ANALISIS PENDAHULUAN FIREBALL PARANGKUSUMO (26 JULI 2006) Muh. Ma’rufin Sudibyo Astronom amatir, anggota Dewan Pakar Jogja Astro Club (JAC), klub astronomi Yogyakarta.
I. MUKADIMAH Selain Matahari, planet, komet dan asteroid, tata surya juga beranggotakan benda langit mini seukuran debu hingga batu–batu kecil yang disebut meteoroid (kersik kosmik). Meteoroid dihasilkan dari benturan antar anggota tata surya (benturan komet/asteroid dengan planet dan satelitnya, atau benturan antar asteroid) dan dari materi yang dilepaskan komet oleh tekanan radiasi Matahari yang kian meninggi saat mendekati perihelion dalam perjalanan mengelilingi Matahari. Jika Bumi tepat melintas di lokasi meteoroid, gravitasi Bumi menariknya hingga masuk ke atmosfer. Oleh kecepatan meteoroid yang sangat tinggi, kolom udara yang dilintasinya memberikan tekanan ram (ram pressure) sangat besar sehingga meteoroid menjadi berpijar dan nampak. Magnitude (tingkat terang) sebuah meteor tidaklah lebih besar dibanding bintang. Namun pada waktu–waktu tertentu memang ada meteor yang memiliki magnitude cukup besar, sehingga nampak lebih terang dibanding planet Venus, benda langit paling terang setelah Matahari dan Bulan purnama. Meteor semacam ini dinamakan fireball. Meteor jarang sekali yang bisa selamat dalam usahanya menembus atmosfer hingga sampai ke permukaan Bumi sebagai meteorit karena telah terbakar habis pada ketinggian > 80 km. Manusia pada umumnya memiliki pandangan positif akan munculnya meteor atau fireball. Berbeda dengan komet yang sering dianggap sebagai pertanda akan datangnya bencana, masyarakat Jawa1 menganggap meteor dan fireball adalah ndaru (wahyu), yakni petunjuk dari langit tentang siapa calon pemimpin mereka. Sehingga kehadiran meteor selalu ditunggu–tunggu terutama menjelang berlangsungnya pemilihan kepala desa, suksesi di kerajaan dan pergantian kepala daerah. Sementara Umat Islam berpendapat meteor (dan fireball) adalah panah–panah berapi yang dilepaskan oleh para malaikat guna mengusir setan–setan yang bergentayangan mencuri informasi di langit. Namun tidak demikian dengan fireball Parangkusumo. Pada hari Rabu 26 Juli 2006 pukul 19:30 WIB sebagian penduduk Yogyakarta, Bantul dan sekitarnya menjadi saksi munculnya fireball dari timur dan disusul terdengarnya suara dentuman hingga dua kali, tak lama kemudian. Fireball ini justru menggelisahkan mengingat baru dua bulan sebelumnya gempa tektonik kuat (Mb = 5,9 skala Richter; Mw = 6,4 skala Magnitudo) mengguncang daratan Bantul hingga menelan korban > 6.000 jiwa. Fireball ini juga muncul hanya berselang 9 hari pasca gempa tektonik besar (Mw = 7,7 skala Magnitudo) di lepas pantai selatan Jawa Barat, yang menerbitkan tsunami dan menelan korban jiwa >
Perkecualian pada masyarakat Gunung Kidul, DIY. Disini berkembang mitos pulung gantung, yakni munculnya sinar merah kebiru–biruan yang melintas cepat di langit malam dan dianggap sebagai penanda akan terjadinya kasus bunuh diri di tempat dimana sinar tersebut nampak/jatuh. Melihat ciri–cirinya, sinar ini jelas merupakan meteor/fireball. Lebih lanjut tentang pulung gantung ini lihat Darmaningtyas; 2002; Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul; Yayasan Salwa; Yogyakarta. 1
1
600 orang, dimana hempasan gelombangnya terasakan juga di pantai selatan DIY. Sempat muncul kekhawatiran fireball ini adalah tanda akan terjadinya bencana baru. Secara kebetulan fireball ini sempat diamati sejumlah astronom amatir Yogyakarta yang tergabung dalam Jogja Astro Club (JAC) saat mengadakan observasi langit malam sebagai kelanjutan dari hilaal party sore harinya di pantai Parangkusumo. Dilaporkan fireball itu muncul dari timur menuju ke barat, dari ketinggian sangat rendah, memiliki warna putih kebiruan, melintas di sekitar titik zenith Parangkusumo dan demikian terang sehingga mampu membuat lokasi pengamatan yang semula gelap gulita menjadi benderang untuk sesaat. Fireball itu dilaporkan juga teramati pada jarak 40 km dari lokasi pengamatan. Tulisan ini mencoba menyajikan analisis sederhana mengenai fireball 26 Juli 2006, yang selanjutnya disebut fireball Parangkusumo. II. SIMBOL q = jarak perihelion (AU), e = eksentrisitas, i = inklinasi (derajat), ω = argumen perihelion (derajat), Ω = titik potong menaik orbit fireball dengan bidang ekliptika (derajat), α = tinggi (derajat), Azi = azimuth (derajat), Za = atraksi zenith (derajat), Vinf = kecepatan absolut meteor tepat sebelum memasuki atmosfer Bumi (km/s), Vgeo = kecepatan geosentrik meteor (km/s), M = massa meteoroid (gram), mvis = magnitude visual fireball , A = luas permukaan fireball (derajat2) = ¼ π W2, W = diameter fireball (derajat), X = panjang lintasan optis di atmosfer (airmass) menurut Rozenberg = [cos (Z) + 0,025e–11cos (Z)]–1, Z = jarak zenith (90o– α), Dkritis = diameter kritis meteoroid (m), Po = tekanan udara ambien 1 bar (105 N/m2), ρ = massa jenis meteoroid (kg/m3), g = percepatan gravitasi Bumi (9,81 m/s2).
