Serial Fiqh Kemenangan dan Kejayaan Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah (11):
Mendirikan Daulah; Kisah Dzul Qornain
Al-Ikhwan.net | 31 July 2008 | 28 Rajab 1429 H | Hits: 373 DR. Ali Muhammad As-Slaaby
Fiqh Tamkin Pada Diri Dzul Qornain Siapakah yang dimaksud dengan Dzul Qornain? Para ulama berbeda pendapat pada sebutan Dzul Qornain; namanya, nasabnya, masa hidupnya dan sebab diberikan julukan dengan Dzul Qornain. Terdapat perbedaan pendapat dan ucapan mereka dalam memberikan dalil seputar nama Dzul Qornain, dan sebagian mereka ada yang bersandarkan pada Israiliyat, khurafat dan dongeng serta cerita-cerita bohong belaka. Dan ketika terbit buku-buku yang berbicara tentang Dzul Qornain [1], muncul hasil yang tidak mungkin kita katakan tepat penentuan pribadi Dzul Qornain, dan dalam menentukan 3 kali
perjalanan yang dilaluinya seperti yang disampaikan oleh Al-Qur’an, dan begitupun dengan bendungan yang beliau bangun di permukaan bumi yang menjadi benteng yang kuat dan kokoh. Bahwa Al-Qur’an dan sunnah nabawiyah yang suci tidak menjelaskan secara rinci akan kisah tersebut, dan karena keduanya tidak menyampaikan informasi secara rinci maka tidak ada petunjuk yang menugatkan akan keabsahan penentuan nama Dzul Qornain dan hal-hal yang terkait dengannya secara tepat. Karena itu apa yang disebutkan oleh para mufassirin, ahli sejarah dan ulama-ulama lainnya tentang hal ini merupakan praduga belaka yang tidak berdasarkan pada keyakinan[2]. Diantara mereka ada yang berpendapat berkata bahwa nama asli Dzul Qornain adalah Alexander Al-Maqdoni Al-Yunani, dikarenakan negeri yang dikuasainya begitu luas dan terbentang dari arah timur hingga arah barat. Sebagian lain ada yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Qorsy Al-Ikhminy, sesuai dengan kesepakatan para ahli sejarah oleh karena kebersihan dan kelaikan sejarah hidup beliau terhadap bangsa dan kerajaan yang dikuasainya. Sementara itu sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa beliau adalah Abu Karb, Syamr bin Amru AlHamiri. Ustadz Muhammad Khair Ramadhan Yusuf mendebat pendapat-pendapat sebelumnya dan menghasilkan kesimpulan bahwa Dzul Qornain bukan dari salah satu dari 3 orang yang disebutkan, sebagaimana beliau juga mengkritisi pendapat sebelumnya secara ilmiyah dan kuat, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa: “Dzul Qornain yang disebutkan oleh Allah dalam AlQuran dan dipuji oleh-Nya karena keimanan, kebaikan dan keadilannya, yang termaktub dalam satu surat yang agung, ayat-ayat yang penuh mukjizat dan mulia, kisah sejarah yang jarang namun penuh dengan pelajaran dan ibrah, lengkap dengan nasihat-nasihat, prinsip-prinsip dan hikmah-hikmah. Bahwa yang demkian merupakan ilmu yang sangat berharga, Allah telah mengekalkannya di dalam kitabnya sehingga berhak mendapatkan julukan al-Quran, dan saya tidak berkeinginan menyebutkan selain ini namun karena saya tidak mendapatkan siapa yang layak ditetapkan sebagai karakter Dzul Qornain seperti yang disebutkan dalam sejarah dan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an; bahwa beliau adalah sosok yang selalu berjalan mengitari bumi, sosok yang shalih dan adil, sosok yang khusyu’ dalam beribadah kepada Tuhannya, sosok yang patuh terhadap perintah Allah, sosok yang selalu menebarkan kebaikan di tengah umat manusia, dan sosok yang memiliki kerajaan dari pangkal hingga ujung dunia, sosok yang tidak membuat dirinya terpedaya oleh karena harta, jabatan, kekuasaan, kekuatan dan pemerintahannya namun beliau tetap berdzikir oleh karunia dan rahmat Tuhannya, penuh harap dan cemas menghadapi hari akhir sehingga dapat bertemu dan menikmati ganjarannya kelak dihadapan Allah oleh karena perbuatannya dalam berbuat adil. Cukuplah bagi kita menyebutkan bahwa sosok Dzul Qornain adalah sosok yang agung seperti yang diceritakan dalam sejarah, yang demikian merupakan pengetahuan dalam keadilan dan kebaikannya, kepemimpinan dan pemerintahannya yang shalih di sepanjang zaman dan bahkan hingga Allah mewariskan bumi ini dan apa yang ada di dalamnya kepada orang-orang beriman [3].
