SEDIAAN STERIL (Sediaan Injeksi zat aktif Ranitidin )
OLEH : AULIA AMBARSARI (AKF17022) FENI FIBRIANTI (AKF17047) MAS KAMAJAYA (AKF17078) MARIA THERESIA (AKF17076) SISKA DWI UTARI (AKF17118)
AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG 2018
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .................................................................................................. i BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................... 1 1.3 Manfat .......................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3 2.1 Tinjauan Penyakit ......................................................................... 3 2.2 Tinjauan Sediaan .......................................................................... 8 2.3 Praformulasi dan Formulasi ......................................................... 19 2.4 Tinjauan Produksi ........................................................................ 22 2.5 Evaluasi ........................................................................................ 28 BAB III FORMULASI ................................................................................. 30 3.1 Fomulasi ....................................................................................... 30 3.2 Alasan Pemilihan Bahan .............................................................. 30 3.3 Perhitungan ................................................................................... 30 3.4 Alat dan Bahan ............................................................................. 32 3.5 Prosedur Kerja .............................................................................. 32 3.6 Prosedur Evaluasi ......................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh dapat menghafal waktu dimana kita biasa makan, dan secara spontan mensekresikan asam lambung, bilamana kita saat itu kita tidak sedang makan maka asam lambung akan berinteraksi langsung dengan dinding mukosa lambung. Kejadian ini yang berulang dan dalam jangka waktu yang lama dapat membuat mukosa lambung lama kelamaan terkikis dan bisa terjadi tukak (borok / luka) oleh sifat asamnya. (Susanti dkk., 2011) Asam lambung yang dibutuhkan tubuh itu menjadi membahayakan tubuh ketika jumlahnya berlebihan. Produksi berlebihan dapat terjadi karena faktor fisiologis tubuh seseorang, atau dipicu makanan / minuman tertentu. Kebiasaan makan secara tidak teratur juga berperan dalam peningkatan resiko tukak. (Nurheti, 2009) Obat ranitidine merupakan salah satu obat yang digunakan untuk masalah gangguan pecernaan terutama yang terkait dengan asam lambung. Secara mekanisme aksi dapat dikatakan ranitidine ini sebagai obat menengah, pada kasus dimana penggunaan antasida belum mampu mengatasi gejala tukak. Ranitidine memiliki penghambatan sekresi asam lambung yang terbatas (menghambat 50% sekresi asam lambung) sehingga tidak tepat digunakan pada kasus parah secara tunggal, kecuali digunakan secara kombinasi bersama obat lain untuk saling menguatkan. Obat Ranitidine bentuk Injeksi banyak digunakan di rawat inap, seperti rumah sakit. Selain efek terapi cepat, penggunaan injeksi tidak bisa digunakan masyarakat umum membuat sediaan ini cenderung dipakai di tempat tempat pelayanan kesehatan.
1.2 Tujuan 1. Memahami sediaan injeksi 2. Memahami dan membuat Pra formulasi sediaan injeksi 3. Memahami dan membuat Formulasi sediaan injeksi
1
4. Memahami dan melakukan prosedur pembuatan sediaan injeksi 5. Memahami dan melakukan evaluasi mutu fisik sediaan injeksi 6. Memahami dan melakukan evaluasi kerusakan sediaan injeksi 7. Memahami dan mengaplikasikan pengemasan sediaan injeksi 1.3 Manfaat 1. Dapat memahami sediaan injeksi 2. Dapat memahami dan membuat Pra formulasi sediaan injeksi 3. Dapat memahami dan membuat Formulasi sediaan injeksi 4. Dapat memahami dan melakukan prosedur pembuatan sediaan injeksi 5. Dapat memahami dan melakukan evaluasi mutu fisik sediaan injeksi 6. Dapat memahami dan melakukan evaluasi kerusakan sediaan injeksi 7. Dapat memahami dan melakukan pengemasan sediaan injeksi
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan penyakit 2.1.1
Definisi penyakit Penyakit lambung, sering disebut juga sakit maag adalah yang diakibatkan oleh kelebihan asam lambung, sehingga dinding lambung lama-lama tidak kuat menahan asam lambung tadi sehingga timbul rasa sakit yang sangat mengganggu sipenderita. Gejala khas sakit pada lambung adalah rasa panas di dada, rasa tidak nyaman waktu menelan, danrasa sakit waktu menelan. Gejala tambahannya meliputi serangan asma yang frekuen, batuk lama rekfakter dengan pengobatan, suara serak, mual dan muntah, nyeri pada dada dan sering sendawa (Abdullah, 2008).
2.1.2 Gejala dan penyebab penyakit 1. Gejala penyakit Beberapa gejala maag yang merupakan dasar diagnosa adalah riwayat rasa tidak ensk berulang di ulu hati ½ hingga 1 jam setelah makan (pencernaan) dan timbul terutama pada dini hari, merupakan gejala khas (Riyanto, 2008). Nyeri serta rasa panas pada ulu hati dan dada, mual, kadang disertai muntah dan perut kembung (anonim,2006). Gejala-gejala umumnya tidak ada atau kurang nyata. Kadang kala dapat berupa gangguan pada pencernaan, nyeri lambung dan muntah-muntah akibat erosi kecil di selaput lendir seta adakalanya terjadi pendarahan (Tjay dan Rahardja, 2007). 2. Penyebab penyakit Penyakit gastritis ini sering disebabkan oleh meningkatnya asam lambung. Peningkatan produksi asam lambung dapat terjadi karena : 1) Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan yang pedas atau asam, kopi dan alkohol.