III. SIFAT FIREBALL PARANGKUSUMO 1. Sumber Fireball adalah meteoroid besar –baik dari sisa komet maupun pecahan asteroid– yang masuk ke atmosfer Bumi dan menghasilkan kilatan cahaya sangat terang. Menurut American Meteor Society (2001) meteoroid dari sisa komet memiliki rentang kecepatan absolut cukup besar, yakni 11–72 km/detik. Sedangkan meteoroid dari pecahan asteroid memiliki rentang kecepatan lebih kecil (11–20 km/detik). Beda kecepatan ini berdampak pada warna fireball. Fireball lambat terkesan lebih redup dengan dominasi warna merah/orange, sementara fireball cepat lebih terang dengan dominasi warna biru. Namun karena warna fireball sesungguhnya dipengaruhi oleh spektrum unsur–unsur dalam meteoroidnya dan spektrum emisi lebih dominan dibanding spektrum menerus, maka menentukan warna nyata fireball sebenarnya sangat sulit. Dengan warna putih kebiruan, fireball Parangkusumo diduga berasal dari sisa komet. Meteoroid dari sisa komet selalu merupakan bagian hujan meteor periodik (shower). Pada saat kejadian, di langit timur lokasi pengamatan terdapat tiga sumber shower aktif, masing–masing Southern Delta Aquarids (SDA), Piscis Austrinids (PAU)
2
dan Antihelion (ANT). Fireball Parangkusumo mungkin adalah bagian dari salah satu shower ini. Tabel 1 : Sifat shower Southern Delta Aquarids, Piscis Austrinids dan Antihelion Posisi Nampak pada Punca Jumlah Vinf 26 Juli 2006 Rasi Selang waktu k maksimum (km/deti Asal Aktivitas Aktivi Dec RA (meteor/jam) k) tas (o) (o) Southern Delta 12 Juli–19 Aqr – 17 337 28 Juli 20 41 Aquarids (SDA) Agustus Piscis Austrinids 15 Juli–10 PsA – 31 338 28 Juli 5 35 (PAU) Agustus Antihelion 1 Januari – 31 – – 20 307 – 3 30 (ANT) Desember Sumber : International Meteor Organization 2006, untuk showerANT posisinya dideduksi lewat analisis tinggi dan azimuth Matahari saat kejadian guna mendapatkan titik antisolarnya. Nama hujan meteor periodik
Posisi nampak (apparent) shower SDA dan PAU masih di bawah horizon timur Parangkusumo (SDA = tinggi : –2,5o dan azimuth : 107,6o; PAU = tinggi : –1,0o dan azimuth : 121,5o) sehingga hanya shower ANT saja yang sudah nampak (tinggi : 27,5o dan azimuth : 107,9o). Namun menurut Drummond (1981) meteor dari sebuah shower bisa saja memiliki posisi yang nampak berbeda dari sumbernya asalkan elemen orbitnya tetap mematuhi kriteria Drummond (yakni D’ < 0,105) ketika dibandingkan dengan komet induknya. Di samping itu tinggi nampak sebuah meteor selalu dipengaruhi oleh atraksi zenith (Za), yakni fenomena ‘tertariknya’ meteoroid oleh gravitasi Bumi tepat sebelum memasuki atmosfer sehingga tingginya bergeser sedikit menuju ke zenith. Hal ini terutama sangat dirasakan oleh meteoroid–meteoroid yang lambat dan memiliki α kecil. Gerak rotasi Bumi juga memberikan pengaruh sama, meski kontribusinya kecil dan bisa diabaikan. Kesulitan utama dalam menganalisis fireball Parangkusumo adalah tiadanya data lengkap akan tinggi dan azimuth fireball. Hanya tersedia informasi kualitatif : fireball muncul dari timur menuju ke barat, dari ketinggian sangat rendah dan melintas di sekitar titik zenith Parangkusumo. Untuk mengatasi hal ini penulis terlebih dahulu menganalisis elemen orbit meteor hipotetik dari shower SDA dan PAU (yakni yang memenuhi kriteria Drummond) untuk kemudian dibandingkan dengan fireball Parangkusumo. Untuk shower SDA dan PAU tinggi dipilih dalam rentang 0–8o sementara azimuth dalam rentang 102–108o (shower SDA) dan 116–124o (shower PAU). Sementara untuk shower ANT, karena posisinya sudah cukup tinggi di langit timur maka tidak disertakan dalam perhitungan. American Meteor Society menyebut shower SDA bersumber