Bahwa Al-Qur’an memberikan perhatian dalam menyebutkan nilai-nilai yang benar dalam sejarah perjalanan hidup Dzul Qornain, begitupun dalam perbuatan dan perkataannya; seperti: 1. Kekuasaan dan jabatan serta kejayaan di muka bumi yang selayaknya menjadi sarana untuk menunaikan syariat Allah di dunia dan menegakkan keadilan di tengah umat dan memberikan kemudahan bagi orang-orang yang beriman, dan mempersempit ruang lingkup orang-orang yang melakukan tindak kezhaliman dan permusuhan, serta mencegah penyebaran kerusakan dan kezhaliman dan melindungi kaum lemah dan kekejaman orang-orang yang suka melakukan kerusakan. 2. Memiliki pasukan yang kuat dan pengalaman seni yang tinggi; baik sisi militer, sisi pembangunan dan sisi ekonomi terdapat pada sosok Dzul Qornain, begitupun dengan ketenangan dan keamanan kota tempat dirinya berkuasa, terbukanya kekayaan dihadapannya dan diberikan seluruhnya untuk kemaslahatan bangsa; yang semua itu tidak menjadikan dirinya terpedaya, sombong, kejam dan kerdil; namun beliau tetap sosok pribadi yang beriman dan suci serta jauh dari kehidupan glamour dunia. 4. Perhatian beliau dalam mengambil sebab-sebab tercapainya tujuan dan misi yang berusaha ingin dicapainya, sebagaimana yang diberikan oleh Allah kepadanya berbagai sarana yang banyak. 5. Bahwa dalam Al-Qur’an kisah Dzul Qornain dan kisah-kisahnya lalinnya, selalu terfokus pada bagiamana dapat memberikan pelajaran, ibrah, hikmah-hikmah dan sunnah-sunnah, dan tidak selalu tidak terfokus pada permasalahan yang tidak bermanfaat. Karena itu dalam kisah Dzul Qornain banyak kita temukan hal-hal yang samar yang tidak penting bagi pembaca, seperti: siapakah Dzul Qornain sebenarnya? Apa karakternya? Bagaimana kehidupannya? kapan masa hidupnya? Negara mana yang dikuasainya, peperangan yang dilakukannya, negeri-negeri yang ditaklukkannya, perjalanan pertama beliau ke arah barat dan penentuan lokasi yang dicapainya serta penentuan tempat yang memiliki sumber kekayaan? Dan bagaimana beliau menahan matahari yang tenggelam di dalamya, asal Ya’juj dan Ma’juj, sejarah hidup mereka, lokasi tempat tinggal mereka secara pasti. Dan lain-lainnya??? [4]. Karakteristik Tamkin (Kejayaan) Dalam Diri Dzul Qornain A. Undang-undangnya yang adil Bahwa manhaj yang digunakan oleh Dzul Qornain sebagai pemimpin yang beriman adalah komitmennya dengan nilai-nilia keadilan yang mutlak dalam berbagai kondisi dan situasi serta gerak, karena itu beliau berjalan di tengah manusia, umat dan bangsa yang dipimpinnya dengan keadilan, sehingga beliau berinteraksi dengan kaum yang dikalahkan dalam peperangan tidak dengan cara zhalim, jahat, keras dan paksaan namun beliau memperlakukannya dengan manhaj Robbani : ِف َُ ُُ ُ ُ َ د ِإ َ َر َ ََْ َ ََ َ ل َأ َ َ" ْ ًا% ًل َُ ِْ `َ'َُ ُُ &ََا ُ ُ)َ*َ+ُْ*َ َو-ْ َا ًء ا/َ0 ََُ ً-ِ َ1 2 َ ِ3َ& َو َ َ4 َْ َوَأ َأْ ِ َ ُْ ًا
“Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami“. (Al-Kahfi:87-88) Manhaj robbani yang digunakan ini menunjukkan akan keimanan dan ketaqwannya, kecerdasan dan kepandaiannya, keadilan dan kasih sayangnya; karena manusia yang dikuasai tidak dalam satu tingkatan, tidak dalam satu karakter sehingga tidak boleh diperlakukan dengan sama; diantara mereka ada yang beriman dan diantara mereka yang kafir dan diantara mereka juga ada yang thalih (zhalim). Maka apakah harus disamakan dalam memperlakukannya diantara mereka semua??. Dzul qornain berkata: Adapun orang yang zhalim dan kafir maka kami akan menyiksanya sesuai dengan kezhaliman dan kekufurannya, dan siksaan ini sebagai balasan untuknya di dunia; dan kami berlaku adil dalam mengazabnya di dunia kemudian semuanya dikembalikan kepada Allah untuk mendapatkan siksa di akhirat. Bahwa orang yang zhalim dan kejam serta kafir dalam undang-undang Dzul qornain akan mendapat azab dua kali; pertama di dunia dan kedua di akhirat pada hari kiamat; yaitu mendapatkan azab dari Allah dengan siksaan yang pedih. Adapun orang yang beriman dan shalih, maka mereka adalah orang yang dekat dengan Dzul qornain, mendapatkan balasan yang baik, diberikan tempat yang terbaik serta mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan-kemudahan, perlindungan dan kasih sayang. Adapun timbangan keadilan yang digunakan oleh Dzul Qornain dalam kepemimpinannya di tengah umat adalah taqwa, iman dan amal shalih, dan selalu memantau kondisi umat secara baik.
B. Manhaj Tarbawi Di Tengah Umat Sesungguhnya Allah telah mewajibkan penerapan hukum dunia bagi siapa yang melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, dan memberikan tugas kepada para ahlu iman yang berkuasa dan mendapatkan kejayaan di muka bumi untuk berambisi menerapkan hukuman kepada orang yang melakukan kerusakan dan kezhaliman sehingga kehidupan di dunia ini menjadi lurus dan tentram. Bahwa Dzul qornain memberikan kepada seluruh penanggungjawab, pemimpin, atau penguasa akan manhaj asasi (fundamental) dan cara nyata untuk membina umat pada jalan lurus dan istiqomah yang berusaha bekerja denganya untuk mewujudkan ubudiyah yang sempurna kepada Allah SWT.
