TUTORIAL IN CLINIC (TIC) LAPORAN TUTORIAL KASUS PNEUMONIA PADA Tn. A DI UNIT GAWAT DARURAT RSUD SULTAN SYARIF MOHAMMAD AL-KADRIE
Nama Kelompok 4 : Lydia Yuniarsih Arizal Lidwina Yulieni Kosiang Utin Harmiyanti Lili Santi Julianto Syafrizal Winda Ayu Lestari Bob Kristian Luis Selly Malisa
PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2019 KASUS PEMICU:
Tn. A 60 tahun di antar keluarga ke IGD RSUD Sultan Syarif Mohammad Al-Kadrie karena batuk dan pilek yang tak kunjung sembuh disertai nyeri pada dada, klien juga mengalami sesak ketika dahak tidak dapat di keluarkan, klien juga mengatakan sudah 3 hari ia demam, suhu tubuhnya turun naik. Klien mengatakan ia memiliki riwayat penyakit Tuberkolosis dengan pengobatan 2 tahap, yaitu 2 bulan setelah klien terdiagnosa TB dan 4 bulan setelah pengobatan yang dijalananinya selama 2 bulan. Klien mengatakan ia mengalami batuk dan sesak setelah ia pulang dari naik haji. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital: TD: 120/70 mmHg, N: 92x/menit, RR: 23x/menit, T: 38,0oC, SpO2:95%. Klien diberikan injeksi ranitidine 2x 125 mg, PCT drip 1 gram, injeksi Ceftriaxone 1 gram, rindovenct 1 capsul, vestan 3x 200 mg PO, infus Rl 20 tpm. Klien dilakukan skin test ceftriaxone 0.5 cc dengan dosis 1 gram dalam 10 cc aquades. Klien terpasang O2 nasal kanul 3 Lpm. Klien mendapatkan nemubisasi Combivent 1 gram. Hasil pemeriksaan serum (tanggal 26 Februari 2019) GDS 217 mg/dl ( 70-150 mg/dl ) Ureum 32,2 mg/dl ( 16.0-43.0 mg/dl ) Kreatinin 1.43 mg/dl ( 0.60-1.40 mg/dl ) SGOT 17 U/L ( 3-38 U/L ) SGPT 23 U/L ( 3-35 U/L ) Hasil pemeriksaan darah lengkap (tanggal 26 februari 2019) Eritrosit 4.45 106/UL (4.7-6.1 106/UL) Hemoglobin13.3 g/ dl ( 13.6 – 18.0 g/ dl ) MCV 76.6 Fl ( 79.0- 89 fl ) MCH 26.0 pg ( 27.0-31.0 pg ) MCHC 37.6 u/dl ( 33.0-37.0 u/dl ) Segmen N % 36.6 % (40-73 %)
Limfosit 12.6 % (25-40 %) HbsAg Non reaktif HIV Non reaktif Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Non- Reaktif Hasil pemeriksaan Rongten Thorax Foto Thorax AP: corak bronkopneumonia paru kasar, bercak-bercak retikuloinfiltran di lap bawah terutama kanan, fibrotic di spex paru. CRT < 2 detik Sinus costophremicus kanan dan kiri sedikit tumpul, diafragma tenting Kesan: Bronkophenumonia dengan fibrotic pilmo (proses spesifik?/lab ? )
Step 1 (Identifikasi Kata-Kata Sulit)
Step 2 (Identifikasi Masalah) 1. Apa saja yang dapat menyebabkan pneumonia? 2. Bagaimana tanda dan gejala pneumonia? 3. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pneumonia? 4. Tindakan apa saja yang dilakukan pada penderita pneumonia? 5. Apa komplikasi dari pneumonia?
STEP 3 (Jawaban Sementara) 1. Penyebab pneumonia antara lain bakteri, virus, jamur, dan mikoplasma. 2. Tanda dan gejala pneumonia antara lain nyeri dada, menggigil, atau kebingungan, batuk, demam, sakit kepala, atau nyeri otot. 3. Pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis pneumonia adalah rontgen dada, kultur sputum, dan oksimetri.
4. Tindakan yang dilakukan pada penderita pneumonia yaitu memberikan terapi oksigen jika terjadi hipoksemia, menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tandatanda, kolaborasi pemberian antibiotik. 5. Komplikasi pneumonia antara lain efusi pleura, emfisema, meningitis, abses otak, endokarditis, osteomielitis, dan otitis media akut. Step 4 ( Skema )
Pneumonia
Konsep Teori
Asuhan Keperawatan
Definisi Pengkajian Etiologi Patofisiologi Manifestasi Klinis
Analisa Data
Diagnosa Keperawatan
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan Komplikasi
Intervensi Keperawatan
Implementasi dan evaluasi
Step 5 ( learning Learning ) 1.