dari komet dengan elemen orbit (1976) : q = 0,069 AU; e = 0,958; i = 28,2o; ω = 155,4o dan Ω = 305,7o. Semula diduga komet 96 P/Machholz 1 adalah induk shower SDA, namun belakangan hal ini dimentahkan lagi. Sementara informasi tentang elemen orbit komet induk shower PAU, sejauh yang bisa penulis telusuri, tidak ada. Untuk itu digunakan cara tidak langsung dimana posisi shower SDA pada 26 Juli 2006 dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan data American Meteor Society. Ternyata elemen orbit meteor dari shower SDA itu cocok dengan komet induknya, dibuktikan dari nilai D’ = 0,0484. 3
Dengan cara yang sama, elemen orbit komet induk shower PAU pun bisa didekati: q = 0,230 AU; e = 0,830; i = 38,7o; ω = 134,8o dan Ω = 303,4o. Hasil analisis meteor hipotetik dari masing–masing shower ditabulasikan di bawah ini : Tabel 2 : Meteor hipotetik dari shower Piscis Austrinids α nampak = 2 derajat Geosentrik Kode Azi Za Vgeo RA Dec q PAU116 PAU118 PAU120 PAU122 PAU124
116 118 120 122 124
3,82 3,81 3,81 3,80 3,80
32,70 32,71 32,71 32,72 32,72
337,76 338,15 338,54 338,96 339,39
–25,80 –27,79 –29,79 –31,78 –33,76
0,193 0,214 0,236 0,261 0,287
Elemen Orbit e i ω 0,863 0,854 0,844 0,835 0,826
29,38 31,75 33,84 35,69 37,32
138,44 135,61 132,55 129,28 125,80
Ω
D’
303,398 303,398 303,398 303,398 303,398
0,1091 0,0600 0,0368 0,0706 0,1186
Ω
D’
303,398 303,398 303,398 303,398 303,398
0,0896 0,0638 0,0739 0,1096 0,1527
Ω
D’
303,398 303,398 303,398 303,398 303,398
0,0945 0,0933 0,1147 0,1487 0,1877
Ω
D’
α nampak = 4 derajat Kode
Azi
Za
Vgeo
PAU116 PAU118 PAU120 PAU122 PAU124
116 118 120 122 124
3,82 3,81 3,81 3,80 3,80
32,70 32,71 32,71 32,72 32,72
Geosentrik RA Dec 335,40 335,74 336,09 336,46 336,84
–26,15 –28,15 –30,15 –32,15 –34,14
q
Elemen Orbit e i ω
0,211 0,231 0,254 0,278 0,305
0,865 0,858 0,851 0,844 0,837
q
e
0,230 0,250 0,273 0,297 0,323
0,869 0,864 0,859 0,854 0,851
27,05 29,42 31,54 33,43 35,11
135,09 132,25 129,19 125,91 122,43
α nampak = 6 derajat Kode
Azi
Za
Vgeo
PAU116 PAU118 PAU120 PAU122 PAU124
116 118 120 122 124
3,82 3,81 3,81 3,80 3,80
32,70 32,71 32,71 32,72 32,72
Geosentrik RA Dec 333,02 333,32 333,63 333,95 334,27
–26,46 –28,46 –30,47 –32,47 –34,47
Elemen Orbit i ω 24,87 27,23 29,36 31,27 32,98
131,55 128,72 125,68 122,42 118,97
Tabel 3 : meteor hipotetik dari shower Southern Delta Aquarids α nampak = 1 derajat Geosentrik Elemen Orbit Kode Azi Za Vgeo RA Dec q e i ω SDA102 SDA104 SDA106 SDA108
102 104 106 108
2,78 2,78 2,78 2,77
38,97 38,97 38,97 38,98
335,49 335,80 336,12 336,44
–11,77 –13,77 –15,77 –17,77
0,061 0,067 0,076 0,087
0,967 5,66 155,87 303,398 0,965 12,71 154,46 303,398 0,962 18,99 152,59 303,398 0,958 24,45 150,32 303,398
0,1503 0,0971 0,0786 0,1246
Untuk shower PAU, pada α nampak = 2o rentang azimuth 118–122o adalah yang memenuhi kriteria Drummond, pada α nampak = 4o rentangnya mengecil menjadi 116–120o dan pada α nampak = 6o azimuthnya kian mengerucut menjadi 116–118o. Di atas α nampak = 6o tidak ada yang memenuhi kriteria Drummond. Sementara pada shower SDA,, untuk α nampak = 1o azimuth yang memenuhi kriteria Drummond hanyalah yang berada dalam rentang 104–106o dan jika α nampak dinaikkan menjadi 2o maka tak satupun yang memenuhi kriteria Drummond. 4
Jika hasil di atas dikombinasikan dengan hasil simulasi langit timur Parangkusumo saat kejadian, maka didapatkan gambar sebagai berikut :
ANT
Gambar 1 Simulasi pemandangan langit timur dilihat dari Parangtritis (masih satu wilayah dengan Parangkusumo) pada 26 Juli 2006 pukul 19:30 WIB. Daerah yang diarsir adalah lokasi yang mungkin bagi meteor yang berasal dari shower SDA, PAU dan ANT.