3
2) Faktor stres baik stres fisik (setelah pembedahan, penyakit berat, luka bakar) maupun stres mental. 3) Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat rematik, antiinflamasi). 4) Jadwal makan yang tidak teratur (Anonim, 2006). Faktor-faktor lain yang kurang kuat berkaitan dengan sakit lambung antara lain adalah riwayat keluarga yang menderita sakit maag. Kurangnya daya mengatasi atau adaptasi yang buruk terhadap stes (Riyanto, 2008). 3. Jenis-jenis penyakit 1. Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung. Penyebab gastritis adalah terlalu banyak minum-minuman beralkohol, penggunaan jangka panjang obat aspirin dan ibuprofen, dll. Gastritis juga dapat muncul setelah operasi, luka trauma, luka bakar, atau infeksi berat. Penyebab kronisnya adalah infeksi bakteri Heliobacter pylori, refluks empedu, dan stress. Gejala gastritis adalah gangguan pencernaan, perut kembung, mual, dan muntah. Cara mencegah gastritis adalah dengan menghindari makanan pedas atau panas. 2. Maag atau tukak lambung adalah peradangan pada dinding lambung yang disebabkan oleh pengeluaran asam lambung (asam klorida) yang berlebihan. Asam lambung secara rutin keluar untuk membantu menghancurkan makanan. Namun jika tidak ada makanan dalam jangka waktu tertentu, maka asam lambung akan tetap keluar dan mengikis dinding lambung. Ketika asam lambung tersebut mengenai saraf, terjadilah rasa sakit yang luar biasa yang biasa kita kenal sebagai maag. Cara mencegah maag adalah dengan makan teratur dan menghindari makanan yang terlalu pedas. Cara mengobati penyakit maag adalah dengan meminum obat antasida.
4
3. Tumor lambung adalah tumor yang ditandai dengan tumbuhnya polip (bintil-bintil) pada lambung. Tumor lambung masih bisa diangkat dan tidak berbahaya karena tidak menyebar ke organ tubuh lain. Salah satu penyebab tumor lambung adalah terlalu sering mengkonsumsi makanan bernitrat. Nitrat adalah zat pengawet yang biasa terdapat di makanan dan minuman dalam kemasan. Mengonsumsi terlalu banyak makanan yang diasinkan dan diasap serta merokok juga beresiko terjadinya tumor lambung. Tumor lambung akan menjadi kanker lambung jika polip berukuran lebih dari 2 cm, terdapat selglandular, dan terdapat banyak polip di dalam lambung. 4. Dispepsia adalah gangguan pencernaan yang ditandai dengan nyeri dan perih di bagian atas perut serta perut terasa penuh padahal belum makan. Terkadang disertai dengan perut kembung, bersendawa, mual, dan maag. Dispepsia sering terjadi pada penderita GERD dan gastritis. 5. GERD adalah kerusakan kronis pada mukosa lambung yang disebabkan oleh asam lambung yang terus mengikis dinding lambung. Banyak orang yang mengira penyakit ini mirip maag. Namun ada beberapa gejala khusus antara lain sakit saat menelan, rasa asam di mulut, sering bersendawa, dan sering terserang radang tenggorokan. Penyebab penyakit ini adalah kecemasan, depresi, langsung tidur setelah makan, makan makanan yang terlalu pedas atau asam, jarang olahraga, dan kebiasaan merokok. 6. Gastroparesis adalah penyakit kelumpuhan lambung yang membuat makanan lama dicerna. Hal ini disebabkan karena lambung tidak mampu berkontraksi untuk memindahkan makanan ke dalam usus halus. Saraf vagus mengontrol kontraksi ini. Gastroparesis dapat terjadi ketika saraf vagus rusak dan otot-otot perut dan usus tidak berfungsi dengan
5
benar. Makanan menjadi bergerak lambat atau bahkan dapat berhenti. Gejala gastroparesis adalah mual kronis, muntah, nyeri perut, perasaan kenyang berlebihan walaupun hanya makan sedikit. Gejala lainnya dapat berupa mulas, perut kembung, kadar glukosa darah yang tidak menentu, kurangnya nafsu makan, kejang dinding perut, dan malnutrisi. Diabetes melitus menjadi penyebab utama gastroparesis karena kadar glukosa dalam darah yang tinggi dapat mempengaruhi susunan kimia pada saraf vagus. Merokok juga dapat menyebabkan gastroparesis. 7. Gastroenteritis adalah penyakit gabungan antara diare, muntah, dan perut kram. Gastroenteritis sering disebut virus perut dan flu lambung. Meskipun penyakit ini tidak terkait dengan influenza. Penyakit ini disebabkan oleh rotavirus pada anak-anak dan norovirus dan campylobacter pada orang dewasa. Penyakit ini terjadi karena konsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik, air yang terkontaminasi, atau melalui kontak terlalu dekat dengan penderita. 4. Contoh obat maag yang ada dipasaran 1. Pantoprazole injeksi Pantoprazole adalah obat yang digunakan untuk mengobati esofagitis erosif (kerusakan pada kerongkongan dari asam lambung), dan kondisi lain yang melibatkan asam lambung berlebih seperti sindrom Zollinger-Ellison dan mengobati infeksi
bakteri
Helicobacter
pylori.
Pantroprazole merupakan obat yang digunakan untuk meredakan gejala nyeri ulu hati akibat refluks asam dari lambung, serta mencegah tukak lambung dan membantu memperbaiki kerusakan di dalam lambung akibat kondisi tersebut.
6
2. Lansoprazole injeksi Lansoprazole adalah obat yang digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit akibat kelebihan asam lambung. Beberapa kondisi yang disebabkan oleh asam lambung tersebut diantaranya esofagitis, GERD, dispepsia (yang berhubungan dengan asam), tukak lambung, tukak duodenum, dan lainlain.
3. Pranza injeksi Pranza diindikasikan pada pengobatan ulkus lambung, ulkus duodenum, refluks esofagitis derajat sedang dan berat serta kondisi hipersekresi patologis seperti sindrom ZollingerEllison atau keganasan lainnya. Digunakan sebagai terapi alternative pada pasien yang tidak diindikasikan pemberian pantoprazole oral.
7
2.2 Tinjauan sediaan 2.2.1
Definisi Sediaan Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. (Ansel, 1989)
2.2.2
Persyaratan injeksi 1. Bebas dari mikroorganisme yang bersifat patogen 2. Terbuat dari bahan – bahan yang bebas dari bahan asing dari luar yang tidak larut. 3. Steril 4. Bebas dari bahan partikulat : partikel halus yang ada pada sediaan 5. Aman 6. Bebas dari pirogen 7. Kestabilan 8. Injeksi sedapat mungkin isotonis dengan darah 9. Isohidris 10. Tidak boleh berwarna, kecuali zat berkhasiatnya berwarna
2.2.3
Komponen injeksi secara umum injeksi terdiri dari 1. Zat aktif Data zat aktif yang diperlukan adalah : pH stabilitas pH stabilitas adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal, sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilitas dicapai dengan menambahkan asam encer, basa lemah atau pendapar. Kelarutan Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuatan sediaan steril. Zat aktif yang larut dalam air membentuk sediaan larutan dalam air, zat aktif yang larut
8
minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Sedangkan zat yang tidak larut dalam kedua pembawa tersebut dibuat sediaan suspensi. Stabilitas zat aktif Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa, metode sterilisasi atau cara pembuatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penguraian zat aktif : 1. Oksigen (Oksidasi) Pada kasus ini setelah air dididihkan maka perlu dialiri gas nitrogen dan ditambahkan antioksidan 2. Air (Hidrolisis) Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif : -
Dibuat pH stabilitasnya dengan penambahan asam basa atau buffer
-
Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran pelarut air-gliserinpropilenglikol atau pelarut campur lainnya.
