Fix Gadar Bu Henny.docx

  • Uploaded by: Yuni Tina
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fix Gadar Bu Henny.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,766
  • Pages: 41
MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

OLEH: KELOMPOK 10

1. Ade Komala Sri Bulan 2. Siti Hardianti Mulia 3. Yuni Kartina 4. Yeni Sari

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARATSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PRODI S. 1 KEPERAWATANTAHUN AJARAN 2019

1

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena hanya dengan izin, rahmat dan kuasa-Nyalah saya masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘Keperawatan Gawat Darurat” Pada kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Keperawatan Gawat Darurat yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita khususnya mengenai peran dan organisasi perawat di Indonesia. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, kami berharap dan kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

MATARAM, 15 Maret 2019 Penyusun

2

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................. ii DAFTAR ISI............................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ................................................................................ 1 1.2 Rumusan masalah ........................................................................... 1 1.3 Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Gawat Darurat…………………………………………… 2.2 Konsep SPGDT .............................................................................. 2.3 Konsep Triase………………………………………………………. 2.4 Konsep ABCD dan BHB ................................................................. 2.5 Konsep Kedaruratan Non-Traumatik………………………….

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 8 3.2 Saran ............................................................................................... 8 DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja. Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi korbannya. Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan. Pada Organisasi rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal watan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain. Oleh karena itu, agar terwujudnya sistem pelayanan gawat darurat secara terpadu maka dalam penerapannya harus mempersiapkan komponen-komponen penting didalamnya seperti : Sistem Komunikasi, Pendidikan, transportasi, pendanaan, dan Quality Control. Dan juga sebuah rumah sakit harus mempunyai kelengkapan dan kelayakan fasilitas unit gawat darurat yang mumpuni sesuai dengan standar pelayanan gawat darurat. 1.2 Rumusan masalah 1. 2. 3. 4. 5.

Apa itu gawat darurat? Apa itu SPGDT ? Apa itu konsep trease? Apa itu konsep ABCD dan BHD? Apa itu Kedaruratan Non-Traumatik

4

2.1 PELAYANAN GAWAT DARURAT 1. Pengertian 









 

Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU No. 44 tahun 2009 tentang RS) Kondisi gawat darurat adalah suatu keadaan dimana seseorang secara tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam anggota badannya dan jiwanya (akan menjadi cacat atau mati) bila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera pelayanan gawat darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (imediatlely) untuk menyelamatkan kehidupannya /life saving (Azrul, 1997). Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan dokter dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter (wikipedia indonesia). Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah Instalasi pelayanan rumah sakit yang memberikan pelayanan pertama selama 24 jam pada pasien dengan ancaman kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan multidisiplin ilmu Triase adalah memilah tingkat kegawatan pasien untuk menentukan prioritas penanganan lebih lanjut Response Time adalah kecepatan penanganan pasien, dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan. TUJUAN Tujuan dari pelayanan gawat darurat ini adalah untuk memberikan pertolongan pertama bagi pasien yang datang dan menghindari berbagai resiko, seperti: kematian, menanggulangi korban kecelakaan, atau bencana lainnya yang langsung membutuhkan tindakan.

Beberapa tujuan lain dari pelayanan gawat darurat adalah :   

Mencegah kematian dan kecacatan pada penderita gawat darurat Menerima rujukan pasien atau mengirim pasien Melakukan penanggulangan korban musibah masal dan bencana yang terjadi dalam maupun diluar rumah sakit

5



Suatu layanan UGD harus mampu memberikan pelayanan dengan kualitas tinggi pada masyarakat dengan problem medis akut

2. KEGIATAN PELAYANAN UNIT GAWAT DARURAT Menurut Flynn (1962) dalam Azrul (1997) kegiatan UGD secara umum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan pelayanan gawat darurat. Kegiatan utama yang menjadi tanggung jawab UGD adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat. Sayangnya jenis pelayanan kedokteran yang bersifat khas seing disalah gunakan. Pelayanan gawat darurat yang sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan penderita (live saving), sering dimanfaatkan hanya untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama (first aid) dan bahkan pelayanan rawat jalan (ambulatory care) 2. Menyelenggarakan pelayanan penyaringan untuk kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan rawat inap intensif. kedua yang menjadi tanggung jawab UGD adalah menyelenggarakan pelayanan penyaringan untuk kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan intensif. Pada dasarnya pelayanan ini merupakan lanjutan dari pelayanan gawat darurat, yakni dengan merujuk kasus-kasus gawat darurat yang dinilai berat untuk memperoleh pelayanan rawat inap intensif. 3. Menyelenggarakan pelayanan informasi medis darurat. Kegiatan ketiga yang menjadi tanggung jawab UGD adalah menyelenggarakan informasi medis darurat dalam bentuk menampung serta menjawab semua pertanyaan anggota masyarakat yang ada hubungannya dengan keadaan medis darurat (emergency medical questions) 2.2 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 1. SPGDT : Sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur pra RS, RS dan antar RS. Berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan komunikasi.

6

PSC (Public Safety Center) : Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal kegawat-daruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu singkat dan dimanapun berada (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113, Polisi 110). Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk mendapatkan respons cepat (quick response) terutama pelayanan pra RS. GERAKAN SAFE COMMUNITY : Adalah gerakan agar tercipta masyarakat yang merasa hidup sehat, aman dan sejaht-era dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi maupun masyarakat (misal : PSC, Poskesdes dll). SPGDT : Secara Umum : Sistem koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor), didukung berba-gai kegiatan profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk selenggarakan pelayanan terpadu penderita gawat-darurat, dalam keadaan bencana maupun sehari-hari. 3. subsistem yaitu pra RS, RS dan antar RS. Sistem Pra RS Sehari-hari : 1. PSC, Poskesdes. Didirikan masyarakat. Pengorganisasian dibawah Pemda. 2. BSB. Unit khusus pra RS. Pengorganisasian dijajaran kesehatan. 3. Pelayanan Ambulans. Koordinasi dengan memanfaatkan ambulans setempat. 4. Komunikasi. Koordinasi jejaring informasi. 5. Pembinaan. Pelatihan peningkatan kemampuan Sistem Pra RS pada bencana : 1. 2. 3. 4.

Koordinasi jadi komando. Efektif dan efisien bila dalam koordinasi dan komando Eskalasi dan mobilisasi sumber daya. SDM, fasilitas dan sumber daya lain. Simulasi. Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi. Pelaporan, monitoring, evaluasi. Laporan dengan sistematika yang disepakati.

Fase Acute Response : a. b. c. d. e. f.

Acute emergency response. Melaksanakan Rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis, terapi definitif. Emergency relief. Menyediakan makanan minuman, tenda, jamban dll. untuk korban ‘sehat’. Emergency rehabilitation. Perbaikan jalan, jembatan, sarana dasar lain untuk kelancaran pertolongan.

SPGDT INTRA RS 1. Sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU, ICU, penunjang

7

2. 3. 4. 5.

Hospital Disaster Plan, bencana dari dalam dan luar RS. Transport intra RS. Pelatihan, simulasi dan koordinasi untuk peningkatan kemampuan SDM. Pembiayaan dengan jumlah cukup.

SOP Minimal RS : Sehari-hari dan Bencana (Hosdip, Hospital Diasater Plan) : 1. 2. 3. 4. 5.

