BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Fluor albus (leukorea, keputihan) merupakan gejala keluarnya cairan dari
vagina selain darah haid. Keputihan (fluor albus) ada yang fisiologik (normal) danada yang patologik (tidak normal). Keputihan tidak merupakan penyakit melainkan salah satu tanda dan gejala dari suatu penyakit organ reproduksi wanita3. Fluor
albus
dapat
dibedakanyang
fisiologik
dan
patologik.Lebih
darisepertiga pasien yang berobat mengeluh adanya fluor albus dan lebih dari 80%diantaranya adalah yang patologis3. Fluor albus yang patologis diakibatkan oleh infeksi alat reproduksi bagian bawah atau pada daerah yang lebihproksimal, yang bisa disebabkan oleh infeksi Gonokokus, Trikomonas, Klamidia, Kandida1,2 Penularannya dapat terjadi melalui hubungan seksual.Fluor albus juga dapat disebabkan oleh neoplasma/keganasan, benda asing,menopause, dan erosi. Fluor albus fisiologis dapat terjadi pada bayi baru lahir,saat menars, saat ovulasi, karena rangsang seksual, kehamilan, mood/stresspenggunaan kontrasepsi hormonal, pembilasan vagina yang rutin3 Penelitian secara epidemiologi, fluor albus patologis dapat menyerang wanita mulai dari usia muda, usia reproduksi sehat maupun usia tua dan tidak mengenal tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya, meskipun kasus inilebih banyak dijumpai pada wanita dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomiyang rendah. Fluor albus juga sering merupakan komplikasi yang dikeluhkan oleh penderita DM dan pemakai kortikosteroid atau antibiotik dalam waktu lama.Masalah fluor albus ini bagi wanita terasa sangat mengganggu baik dalamkehidupan sehari-hari. Etiologi
fluor
albus
sampai
sekarang
masih
sangat
bervariasi
sehinggadisebut multifaktorial. Fluor albus dapat dijumpai padawanita dengan diagnosa vulvitis, vagitis, servisitis, endometritis, dan adneksitis.Mikroorganisme patologis dapat memasuki traktus genitalia wanita denganberbagai cara, misalnya
1
seperti senggama, trauma atau perlukaan pada vagina danserviks, benda asing, alat-alat pemeriksaan yang tidak steril, pada saat persalinandan abortus4
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Fluor albus (white discharge, leukorea, keputihan) adalah bukanlah suatu
penyakit melainkan gejala berupa cairan yang dikeluarkan dari alat-alat genital yang berlebihan dan bukan merupakan darah3. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolin. Selain itu sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada vagina yang normal1,3. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuhuntuk membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh atau berwarna kekuningan ketika mengering pada pakaian. Sekret ini non-irritan, tidak mengganggu, tidak terdapat darah, dan memiliki pH 3,5-4,5. Flora normal vagina meliputi Corinebacterium, Bacteroides, Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc, Mycoplasma dan Candida spp. Lingkungan dengan pH asam memberikan fungsi perlindungan yang dihasilkan oleh Lactobacillus Doderlin4. Fluor albus merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada penderita ginekologik. Dapat dibedakan antara fluor albus yang fisiologik dan yang patologik. Fluor albus fisiologik terdiri atas cairan yang kadang-kadang berupa mukus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang sedang pada fluor albus patologik terdapat banyak leukosit4. Penyebab paling penting dari fluor albus patologik ialah infeksi. Disini cairan mengandung banyak leukosit dan warnanya agak kekuning-kuningan sampai hijau, seringkali lebih kental dan berbau. Radang vulva, vagina, serviks dan kavum uteri dapat menyebabkan fluor albus patologik pada adneksitis gejala tersebut dapat pula timbul. Fluor albus juga ditemukan pada neoplasma jinak atau ganas, apabila tumor tersebut sebagian atau seluruhnya memasuki lumen saluran alat-alat genital3,4
3
2.2
Epidemiologi Sekret vagina sering tampak sebagai suatu gejala genital. Proporsi