Definisi Pneumonia
2.
Etiologi Pneumonia
3.
Klasifikasi Pneumonia
4.
Manisfestasi Pneumonia
5.
Patofisiologi Pneumonia
6.
Pemeriksaan Penunjang Pneumonia
7.
Penatalaksanaan Pneumonia
Step 6 (Discovery Learning ) A. Definisi Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengensi jaringan paru (alveoli). (DEPKES RI, 2006) Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. (Dahlan, 2001). Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas cepat. Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Secara klinis pada anak yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas cepat dan tarikan dinding dada kedalam. Namun pada bayi seringkali tidak disertai batuk (Pamungkas, 2012).
B. Klasifikasi Penyakit pneumonia dibagi dalam tiga kelompok yaitu, sebagai berikut : 1. Pneumonia sangat berat : Pneumonia sangat berat ditandai dengan kesulitan bernafas dengan stridor (mengorok), kejang, adanya nafas cepatdan penarikan dinding dada ke dalam, pada anak-anak akan disertai mengi (mengeluarkan bunyi saat menarik nafas), dan sulit menelan makanan/minuman. Pneumonia sangat berat harus segera dirujuk baik ke puskesmas atau ramah sakit.
2. Pneumonia berat : Pneumonia berat ditandai dengan nafas cepat tanpa penarikan dinding dada ke dalam, pada anak akanmengalami mengi. 3. Pneumonia : Pneumonia ditandai dengan nafas cepat tanpa penarikan dinding dada ke dalam (Kemenkes, 2010) Panduan dokter paru Indonesia pneumonia diklasifikasikan sebagai (berdasarkan klinis epidemiologis) 1. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007). 2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit 3. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy, 2007). 4. Pneumonia pada penderita Immunocompromised Berdasarkan bakteri penyebab : 1. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. 2. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia 3. Pneumonia virus 4. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised) Berdasarkan predileksi infeksi : 1. Pneumonia lobaris, Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
2. Bronkopneumonia, Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. Pneumonia interstisial (PDPI, 2003).
C. Etiologi Menurut Smeltzer dan Bare (2010), etiologi pneumonia adalah a. Bakteri Bakteri adalah penyebab paling sering pneumonia di masyarakat dan nosokomial. Berikut ini adalah bakteri-bakteri yang menjadi etiologi pneumonia di masyarakat dan nosokomial: Lokasi sumber masyarakat Bakterinya adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella pneumoniae, Chlamydida pneumoniae, Anaerob oral (aspirasi), dan Influenza tipe A dan B. Lokasi sumber nosokomial Bakterinya adalah Basil usus gram negatif (Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae), Pseudomonas aeroginosa, Staphylococcus aureus, dan Anaerob oral (aspirasi). b. Virus Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Berikut ini adalah virus yang dapat menyebakan terjadinya pneumonia: Influenza virus Adenovirus Virus respiratory Syncytial repiratory virus Pneumonia virus
c. Mikoplasma Mikoplasma adalah penyebab pneumonia atipikal primer yang paling umum. Mikoplasma merupakan organisme kecil yang dikelilingi oleh membran berlapis tiga tanpa diding sel. Organisme ini tumbuh pada media kultur khusus tetapi berbeda dengan virus. Pneumonia mikoplasma sering terjadi pada anak-anak yang sudah besar dan dewas muda. d. Protozoa Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Berikut ini adalah protozoa yang dapat menyebabkan pnuemonia: Pneumositis karini Pneumonia pneumosistis Pneumonia plasma sel e. Penyebab Lain Penyebab lain yang dapat menyebabkan pnuemonia adalah terapi radiasi, bahan kimia, dan aspirasi. Pneumonia radiasi dapt menyertai terapi radiasi untuk kanker payudara atau paru, biasanya 6 minbbu atau lebih setelah pengobatan selesai. Pneumonia kimiawi terjadi setelah mencerna kerosin atau inhalasi gas yang mengiritasi.
D. Epidemiologi Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Buke, 2009). Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14%. Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50%.