Kegawatan dengan ancaman kematian True emergency Korban massal Keracunan massal Khusus

SPGDT ANTAR RS 1. Jejaring berdasar kemampuan RS dalam kualitas dan kuantitas. 2. Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS . 3. SIM (Manajemen Sistem Informasi). Untuk menghadapi kompleksitas permasala han dalam pelayanan. 4. Koordinasi dalam pelayanan rujukan, diperlukan pemberian informasi keadaan pa sien dan pelayanan yang dibutuhkan. Evakuasi : 1. Tata cara tertulis. Harus memiliki Peta geomedik 2. Kondisi pasien Stabil dan optimal pra dan selama evakuasi hingga tujuan. 3. Kriteria : Fisiologis / Anatomis Mekanisme : 1. 2. 3. 4.

Tahu Tujuan dan Prinsip rujukan. ABC stabil, Immobilisasi, Mekanika mengangkat pasien

Sarana-prasarana Evakuasi Minimal : Alat / Bahan / Obat Bantuan Hidup Dasr 1. Cervical collar / splint 2. Short serta Long Spine Board 3. Wheeled serta Scoop Stretcher 8

Evakuasi : Darurat : 1. Lingkungan berbahaya (misal kebakaran). 2. Ancaman jiwa (misal perlu tempat rata dan keras untuk RJP). 3. Prioritas bagi pasien ancaman jiwa Segera : 1. Ancaman jiwa, perlu penanganan segera. 2. Pertolongan hanya bisa di RS (misal pernafasan tidak adekuat, syok). Lingkungan memperburuk kondisi pasien (hujan, dingin dll). Biasa : Tanpa ancaman jiwa, namun tetap memerlukan S HAL-HAL YANG DIATUR KHUSUS 1. Petunjuk Pelaksanaan Permintaan dan Pengiriman bantuan medik dari RS rujukan. 2. Protap pelayanan gawat-darurat di tempat umum. 3. Pedoman pelaporan Penilaian Awal/Cepat (RAH) SPGDT SEHARI-HARI. 1. Time Saving is Life Saving . 2. Response Time sesingkat mungkin. 3. Merujuk The Right Patient to The Right Place in The Right Time. Public Safety Center : (Dinegara tertentu dikenal sebagai 911) Dilandasi aspek time management sebagai implementasi time saving is life and limb saving yang mengandung unsur quick respons dan ketepatan. Unsur kecepatan dipe-nuhi oleh subsistem transportasi dan komunikasi, unsur ketepatan dipenuhi oleh ke-mampuan melakukan pertolongan. Pelayanan gratis. Di RS, berlaku sistem pem - bayaran. Untuk skala desa : Poskesdes. ASPEK LEGAL PELAYANAN GAWAT DARURAT - SAFE COMMUNIT Konsep/program PBB/WHO 1) UU Kesehatan Np. 23/1992 2) Kepolisian Negara RI No. 2/2002 UU Penanggulangan Bencana No.

9

3)

4) 5) 6)

24/2007 Peraturan Ka. BNPB No. 3/2008 Perda Penanggulangan Bencana No. 5/2007 Charitable immunity & Medical Necessity dll. Indonesia : Super market bencana Sistem Komando berdasar SPGDT S/B Perlu pengetahuan sempurna dan tingkatkan keterampilan dengan pelatihan untuk berbagai jenis bencana / kegawat-daruratan medis.

2.3 PENGERTIAN TRIAGE A. pengertian Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit. Triase berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage dan diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera ataupenyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kiniistilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konseppengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yangmemungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan sertafasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukanperawatan di UGD setiap tahunnya. (Pusponegoro, 2010) B. TUJUAN TRIAGE Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa. Tujuan kedua adalah untuk memprioritaskan pasien menurut ke akutannya, untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan. Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu:

10

  

Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat.

C. FUNGSI TRIAGE 1. 2. 3. 4. 5.

Menilai tanda-tanda dan kondisi vital dari korban. menetukan kebutuhan media menilai kemungkinan keselamatan terhadap korban. menentukan prioritas penanganan korban. memberikan pasien label warna sesuai dengan skala prioritas.

D. PRINSIP DAN TIPE TRIAGE Di rumah sakit, didalam triase mengutamakan perawatan pasien berdasarkan gejala. Perawat triase menggunakan ABCD keperawatan seperti jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, serta warna kulit, kelembaban, suhu, nadi, respirasi, tingkat kesadaran dan inspeksi visual untuk luka dalam, deformitas kotor dan memar untuk memprioritaskan perawatan yang diberikan kepada pasien di ruang gawat darurat. Perawat memberikan prioritas pertama untuk pasien gangguan jalan nafas, bernafas atau sirkulasi terganggu. Pasien-pasien ini mungkin memiliki kesulitan bernapas atau nyeri dada karena masalah jantung dan mereka menerima pengobatan pertama. Pasien yang memiliki masalah yang sangat mengancam kehidupan diberikan pengobatan langsung bahkan jika mereka diharapkan untuk mati atau membutuhkan banyak sumber daya medis. (Bagus, 2007). Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :    

Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit. Dapat mati dalam hitungan jam. Trauma ringan. Sudah meninggal.

Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:  

Menilai tanda vital dan kondisi umum korban Menilai kebutuhan medis

11

 Menilai kemungkinan bertahan hidup  Menilai bantuan yang memungkinkan  Memprioritaskan penanganan definitive  Tag Warna 1. Prinsip Dalam Pelaksanaan Triase : a) Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang mengancam kehidupan atau injury adalah hal yang terpenting di departemen kegawatdaruratan. b) Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat ketetilian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses interview. c) Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat. d) Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostik dan tugas terhadap suatu tempat yang dapat diterima untuk suatu pengobatan. e) Tercapainya kepuasan pasien 1. Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat menetapkan hasil secara serempak dengan pasien 2. Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan yang dapat menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang yang sakit dengan keadaan kritis. 3. Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga atau temannya. (Making the Right Decision A Triage Curriculum, 1995: page 2-3) 2.

Tipe Triage Di Rumah Sakit Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse a. b. c. d. e. f.

Hampir sebagian besar berdasarkan system triage Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya Tidak ada dokumentasi Tidak menggunakan protocol Perawat hanya mengidentifikasi keluhan utama dan memilih antara status “mendesak” atau “tidak mendesak”. Tidak ada tes diagnostik permulaan yang diintruksikan dan tidak ada evaluasi yang dilakukan sampai tiba waktu pemeriksaan.

12

Tipe 2 : Cek Triage Cepat (spot check) a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi atau dokter b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama c. Evaluasi terbatas d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera mendapat perawatan pertama. e. Perawat mendapatkan keluhan utama bersama dengan data subjektif dan objektif yang terbatas, dan pasien dikategorikan ke dalam salah satu dari 3 prioritas pengobatan yaitu “gawat darurat”, “mendesak”, atau “ditunda”. Dapat dilakukan beberapa tes diagnostik pendahuluan, dan pasien ditempatkan di area perawatan tertentu atau di ruang tunggu.Tidak ada evaluasi ulang yang direncanakan sampai dilakukan pengobatan. Tipe 3 : Comprehensive Triage a. b. c. d.

E.

Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman 4 sampai 5 sistem katagori Sesuai protocol Sistem ini merupakan sistem yang paling maju dengan melibatkan dokter dan perawat dalam menjalankan peran triage.Data dasar yang diperoleh meliputi pendidikan dan kebutuhan pelayanan kesehatan primer, keluhan utama, serta informasi subjektif dan objektif. Tes diagnostik pendahuluan dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang perawatan akut atau ruang tunggu, pasien harus dikaji ulang setiap 15 sampai 60 menit (Iyer, 2004).

KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITAS Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat sistem pelayanan kedaruratan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya. Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah kondisi klien yang meliputi :

13

a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010) Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi : Tabel 1. Klasifikasi Triage KLASIFIKASI

KETERANGAN

Gawat darurat (P1)

Keadaan yang mengancam nyawa / adanya gangguan ABC dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan hebat

Gawat tidak darurat (P2)

Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Setelah dilakukan diresusitasi maka ditindaklanjuti oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya

Darurat tidak gawat (P3)

Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis, otitis media dan lainnya

Tidak gawat tidak darurat (P4)

Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan / asimptomatis. Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya

1) Sistem Klasifikasi Sistem klasifikasi menggunakan nomor, huruf atau tanda. Adapun klasifikasinya sebagai berikut : Prioritas 1 atau Emergensi  

Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera Pasien dibawa ke ruang resusitasi

14

 Waktu tunggu 0 (Nol) Prioritas 2 atau Urgent  Pasien dengan penyakit yang akut  Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki  Waktu tunggu 30 menit  Area Critical care Prioritas 3 atau Non Urgent  Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal  Luka lama  Kondisi yang timbul sudah lama  Area ambulatory / ruang P3 Prioritas 0 atau 4 Kasus kematian  Tidak ada respon pada segala rangsang  Tidak ada respirasi spontan  Tidak ada bukti aktivitas jantung  Hilangnya respon pupil terhadap cahaya 2. Sistem Triage Non Disaster : Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu pasien Disaster: Untuk menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak Beberapa petunjuk tertentu harus diketahui oleh perawat triage yang mengindikasikan kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Nyeri hebat Perdarahan aktif Stupor / mengantuk Disorientasi Gangguan emosi Dispnea saat istirahat Diaforesis yang ekstrem Sianosis Tanda vital di luar batas normal Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelum mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.

15

Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat; misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit. Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu.Setiap pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis.Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan.Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop, atau diaforesis. (Iyer, 2004). Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer). Alur dalam proses triase. 1. Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD. 2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat. 3. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD). 4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kode warna: a. Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya:Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR< 30x/mnt), perdarahan internal, dsb. b. Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb. c. Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial. d. Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.

16

e. f.

g.

h.

i.

Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah, kuning, hijau, hitam. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang. Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah. (Rowles, 2007).

F. DOKUMENTASI TRIAGE Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting. Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada pasien. Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasien yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggungjawabkan. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian pemahaman dan ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara baik dan benar. Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat telah melakukan

17

pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan pasien. (Anonimous,2002). Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi : 1. 2. 3. 4. 5.

Waktu dan datangnya alat transportasi Keluhan utama (misal. “Apa yang membuat anda datang kemari?”) Pengkodean prioritas atau keakutan perawatan Penentuan pemberi perawatan kesehatan yang tepat Penempatan di area pengobatan yang tepat (msl. kardiak versus trauma, perawatan minor versus perawatan kritis) 6. Permulaan intervensi (misal. balutan steril, es, pemakaian bidai, prosedur diagnostic seperti pemeriksaan sinar X, elektrokardiogram (EKG), atau Gas Darah Arteri (ENA, 2005). KOMPONEN DOKUMENTASI TRIAGE Tanggal dan waktu tiba Umur pasien Waktu pengkajian Riwayat alergi Riwayat pengobatan Tingkat kegawatan pasien Tanda - tanda vital Pertolongan pertama yang diberikan Pengkajian ulang Pengkajian nyeri Keluhan utama Riwayat keluhan saat ini Data subjektif dan data objektif Periode menstruasi terakhir Imunisasi tetanus terakhir Pemeriksaan diagnostik Administrasi pengobatan Tanda tangan registered nurse

Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi

18

oleh perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman. Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu, sesuai dengan standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara kontinu perawatan pasien berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien ke arah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi pengobatan dan perkembangannya.Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut. Proses dokumentasi triage menggunakan sistem SOAPIE, sebagai berikut : S

: data subjektif

O

: data objektif

A

: analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan

P

: rencana keperawatan

I

: implementasi, termasuk di dalamnya tes diagnostic

E

: evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan (ENA, 2005)

Untuk mendukung kepatuhan terhadap standar yang memerlukan stabilisasi, dokumentasi mencakup hal - hal sebagai berikut: a. Salinan catatan pengobatan dari rumah sakit pengirim b. Tindakan yang dilakukan atau pengobatan yang diimplementasikan di fasilitas pengirim c. Deskripsi respon pasien terhadap pengobatan d. Hasil tindakan yang dilakukan untuk mencegah perburukan lebih jauh pada kondisi pasien 2.4 BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) A. Pengertian Bantuan Hidup Dasar

19

 Bantuan hidup dasar merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalamai kegawatdaruratan. (siti rohmah.2012)  Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa(rido.2008)  Bantuan Hidup Dasar atau Basic Life Support (BLS) adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang mengancam nyawa.(Deden Eka PB at 1:10:00). Keadaan darurat yang mengancam nyawa bisa terjadi sewaktu-waktu dan di mana pun. Kondisi ini memerlukan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa. B. Tujuan dari Bantuan Hidup Dasar sebagai berikut: 1. .Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi. 2. .Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP). 3. .Menyelematkan nyawa korban. 4. .Mencegah cacat. 5. Memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan.  Tahapan-tahapanBHD tindakan BHD dilakukan secara berurutan dimulai dengan penilaian dan dilanjutkan dengan tindakan. urutan tahapan BHD adalah menilai, mengaktifkan LGD/EMS (Emergency medical System), melakukan tindakan ABCD. Menilai kesadaran Memeriksa pasien dan lihat responnya dengan menggoyang bahu pasien dengan lembut dan bertanya cukup keras "apakah kami baik-baik saja?" Atau "siapa namamu" 1. Bila pasien menjawab atau bergerak, biarkan pasien tetap lasa posisi ditemukan, kecuali bila ada bahaya pada posisi tersebut dan dipanta5 secara terus-menerus. 2. Bila pasien tidak memberikan respon, aktifkan EMS/LGD. Berteriaklah mencari bantuan, sembari buka jalan nafas. C. Penyebab BHB 1. Henti napas

20

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien.Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:         

Tenggelam Stroke Obstruksi jalan napas Epiglotitis Overdosis obat-obatan Tersengat listrik Infark miokard Tersambar petir Koma akibat berbagai macam kasus.

Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung. 3. Henti jantug Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan: 1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi. 2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP). Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :  

Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer. Survai primer

21

Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu A: airway (jalan napas) B: breathing (bantuan napas) C: circulation (bantuan sirkulasi) D: defibrilation (terapi listrik) AIRWA( jalan nafas) apabila pasien tidak memberikan respon, pastikan apakah pasien bernafas dengan sempurna. Untuk menilai pernafasan, pasien harus pada posisi terlentang dengan jalan nafas terbuka.  Posisi pasien Posisi pasien terbaik untuk dinilai pernafasan dan diberi bantuan resusitasi adalah pasien posisi terlentang pada dasar yang keras dan datar. Apabila pada saat ditemukan pasien pada posisi telungkup, maka harus ditelentangkan secara simultan antara kepala, bahu dan dada tanpa memutar badan (teknik roll-on)  Posisi penolong Posisi penolong disamping pasien, posisi siap untuk melakukan pemberian nafas buatan dan kompresi dada.  buka jalan nafas Pada pasien yang tidak sadar, maka tonus otot-otot rahang lemah sehingga lidah dan epiglotis dapat menyumbat farings atau jalan nafas atas. Penolong dapat membuka jalan nafas dengan cara angkat kepala, angkat dagu (head thilt chin lift Manuever), cara lain untuk membuka jalan nafas adalah dorong rahang bawah (jaw thrust Manuever). Cara ini hanya boleh dilakukan oleh penolong seorang petugas kesehatan dan korban ada riwayat trauma kepala atau leher. Dengan cepat bersihkan muntahan atau benda asing yang nampak ada dalam mulut.  head thilt chin lift Manuever Posisikan telapak tangan pada dahi smabil mendorong dahi kebelakang, pada waktu yang bersamaan, ujung jari tangan yang lain mengangkat dagu. Ibu jari dan telunjuk harus bebas agar dapat digunakan menutup hidung jika perlu memberikan nafas buatan.  jaw thrust Manuever Posisikan setiap tangan pada sisi kanan dan kiri kepala pasien, dengan siku bersandar pada permukaan tempat pasien terlentang dan pegang sudut rahang bawah dan angkat dengan kedua tangan akan mendorong rahang bawah depan. 22