-
Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan
3. Suhu Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi yang tidak menggunakan panas, seperti filtrasi 4. Cahaya Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan penggunaan wadahberwarna coklat Sediaanharusdapattercampur sedianlainnya,
ditinjau
dari
homogeny segi
dengan
kimia,
fisika
bahan atau
farmakologinya
2. Bahan Pembawa Bahan pembawa injeksi dapat berupa air dan non air : Pembawa Air
9
Sebagian besar produk paranteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai konstanta dielketrik tinggi, sehingga lebih mudah melarutkan elektrolit yang terionisasi dan ikatan hidrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid, keton dan amino. Syarat air untuk injeksi menurut USP : Harus dibuat segar dan bebas pirogen a) Tidak mengandung lebih dari 10 ppm dari total zat padat b) pH antara 5-7 c) Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium, karbondioksida dan kandungan logam berat serta material organik (tanin, lignin), partikel berada pada batas yang diperbolehkan. Pembawa non Air Pembawa non air digunakan jika : Zat aktif tidak larut dalam air Zat aktif terurai dalam air Diinginkan kerja depo dalam sediaan Syarat umum pembawa non air : a. Tidak toksik, tidak mengiritasi dan tidak menyebabkan sensititasi b. Dapat tersatukan dengan zat aktif c. Inert secara farmakologi d. Stabil dalam kondisi dimana sediaan tersebut bisa digunakankapansaja e. Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikkan dengan mudah f. Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar g. Mempunyai titik didih yang tinggi, sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas
10
h. Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh
3. Zat tambahan Zat tambahan pada sediaan steril digunakan untuk : 1) Meningkatkan kelarutan zat aktif 2) Menjaga stabilitas zat aktif 3) Menjaga sterilitas untuk sediaan multiple dose 4) Mempermudah dan menjaga keamanan pemberian Macam-macam zat tambahan : Antioksidan : Garam-garam sulfurdioksida, termasuk bisulfit, metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat, Sistein, Monotiogliseril, Tokoferol. Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol, Klorobutanol, Metakreosol, Timerosol, Butil p-hidroksibenzoat,
Metil
p-hidroksibenzoat,
Propil
p-
hidroksibenzoat, Fenol. Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat. Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA). Gas inert : Nitrogen dan Argon. Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin, Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat. Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin. Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl 2.2.4
Penggolongan injeksi 1. Injeksi Subkutan (s.c) Disuntikkan ke dalam jaringan dibawah kulit ke dalam alveolus, volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1ml. 2. Injeksi intramuskular (i.m) Di suntikkan ke dalam atau di antara lapisan jaringan atau otot. Injeksi dalam bentuk larutan, suspensi, emulsi dapat diberikan dengan
11
cara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi di serap dengan lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama. Volume penyuntikan antara 4-20ml, di suntikkan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit. 3. Injeksi intrakutan (i.k/i.c) Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis. Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2ml, berupa larutan atau suspensi dalam air. 4. Injeksi intravena (i.v) Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentunya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena yang bersangkutan. Volume antara 1-10ml. injeksi i.v dengan volume 15ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida. Injeksi i.v dengan volume 10ml atau lebih harus bebas pirogen. 5. Injeksi intratekal (i.t) Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang di dasar otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan cerebrospinal. 6. Intraartikular Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuknya suspensi atau larutandalam air. 7. Injeksi intraarterium (i.a) Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri/perifer/tepi, volume antara 1-10ml, tidak boleh mengandung bakterisida. 8. Injeksi subkonjungtiva Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi atau larutan, tidak lebih dari 1ml. 9. Injeksi intraperitoneal Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat, namun bahaya infeksi besar. 10. Injeksi intrakordal/intrakardiak (i.kd)
12
Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventrikel, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat. Penggolangan Injeksi Berdasarkan Bentuk Sediaan a. Injeksi Ampul Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan dalam satu kali pemakaian atau untuk satu kali injeksi. Menurut peraturan ampul dibuat dari gelas tidak berwarna, akan tetapi untuk bahan obat peka cahaya dapat dibuat dari bahan gelas berwarna coklat tua b. Injeksi Vial Vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5-100 mL dimanadigunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat. Botol injeksi vial ditutup dengan sejenis logam yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum suntik untuk menghisap cairan injeksi
2.2.5
Keuntungan dan kerugian sediaan injeksi No
Keuntungan
Kerugian
1.
Bekerja cepat, misalnya
Karena bekerja cepat, jika
injeksi adrenalin pada syok
terjadi kekeliruan sukar
anafilaktik.
dilakukan pencegahan
Dapat digunakan untuk obat
Cara pemberian lebih sukar,
yang rusak jika terkena
harus memakai tenaga
cairan lambung, atau tidak di
khusus.
2.
absorpsi baik oleh cairan lambung. 3.
Kemurnian dan takaran zat
Kemungkinan terjadinya
khasiat lebih terjamin.
infeksi pada bekas suntikan.
13
4.
Dapat digunakan sebagai
Secara ekonomis lebih mahal
depo terapi.
dibandingkan dengan sediaan yang digunakan per oral.