perempuan yang mengalami fluor albus bervariasi antara 1 -15 % dan hampir seluruhnya memiliki aktifitas seksual yang aktif, tetapi jika merupakan suatu gejala penyakit dapat terjadi pada semua umur. Seringkali fluor albus merupakan indikasi suatu vaginitis, lebih jarang merupakan indikasi dari servisitis tetapi kadang kedua-duanya muncul bersamaan3. Infeksi yang sering menyebabkan vaginitis adalah Trikomoniasis, Vaginosis bacterial, dan Kandidiasis. Sering penyebab noninfeksi dari vaginitis meliputi atrofi vagina, alergi atau iritasi bahan kimia. Servisitis sendiri disebabkan oleh Gonore dan Klamidia. Prevalensi dan penyebab vaginitis masih belum pasti karena sering didiagnosis dan diobati sendiri. Selain itu vaginitis seringkali asimptomatis dan dapat disebabkan lebih dari satu penyebab3
2.3
Etiologi Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang
dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri patogen. Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus (Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,84,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain. Fluor albus fisiologik pada perempuan normalnya hanya ditemukan pada daerah porsio vagina. Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral dan anterior vagina. Fluor albus fisiologik ditemukan pada3: a) Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari: disini sebabnya ialah pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin. b) Wanita dewasa apabila dirangsang sebelum dan pada waktu koitus, disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina. c) Ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi lebih encer. d) Kehamilan
4
e) Stres, kelelahan f) Pemakaian Kontrasepsi Hormonal g) Pengeluaran sekret dari kelenjar serviks uteri juga bertambah pada wanitadengan penyakit menahun, dan pada wanita dengan ektropion porsionisuteri. Sedangkan fluor albus abnormal (patologik) dapat disebabkan oleh: 1. Infeksi a) Bakteri : Gardanerrella vaginalis, Chlamidia trachomatis, Gonococcus b) Jamur : Candida albicans c) Parasit : Trichomonas vaginalis 2. Iritasi3 : a. Sperma, pelicin, kondom b. Sabun cuci dan pelembut pakaian c. Deodorant dan sabun d. Cairan antiseptic untuk mandi. e. Pembersih vagina. f. Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat 3. Tumor atau jaringan abnormal lain Tumor
atau
akibatgangguan
kanker
akan
menyebabkan
pertumbuhan
sel
fluor
normal
albus yang
patologis berlebihan
sehinggamenyebabkan sel bertumbuh sangat cepat secara abnormal dan mudahrusak, akibatnya terjadi pembusukan dan perdarahan akibat pecahnyapembuluh darah yang bertambah untuk memberikan makanan dan O2 padasel tumor atau kanker tersebut. Pada keadaan seperti ini akan terjadi pengeluaran cairan yangbanyak dan berbau busuk akibat terjadinya proses pembusukan tersebutdan sering kali disertai adanya darah yang tidak segar3. 4. Benda asing Adanya benda asing seperti tertinggalnya kondom atau bendatertentu yang dipakai sewaktu senggama, adanya cincin pesarium yangdigunakan wanita dengan prolapsus uteri dapat merangsang pengeluarancaian vagina secara berlebihan. Jika rangsangan ini menimbulkan lukaakan sangat mungkin
5
terjadi infeksi penyerta dari flora normal yangberada dalam vagina sehingga timbul fluor albus3,4. Berikut adalah penyakit menular seksual : 2.4 Bacterial Vaginosis 2.4.1 Etiologi Penyebab terjadinya BV adalah berkurangnya Lactobacillus spp. sebagai flora normal penghasil Hidrogen peroksida (H2O2) dan digantikan oleh bakteri anaerob seperti Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominus, Bacteroides spp., dan lain-lain. Hal itu menyebabkan penurunan konsentrasi H2O2 yang umumnya ditandai dengan produksi duh tubuh vagina yang banyak, berwarna abu-abu hingga kuning, tipis, homogen, berbau amis, dan terdapat peningkatan pH vagina.3 Infeksi ini dapat timbul dan berulang secara spontan, dapat juga berkembang menjadi penyakit kronis.Gardnerella vaginalis dikenal sebagai patogen kunci BV.4 Tabel 2.1 Species normal dan abnormal flora
(Sumber : Truter, I. and Michael Graz, 2013, Review Bacterial vaginosis: Literature review of treatment options with specific emphasis on non-antibiotic treatment, African Journal of Pharmacy and Pharmacology, Vol. 7(48), pp. 3060-3067.)