Gbr. Head thilt-chin lift manuever dan jaw thrust manuever BREATHING (Bantuan napas) Terdiri dari 2 tahap : 1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas. Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak melebihi 10 detik.

napas harus tetap boleh

2. Memberikan bantuan napas. Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas. Cara memberikan bantuan pernapasan : 

Mulut ke mulut

23

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

3. Mulut kehidung

24

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien. 

Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma. 

Penolong meniupkan udara melalui sungkup yang diletakan diatas dan melingkupi mulut serta hidung pasien. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan sehingga muntahan dan warna bibir pasien dapat terlihat.

caranya : - letakkan pasien pada posisi terlentang - letakkan sungkup pada muka pasien dan dipegang dengan kedua ibu jari - lakukan head thilt chin lift/jaw thrust, tekan sungkup kemuka pasien agar rapat kemudian tiup melalui lubang sungkup sampai dada terangkat - hentikan tiupan dan amati turunnya dada.

Gbr. Pernafasan buatan mulut kesungkup 

Pernafasan Dengan kantung Nafas Buatan Alat kantung nafas terdiri dari kantung dan katup satu arah yang menempel pada sungkup muka. Volume dari kantung nafas ini 1600 ml. Alat ini bisa digunakan untuk memberikan nafas buatan dengan atau disambungkan dengan sumber oksigen. Bila disambungkan ke oksigen dengan kecepatan aliran 12 liter per menit (ini dapat memberikan konsentrasi oksigen yang diinspirasi sebesar 7,40%), maka penolong hanya memompa sebesar 400-600 ml (6-7ml/kg) dalam 1-2 detik ke pasien, bila tanpa oksigen dipompakan 10 ml/kg berat badan pasien dalam 2 detik. Caranya

25

dengan menempatkan tangan untuk membuka jalan nafas dan meletakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-C Clamp, yaitu ibu jari dan jari telunjuk penolong membentuk huruf "C" dan mempertahankan sungkup dimuka pasien. Jari-jari ketiga, empat dan lima membentuk huruf "E" dengan meletakkannya dibawah rahang bawah untuk mengangkat dagu dan rahang bawah, tindakan ini akan mengangkat lidah dari belakang faring dan membuka jalan nafas. a. Bila dengan 2 penolong, satu penolong pada posisi diatas kepala pasien menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan untuk mencegah agar tidak terjadi kebocoran disekitar sungkup dan mulut, jari-jari yang lain mengangkat rahang bawah dengan mengekstensikan kepala sembari melihat pergerakan dada. Penolong kedua secara perlahan (2 detik) memompa kantung sampai dada terangkat. b. Bila 1 penolong, dengan ibu jari dan jari telunjuk melingkari pinggir sungkup dan jari-jari lainnya mengangkat rahang bawah, tangan yang lain memompa kantung nafas sembari melihat dada terangka CIRCULATION(sirkulasi) Henti jantung mengakibatkan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi, artinya tidak ada nadi. Pada praktiknya penilaian tanda ada tidaknya sirkulasi oleh penolong adalah: 1. Setelah memberikan 2 kali nafas ke pasien yang tidak sadar, dan tidak bernafas, lihat apakah ada tanda-tanda sirkulasi yakni ada nafas, batuk dan gerakan-gerakan tubuh. 2. Bila pasien tidak bernafas, batuk atau melakukan gerakan, lakukan pemeriksaan nadi karotis. 4. Penilaian ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Catatan : penilaian sirkulasi ini harus dilakukan oleh petugas kesehatan, sedangkan untuk orang awam terlatih (petugas pemadam kebakaran, satpam dll) tidak dianjurkan, pada kelompok orang-orang ini bila mendapatkan poin 1 diatas, segera melakukan kompresi dada

2.5 Konsep Kedaruratan Non-Traumatik 1. Bisa Binatang A. Gigitan Ular 1. Kebanyakan ular beracun adalah ular tanah (pit vipers). Dan di Amerika Serikat adalah rattlesnakes, copperheads, dan cotton mouths.Ular koral, kelompok ular kecil yang berbahaya, terutama di temukan di Negara-negara sebelah selatan dan Barat daya. 2. Identifikasi dan gambaran klinis. 26

a. Ular Tanah 1) identifikasi dengan melihat lubang di wajah , pupil mata yang elips dan vertical, satu baris sisik subkaudal, kepala berbentuk segitiga. 2) Gejala Klinis a) Gejala awal adalah satu atau beberapa bekas taring, luka bakar, nyeri ringan dan bengkak local yang progresif. Jika ada parestesia, rasa kebal dan kesemutan perioral atau fasikulasi otot wajah berarti sudah terjadi keracunan bisa yang berat b) Pembengkakan di seluruh esktremitas dan berlangsung lambat selama 8 hingga 36 jam, dan mengalami kerusakan jaringan. c) Kematian di sebabkan oleh syok hipovolemik dan edema paru. Koagulopati berat dapat terjadi dalam 6 jam, kadang kala racun neuromuscular menyebabkan gagal permapasan b. Ular Batu ( coral snakes ) 1) Identifikasi ular ini dengan melihat pola cincin tiga warna; ular dengan garis-garis merah dan tepi kuning atau putih, berbisa, sedangkan yang mempunyai garis-garis merah dengan tepi hitam, tidak berbisa. 2) Gejala Klinis a) Tanda-tanda awal dalam 4 jam antara lain adalah tremor, rasa mengantuk, euphoria, dan salivasi banyak. b) Setelah 5 sampai 10 jam. Gangguan pada saraf-saraf kranial menyebabkan bicara tidak jelas, kelimpuhan otot mata, pupil miotik terfiksasi,psotis, disfagia, dan dyspnea. Bertahan hidup lebih dari 24 jam merupakan tanda prognostic yang baik.

27

3. Penatalaksanaan a. Pertolongan pertama, tidak boleh menunda transportasi ke rumah sakit. JIka perawatan medis tersedia dalam beberapa jam , satu-satunya perawatan di bidamg ini adalah mobilisasi pasien dan transportasi segera. Jika perawatan lebih dari 3 sampai 4 jam dan jika keracunan bisa sudah pasti terjadi, langkah yang paling berguna adalah menenangkan pasien, pemasangan tourniquet limfatik segera, insisi dan penyedotan di tempat gigitan dalam 30 menit, imobilisasi dan transportasi cepat , lebih baik dengan usungan. Jika mungkin, pertahankan tungkai setinggi mungkin. b. Lakukan pemeriksaan klinis lengkap dan pemeriksaan laboratorium dasar, hitung darah lengkap, penggolongan dan pencocokan silang darah, hitung trombosit, Urinalisis dan pengukuran kadar gula dalam darah, BUN, dan elektrolit. Untuk gigitan berat, pertimbangkan uji fibrinogen. Fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan. Berikan profilaksis tetanus jika tetanus toksoid terakhir telah lewat waktu 5 tahun. c. Tingkat keracunan bisa harus dinilai, dan 6 jam observasi perlu untuk menghindari penilaian salah terhadap keracunan bisa berat.