E. Faktor Resiko Berikut ini adalah faktor resiko pneumonia menurut Price dan Wilson, 2006: Usia di atas 65 tahun Aspirasi sekret orofaringeal Infeksi pernapasan oleh virus Sakit yang parah dan akan menyebabkan kelemahan, misalnya diabetes militus dan uremia Penyakit pernapasan kronik, misalnya COPD, asma, kistik fibrosis Kanker, terutama kanker paru Tirah baring yang lama Trasektomi atau pemakaian selang endotrakeal Bedah abdominial dan toraks Fraktur tulang iga Pengobatan dengan imunosupresif AIDS Riwayat merokok Alkoholisme Malnutrisi Adapun faktor yang umumnya menjadi predisposisi individu terhadap pneumonia, yaitu sebagai berikut: Setiap kondisi yang menghasilkan lendir atau obstruksi bronkial dan menganggu drainage normal paru. Meninngkatnya resiko pneumonia dapat terjadi pada penyakit kanker dan penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Pasien imunosupresif dan mereka dengan jumlah neutrofil rendah (neutropeni) akan beresiko pnuemonia. Individu yang merokok akan beresiko peumonia karena asap rokok menganggu aktivitas mukosiliaris dan makrofag. Setiap pasien yang diperbolehkan berbaring secara pasif dalam waktu yang lama, relatif imobil, dan bernapas dangkal maka akan beresiko terhadap bronkopneumonia. Setiap individu yang mengalami depresi refleks batuk (karena medikasi, keadaan yang melemahkan, atau otot-otot pernapasan melemah), telah mengaspirasi benda asing masuk
ke dalam paru selama periode tidak sadar (cedera kepala, anastesia), atau mekanisme menelan yang abnormal dapat dikatakan hampir pasti beresiko bronkopenumonia. Setiap pasien yang dirawat dengan NPO (dipuasakan) atau mereka yang mendapat antibiotik mengalami peningkatan kolonisasi organisme (bakteri gram negatif) faring dan beresiko pneumonia. Individu yang sering mengalami intoksinasi terutama rentan terhadap pneumonia, karena alkohol menekan refleks-refleks tubuh, mobilisasi sel darah putih, dan gerakan siliaris trakeobronkial. Setiap individu yang menerima sedatif atau opioid dapat mengalami depresi pernapasan, yang kemudian akan terjadi pengumpulan sekresi bronkial dan selanjutnya mengalami penumonia. Pasien tidak sadar atau mempunyai refleks batuk yang buruk adalah mereka yang beresiko terkena pnuemonia akibat penumpukan sekresi atau aspirasi. Setiap orang yang menerima pengobatan dengan peralatan terapi pernapasan dapat mengalami penumonia jika peralatan tersebut tidak dibersihkan dengan tepat. F. Patofisiologi Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang dan terapi yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas. Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan tidak adanya pertahanan terhadap kuman pathogen akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi. Proses infeksi dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin). Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru (bagian dari sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya
dahak dan fungsi paru menurun akan mengakibatkan kesulitan bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian (Smeltzer & Bare, 2010).
G. Manifestasi Klinis Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat bernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki (Djojodibroto, 2008).
H. Pemeriksaan Diagnostik a) Sinar X dada : mengidentifikyanasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrasi baik menyebar ataupun terlokalisasi, atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul. Selain itu juga dapat menunjukkan efusi pleura, kista udara-cairan, sampai konsolidasi. b) Analisis gas darah : untuk mendiagnosis gagal napas,serta menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. c) LED meningkat d) Hitung jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/µl kadang-kadang mencapai 30.000/µl e) Pemeriksaan fungsi paru : volume turun, tekanan jalan napas meningkat, dan komplain menurun. f) Pemeriksaan elektrolit : Na dan Cl meningkat. g) Pemeriksaan bilirubin : terjadi peningkatan bilirubin. h) Aspirasi/biopsi jaringan paru i) Kultur sputum : penting untuk koreksi terapi antibiotik. (Misnadiarly, 2008).
Sedangkan menurut IDAI (2009) pemeriksaan penunjang pada pneumonia : 1.
Pemeriksaan Radiologi Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Gambaran adanya infiltrat dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis (IDAI, 2009). Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (PDPI, 2003).
2.
Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (PDPI,2003).
I.
Penatalaksanaan a.
Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007).
b.
Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2< 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).
J.
