• • • • • • • •
Illafin Saidi Lalu Muhammad Lukman Lalu Riath M. Raffi Ardian M. Irsyad Marini Aprilia Meda Susetha Meike Asniyanti
AKTUR MAXILLA DAN FRAKTUR MANDIBULA
FRAKTUR MANDIBULA Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Mandibula merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian yang lemah. Kejadian fraktur mandibula dan maksila menempati urutan terbanyak yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur Zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya rasa sakit, pembengkakan, nyeri tekan, maloklusi, patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arkus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang longgar dan krepitasi
ANATOMI MANDIBULA
FISIOLOGI MANDIBULA Gerakan mandibula dipengaruhi oleh empat pasang muskulus yang disebut otot-otot pengunyah yaitu: muskulus MASETER, TEMPORALIS, PTERIGOIDEUS LATERAL, dan PTERIGOIDEUS MEDIALIS. Pada waktu membuka mulut, yang berkontraksi adalah muskulus pterigoideus lateralis bagian inferior, disusul muskulus pterigoideus lateralis bagian superior saat membuka mulut lebih lebar. Sedangkan yang berperan untuk menutup mulut adalah muskulus temporalis dan maseter diperkuat lagi oleh muskulus pterigoideus medialis Gabungan tulang berbentuk L bekerja untuk mengunyah dengan bagian terkuat pada muskulus temporalis yang berinsersi disisi medial pada ujung prosesus koronoideus dan muskulus maseter yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibular Muskulus maseter bersama muskulus temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses menutup mulut. Muskulus pterigoideus lateral berinsersi pada bagian depan kapsul sendi temporo-mandibular, diskus artikularis berperan untuk membuka mandibula. Fungsi muskulus pterigoideus sangat penting dalam proses penyembuhan pada fraktur intrakapsular
KLASIFIKASI FRAKTUR MANDIBULA 1. Insiden fraktur mandibula sesuai dengan lokasi anatominya; Prosesus kondiloideus (29,1%), Angulus mandibula (24%), Simfisis mandibula (22%), Korpus mandibula (16%), Alveolus (3,1%), Ramus (1,7%), Prosesus koronoideus (1,3%).
2. Berdasar ada tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur; kelas I: gigi ada pada kedua bagian garis fraktur, kelas II: gigi hanya ada pada satu bagian dari garis fraktur, kelas III: tidak ada gigi pada kedua fragmen, mungkin gigi sebelumnya memang sudah tidak ada (edentulous) atau gigi hilang saat terjadi trauma.
3. Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan: horizontal dan vertical yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable. Kriteria favourable dan unfavourable berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya muskulus yang bekerja pada fragmen tersebut. Disebut favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk mereduksi tulang waktu reposisi, sedangkan unfavourable bila garis fraktur menyulitkan untuk reposisi.
A. Horizontal favourable fracture B. Horizontal unfavourable fracture C. Vertical favourable fracture D. Vertical unfavourable fracture
4. Berdasar beratnya derajat fraktur, dibagi menjadi fraktur simple atau closed yaitu tanpa adanya hubungan dengan dunia luar dan tidak ada diskontinuitas dari jaringan sekitar fraktur. Fraktur compound atau open yaitu fraktur berhubungan dengan dunia luar yang melibatkan kulit, mukosa atau membrane periodontal. 5. Berdasar tipe fraktur dibagi menjadi fraktur greenstick atau incomplete; fraktur yang tidak sempurna dimana pada satu sisi dari tulang mengalami fraktur sedangkan pada sisi yang lain tulang masih terikat. Fraktur greenstick biasanya didapatkan pada anak-anak karena periosteum tebal. Fraktur tunggal; fraktur hanya pada satu tempat saja. Fraktur multipel; fraktur yang terjadi pada dua tempat atau lebih, umumnya bilateral. Fraktur kominutif; terdapat adanya fragmen yang kecil bisa berupa fraktur simple atau compound. Selain itu terdapat juga fraktur patologis; fraktur yang terjadi akibat proses metastase ke tulang, impacted fraktur; fraktur dengan salah satu fragmen fraktur di dalam fragmen fraktur yang lain. Fraktur atrophic; adalah fraktur spontan yang terjadi pada tulang yang atrofi seperti pada rahang yang tidak bergigi. Indirect fraktur; fraktur yang terjadi jauh dari lokasi trauma.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK FRAKTUR MANDIBULA Pemeriksaan penderita dengan kecurigaan fraktur mandibula harus mengikuti kaidah ATLS (Advandce Trauma Live Suport), terdiri dari primary survey yang meliputi pemeriksaan airway, breathing, circulation dan disability. Harus diperhatikan kemungkinan obstruksi jalan nafas akibat fraktur mandibula itu sendiri ataupun akibat perdarahan intraoral yang menyebabkan aspirasi darah. Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan secondary survey meliputi: 1. Anamnesis, pada anamnesis keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibula dicurigai dari adanya nyeri, pembengkakan oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan dari soket gigi, gigi yang fraktur atau tanggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah. Selain itu keluhan biasanya disertai riwayat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit patologis.