Sayyid Qutb berkata: “inilah undang-undang seorang pemimpun yang shalih; seorang mukmin yang shalih hendaknya mendapatkan kehormatan dan kemudahan serta ganjaran yang baik dari seorang pemimpin, sedangkan orang yang zhalim dan bertindak memusuhi harus mendapatkan azab dan siksaan..dan ketika orang yang baik dalam jamaah mendapatkan balasan yang baik oleh karena kebaikannya atau mendapatkan tempat yang mulia, fasilitas dan kemudahan, sedangkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan akan mendapatkan balasan atas tindakan kejahatannya serta mendapatkan kehinaan dan keterasingan. Sehingga dengan itu semua kondisi umat dan negara akan berbalik menuju kebaikan dan produktifitas, adapun jika seorang pemimpin bimbang, sementara orang-orang jahat dan zhalim melakukan pendekatan kepada seorang pemimpin dan ingin menguasai negara, sedangkan orang-orang yang berbuat baik dijauhi dan bahkan diperangi, maka pada saat itu pula kekuasaan yang ada di tangan sang pemimpin akan berubah menjadi pecut penyiksa dan alat pelaku kerusakan, dan pada akhirnya kehidupan jamaah, negara dan bangsa berada pada kerusakan dan kegaduhan [5]. Bahwa tarbiyah amaliyah terhadap pemimpin yang baik akan menjadi motivasi bagi orang yang melakukan kebaikan untuk terus melakukan kebaikan dan bahkan mampu mengekplorasi potensi kebaikannya untuk terus bertambah dan meningkat serta merasakan adanya penghargaan dan penghormatan, dan menjadikan orang-orang yang suka melakukan kajahatan sebagai pecut sehingga mau meninggalkan kejahatannya dan mau bekerja memperluas ruang lingkup kebaikan dan ihsan di tengah masyarakat serta mempersempit ruang lingkup kejahatan hingga pada batas yang sesuai dengan undang-udang pembalasan dan hukuman yang bergantung pada Dzat yang Maha Pemberi Balasan. C. Perhatiannya Terhadap Ilmu-ilmu Material dan Memfungsikannya Untuk Kebaikan Dari ayat-ayat Qur’an dapat kita temukan bahwa Dzul Qarnain memfungsikan berbagai ilmu pengetahuan dalam memimpin negaranya yang kuat, dan diantara perhatiannya terhadap ilmuilmu tersebut adalah: 1. Ilmu Geografi; karena Dzul Qornain memahami betul letak dan posisi bumi yang ada dihadapannya, luasnya dan jalan-jalannya, lembah-lembahnya, gunung-gunungnya, dan bukitbukitnya, karena itulah beliau mampu memfungsikan ilmu ini dalam pergerakannya bersama pasukan menuju daerah bagian timur dan bagian barat, utara dan selatan, dan tampak bahwa beliau dan pasukannya memiliki spesialisasi pada bidang ini [6]. 2. Beliau memiliki pengalaman dan pengetahun terhadap banyak ilmu yang terdapat pada masa hidupnya, dan hal tersebut menunjukkan akan kebolehannya dalam melakukan pelayanan, memahami spesialisasinya, dan kegigihannya untuk menggunakan dan mengambil manfaat darinya; beliau menjadikan bahan tambang dalam bentuk yang terbaik saat itu, dan memfungsikan potensi-potensi lain untuk jalan kebaikan 5ُِ64 ل َ َ" َََُ َرًا0 ِإذَا8َ9 ُا:ُ;ل ا َ َ" ِ ْ'َ<َ = ا َ ْ'َ َوَى+ ِإذَا8َ9 <ِ ِ<َ-ْ ُزَ َ ا5ُِ64ِ" ِْ'ََ& ْْ ًاُأْ ِ غA “Berilah aku potongan-potongan besi”. hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah (api itu)”. hingga apabila besi itu sudah
menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu”. (Al-Kahfi:96) Dzul Qornain memerintahkan untuk diberikan kepadanya besi yang besar dan beliau menyatukannya satu persatu sehingga berada diantara dua sisi gunung, kemudian beliau berkata lagi kepada pegawainya: tiupkanlah dengan api pada potongan-potongan besi yang terbentuk diantara dua sisi tersebut [7]. Dan ketika selesai beliau memerintahkan kembali kepada ahli tembaga untuk mencairkannya sambil berkata: datangkanlah kepada saya tembaga yang sudah cair agar dapat saya tumpahkan keatas besi tersebut sehingga menjadi lebih kuat dan lebih kokoh, dan hal tersebut merupakan tekhnologi baru yang digunakan sehingga dapat membuat besi menjadi kuat. Dan dengan itu dapat ditemukan bahwa dengan menambah tembaga pada besi maka akan lebih memperkuat dan membuat kokoh besi tersebut [8]. 3. Beliau juga realistis dalam mengurus dan mengukur berbagai perkara yang dihadapinya; karena beliau mampu mengukur besarnya bahaya yang akan dihadapi, mengukur apa yang dibutuhkan dalam melakukan penyelesaian, sehingga beliau tidak menggunakan batu dalam membuat jembatan, begitupun dengan tanah dan lain-lainya, sehingga tidak mudah hancur hanya karena benturan sedikit atau karena adanya serangan pertama. Karena itu, berbagai usaha yang dilakukan oleh musuh selalu mendapatkan kegagalan ketika berusaha mengalahkan Dzul Qornain : ًBْ)َ َُ َ&ُاAَ8ْ+ َوَ اCُ َ ُوDْEَ َ&ُا أَنAْ+َ ا3َ “Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya”. (AlKahfi:97) Yaitu bahwa mereka -musuh- tidak mampu mendakinya karena tinggi dan licin, dan mereka juga tidak mampu melobanginya karena begitu kuat, keras dan kokoh [9]. Sebagaimana juga Dzul Qornain juga memiliki pengetahuan tentang ilmu gaib yang dibawa oleh syariah, karenanya beliau tidak menjadikan takdir sebagai alat untuk bermalas-malasan dan duduk-duduk saja, namun beliau tetap membuat tembok yang kuat dan tinggi dan bersungguhsungguh dan bekerja keras dalam membangunnya, padahal beliau juga menyadari bahwa hal tersebut ada batasnya dan akan hancur kembali pada saat yang tidak diketahui kecuali Allah SWT. ____________________________________ [1]. Lihat: Dzul Qornain al-qoid al-faih al-hakim al-shalih, Muhammad Khari Ramadhan, hal. 247 [2]. Lihat: Ma’a qishah as-sabiqin fil qur’an lil Khalidi, hal. 254-255 [3]. Dzul Qornain al-qoid al-faih al-hakim al-shalih, jil. 6, hal. 247-249 [4]. Lihat: Ma’a qishah as-sabiqin fil qur’an lil Khalidi, jil. 6, hal. 242, 244
[5]. Fi zhilal Al-Qur’an, jil. 4, hal. 2291 [6]. Lihat: AL-Hakim wa at-tahakum fi khitab al-wahyu, jil. 2, hal. 624 [7]. Lihat: Fi zhilal Al-Qur’an, jil. 4, hal. 2293 [8]. Ruhul Ma’ani, jil. 16, hal. 40 [9]. Fathul Qadir, jil. 3, hal. 313 Al-Ikhwan.net | 6 August 2008 | 3 Syaban 1429 H | Hits: 238 DR. Ali Muhammad As-Slaaby