2.2.6
Prosedur pembuatan Larutan (Sterilisasi akhir) Jika zat sensitif terhadap cahaya, maka pengerjaanya di bawah lampu
natrium 1. Zat aktif digerus dan ditimbang berlebih sesuai kebutuhan menggunakan kaca arloji, kemudian dimasukan ke dalam gelas piala. Kaca arloji dibilas 2 kali dengan aqua pro injeksi. 2. Zat aktif dilarutkan dalam sejumlah tertentu aqua pro injeksi. 3. Setelah zat aktif dan senua zat tambahan terlarut, larutan tersebut kemudian dituang ke dalam gelas ukur sehingga volume tertentu di bawah volume akhir. 4. Kertas saring rangkap 2 yang akan digunakan untuk menyaring dibasahi sejumlah tertentu aqua pro injeksi terlebih dahulu, kemudian corong dipindahkan ke erlemeyer yang telah steril. 5. Larutan yang ada di gelas ukur disaring ke dalam labu elemeyer yang telah disiapkan. IPC dilakukan dengan mengukur PH sediaan. Kekeurangan aqua pro injeksi dituang sedikit demi sedikit untuk membilas gelas piala lalu dituang ke gelas ukur. Air bilasan tersebut kemudian disaring lagi ke dalam erlemeyer yang telah berisi filtrasi larutan hingga volume total seluruh larutan genap beberapa mL. 6. Larutan yang telah disaring dituang ke dalam kolom reservoir melalui membran filter bakteri yang diletakan di atas glass filter G5 (ukuran pori-pori 0,45 𝜇m) 7. Larutan dituang ke dalam buret steril kemudian ujungnya ditutup dengan alumunium foil 8. Sebelum diisikan ke dalam wadah, jarum buret dibersikan dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Setiap wadah diisi dengan larutan ... mL sesuai persyaratan volume FI IV
14
9. Ampul/vial yang telah berisi zat aktif, bila diperlukan dialiri dengan gas nitrogen 10. (Bila wadah ampul) Ampul ditutup dengan api dan disterilkan menggunakan autoklaf secara terbalik dalam gelas piala yang telah dialasi kapas (121℃, selama 15 menit) atau metode lain yang sesuai.(Bila wadah vial) ditutup dengan tutup karet lalu di seal dengan alumunium cap, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dalam gelas piala ang telah dialasi kapas (121℃, selama 15 menit)atau metode lain yang sesuai. 11. Setelah sterilisasi akhir, dilakukan evaluasi sediaan 12. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan disertakan brosur informasi obat .
Larutan (Metode Aseptik) Semua pengerjaan pembutan sediaan dilakukan di bawah LAF, ruang kelas II, jika zat sensitif dengan cahaya maka pengerjaannya dilakukan pada ruang terlindungi cahaya di bawah lampu natrium. 1. Semua bahan baku (zat aktif + eksipien) yang telah ditimbang lalu disterilisasi dengan metode yang sesuai. 2. Prosedur 2-6 sama dengan tercantum pada metode sterilisasi akhir. 3. Larutan yang telah disaring, dituang ke dalam kolom reservoir melalaui membaran filter bakteri yang diletakan di atas filter glass G3 (ukuran pori-pori 0,22 𝜇m). 4. Larutan dituang ke dalam buret steril kemudian ujungnya ditutup dengan alumunium foil. 5. Sebelum diisikan ke dalam wadah, jarum buret dibersikan dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Setiap wadah diisi dengan larutan C mL sesuai persyaratan volume FI IV. 6. Ampul/vial telah berisi zat aktif, bila diperlukan dialiri dengan gas nitrogen. a.
(Bila wadah ampul) Ampul ditutup dengan api dan disterilkan menggunakan autoklaf secara terbalik dalam gelas piala yang
15
telah dialasi kapas (suhu 121℃, selama 15 menit) atau metode lain yang sesuai. b.
(Bila wadah vial) Vial ditutup dengan tutup karet lalu di-seal dengan alumunium cap, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dalam gelas piala yang telah dialasi kapas (suhu 121℃, selama 15 menit) atau metode lain yang sesuai.
7. Dilakukan evaluasi sediaan. 8. Sediaan dikemas dalam dus yang sudah diberi etiket dan disertakan brosur informasi obat. 2.2.7
Cara Sterilisasi Sterilisasi adalah suatu proses mematikan mikroorganisme yang mungkin ada pada suatu benda. Secara umum terdapat tiga teknik yang biasa digunakan untuk sterilisasi. Pemilihan teknik sterilisasi didasarkan pada sifat alat dan bahan yang akan disterilisasi. ketiga teknik tersebut adalah : 1. Sterilisasi Mekanik/Filtrasi Sterilisai secara mekanik (filtrasi) dikerjakan dalam suhu ruang menggunakan suatu saringan yang berpori sangat kecil (0.22 mikron atau 0.45 mikron) sehingga mikroba tertahan pada saringan tersebut. Sterilisasi ini ditujukan untuk bahan yang peka panas, misalnya larutan enzim dan antibiotik. 2. Sterilisasi Fisik Sterilsasi fisik dapat digunakan dengan cara pemanasan atau penyinaran. Terdapat empat macam sterilisasi dengan pemanasan :
Pemijaran Api Membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L, dll.