Gardnerella vaginalis merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tergolong anaeorob fakultatif. Bakteri ini tidak mempunyai kapsul dan tidak bergerak. Produk akhir utama pada fermentasi bakteri ini adalah asam asetat, beberapa menghasilkan asam laktat dan asam format. Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin. Gardnerella vaginalis dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan ber-pH tinggi.5 6
Gambar 2.1 Gardnerella vaginalis (Sumber : Dept. Medical Microbiology and Infectious Disease, University of Rotterdam)
Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya BV antara lain berganti pasangan seks, usia pertama melakukan hubungan seksual terlalu muda, douching (menyemprot vagina dengan air, baking soda, cuka, pewangi, dan antiseptik), merokok, dan berkurangnya flora normal vagina. Belum ada bukti kuat yang membuktikan BV sebagai penyakit infeksi menular seksual, tapi secara epidemiologi penyakit menular seksual dapat meningkatkan angka kejadiannya. Pengguna AKDR juga memiliki resiko yang besar untuk terkena BV.4 Secara umum diketahui bahwa Lactobacillus spp. memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan dari mikroorganisme patogen di vagina. Estrogen dan Lactobacillus spp. dibutuhkan untuk mencapai pH vagina optimal 4,0 sampai 4,5. Setelah pubertas estrogen mempengaruhi pengendapan
glikogen
dalam
sel
epitel
vagina,
yang
kemudian
dimetabolisme oleh sel epitel vagina menjadi glukosa. Lactobacillus spp. menghasilkan asam laktat dari glukosa, menjaga vagina pada pH asam. Beberapa spesies Lactobacillus menghasilkan H2O2 yang beracun bagi berbagai mikroorganisme. Oleh karena itu, Bacterial vaginosis ditandai dengan perubahan ekosistem Lactobacillus spp. yang normalnya asam menjadi lingkungan vagina yang didominasi oleh flora bakteri anaerobik campuran dengan adanya peningkatan pH.4
7
Etiologi kompleks BV adalah rangkaian perubahan flora vagina, dan bukan infeksi patogen tunggal dan bersamaan dengan hilangnya mikroflora vagina asli Lactobacillus. Perkembangan lingkungan yang lebih anaerobik menghambat pertumbuhan Lactobacillus.Namun,belum diketahui apakah hilangnya Lactobacilli mendahului infeksi BV atau merupakan hasil infeksi. Pertumbuhan berlebihan bakteri anaerob fakultatif dikaitkan dengan peningkatan
produksi
protease
khususnya
karboksipeptidase
yang
menyebabkan pemecahan peptida menjadi amina yang di lingkungan pH tinggi dapat menjadi tidak stabil. Awalnya diyakini bahwa peradangan tidak ada selama BV kemudian ditunjukkan bahwa kadar IL-1β, TNF-α, IL-6 dan Il-8 pada tahap intermediate(antara flora normal dan BV) dan BV dapat sama,tapi seringkali lebih tinggi daripada keadaan normal.4 Kekambuhan sering terjadi setelah perawatan. Kekambuhan BV umumnya didefinisikan sebagai tiga kali atau lebih terbukti adanya BV dalam 12 bulan, secara klinis berdasarkan kriteria Amsel atau mikroskop. Diduga bahwa BV berulang pada saat menstruasi ketika tingkat estrogen rendah dan pH vagina lebih tinggi dari normal. Wanita yang mengalami kekambuhan awal cenderung masih mengeluhkan kelainan abnormal atau, jika asimtomatik, terus memiliki kelainan yang signifikan pada flora vagina. 3,5
2.4.2
Patogenesis Bacterial Vaginosis (BV) terjadi karena menurun atau menghilangnya Lactobacillus spp. Bakteri ini bersifat protektif pada vagina. Species tertentu lactobacillus menghasilkan H2O2 yang secara in vitro bersifat toxic terhadap berbagai jenis virus termasuk HIV, begitu pun terhadap bakteri. Species ini hidup di tubuh kurang lebih 42-74%. Lactobacillus spp. memproduksi asam laktat dari glikogen, mengatur kadar pH vagina. Kondisi asam mencegah pertumbuhan bakteri lainnya yang dapat menjadi patogen. Jika jumlah Lactobacillus spp. kurang, maka terjadi peningkatan pertumbuhan bakteri patogen, seperti Gardnerella vaginalis, Bacterioides spp., Mycoplasma hominis, dan lain-lain.
8
Gambar 2.2 Gardnerella vaginalis sebagai bakteri patogen (Sumber : Muzny, CA. and Jane RS., 2016, Pathogenesis of Bacterial Vaginosis : Discussion of Current Hypotheses, Journal of Infectious Disease, JID 2016:214 (Suppl 1), pp. S1-S5.)
Antara Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob membentuk ikatan simbiosis. Dari simbiosis ini terjadi perubahan asam amino menjadi amin sehingga pH sekret vagina naik. Lingkungan yang lebih basa ini menyebabkan pertumbuhan Gardnerella vaginalis meningkat. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan epitel sehingga duh tubuh yang keluar dari vagina berbau. Bakteri-bakteri anaerob lainnya dapat menghasilkan enzim B-laktamase. Hal ini menyebabkan penggunaan tetrasiklin kurang efektif untuk BV, karena ada resistensi.6
9
Gardnerella vaginalis
pH meningkat
Asam amino
Kuman-kuman anaerob +bakteri vagina fakultatif
Degenerasi sel
Sel epitel vagina
Pelepasan
Amin
Bau
Duh tubuh vagina
Gambar 2.3 Skema Patogenesis BV (Sumber : Judanarso, Jubianto, 2010, Vaginosis Bakterial, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm. 385-391.)