28

1) keracunan bisa minimal (tingkat 0-1). Gejala dan tanda-tanda lokal, sedikit tanda dan gejala sistemik, dan hasil uji laboratorium abnormal minimal. 2) Keracunan bisa sedang (tingkat II). Pembengkakan meluas melewati daerah gigitan, beberapa gejala dan tanda sistemik, temuan-temuan laboratorium abnormal, khususnya faktor pembekuan, bacaan hematokrit turun dan hitung trombosit turun. 3) Keracunan bisa berat (tingkat III-IV). Gejala dan tanda lokal yang jelas dan sistemik berat dengan disertai abnormalitas pada uji laboratorium yang signifikan. 4) Mulailah berikan saline IV pada semua pasien ; berikan oksigen, dan obati syok kalau ada. 5) Pertahankan tungkai setinggi jantung; lepaskan torniquet hanya bila syoknya sudah teratasi dan sudah tersedia antibisa. 6) Beberapa sumber menganjurkan eksplorasi bedah secepat mungkin untuk menentukan dalam dan banyaknya kerusakan jaringan. 7) Untuk antibisa, baca sisipan paket dengan hati-hati dan lakukan tes kulit. Antibisa tidak boleh diberikan kepada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tanda atau pada pasien yang hanya menunjukkan tanda lokal, tetapi tidak ada tanda dan gejala sistemik. Berikan antibisa IV berdasarkan peringkatan klinis keracunan bisa. (a) Tingkat II sampai 4 vial. (b) Tingkat III-5 sampai 15 vial, terutama pada anak dan orang yang lanjut usia. (c) Tingkat IV-lebih dari 15 vial. (d) Jumlah pemberian antibisa didasarkan pada perbaikan gambaran klinis, bukan pada berat badan pasien. Anak-anak perlu lebih banyak antibisa daripada orang dewasa. Keracunan bisa berat mungkin memerlukan infus antibisa IV cepat dalam dosis besar. Gunakan antibisa polivalen untuk semua gigitan, kecuali untuk gigitan eastem coral snake yang disediakan preparat antibisa coral snake Amerika utara. (e) Rawat inap setiap pasien yang menerima antibisa dan amati dengan cermat terjadinya insufiensi vaskular atau sindrom kompartemen. C. Gigitan serangga. Bisa serangga artropoda berbeda-beda dan kompleks. Beberapa bisa, seperti bisa black widow, mengganggu transmisi neuromuskular, sedangkan bisa lainya hanya menghasilkan nekrosis jaringan. 1. Black widow. a. Bisa meningkatkan pelepasan asetilkolin dari persambungan mioneural sehingga menguras aktivitas end-plate dan menyekat transmisi sinaps dengan mendepolarisasi membran pascasinaps.

29

b. Identifikasi laba-laba hitam mengkilap dengan gambaran hours-glass merah di abdomenya; badanya 1 sampai 5 cm dengan panjang tungkai sampai 5 cm. c. Gejala klinis. 1) Biasanya ada riwayat gigitan seperti tertusuk jarum tajam diikuti dengan nyeri tumpul dan kebas didaerah ekstermitas dan badan. 2) Nyeri berat diikuti dengan kekakuan otot pada daerah ekstermitas atau badan. 3) Gejala lain antara lain adalah sakit kepala, pusing, ptosis, edema kelopak mata, konjungtivitas, ruam kulit dan pruritus, mual, muntah, berkeringat, salivasi, lemas, dan oliguria. Pada kasus berat, hipotensi dan kelainan EKG sama dengan yang terjadi pada overdosis digitalis. 4) Tanda lokal satu-satunya mungkin adalah dua tanda taring dengan bengkak lokal kecil. Gigitan multipel jarang. d. Terapi. 1) Bersihkan luka dan lakukan kompres dingin (bukan es). 2) Untuk spasme otot berat, berikan 2 sampai 10 ml kalsium glukonat 10% IV untuk menghasilkan relaksasi otot segera. Metokarbamol (robaxin), 1 g, diberikan dengan dosis 100 mg /menit IV sebagai alternatif. Untuk gejala yang lebih ringan pada orang dewasa dan anak-anak diatas umur 6 tahun, pemberian diazepam mungkin sudah cukup. 3) Pada kasus berat, pada orang lanjut usia, dan pada anak-anak dibawah 6 tahun, berikan antibisa (lyovac latrodectus), 1 ampul (2,5 ml) IV dalam salin 50 ml. Lakukan tes kulit lebih dahulu. 2. Laxosceles (Ular petapa coklat). a. Bisa ini adalah suatu campuran kompleks banyak enzim yang merusak endotel arteriol dan venula sehingga menyebabkan trombosis. Lisis sel polimorfonuklear. Dan sel mast menyebabkan pelepasan zat-zat yang merusak jaringan. b. Identifikasi. Laba-laba berwarna coklat muda sampai coklat gelap. Panjang 9 sampai 12 cm. Ada enam mata putih kepala yang semisirkular dan sebuah tanda berbentuk biola gelap pada sefalotoraknya. c. Gejala klinis. 1) Tidak ada nyeri yang berat pada awalnya. Tetapi kemudian nyeri lokal dan eritema terjadi. 2) Dalam beberapa jam, timbul lepuh yang dikelilingi oleh cincin iskemik dan selanjutnya dilingkari oleh cincin eritematosa-lesi mata sapi. 3) Setelah beberapa hari, daerah ini membesar, terjadi nekrosis, dan bagian tengahnya pecah membentuk ulkus yang melua d alam sampai kelapisan otot.

30

4.) Pada hari ke-7 sampai ke-8, timbul jaringan parut, kotoran, dan meninggalkan depek jaringan. d. Terapi . 1.) 2.)

3.)

Bersihkan luka dan berikan profilaksis tetanus kalau ada indikasi. Beberapa ahli menganjurkan penggunaan dapson (50 sampai 200 mg/hari). Obat ini adalah penghambat leukosit dan mengurangi eritema dan indurasi. Dapson dikontra indikasikan pada anak. Beberapa sumber mengajurkan eksisi pada tempat gigitan. Mintakan konsultasi ahli bedah untuk perawatan lukanya.