Akhlak Kepemimpinan Dzul Qornain Bahwa syakhsiyah Dzul Qornain memiliki keistimewaan dalam budi pekerti dan akhlaknya yang tinggi yang dapat membantunya dalam mewujudkan risalah dakwah dan jihad dalam kehidupan. Dan diantara inti dari akhlak tersebut adalah: a. Sabar; Bahwa beliau memiliki kesabaran dalam melakukan perjalanan hidup dan perjuangan yang berat serta berdakwah kepada Allah untuk mengajak manusia menyembah kepada AlKhaliq; seperti kegigihan beliau dalam melakukan invasi yang diembannya yang membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam membuat tandzim, berpindah-pindah, bergerak dan memberikan jaminan terbaik kepada masyarakat. Karena itu pekerjaan yang dilakukannya membutuhkan pasukan yang besar, akal yang cerdas, semangat yang bergelora, kesabaran yang besar, persiapan yang matang dan sebab-sebab atau sarana-sarana tertentu yang membawanya pada kemenangan dan kejayaan[1]. b. Bahwa Dzul Qornian memiliki kewibawaan dan kesehajaan: hal tersebut dapat dirasakan oleh seseorang pada saat pertama kali melihatnya, sehingga tidak salah menyangka saat meyakini bahwa dirinya adalah bukan raja yang zhalim dan keras. Seperti ketika beliau berada pada dua tempat dan mendapatkan suatu kaum yang lemah, mereka dapat merasakan akan kesehajaannya, dan mendapatkan di dalam dirinya akan keikhlasan daripada kezhaliman dan kekuatan yang realistis atas mereka sehingga dengan itu mereka bersegera memberikan bantuan; sehingga tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa dirinya bukanlah seorang perusak seperti yang lainnya, dan dalam dirinya memiliki kekuatan dan bekal yang tidak sebanding dengan yang lainnya. [2] c. Keberanian: bahwa beliau juga memiliki kekuatan hati nun tegar, tidak pernah merasa lemah terhadap beban yang besar dan tanggungjawab yang berat, jika hal tersebut tertuju pada ridha Allah. Karena apa yang dilakukan dalam membangun benteng merupakan pekerjaan yang sangat besar dan karena kaum yang melakukan kerusakan mungkin saja dapat melakukan tindakan merusak kepadanya dan kepada pasukannya, namun beliau melakukan sesuatu yang baru yang tidak pernah terlintas dan terjadi sebelumnya [3].
d. Kepribadian yang seimbang: karena beliau tidak berlebihan dalam mengeksplorasi keberaniannya atas kebijaksanaannya, tidak berkurang kegigihannya atas kasih sayangnya, begitupun dengan keberaniannya atas kelembutannya dan keadilannya, dan bukanlah dunia seluruhnya –yang telah ditundukkan untuknya- cukup untuk memujinya kecuali karena ketawadhuannya, kebersihan hatinya dan kesucian jiwanya. e. Banyak bersyukur: karena beliau adalah sosok yang hatinya hidup dan lekat dengan Allah SWT, sehingga beliau tidak pernah mabuk oleh kemenangan yang diraih dan indahnya kekuasaan setelah berhasil menundukkan orang-orang yang sombong dan para perusak, namun beliau tetap bersyukur kepada Allah [4] sambil berkata: “Ini adalah rahamat dari Tuhanku”. (Al-Kahfi:98) f. Hidup sederhana dan tidak berlebihan: karena beliau merasa cukup dengan kondisi hidup sederhana, dan selalu menghindar terhadap harta yang tidak dibutuhkan dan perhiasan yang tidak bermanfaat; Karena itu, ketika kaum yang lemah mengadu kepadanya akan perbuatan merusaka dilakukan oleh kaum yang zhalim dan membawakan kepadanya hadiah yang banyak jika berhasil menyelesaikan permasalahannya, beliau menolak pemberian tersebut; namun beliau membantunya dengan dengan ikhlas dan sederhana, melalui agama dan kebaikan, sambil berkata : “Sesungguhnya yang telah Allah berikan kepadaku dari kerajaan dan kejayaan lebih baik bagiku dari harta yang akan kalian kumpulkan dan apa yang saya miliki lebih baik dari harta yang kalian usahakan” [5]. Sesungguhnya kunci keperibadian Dzul Qornain terwujud dalam keimanannya kepada Allah dan siap menghadapi hari akhir, kecintaannya terhadap keimanan dan kebenciannya terhadap kekufuran dan kemaksiatan dan kecintaannya yang begitu dalam terhadap dakwah kepada Allah. Dan keimanan beliau kepada Allah dan hari akhir tampak jelas dalam kepribadian Dzul Qornain saat Allah berfirman tentangnya: ٌ ْ'َH 5 ِ'ِ َر5*%َ َ “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik”. (AlKahfi:95) Dan Allah juga berfirman: ْ ًا% ًف َُ ُُ ُ ُ َ د ِإ َ َرِ َ'َُ ُُ &ََا َ ََْ َ ََ َ َأ “Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya”. (AlKahfi:87) Dan firman-Nya: I)َ9 5ن َو&ْ ُ< َر َ ََََُ َدآ َء َوآ0 5َ َء َو&ْ<ُ َر0 ذَاKَِ
“Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar”. (Al-Kahfi:98) Demikianlah bukti-bukti yang menjelaskan bahwa beliau adalah sosok yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir. Dan intisari dari itu semua adalah: - Bahwa terhadap pemimpin bukan saja sekedar keberanian, berhasil dalam melakukan penaklukan dan mewujudkan kemakmuran, jika tidak bersatu dalam dirinya keimanan kepada Allah dan hari akhir. Karena banyak para pemimpin yang berhasil melakukan kemajuan duniawi, namun tidak dianggap sebagai orang besar, karena itulah Al-Quran tidak menyebut mereka sebagai orang yang melakukan kebaikan, namun disebtukan sebagai pemimpin yang berhasil memakmurkan dunia namun -disisi lain- menghancurkan agama dan melakukan kerusakan terhadapnya, seperti yang dilakukan oleh Fir’aun, Hamman, Namrud dan yang lainnya. - Bahwa keseimbangan yang menakjubkan dan kesehajaan dalam pribadi Dzul Qornain; sebabnya adalah keimanan kepada Allah dan hari akhir, karena itulah kekuatan yang dimilikinya tidak digunakan untuk menyimpang dari berbuat adil, kekuasaannya tidak menghilangkan jiwanya akan rasa kasih sayangnya, kekayaannya tidak melunturkan dirinya akan ketawadhuannya sehingga berhak mendapatkan ta’yid (dukungan) Allah dan pertolongan-Nya; dan