Komplikasi Menurut pendapat Ngastiyah (2005) , komplikasi pneumonia meliputi : 1. Empiema Adanya peradangan pada saluran nafas tersebut dapat menyebar ke jaringan pleura.Pada fase awal, timbul cairan pleura yang jumlahnya sedikit dan berlanjut sehingga terjadi fibrosis di pleura parietalis dan viseralis yang kemudian berkembang menjadi kumpulan pus dalam rongga pleura atau empiema. 2. Otitis Media Akut Adanya infeksi pada saluran nafas dapat menyebar sampai ke telinga tengah melalui tuba eustachius sehingga dapat menyebabkan otitis media akut. 3. Atelektasis Terjadi apabila penumpukan sekret akibat berkuranngnya daya kembang paru- paru terus terjadi. Penumpukan sekret ini akan menyebabkan obstruksi bronchus intrinsik. Obstruksi ini akan menyebabkan atelektasis obstruksi, dimana terjadi penyumbatan saluran udara yang menghambat masuknya udara ke dalam alveolus. 4. Empisema Terjadi dimulai adanya gangguan pembersihan jalan nafas akibat penumpukan sputum. Peradangan yang menjalar ke bronchiolus akan menyebabkan dinding bronchiolus mulai melubang dan membesar. Pada waktu inspirasi lumen bronchiolus melebar sehingga udara dapat tersumbat karena penumpukan sputum. Tetapi saat ekspirasi lumen menyempit sehingga sumbatan tersebut menghalangi keluarnya udara. 5. Meningitis Penyebaran virus haemophilus influenzae melalui hematogen ke sistem syaraf sentral. Penyebarannya juga bisa dimulai saat terjadi infeksi saluran pernafasan atau dimana manifestasi klinik meningitis menyerupai pneumonia.
K. Pencegahan Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia: a. Perawatan selama masa kehamilan Untuk mencegah risiko bayi dengan berat badan lahir rendah, perlu gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu
dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan. b. Perbaikan gizi balita Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding balita yang tidak mendapatkannya. c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.5. Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah. Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit pneumonia. e. Menjauhkan balita dari penderita batuk Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena malnutrisi.
f. Mengurangi minum alkohol Mengurangi minum alkohol dapat membantu dalam mengatasi hidrasi. Hal ini juga membantu melawan pneumonia. Obat penurun demam, contohnya acetaminophen (Tylenol) atau ibuprofen (Advil) mungkin juga dapat membantu agar lebih baik. g. Latihan Nafas Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa membantu mencegah terjadinya pneumonia. (Jeremy, 2005)
ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN DI UNIT GAWAT DARURAT RS. ALQADRIE PONTINAK
Tanggal
: 26 Februari 2019
Initial Pasien
: Tn. A
Usia
: 60 Tahun
Diagnosa medis
: Febris H+ 4 Susp Tb Paru BTA Reaktif
1. Pengkajian Primer a. Airway 1) Look: Terdapat sekret yang sulit keluar. 2) Listen: Terdengar bunyi ronchi dan wheezing dilapang paru kanan dan kiri. Klien dapat diajak berkomunikasi 3) Feel: terdapat sumbatan berupa dahak pada jalan nafas yang sulit keluar. Jika keluar kondisi dahak kental dan berwarna sedikit hijau. b. Breathing Klien mengalami sesak dengan RR 23 x/menit dan klien mengeluh sesak ketika berbaring, tampak adanya retraksi dinding dada SpO2 95 %. c. Circulation Nadi teraba kuat irama regular dengan frekuensi 90 x/menit, CRT <2 detik, TD 120/70 mmHg, akral hangat, GDS 217 mg/dl. d. Disability Keadaan umum klien tampak lemah, kesadaran compos mentis dengan GCS 15 (E4 V5 M6), Mata reflek terhadap cahaya, pupil mata isokor (+/+) e. Exposure Tidak terdapat edema pada tubuh tidak terdapat lesi dan jejas pada tubuh.
2. Tindakan Keperawatan yang dilakukan a.
Mengkaji GCS klien
b.
Memonitor TTV klien
c.
Mengkaji status pernafasan klien
d.
Melakukan pemeriksaan SpO2
e.
Pengambilan sampel dahak
f.
Memberikan posisi semi fowler
g.
Mengajarkan batuk efektif
h.
Memberikan terapi Oksigen Nasak kanul 2 Lpm
i.
Memberikan terapi infus ringer laktat guyur 29 Tpm
j.
Mengambil spesimen darah vena untuk pemeriksaan Laboratorium
k.
Melakukan skin test ceftriaxone 0.5 cc
l.
Kolaborasi pemberian inj. Ranitidin 2 x 125 mg, ceftriaxone 2 x 1 gr, PCT 500 mg, rindovenct 1 capsul, vestan 3x 200 mg PO
m.