Panas Kering (Oven) Sterilisasi kering yaitu sterilisasi dengan menggunakan udara panas. Karakteristik sterilisasi kering adalah menggunakan oven suhu tinggi (170-180’C) dengan waktu yang lama (1-3 jam). Sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca
16
misalnya erlenmeyer, tabung reaksi dll. Sebelum dimasukkan ke dalam oven alat/bahan teresbut dibungkus, disumbat atau dimasukkan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi ketika dikeluarkan dari oven. Hubungan suhu dengan waktu tunggu pada sterilisasi panas kering :
Suhu °C
Waktutunggu minimum (menit)
160
120
170
60
180
30
Uap Panas Bertekanan (Autoclaving) Alat yang digunakan adalah autoclave. Cara kerja alat ini adalah menggunakan uap panas dengan suhu 121°C selama 15 menit pada tekanan 1 atm. Sterilisasi uap tergantung pada : (1) alat/bahan harus dapat ditembus uap panas secara merata tanpa mengalami kerusakan (2) Kondisi steril harus bebas udara (vacum) (3) Suhu yang terukur harus mencapai 121°C dan dipertahankan selama 15 menit. Bahan/alat yang tidak dapat disterilisasi dengan uap panas adalah serum, vitamin, antibiotik, dan enzim, pelarut organik, seperti fenol, buffer dengan kandungan detergen, seperti SDS. Erlenmeyer hanya boleh diisi media maksimum ¾ dari total volumenya. Hubungan suhu dan waktu tunggu untuk sterilisasi panas lembab: (TPC)
Suhu °C
Waktutunggu minimum (menit)
Fo(menit)
115-118
30
7,5-15
121-124
15
15-30
17
126-129
10
32-63
134-138
3
60-150
Keuntungan : adanya uap jenuh mempunyai aktivitas pembunuhan yang tinggi dan dapat membunuh semua jenis mikroorganisme, termasuk spora yang resisten, dalam waktu 15 menit 121°C, murah, sederhana, hanya membutuhkan pemantauan waktu, suhu dan tekanan. Prosedur dalam penggunaan autoclave : 1. Pelajari bagian-bagian autoclave dan fungsinya masingmasing 2. Tuangkan air suling ke dalam autoclave hingga batas yang dianjurkan 3. Masukkan alat/bahan yang akan diserilkan, ditata sedemikian rupa sehingga uap air secara merata dapat menembus alat/bahan yang akan disterilkan tersebut. 4. Tutup autoclave dan hidupkan alat. Perhatikan tahap kenaikan suhu dan tekanan pada autoclave. Tunggu hingga alat mencapai suhu 121°C selama 15 menit. Autoclave akan otomatis membunyikan alarm, jika proses sterilisasi sudah selesai. 5. Hindari membuka tutup autoclave begitu proses sterilisasi selesai, tunggu sampai tekanan dan suhunya turun. Sterilisasi ini cocok untuk alat dan bahan yang tidak tahan pemanasan tinggi seperti gelas ukur, beaker glass, dll yang mudah memuai ukurannya bila dipanaskan dengan suhu tinggi
Sterilisasi kimiawi. Digunakan pada alat/bahan yang tidak tahan panas atau untuk kondisi aseptis (Sterilisasi meja kerja dan tangan). Bahan kimia yang dapat digunakan adalah Alkohol, asam parasetat, formaldehida, dan lain-lain. 18
2.3 Praformulasi dan Formulasi 2.3.1
Praformulasi 1.
Definisi Studi praformulasi adalah tahap pertama dalam pembentukan tablet atau aktivitas formulasi dengan pertimbangan yang hatihati dari data preformulasi. Preformulasi penting bagi formulator untuk mendapatkan profil fisika-kimi yang lengkap dari bahan-bahan aktif yang tersedia sebelum memulai aktifitas perkembangan formulasi seluruh informasi ini diketahui sebagai preformulasi (Lieberman, 1990).
2.
Tujuan Tujuan studi praformulasi adalah untuk mengumpulkan dan mengembangkan informasi tentang obat untuk menyusun (menetapkan) parameter yang diperlukan dalam mendesain formulasi.
Investigasi
preformulasi
didesain
untuk
mengidentifikasi sifat fisikokimia API dan eksipien, yang dapat mempengaruhi desain formulasi, metode manufaktur, dan sifat farmakokinetika biofarmasetika dari produk/sediaan yang dihasikan. 3.
Karateristik Bahan 1. Ranitidin (FI IV hal 733) a. Nama lain
: Ranitidin
Hidroklorida b. Rumus molekul
: C13H22N4O3S.HCl.
c. Pemerian
: Serbuk hablur, putih
sampai kuning pucat, praktis tidak d. Kelarutan
: Sangat mudah larut
dalam air, cukup larut dalam etanol dan sukar larut dalam kloroform. e. pH f. Khasiat
: 4,5-6,0 : obat maag jenis penghambat
receptor H2
19
g. Alasan
: karena dapat mengurangi
asam lambung yang berlebih
2. Natrium chlorida a. Nama lain
:Natrii Chloridum
b. Rumus molekul
: NaCl
c. Pemerian
: Hablur bentuk kubus, tidak
berwarna atau serbuk hablur putih, rasa asin. d. Kelarutan
: Mudah larut dalam air,
sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih, larut dalam glyserin, sukar larut dalam etanol. e. Penyimpanan
: Wadah tertutup baik
f. Khasiat
: pengisotonis
g. Alasan
: sebagai bahan pembawa ,
agar larutan menjadi isotonik 3. Aqua pro injection (FI III hal 97) a. Nama latin
: Aqua pro injection
b. Pemerian
:
cairan,
jernih,
tidak
berwarna, tidak berbau. c. Penyimpanan
: dalam wadah tertutup kedap.
Jika disimpan dalam wadah tertutup kapas berlemak harus digunakan dalam waktu 3 hari setelah pembuatan d. Khasiat
: untuk pembuatan injeksi
e. Alasan
: karena digunakan untuk
melarutkan zat aktif dan zat-zat tambahan. Digunakan API sebagai pelarut karena API bebas dari mikroba dan pirogen sehingga aman untuk digunakan pada sediaan parenteral.
20
2.3.2
Formulasi
1.
Definisi Formulasi adalah menggabungkan bersama komponen dalam hubungan yang sesuai dengan formula yang ada. Formulasi merupakan tahapan dari kegiatan praform ulasi. Dalam kegiatan formulasi harud diperhatikan tahapan-tahapan dalam menggabungkan tiap komponen yang tertera pada formula yang elah dibuat (Siregar, 2007).
2.
Tujuan Tujuan dilakukannya formulasi adalah sebagai berikut. 1. Sediaan spesifikasi tertentu Obat yang digunakan dalam formulasi harus lebih spesifik, bisa menggunakan obat lebih dari satu sebagai zat aktif akan tetapi kerja obat tidak boleh saling bertentangan, sehingga salah satu obat tidak menghasilkan efek yang maksimal. 2. Ketersesuaian efek samping Obat yang digunakan dalam formulasi adalah obat yang memiliki efek samping yang relatif kecil karena sediaan injeksi bila sudah masuk ke dalam tubuh tidak dapat di tarik kembali. Jika obat memiliki efek samping yang relatif besar maka akan di khawatirkan dapat menganggu kerja organ di dalam tubuh. 3. Meningkatkan kestabilan Tidak hanya zat aktif yang digunakan dalam komposisi sediaan injeksi melainkan zat tambahan. Untuk zat tambahan berfungsi sebagai penstabil larutan sediaan injeksi.Zat tambahan juga harus disesuaikan dengan zat aktif yang digunakan. 4. Menghindari efek toksik Dalam membuat formulasi seharusnya sudah dihitung dosis yang akan digunakan agar tidak menimbulkan efek toksik yang kemungkinan ditumbulkan oleh zat aktif.