karena itu pula Allah memberikan kemuliaan dengan memberikan sebab-sebab tamkin dan kemenangan, yang merupakan karunia dari Allah atas hamba-Nya yang Salih, maka diberikan juga kepadanya kemampuan dan kekuatan mengurus negara secara baik dan profesional, dengan memiliki system yang rapi, wawasan yang luas, prajurit yang banyak, kewibawaan dan kesehajaan yang menakjubkan[6]. Sebagaimana Allah juga memberikan kepadanya kemuliaan dengan banyaknya pembantu dan pasukan serta kekuatan sehingga membuat rasa takut dan gentar di dalam diri musuh, memudahkan perjalanan hidup atasnya, memahami akan kondisi bumi dan menguasainya baik darat maupun lautan [7], dan kejayaannya dalam memiliki kerajaan di Timur dan Barat, dan semua itu tidak diberikan kepada orang yang biasa, dan tidak mungkin dapat diwujudkan dan diraih oleh seorang pemimpin sekalipun memiliki kekuatan, kedigdayaan dan kecerdasan yang lebih kecuali jika mendapatkan dukungan dari Allah; karena dengan dukungan itulah yang menjadikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, dan hal tersebut menunjukkan akan perhatian dan kebesaran Allah : ًBَBَ+ ْ ٍء5َM 2 ُ ِ آCُ َ*ْ'َ64َو “Dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (AlKahfi:84) Maksudnya adalah Allah membentangkannya dengan seluruh apa yang diinginkan dari berbagai tugas kerajaan, dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kekuasaannya, dibekali dengan ilmu menguasai negara dan karakter-karakternya, memahami bahasa kaum yang ditaklukkannya; karena beliau tidak memerangi suatu kaum kecuali dia mengetahui bahasa kaum tersebut [8].
Allah telah memberikan kepadanya berbagai macam jalan untuk mencapai segala sesuatu, sehingga terlintas dalam fikiran orang yang mendengar atau yang membacanya, akan berbagai bentuk tamkin untuknya di muka bumi, dan sebab-sebabnya adalah ilmu, pengetahuan dan konsep sunnah suatu umat dan bangsa yang kadang naik dan kadang turun, dan ilmu dalam mengorganisir jiwa; baik individu maupun jamaah; berupa tahdzib (pembinaan), tarbiyah dan intidzam (kedisiplinan). Allah telah memberikan kepadanya berbagai macam kekuatan; baik dari senjata dan pasukan, benteng dan kemenangan; berbagai macam kemakmuran; konsep tata kota, membelah jalan dan mengembangkan pertanian dan lain sebagainya. Allah memberikan kepadanya berbagai macam tamkin yang hanya layak untuk sosok robbani [9]. Allah berfirman: ًBَBَ+ ْ ٍء5َM 2 ُ ِ آCُ َ*ْ'َ64َض و ِ ْرO َ ا5ِ َُ *%َ ِإ “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-Kahfi:84) Bahwa perlindungan Allah terhadap Dzul Qornain sangatlah besar oleh karena keimanannya kepada-Nya yang begitu kuat, dan kesiapan dirinya menghadapi yaumul akhir, karena itulah Allah membukakan baginya taufik sesuai dengan apa yang diusahakan olehnya dari berbagai tujuan dan misi yang mulia. Dzul qornain mengerahkan segala potensinya untuk berdakwah dengan mengajak manusia beribadah kepada Allah, sehingga Allah menyatukan antara penaklukan dan kemenangan yang agung dengan menggunakan tajamnya pedang dan penaklukan hati dengan keimanan dan ihsan. Karena itulah, ketika beliau berhasil menguasai suatu umat atau bangsa, maka dirinya mengajak mereka pada kebenaran dan keimanan kepada Allah sebelum tertimpa atas mereka balasan atau ganjaran. Beliau juga bersemangat dalam melakukan pekerjaan perbaikan pada setiap negara atau kota yang berhasil ditaklukkannya, berusaha membentangkan kekuasaan secara baik dan benar, dan menegakkan keadilan dimuka bumi; timur dan barat, beliau juga memiliki loyalitas yang tinggi dan kecintaan pada ahlu al-iman sebagaimana dirinya juga selalu memusuhi orang-orang yang melakukan tindak kekufuran [10]. ___________________________________ [1]. Lihat: Al-Hukmu wa at-tahakum fi khitab al-wahyi, jil. 2, hal. 624 [2]. Ibid. [3]. Ibid. [4]. Ibid. jil. 2, hal. 627 [5]. Ibid. jil. 2, hal. 625 [6]. Lihat: Ruhul Ma’ani, jil. 16, hal. 30 [7]. Lihat: Al-Bahrul Muhith, jil. 6, hal. 159
[8]. Lihat: Ruhul Ma’ani, jil. 16, hal. 31 [9]. Lihat: Mabahits fi Tafsir Al-Maudhu’i, Mustafa Muslim, hal. 304 [10]. Lihat: Al-Hukmu wa at-tahakum fi khitab al-wahyi, jil. 2, hal. 623 Al-Ikhwan.net | 17 August 2008 | 13 Syaban 1429 H | Hits: 73 DR. Ali Muhammad As-Slaaby
Penterjemah: Abu Ahmad ________ B. kepandaiannya dalam memotivasi semangat kerja kepada umat Bahwa harakah Dzul Qornain dalam dakwah dan jihad sudah menjadi bagian dari hidupnya sehingga membuat dirinya menyatu dengan bangsa dan umat. Dan Al-Qur’an menceritakan akan perjalanan imaniyah dalam 3 rihlah; yaitu: 1. Rihlah Pertama Al-Qur’an tidak menceritakan tentang awal kali perjalanan Dzul Qornain dalam berdakwah, namun hanya menyebutkan akhir dari apa yang telah dicapai dalam dakwahnya; yaitu pada terbenamnya matahari, dan pada saat itu Dzul Qornain bertemu dengan suatu kaum, lalu melakukan sesuatu di tengah mereka dengan penuh keadilan dan kebaikan, Allah berfirman: “berkata Dzulkarnain: ْ ًا% ًف َُ ُُ ُ ُ َ د ِإ َ َرِ َ'َُ ُُ &ََا َ ََْ َ ََ َ َأ “Adapun orang yang aniaya, Maka Kami kelak akan mengazabnya, kemudian Dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya”. (AlKahfi:87) Bahwa yang demikian merupakan bentuk keadilan yang mewarisi pada tamkin dalam kepemimpinan dan kekuasaan, sehingga dalam hati dan jiwa manusia ada rasa cinta dan penghormatan terhadap pemimpin yang berbuat adil, dan pada sisi lain memasukan rasa gentar dan takut dalam hati para pelaku kerusakan dan kezhaliman. Karena itu seorang mu’min yang lurus akan mendapatkan kemuliaan, kecintaan dan kedekatan dari seorang pemimpin, sehingga mendapatkan perlindungan dari kekuatannya, tentram dari kemuliaannya, terjamin eksistensinya dari ketsiqohannya terhadapnya, merasakan perlindungan terhadap kepentingannya serta kemudahan dalam berbagai urusannya. Adapun orang-orang yang memusuhi dan melampaui batas ketentuan, yang menyimpang dan suka melakukan kerusakan di muka bumi, maka akan mendapatkan siksaan yang keras dari seorang pemimpin dalam kehidupannya di dunia, kemudian –setelah itu- diserahkan semua