KERACUNAN, OVERDOSIS 1. Pertimbangan umum a. Keracunan dan penyalahgunaan obat merupakan bagian yang penting dari kedaruratan medis yang dihadapi oleh dokter. Sekitar 75% kasus di Amerika serikat terjadi pada anak-anak dibawah 5tahun, tetapi 95% kematian terjadi pada orang dewasa. Keracunan juga sering terjadi pada anak-anak besar yang mentalnya terbelakang. Bunuh diri dan percobaan pembunuhan juga menyebabkan banyak keracunan. Kadang kala menelan secara tidak sengaja terjadi pada orang dewasa. b. Proses rumah tangga, seperti pemutih, cairan pengilap, dan pestisida banyak menyebabkan keracunan pada anak-anak. Lemari obat dan kabinet dapur sering terjadi sumber racun. Penelitian pusat-pusat pengendalian racun di seluruh Amerika serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 1000 produk rumah tangga dapat menimbulkan keracunan. c. Pada banyak kasus, diagnosis keracunan atau overdosis jelas diketahui, dan riwanyat menelan mudah di dapatkan. Pada kasus lain, sulit didapatkan riwanyat menelan racun atau pika. Pada beberapa kasus, riwanyat menelan racun tidak pernah didapatkan sekalipun ada bukti klinis dan laboratorium keracunan. Pada masalah kelinis yang memusingkan dan tidak jelas sebab-sebab gejalanya, kemungkinan keracunan atau overdosis harus selalu dipikirkan. d. Konsultasi per telepon dengan pusat pengendalian racun regional, dapat membantu dan menangani kedaruratan toksikologik. 2. Tanda dan gejala 1. Banyak gejala dapat timbul sebagai akibat dari keracunan, termasuk muntah, pucat, kejang, koma, somnolen, luka bakar di mulut, demam, hiperektabilitas, dan diare. 2. Temuan fisik yang mengarah ke keracunan antara lain adalah status kesadaran terganggu, pupil konstriksi, dilatasi pupil, sianosis, bau jarigan yang abnormal, dan keringat meningkat. Urine mungkin berubah warna dan kulit terwarnai lain. Gejalagejala dan temuan fifik spesifik sering menunjukkan jenis racun yang di telan.

31

3. Berbagai sindrum klinis dapat membantu mengidentifikasikan obat atau racun penyebabnya. a. Pasien koma dengan kulit kering, dilatasi pupil, takikardia atau distritmia lain, hiperrefleksi, hipotensi, dan kejang mengesan keracunan obat antikonergik. Pasien koma dengan miosis pupil dan depresikardiopulmonal menngesankan keracunan narkotik. b. Pasien keracunan agen kolinergik memperlihatkan salivasi, lakrimasi, berkeringat, edema paru, bronkokonstriksi, brakikardia, miosis, lemah otot, fasikulasi, kejang dan koma. c. Sianosis akut dan hipotensi akibat methemoglobinuria dapat disebabkan oleh keracunan nitrat, nitrit, nitrofenol, atau nitrobenzene. d. Asidosis metabolik dengan gas anion dapat disebabkan oleh salisilat, metanol, etanol, etilen, dan isoniazid. e. Distritmia jantung dapat terjadi karena obat antidepresan siklik (Cas), fenothiazine, kokain, amfetamin, dan obat-obat jantung. f. Nistagmus dapat terjadi karena obat-obat sedatif-hipnotik dan fenitoin. Nistagmus horizontal atau vertikal adalah karaktristik untuk keracunan fensiklidin (PCP). 3. Identifikasi 1. Meskipun ciri umum racun dapat dilacat dari gejala dan temuan fisik, identifikasi pasti agen penyebab amat diperlukan. Pemeriksaan wadah asli produk tersebut sering membantu. Wadah kebanyakan bahan kimia rumah tangga yang berbahanya di beri label daftar kandungannya. 2. Sering kali zat racun tersebut tidak berada di wadah aslinya. Pemeriksaan sisa tablet atau pil dari wadah sering akan menghasilkan identifikasi senyawa racunnya. 3. Riwanyat mengelupas cat ataun plaster timbal atau zat berbahanya lingkungan lainnya dirumah, pembangunan industri, atau tempat hiburan harus didapatkan. 4. Laboratorium toksikologi a. Fasilitas untuk pemeriksan toksilogi klinis yang menyediakan hasil-hasil segera untuk zat-zat tertentu hendaknya tersedia di setiap rumah sakit yang menyediakan fasilitas UGD. b. Pemeriksaan toksikologi urine atau serum rutin perlu diminta jika perlu, tetapi mungkin kecil mafaatnyan untuk fase awal perawatan di UGD. Pemeriksaan tersebut mungkin memerlukan waktu 6 hingga 8 jam untuk selesai dan mungkin tidak mendeteksi agen tertelan yang spesifik, padahal hasil negatif tidak menyingkirkan keracunan. c. Menentukan kadar salisilat dan asetaminofen pada kebanyakan pasien yang kemungkinan overdosis amat bermanfaat karena ketersediaannya luas. d. Jika diketahui atau dicurigai korban menelan suatun obat spesifik, laboratorium mungkin tidak hanya dapat menentukan adanya obat ini tetapi juga kadarnya didalam serum. Ini harus diminta secara spesifik. Agen-agen yang dapat diperiksa

32

1.

2.

a. b. c. d. e. f. 3.

4. A.

B.

kadarnya antara lain: asetaminofen, alisilat, karbon monoksida, digitalis, etanol, besi, litium, teofilin. Pada kasus-kasus keracunan, uji darah, urine, yang muntah yang sesuai akan bermanfaat. Komunikasi langsung dengan laboratorium toksikologi akan membantu dalam hal uji yang diperlukan dan perlunya kecepatan pemeriksaannya. Jika suatu spesimen tidak dapat di kirim ke laboratorium segera, bahan tersebut perlu dimasukkan ke lemari pendingin. Pengawet tidak perlu ditambahkan. Foto sinar-X abdomen dapat mempelihatkan massa oblong (heroin atau kokain didalam kondom), pil radioopak, endapan-endapan atau cairan. Jembatan keledai yang bermanfaat untuk temuan ini adalah CHIPES. Sinar-X negatif tidak menyingkirkan ingesti zat-zat ini. C =Chaloral hydrate, carbon tetrachloride H =heavy metals (logam berat) I =Iron, Iodides(besi yodium) P =Psychotropics (phenothiazines) E =Enterik coated (salisilat, KCI) S =Solvents (CHCI3,CCI4) Pemeriksaan, seperti uji hemoblogin dan hematokrit untuk anemia, penetapan methemoglobinemia, dan urine untuk mioglobindan koproporfirin mungkin bernilai dalam menilai kasus-kasus keracunan tertentu. Percobaan bunuh diri Percobaan bunuh diri dengan zat-zat racun atau dosis obat berlebihan sering terjadi. Hal ini sering terjadi pada remaja, demikian pula pada orang-orang dewasa yang megalami depresi. Sekitar 50% kasus penelanan pada orang dewasa disebkan oleh upaya bunuh diri. Di samping terapi untuk keracunannya, harus diperhatikian masalah-masalah psikiatrik yang berada di belakang percobaan bunuh diri tersebut. Perawatan dirumah sakit diperlukan pada bayak kasus. Pemeriksaan psikiatrik penting setelah pasien oulih dari efek segera minum racun tersebut. Jika ada kecurigaan percobaan pembunuha orang, pihak yang berwajib di bidang hukum harus di beritahu. Kemungkinan penganiayaan anak atau orang lanjut usia harus juga dipertimbangkan.

5. Prinsip-prinsip penatalaksanaan A. Dalam penatalaksanaan keracunan, ada tiga prinsip utama: 1. Racun boleh dievakuasi dan absorbsi dihambat jika tindakan ini dapat dikerjakan dengan aman. 2. Terapi suporti dan simtomatik harus diberikan segera, termasuk pemberian cairan IV dan pemeriharan jalan nafs yang adekuat. 3. Setiap pasien yang mengalami perubahan status kesadaran harus segera diperiksa glukosa serumnya, diikuti dengan 50 ml dekstrosa 50% jika ada hipoglikemia. Pupil

33

4.

B.

C.

