KATA PENGANTAR Pujisyukur yang dalam kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Makalah Farmakoekonomi yang berjudul cost minimalize analysis dapat selesai tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam ilmu Farmakoekonomi , sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa pada mata kuliah Farmakoekonomi. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada selaku dosen farmakoekonomi Dr. Dra. Lili Musnelina, M. Si, Apt yang telah membantu dan membimbing penulis selama ini. Meskipun penyusun berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan baik yang disengaja atau pun tidak kami sengaja. Akhir kata penyusun berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Jakarta, Maret 2019
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Farmakoekonomi
merupakan
studi
yang
mengukur
dan
membandingkan antara biaya dan hasil/konsekuensi dari suatu pengobatan. Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memberikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternative-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Seiring dengan berkembangnya pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di berbagai belahan dunia, maka ruang lingkup farmakoekonomi juga meliputi studi tentang manfaat pelayanan farmasi klinik secara ekonomi. Hasil studi semacam ini bisa dimanfaatkan untuk menjustifikasi apakah suatu bentuk pelayanan farmasi klinik dapat disetujui untuk dilaksanakan di suatu unit pelayanan, ataukah suatu pelayanan farmasi klinik yang sudah berjalan dapat terus dilanjutkan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis ditantang untuk mampu melakukan penilaian menyeluruh terhadap suatu obat baik dari segi efektivitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya. Untuk itu diperlukan bekal pengetahuan tentang prinsip prinsip farmakoekonomi dan keterampilan yang memadai dalam melakukan evaluasi hasil studi farmakoekonomi. Komitmen pencapaian MDGs ini telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan periode 2010–2014. Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut.Jumlah penduduk miskindengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan bebangan da penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi.
Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisilain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai. Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan anggaran tersebut membuat pencapaian target MDGs, bahkan upaya pembangunan kesehatan secara umum menghadapi kendala. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan reformasi di bidang kesehatan, termasuk reformasi pembiayaan kesehatan. Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua negara di seluruh dunia, memiliki keterbatasan sumberdaya dan dana yang kebutuhannya terus meningkat, sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan peralatan dalam menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini memaksa dilakukannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif. Meskipun upaya untuk memenuhi kebutuhan bidang kesehatan melekat pada setiap warga Negara, namun mengingat karakteristik barang/ jasa kesehatan tidak dapat diusahakan/ diproduksi sendiri secara langsung oleh masing-masing warga Negara melainkan harus ada pihak lain yang secara khusus memproduksi dan menyediakannya, maka penyediaan barang/ jasa bidang kesehatan mutlak memerlukan keterlibatan perintah. Kesehatan adalah hak asasi manusia.UUD 1945 menjamin bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan beban ganda penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya
pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai. Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah ini perlu digunakan kaidah farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau Formularium Rumah Sakit, misalnya untuk pemilihan jenis obat yang akan dimasukkan ke dalamnya perlu dilakukan pembandingan efektivitas terapi, termasuk frekuensi manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua atau lebih obat yang berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan untuk satu periode terapi dari masing-masing obat tersebut. Dalam hal ini, biaya obat untuk satu periode terapi adalah banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk pembelian obat atau pembayaran perawatan kesehatan sampai seorang pasien mencapai kesembuhan. Dengan demikian, pemilihan obat tidak hanya didasarkan pada harga per satuan kemasan. Karena itu, peningkatan efektivitas-biaya obat, bahkan di tingkat pemerintah daerah atau tingkat lokal rumah sakit, pada ujungnya akan memberikan dampak yang berarti terhadap efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional. Dan dengan menerapkan peningkatan efektivitas biaya dan upaya lain berdasarkan kaidah farmakoekonomi pada penetapan kebijakan kesehatan secara menyeluruh, peningkatan efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional yang dicapai akan maksimal. 1.2 Rumusan Masalah a. Apa pengertian CMA (Cost Minimalization Analysis)? b. Apa tujuan dilakukan CMA (Cost Minimalization Analysis)? c. Bagaimana perbandingan biaya minimal dari penggunaan intravena seftriakson dan sefotaksim dalam pengobatan pneumonia geriatri di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie dan apa faktornya?
1.3 Tujuan Masalah a. Mengetahui pengertian CMA (Cost Minimalization Analysis) b. Mengetahui tujuan dan manfaat dilakukan CMA (Cost Minimalization Analysis) c. mengetahui
perbandingan biaya
minimal
dari
penggunaan
intravena seftriakson dan sefotaksim dalam pengobatan pneumonia geriatri dinRSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie dan faktornya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian CMA (Cost Minimalization Analysis) Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri. Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Biaya langsung Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya. 2. Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien). (Bootman et al., 2005). 3. Biaya nirwujud (intangible cost) adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya.
4. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost) adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Berger et al., 2003). Empat metode analisis bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.