Bila dibandingkan dengan deskripsi fireball Parangkusumo, maka meteor dari shower SDA lebih memenuhi persyaratan karena : lebih dekat dengan titik timur dan α nampak maksimumnya jauh lebih rendah dibanding PAU. Jika dianggap fireball Parangkusumo memiliki α = 1o, maka pada α sebesar ini meteor SDA masih terpisah sejauh 10o (116–106o) dari PAU dan jarak pisah sebesar ini cukup mudah dibedakan bagi para pengamat langit. Sementara shower ANT bisa dikesampingkan karena kedudukannya sudah cukup tinggi. Maka penulis berpendapat fireball Parangkusumo berasal dari shower SDA. Jika dianggap fireball memiliki azimuth = 105o dengan α = 1o, maka sebelum jatuh ke Bumi meteoroid ini mengedari Matahari dalam orbitnya yang sangat ellips (e = 0,963), ciri khas dari orbit komet. Meteoroid berevolusi selama 2,69 tahun secara prograde dengan kemiringan orbit 16o terhadap ekliptika. Perihelionnya 0,07 AU atau sepuluh kali lebih dekat ke Matahari dibanding orbit Merkurius sementara aphelionnya melambung sejauh 3,80 AU atau jauh melampaui orbit Mars, namun tidak sampai menjangkau orbit Jupiter. Jika meteoroid ini tidak berpapasan dengan Bumi, maka ia akan mencapai titik perihelionnya pada 29 Agustus 2006. 5
2. Magnitude Karena fireball Parangkusumo mampu menerangi pantai Parangkusumo untuk sesaat dan menghasilkan bayang–bayang, maka fireball ini jauh lebih cemerlang dibanding planet Venus (magnitude visual maksimum : –4,4). Menurut American Meteor Society (2001), fireball yang sangat cemerlang mampu menghasilkan dua jenis dentuman : dentuman sonik (sonic boom) dan dentuman elektrofonik (electrophonic boom), meski dua–duanya jarang terjadi. Fenomena ini terjadi jika fireball memiliki magnitude lebih besar dari –8 dan menerobos stratosfer hingga menembus batas ketinggian 50 km dari permukaan Bumi dimana fireball selanjutnya berubah menjadi bolide. Dentuman sonik terdengar 1,5–4 menit setelah fireball terlihat, mengingat gelombang suara ‘hanya’ bisa merambat sejauh 20 km/menit. Sementara dentuman elektrofonik terdengar bersamaan dengan munculnya fireball. Suara dentuman lebih sering terjadi pada bolide yang jatuh dari ketinggian sekitar 45o terhadap horizon dibanding bolide yang berasal dari titik zenith ataupun dari ketinggian yang sangat rendah (dekat horizon). Adanya dentuman sonik juga menunjukkan bahwa ketinggian fireball/bolide saat itu sudah lebih rendah dari batas 60 km (Jacchia, 1974). Pengamat JAC tidak sempat memotret fireball ini, sehingga berapa magnitude sebenarnya tak bisa diketahui. Namun dengan dentuman yang menyertainya bisa disimpulkan fireball Parangkusumo memiliki magnitude visual minimum –8. Dalam beberapa kasus jatuhnya fireball, dentuman sonik yang diakibatnya bisa menggetarkan permukaan Bumi, mirip getaran akibat gempa, dan bisa direkam oleh stasiun–stasiun seismik meski fireball tersebut tidak menyisakan meteorit yang menghantam Bumi. Namun apakah sinyal dentuman sonik fireball ini juga terekam dalam seismograf–seismograf yang dipasang di sekitar sesar Opak pasca gempa kuat 27 Mei 2006, belum diketahui. 3. Massa Massa meteoroid bisa ditentukan bila ada informasi mengenai magnitude visual fireball serta kecepatannya. Jeniskens dkk (Jeniskens et.al, 1998, dalam Withers, 2001) telah merumuskan hubungan matematis berikut : log M = 6,06–0,62 mvis–3,89 log (Vinf)–0,67 log (sin α nampak)
(1)
Menggunakan α nampak = 1o, mvis minimum = –8 dan Vinf = 41 km/detik, persamaan (1) memberikan massa minimum meteoroid pada fireball Parangkusumo sebesar 840 kg. Menurut American Meteor Society (2001) fireball dari sisa komet diklasifikasikan ke dalam dua tipe, yakni fireball tipe III A dimana meteoroidnya memiliki massa jenis 0,8 gram/cm3 dan fireball tipe III B dengan massa jenis meteoroidnya 0,3 gram/cm3. Di antara dua tipe fireball ini, fireball tipe III A lebih sering muncul dengan populasi mencapai 29 % dari total fireball yang teramati, dibanding fireball tipe III B yang populasinya hanya 9 %. Berdasar hal tersebut, dengan menganggap meteoroidnya berbentuk bola, maka pada fireball tipe III A meteoroidnya berdiameter minimum 126 cm. Meski 6
kemungkinannya jauh lebih kecil, fireball Parangkusumo juga bisa berupa fireball tipe III B dengan diameter minimum meteoroidnya 175 cm. 4. Energi Energi fireball biasanya didefinisikan sebagai energi awal (initial) meteoroid, yakni energi kinetik yang dimiliki meteoroid tepat saat akan masuk atmosfer Bumi. Besarnya energi awal dinyatakan dalam persamaan berikut : E = ½ MVinf2
(2)
Dengan M dalam kilogram. Untuk M minimum = 840 kg dan Vinf = 41 km/detik, didapatkan energi awal fireball Parangkusumo sebesar 7,06.1011 Joule atau 0,17 kiloton TNT (1 kiloton = 4,186.1012 Joule). Jadi energi awal fireball ini setara ledakan 170 ton TNT (dinamit). Begitu memasuki atmosfer, gesekan antara meteoroid dengan molekul–molekul udara membuat energi awal meteoroid terdistribusi dalam energi panas, cahaya, suara dan gelombang kejut (shockwave). Nemtchinov dkk (1995) telah mengembangkan serangkaian model matematis yang rumit untuk memperkirakan berapa fraksi energi awal yang diubah menjadi cahaya –salah satu aspek paling menarik bagi fireball– dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4 : Fraksi energi awal fireball yang berubah menjadi energi cahaya (%) Fraksi energi untuk meteoroid dengan jari–jari Kecepatan (km/detik) 10 cm 30 cm 100 cm 300 cm 1.000 cm 12 0,5 1,4 4,3 8,0 8,7 15 1,4 4,0 7,3 10,8 11,9 20 2,5 7,9 10,8 13,6 15,6 25 2,8 10,0 12,2 14,5 17,1 30 3,0 11,1 12,7 14,6 17,3 Sumber : Nemtchinov, 1995.