D.

yang miotik hendaknya segeran di tanggulangin dengan nalokson, 0,8 dampai 2,0mg, untuk mengembalikan kemungkinan overdosis narkotik. Jika ada antidotum spesifik untuk racun yang tertelan, obat ini harus diberikan. Namun, hannya sebagian kecil keracunan yang diketahui mempunyai antidotum spesifik (Tabel 28-1). Ketersediaan anti dotum spesifik tidak menghilangkan perlunya langkah-langkah suportif umum. Mula-mula ada evaluasi setiap kasus, harus dibuat keputusan tentang perlunya dirawat di rumah sakit. Tidak semua kasus mengonsumsi racun perlu dirawat di rumah sakit. Namun, pada kasus-kasus yang meragukan, perawatan rumah sakit adalah pilihan yang paling aman. Pasien dengan resiko bunuh diri harus diperiksa secara psikiatruk. Pemikiran yang paling utama adalah apakah evakuasi lambung terindikasi, baik dengan induksi muntah maupun dengan bilas lambung. Evaluasi lambung dikontraindikasikan pada keracunan disebabkan oleh bahan korosif seperti lye atau asam kuat. Evaluasi juga terkontaminasi jika kemungkan aspirasi sedikit zat racun tersebut dapat menyebabkan pneumonia aspirasin yang berat. Hidrokarbon adalah golongan besar yang menjadi penyebab, dan riset baru menghasilkan pendekatan yang lebih rasional tentang kapan harus mengevaluasi lambung pada kasus menelan hidrokarbon (Boks 28-1 dan 28-2). Banyak ahli toksikologi berfikir bahwa mengosongkan lambung jarang terindikasi dan bahwa memasukkan arang aktif sebenarnya lebih epektif. Namun, bila dibuat keputusan untuk mengosongkan lambung, informasi berikut dapat bermanfaat:

RACUN DAN OBAT-OBAT SPESIFIK A. salisilat 1. keracunan kalisilat sering terjadi, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Salisilat dieliminasi terutama dengan konjugasi dengan gelisin membentuk asam salisilurat. Ekskresi relatif cenderung menurun jika jumlah total salisilat di dalam tubuh meninggi. Jika metabolisme hati sudah jenuh, ekskresi renal menjadi jalur utama. 2. Gejala dan tanda keracunan salisilat meliputi tinitus, anoreksia, demam, muntah berkeringat, tampak flush, hiperventilasi, delirium, koma dan kejang. Uji Phenistix pada urine bermanfaat, seperti halnya uji feri klorida (warna ungu setelah penetesan beberapa tetes FeCI3 10%). Kadar natrium plasma biasanya normal, tetapi kadar biokarbonat plasma biasanya turun akibat hiperventilasi. Ketonuria sering terjadi. 3. kadar salisilat serum saja dapat menyesatkan karena kadarnya dapat terus meninggi selama 6 jam setelah konsumsi. Idealnya, diperiksa kadar pada 6 jam, atau sekurangkurangnya diambil 2 sampel dengan selang 1 sampai 2 jam untukmenjamin bahwa kadarnya tidak naik.

34

4. PH serum harus diperiksa jika kadar salisilat berada pada kadar toksik. Asidosis metabolik dapat ditemukan, tetapi mungkin ada kompensasi untuk hal ini melalui alkalosis respiratorik. 5. Dianjurkan di periksa kadar salisilat darah 6 jam setelah konsumsi dan pH darah. Kadar diatas 35 mg/100 ml dianggap toksik, meskipun tidak ada korelasi yang baik antara kadar salisilat dan gejala. Kadar harus dievaluasi dengan mempertimbangkan waktu yang telah lewat sejak menelan salisilat (Gbr. 28-1). Dosis toksik mempunyai waktu paruh yang jauh lebih panjang dari pada dosis terapi, naik dari 4 menjadi 20 jam. Pasien geriatrik yang menerima terapi kronik dapat mudah mengalamin keracunan jika dosis yang meningkat melampaui beban jalur detoksifikasi. 6. Terapi a. Muntah hendaknya diinduksi dengan sirup ipekak jika ingesti relatif baru sebentar (misalnya, kurang dari 1 jam). b. Pada kasus yag cukup berat, cairan IV harus di pasang. Meninggikan pH urine sampai diatas 7,5 amat penting karena reabsorpsi salisilat dari urine jelas menurun dan ekskresi salisilat amat meningkat pada pH alkali. (1) Natrium bikarbonat IV,20 sampai 50 mEq, diberikan dalam waktu 5 menit. Jika setelah 10 menit urine tidak alkali, diberikan 15 mEq lagi dan diulang setiap 10 menit sampai urine menjadi alkali. (2) Setelah urine mejadi alkali, diberikan natrium bikarbonat 10 mEq per 10 ml dextrose 5% dala saline sampai 3,0 ml/menit. Setelah aliran urine baik, kadar kalium serum harus dimonitor dan ditambahkan 30 mEq kalau perlu pada setiap liter cairan. (3) Alkalinisasi urine mungkin sulit dicapai atau dipertahankan jika kekurangan kalium tubulus renalis menyebabkan rebsorpsi ion hidrogen lebih besar dari pada kalium. (4) pH urine harus diperiksa setiap 30 menit, dan jika kurang dari 7,5, hendaknya diberikan natrium bikarbonat 15 sampai 25 mEq lagi dalam waktu 5 menit. Kateter menetap akan bermanfaat. (5) Setelah 2 sampai 5 jam terapi, cairan rumatan harus dimulai. Pada kasus yang jarang menimbulkan gagal ginjal, hemodialisis, atau dialisis peritonneal boleh dipertimbangkan.

CEDERA TENGGELAM: TENGGELAM DAN HAMPIR TENGGELAM A. Hipoksia adalah risiko dini,dan paling besar,akibat aspiasi air. 1. .Respons segera terhadap aspirasi adalah laringospasme yang diikut dengan menelan air lambung.

35

2. 2.Sementara beberapa korban mengalami hipoksia kontinu dan meningal akibat asfiksia,kebanyakan korban menghirup airlebih banyak ketika laringospasme awal tadi mengendor sehigga terjadi hipoksia dan hiperkapnia.isi lambung juga dapat terhirup dalam paru-paru. B. Air garam besifat hipertoni dibandig dengan darah sehingga terjadi pengerasan cairan lebih banyak lagi kedalam alveoli;dengan demikian menggangu pertukaran gas. C. Air tawar bersifat hipotonik dan cepat diabsorpsi dari alvoli ke dalam sirkulasi.akan tetapi,air yang hipotonik menggangu surfaktan paru sehingga terjadi kolaps alveolus dan gangguan pertukaran gas. D. Berlawanan dengan teori-teori yang dahulu di pegang,hemodilusi dan hemolisi yang nyata biasanya tidak terjadi setelah absorpasi air hipotonik karena jumlah air yang terhirup relatif kecil di bandinggkan dengan volume darah total’ E. Akibat dan aspirasi air garam atau air tawar adalah gangguan oksigenisasi. F. Sekuele tambahan anatar alain adalah ARDS,asidosis,distrimia,gagal ginjal,DIC,dan kerusakan otak hipoksik. 3. G.Terapi di UGD berupa menjamin oksigeninasi adekut,dengan tekanan udara positif dan intubasi dan endotrakeal,jika perlu.

