Fix Skenario B.docx

  • Uploaded by: Khansa Salsa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fix Skenario B.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,394
  • Pages: 63
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 14

DISUSUN OLEH : KELOMPOK A1 Muhammad Musa Nuravif Setianingrum Pratiwi Karolina Ferdi Marulitua Simanjutak Nanda Maharani Saqadifa Utami Dian Rana Raudhah Simahate Bengi Wahyu Irawan Nasution Muhammad Valdi Prasetia Izzah Atqa

(04011181621005) (04011181621012) (04011181621015) (04011181621021) (04011181621034) (04011181621041) (04011181621051) (04011181621055) (04011281621090) (04011281621110)

Tutor : dr. Puji Rizky Suryani R.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME karena atas ridho dan karunia-Nya lah Laporan Tutorial Skenario B Blok 14 ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil diskusi kami mengenai Skenario A pada Sesi Tutorial 2. Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Puji Rizky Suryani R.. selaku tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini. Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang.

Palembang, 5 April 2018

Penyusun

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ KATA PENGANTAR.............................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................ KEGIATAN TUTORIAL ........................................................................................ HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI Klarifikasi Istilah ...................................................................................................... Identifikasi Masalah ................................................................................................. Analisis Masalah ...................................................................................................... Hipotesis ................................................................................................................... Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ............................................................................... Sintesis/Learning Issue ............................................................................................. Kerangka Konsep ..................................................................................................... Kesimpulan………………………………………………………………............... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ..................

i ii iii iv 6 6 8 33 33 34 63 64 64

KEGIATAN TUTORIAL Moderator Sekretaris I Sekretaris 2

: Muhammad Valdi Prasetia : Utami Dian Rana : Nanda Maharani Saqadifa

Peraturan selama tutorial: 1. Jika mau berbicara, angkat tangan terlebih dahulu. 2. Saling mendengarkan pendapat satu sama lain. 3. Izin ke toilet maksimal dua orang dalam satu waktu. 4. Diperbolehkan minum selama tutorial berlangsung. 5. Diperbolehkan membuka gadget selama masih berhubungan dengan tutorial. Prosedur tutorial: 1. Tutorial tahap 1 a. Semua anggota kelompok masuk ruang tutorial dan duduk di kursi yang telah disediakan. b. Sekretaris papan menyalakan layar LCD dan mempersiapkan laptop untuk mengetik ide selama tutorial. c. Moderator memimpin doa sebelum tutorial. d. Moderator menyebutkan peraturan selama tutorial. e. Moderator membacakan skenario. f. Anggota mengklarifikasi istilah dalam scenario. g. Anggota menentukan fakta dan masalah dalam skenario, lalu menentukan prioritas masalahnya disertai dengan alasan yang logis. h. Anggota saling mengajukan pertanyaan di analisis masalah. i. Anggota mendiskusikan mengenai kaitan antar masalah. j. Anggota menentukan Learning issue dan moderator membagi LI ke masing-masing anggota kelompok. k. Tutorial ditutup oleh moderator. 2. Belajar mandiri 3. Tutorial tahap 2 a. Semua anggota kelompok masuk ruang tutorial dan duduk di kursi yang telah disediakan. b. Sekretaris papan menyalakan layar LCD dan mempersiapkan laptop untuk mengetik ide selama tutorial. c. Moderator memimpin doa sebelum tutorial. d. Moderator mempersilakan kepada masing-masing anggota untuk memaparkan hasil belajarnya. Moderator mengatur diskusi yang meliputi mempersilakan anggota lain menambahkan ide dan sesi tanya-jawab. e. Anggota merancang kerangka konsep bersama-sama dan membuat resume dari kerangka konsep. f. Anggota menjawab pertanyaan yang ada di analisis masalah. g. Anggota menarik kesimpulan dari LI dan skenario yang ada. h. Tutorial ditutup oleh moderator. 4. Penyusunan laporan pleno

SKENARIO B Blok 14 Tahun 2018 A 15 years old boy was taken by his mother to clinic at local general hospital. The main complain was sore throat since 2 days ago. There was fever, but no cough, rhinorhea and pain in both ears. The main complaint had been recur since 2 years ago and the last main complaint recur 3 month ago. Physical examination: Vital Sign Blood pressure

: 120/80 mmHg

Pulse

: 80x/min

Respiratory Rate

: 24x/min

Core Temperature

: 38.5oC

ENT Examination

Otoscopy

Anterior Rhinoscopy

Oropharynx

Right Ear Ear canal : within normal Ear drum : within normal

Left Ear Ear canal : within normal Ear drum : within normal

Right Nose Left Nose Nasal mucosa: within normal Nasal mucosa: within normal Inferior turbinate: eutrofi Inferior turbinate: eutrofi Nasal septum no deviation Nasal secret (-) Nasal secret (-)

Tonsil: T3-T3, Hyperemis (+), Detritus (+) Widened Crypt (+) Posterior wall: Hyperemis (+), Granules (+), Post nasal drip (+)

Laboratory Examination: Hb 12.5gr%, WBC: 13.000 mm3, Trombosit: 250.000 mm3

I. KLARIFIKASI ISTILAH No Istilah 1. Rhinorhea 2. Otoscopy 3.

Ear canal

4.

Ear drum

5.

Rhinoscopy

6.

Nasal mucosa

7.

Inferior turbinate

8. 9.

Eutrofi Oropharynx

10. Detritus

11. Crypt 12. Granules 13. Post nasal drip

Definisi Sekresi mukus encer dari hidung. (Dorland) Pemeriksaan untuk melakukan inspeksi atau auskultasi pada telinga. (Dorland) Saluran tubular dari telinga luar yang mengarah ke membran timpani. (Merriam-webster) Sebuah lapisan tipis di dalam telinga yang bergerak ke belakang dan ke depan ketika gelombang suara mencapainya. (Cambridge dictionary) Pemeriksaan hidung dengan spekulum, baik melalui nares anterior atau nasofaring. (Dorland) Membran yang melapisi bagian permukaan dari hidung. (Britannica) Sebuah lempeng tulang tipis yang membentuk bagian bawah dinding lateral rongga hidung dan membran mukosa yang melapisi lempeng tersebut. Normal Bagian faring yang terletak diantara palatum molle dan tepi atas epiglotis. (Dorland) Bahan partikulat yang dihasilkan atau tersisa setelah pengausan atau disintegrasi substansi atau jaringan. (Dorland) Lubang yang merupakan muara dari kanal folikel. (Children Allergy Center Information Education Network 2010) Partikel atau butiran kecil. (Dorland) Mukus yang berlebihan yang di produksi oleh mukosa nasal. kelebihan mukus tersebut terakumulasi di tenggorakan atau dibelakang hidung. (webmd.com)

II. IDENTIFIKASI MASALAH 1.

2. 3.

4.

A 15 years old boy was taken by his mother to clinic at local KELUHAN UTAMA general hospital. The main complain was sorethroat since 2 days ago. There was fever, but no cough, rhinorhea and pain in both ears. KELUHAN TAMBAHAN The main complaint had been recur since 2 years ago and the RIWAYAT last main complaint recur 3 month ago. PERJALANAN PENYAKIT Physical examination: PEMERIKSAAN Vital Sign FISIK Blood pressure : 120/80 mmHg

5.

6.

Pulse : 80x/min Respiratory Rate : 24x/min Core Temperature : 38.5oC ENT Examination Right Ear Left Ear Ear canal : within Ear canal : normal within normal Otoscopy Ear drum : within Ear drum : normal within normal Right Nose Left Nose Anterior Nasal mucosa: Nasal mucosa: within normal Rhinoscopy within normal Inferior Inferior turbinate: eutrofi turbinate: eutrofi Nasal septum no deviation Nasal secret (-) Nasal secret (-) Oropharyn Tonsil: T3-T3, Hyperemis (+), x Detritus (+) Widened Crypt (+) Posterior wall: Hyperemis (+), Granules (+), Post nasal drip (+) Laboratory Examination: Hb 12.5gr%, WBC: 13.000 mm3, Trombosit: 250.000 mm3

PEMERIKSAAN FISIK THT

PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM)

III. ANALISIS MASALAH 1. A 15 years old boy was taken by his mother to clinic at local general hospital. The main complain was sorethroat since 2 days ago. a) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pada kasus ini? Jawab: Sakit tenggorokan pada kasus ini dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin namun pada usia 4-7 tahun merupakan usia yang paling rentan terkena sakit tenggorokan dikarenakan pada usia tersebut sel-sel imun tubuh baru dalam tahap perkembangan. b) Bagaimana mekanisme sakit tenggorokan pada kasus ini? Jawab:

Bakteri melalui udara masuk ke saluran pernafasan menempel pada silia di faring bakteri menembus silia ke tunica mukosa, pada daerah ini, bakteri dideteksi oleh imun non spesifik  peradangan/inflamasi distimulasi oleh mekanik dan sensorik  ke thalamus  dimodulasi ke syaraf perifer nyeri dihantar ke syaraf efferen  syaraf parasimpatis  persarafan motorik dan sensorik daerah faring yang berasal dari pleksus faringealis (Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari n. vagus, cabang dari n.glossofaringeus)tersensitisasi sakit tenggorokan c) Apa perbedaan sakit menelan dengan susah menelan? Jawab: susah menelan (Disfagia) adalah ketidakmampuan menelan makanan atau cairan dengan mudah. Terjadi akibat adanya gangguan epiglotis pada saat membuka dan menutup dan adanya pembesaran massa atau benjolan. Sakit menelan bersama dengan rasa sakit umumnya merupakan gejala infeksi atau reaksi alergi. 2. There was fever, but no cough, rhinorhea and pain in both ears. a) Bagaimana mekanisme demam pada kasus ini?