Seberapa besar energi awal yang berubah menjadi energi cahaya sepenuhnya dikontrol oleh diameter meteoroid. Jika dilakukan interpolasi untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm serta diekstrapolasikan untuk kecepatan 41 km/detik, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
7
Tabel 5
: Hasil interpolasi fraksi energi awal yang berubah menjadi energi cahaya (dalam %) untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm serta ekstrapolasinya untuk Vinf = 41 km/detik Jari–jari meteoroid Kecepatan (km/detik) 60 cm 85 cm 12 3,6 4,3 15 5,9 6,7 20 8,7 9,7 25 9,9 10,9 30 10,4 11,3
41
13,4
14,5
Persamaan ekstrapolasi : r = 7,6031 ln (Vinf)–14,819 untuk jari–jari meteoroid 60 cm dengan R2 = 0,9619. r = 7,8745 ln (Vinf)–14,742 untuk jari–jari meteoroid 85 cm dengan R2 = 0,9540. Dimana r = fraksi energi awal yang berubah menjadi energi cahaya (%).
Nampak bahwa fireball Parangkusumo merubah minimal 13,4–14,5 % energi awalnya menjadi cahaya di sepanjang lintasannya dalam atmosfer Bumi, baik sebagai fireball tipe III A maupun fireball tipe III B. Ini setara dengan energi sebesar 0,95– 1,02.1011 Joule. Ini sebanding dengan 8,6–9,3 % energi cahaya yang diradiasikan fireball Tagish Lake di Yukon Territory (Canada) pada 18 Januari 2000, dimana spektrum cahaya inframerah dan nampak dari fireball ini terdeteksi oleh salah satu satelit Pentagon (Hildebrand dkk, 2000) sehingga diketahui energi cahayanya adalah sebesar 1,1.1012 Joule. Namun sejauh ini belum dikaji kemungkinan terdeteksinya fireball Parangkusumo oleh sensor satelit. 5. Intensitas Maksimum dan Fragmentasi Fireball dengan magnitude visual lebih dari –8 hampir selalu terfragmentasi (terpecah) menjadi bagian–bagian lebih kecil. Sesaat setelah fragmentasi fireball meraih intensitas maksimumnya sebelum kemudian menghilang, baik karena meteoroidnya teruapkan habis maupun karena fireball sudah tidak lagi mengalami ablasi dan mulai menjalani proses deselerasi sehingga pancaran spektrum cahaya nampak menjadi terhenti. Nemtchinov dkk (1995) juga telah mengembangkan model matematis guna memprediksi ketinggian fragmentasi, yakni lokasi terjadinya pemecahan meteoroid dihitung dari permukaan Bumi, untuk beragam ukuran meteoroid yang ditabulasikan sebagai berikut : Tabel 6 : Ketinggian fragmentasi (km) Ketinggian fragmentasi untuk meteoroid dengan jari–jari Kecepatan (km/detik) 10 cm 30 cm 100 cm 300 cm 1.000 cm 12 0 21,0 21,6 21,5 21,5 15 0 24,4 24,3 24,2 24,3 20 0 28,1 27,9 27,9 27,8 25 0 30,9 30,8 30,8 30,8 30 0 33,1 33,1 33,0 33,0 8
Sumber : Nemtchinov, 1995.
Nampak bahwa ketinggian fragmentasi meteor sepenuhnya dikontrol oleh kecepatannya, tanpa mempedulikan seberapa besar jari–jarinya. Jika dilakukan interpolasi untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm serta diekstrapolasikan untuk kecepatan awal 41 km/detik, didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 7
: Hasil interpolasi ketinggian fragmentasi (dalam km) untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm dan ekstrapolasinya untuk Vinf = 41 km/detik Jari–jari meteoroid Kecepatan (km/detik) 60 cm 85 cm 12 21,3 21,5 15 24,4 24,3 20 28,0 28,0 25 30,9 30,8 30 33,1 33,1
41
37,2
37,1
Persamaan ekstrapolasi : Hb = 12,85 ln (Vinf)–10,52 untuk jari–jari meteoroid 60 cm dengan R2 = 0,9996. Hb = 12,677 ln (Vinf)–10,006 untuk jari–jari meteoroid 85 cm dengan R2 = 1,0000. Dimana Hb = ketinggian fragmentasi (km).
“ Ekor “ fireball
Meteoroid “ Kepala “ fireball
Gambar 2 Simulasi komputer oleh Nemtchinov dkk (1995) untuk dua pecahan meteoroid identik yang bergerak dalam lintasan sama dan menghasilkan fireball yang nyaris sama. Tiap fragmen berdiameter 2 meter, masing–masing terpisah sejauh 12 m (kiri) dan 4 m (kanan). Keduanya diselubungi awan plasma tunggal (dengan gradasi suhunya dinyatakan dalam eV), sehingga secara keseluruhan hanya nampak sebagai fireball tunggal dengan sebuah “ kepala “ dan sebuah “ ekor “.