2.4.3 Manifestasi Klinis Bacterial Vaginosis kadang muncul secara asimptomatis, yaitu sekitar 50% kejadian.1,4,6Gejala yang dikeluhkan pasien adalah keputihan encer homogen, banyak, berbau amis, yang dapat semakin parah saat melakukan hubungan seksual. Iritasi pada vulva jarang terjadi. Keluhan yang paling mengganggu adalah baunya.6,9 Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar dan seperlima timbul kemerahan serta edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi. Kalau pun ada gejala demikian, biasanya disebabkan oleh penyakit lain.2,3 Pada pemeriksaan, sangat khas adanya duh tubuh vagina yang banyak, berwarna abu-abu homogen, viskositas rendah atau normal, berbau, dan jarang berbusa. Duh tubuh melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kilauan yang difus, pH sekret vagina berkisar antara 4,5-
10
5,5. Gejala peradangan umum tidak ada. Terdapat eritema pada vagina atau vulva, atau dapat pula petekie pada dinding vagina. Pada pemeriksaan kolposkopi tidak terlihat dilatasi pembuluh darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah pada dinding vagina. Gambaran serviks normal.6
Gambar 2.4 Discharge BV 2.4.4
Diagnosis Amsel et al. memperkenalkan kriteria penegakan diagnosis BV pada tahun 1983 dan sampai sekarang dipakai sebagai gold standard. Kriteria tersebut tersaji dalam tabel 1.2.1 Tabel 2.2 Kriteria Amsel
(Sumber : Mohammadzadeh F. et al., 2015, Diagnostic Value of Amsel's Clinical Criteria for Diagnosis of Bacterial Vaginosis, Global Journal of Health Science; Vol. 7, No. 3; pp. 8-114.)
Penelitian yang dilakukan oleh Mohammadzadeh, et al. tahun 2015 menyebutkan bahwa sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan keakuratan Kriteria Amsel berturut-turut adalah 91%, 91%, 86%, 94%, dan 91%. Selain itu, hasil pemeriksaan penunjang berupa adanya
11
clue cells di sediaan basah dan whiff test memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi juga, yaitu 97,6% dan 85,7%.1 Clue cells adalah sel epitel squamous vagina yang ditempeli oleh bakteri berbentuk coccobacilli, menyebabkan bagian tepi epitel terlihat kabur dibandingkan keadaan normal.4,6 Pada pemeriksaan mikroskop dapat pula terlihat penurunan jumlah sel PMN limfosit, yaitu < 1 per sel epitel squamous.4
Gambar 2.5 Clue Cell Selain kriteria Amsel, ada pula Nugent Scoring yang dikonfirmasi melalui pengecatan Gram, kemudian menghitung jumlah normal flora, dan bakteri patogen per lapang pandang. Interpretasinya adalah sebagai berikut : 0-3 = negatif 4-6 = intermediate > 7 = Bacterial Vaginosis Metode ini memakan banyak waktu dan butuh keterampilan pemeriksa, sehingga jarang digunakan.4 Pada pemeriksaan pH vagina yang mengalami bakterial vaginosis adalah 4,7-5,7 (Normal : 3-4,5)
12
2.4.5
Tata laksana Medika Mentosa
1. Metronidazol 2x500mg PO selama 7 hari atau 2 gram PO dosis tunggal 2. Alternatif: Metronidazol gel 0,75% - 1 aplikator (5gr) intravaginal 2x sehari selama 5 hari 3. Klindamisin krim 2% - 1 aplikator (5gr) intravaginal sebelum tisur selama 7 hari 4. Klindamisin 2x300 mg PO selama 7 hari
Gambar 2.6 Treatment of Bacterial Vaginosis
13
2.5 Trichomoniasis Vaginalis 2.5.1 Etiologi Trikomoniasis adalah peyakit yang disebabkan oleh T. Vaginalis yang merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh protozoa parasite, yang menginfeksi vagina epitel uretra, dan mengakibatkan mikroulserasi. Pada wanita organisme ini mungkin berada di vagina, uretra, cervix, kelenjar bartholin, skene glnds dan vesika urinaria. Sedangkan pada laki-laki organisme ini banyak ditemukan di genitalis eksterna, anterior uretra, epididymis, prostate, dan cairan semen, masa inkubasi sebelum infeksi yang simtomatik biasanya antara 4-28 hari. 15,16 Trichomonas vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang.Mempunyai membran undulans yang pendek, tidak mencapai dari setengah badannya. Pada sediaan basah mudah terlihat karena gerakan yang terhentak-hentak. Membentuk koloni trofozoit pada permukaan sel epitel vagina dan uretra pada wanita; uretra, kelenjar prostat dan vesikula seminalis pada pria. Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50°C akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada suhu 0°C dapat bertahan sampai 5 hari. Cepat mati bila mengering, terkena sinar matahari, dan terpapar air selama 35-40 menit.16,17 2.5.2
Patogenesis Tricomonas vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Intensitas infeksi, status pH, fisiologis permukaan vagina dan genitourinaria lain serta floral bakteri yang menyertai merupakan faktor yang mempengaruhi patogenitas. Masa tunas rata-rata 4-3 minggu. Organisme tidak bertahan hidup dalam keasaman vagina normal yaitu pada pH 3,8-4,4. 17,18
14
T. vaginalis masuk kedalam vagina melalui hubungan seksual, maupun kontaminan air sungai, yang kemudian menyerang epitel squamosa vagina dan mulai bermultiplikasi secara aktif. Hal ini mengyebabkan suplai glikogen untuk kuman lactobacillus menjadi kurang bahkan tidak ada sama sekali. Dan diketahui secara invitro parasite trikomonas ini memakan dan membunuh
lactobacillus
dan
bakteri
lainnya.