Analisis minimalisasi biaya (Cost Minimization Analysis/ CMA ) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan dua pilihan (opsi, option) intervensi atau lebih yang memberikan hasil (outcomes) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang menawarkan biaya lebih rendah. Cost Minimization Analysis (CMA) didefinisikan sebagai tipe studi farmakoekonomi yang membandingkan biaya dari dua atau lebih terapi dengan mempertimbangkan outcome klinik dan/atau kualitas hidupnya sebanding, dimana biaya menjadi satu-satunya faktor pembanding (Bootman, 2005).
2.2 Tujuan CMA (Cost Minimization Analysis) CMA digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan CMA adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan CMA agak terbatas, misalnya untuk: a. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas bioekuivalen (BA/BE). Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan. b. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.
2.3 Penyakit pneumonia Pneumonia
adalah proses infeksi akut berupa peradangan paru di
jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia ditandai oleh gejala klinis batuk, pilek, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat atau napas sesak. Menurut
hasil
Riset
Kesehatan
Dasar
(Riskesdas) tahun 2013,
menunjukkan prevalensi nasional Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu sebesar 25%, dan terjadi peningkatan prevalensi pneumonia 11,2% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2013. Negara maju seperti Amerika, ditemukan sekitar 18,2 kasus pneumonia per 1000 penduduk berusia 6569 tahun. Angka itu meroket menjadi 52,3 kasus per 1000 penduduk berusia 85 tahun ke atas. Kematian akibat pneumonia mencapai hampir
200 per 100.000 pasien lansia pada 2002 di Taiwan. Pengobatan pneumonia kebanyakan
dilakukan
secara empiris yaitu menggunakan
antibiotik
spektrum luas yang bertujuan agar dapat melawan langsung beberapa penyebab infeksi. Antibiotik seftriakson dan sefotaksim menjadi pilihan didalam terapi pengobatan pneumonia berdasarkan jenis mikroorganisme yang menginfeksi, seperti yang diketahui bahwa bakteri
Klebsiella
pneumonia masih menjadi salah satu penyebab utama pneumonia komunitas di beberapa Negara.
BAB III STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN 3.1 Studi Kasus dan Pembahasan Penetian yang dilakukan merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat deskriptif dengan metode penelitian observasional, sedangkan pengambilan data dilakukan secara retrospektif, subjek penelitian adalah pasien pneumonia geriatri yang dirawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie periode Juli 2014 - Juni 2015. Proses pengumpulan data dimulai dari proses mengumpulkan data rekam medik pasien pneumonia geriatri yang dirawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie periode Juli 2014-Juni 2015. Kemudian diambil sampel pasien yang sesuai. Kriteria inklusi dan sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan sambel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien pneumonia yang dirawat inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie, yang mendapatkan terapi yaitu seftriakson atau sefotaksim. Data yang dikumpulkan dari rekam medik meliputi demografi pasien. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini adalah 36 pasien pneumonia geriatri yang terdiri dari 26 pasien menggunakan seftriakson dan 10 pasien menggunakan sefotaksim. Gambaran karakteristik pasien dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah pasien geriatri yang menderita pneumonia tertinggi terdapat pada rentang usia 60-74 tahun. Seperti yang diketahui bahwa pasien usia tua dengan pneumonia memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien pneumonia dengan usia yang lebih muda. Pada penelitian pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki proporsi lebih tinggi untuk terjadinya pneumonia dibandingkan pasien perempuan, hal ini dikarenkan laki-laki lebih sering beraktivitas diluar rumah sehingga mudah terpapar polusi udara. Selain itu, laki-laki cenderung lebih suka mengkonsumsi rokok dibandingkan perempuan. Polusi udara dan asap rokok mempunyai banyak zat kimia yang dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernapasan. Hasil penelitian
berdasarkan
diagnose
penyakit
diketahui
bahwa
bronkopneumonia disertai komorbid menunjukkan angka kejadian tertinggi. Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Tabel 2. Total Biaya Non Obat yang dikeluarkan Psien Pneumonia Selama Rawat Inap di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie.
Biaya non obat-obatan yang dikeluarkan pasien pneumonia geriatri selama rawat inap dapat dilihat pada Tabel 2. Total biaya yang dikeluarkan pasien sebesar Rp 771.800. Biaya terapi pneumonia non obat berupa; biaya registrasi pasien, sewa ruang perawatan, biaya IGD, biaya laboratorium, dan biaya visit dokter. Besarnya biaya terapi pneumonia non
obat pada pasien geriatri ditentukan berdasarkan tindakan yang diberikan serta adanya penyakit penyerta. Biaya ini dapat pula dipengaruhi oleh lamanya rawat inap serta tingkat keparahan penyakit. Tabel 3 Penggunaan Seftriakson dan Sefotaksim Pada Pneumonia Geriatria.