Jawab: Infeksi bakteri (pirogen eksogen) di saluran pernafasan  makrofag menyerang antigen  mengeluarkan mediator inflamasi seperti IL-1, IL-2, TNF-α (pirogen endogen)  merangsang sel endotel di hypothalamus (di termostat)  melepaskan as.arakhidonat dibantu enzim fospolipase A2  memacu sintesis PGE2 (prostaglandin E2) melalui jalur cox (Cyclooxigenase)  meningkatkan set point di hypothalamus  suhu tubuh naik  demam b) Apa arti tidak ada batuk, tidak ada rhinorhea dan tidak ada nyeri di kedua telinga? Jawab: Tidak ada batuk, tidak ada rhinorea dan tidak ada nyeri di kedua telinga merupakan gejala dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri grup streptokokkus beta hemoliticus. Sedangkan faringitistis yang disebabkan oleh virus yakni virus Eipstein Barr Virus, Coxsakie virus, adenovirus, rhinovirus, retrovirus, respiratory syncytial virus (RSV), influenza dan parainfluenza memiliki gejala beruba nyeri tenggorok, konjungtivitis, rhinorea, batuk, suara serak dengan demam subfebris. c) Bagaimana hubungan keluhan utama dengan keluhan tambahan? Jawab: Jika infeksi berlanjut dan sekresi mucus tidak cukup untuk mengeluarkan kuman, akan terjadi infeksi di saluran pernafasan dan menyebabkan reaksi inflamasi di sekitarnya (tenggorokan) dan terjadi aktivasi makrofag  pengeluaran sitokin TNF α, IL-1, IL-6  Memacu pelepasan asam arakidonat  ↑ sintesis prostaglandin E2  Mencapai hipotamalus  ↑ set point pada termostat hipotalamus Suhu meningkat  Demam

3. The main complaint had been recur since 2 years ago and the last main complaint recur 3 month ago. a) Mengapa keluhan pada kasus ini berulang? Jawab: Ada 2 kemungkinan. Pertama, penyakit pasien yang terjadi 3 bulan lalu sudah benar-benar sembuh dan terjadi infeksi oleh patogen baru, jadi pasien masih dalam fase infeksi akut. Kedua, keluhan yang muncul kembali akibat eksaserbasi dari keluhan yang dulu, hal ini bisa disebabkan oleh imunitas yang sedang menurun dan pengobatan yang tidak adekuat sehingga masih ada patogen yang tersisa dalam tubuh walaupun tidak menimbulkan gejala yang mengganggu pasien, sehingga dianggap sembuh. Namun, patogenaktif dan berkembang biak kembali karena faktor yang sudah disebutkan di atas. Hal ini menandakan terjadinya fase kronik. Juga dapat dikarenakan beberapa faktor seperti penggunaan obat yang tidak teratur, konsumsi makanan yang dapat memperparah penyakit, dan tatalaksana yang kurang adekuat.

4. Physical examination: Vital Sign

Blood pressure

: 120/80 mmHg

Pulse

: 80x/min

Respiratory Rate : 24x/min Core Temperature: 38.5oC a) Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik? Jawab: No 1. 2. 3. 4.

Pemeriksaan Blood pressure Pulse Respiratory Rate Core Temperature

Hasil 120/80 mmHg 80x/min 24x/min 38.5oC

Normal 120/80 mmHg 70 - 100x/min 12-30x/min 36,6˚C- 37,2˚C

Interpretasi Normal Normal Normal Febris

b) Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik? Jawab: 1) Core Temperature: Infeksi bakteri (pirogen eksogen) di saluran pernafasan  makrofag menyerang antigen  mengeluarkan mediator inflamasi seperti IL-1, IL-2, TNF-α (pirogen endogen)  merangsang sel endotel di hypothalamus (di termostat)  melepaskan as.arakhidonat dibantu enzim fospolipase A2  memacu sintesis PGE2 (prostaglandin E2) melalui jalur cox (Cyclooxigenase)  meningkatkan set point di hypothalamus  suhu tubuh naik  demam 5. ENT Examination Right Ear Ear canal : within normal Ear drum : within normal

Otoscopy

Anterior Rhinoscopy

Left Ear Ear canal : within normal Ear drum : within normal

Right Nose Left Nose Nasal mucosa: within normal Nasal mucosa: within normal Inferior turbinate: eutrofi Inferior turbinate: eutrofi Nasal septum no deviation Nasal secret (-) Nasal secret (-)

Oropharynx

Tonsil: T3-T3, Hyperemis (+), Detritus (+) Widened Crypt (+) Posterior wall: Hyperemis (+), Granules (+), Post nasal drip (+) a) Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan? Jawab: Pemeriksaan Hasil Interpretasi Keterangan Otoscopy

Right Ear Ear canal

Left Ear : Ear canal : within Normal

-

Anterior Rhinoscopy

within normal normal Ear drum : Ear drum : within within normal normal Right Nose Left Nose Nasal mucosa: Nasal mucosa: within normal within normal Inferior Inferior turbinate: turbinate: eutrofi eutrofi Nasal septum no deviation Nasal secret (-) Nasal secret (-) Tonsil: T3-T3

Normal

-

Normal

-

Normal

-

Normal Tidak Normal

Tonsil mecapai garis pertengahan antara uvula dan pilar posterior. Adanya infeksi dari bakteri/virus

Tonsil: Hyperemis (+)

Tidak Normal

Tonsil: Detritus (+)

Tidak Normal

Widened Crypt (+)

Tidak Normal

Posterior wall: Hyperemis (+)

Tidak Normal

Oropharynx

Terdapat kumpulan leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan epitel tonsil yang terlepas Adanya infeksi dari bakteri/virus Adanya infeksi dari bakteri/virus

Posterior wall: Granules (+) Posterior wall: Post nasal drip (+)

Tidak Normal Tidak Normal

Partikel atau butiran kecil. Ada Mukus yang berlebihan yang di produksi oleh mukosa nasal. kelebihan mukus tersebut terakumulasi di tenggorakan atau dibelakang hidung.

b) Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan? Jawab: Hasil Mekanisme abnormal Gambar Pemeriksaan

Oropharynx: Tonsil: T3T3

Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Oropharynx: Tonsil dan dinding faring posterior: Hyperemis (+)

Infeksi saluran pernapasan atas → kerusakan sel epitel lapisan mukosa → aktivasi sel mast → pelepasan mediator

inflamasi

leukotrien,

(histamine,

prostaglandin)

vasodilatasi

pembuluh



darah



hiperemis mukosa Oropharynx: Detritus (+)

Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil

akan

menimbulkan

reaksi

radang, sehingga keluarlah leukosit polimorfonuklear.

Kumpulan

leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang

lepas

membentuk

detritus.

Detritus akan mengisi kripti dan tampak berwarna kekuningan. Oropharynx: Widened Crypt (+)

Peradangan

yang berulang akan

menyebabkan epitel mukosa jaringan limfoid terkikis, sehingga dalam proses

penyembuhan

jaringan

limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar.

Oropharynx: Granules (+)

Granula di orofaring menyatakan bahwa

adanya

inflamasi

kronik

(jaringan limfoid yang membentuk gumpalan-gumpalan

di

dinding

faring)

Oropharynx: Post nasal drip adalah mukus Post nasal berlebihan yang keluar dari hidung drip (+) ke faring. Sekresi kelenjar mukus memfasilitasi eliminasi dari partikelpartikel asing.. Adanya antigen akan merangsang sistem kekebalan tubuh, pergerakan

dari

epitel

bersilia,

mendorong mukus ke arah ostium sinus, kemudian mengalirkan ke rongga

hidung.

Mukus

tersebut

kemudian didorong ke nasofaring untuk ditelan, dan patogen tersebut akan dihancurkan oleh sekresi asam lambung c) Apa tujuan, indikasi dan cara pemeriksaan dari otoscopy?