urusannya pada hari kiamat mendapatkan azab yang lebih pedih dan lebih keras dari apa yang telah diterimanya di dunia. Tidak ditentukan kaum yang dijadikan tempat bagi Dzul Qornain menerapkan politik yang bijak ini, sebagaimana tidak disebutkan juga masanya dan hasil yang dicapai darinya, seakan permasalahan yang diangkat adalah hasil dari sejarah yang adil tersebut, prinsip-prinsip yang suci, peradaban robbani, kemajuan, kebahagiaan dan ketentraman, karena itu tidak perlu disebutkan hal tersebut dan cukup menceritakan sejarahnya akan kegemilangan yang telah dicapai saat itu saja [1]. 2. Rihlah Kedua Yaitu rihlah (perjalanan) menuju arah timur hingga sampai pada tempat yang tampak oleh kasat mata bahwa matahari terbit di belakang ufuq, dan tidak disebutkan dalam kisah ini, apakah lautan atau daratan? Namun diketahui bahwa kaum yang berada di tempat terbit matahari adalah tempat yang terbuka sehingga tidak menghalangi terbitnya matahari seperti gunung-gunung yang tinggi atau pohon-pohon yang lebat. Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi berpendapat bahwa maksud dari firman Allah : ْPَ ْ ْ ًا8ِ+ َDُِ دُوD 2َ “Yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu”. (Al-Kahfi:90) Adalah negeri qutb yang mana matahari di dalamnya berada selama 6 bulan, dan tidak tenggelam selama bulan-bulan tersebut, tidak ada kegelapan yang menutupi cayaha matahari di tempattempat tersebut [2]. Jika diperhatikan kegamblangan kerja politik Dzul Qornain pada bangsa yang diberikan kekuasaan di dalamnya; undang-undang yang diaplikasikan pada rihlah ke arah barat, tidak di ulangi kembali hal tersebut saat rihlah ke arah timur; karena ia merupakan manhaj kehidupan dan undang-undang negara yang harus sesuai dengan kondisi dan strategi pada suatu tempat dan umat, sehingga harus komitemn dengan kondisinya; dimana dirinya berada dan kemana dirinya pergi [3]. 3. Rihlah ketiga Perjalanan ini berbeda dengan dua perjalanan sebelumnya, oleh karena kondisi alam, gaya interaksi dengan manusia dan penduduk tempat tersebut, dan sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan di dalamnya; yaitu tidak hanya aktif dalam aktivitas jihad untuk melawan dan menghancurkan kekuatan jahat dan pelaku kerusakan; namun dengan melakukan pembangunan dan pemakmuran yang menakjubkan; bahwa kondisi alamnya memiliki jalan yang mudah, adapun penduduknya –oleh karena kondisi alamnya demikian memberikan pengaruh pada tabiat dan gaya interaksi mereka terhadap sesama dan orang lain- terdapat tidak ada diantara saling memahami dan berbicara di antara mereka tidak mampu mengungkapkan apa yang ada dalam
dirinya, dan tidak bisa memahami apa yang diucapkan oleh orang lain selain dari penduduknya sendiri Q ً َْ" ن َ ُDَ)ْ;َ ن َ َدُو%َ Q ًَْ" َ3ِDَِ َ< ِ دُو0َو “Dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan”. (Al-Kahfi:93) Bisa jadi karena adanya perbedaan gaya bicara dan interaksi –sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya- atau karena keterbelakangan peradaban dan kesederhanaan dalam adat, konsep dan istilah, maka, sehingga ketika ada kekuatan zhalim yang ingin menyerang mereka, tidak punya daya dan kuasa untuk menghadapinya. Dan ketika mereka mendapati adanya kekuatan dalam negara yang dikuasai oleh Dzul Qornain, keadilan dan perjalanan hidupnya yang baik –keadilan dalam kekuasaan sehingga dapat menaklukkan hati sebelum menaklukkan pasukan dan negerimereka segera meminta pertolongan kepadanya; meminta perlindungan darinya serangan kelompok yang selalu melakukan kerusakan dan perang; yaitu kabilah Ya’juj dan Ma’juj yang ingin menyerang mereka melalui jalan antara dua gunung yang saling berhadapan; dari jalan yang sempit yang ada diantara keduanya. Dalam kondisi demikian; Dzul Qornain membuat benteng diantara kedua gunung tersebut. Dan tentunya penyelesaian qadhiyah yang dilakukan oleh Dzul Qornain adalah melakukan islah dan menghancurkan tindak kerusakan dan kejahatan, menerapkan hukum secara adil di tengah umat manusia, tidak berambisi mengumpulkan harta atau mendapatkan sanjungan yang tinggi serta kedudukan yang mulia mulia di muka bumi dengan keberhasilan menundukkan bangsa; karena itu beliau menolak upah atau imbalan yang mereka kumpulkan untuk mereka berikan kepada Dzul Qornain setelah berhasil membuat benteng dan mengalahkan Ya’juj dan Ma’juj. Karena yang dilakukan adalah secara suka rela dalam membuat benteng yang pada akhirnya mereka juga secara rela membantunya dengan mengerahkan seluruh tenaga mereka; dari Dzul Qornain terdapat pengalaman, rancangan dan konsep yang baik, sementara dari kaum ada kekuatan kerja dan kesemangatan, material yang lengkap yang terdapat di negeri tersebut untuk digunakan sebagai sarana pembangunan benteng [4]. Dan dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kaum yang disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki beberapa karakter, diantaranya: 1. Mereka adalah kaum yang terbelakang; yaitu “suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan” hal tersebut bisa berarti mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain dari kaum lainnya, karena mereka tidak bisa berinteraksi dengan mereka dan tidak pernah belajar, dan mereka terkungkung oleh bahasa mereka sendiri. Atau karena bicara mereka tidak memberikan manfaat bagi orang lain, oleh karena mereka tidak memahami dan tidak bisa berinteraksi secara baik, dan tidak berusaha saling memahami apa yang diucapkan orang lain dan juga tidak mau bekerja oleh karena kekeringan dan kekerasan adat mereka atau karena kebodohan dan keterbelakangan budaya mereka.