21
5. Meningkatkan penampilan Obat di tempatkan pada wadah tertutup rapat kedap udara agar tetap dalam keadaan steril. Wadah tidak terlalu besar, sehingga disesuaikan dengan volume formulasi yang akan dibuat. 6. Meningkatkan kepraktisan penggunaan Dalam sediaan injeksi dibuat agar obat praktis digunakan dan memberikan efek yang cepat. Dengan dikemas secara praktis itu memudahkan tenaga medis untuk mengaplikasikan atau menggunakan pada pasien. 2.4 Tinjauan Produksi 2.4.1
Definisi produksi Produksi adalah serangkaian kegiatan untuk membuat, merubah
bentuk, menambah bahan, menambah daya guna suatu bahan awal (raw material) menjadi suatu sediaan ruahan ataupun sediaan jadi sesuai dengan spesifikasi standar nasional maupun internasional (Goeswin Agoes, 2012). 2.4.2
Tujuan Menghasilkan suatu produk sediaan yang mempunyai nilai guna, aman
digunakan, dan dapat diterima oleh masyarakat. Produk yang mempunyai nilai guna akan sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat, dimana masyarakat berperan sebagai konsumen. Setelah mempunyai guna, produk yang dihasilkan dari proses produksi harus aman digunakan. Karena jika produk yang dihasilkan tidak aman, bisa jadi produk akan menimbulkan suatu masalah yang serius yang akan merugikan konsumen. Sehingga nilai gunanya akan menurun karena ketidak amanan dari produk. Selain mempunyai nilai guna dan aman digunakan, produk yang dihasilkam harus dapat diterima oleh masyarakat/konsumen darisegi apapun. Baik dari segi estetika, nilai guna, keamanan, harga atauyang lainnya (Goeswin Agoes, 2012). 2.4.3
Ruang produksi Ruangan produksi sediaan steril di industri farmasi merupakan salah
satu aspek yang harus dijaga kebersihan dan kesterilan ruangannya. Ruang
22
produksi adalah tempat yang disiapkan secara khusus dari bahan – bahan dan tata bentuk yang harus sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik. Hal ini dimaksudkan agar obat dan bahan obat yang akan diproduksi terhindar dari kontaminasi. Berdasarkan standar industri/ pabrik farmasi area pabrik dibagi menjadi 4 zona dimana masing-masing zona memiliki spesifikasi tertentu. Empat zona tersebut meliputi : a. Unclassified Area Area ini merupakan area yang tidak dikendalikan (Unclassified area) tetapi untuk kepentingan tertentu ada beberapa parameter yang dipantau. Termasuk didalamnya adalah laboratorium kimia (suhu terkontrol), gudang (suhu terkontrol untuk cold storage dan cool room), kantor, kantin, ruang ganti dan ruang teknik. b. Black area Area ini disebut juga area kelas E. Ruangan ataupun area yang termasuk dalam kelas ini adalah koridor yang menghubungkan ruang ganti dengan area produksi, area staging bahan kemas dan ruang kemas sekunder. Setiap karyawan wajib mengenakan sepatu dan pakaian black area (dengan penutup kepala) c. Grey area Area ini disebut juga area kelas D. Ruangan ataupun area yang masuk dalam kelas ini adalah ruang produksi produk non steril, ruang pengemasan primer, ruang timbang, laboratorium mikrobiologi (ruang preparasi, ruang uji potensi dan inkubasi), ruang sampling di gudang. Setiap karyawan yang masuk ke area ini wajib mengenakan gowning(pakaian dan sepatu grey). Antara black area dan grey area dibatasi ruang ganti pakaian grey dan airlock. d. White area Area ini disebut juga area kelas C, B dan A (dibawah LAF). Ruangan yang masuk dalam area ini adalah ruangan yang digunakan untuk penimbangan bahan baku produksi steril, ruang mixing untuk produksi steril, background ruang filling, laboratorium mikrobiologi (ruang uji sterilitas). Setiap karyawan yang akan memasuki area ini wajib
23
mengenakan pakaian antistatik (pakaian dan sepatu yang tidak melepas partikel). Antara grey area dan white area dipisahkan oleh ruang ganti pakaian white dan airlock. Airlock berfungsi sebagai ruang penyangga antara 2 ruang dengan kelas kebersihan yang berbeda untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari ruangan dengan kelas kebersihan lebih rendah ke ruang dengan kelas kebersihan lebih tinggi. Berdasarkan CPOB, ruang diklasifikasikan menjadi kelas A, B, C, D dan E, dimana setiap kelas memiliki persyaratan jumlah partikel, jumlah mikroba, tekanan, kelembaban udara dan air change rate. Dalam pembuatan produk steril terdapat 4 kelas ruang bersih : a. Kelas A Zona ruangan untuk kegiatan yang beresiko tinggi, missal daerah pengisian, wadah, tutup karet, ampul dan vial terbuka, serta pengembangan (pelarutan) secara aseptic.Umumnya kondisi ini dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow) ditempat kerja. System udara laminar haruslah mengalirkan udara dengan kecepatan teratur dan rata – rata berkisar anatara 0,36 – 0,54 m/detik ( nilai acuan ) pada posisi kerja dalam ruang bersih. b. Kelas B Untuk pembuatan dan pengisisan seacara aseptic. Kelas ini merupakan lingkungan yang melatar belakangi zona kelas A c. Kelas C Merupakan koridor ruangan steril d. Kelas D Digunakan untuk pembuatan produk non steril seperti pembuatan tablet dan pengemasan primer. e. Kelas E Jarang digunakan
akan
tetapi
pada
beberapa
sumber
mengatakan bahwa kelas E disebut juga sebagai gudang. Syarat ruang produksi steril adalah sebagai berikut: 1. Bebas mikroorganisme aktif
24
2. Udara yang ada di dalam ruangan disaring dengan HEPA(Hight Particulate Air) filter 3. Tekanan positif (tekanan udara dalam ruanagn lebih besar dari udara di luar sehingga udara mengalir ke luar) 4. Semua saluran air haruslah terbuka dan mudah dibersihkan serta dihubungkan dengan drainase luar untuk mencegah masuknya cemaran mikrobiologi. 5. Suhu dan kelembaban ruangan dijaga agar keadaan nyaman. 6. Alur personil dan alur barang harus tersendiri. 2.4.4
Peralatan yang digunakan untuk proses Produksi Alat produksi adalah seperangkat instrument yang digunakan untuk
membuat, mengolah ataupun memodifikasi suatu bahan awal menjadi sediaan ruahan maupun sediaan jadi dengan fungsi dan standar tertentu. 1.