-

-

Jawab: Tujuan: Pemeriksaan Ini dilakukan untuk memeriksa 'saluran pendengaran eksternal' terowongan yang mengarah dari telinga luar (pinna) ke gendang telinga. Pemeriksaan gendang telinga juga dapat memberikan banyak informasi tentang apa yang terjadi di telinga tengah - ruang di dalam tengkorak tempat mekanisme pendengaran dan keseimbangan berada. Pemeriksaan otoskopik dilakukan dengan: Menarik daun telinga secara perlahan ke atas dan ke belakang. Pada anak-anak, daun telinga harus ditarik ke bawah dan ke belakang. Proses ini akan memindahkan meatus akustik sejalan dengan kanal. Pegang otoskop seperti pena / pensil dan gunakan area jari kelingking sebagai titik tumpu. Ini mencegah cedera jika pasien tiba-tiba berubah. Periksa saluran pendengaran eksternal. Mengevaluasi membran timpani Perhatikan warna (merah, putih, kuning) dan tembus cahaya (transparan, buram) dan posisi (ditarik, netral atau menggembung) dari drum

-

Identifikasi pars tensa dengan kerucut cahaya, pegangan dan proses pendek malleus, dan lipatan anterior dan posterior dari pars flaccida dan posisi pegangan malleus. Inflasi udara otoscopy (pneumatik-otoskop) sangat berguna untuk mengevaluasi penyakit telinga tengah. Menilai mobilitas membran timpani dengan menerapkan tekanan positif dan negatif dengan bola karet memeras. Normal: Saluran auditori: Sebagian rambut, seringkali dengan serumen kuning ke coklat. Gendang telinga: Warna abu-abu merah muda, tembus cahaya dan dalam posisi netral. Malleus terletak pada posisi miring di belakang bagian atas drum. Ponsel dengan inflasi udara.

d) Apa tujuan, indikasi dan cara pemeriksaan dari Rhinoscopy? Jawab: Tujuan pemeriksaan rhinoskopi anterior: • Pemeriksaan vestibulumnasi. • Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah. • Fenomena palatum mole. • Pemeriksaan kavum nasi bagian atas. • Pemeriksaan septum nasi. Indikasi pemeriksaan rhinoskopi anterior • Obstruksi hidung • Sekret pada daerah hidung/sekret belakang hidung yang sering disebut PND (postnasal drip) • Kongesti pada daerah wajah • Nyeri /rasa tertekan pada wajah • Kelainan penciuman(hiposmia/anosmia) • Demam (hanya pada akut) Urutan pemeriksaan: • Lakukan tamponade ± selama 5 menitdengan kapas yang dibasahi larutan lidokain 2% dan efedrin. • Angkat tampon hidung. • Lakukan inspeksi, mulai dari: 

Cuping hidung (vestibulum nasi)



Bangunan di ronggahidung



Meatus nasi inferior :normal/tidak



Konka inferior :normal/tidak



Meatus nasi medius :normal/tidak



Konka medius :normal/tidak



Keadaan septa nasi : normal/tidak, adakah deviasi septum



Keadaan rongga hidung : normal/ tidak;



sempit/ lebar; ada pertumbuhan abnormal: polip, tumor; ada benda asing/ tidak : berbau/tidak Adakah discharge dalam rongga hidung,bila ada bagaimana deskripsi discharge (banyak/ sedikit, jernih, mucous, purulen, warna discharge, apakah berbau).

e) Apa tujuan dan cara pemeriksaan dari Oropharynx? Jawab: Tujuan : Untuk mengetahui apakah ada abnormalitas pada Orofaring Cara Pemeriksaan Oropharynx: 1. Minta pasien untuk menjaga kepala mereka lurus. 2. Minta mereka untuk membuka mulut mereka lebar-lebar, menjaga lidah di dasar mulut. 3. Menyinar cahaya pada lengkungan faring. 5. Pemeriksa sekarang dapat memeriksa lengkungan palatal dan uvula. Berikan perhatian khusus pada simetri lengkungan palatal dan posisi uvula. Ini harus diposisikan di tengah dan menggantung lurus ke bawah. Untuk pemeriksaan ini Pemeriksa dapat menahan lidah dengan spatula jika perlu, dengan menekan dua pertiga bagian lidah (dengan lidah di dalam mulut seperti yang dijelaskan di atas

pemeriksa tidak akan menyakiti pasien, karena lidah tidak ditekan ke gigi, juga tidak akan pemeriksa sentuh situs refleks gag di bagian belakang lidah). 6. Minta pasien untuk mengatakan "ah" dan periksa apakah lengkungan palatal bergerak ke atas secara simetris dan apakah uvula berada di tengah. f) Bagaimana klasifikasi pembesaran tonsil? Jawab: 

T1: tonsil tidak melewati pilar faring posterior



T2: tonsil melewati pilar posterior namun tidak melewati garis pertengahan (imajiner antara uvula dan pilar posterior)



T3: tonsil mencapai garis pertengahan antara uvula dan pilar posterior



T4: tonsil saling menempel (kissing tonsil) atau mendorong uvula

6. Laboratory Examination: Hb 12.5gr%, WBC: 13.000 mm3, Trombosit: 250.000 mm3 a) Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan? Jawab: Laboratorium Examination Nilai Normal

Interpretasi

Hb 12.5 gr%

10.0-16.0 gr%

Normal

WBC: 13.000 mm3

5000-10000 mm3

Tinggi

Trombosit: 250.000 mm3

140.000-400.000 mm3

Normal

b) Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan? Jawab:

1) WBC : Invasi Streptococcusbeta hemoliticus , Streptococcus viridians, Streptococcus Pyogenes  Reaksi antigen dan antibody dalam tubuh tidak dapat melawan antigen kuman  Kuman menginfeksi tonsil  Epitel terkikis  Inflamasi Tonsil WBC meningkat 7.Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang maka: a) Bagaimana anatomi dari upper respiratory tract? Jawab: 1) Hidung Hidung adalah organ indra penciuman. Ujung saraf yang mendeteksi penciuman berada di atap (langit-langit) hidung di area lempeng kribriformis tulang etmoid dan konka superior. Ujung saraf ini distimulasi oleh bau di udara. Impuls saraf dihantarkan oleh saraf olfaktorius ke otak di mana sensasi bau dipersepsikan. Ketika masuk dihidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Hal ini dilakukan oleh sel epitel yang memiliki lapisan mukus sekresi sel goblet dan kelenjar mukosa. Lalu gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior didalam rongga hidung dan ke superior saluran pernapasan bagian bawah menuju faring.

Nares anterior adalah saluran-saluran didalam lubang hidung. Saluran-saluran ini bermuara kedalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum hidung. Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan selaput. Pada bagian belakang rongga hidung terdapat ruangan yang disebut nasofaring dengan rongga hidung berhubungan dengan : a. Sinus paranasalis, yaitu rongga-rongga pada tulang kranial, yang berhubungan dengan rongga hidung melalui ostium (lubang). Dan terdapat beberapa sinus

paranasalis, sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis yang dekat dengan permukaan dan sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis yang terletak lebih dalam.

b. Duktus nasolacrimalis, yang meyalurkan air mata kedalam hidung.

c. Tuba eustachius, yang berhubungan dengan ruang telinga bagian tengah.

Jika terjadi influenza atau hidung buntu, maka kemungkinan adalah tertutupnya lubang-lubang tersebut (sinus paranasalis, duktus nasolacrimalis, tuba eustachius), sehingga dapat menimbulkan penumpukan cairan dan terjadi radang didalam sinus paranasalis dan ruang telinga tengah akibatnya bisa terjadi sinusitis, otitis media, keluar air mata, karena duktus nasolacrimalis buntu. Karena itu pada hidung buntu perlu diberi obat-obatan tetes hidung untuk mengurangi kemungkinan tertutupnya lubang-lubang tersebut diatas. 2) Tenggorok o Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009). Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

a. Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. b. Adenoid Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. c. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

o Faring Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Bila terjadi radang disebut pharyngitis. saluran faring rnemiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak hingga vertebra servikalis ke-6. Faring berada di belakang hidung, mulut, dan laring serta lebih lebar di bagian atasnya. Dari sini partikel halus akan ditelan atau di batukkan keluar. Udara yang telah sampai ke faring telah diatur kelembapannya sehingga hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh. Lalu mengalir ke kotak suara (Laring).

Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. a. Nasofaring Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum molle. Pada dinding lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap saluran mengarah ke masing-masing bagian tengah telinga. Pada dinding posterior, terdapat tonsil faringeal (adenoid), yang terdiri atas jaringan limfoid. Gambar : 5 saluran pada sistem pernafasan (faring) Tonsil paling menonjol pada masa kanakkanak hingga usia 7 tahun. Selanjutnya, tonsil mengalami atrofi. b. Orofaring Orofaring terletak di belakang mulut, memanjang dari bagian bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ke-3. Dinding lateral bersatu dengan palatum molle untuk membentuk lipatan di tiap sisi. Antara tiap pasang lipatan, terdapat kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil palatin. Saat menelan, bagian nasal dan oral dipisahkan oleh palaturn molle dan uvula. Uvula (anggur kecil) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur kebawah dari bagian tengah tepi bawah palatum lunak. Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring posterior. c. Laringofaring Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan berlanjut ke bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke-3 hingga 6. Mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk system respiratorik selanjutnya.

b) Bagaimana histologi dari upper respiratory tract? Jawab: 1. Mukosa Olfaktorius dan Konka Superior Mukosa penciuman terletak di atap rongga hidung, di setiap sisi septum yang membelah, dan pada permukaan concha superior (1), salah satu rak tulang di rongga hidung. Epitel olfaktori (2, 6) (lihat Gambar 15.2 dan 15.3) adalah khusus untuk penerimaan bau.Akibatnya, nampak berbeda dari epitelium pernapasan.Epitel olfaktori (2, 6) adalah epitel kolumnar tinggi berlapis semu tanpa sel goblet dan tanpa silia motil, berbeda dengan epitel pernapasan. Lamina propria yang mendasari mengandung kelenjar olfaktori tubuloacinar (Bowman's branch) (4, 5).Kelenjar ini menghasilkan sekret serosa, berbeda dengan lendir campuran dan sekret serosa yang diproduksi oleh kelenjar di bagian rongga hidung lainnya. Saraf-saraf kecil yang terletak di lamina propria adalah nervus olfactorius(3, 7). Saraf penciuman (3, 7) mewakili aksis aferen agregat yang meninggalkan sel-sel olfaktori dan berlanjut ke rongga kranium, di mana mereka bersinaps di saraf olfaktori (tengkorak).

2. Epiglotis Epiglotis adalah bagian sebelah atas laring yang menonjol ke atas dari dinding anterior laring.Struktur ini memiliki permukaan lingual dan laringeal. Tulang rawan elastic ditengah epiglottis (3) membentuk kerangka epiglotis.Mukosa lingualis (2) (sisi anterior) dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis tak berkeratin (1).Lamina propria yang dibawahnya menyatu dengan jaringan ikat perichondrium (4) dari tulang rawan elastik epiglotis (3). Mukosa lingualis (2) dengan epitel skuamosa berlapisnya (1) menutupi apex epiglotis dan sekitar separuh dari mukosa laringealis (7) (sisi posterior) .Pada pangkal epiglotis pada permukaan laringeal (7), lapisan epitel skuamosa berlapis (1 ) berubag menjadi epitel kolumnar semua bersilia (8). Terletak di bawah epitel didalam lamina propria (6) pada sisi laringeal (7) dari epiglotis terdapat kalenjar seromukosa (6) tubuloasinus. Selain lidah, kuncup kecap (5) ) dan nodulus limfatik soliter dapat ditemukan pada epitel lingualis (2) atau epitel laringealis (7).

3. Larynx Gambar ini mengilustrasikan bagian vertikal melalui setengah bagian laring. Plika vokalis atau pita suara(superior) palsu (9), juga disebut pita suara, dilapisi oleh mukosa yang bersambung dengan permukaan posterior epiglotis. Seperti pada epiglotis, plika vokalis palsu (9) dilapisi oleh epitel kolumnar berlapis semu bersilia (7) dengan sel goblet. Dalam lamina propria (3) ditemukan banyak kelenjar seromus (8). Duktus ekskretoris dari kelenjar campuran ini (8) bermuara ke permukaan epitel (7).Dimana pada lamina propria (3) lipatan vocal semu (9) juga teerdapat banyak nodul limfatik (2), pembuluh darah (1), dan sel adiposa (1). 4. Ventrikel (10) adalah cekungan dan ressesus dalam yang memisahkan plika vokalis (superior) palsu (9) dari plica vokal (inferior) yang sejati (11-13). Mukosa di dinding ventrikel (10) mirip dengan yang ada pada pita suara palsu (9). Nodul limfatik (2) lebih banyak di daerah ini dan kadang-kadang disebut "tonsil laring."Lamina propria (3) menyatu dengan perichondrium (5) dari tulang rawan tiroid hialin (4). Tidak ada submukosa yang berbeda. Dinding bawah ventrikel (10) membuat transisi ke lipatan vokalis yang sebenarnya (11-13). 5. Mukosa plica vokalis yang sejati (11-13) dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis nonkeratinized (11) dan lamina propria yang tipis dan padat tanpa kelenjar, jaringan limfatik, atau pembuluh darah. Pada puncak lipatan vokalis sebenarnya adalah ligamentum vokalis (12) dengan serat elastis padat yang meluas ke lamina propria yang berdekatan dan otot vokalis skeletal (13). Otot thyroarytenoid skelet dan kartilago tiroid (4) merupakan dinding yang tersisa. Epitel di laring bawah berubah menjadi epitel kolumnar bersilia pseudostratified (15), dan lamina propria mengandung kelenjar seromus campuran (14). Kartilago hialin krikoid (6) adalah tulang rawan laring paling bawah

c) Bagaimana langkah anamnesis pada kasus ini? Jawab:  

Mengucap salam dan memperkenalkan diri Identitas pasien

         

a. b. c. d. e. f. g.

Nama,usia,alamat,pekerjaan Menjelaskan tujuan anamnesis Meminta izin pada pasien untuk melakukan anamnesis Keluhan utama Perjalanan penyakit sekarang berhubungan dengan keluhan utama,secara kronologis Riwayat penyakit dan pengobatan terdahulu Keluhan tambahan Riwayat penyakit keluarga Latar belakang sosial dan pekerjaan Riwayat penyakit yang pernah diderita Penutup Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis mikroorganisme, yaitu: Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual. Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak. 21 Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik. Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual pasien

d) Apa saja pemeriksaan fisik yang harus dilakukan terkait diagnois? Jawab: - pemeriksaan fisik umum o usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda vital dll o pernafasan (kesulitan bernafas, batuk) - Pemeriksaan fisik khusus o Otoskopi o Rhinoskopi o Orofaring Pemeriksaan orofaring: Besar tonsil ditentukan sebagai berikut: — — — — —

T0 T1 T2 T3 T4

: tonsil di dalam fosa tonsil atau telah diangkat : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula : bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih

Pembesaran Tonsil

Skor Centor: parameter klinik yang paling prediktif untuk faringitis GABHS e) Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan terkait diagnois? Jawab: Pemeriksaan Penunjang Tonsilitis a) Pemeriksaan mikrobiologi (kultur dan uji resistensi bila perlu) Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al,2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.

Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staphylococus aurous. b) Histopatologi Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.   

Pemeriksaan PenunjangFaringitis Gold standar : pemeriksaan kultur apusan tenggorok. Pemeriksaan kultur ulang setelah terapi tidak rutin direkomendasikan. Rapid antigen detection test: untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup A. mempunyaispesifisitas tinggi, sensitifitas rendah. Tes antibodi terhadap streptococcus (ASTO): tidak mempunyai nilai dalam penegakan diagnosis maupunpenanganan faringitis streptokokus.

f) Bagaimana algoritma penegakkan diagnosis? Jawab:

g) Apa faktor resiko dari penyakit pada kasus ini? Jawab: Faktor risiko tonsilofaringitis: - Umumnya menginfeksi anak-anak berusia 5-15 tahun & jarang di usia <3 tahun - Orang tua anak usia sekolah dan orang dewasa lainnya yang berhubungan dekat dengan individu yang terinfeksi - Tempat yang padat seperti pusat penitipan anak, sekolah dan barak militer h) Apa Diagnosis pada pasien? Jawab: Tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut i) Apa etiologi dari penyakit pada kasus ini? Jawab:

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhirup oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Mawson, 2004; Farokah, 2007). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Kvestad, 2005). Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri 

Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus, Epstein –Barr virus, Herpes virus.  Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae.  Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang memperberat (Departemen Kesehatan, 2007). j) Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus ini? Jawab: Infeksi saluran nafas atas akibat virus biasanya disebabkan dan disebarkan melalui kontak dekat dan biasanya muncul saat musim gugur, dingin, dan semi. Faringitis streptococcus biasanya tidak biasa ditemukan di usia 2-3 tahun, memiliki insiden tinggi di usia sekolah, dan menurun pada akhir masa remaja dan dewasa, muncul saat musim dingin dan semi, dan menyebar sesame saudara dan teman sekelas. Faringitis akibat C streptococcus dan Arcanobacterium haemophilus biasanya muncul sering pada orang dewasa dan orang tua. k) Bagaimana patofisiologi dari penyakit pada kasus ini? Jawab:  Tonsilitis Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah



sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil. Faringitis Invasi virus dan bakteri menimbulkan reaksi inflamasi lokal di dinding faring. Bakteri yang paling sering menyebabkan faringitis ini dalah streptococus grup a beta hemolitikus.bakteri ini akan melepas toksin ekstraselular dan protease ,keduanya ini dapat menyeabkan keruskan jaringan hebat berupa demam rematik,kerusakan katub jantung dan glomerulonefritis akut, melalui pembentukan kompleks antigen antibodi. Proses penularanya berupa droplet infection melalui sekret hidung atau ludah.