2. Pemeriksaan klinis meliputi; A. Pemeriksaan klinis pasien secara umum: pada umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui keberadaannya pada primary survey atau secondary survey. Pemeriksaan gangguan jalan nafas akibat trauma. Penyumbatan dapat disebabkan oleh terjatuhnya lidah ke belakang, tertutupnya saluran nafas akibat adanya lendir, darah, muntahan dan benda asing. B. Pemeriksaan lokal fraktur mandibula, antara; a. Pemeriksaan klinis ekstraoral, tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan pembengkakan. Sering terjadi laserasi jaringan lunak dan terlihat jelas deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen pasien tidak bisa menutup geligi anterior dan mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari mulut pasien. Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula. Bagianbagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. b. Pemeriksaan klinis intraoral, setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan dari mulut. Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu patognomonik fraktur mandibular.
3. Pemeriksaan penunjang; A. Foto Rontgen, untuk mengetahui pola fraktur yang terjadi. B. Foto Eisler, untuk pencitraan mandibula bagian ramus dan korpus, dibuat sisi kanan atau kiri sesuai kebutuhan. C. Town′s view; untuk melihat proyeksi tulang maksila, zigoma dan mandibula. D. Foto Reverse Town′s view; untuk melihat adanya fraktur neck condilus mandibula terutama yang displaced ke medial dan bisa juga untuk melihat dinding lateral dari maksila. E. Foto Panoramic; disebut juga pantomografi atau rotational radiography, untuk mengetahui kondisi mandibular mulai dari kondilus kanan sampai kondilus kiri beserta posisi geliginya termasuk oklusi terhadap gigi maksila. Keuntungan panoramic adalah; cakupan anatomis yang luas, dosis radiasi yang rendah, pemeriksaan cukup nyaman, bisa dilakukan pada penderita trismus. Kerugiannya tidak bisa menunjukkan gambaran anatomis yang jelas daerah periapikal sebagaimana yang dihasilkan foto intraoral. F. Temporomandibular Joint (TMJ); pada penderita trauma langsung daerah dagu sering didapatkan kondisi pada dagu baik, akan tetapi terjadi fraktur pada daerah kondilus mandibula sehingga penderita mengeluh nyeri daerah TMJ bila membuka mulut, trismus kadang sedikit maloklusi. Pada pembuatan foto TMJ standard biasanya dilakukan proyeksi lateral buka mulut atau Parma dan proyeksi lateral tutup mulut biasa atau Schuller. G. Orbitocondylar view; untuk melihat TMJ pada saat membuka mulut lebar, menunjukkan
CT Scan koronal fraktur bilateral condylar
PENATALAKSANAAN MEDIS 1. Langkah awal bersifat kedaruratan seperti jalan nafas atau airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah termasuk penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi resiko cedera otak. 2. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum dibagi menjadi dua metoda yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadang-kadang dikombinasi. a. Reposisi tertutup atau konservatif, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. b. Reposisi terbuka bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut wire atau plate osteosynthesis.
REPOSISI TERTUTUP (CLOSED REDUCTION)
3. Pendekatan ketiga adalah modifikasi dari teknik terbuka yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik sehingga daerah yang mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi yang baik. Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu, penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin fixation. Indikasi untuk closed reduction antara lain: a. Fraktur komunitif selama periosteum masih utuh sehingga dapat diharapkan kesembuhan tulang, b. Fraktur dengan kerusakan soft tissue yang cukup berat dimana rekontruksi soft tissue dapat digunakan rotation flap dan free flap bila luka tersebut tidak terlalu besar. c. Edentulous mandibula, d. Fraktur pada anak-anak, e. Fraktur condylus.
REPOSISI TERTUTUP (CLOSED REDUCTION)
Tehnik yang digunakan pada terapi fraktur mandibula secara closed reduction adalah fiksasi intermaksiler. Fiksasi ini dipertahankan 3-4 minggu pada fraktur daerah condylus dan 4-6 minggu pada daerah lain dari mandibula. Keuntungan dari reposisi tertutup adalah lebih efisien, angka komplikasi lebih rendah dan waktu operasi yang lebih singkat. Tehnik ini dapat dikerjakan di tingkat poliklinis. Kerugiannya meliputi fiksasi yang lama, temporomandibular joint dan masalah airway.
gangguan
nutrisi,
resiko
ankilosis
TMJ
atau
Beberapa teknik fiksasi intermaksiler antara lain; a. Teknik eyelet atau ivy loop, penempatan ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara dua gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi maksilomandibular (MMF) antara loop ivy. Keuntungan teknik ini, bahan mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris. Kerugiannya kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi intermaksiler b. Teknik arch bar, indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila dan didapatkan fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris. Keuntungan penggunaan arch bar adalah mudah didapat, biaya murah, mudah adaptasi dan aplikasinya. Kerugiannya ialah menyebabkan keradangan pada ginggiva dan jaringan eriodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas.