Autoklaf
Autoklaf adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat dan bahan yang digunakan dalam mikrobiologi menggunakan uap air panas bertekanan. Autoklaf juga disebut dengan sterilisasi basah. Peralatan yang diguanakan perlu disterilisasi agar pada saat kontak dengan produk, tidak menyebabkan kontaminasi. Sebelum digunakan otoklaf terlebih dahulu divalidasi untuk membuktikan bahwa otoklaf berfungsi dengan baik dan mampu menghasilkan material yang steril. Tekanan yang digunakan adalah 15 Psi atau sekitar 2 atm dangan suhu 121 °C (250 F) dalam waktu 15 menit.Jadi tekanan yang bekerja pada permukaan benda adalah 15 pon tiap inchi 2. Destilator WFI Sistem operasional mesin ini mulai dari awal sampai akhir menggunakan
25
“closed circuit” untuk menghindari kontaminasi atau kontak dengan udara sehingga memenuhi syarat GMP atau CPOTB. Alat laboratorium ini berfungsi untuk membuat air yang murni melalui proses penguapan dan pengembunan.
3. WFI Strong Tank Digunakan sebagai wadah untuk menampung hasil proses pembuatan WFI. Biasanya penempatan WFI Strong Tank berada pada suatu ruangan pengelolaan air dan terlindung dari sinar matahari langsung
4. Mixing Tank Alat pencampur cairan yang digunakan untuk sediaan steril dan pada bahan-bahan yang memerlukan perlakuan khusus. Dengan mixing tank zat yang akan dicampur terlindung dari kontaminan sebab berada di dalam wadah yang tertutup
26
5. pH Meter PH meter adalah sebuah alat elektronik yang berfungsi untuk mengukur pH (derajat keasaman atau kebasaan). Biasanya sebelum digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer.
6. Alat manual Digunakan untuk memproduksi sediaan farmasi dalam skala kecil misalnya mortir. Namun alat manual jarang digunakan dalam sediaan farmasi skala industri. Mungkin alat manual hanya digunakan untuk melakukan uji uji sediaan. 7. Alat ringan Digunakan untuk memproduksi sediaan farmasi dalam skala kecil misalnya labu ukur. Namun alat manual jarang digunakan dalam produksi sediaan farmasi skala industri. Mungkin alat ringan hanya digunakan untuk melakukan uji uji sediaan 8. Alat kaca Alat yang terbuat dari kaca seperti tabung reaksi, pipet tetes, dan gelas arloji. 9. Alat logam
27
Alat yang terbuat dari logam seperti anak timbang dan timbangan 10. Alat porselin Alat yang terbuat dari porselin seperti cawan porselin
2.5 Evaluasi 2.5.1
Uji Organoleptis Tujuan : Untuk mengetahui bentuk fisik dari suatu sediaan Prosedur : Uji organoleptis yang dilakukan meliputi uji warna dan bau yang dapat dilakukan secara kasat mata atau dapat dilihat dengan menggunakan panca indra secara langsung
2.5.2
Uji pH Tujuan : Untuk mengetahui berapa pH dalam suatu sediaan, apakah sudah sesuai dengan pH darah atau belum Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Dicelupkan kertas pH kedalam larutan
3.
Mendiamkannya beberapa saat hingga terjadi perubahan warna, kemudian membandingkan perubahan warna yang terjadi dengn warna indikator.
Standart : 7,4 (FI IV, 13) 2.5.3
Uji Kebocoran Tujuan : Untuk mengetahui apakah kemasan sediaan mengalami kebocoran atau tidak Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Diletakkan wadah sediaan secara terbalik diatas kertas dan didiamkan selama kurang lebih 1 menit
3.
Diamati apakah terjadi kebocoran yang ditandai dengan adanya tetesan yang keluar dari wadah sediaan.
Standart : Jika tidak keluar tetesan maka sediaan dinyatakan lolos uji kebocoran, jika keluar tetesan maka sediaan dinyatakan tidak lolos uji kebocoran
28
2.5.4
Uji Kejernihan Tujuan : Untuk mengetahui apakah sediaan sudah bersih dari partikel asing Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Ambil sedikit sediaan dan masukkan kedalam tabung
3.
Pengamatan dilakukan dibawah cahaya langsung untuk mengetahui adanya partikel asing didalam larutan tersebut
Standart : jika sediaan jernih dan bebas dari partikel asing 2.5.5
Uji Homogenitas Tujuan : Untuk mengetahui apakah bahan-bahan dalam sediaan sudah tercampur dan homogen atau belum Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Diamati sediaan tersebut, apakah ada bahan obat yang tidak larut
Standart : Apabila sediaan tersebut larut sempurna bisa dikatakan sediaan tersebut homogen, apabila sediaan tersebut tidak larut sempurna bisa dikatakan sediaan tersebut tidak homogen
29
BAB III FORMULASI 3.1 Formulasi (Martindale edisi 36, 1766)
R/ Ranitidin Aqua.pi.
50 mg ad
20 mL
Modifikasi Formulasi
R/ Ranitidin
25 mg
NaCl Aqua.pi.
q.s ad
10 mL
3.2 Alasan Pemilihan Bahan 1.
Zat Aktif (Ranitidine) Ranitidine yakni sebagai zat aktif dalam sediaan injeksi dan digunakan sebagai pemberi efek terapi.alasan pemilihan bahan tersebut karena dapat mengobati penyakit kelebihan asam lambung.
2.
Pengisotonis (NaCl)
30
NaCl yakni sebagai pengisotonis dalam sediaan injeksi, alasan pemilihan bahan tersebut karena sebagai bahan pembawa, agar larutan menjadi isotonis.secra esensial mempunyai konsentrasi garam yang sama seperti konsentrasi sel darah merah. 3.