l) Bagaimana diagnosis banding dari penyakit pada kasus ini? Jawab: Kasus Tonsilopharingitis Tonsillitis difteri Rhinotonsilopharingitis Disfagia

+

+

+

Odinofagia

+

+

+

Batuk

+

-

+

Pilek

-

-

+

Demam

+

subfebris

+

Pem.kelenjar

+

+

+

Pharynx

+

-

+

Detritus (+)

+

+

+

Tonsil T3/T3

+

+

+

Konka Edema

-

-

+

Tonsil

+

+

-

Tonsil edema

+

+

+/-

Kriptus

+

+

+

Detritus

+

+

+

Perlengketan

-

+

+

hiperemis

hiperemis

melebar

m) Bagaimana tatalaksana dari penyakit pada kasus ini? Jawab: Pilihan Terapi Tonsilitis dan Faringitis secara Empirik (Sumber: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 2, hlm 1069) Anak Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral selama 10 hari

Benzathine penisilin G 25.000 U/kg sekali suntikan intramuskular Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2/3 dosis per oral selama 10 hari Cefdinir 14 mg/kg I kali, per oral selama 10 hari Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral selama 4-10 hari

Bila alergi penisilin: Azitromycin 1 x 12 mg/kg, PO, selama 5 hari Clarithromycin 2 x 250 mg, PO, selama 10 hari Erythrimycin 4 x 20 mg/kg, PO, selama 10 hari Clindamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 dosisselama 10 hari n) Bagaimana prognosis dari penyakit pada kasus ini? Jawab: Jika pengobatan diberikan sesuai dan adekuat, serta usaha meningkatkan imunitas dengan monitoring adalah baik maka prognosisnya baik. Vital: Dubia ad Bonam Fungsional: Dubia ad Bonam o) Bagaimana edukasi dari penyakit pada kasus ini? Jawab: 1. Istirahat cukup 2. Minum air putih yang cukup 3. Berkumur dengan air yang hangat 4. Kumur antiseptik 5. 5.Menjaga kebersihan mulut 6. Gizi harus baik 7. Hindari jajan sembarang, pewarna dan pengawet p) Apa SKDI dari penyakit pada kasus ini? Jawab: Kompetensi 4A Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas Lulusan

dokter

mampu

membuat

diagnosis

klinik

penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. 4A  Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

dan

melakukan

IV. HIPOTESIS A, anak laki-laki 15 tahun menderita tonsilitis dan faringitis dengan gejala sakit tenggorokan dan demam.

V. KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN No

Learning Issues

WIK (what I know)

WIDK (what I don’t know)

WIHTP (what I have to prove)

1.

Anatomi Oropharynx

- Anatomi Faring - Fisiologi Faring

-

- Anatomi oropharynx - Fisiologi oropharynx

2.

Anatomi Telinga

-

- Anatomi telinga - Fisiologi telinga

3.

Tonsilitis

4.

Faringitis

- Anatomi Telinga - Fisiologi Telinga - Definisi - Etiologi - Gejala - Definisi - Etiologi

- Penegakan diagnosis - Prognosis - Penegakan diagnosis - Prognosis

- Tatalaksana - Diagnosis banding - Patofisiologi - Tatalaksana - Diagnosis banding - Patofisiologi

HIWL (how I will learn) - Buku - Internet

VI. LEARNING ISSUE 1. Anatomi Oropharynx

Oropharynx terletak di belakang cavum oris.dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan belah antara lidah dan epiglotis.pada garis tengah terdapat plica glossoepiglottica mediana dan plica glossoepiglottica lateralis pada masing-masing sisi, lekukan kanan dan kiri pada plika ini disebut vallecula. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus atau arcus palatoglossus dan palatofaringeus dengan tonsila palatina diantaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan membrana mucosa yang menutupi musculus palatoglosus.celah diatara kedua arcus palatoglosus disebut istmus faucium dan merupan batas antara rongga mulut dan pharynx. Palatofaringeus adalah lipatan membrana mucosa yang menutupi musculus palatopharyngeus.recessus diantara arcus palatoglossus dan palatopharyngeus di isi oleh tonsilla palatina.

Tonsila palatina

Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid,masing-masing terletak didalam cekungan di dinding lateral oropharynx. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mukosa ,dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx.permukaanya berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara kelenjar yang terbuka ke crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh capsula fibrosa. Capsula ini dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis superior oleh jaringan areolar jarang. Vena palatina externa berjalan turun dari palatum molle di dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan plexus venosus pharyngeus.lateral terhadap musculus constrictor pharyngis,superior terhadap musculus styloglossus,lengkung arteria facialis dan arteria carotis interna. Adenoid Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

Vaskularisasi tonsil

Arteri yang memperdarahi tonsil adalah ramus tonsilaris arteria facialis,vena-vena menembus constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan vena palatina exsterna,vena pharyngealis atau vena facialis. Aliran limfe tonsil Limfe mengalir ke tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi bagian atas,tepat dibawah dan di belakang angulus mandibulae. Pesarafan

Oropharynx dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus.

2. Anatomi telinga

Bagian-bagian auris, sisi kanan: potongan longitudinal melalui Meatus acusticus, Aurius media, dan Tuba auditiva dilihat dari frontal. Gelombang suara memulai osilasi membrane tympanica (konduksi aerotympanica). Ossicula auditus menghantarkan vibrasi ke fenestra vestibule di telinga dalam dan menyesuaikan impendasi udara rendah dengan impedansi cairan tinggi pada Auris interna yang terisi cairan (penyesuaian impedansi). Selain itu, Auris interna juga dapat merasakan vibrasi tulang-tulang tengkorak (konduksi tulang). di dalam auris interna energy suara berjalan sebagai suatu gelombang. Sel-sel sensorik auris interna mengubah energy suara menjadi impuls listrik. Yang selanjutnya dibawa oleh N. cochlearis ke regio otak yang spesifik. Organ vestibular berfungsi untuk presepsi aakselerasi rotasional dan linear. Gerakan endolimfe yang terkandung di dalam organ vestibular menyebabkan defleksi silia pada permukaan sel sensorik yang berhubungan dengan serat-serat aferen N. vestibularis.

Membrana tympanica, tiga ossicula auditus di dalam cavitas tympani: Malleus berbentuk palu, Incus berbentuk landasan, dan Stapes berbentuk seperti Sanggurdi serta bagian-bagian membranaceus (biru).

Telinga merupakan alat indera yang peka terhadap rangsangan berupa gelombang suara. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi antara 20-20.000 Hz. Selain sebagai alat pendengaran, telinga juga berfungsi menjaga keseimbangan tubuh manusia. Telinga manusia terdiri dari tiga bagian yaitu bagian luar, bagian tengah, dan bagian dalam. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna atau aurikel) dan saluran telinga (meatus auditorius eksternus). Telinga luar merupakan tulang rawan (kartilago) yang dilapisi oleh kulit, daun telinga kaku tetapi juga lentur. Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan

otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz. Suara yang ditangkap oleh daun telinga mengalir melalui saluran telinga ke gendang telinga. Gendang telinga adalah selaput tipis yang dilapisi oleh kulit, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga luar.

Gambar 1. Anatomi Telinga Sumber: ADAM Education16 Telinga Tengah Telinga tengah terdiri dari gendang telinga (membran timpani) dan sebuah ruang kecil berisi udara yang memiliki 3 tulang kecil yang menghubungkan gendang telinga dengan telinga dalam.

Ketiga tulang tersebut adalah:  Maleus (bentuknya seperti palu, melekat pada gendang telinga)  Inkus (menghugungkan maleus dan stapes)  Stapes (melekat pda jendela oval di pintu masuk ke telinga dalam). Getaran dari gendang telinga diperkuat secara mekanik oleh tulang-tulang tersebut dan dihantarkan ke jendela oval. Telinga tengah juga memiliki 2 otot yang kecil-kecil:  Otot tensor timpani (melekat pada maleus dan menjaga agar gendang telinga tetap menempel)  Otot stapedius (melekat pada stapes dan menstabilkan hubungan antara stapedius dengan jendela oval.  Tuba eustakius adalah saluran kecil yang menghubungkan teling tengah dengan hidung bagian belakang, yang memungkinkan masuknya udara luar ke dalam telinga tengah. Tuba eustakius membuka ketika kita menelan, sehingga membantu menjaga tekanan udara yang sama pada kedua sisi gendang telinga, yang penting untuk fungsi pendengaran yang normal dan kenyamanan. Telinga Dalam Telinga dalam (labirin) adalah suatu struktur yang kompleks, yang terjdiri dari 2 bagian utama:  Koklea (organ pendengaran)  Kanalis semisirkuler (organ keseimbangan). Koklea merupakan saluran berrongga yang berbentuk seperti rumah siput, terdiri dari cairan kental dan organ Corti, yang mengandung ribuan sel-sel kecil (sel rambut) yang memiliki rambut yang mengarah ke dalam cairan tersebut. Kanalis semisirkuler merupakan 3 saluran yang berisi cairan, yang berfungsi membantu menjaga keseimbangan. Saluran ini juga mengandung sel rambut yang memberikan respon terhadap gerakan cairan.