9
Nampak bahwa meteoroid pada fireball Parangkusumo mulai terfragmentasi di ketinggian 37 km dari permukaan Bumi. Bukti langsung tentang hal ini memang tidak ada mengingat tiadanya foto/rekaman video akan fireball tersebut. Namun munculnya suara dentuman hingga dua kali kemungkinan besar disebabkan oleh fragmentasi ini, yang menghasilkan sedikitnya dua buah fragmen. Jika para pengamat JAC tidak menyaksikan dua fragmen ini, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh jarak pisah kedua fragmen tersebut cukup kecil (lihat gambar 2) sehingga terselubungi awan plasma tunggal dan nampak sebagai sebuah fireball. Nemtchinov dkk (1995) juga telah mengembangkan model matematis untuk memprediksi ketinggian intensitas maksimum cahaya fireball (dihitung dari permukaan Bumi) bagi meteoroid dengan beragam ukuran, yang ditabulasikan sebagai berikut : Tabel 8 : Ketinggian terjadinya intensitas maksimum (km) Ketinggian intensitas maksimum untuk meteoroid dengan jari– Kecepatan jari (km/detik) 10 cm 30 cm 100 cm 300 cm 1.000 cm 12 33,3 18,4 20,2 18,8 14,5 15 32,5 22,4 22,8 21,1 15,3 20 33,4 26,8 26,3 22,9 14,5 25 36,8 29,8 28,9 23,1 14,5 30 38,8 32,2 31,0 23,5 13,2 Sumber : Nemtchinov, 1995.
Jika dari tabel 7 dilakukan interpolasi untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm serta diekstrapolasikan untuk kecepatan awal 41 km/detik, didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 9
: Hasil interpolasi ketinggian fragmentasi (dalam km) untuk jari–jari meteoroid 60 cm dan 85 cm dan ekstrapolasinya untuk Vinf = 41 km/detik Jari–jari meteoroid Kecepatan (km/detik) 60 cm 85 cm 12 22,6 21,5 15 24,3 23,3 20 26,6 25,3 25 29,7 27,9 30 30,3 28,5
41
37,2
31,3
Persamaan ekstrapolasi : Hm = 14,972 ln (Vinf)–18,422 untuk jari–jari meteoroid 60 cm dengan R2 = 0,9964. Hm = 7,9586 ln (Vinf) + 1,7285 untuk jari–jari meteoroid 85 cm dengan R2 = 0,9868. Dimana Hm = ketinggian terjadinya intensitas maksimum (km).
Nampak bahwa fireball Parangkusumo telah mencapai intensitas maksimumnya pada ketinggian 37 km dari permukaan Bumi, atau berimpit dengan ketinggian fragmentasinya jika fireball itu tergolong tipe III A. Sedangkan bila fireball itu tipe III B, intensitas maksimumnya tercapai pada ketinggian 31 km atau 6 km lebih rendah dari ketinggian fragmentasinya. 10
6. Diameter Fireball Diameter fireball diukur pada bagian ‘kepala’ fireball (lihat gambar 2), yakni ruang berisikan plasma yang menyelubungi meteoroid. Plasma (campuran elektron bebas dengan ion–ion positif bersuhu tinggi) ini meradiasikan foton–foton cahaya pada beragam panjang gelombang sehingga memberikan kesan cemerlang. Diameter minimum fireball Parangkusumo bisa diestimasikan secara tak langsung berdasar sifat fireball yang mampu terlihat di siang hari (magnitude visual minimum –8) dan memperhitungkan dua faktor. Pertama, kecerahan fireball harus melebihi kecerahan cahaya langit di latar belakangnya. Kedua, karena pengamat di Bumi melihat fireball ini sebagai sumber cahaya titik (point source), maka nilai kontras kecerahan (C) fireball harus lebih besar dari nilai ambang batas kontras Blackwell (Cth) (Sultan, 2003). Kecerahan sejati ekstra atmosferik benda langit (disini adalah meteoroid) disimbolkan dengan L* dan secara matematis dinyatakan sebagai : L* =
0,263 (10 – mvis) A 2,51
(3)
Untuk fireball dari meteoroid tadi, kecerahan cahayanya di permukaan Bumi (disimbolkan dengan L) dinyatakan sebagai : L = L* e –kX
(4)
Dengan k = konstanta ekstingsi atmosfer yang besarnya 0,1962 (menurut Walker, 1987, dalam Sultan, 2003). Baik L* maupun L dinyatakan dalam nanoLamberts (nL). Nilai C didapatkan melalui persamaan : L –1 C= LB
(5)
Dengan LB adalah kecerahan cahaya langit di latar belakang (dalam nL) yang hanya bisa diketahui dari pengukuran fotometri dengan menggunakan fotosel. Sedangkan nilai Cth untuk beragam nilai LB didekati oleh serangkaian persamaan berikut (dari analisis tabel VIII Blackwell dalam Sultan, 2005) : Untuk diameter sumber cahaya = 0,1–3,418 menit busur : log Cth = –1,7995 log W–0,7983 LB ≈109 nL (6) log Cth = –1,9424 log W–0,4869 LB ≈107 nL log Cth = –1,9496 log W + 0,1724 LB ≈105 nL Untuk diameter sumber cahaya = 3,418–20 menit busur : log Cth = –1,3333 log W–1,0667 LB ≈109 nL log Cth = –1,6125 log W–0,6664 LB ≈107 nL log Cth = –1,7352 log W + 0,0318 LB ≈105 nL o Penyelidikan Sultan di di al–Wadi Yaman (15 24’ LU 44o 12’ BT, ketinggian 2.000 meter), dengan instrumen fotometri PHYWE selenium photocell berdiameter 45 mm 11