2. Mereka adalah kaum yang lemah; karena itulah mereka tidak mampu menghadang serangan yang ingin dilakukan oleh pasukan Ya’juj dan Ma’juj, berdiri tegak di hadapan mereka dan mencegah kerusakan yang mereka lakukan. 3. Mereka adalah kaum yang tidak mampu mempertahankan negeri mereka, melakukan perlawanan serangan pasukan musuh, karena itulah mereka meminta kekuatan lain dari luar; kekuatan Dzul Qornain dengan meminta darinya menyelesaikan masalah dan memberikan bantuan mempertahankan negeri mereka. 4. Mereka adalah kaum yang culas dan malas, tidak mau berusaha dan juga tidak mau berkreasi dalam bekerja, karena itulah mereka menyerahkan permasalahan kepada Dzul Qornaun dan mewakili segala urusannya, sementara mereka siap untuk membayar apa yang dikerjakan dengan harta yang dimiliki [5]. Adapun fiqh Dzul Qornain dalam berinteraksi dengan umat atau bangsa-bangsa yang lemah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memindahkan mereka dari kebodohan, keterbelakangan, kemalasan dan kelemahan akan ilmu, kemajuan, kesesungguhan dan kekuatan. Sehingga beliau sendiri yang menangani proyek secara ruh jamaah, dirinya ikut serta bersama mereka. Hal tersebut seperti yang disebutkan dalam bentuk dhamir al-mutakallim (kata ganti orang pertama) yang bertemu dalam rangkaian yang beriringan dengan kata ganti orang kedua dalam nazham (dealektika) Al-Qur’an Al-Karim yang indah, sehingga menunjukkan akan adanya jiwa yang semangat, gigih dan saling tolong menolong. [6] ًُْْ َردDَ*ْ'َُْ َو%َ*ْ'َ ْ2َْ0 ِ)ُ ٍة َأ5ُِ*'ِ&Sََ ٌ ْ'َH 5 ِ'ِ َر5*%َ َ ل َ َ". َ َوَى+ ِإذَا8َ9 <ِ ِ<َ-ْ ُزَ َ ا5ُِ64 ُا:ُ;ل ا َ َ" ِ ْ'َ<َ = ا َ ْ' ْ ًاAِ" ِْ'ََ& ْ ُأْ ِ غ5ُِ64 ل َ َ" َََُ َرًا0 ِإذَا8َ9 “Dzulkarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi”. hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah (api itu)”. hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu”. (Al-Kahfi:95-96) Dzul Qornain memiliki perhatian penuh terhadap kemaslahatan manusia, memberikan nasihat kepada mereka terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Karena itulah, beliau meminta bantuan tenaga yang bertujaun untuk menggiatkan mereka dan mengangkat moral mereka. Dan diantara nasihatnya dan keikhlasannya untuk umat adalah bahwa Dzul Qornain memberikan bantuan dan khidmah lebih banyak dari apa yang mereka minta [7]; bahwa mereka meminta dibuatkan tembok yang memisahkan antara mereka dengan para pelaku pengrusakan, adapun Dzul Qornain berjanji untuk membuatkan kepada mereka rodman; benteng penghalang dan hijab (tembok) yang kuat, dan hal tersebut lebih besar bentuknya dan manfaatnya daripada sad (benteng biasa) dan lebih kokoh, dia menjanjikan lebih dari apa yang mereka harapkan [8]. Dzul Qornain tidak mengambil harta orang-orang lemah namun beliau tetap mengajarkan kepada mereka berbagai aktifitas yang bermanfaat, kegiatan, kerja dan usaha. Beliau berkata kepada
mereka: “Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka”. (Al-Kahfi:95) Bahwa ungkapan Al-Qurna ini merupakan karakter yang gamblang dalam rangka memobilisasi dan memotivasi semangat kerja dan menyatukan potensi yang mereka miliki, serta mengekplorasi kemampuan dan kekuatan yang ada dalam jiwa mereka. Karena itu; pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mampu mengeksplorasi potensi masyarakat dan mengarahkannya menuju kesempurnaan guna mewujudkan kebaikan dan tujuan yang diidam-idamkan. Bahwa seluruh masyarakat pasti memiliki ragam kemampuan dalam berbagai sisi yang bermacam-macam; baik pemikiran, harta, konsep dan system dan kekuatan materi, lalu hadir peranan pemimpin robbani di tengah umat untuk mengikat mereka pada rencana, konsep dan administrasi antara kecendrungan dan potensi dan mengarahkannya menuju kebaikan umat dan kemuliaannya. Bahwa umat Islam -saat ini- juga penuh dengan keahlian yang hilang dan potensi yang terabaikan, harta yang teracuhkan, waktu yang terbuang, pemuda yang kebingungan, umat yang menunggu pemimpinnya diberbagai kota, negara atau daerah, sehingga dengan demikian, perlu kiranya mengambil kaidah Dzul Qornain dalam menyatukan, mengurusi dan tolong menolong, serta memerangi kebodohan, kemalasan dan keterbelakangan. “Maka bantulah aku dengan potensi yang kalian miliki”. bersambung… _____________________________________ [1]. Lihat: Mabahits fi tafsir maudhu’i, hal. 305 [2]. Al-Qisshash Al-Qur’ani fi Suratil Kahfi, hal. 87 [3]. Lihat: Mabahits fi tafsir maudhu’i, hal. 306 [4]. Ibid, hal. 307. [5]. Lihat: Ma’a Qishash As-Sabiqin, jil. 2, hal. 338 [6]. Lihat: Al-Hukmu wa at-tahakum fi khitab Al-wahyi, jil. 2, hal. 627 [7]. Lihat: Ahkam Al-Qur’an, Abu Bakar bin Al-Arabi, jil. 3, hal. 243 [8]. Lihat: Ruhul Ma’ani, jill. 16, hal. 40 Serial Fiqh Kemenangan dan Kejayaan Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah (11):