Sumber: ADAM Education 17 Terdapat tiga bagian kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Berbentuk dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing- masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum. Ampula kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak di bawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampula bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit di bawah cruss communis. Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior telinga kanan. Koklea berbentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+4 mEq/l dan Na+139 mEq/l. Skala media berada di bagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks.

Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters, Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria dan lamina retikularis. Sel-sel rambut tersusun dalam empat baris, yang terdiri dari tiga baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar- pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3.500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12.000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik.

Gambar 4. Organ Corti. Sumber: Marc Lenoir Vaskularisasi telinga dalam Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirinti cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlea. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlea memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan di dalam kohlea mengitari modiolus. Vena dialirkan ke V.Labirinti yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior. Persarafan telinga dalam N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian koklear dan vestibular, di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Koklearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak di dasar dari meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Koklearis dengan ganglion spiralis

corti terletak di modiolus Fisiologi Telinga

 Bunyi ditangkap daun telinga -> membran timpani -> tulang pendengaran -> fenestra ovale -> menggerakkan perilimfe pada skala vestibuli -> melalui membran reissner mendorong endolimfe menimbulkan gerak relatif membran basilaris dan membran tektoria -> defleksi stereosilia sel rambut -> kanal ion terbuka -> terjadi pertukaran ion -> depolarisasi sel rambut -> pelepasan neurotransmiter -> potensial aksi saraf auditorius -> nukleus auditorius -> korteks pendengaran di lobus temporalis Gambar 5. Fisiologi Pendengaran Sumber: Georgia Highlands College Histologi Telinga

Gambar perbesaran lemah ini memperlihatkan karakteristik telinga dalam yang berbentuk labirin. Labirin tulang pada koklea (14, 16) membentuk spiral mengelilingi sumbu sentral tulang spongiosa yang bernama modiolus (15). Di dalam modiolus (15),

terdapat ganglion spiral (7), yang terdiri dari banyak neuron aferen (sensorik) bipolar. Dendrit dari neuron bipolar (7) ini meluas ke dan menyarafi sel rambut yang terletak di perangkat pendengaran yang dinamai organ Corti (12). Akson dari neuron-neuron aferen ini menyatu dan membentuk nervus koklearis (13), yang terletak di modiolus (15). Labirin tulang (14, 16) telinga dalam dibagi menjadi dua rongga utama oleh lamina spiralis tulang (6) dan membran basilaris (9). Lamina spiral tulang (6) menjulur dari modiolus (15) sekitar separuh jalan ke dalam lumen kanalis koklearis. Membran basilaris (9) berlanjut dari lamina spiralis tulang (6) ke ligamen spiral (11), yaitu penebalan jaringan ikat periosteum di dinding tulang luar kanalis koklearis (8). Kanalis koklearis (8) dibagi lagi menjadi dua kompartemen besar: duktus timpanikus (skala timpani) (4) di bawah dan duktus vestibularis (skala vestibuli) (2) di atas. Duktus timpanikus (4) duktus vestibularis (2) yang terpisah berjalan secara spiral hinggan ke apeks koklea, tempat keduanya berhubungan melalui sebuah lubang kecil yang dinamai helikotrema (1). Membran vestibularis (Reissner) (5) memisahkan duktus vestibularis (2) dari duktus koklearis (skala media) (3) dan membentuk atap duktus koklearis (3). Membran vestibularis (5) melekat ke ligament spiral (11) di dinding tulang luar kanalis koklearis (8). Sel-sel sensorik untuk deteksi bunyi terdapat di organ Corti (12), yang terletak di membrane basilaris (9) duktus koklearis (3). Membran tektorium (10) terletak di atas sel-sel organ Corti (12). Telinga Dalam: Duktus Koklearis (Skala Media) dan Organ Pendengaran Corti

Gambar ini memperlihatkan secara lebih rinci duktus koklearis (skala media) (9), organum spirale (organ of Corti) untuk pendengaran dan sel-sel terkait pada pembesaran yang lebih kuat. Dinding luar duktus koklearis (9) dibentuk oleh suatu daerah vaskular yaitu stria vascularis (15). Epitel bertingkat yang melapisi stria vascularis (15) mengandung suatu anyaman kapiler intraepithelial yang terbentuk dari pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi jaringan ikat di ligamentum spirale (17). Ligamentum spirale (17) mengandung serat kolagen, fibroblas berpigmen, dan banyak pembuluh darah. Atap duktus koklearis (9) dibentuk oleh membrana vestibularis (Reissner) (6) tipis, yang memisahkan duktus koklearis (9) dari duktus vestibularis (skala vestibuli) (7). Membrana vestibularis (6) terbentang dari ligamentum spirale (17) di dinding luar duktus

koklearis (9) yang terletak di bagian atas stria vaskularis (15) hingga periosteum tebal lamina spiralis cochleae (2) dekat limbus spiralis (1). Limbus spiralis (1) adalah massa tebal jaringan ikat periosteum lamina spiralis cochleae (2) yang meluas ke dalam dan membentuk dasar duktus koklearis (9). Limbus spiralis (1) dilapisi oleh epitel (5) yang tampak silindris dan ditunjang oleh perluasan lateral lamina spiralis cochleae (2). Perluasan lateral ekstraselular epitel limbus spiralis (5) melebihi limbus spiralis (1) membentuk membrane tectoria (10), yang menutupi terowongan spiral dalam (cuniculus spiralis internus) (S) dan sebagian organum spirale (13). Membran basilar (16) adalah jaringan ikat vaskular yang membentuk dinding bawah duktus koklearis (9). Organum spirale (3) terletak di atas serat-serat membran basilar (16) dan terdiri dari sel rambut luar (cochleocpus externus) (11) sensorik, sel penunjang, terowongan spiral dalam (8), dan terowongan dalam (cuniculus internus) (12). Serat aferen saraf koklear (4) dari sel bipolar terletak di ganglion spirale (3) berjalan menembus lamina spiralis cochleae (2) dan bersinaps dengan sel rambut luar (11) di organum spirale (13). Telinga Dalam: Duktus Koklearis dan Organ Corti

Fotomikrograf dengan pembesaran yang lebih kuat ini memperlihatkan telinga dalam dengan kanal koklear dan organum spirale (organ of Corti) (8) untuk pendengaran di koklea bertulang (1, 9). Kanal koklear dibagi menjadi duktus vestibularis (skala vestibuli) (10), duktus koklearis (skala media) (e), dan duktus timpani (skala timpani) (14). Membrana vestibularis (2) tipis memisahkan duktus koklearis (3) dari skala vestibuli (10). Membran basilar (7) yang lebih tebal memisahkan duktus koklearis (3) darl duktus timpani (skala timpani) (14). Membran basilar (7) terbentang dari jaringan ikat ligamentum spirale (6) hingga limbus spiralis (11) tebal. Membran basilar (7) menyokong organum spirale (8) dengan sel rambut (5) sensoriknya dan sel penunjang. Membrana tectoria (4) terjulur dari limbus spiralis (11). Membrana tectoria (4) menutupi sebagian organum spirale (8) dan sel rambut (5). Sel ganglion spirale (13) bipolar sensorik terletak di koklea bertulang (1, 9). akson

aferen dari sel ganglion spirale (13) berjalan menembus lamina spiralis cochleae (12) ke organum spirale (8) tempat dendrit-dendritnya bersinaps dengan sel rambut (5) di organum spirale (8). 3.

Tonsilitis

A. Definisi Tonsilitis diartikan sebagai peradangan pada tonsil palatina yang ditandai dengan peradangan tonsil, sakit tenggorok, gangguan menelan dan pembesaran ringan kelenjar limfe leher. Peradangan biasanya meluas hingga ke adenoid maupun tonsil lingual (tonsillitis jaringan limfoid di dasar lidah, melibatkan cincin Waldeyer) dan seringkali bersamaan dengan faringitis (air bone droplets), tangan, dan ciuman.

B. Etiologi Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003). Etiologi tonsillitis kronis dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Colman, 2001). Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptococcus beta hemolyticus group A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptococcus pyogenes, Streptococcus group B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus group A, E.coli dan Klebsiella (Abdulrahman, 2008).

C. Epidemiologi Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptococcus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.