Akibatnya
jumlah
lactobacillus menjadi sedikit dan dapat hilang sehingga produksi asam laktat akan semakin menurun. Akibat kondisi ini, pH vagina akan meningkat antara 5,0-5,5 pada suasana pH seperti ini selain Trichomonas vaginalis berkembang semakin cepat, akan memungkinkan mikroorganisme pathogen lainnya seperti bakteri dan jamur. Sehingga pada infeksi trikomoniasis sering dijumpai bersamaan dengan infeksi mikroorganisme pathogen lainnya pada vagina Trichomonas vaginalis menunjukan orgsnisme ini memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel target dengan kontak langsung
tanpa
menghasilkan
harus
suatu
melalui
faktor
proses
pendeteksi
fagositosis. sel
sehingga
Organisme
ini
menyebabkan
kehancuran sel sehingga epitel vagina mengelupas.17,18. 2.5.3 Gejala klinis Pada wanita yang terinfeksi biasanya mengeluhkan keputihan berbau busuk, keputihan berwarna kuning-hijau, gatal dan berwarna kemerahan, dyspareunia, rasa tidak nyaman diperut bagian bawah atau susah kencing. Infeksi bisa terjadi pada wanita seksual aktif dan lakilaki. Pada laki-laki biasanya asimtomatis namun kadang didapatkan uretal discharge adan rasa terbakar pada sistem urinary. Baik laki-laki maupun perempuan bisa memungkinkan gejala asimtomatik karier. Bayi baru lahir biasanya terinfeksi dari jalan lahir ibunya15,16.
15
Gambar 2.7 Strawberry Cervix
Pada wanita sering tidak menunjukkan keluhan maupun gejala sama sekali. Bila ada keluhan biasanya berupa duh tubuh vaginal yang banyak dan berbau. Biasanya penderita datang dengan keluhan gatal pada daerah kemaluan dan gejala keputihan Pada pemeriksaan fisik, bercak-bercak perdarahan mungkin bisa dilihat pada dinding vagina dan cervix. Keadaan ini biasanya disebut colpitis macularis atau strawberry cervix, ini merupakan tanda spesifik pada tricomoniasis18.
Tabel 2.3. Tabel presentase munculnya gejala klinis pada wanita 18
16
2.5.3
Diagnosis Pada pemeriksaan laboratorium, dengan pemeriksaan pH vagina yang
mengalami trichomoniasis vaginalis adalah pH > 5,00. Pada pemeriksaan basah, Trikomonas vaginalis akan terlihat jelas dengan NaCl 0.9% sebagai parasit berbentuk lonjong dengan flagelanya dan gerakannya yang cepat. Tes sniff dapat positif.
Gambar 2.8 Trichomoniasis Vaginalis
2.5.4
Tata laksana Medikamentosa
1.Metronidazol 2x500 mg PO selama 7 hari atau 2 gram PO dosis tunggal 2.Pasangan seksual harus diobati
Gambar 2.9 Treatment Of Trichomoniasis
17
2.6 Gonorrhea 2.6.1 Etiologi Cairan yang keluar dari vagina pada infeksi ini yang lebih dikenal dengan nama gonorrhea ini berwarna kekuningan yang sebetulnya merupakan nanah yang terdiri dari sel darah putih yang mengandung Neisseria gonorrhea berbentuk pasangan dua-dua seperti biji kopi pada sitoplasma sel.Gambaran tersebut dapat terlihat pada pemeriksaan Pap Smear, tetapi biasanya bakteri ini diketahui pada pemeriksaan sedian apus dengan pewarnaan Gram. Bakteri ini mudah mati bila terkena sabun, alkohol, deterjen, dan sinar matahari. Cara penularan penyakit ini adalah dengan senggama11,12 2.6.2
Patogenesis Secara morfologik, gonococcus terdiri dari atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan tipe
2 yang mempunyai pili dan bersifat virulen, serta tipe 3 dan tipe 4 yang tidak mempunyai pili dan bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang, yaitu pada nvagina wanita sebelum pubertas. Infeksi ekstragenital di faring, anus, dan rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak langsung mukosa ke mukosa. Tidak semua orang yang terpajan gonore akan terjangkit, dan resiko penularan laki-laki ke perempuan lebih besar terutama
karena lebih luasnya
selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina. Setelah infeksi oleh Neisseria gonorrhea tidak timbul imunitas alami, sehingga infeksi dapat terjadi lebih dari satu kali. Ada masa tenggang (masa inkubasi) selama 2-10 hari setelah kuman masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks. Faktor virulensi lain adalah produksi kapsular in vivo, resistensi terhadap aksi imun bakterisidal pada serum, dan kemampuan gonococcus untuk bertahan di antara berbagai organisme komensal yang bersaing. Semua Neisseria tahan terhadap kelembaban membran mukosa. Akibat, hal-hal tersebut meningokokus dan gonokokus dapat berproliferasi dengan cepat dan bahkan masuk ke aliran
18
darah. Kuman N.gonorrhea menyerang membran mukosa berepitel kolumner. Pada wanita, endoserviks merupakan tempat primer dari infeksi gonore (80-90%), kemudian uretra (805), rektum (40%), dan faring (10-20%).12,13 2.6.3
Gejala klinis Pada infeksi karena Gonokokus, kelainan dapat ditemui adalah orifisium
uretra eksternum merah, edema, dan sekret yang mukopurulen, labia mayora dapat bengkak, merah dan nyeri tekan.