REPOSISI TERTUTUP (CLOSED REDUCTION)
REPOSISI TERBUKA (OPEN REDUCTION)
Reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang bawah dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis). Indikasi untuk reposisi terbuka (open reduction): a. Displaced unfavourable fraktur melalui angulus, b. Displaced unfavourable fraktur dari corpus atau parasymphysis, c. Multiple fraktur tulang wajah, d. Fraktur midface disertai displaced fraktur condylus bilateral. Tehnik operasi open reduction merupakan jenis operasi bersih kontaminasi, memerlukan pembiusan umum. Keuntungan dari open reduction antara lain: mobilisasi lebih dini dan reaproksimasi fragmen tulang yang lebih baik. Kerugiannya adalah biaya lebih mahal dan diperlukan ruang operasi dan pembiusan untuk tindakannya. Setelah melakukan perawatan fraktur mandibula dengan reposisi, fiksasi dan immobilisasi dilajutkan dengan perawatan; pemeliharaan kesehatan umum meliputi; a. pemberian antibiotika, analgetika, roborantia dan makanan yang bergizi, b. menyelenggarakan hygiene mulut, c. pemeliharaan alat fisasi, d. menyelenggarakan fisioterapi. Tindak lanjut setelah dilakukan operasi adalah dengan memberikan analgetika serta memberikan antibiotik spektrum luas pada pasien fraktur terbuka dan dievaluasi kebutuhan nutrisi, pantau intermaxilla fixation selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire dibuka, evaluasi dengan foto panoramic untuk memastikan fraktur telah union.
REPOSISI TERBUKA (OPEN REDUCTION)
KOMPLIKASI FRAKTUR MANDIBULA
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan fraktur mandibula umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah infeksi atau osteomyelitis yang menyebabkan komplikasi lainnya. Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur, baik itu malunion ataupun nonunion. Keluhan yang diberikan dapat berupa rasa sakit dan tidak nyaman yang berkepanjangan pada sendi rahang atau temporomandibular joint oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otototot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri. Ada beberapa faktor resiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi terjadi malunion ataupun nonunion. Faktor resiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetris wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
FRAKTUR MAXILLA MENURUT SJAMSUHIDAJAT (2010)
Fraktur maxilla adalah suatu trauma pada fisik yang mengenai jaringan lunak dan keras pada wajah, yang terdiri cidera pada wajah, mulut dan rahang. Trauma pada tulang rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan komplikasi yang lebih parah, seperti pada pasien dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi dan gigi tiruan.
ANATOMI FISIOLOGI MAXILLA
Tulang maksila adalah tulang wajah primitif yang akan membagi wajah menjadi dua bagian yaitu orbita dan tulang rahang yang ada dibawahnya. Tulang maksila menyokong gigi pada rahang atas, namun pada saat pengunyahan berlangsung, maksila tidak bergerak seperti madibula. Tulang maksila terdiri atas dua buah maksila yang menyatu di tengah yang terdiri atas 4 prosesus dan badan maksila. Badan maksila terdiri dari 4 permukaan utama yaitu: 1. Permukaan anterior (fasial), akan membentuk pipi. Terdapat 2 fosa yaitu fosa insisivus (lubang dangkal yang terletak antara soket gigi insisivus dan kavum nasi), dan fosa kanina (lubang dalam bagian belakang, yang ditandai oleh foramen infraorbitalis di bagian atas, tepi alveolaris di bagian bawah, dan prosesus zigo matikum di bagian depan). 2. Permukaan posterior, akan membentuk dinding anterior dari fosa infratemporal. Disini juga terdapat sebuah penonjolan, yang sering disebut tuberositas maksillaris. 3. Permukaan medial, akan membentuk dinding lateral kavum nasi. Ciri penting yang ada disini adalah groove lacrimalis. yaitu groove vertikal yang terdapat didepan sinus maksila. 4. Permukaan Superior, akan membentuk dinding bawah orbita.
Tulang maksila terdiri atas 4 prosesus yaitu: 1. Prosesus frontalis Terletak pada bagian atas maksila berada diantara tulang hidung dengan tulang lakrimalis. 2. Prosesus zigomatikus Terletak pada bagian lateral maksila. 3. Prosesus alveolaris Terletak pada bagian inferior badan maksila, yang akan menyokong gigi geligi pada soketnya. 4. Prosesus palatines Terletak pada bagian horizontal dari permukaan mesial dari maksila dimana badan maksila akan bertemu dengan processus alveolaris.
KLASIFIKASI FRAKTUR MAXILLA
Fraktur Le Fort I, dapat terjadi sebagai kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur–fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari. Fraktur Le Fort II, lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I. Fraktur Le Fort III, Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.
Le Fort I
Le Fort II
Le Fort III
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK FRAKTUR MAXILLA
Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan Fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral. Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan. Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihatpembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
PENATALAKSANAAN FRAKTUR MAXILLA Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.