yang telah dikalibrasi menghasilkan nilai LB = 7,3 . 107 nL (sunset) dan LB maksimum = 3,3 . 109 nL (jam 09:00 waktu setempat). Anggap fireball Parangkusumo terjadi pada dua kesempatan berbeda : saa sunset dan jam 09:00 waktu lokal, dengan elongasi fireball–Matahari adalah 15o. Anggap juga nilai LB Parangkusumo sama dengan LB al–Wadi dan fireball diidealkan sebagai bundaran cahaya tanpa ‘ekor’. Untuk mendapatkan Cfireball > Cth maka penyelesaian persamaan (3)–(6) secara simultan akan memberikan nilai L minimum 1,1 LB, baik pada saat sunset maupun jam 09:00 WIB. Nilai L ini setara dengan diameter minimum (W) 15,5 menit busur (rata–rata) atau 0,26o (1 menit busur = 1/60 derajat). Dengan demikian diameter minimum fireball Parangkusumo ini setara dengan separuh diameter nampak Bulan purnama. Berbagai hasil analisis diameter fireball–fireball lainnya dari Povenmire (1998, 2001, 2003) disajikan sebagai pembanding. Fireball Florida (4 Maret 1975 21:55 waktu lokal, Vinf = 16 km/detik, magnitude visual –5, dari sisa asteroid) memiliki diameter 30 menit busur. Sementara Fireball Florida Utara (20 April 1974 21:43 waktu lokal, Vinf = 16 km/detik, magnitude visual–10, dari sisa asteroid) memiliki diameter 15 menit busur. Dan Fireball Upsilon Pegasid (19 Agustus 1982 2:10 GMT) yang berasal dari shower Upsilon Pegasid, teramati di atas Austria dan Cekoslowakia, berdiameter 30 menit busur dengan magnitude visual –14,76. Di sini terlihat bahwa diameter minimum fireball Parangkusumo –meski dideduksi secara tak langsung– masih dalam rentang diameter beragam fireball lainnya. Grafik Diam eter Sum ber Cahaya vs Am bang Kontras Blackw ell Untuk Beragam Kondisi Kecerahan Atm osferik (Lb)
1000
ambang kontras Blackwell (Cth)
100
10
1
0,1
0,01
0,001 0,1
1
10
Diameter sumber cahaya (arc min) 1E9 nL
1E7 nL
Gambar 3
12
1E5 nL
Nilai ambang kontras Blackwell (Cth) sebagai fungsi dari diameter sumber cahaya untuk beragam kondisi kecerahan atmosferik (LB), yang bisa digunakan sebagai pembatas mengenai bisa tidaknya sebuah sumber cahaya titik (point source) terlihat mata manusia (direproduksi dari Sultan, 2005, guna menghasilkan persamaan 6).
7. Meteorit Aspek lain yang tak kalah menarik dari munculnya fireball adalah kemungkinan menghasilkan meteorit. Secara umum, menurut American Meteor Society (2001), fireball dengan magnitude visual lebih dari –8 hingga –10 berpotensi menghasilkan meteorit asal memenuhi dua syarat berikut : meteoroidnya berasal dari pecahan asteroid dan masuk ke atmosfer Bumi dengan Vinf rendah. Probabilitas memproduksi meteorit lebih besar bila fireball masih menghasilkan cahaya tampak meski telah menerobos batas ketinggian 20 km dari permukaan Bumi. Semua ini tidak dipenuhi oleh fireball Parangkusumo. Collins dkk (2004) mencoba mengestimasi diameter minimum sebuah meteoroid untuk agar bisa menghasilkan meteorit di permukaan Bumi (dinamakan diameter kritis), berdasarkan hukum kekekalan momentum dan massa kolom udara yang dipindahkan dari tempatnya oleh gerakan meteoroid seperti diformulasikan Melosh (1989, dalam Collins dkk, 2004). Dengan asumsi meteoroid berbentuk bola dan kecepatan akhirnya adalah 10 % dari kecepatan awalnya, dihasilkan persamaan berikut : Po Dkritis = 0,15 (7) ρ g sin α Untuk α nampak = 1o, bagi fireball tipe III A diameter kritisnya 110 meter. Sedangkan bagi fireball tipe III B diameter kritisnya jauh lebih besar, yakni 290 meter. Kedua nilai diameter kritis ini jauh lebih besar dibanding diameter meteoroid yang berada dalam rentang 126–175 cm seperti diperoleh dari persamaan (1). Disini bisa disimpulkan bahwa fireball Parangkusumo telah sepenuhnya teruapkan di atmosfer sehingga tidak menghasilkan meteorit. Andaikata diameter meteoroid melebihi diameter kritisnya, fireball yang dihasilkannya pun takkan memproduksi meteorit mengingat α–nya sangat kecil. Sebagai pembanding, pada 10 Agustus 1972, sebuah fireball melintas di atas Amerika Serikat bagian barat dan Canada dengan sifat mirip fireball Parangkusumo, yakni dengan α cukup kecil. Menurut Jacchia (Jacchia, 1974) sumber fireball Grand Teton ini adalah meteoroid karbonat kondritik berdiameter 3 m, massa ≈ 40 ton dan Vinf = 15 km/detik. Meski diameter meteoroid jauh melampaui diameter kritisnya yang hanya 60 cm, namun tak ada meteorit yang dihasilkan darinya. Hal ini disebabkan oleh nilai α nampak yang sangat kecil sehingga fireball Grand Teton hanya melintas sekejap saja dalam atmosfer Bumi (dalam rentang waktu + 100 detik). Setelah menempati ketinggian minimum 58 km di atas Montana, fireball kemudian ‘memantul’ menjauhi permukaan Bumi dan masuk kembali ke angkasa begitu tiba di atas Canada, dimana meteoroidnya kemudian berubah menjadi asteroid mini yang orbitnya sedikit berubah dibanding semula.