Kadang-kadang kelenjar bartholini ikut
meradang dan terasa nyeri waktu berjalan atau duduk. Pada pemeriksaan melalui spekulum terlihat serviks merah dengan erosi dan sekret mukopurulen11,14.
Gambar 2.10 Orificium Uretra Eksterna merah, edema
2.6.4
Diagnosis
Pada pemeriksaan laboratorium, pada pemeriksaan pH didapatkan 6.8-8.5. Sedangkan pada pemeriksaan pewarnaan gram Neisseria Gonorhoea memberikan gambaran adanya gonokokus berbentuk biji kopi yang terletak intra dan ekstra seluler.
Gambar 2.11 Neisseria gonorrhea 19
2.6.5
Tata Laksana
Gonoroe tanpa komplikasi 1. Ciprofloxacin 500mg PO dosis tunggal 2. Ofloxacine 400 mg PO dosis tunggal 3. Cefixime 400 mg PO dosis tunggal 4. Ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal Bila diduga ada infeksi campuran dengan chlamydia apat ditambahkan 5. Eritromisin 500 mg sehari 4x PO selama 7 hari 6. Doxycycline 100mg/sehari 2x PO selama 7 hari
Gambar 2.12 Treatment of Gonoccocal Infection
2.7 Kandidiasis Vulvovaginal 2.7.1 Etiologi Kandidiasis atau kandidosis adalah infeksi primer atau sekunder oleh genus Candida. Manifestasi klinis dapat terjadi secara lokal di kepala, mulut, tenggorokan, kulit, paru-paru, jari tangan, saluran pencernaan, genitalia termasuk vagina.Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) adalah penyakit infeksi pada mukosa (epitel non-keratinisasi) vulva dan vagina yang bersifat akut, subakut, atau kronik.6,7 Genus Candida yang berperan sebagai penyebab kandidiasis
20
vulvovaginalis yaitu Candida albicans (80-90%), Candida glabrata, Candida tropicalis dan Candida parapsilosis. Kandidiasis vulvovaginalis merupakan penyebab terbanyak kedua penyebab vaginitis. Kisaran 70-75% wanita dapat mengalami kandidiasis vulvovaginalis untuk pertama kali dalam hidupnya, kisaran 40-50% akan mengalami dua atau lebih episode kandidiasis vulvovaginalis selama hidupnya, sedangkan 5-10% dapat mengalami rekurensi 2.7.2 Patogenesis Perubahan dari komensal ke patogen dipengaruhi perubahan kondisi lingkungan, penyebaran pada tubuh pejamu, dan agen penyebab. Lactobacillus crispatus, Lactobacillus jensenii, dan Lactobacillus iners adalah mikroorganisme dominan yang terdapat pada vagina. Lactobacillus memproduksi asam laktat dan substansi lainnya yang mempertahankan pH rendah vagina yang dapat mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen. pH normal vagina yaitu 4-4,5. Ketidakseimbangan
mikroorganisme
dapat
memfasilitasi
pertumbuhan
Candida.9,10 Candida adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat hingga oval. Jumlahnya spesies Candida (Candida sp) 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia. Candida secara alami sebenarnya terdapat pada membran mukosa dalam tubuh manusia, paling banyak terdapat dalam mulut, saluran pencernaan, rektum, dan alat genitalia termasuk vagina. Candida berperan dalam kandidiasis vulvovaginalis. Candida albicans merupakan jenis Candida yang paling patogen.9,10 Candida memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu disebabkan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagosit makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar.9
21
Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel Candida sp mengandung turunan manoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candida sp dapat melakukan penetrasi ke lapisan mukosa. Dalam menghadapi invasi dari Candida, tubuh mengerahkan sel fagosit untuk mengeliminasinya. Maka dapat disimpulkan, pada seorang wanita dengan defek imunitas humoral, Candida lebih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah menimbulkan vaginitis.9,10 Candida albicans bersifat dismorfik atau polimorfik. Pembentukan pseudohifa terjadi karena pembelahan sel yang terpolarisasi ketika sel jamur tumbuh dengan tunas memanjang tanpa melepaskan diri dari sel yang berdekatan, sehingga sel-sel tersebut bergabung menjadi satu.9,10 Proses infeksi dimulai dengan perlekatan Candida pada sel epitel vagina. Kemampuan melekat ini lebih baik pada Candida albicans daripada spesies Candida lainnya. Candida mensekresikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan ikatan protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida juga mengeluarkan mikotoksin, diantaranya gliotoksin yang mampu menghambat aktivitas fagositosis dan menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Candida memudahkan proses invasi tersebut berlangsung sehingga menimbulkan gejala pada pejamu.9,10 Penggunaan antibiotik atau steroid, diabetes melitus, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), penggunaan pakaian yang terlalu ketat dan berbahan sintetis, dan kondisi imunosupresan merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan kandidiasis vulvovaginalis.10 Pada pasien diabetes melitus terjadi kerentanan terhadap infeksi Candida yang berhubungan dengan peningkatan kadar gula dalam darah dan urin serta gangguan imunitas. Kondisi metabolik berupa kadar gula darah yang meningkat dapat mempermudah pertumbuhan jamur patogen seperti Candida albicans pada kandidiasis vulvovaginalis. Perubahan hormonal seperti kehamilan dan fase luteal siklus menstruasi dapat memacu kekambuhan kandidiasis vulvovaginalis.