Menganti cairan inf. NaCl 0.9 % 20 Tpm
n.
Mengajarkan relaksasi nafas dalam
o.
Memberikan terapi nebulisasi combivent 1 gr
p.
Melakukan kompres hangat
3. Diagnosa Keperawatan a.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan sekret
b.
Hipertermi b.d proses inflamasi
4. Evaluasi Hasil Tindakan a.
Subjektif 1) Klien mengatakan batuk sedikit berkurang 2) Klien mengatakan dahaknya sudah sudah mulai mudah untuk dikeluarkan. 3) Klien mengatakan sesak berkurang setelah diberikan posisi semi fowler 4) Klien mengatakan nyaman dengan posisi yang diberikan posisi semi fowler 5) Klien mengatakan setelah menggunakan oksigen nafas agak lega
b.
Objektif 1) TD= 120/90 mmHg, N= 80x/menit, RR= 20x/menit, T= 37,7 oC. 2) SPO2 98 %. 3) Sekret sedikit cair
4) Sesak berkurang 5) Respirasi regular 6) Akral hangat 7) Tubuh teraba panas
c.
Analisa 1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan sekret 2) Hipertermi b.d proses inflamasi
d.
Planning a. Monitor TTV Klien b. Memonitor status repirasi klien c. Memonitor status oksigen klien d. Memonitor faktor yang menghambat jalan nafas e. Auskultasi suara nafas catat adanya suara nafas tambahan f. Mengeluarkan sekret dengan batuk efektif g. Memberikan posisi untuk memaksimalkan ventilasi h. Berkolaborasi pemberian bronkodilator dan ekspetoran i. Memantau perubahan suhu tubuh j. Memberikan terapi cairan untuk memenuhi kebutuhanan cairan tubuh k. Berkolaborasi pemberian antipiretik l. Melakukan kompres hangat
5. Pengkajian Sekunder a.
Riwayat penyakit 1) Alergi : Klien mengatakan klien tidak memiliki alergi baik makanan maupun obat 2) Medikasi : Klien mengatakan klien pernah mengkonsumsi obat OAT Selama 6 bulan, klien lupa nama obat yang ia konsumsi 3) Post Illnes : Klien mengatakan ia memiliki riwayat penyakit TB paru 1 tahun lalu yaitu tahun 2018.
4) Last Meal : Klien mengatakan iya terakhir makan pada pagi hari sebelum iya di bawa ke IGD, Klien mengatakan ia makan nasi kuning. 5) Event/Envorontment : Klien pernah dirawat pada bulan 2 februari 2018 dan mendapatkan terapi OAT, klien disiagnosa mengalami TB paru BTA Reaktif, saat ini klien mengalami batuk yang sulit keluar, sesak seta demam sudah 4 hari, kemudian klien dibawa keluarganya ke IGD. b.
Pemeriksaan Head to Toe 1) Tanda-tanda Vital Kesadaran umum tampak lemah, kesadaran Compos mentis GCS E4 V5 M6, TD= 120/90 mmHg, N= 80x/menit, RR= 20x/menit, T= 37,7,0⸰C. SPO2 98 %. 2) Kepala Bentuk kepala simetris, tidak terdapat lesi maupun jejas pada kepala, penyebaran rambut merata, kulit kepala tampak menguning. 3) Mata Bentuk mata simetris, konjungtiva normal, sclera normal, tidak terdapat masa abnormal. 4) Hidung Bentuk simetris, tidak terdapat masa abnormal pada hidung, tidak terdapat sekret dan maupun polip hidung. 5) Mulut Bentuk simetris, bibir klien tampak normal, mukosa mulut kering dan pecahpecah, lidah klien tampak kotor. Terdapat dahak yan sulit untuk di keluarkan 6) Leher Tidak ada nyeri tekan, tidak terdapat pembesaran vena jugularis, tidak terdapat jejas dan lesi. 7) Dada Bentuk dada simetris, pergerakan dada sama rata, tampak adanya retraksi dinding dada, tidak ada lesi dan jejas pada dada, bunyi paru wheezing dan rhonci dilapang paru kanan dan kiri, bunyi jantung S1S2 reguler. 8) Abdomen Bentuk simetris, tidak tampak adanya jejas maupun lesi pada abdomen , bising usus dalam rentang normal 9) Kulit Teraba panas suhu tubuh 37.70C 10) Ekstremitas Bentuk simetris, tidak terdapat kelainan pada ekstremitas baik atas maupun bawah, Kekuatan otot 5 5 5
6. Pemeriksaan Penunjang
5
a.