13
IV. KESIMPULAN 1. Fireball Parangkusumo kemungkinan besar bersumber dari meteoroid besar anggota shower Southern Delta Aquarids, yang sebelumnya mengedari Matahari dalam orbit ellips dengan eksentrisitas 0,963; inklinasi 16o; perihelion 0,07 AU; aphelion 3,80 AU dan periode orbit 2,69 tahun. Meteoroid beredar secara prograde dan seyogyanya akan mencapai titik perihelionnya pada 29 Agustus 2006. 2. Pada magnitue visual minimum –8 dan α nampak = 1o, meteoroid memiliki massa minimum 840 kg dengan diameter minimum 126–175 cm. 3. Meteoroid memasuki atmosfer Bumi dengan energi awal minimum 0,17 kiloton TNt dan selama perjalanannya sebagai fireball telah mengubah sedikitnya 13,4–14,5 % energi awalnya menjadi energi cahaya. 4. Meteoroid mulai terfragmentasi pada ketinggian 37 km menjadi sedikitnya dua buah fragmen, untuk kemudian mencapai intensitas cahaya maksimumnya pada ketinggian 37–31 km. 5. Diameter minimum fireball adalah 15,5 menit busur. 6. Meteoroid sepenuhnya teruapkan habis di dalam atmosfer sehingga tidak menghasilkan meteorit. V. KHATIMAH Simulasi langit malam dikerjakan dengan software Moon Calculator v6.0 dari Dr. Monzur Ahmed (Birmingham, Inggris) pada kondisi toposentrik dan memperhitungkan refraksi atmosfer. Foto Bulan fase purnama (gambar 4) diambil pada 3 Januari 2007 pukul 21:18 WIB, yang diproses menjadi foto negatif dengan software FotoCanvas Lite v 1.1. Analisis orbit meteor dan fireball dikerjakan dengan sejumlah spreadsheet berbasis MS Excel yang dikembangkan Langbroek (2004), sementara analisis fraksi energi awal yang diubah menjadi energi cahaya, ketinggian fragmentasi dan intensitas maksimum dikerjakan dengan spreadsheet MS Excel. Terima kasih kepada “sang bintang kejora“, untuk idenya.
REFERENSI American Meteor Society; 2001; Frequently Asked Questions about Fireballs and Meteorite Dropping Fireballs; http://www.amsmeteors.org/fireball/faqf.html International Meteor Organization; http://www.imo.net/calendar
2006;
2006
Shower
Calendar;
Luigi G. Jacchia; 1974; A Meteorite That Missed Earth; Sky and Telescope vol. 48, July 1974, halaman 4–9. Paul Withers; 2001; Meteor Storm Evidence Against The Recent Formation of Lunar Crater Giordano Bruno; Lunar and Planetary Science vol 32.
14
Ivan V. Nemtchinov, et.al; 1995; Historical Evidence of Recent Impacts on The Earth; proceeding of The 1995 Planetary Defense Workshop, Lawrence Livermore National Laboratory. A.H. Sultan; 2003; Hijri Calendar and Lunar Visibility : Physical Approach; 3rd Islamic Astronomical Conference, Astronomical Applications in Islamic Shari’a, Amman : October 20th–22nd, 2003. A.H. Sultan; 2005; Explaining and Calculating The Length of The New Crescent Moon; The Observatory vol 125 no. 1187, 2005; halaman 227–232. Garreth S. Collins, et.al; 2004; Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth; Lunar and Planetary Laboratory, Univ. of Arizona. H. Povenmire; 1998; The Upsilon Pegasid Meteor Shower : History and Observasional Characteristic; 61st Annual Meteorotical Society Meeting (1998) ; Florida Institute of Technology. H. Povenmire; 2001; The Peculiar Florida Fireball of March 4, 1975; 64th Annual Meteorotical Society Meeting (2001); Florida Institute of Technology. H. Povenmire; 2003; North Florida Fireball of April 20, 1974; 66th Annual Meteorotical Society Meeting (2003); Florida Institute of Technology. J.D. Drummond; 1981; A Test of Comet and Meteor Shower Associations; Icarus vol. 45, halaman 545–553. M. Langbroek; 2004; A Spreadsheet that Calculates Meteor Orbits; J. of International Meteor Organization, vol. 32 : 4 (2004), halaman 109–111. A.R. Hildebrand dkk; 2000; The Fireball and Strewnfield of The Tagish Lake Meteorites, Fell January 18, 2000, in Northern British Columbia; 63rd Annual Meteoritical Society Meeting.
15