22
2.7.3 Gejala klinis Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) diklasifikasikan menjadi KVV tanpa komplikasi dan KVV dengan komplikasi. KVV tanpa komplikasi merupakan KVV yang jarang, bersifat ringan hingga sedang akibat Candida albicans, serta terjadi
pada
wanita
yang
tidak
mengalami
imunosupresi.
Kandidiasis
vulvovaginalis dengan komplikasi merupakan KVV berulang, besifat sedangberat dengan penyebab Candida non-albicans terjadi pada wanita dengan infeksi rekuren, imunokompromais, KVV berat, KVV pada wanita hamil dan KVV pada penderita HIV.6,7 Klasifikasi Kandidiasis Vulvovaginalis6 Tanpa Komplikasi
Dengan Komplikasi
Keparahan
Ringan-sedang
Sedang-berat
Frekuensi
< 4 episode per tahun
≥ 4 episode per tahun
Mikroskoskopis
Pseudohifa
Budding yeast
Host
Sehat, sedang tidak hamil
Wanita
hamilan,
diabetes,
imunokompromais Tatalaksana
Antimikotik jangka pendek
Intensive
regimen
(hindari
penggunaan jangka pendek)
2.6.4 Diagnosis Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan elemen jamur dan pemeriksaan dengan biakan. Bahan untuk pemeriksaan mikologi sebaiknya dilakukan pengambilan swab dari sekret vagina yang aktif. Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur yang dilihat di bawah mikroskop cahaya setelah pemakaian larutan KOH 10%. Pada kandidiasis akan ditemukan gambaran spora (blastospora atau budding cell) berbentuk oval dan pseudohifa (berbentuk sosis dan hifa tidak bersepta).10
23
Pada pemeriksaan dengan biakan kultur, C. albicans harus dibedakan dengan tipe Candida lain seperti C. krusei, C. stellatoidea, C. tropicalis, C. pseudotropicalis, dan C. guilliermondii. Media biakan kultur yang dapat digunakan yaitu agar glukosa Sabouraud akan menunjukkan suatu pertumbuhan koloni halus, berwarna krem sampai keabuan, dan lembab dalam 4 hari. Pseudohifa jelas terlihat sebagai pertumbuhan yang terbenam di bawah permukaan agar.10
Gambar 2.13 Gambaran mikroskopis Candida pada pemeriksaan KOH 6
2.6.5 Tata laksana medikamentosa 1.Mikonazol/klotrimazol 200 mg intravaginal perhari selama 3 hari 2.Klotrimazol 500 mg intravaginal dosis tunggal 3.Nistatin 100.000 IU intravaginal/hari selama 14 hari 4.Tablet ketoconazol 2x1 tablet/hari selama 7 hari 2.7 Pencegahan Pencegahan ini juga bisa dengan berbagai cara sepeti memakai alat pelindung, pemakaian obat atau cara profilaksis atau melakukan pemeriksaan secara dini.
Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agartetap kering dan tidak lembab misalnya dengan menggunakan celanadengan bahan yang menyerap keringat, hindari pemakaian celanaterlalu ketat.
24
Biasakan untuk mengganti pembalut, pantyliner padawaktunya untuk mencegah bakteri berkembang biak.
Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air yaitudari arah depan ke belakang.
Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihankarena dapat mematikan flora normal vagina. Jika perlu, lakukankonsultasi medis dahulu sebelum menggunakan cairan pembersih vagina.
Hindari penggunaan bedak talkum, tissue atau sabun dengan pewangipada daerah vagina karena dapat menyebabkan iritasi.
2.8 Prognosis Biasanya kondisi-kondisi yang menyebabkan fluor albus memberikan respon terhadap pengobatan dalam beberapa hari. Kadang-kadang infeksi akan berulang. Dengan perawatan kesehatan akan menentukan pengobatan yang lebih efektif.
