal. Hisam, Sudadi, & Raharjono. (2013). Tatalaksana Peningkatan TIK pada Operasi Craniotomi Evaluasi Hematom yang Disebabkan oleh Hambatan Intraserebral. Jurnal Komplikasi Anastesi, 35-42. Hurst, M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification. Philadelphia: Elsevier. Nair, M. (2015). Dasar-dasar Patofisiologi Terapan: Panduan Penting untuk Mahasiswa Keperawatan dan Kesehatan. Jakarta: Bumi Medika. NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC. Pearce, E. C. (2011). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis. Jakarta: Binarupa Aksara. Price. (2008). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Rosyidi, K. (2013). Muskuloskeletal. Jakarta: CV Trans Info Media.

Smeltzer and Bare. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta: EGC. Suarnianti, N. (2016). Anatomi dan Fisiologi pada Tubuh Manusia. Yogyakarta: Indomedia Pustaka. Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi. Jakarta: EGC. Waugh, A. (2014). Buku Kerja Anatomi dan Fisiologi Ross dan Wilson 3rd Edition. Singapore: ISBN. Yuliani, N. (2010). Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan, 17-30.

Related Documents

Gabung
May 2020 9
Gabung Kpd.docx
November 2019 18
Cedera Kepala
June 2020 38
Eclipse2008 Gabung
October 2019 11
Gabung Pp.docx
May 2020 14

More Documents from "Nurul Hikmah"