Hasil pemeriksaan serum (tanggal 26 februari 2019) 1) GDS 217 mg/dl ( 70-150 mg/dl ) 2) Ureum 32,2 mg/dl ( 16.0-43.0 mg/dl ) 3) Kreatinin 1.43 mg/dl ( 0.60-1.40 mg/dl ) 4) SGOT 17 U/L ( 3-38 U/L ) 5) SGPT 23 U/L ( 3-35 U/L )
b.
Hasil pemeriksaan darah lengkap (tanggal 26 februari 2019) Eritrosit 4.45 106/UL (4.7-6.1 106/UL) Hemoglobin13.3 g/ dl ( 13.6 – 18.0 g/ dl ) MCV 76.6 Fl ( 79.0- 89 fl ) MCH 26.0 pg ( 27.0-31.0 pg ) MCHC 37.6 u/dl ( 33.0-37.0 u/dl ) Segmen N % 36.6 % (40-73 %) Limfosit 12.6 % (25-40 %) HbsAg Non reaktif HIV Non reaktif
c.
Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Non- Reaktif
d.
Hasil pemeriksaan Rongten Thorax Foto Thorax AP: corak bronkopneumonia paru kasar, bercak-bercak retikuloinfiltran di lap bawah terutama kanan, fibrotic di spex paru. Sinus costophremicus kanan dan kiri sedikit tumpul, diafragma tenting Kesan: Bronkophenumonia dengan fibrotic pilmo ( proces spesifik?/lab ? )
7. Diagnosa Keperawatan a.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan sekret
b.
Hipertermi b.d proses inflamasi
8. Monitor Klien a.
Monitor TTV Klien
b.
Memonitor status repirasi klien
c.
Memonitor status oksigen klien
d.
Auskultasi suara nafas catat adanya suara nafas tambahan
e.
Memberikan posisi untuk memaksimalkan ventilasi
f.
Memantau perubahan suhu tubuh
g.
Berkolaborasi pemberian antipiretik
h.
Melakukan kompres hangat
9. Evaluasi Klien a.
Subjektif 1) Klien mengatakan batuk sedikit berkurang 2) Klien mengatakan dahaknya sudah sudah mulai mudah untuk dikeluarkan. 3) Klien mengatakan sesak berkurang setelah diberikan posisi semi fowler 4) Klien mengatakan nyaman dengan posisi yang diberikan posisi semi fowler
b.
Objektif 1) TD= 120/90 mmHg, N= 80x/menit, RR= 21x/menit, T= 37,7,0⸰C. 2) SPO2 98 %. 3) Sekret sedikit cair 4) Sesak berkurang 5) Respirasi regular 6) Akral hangat 7) Panas tubuh berkurang
DAFTAR PUSTAKA MIsnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. 2010. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta. Buke C, Biyikli B, Tuncel M,Aydemir S, Tunger A,Sirin H, Kocaman A. 2009. Nosocomial Infections in a Neurological Intensive Care Unit. Journal of Neurological Sciences (Turkish). Volume 26. Number 3. Page(s) 298-304. Depkes RI, 2006. Pedoman Pengendaian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta : Depkes RI. Djojodibroto, Darmanto. 2008. Respirologi. Jakarta: EGC. Doenges, Marilynn, E. dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzane dan Bare, Brenda G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah ; Brunner and Suddarth. Cetakan I. Volume 1. Edisi 8. Jakarta : EGC. Suriadi, Rita Yuliana. 2006. Asuhan Keperawtan pada Anak. Jakarta : Penebar Swadaya. Jeremy, dkk. 2005. At a Glance Sistem Respirasi, Edisi 2. Jakarta: Erlangga. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Dahlan, 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI. Pamungkas, 2012. Analisis Faktor Resiko Pneumonia Pada Balita si 4 Provinsi di Wilayah Indonesia Timur. Jakarta : FKUI. Kemenkes, 2010. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta : Kemenkes RI. PDPI, 2003. Pneumonia Komunitas Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jkarta : PDPI.
Sajinadiyasa, 2011. Perbandingan Antara Pemberian Antibiotika Monoterapi dengan Dualterapi Terhadap outcome Pada Pasien Community Acquired Pneumonia Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Journal of Internal Mrdicine, 12(!). IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak. Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. Elizabeth J. Corwin, 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Price dan Wilson, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProseS Penyakit. Jakarta : EGC. Wahid I Mubarak dkk, 2012. Promosi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.