Tabel
3
menunjukkan
persentase
penggunaan
antibiotik
seftriakson dan sefotaksim dalam pengobatan pneumonia geriatri. Persentase penggunaan seftriakson lebih besar 72,2% dibandingkan sefotaksim 27,8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seftriakson lebih banyak digunakan dibandingkan sefotaksim. Hal ini
dikarenakan
kemampuannya dalam menembus cairan tubuh lebih baik dibandingkan dengan antibiotik golongan sefalosforin yang lain, serta pemakaiannya yang diberikan secara intravena dengan durasi yang panjang sehingga kepatuhan pasien lebih diperhatikan dan tingkat toksisitasnya pun rendah. Table 4. Analisis Minimalis Biaya dari Penggunaan Intravena Seftriakson dan Sefotaksim pada Pengobatan Pneumonia Geriatri di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie
Pada dengan
Tabel 4 menunjukkan bahwa penggunaan seftriakson
frekuensi 2 kali sehari sebanyak 1gram akan lebih murah
Rp.103.725 jika dibandingkan sefotaksim dengan frekuensi 3 kali sehari sebanyak 1 gram Rp.148.125 dengan rata-rata lama rawat inap yang sama yaitu selama 5 hari. Dari segi biaya penggunaan seftriakson lebih murah dibandingkan sefotaksim. Hal ini dikarenkan durasi seftriakson yang panjang sehingga
penggunaannya hanya 2 kali sehari sedangkan
sefotaksim 3 kali sehari. Dari segi efektivitasnya berdasarkan penelitian Smith antara seftriakson dan sefotaksim untuk infeksi bakteri serius menunjukkan bahwa pemberian seftriakson 2 gram sekali sehari sama efektifnya dengan sefotaksim 2 gram setiap 4 jam.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan antibiotik seftriakson
mempunyai biaya minimal lebih rendah dibandingkan sefotaksim dalam pengobatan pneumonia pada pasien geriatri di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan pasien menggunakan seftriakson sebesar Rp 103.725, sedangkan sefotaksim sebesar Rp148.125 dengan rata-rata lama rawat inap yang sama yaitu 5 hari. Faktor yang menyebabkan adanya perbedaan biaya antara kedua antibiotik ini ada pada regimen dosis dimana seftriakson diberikan 2 kali sehari sedangkan sefotaksim 3 kali sehari.
BAB V DAFTAR PUSTAKA 1.Depkes RI. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta: Ditjen PPM PLP; 2002. 2. Depkes R.I. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 2013. 3. Riquelme O R, Riquelme O M, Rioseco Z ML, et al. Etiology and Prognostics Factors of Community-Acquired Pneumonia Among Adults Patients Admitted to a Regional Hospital in Chile. Rev Med Chil. 2006 4. Widjojo, Parno dan Khairuddin. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Kasus Penumonia yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP DR. Kariadi Semarang. Semarang; 2008. 5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit: FK UI; 2003. 6. Brisse S, Fevre C, Passet V, Sylvie I, Tournebize R, Diancourt L, et al. Virulent Clones of Klebsiella pneumoniae: Identification and Evolutionary Scenario Based on Genomic and Phenotypic Characterization, PLOS ONE; 2008; 4 (3), 1-13 7. Anonim. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Nafas. Departemen Kesehatan RI. Jakarta; 2005
8. Gannon C.J, Pasquale M, Tracy J.K, Mc Carter R.J, Napolitano L.M. Male Gender is Associated with Increased Risk for Postinjury Pneumonia. Shock (Augusta, Ga.), 21(5), pp.410–414; 2004 9. World Health Organization.Indonesian’s Tobacco Profile (Tobacco free Initiative). Geneva : WHO. 2012 10. Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Editor: Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001 11. Martin Wawruch, Silvester Krcmery, Lydia Bozekova, Ladislava Wsolova, Stefan Lassan, Zuzana Slobodova, Milan Kriska. Factors influencing prognosis of pneumonia in elderly patients. December 2004, Volume 16, Issue 6, pp 467-471 12. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, dkk. Risk factors for community-aquired pneumonia in adults in Europe: a literature review; 68: 1065. 2008 13. Fry AM, Shay DK, Holman RC, Curns AT, Anderson LJ. Trends in hospitalizations for pneumonia among persons aged 65 years or older in the United States 1988–2002. JAMA; 294: 2712–19. 2005 14. Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddarth : editor). Jakarta : EGC 15. Anderson PO, Knoben JE, and Troutman. American Hospital Formulary Services (AHFS) Drug Information . American Society of HealthSystem Pharmacists. United stated of America; 2008
16. Anwari I. Cairan Tubuh Elektrolit dan Mineral. Halaman 2. http://www.pssplab.com/journal/01.pdf; 2007 (Diakses tanggal 14 februari 2016). 17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit: FK UI; 2003. 18. Widjojo P, Khairuddin. Study of antibiotic usage rationality in pneumonia patients whom taken care in the internal medicine ward. Dr.Karyadi General Hospital Semarang during 2008. Diponegoro University .Bandung. 2008