Aqua Pro Injeksi Aqua Pro Injeksi yakni sebagai pelarut dalam sediaan injeksi. Alasan pemilihan bahan tersebut karena di gunakan untuk melarutkan zat aktif dan zat-zat tambahan.di gunakan Aqua Pro Injeksi sebagai pelarut karena Aqua Pro Injeksi bebas dari mikroba dan pirogen sehingga aman untuk di gunakan pada sediaan parenteral
3.3 Perhitungan 3.3.1
Bahan dilebihkan 10% 1. Ranitidin = 0,025 × 10% = 0,0025 + 0,025 = 0,0275 2. NaCl
q.s
3. API = ad 10mL × 10% = 1mL + 10 mL = 11mL 3.3.2
Perhitungan isotonis 1. Definisi Isotonis adalah suatu keadaan pada saat tekanan osmosis larutan obat sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh kita (darah, air mata) (ilmu resep, hal 203). 2. Perhitungan 𝑥 100 𝑚𝐿
X=
×
0,0275 𝑔 11 𝑚𝐿
100 𝑚𝐿 ×0,0275 𝑔 11𝑚𝐿
= 0,25 % b/v
Nilai E NaCl = 0,18 0,18 setara dengan 1g Rranitidin Jadi jumlah NaCl yang ekivalen untuk ranitidin 0,18 × 0,25 = 0,045 Sedangkan NaCl yang isotonis adalah 0,9 % atau 0,9 g dalam 100 mL
31
Maka dihitung berapa gram NaCl yang dibutuhkan 0,9 g - 0,045 g = 0,855g % b/v 11𝑚𝐿
Untuk 10 mL = 100 𝑚𝐿 × 0,855 g = 0,09405 g NaCl
3.3.3
Perhitungan Bahan
No
Nama Baham
1 Sediaan
6 Sediaan
1
Ranitidin
0.0275 (27,5 mg)
2
NaCl
0,09405 g (94,05 0,5643 g (564,3
3
API
0,165 g (165 mg)
mg)
mg)
ad 11 mL
ad 55 mL
3.4 Alat dan Bahan No 1.
Alat
Bahan
Beaker glass 100 mL (autoklaf, Ranitidin 121̊C selama 15 menit)
2.
Beaker glass 500 mL mL (autoklaf, NaCl 121̊C selama 15 menit)
3.
Batang pengaduk (Oven, 170- API 180’C dengan waktu yang lama 13 jam)
4.
Gelas ukur 100 mL mL (autoklaf, 121̊C selama 15 menit)
5.
Kaca arloji (Oven, 170-180’C dengan waktu 1-3 jam)
6.
Corong gelas (Oven, 170-180’C dengan waktu 1-3 jam)
32
7.
Kertas saring (Oven, 170-180’C dengan waktu 1-3 jam)
8.
Alumunium foil (Oven, 170-180’C dengan waktu 1-3 jam)
9.
Pipet
tetes
(Oven,
170-180’C
dengan waktu 1-3 jam) 10. Vial mL (autoklaf, 121̊C selama 15 menit)
3.5 Prosedur Kerja 1.
Memakai APD pada praktikan
2.
Disiapkan alat dan bahan
3.
Disemprot meja dengan alkohol 70% lap dengan kassa steril
4.
Kalibrasi vial sebanyak 11 mL sebanyak 6 vial
5.
Disterilisasi alat dan bahan
6.
Pembuatan API : karbon aktif 0,1 % + aquadest diapanaskan selama 5-6 menit sampai suhu 60̊ C
7.
Diambil API yang dibutuhkan kemudian masukkan ke dalam beaker glass dan tutup dengan alumunium foil
8.
Ditimbang ranitidin 165 mg dan NaCl 564,3 mg
9.
Campurkan zat aktif dan zat tambahan satu persatu dengan API sedikitsedikit sampai larut
10. Diambil kertas pH lalu celupkan kedalam sedikit sediaan untuk mengetahui apakah pH sediaan sudah sesuai dengan pH darah yaitu 7,4 11. Jika sediaan terlalu asam maka harus ditambahkan pendapar basa dan jika sediaan terlalu basa maka harus ditambahkan pendapar asam. 12. Setelah dicek pHnya disaring dengan kertas saring kemudian dimaskkan dalam beaker glass. Sebelum kertas saring digunakan dibasahi terlebih dahulu dengan sedikit API 13. Diukur sampai tanda kalibrasi 14. Dimasukkan dalam vial
33
15. Dipanaskan leher vial dengan api bunsen sampai kemerahan sambil diputar kontinyu 16. Lalu distrilkan dengan autoclav suhu 121̊ C 15 menit 17. Diberi label 3.6 Posedur Evaluasi 1.
Uji Organoleptis Prosedur : Uji organoleptis yang dilakukan meliputi uji warna dan bau yang dapat dilakukan secara kasat mata atau dapat dilihat dengan menggunakan panca indra secara langsung
2.
Uji pH Prosedur : 1. Disiapkan sediaan yang akan diuji 2. Dicelupkan kertas pH kedalam larutan 3. Mendiamkannya beberapa saat hingga terjadi perubahan warna, kemudian membandingkan perubahan warna yang terjadi dengn warna indikator.
3.
Uji Kebocoran Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Diletakkan wadah sediaan secara terbalik diatas kertas dan didiamkan selama kurang lebih 1 menit
3.
Diamati apakah terjadi kebocoran yang ditandai dengan adanya tetesan yang keluar dari wadah sediaan.
4.
Uji Kejernihan Prosedur : 1.
Disiapkan sediaan yang akan diuji
2.
Ambil sedikit sediaan dan masukkan kedalam tabung
3.
Pengamatan dilakukan dibawah cahaya langsung untuk mengetahui adanya partikel asing didalam larutan tersebut
5.
Uji Homogenitas Prosedur : 1. Disiapkan sediaan yang akan diuji
34
2. Diamati sediaan tersebut, apakah ada bahan obat yang tidak larut
35
DAFTAR PUSTAKA 1.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
2.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
3.
Sweetman, Sean C. 2009. Thirty-sixth edition ”MartindaleThe Complete Drug Reference”. RPS Publishing is the publishing organisation of the Royal Pharmaceutical Society of Great Britain
4.
Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi Keempat, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
5.
Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Andi
6.
BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.
7.
Muttaqin, Arif. dan Sari, Kumala. (2011). Gangguan gastrointestinal. Jakarta : Salemba Medika