D. Faktor Resiko 1. Umur 2. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. 3. Terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat 4. Gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal 5. Higiene mulut yang buruk 6. Pengaruh cuaca 7. Kelelahan fisik 8. Merokok 9. Makanan

E. Patogenesis dan atau Patofisiologi Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan

parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.

F. Klasifikasi 1. Tonsilitis akut Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan adanya limadenopati servikal. Korblut menjelaskan gejala tonsilitis akut akan berkurang 4-6 hari. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14 hari. Tonsilitis akut berdasarkan penyebab infeksi, yaitu: a. Tonsilitis viral 

Gejalanya: commond cold + rasa nyeri tenggorokan



Penyebab paling sering : Virus Epstein Barr.



Hemofilus influenzae  tonsilitis akut supuratif.



Infeksi virus coxschakie  rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.



Lebih sering pada anak prasekolah.

b. Tonsilitis bakterial 

Penyebab : bakteri grup A Streptococcus β hemolyticus yang dikenal sebagai Streptococcus

throat,

Pneumococcus,

Streptococcus

viridans,

Streptococcus

pyogenes. 

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil reaksi radang keluarnya leukosit polimorfonuklear  membentuk detritus.



Bentuk tonsilitis akut + detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercakbercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

2. Tonsilitis Membranosa a. Tonsilitis difteri 

Penyebab : bakteri Corynebacterium diphteriae.



Sering pada anak-anak berusia <10 tahun ,frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun

b. Tonsilitis septik 

Penyebab: Streptococcus hemolyticus yang terdapat dalam susu sapi

c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) 

Penyebab: bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C

d. Penyakit kelainan darah 

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.

3. Tonsilis Kronik Tonsilitis kronik rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil. Di samping tonsilitis akut dan kronis Brodsky menjelaskan adanya tonsiltis akut rekuren yang didefinisikan sebagai tonsilitis akut yang berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun selama 3 tahun. Dalam catatan kebanyakan anak tidak ditemukan adanya keluhan diantara episode, dengan gambaran maupun ukuran tonsil yang kembali normal.

Namun demikian bagi dokter yang teliti dapat menemukan eritema peritonsil, meningkatnya debris pada kripta tonsil, dilatasi pembuluh darah tonsil, maupun ukuran tonsil yang sedikit berubah.

Tabel Perbedaan Klasifikasi Tonsilitis (Nurjanna, 2011)

G. Manifestasi Klinis Gejala klinis tonsilitis kronis yaitu: 1) Sakit menelan. Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis

mendapatkan dari 63

penderita tonsilitis kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama (Timbo, 1998). 2) Bau mulut (halitosis) Disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas) (Dhingra, 2008; Shnayder, 2008).

4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).

Derajat pembesaran tonsil:  T1: tonsil tidak melewati pilar faring posterior  T2: tonsil melewati pilar posterior namun tidak melewati garis pertengahan (imajiner antara uvula dan pilar posterior)  T3: tonsil mencapai garis pertengahan antara uvula dan pilar posterior  T4: tonsil saling menempel (kissing tonsil) atau mendorong uvula

H. Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan mikrobiologi (kultur dan uji resistensi bila perlu) Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al,2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptococcus β hemolyticus diikuti Staphylococcus aureus. b) Histopatologi Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan

ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.

I. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan. 1. Medikamentosa Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut. a) Antibiotik sesuai kultur Antibiotik jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain jenis penisilin. Pada bakteri penghasilenzim β laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini seperti amoksisilin clavulanat. Bila alergi dengan penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis). b) Analgetik Obat lozenges (obat hisap) untuk mengurangi sakit tenggorokan c) Obat kumur Terapi lokal untuk higiene mulut dengan obat kumur atau obat isap 2. Tonsilektomi The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah: a) Indikasi Absolut 1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner. 2) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase 3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam 4) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi b) Indikasi Relatif 1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik yang adekuat

2) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis 3) Tonsilitis kronik atau berulang pada kariera Streptococcus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten 4) Terapi Tonsilitis dan Faringitis Secara Empirik Dewasa Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Benzathine penisilin G 1,2 juta U intramuskular Amoksisilin 2x500-875 mg atau 3x250-500 mg per oral selama 10 hari Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg per oral selama 10 hari Cefuroxime axetil 1x250 mg per oral selama 4 hari Bila alergi Penisilin Dewasa Azitromycin 1x500 mg, PO, selama 5 hari Clarithromycin 2x250 mg, PO, selama 10 hari Erythromycin 4x500 mg, PO, selama 10 hari Clindamycin 20mg/kg/hari dalam 3 dosis selama 10 hari Levofloxacin 1x500 mg, PO, selama 7 hari

Anak Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral selama 10 hari Benzathine penisilin G 25.000 U/kg sekali suntikan intramuskular Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2/3 dosis per oral selama 10 hari Cefdinir 14 mg/kg 1 kali selama 10 hari Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral selama 4-10 hari Anak Azitromycin 1x12 mg/kg, PO, selama 5 hari Clarithromycin 2x250 mg, PO, selama 10 hari Erythromycin 4x20 mg/kg, PO, selama 10 hari Clindamycin 20mg/kg/hari dalam 3 dosis selama 10 hari

J. Edukasi dan Pencegahan Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. 1. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. 2. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. 3. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.

K. Komplikasi

1.

Otitis media akut Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga

tengah. 2.

Abses peritonsil Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses

biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses. 3.

Abses parafaring Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal. 4.

Perluasan hingga laring dan menyumbat jalan napas atas sehingga diperlukan trakeostomi.

5.

Toksemia

6.

Septikemia

7.

Bronkitis

8.

Nefritis interstitial dengan gambaran albuminuria pada urinalisis

9.

Kelumpuhan otot palataum mole, otot akomodasi mata, otot faring hingga laring yang menyebabkan kesulitan menelan

10.

Miokarditis

11.

Artritis

L. Prognosis Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.

Jika pengobatan diberikan sesuai dan adekuat, serta usaha meningkatkan imunitas dengan monitoring adalah baik maka prognosisnya baik. Vital: Dubia ad Bonam Fungsional: Dubia ad Bonam

M. Algoritma Penegakan Diagnosis 1) Anamnesis  Nyeri terus menerus di tenggorokan (Odinofagi)  Nyeri saat menelan  Rasa mengganjal di tenggorokan  Terasa kering  Pernafasan Bau 2) Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan dapat dijumpai : a. Tonsil dapat membesar bervariasi. b. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula. 3) Pemeriksaan Penunjang: Bisa dengan kultur dari dalam tonsil (gold standard)

N. Diagnosis Banding Kasus

Tonsilopharingitis

Tonsillitis

Rhinotonsilopharingitis

difteri Disfagia

+

+

+

Odinofagia

+

+

+

Batuk

+

-

+

Pilek

-

-

+

Demam

+

subfebris

+

Pem.kelenjar

+

+

+

Pharynx

+

-

+

Detritus (+)

+

+

+

Tonsil

+

+

+

-

-

+

+

+

-

+

+

+/-

+

+

+

Detritus

+

+

+

Perlengketan

-

+

+

hiperemis

T3/T3 Konka Edema Tonsil hiperemis Tonsil edema Kriptus melebar

Diagnosis kerja: tonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.

4. Faringitis 1. Definisi Faringitis adalah peradangan pada faring, saluran napas setelah dari hidung menuju ke trakea.Sering disebut hanya sebagai “sakit tenggorokan.”Faringitis juga bisa menyebabkan gatal dan luka di tenggorokan dan sakit ketika menelan. Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya.Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak. 2. Etiologi Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi.Banyakmikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%)dan bakteri (5-40%) yang paling sering (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi,2007). Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yangmenyebabkan faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus,Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus danEpstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus(HIV) juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L. Boone, 2003;Anthony W Chow, 2013). Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae,

Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus(GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30%pada anak-anak (5-15 tahun) (Ferri, 2012; Rusmarjono dan Efiaty ArsyadSoepardi, 2007). 3. Epidemiologi Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis.Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital AmbulatoryMedical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungananak-anak dengan faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun,dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per tahun (Mary T. Caserta, 2009).Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasanatas, termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000penduduk per tahun di Amerika Serikat (Alan L. Bisno, 2001). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak.Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasusfaringitis pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksiGroup A Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3Tahun. 4.     