25
BAB 3 KESIMPULAN Fluor albus (leukorea, keputihan) merupakan gejala keluarnya cairan darivagina selain darah haid. Keputihan (fluor albus) ada yang fisiologik (normal) danada yang patologik (tidak normal). Keputihan bukan merupakan suatu penyakit melainkan salah satu tanda dan gejala dari suatu penyakit organ reproduksi wanita. Fluor albus fisiologis dapat terjadi pada bayi baru lahir,saat menars, saat ovulasi, karena rangsang seksual, kehamilan, mood/stresspenggunaan kontrasepsi hormonal, pembilasan vagina yang rutin, sedangkan fluor albus yang patologisdapat disebabkan oleh bakterial vaginosis, trikhomoniasis vaginalis, kandidiasis vulvovaginal, cervitis gonorohoe, non spesifik genital infeksi Penegakkan diagnosis fluor albusberdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan usia, metode kontrasepsi yang digunakan, kontak seksual, sifat dari fluor albus, dan penggunaan obat antibiotik dan kortikosteroid. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan genital yakni pemeriksaan inspeksi dan palpasi genital dan pemeriksaan
spekulum.
Pada
pemeriksaan
penunjang
dapat
dilakukan
pemeriksaan pH, sediaan basah, pewarnaan gram dan kultur. Penatalaksanaan pada flour albus dapat dilakukan dengan cara preventif dan medikamentosa. Prognosis flour albus tergantung dari pengobatan. Kadangkadang infeksi akan berulang. Dengan perawatan kesehatan akan menentukan pengobatan yang lebih efektif.
26
DAFTAR PUSTAKA 1.
Mohammadzadeh F. et al., 2015, Diagnostic Value of Amsel's Clinical Criteria for Diagnosis of Bacterial Vaginosis, Global Journal of Health Science; Vol. 7, No. 3; pp. 8-114.
2.
Girerd, PH. et al., 2016, Bacterial Vaginosis : Practice Essentials, Medscape Journal, ,
3.
Judanarso, Jubianto, 2010, Vaginosis Bakterial, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm. 385-391.
4.
Muzny, CA. and Jane RS., 2016, Pathogenesis of Bacterial Vaginosis : Discussion of Current Hypotheses, Journal of Infectious Disease, JID 2016:214 (Suppl 1), pp. S1-S5.
5.
Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths, C., 2010, Female Genital Dermatology, In : Rook’s Textbook of Dermatology, Vol. 1, 8th ed. Wiley Blackwell, Oxford, pp. 71.52-71.54.
6.
Sterry, W., R. Paus, W. Burgdorf, 2014, Other Sexually Transmitted Disease, In : Thieme Clinical Companions Dermatology, 5th German Edition, pp. 149-154.
7.
Wolff, K., Johnson, RA., Saavedra AP., 2015, Genital Candidiasis, In : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 7th ed., McGraw-Hill Education, United State, pp.597-598.
8.
Syarif, Amir dan Elysabeth, 2012, Amubisid, Dalam : Farmakologi dan Terapi, Badan Penerbit FKUI, Jakarta, Hlm. 551-555.
9. Lopez, Juliana Ester Martin. Candidiasis (Vulvovaginal): Systematic Review. BMJ Best Practice. 2015. 10.
Holmes King K, Sparling P F, Stamm WE, et al. Candidiasis Vulvovaginitis
in
Sexually
Transmitted
Disease.
4th
2015. The McGraw-Hill Companies. p: 830 11.
Larry I, Lutwick. 2014. Gonococcal Infections. http://emedicine.medscape.com/article/218059-treatment.
12.
Thieme, George. 2015. Thieme Clinical Companions Dermatology :
Gonorrhea. Götz, Ludwigsburg. Stuttgart, hal : 164-169.
27
Edition.
13. Thomas P.,MD.Habif. 2014. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy : Gonorrhea. 4th Edition. Mosby. Hanover,NH,USA, hal : 292-294. 14. Wilson, Walter R. 2014. Current Diagnosis & Treatment In Infectious Diseases. The McGraw- -Hill Companies, USA. 15. Sarah L. Cudmore, Kiera L. Delgaty, Shannon F. Hayward-McClelland, Dino P. Petrin, and Gary E. Garber. 2014. Treatment of Infections Trichomonas vaginalis. Clinical Microbiology Reviews Vol. 17 No. 4 p.783–793 16. Chavalitshewinkoon Petmitr, P., M. Ramdja, S. Kajorndechakiat, et al. 2014. In vitro Susceptibility of Trichomonas vaginalis to AT-Specific Minor Groove Binding Drugs. Journal of Antimicrobial Chemotherapy Vol. 52 p.287-289 17. Heine, P., and J. A. MacGregor. 2013. Trichomonas vaginalis: A ReEmerging Pathogen. Clinical Obstetry and Gynecology No. 36 p.137–144 [accessed: December 7th 2009] 18. Swygard H., A. C. Sena, M. M Hobbs, M. S. Cohen. 2013. Trichomoniasis: Clinical Manifestations, Diagnosis and Management. Sexually Transmitted Infection p.80:91-95
28