Kedaruratan lingkungan A. LUKA BAKAR TERMAL A.PRINSIP UMUM 1. Cedera bakar bervariasi dari yang relatif ringan hingga yang amat komleks. 2. Perlu diputuskan pasien mana yang memerlukan perawatan di rumah sakit,tetapi apa yang dapat di berikan dengan aman di UGD ,dan pasien yang memerlukan prosedur pendahuluan sebelum di masukkan ke pelayanan rawat inap atau dirujuk ke pusat luka bakar. 3. Asepsis ketat (misalnya,topi,masker,baju,sarnung tangan) harus di pertahankan ketika mengobati pasien dengan cerdas termal mayor, luka-luka ini terbuka dan mudah terkontaminasi. 4. Anamnesia harus mencakup semua rincian tentang kecelakaanya. a. Waktu dan lama kontak. b. Lokasi ruang terbuka atau tertup (kemungkinan cedera paru lebih besar di ruang tertutup). c. Sumber-panas api (biasanya luka bakar dalam),air panas (jarang dengan ketebalan penuh),dll d. Adanya zat-zat berbahaya-gas,pelasitik,dll

36

e. Kemungkinan cedera lainnya –ledakan dengan serpih-serpih tajam atau kca,kecelakaan kendaraaan bermotor dll. 5. Anamnesia juga harus mencakup kemungkinan faktor-faktor penting ,seperti penyakit atau obat yang sudah adda sebelumnya. 6. Pemeriksaan fisik lengkap wajib dilaksanakan .perhatian khusus hendaknya di berikan untuk menyingkirkan cedera-cedera lain. 7. Profilaksis tetanus harus diberikan jika ada indikasi. B. luasnya cedera 1. Perkiraan kasar laus dan dalamnya luka bakar membantu untuk menentukan apakah pasien memerlukan rawat rumah sakit dan terapi cairan IV.tabel 27-1 menggambarkan teknik standar untuk memperkirakan luasnya luka bakar. 2. Ke dalam luka bakar sering sulit ditentukan.infeksi yang mengikuti dapat mengubah luka yang berketebalan sebagian mennjadi berketebalan penuh . 3. Luka bakar superfisial biasanya menyembuh dengan jaringan parut permanen yang kecil,jika ada. a. Luka bakar drajat pertama hanya mengenai epidermis dan ditandai oleh eritame. b. Luka bakar drajat kedua mengenai epidermis dan sedikit dermis.yang menonjol adalah lepuh dan denudasi dan superfisial. 4. Luka bakar dalam menyembuh dengan jaringan parut permanen. a. Luka bakar drajat kedua dalam mengenai sebagian besar dermis.kulit yang terbakar menjadi tidak elastis dan berwarna merah. b. Luka baka drajat ketiga mengenal seluruh ketebalan kulit.semua lapisan kulit rusak,dan pembentukan jaringan parut cukup berat.kulit yang terbakar menjadi kaku,tidak elastis,dan berubah warna(putih atau gosong).daerah ini tidak pacut dan anestetik karena pembuluh darah dan saraf rusak. C. Kriteria untuk rawat inap. 1. Jika ada keraguan,rawatlah pasien di rumah sakit.kasus-kasus kritis harus di ujuk ke pusat luka bakar,tetapi baru di kirim setelah di pasang beberapa slang infus dan sudah di mulai resusitasi cairan yang adekut. 2. Perawatan jalan cukup untuk luka bakar superfisial yang mengenai kuang dari 15% luas permukaan tubuh pada orang dewasa dan 10% pada anak-anak. 3. Perawatan jalan untuk luka bakar pada kulit dengan ketebalan penuh kurang dari 2% masih masuk akal.pasien dengan luka bakar dalam lebih dari 10%,biasanya dirawat di rumah sakit . 4. Faktor-faktor lain yang lebih baik dirawat di rumah sakit adalah umur-umur ekstrim (sangan muda atau sanagat tua) atau luka bakar pada tangan,kaki,wajah atau perineum.

37

5. Cedar inhalasi dan luka bakar listrik memerlukan pemeriksaan yang cermat untuk dirawat inap.

D. Luka bakar ringan. 1. Merendam segera daerah luka di dalam air dingin atau memakai kantong dingin akan meredakan nyeri dan mengurangi pembengkakan.es jangan ditempelkan langsung pada kulit. 2. Luka bakar harus dibersihkan dengan hati-hati dan dilakukan dengan debridemen jaringan mati,seperti epidermis yang sudah tidak menempel karena lepuh yang pecah. 3. Lepuh yang utuh umumnnya tidak boleh di debridemen.karea ada kemungkinan lepuh pecah,bula yang amat tegang di atas sendih boleh diaspiasi secara steil. 4. Luka baka drajat pertama dapat di obati dengan krem antibiotik ,pembalutan tidak diperlukan. 5. Luka bakar drajat kedua harus di obati dengan antibiotik topikal dan penutupan luka.sebuah regimen yang sering dipakai adalah neomisin-polimiksin-basitrasin (neosporin) yang di oleskan pada luka bakar,dengan kasa yang telah mengandung antibiotik (xeroform) dipasang di atasnya .lukan harus di lihat dan kasa penutupnya diganti seluruhnya dalam jangkauan waktu 1 sampai 2 hari. idealnya,pasien boleh mengoleskan antibiotik topikal beberapa kali sehari,meskipun ini mungkin tifak praktis untuk trapi rawat jalan. E. Luka bakar berat. a. Pemeliharaahn jalan napas amat penting,luka bakar yang cukup berarti pada jalan napas bagian atas,mungkin memerlukan intubasi segera dan mungkin akhirnya trakheotomi untuk mencegah sumbatan jalan napas bagian atas karena edema sekunder. b. ”Luka bakar paru” diperirakan disebabkan oleh cedera kimiawi karena inhalasi bahan-bahan kimia toksik.uap air panas di jalan napas dan bawah biasanya mendinginkan gas-gas yang terhirup sehingga sebenarnya cedera termal. 2. Pada jalan napas bagian bawah (paru) mungkin tidak terjadi. (kecuali mungkin inhalasi uap panas yang dapat menyeabkan cedera termal sekurang-kurangnya pada jalan napas besar paru). a. Cedera inhalsi dapat diduga dari bulu hidung yang hangus,jelaga di hidung atau mulut ,luka bakar perinasal dan perioral, atau ronki terdengar pada pemeriksaan auskulitasi dada.

38

b. Cedera inhalsi dapat menyebabkan cedera termal pada jalan napas bagian atas atau cedera kimiawi pada jalan napas bagian bawah yang akhirnya dapat menyeabkan ARDS. 3. Eskarotomi dada mungkin diperlukan jiak jairingan parut derajat tiga yang padat mengambat ventilasi (Gbr.27-1). 4. . Eskarotomi ekstremitas kadang kala di perluakan untuk mengembalikan gangguan sirkulasi arteri. 5. Kebutuhan cairan pada seseorang pasien dengan luka bakar cukup berat sangat banyak. selang infus harus diapasang segera dan resusitasi dimulai di UGD.

39

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit. Bantuan hidup dasar merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalamai kegawatdaruratan. (siti rohmah.2012) 3.2 Saran Kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca.

40

DAFTAR PUSTAKA

Randy, Candra. 2012. Konsep Triase. Available at Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK Unud https://rosdianamasrursoh580.wordpress.com/.../makalah-kdpk-bant. Michael Jay Bresler George L.Sternbach 2007. Kedokteran Darurat.Jakarta:EGC Syaiful Saanin. BSB Dinkes Prop. Sumbar Panduan PPGD Nasional : PPGD/GELS Kemenkes edisi 2006 :

41

Related Documents


More Documents from "Imarotul Baroroh"