Faktor Resiko Turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi Kekurangan gizi Konsumsi alkohol yang berlebihan Merokok Tinggal di lingkungan yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013)

5. Patofisiologi Penularan dapat terjadi melalui droplet.Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar.Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid.Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. 6. Klasifikasi 1) Faringitis Akut a. Faringitis viral

Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), Virus influenza, Coxsachievirus,Cytomegalovirus dan lain-lain.Gejala dan tandabiasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. b. Faringitis bacterial Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. c. Faringitis fungal Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut danfaring.Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan.Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa. d. Faringitis gonorea Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. 2) Faringitis Kronik a. Faringitis kronik hiperplastik Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi.Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk. b. Faringitis kronik atrofi Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. 3) Faringitis Spesifik a. Faringitis tuberculosis Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Gejala dan tanda biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena anoreksi dan odinofagia.Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal. b. Faringitis luetika Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah faring.Kelainan stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan.Kelainan stadium tersier terdapat pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior faring dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatummole, apabila sembuh akan membentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen. 7. Manifestasi Klinis

 Virus a. Jarang ditemukan tanda dan gejala yang spesifik. Faringitis yang disebabkan oleh virus menyebabkan rhinorrhea, batuk, dan konjungtivitis. b. Gejala lain dari faringitis penyebab virus yaitu demam yang tidak terlalu tinggi dan sakit kepala ringan. c. Pada penyebab rhinovirus atau coronavirus, jarang terjadi demam, dan tidak terlihat adanya adenopati servikal dan eksudat faring. d. Pada penyebab virus influenza, gejala klinis bisa tampak lebih parah dan biasanya timbul demam, myalgia, sakit kepala, dan batuk. e. Pada penyebab adenovirus, terdapat demam faringokonjungtival dan eksudat faring. Selain itu, terdapat juga konjungtivitis. f. Pada penyebab HSV, terdapat inflamasi dan eksudat pada faring, dan dapat ditemukan vesikel dan ulkus dangkal pada palatum molle. g. Pada penyebab coxsackievirus, terdapat vesikel-vesikel kecil pada palatum molle dan uvula. Vesikel ini mudah ruptur dan membentuk ulkus dangkal putih h. Pada penyebab CMV, terdapat eksudat faring, demam, kelelahan, limfadenopati generalisata, dan splenomegali. i. Pada penyebab HIV, terdapat demam, myalgia, arthralgia, malaise, bercak kemerahan makulopapular yang tidak menyebabkan pruritus, limfadenopati, dan ulkus mukosa tanpa eksudat.  Bakteri a. Faringitis dengan penyebab bakteri umumnya menunjukkan tanda dan gejala berupa lelah, nyeri/pegal tubuh, menggigil, dan demam yang lebih dari 380C. Faringitis yang menunjukkan adanya mononukleosis memiliki pembesaran nodus limfa di leher dan ketiak, tonsil yang membesar, sakit kepala, hilangnya nafsu makan, pembesaran limpa, dan inflamasi hati. b. Pada penyebab Streptococcusgroup A, C, dan G, terdapat nyeri faringeal, demam, menggigil, dan nyeri abdomen. Dapat ditemukan hipertrofi tonsil, membran faring yang hiperemik, eksudat faring, dan adenopati servikal. Batuk tidak ditemukan karena merupakan tanda dari penyebab virus. c. Pada penyebab S. Pyogenes, terdapat demam scarlet yang ditandai dengan bercak kemerahan dan lidah berwarna stoberi. d. Pada penyebab bakteri lainnya, ditemukan adanya eksudat faring dengan atau tanpa tanda klinis lainnya. 8. Diagnosis (Skor Centor) Kriteria Temperatur >38°C Tidak ada batuk Pembesaran kelenjar leher anterior Pembengkakan tonsil Usia: 3-14 tahun 15-44 tahun >= 45 tahun

Point 1 1 1 1 1 0 -1

Skor

  

≤0 1 2

Resiko Infeksi Streptococcus 1-2,5 % 5-10% 11-17%

3

28-35%

≥4

51-53%

Tatalaksana Kultur tidak dilakukan, Antibiotik (-) Kultur tidak dilakukan, Antibiotik (-) Kultur dilakukan, Antibiotik jika kultur (+) Kultur dilakukan, Antibiotik jika kultur (+) Kultur dilakukan, Antibiotik empiris/ sesuai kultur

Pemeriksaan penunjang Gold standar : pemeriksaan kultur apusan tenggorok. Pemeriksaan kultur ulang setelah terapi tidak rutin direkomendasikan. Rapid antigen detection test: untuk mendeteksi antigen Streptococcus group A. mempunyaispesifisitas tinggi, sensitifitas rendah. Tes antibodi terhadap streptococcus (ASTO): Tidak mempunyai nilai dalam penegakan diagnosis maupunpenanganan faringitis Streptococcus.

9. Diagnosis Banding  Epiglotitis kasus emergensi  Difteri pediatric  Mononucleosis dan infeksi EBV  Infeksi mycoplasma pediatrik  Dll 10. Tatalaksana 1) Tata laksana umum  Istirahat cukup  Pemberian nutrisi dan cairan yang cukup  Pemberian obat kumur dan hisap pada anak yang lebih besaruntuk mengurangi nyeri tenggorok  Pemberian antipiretik, dianjurkan parasetamol atau ibuprofen 2) Terapi antibiotik  Pemberian antibiotik harus berdasarkan gejala klinis dugaan faringitis streptokokus dan diharapkan didukung hasil Rapid antigen detection test dan/atau kultur positif dari usap tenggorok.  Tujuan : untuk menangani fase akut dan mencegah gejala sisa.  Antibiotik empiris dapat diberikan pada anak dengan klinis mengarah ke faringitis streptokokus, tampak toksik dan tidak ada fasilitas pemeriksaan laboratorium  Golongan penisilin (pilihan untuk faringitis Streptococcus)  penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis selama 10 hari atau  Amoksisilin 50mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari  Bila alergi penisilin dapat diberikan

1. Eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari atau 2. Eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2,3 atau 4 kali perhari selama 10 hari. 3. Makrolid baru misalnya azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari  Tidak dianjurkan: antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II karena resiko resistensi lebih besar  Jika setelah terapi masih didapatkan streptokokus persisten, perlu dievaluasi : 1. Kepatuhan yang kurang 2. Adanya infeksi ulang 3. Adanya komplikasi misal: abses peritonsilar 4. Adanya kuman beta laktamase.  Penanganan faringitis streptokokus persisten :  Klindamisin oral 20-30 mg/kgBB/hari (10 hari) atau  Amoksisilin clavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis selama 10 hari atau  Injeksi benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau 1.200.000 IU (BB>30 kg) (Alberta, 2001; Bisno, 2001 ; Diaz MCG, 2004) Rekomendasi regimen antibiotik untuk faringitis gabhs. Obat, rute Penisilin v, oral

Amoksisilin, oral

Benzatin penisilin intramuskular Sefaleksin, oral Sefadroksil, oral Klindamisin, oral Azitromisin, oral Klaritromisin, oral

Dosis Individu tidak alergi penisilin Anak-anak: 2 hingga 3x 250 mg /hari . Remaja dan dewasa: 4x 250 mg atau 2x 500 mg sehari. 50mg/kg satu kali sehari (maksimal: 1000 mg); atau 25 mg/kg (maks = 500 mg) dua kali sehari. g, <27 kg: 600.000 u; >27 kg: 1.200.000 u Individu alergi penicilin 2 kali 20 mg/kg/dosis (maks = 500 mg/dosis) sehari. 1 x 30 mg/kg sehari (maks = 1g) 3 x 7 mg/kg/dosis (maks = 300 mg/dosis) 1 x 12 mg/kg (maks = 500 mg) 2 x 7,5 mg/kg sehari (maks = 250 mg/dosis)

11. Komplikasi 1) Oleh virus  Infeksi pada telinga tengah. 2) Oleh bakteri  Rinosinusitis

Durasi/jumlah 10 hari

10 hari

1 dosis

10 hari 10 hari 10 hari 5 hari 10 hari

     

Otitis media Mastoiditis Adenitis servikal Abses retrofaringeal atau parafaringeal Pneumonia. Komplikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis atau arthritis septik termasuk juga dari komplikasi penyakit nonsupuratif seperti demam reumatik akut dan acute postinfectious glomerulonephritis.

12. Prognosis Sebagian besar faringitis atau tonsillitis yang diakibatkan oleh virus memiliki prognosis yang lebih baik karena sangat jarang menimbulkan komplikasi dan juga merupakan self limiting disease yang mana akan dapat membaik apabila sistem imun membaik. Sedangkan pada faringitis atau tonsillitis yang diakibatkan oleh bakteri memiliki prognosis yang lebih buruk karena dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, oleh karena itu dibutuhkan pemberian antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri agar fase penyembuhan dapat berlangsung tanpa mengakibatkan komplikasi. Jika pengobatan diberikan sesuai dan adekuat, serta usaha meningkatkan imunitas dengan monitoring adalah baik maka prognosisnya baik. Vital: Dubia ad Bonam Fungsional: Dubia ad Bonam

Related Documents

Skenario Fix Sus.docx
April 2020 9
Fix Skenario B.docx
November 2019 22
Fix
October 2019 76
Fix Fix Skaliii.docx
May 2020 43

More Documents from "Lila Muliyani"

Skenario B Blok 14.docx
November 2019 23
Fix Skenario B.docx
November 2019 22
Li Ari.docx
November 2019 32
55 Trends
December 2019 36