Mendirikan Daulah; Kisah Nabi Sulaiman AS
Al-Ikhwan.net | 22 July 2008 | 19 Rajab 1429 H | Hits: 377 DR. Ali Muhammad As-Slaaby
Penterjemah: Abu Ahmad Nabi Sulaiman menerima kepemimpinan dari ayahnya nabi Daud AS, negara yang kuat dan yang terbangun diatas dasar Iman dan tauhid serta taqwa kepada Allah, sebagaimana nabi Sulaiman diberikan karunia oleh Allah kerajaan yang luas dan pasukan yang banyak dari berbagai jenis makhluk; manusia, jin dan binatang, dan kekuatan yang besar yang tidak diberikan kepada yang lainnya, namun sebelumnya beliau diberikan karunia yang lebih besar dan lebih mulia dari itu semua. Allah memberikan kepadanya sosok yang unik dan istimewa dalam sejarah hidup manusia; karena Allah telah memberikan kepadanya kenabian, ilmu dan hikmah seperti halnya yang diberikan kepada bapaknya sebelumnya. Allah berfirman: Q َ َ"ً َو3ِْ& ن َ َ3ْ'َُ+َ'ْ*َ دَا ُو َد َو64 ْ<َ)َ َو َ 'ِ*ِْUُ3ْ اCِ َ ِدBِ& ْ ٍ 'ِVََ*َ &ََ آWَ ا ِيY ِ <ُ ْ3َ-ْ ا. س ُ * َ اDل َ َأ َ َ"ن دَا ُو َد َو ُ َ3ْ'َُ+ ث َ َو َو ِر ُ 'ِBُ3ْ ا2 ُ ْWَ;ْ ُ َ اDَ ن هََا ْ ٍء ِإ5َM 2 ُِ'*َ ِ آ6'ْ ِ َوأُوA ] ا َ ِA*َ َ*ْ3ُ& “Dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan hambahambanya yang beriman”. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: “Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (An-Naml:15-16) Nabi Sulaiman tidak hanya mewarisi harta, rumah dan tahta orang tuanya, namun juga mewarisi ilmu dan hikmah, mewarisi kenabian dan kepemimpinan, dan bahkan Allah memberikan kepadanya nikmat yang berlimpah dan karunia yang khusus kepadanya yang tidak diberikan kepada orang lain setelahnya. Sebagaimana Nabi Sulaiman meminta kepada Allah kenikmatan khusus yang tidak diberikan kepada lainnya; ب ُ _ ا ْ َه َ َ` أ َ َ ٍ< َْ<ِي ِإ9O 5ِaَB*َ Q ً%ُْ 5ِ ْbَ َوه5ِ ْ ِ;ْcب ا َر “Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. (Shaad:35) Maksudnya adalah berikanlah kepadaku kerajaan yang tidak akan terjadi lagi pada seseorang setelahnya. [1]. Kita akan melewati apa yang diceritakan Al-Qur’an tentang Sulaiman AS, lembaran-lembaran yang bersinar akan masa keemasan bani Israil selama mereka berada dalam agama yang benar dan petunjuk Allah SWT. Al-Qur’an menceritakan, bahwa nabi Sulaiman mendirikan kerajaannya diatas dasar-dasar keimanan dan Islam (tunduk) kepada-Nya, karena itu Nabi Sulaiman menganggap kerajaannya lebih mewah dan megah dari kerajaan ratu Balqis. Kerajaan yang tidak bisa dikalahkan; baik secara luas dan panjangnya serta ketinggiannya sekalipun, namun, disamping itu semua, Nabi Sulaiman mendirikan kerajaannya dengan ilmu dan iman. Allah berfirman:
َ 'ِ3ُِْ *َُ َوآDِْBَ" ِ َ ِْْ ِ'*َ ا6 ` َوأُو َ ِ ََِ آََ_ْ ِ "َْ ٍم آD ِإY ِ نا ِ ُ ُ< ِ دُوBْ6 _َََ <هَ َ آ1َو “Kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan Kami adalah orang-orang yang berserah diri”. Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena Sesungguhnya Dia dahulunya Termasuk orang-orang yang kafir”. (AnNaml:42-43) Dapat kita perhatikan apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa kerjaaan Sulaiman hidup dengan begitu semangat dan penuh dengan harakah, Nabi tegak dengan menunaikan kewajiban ubudiyah disamping kewajiban menunaikan tugas kerajaan dan tanggungjawab sebagai pemimpin serta tanggungjawab memakmurkan dunia yang sesuai dengan kataatan kepada Allah, bumi seluruhnya tunduk kepadanya, dan kemakmuranpun datang, sehingga tidak terjadi di dalamnya pembangkangan yang dilakukan oleh pasukan dan rakyatnya, oleh karena pemerintahan dan kerajaannya didirikan dengan ilmu dan hikmah. Ayat-ayat yang mulia menjelaskan akan karakter dan sifat-sifat nabi Sulaiman yang bijaksana, yaitu karakter dan sifat sikap yang bertanggungjawab terhadap berbagai urusan dunia, termasuk urusan pada makhluk-makhluk lainnya. Karena itu apakah ada tanggungjawab yang besar itu yang hampir tergambar pada masa kini? apakah ada setelah Nabi Sulaiman yang berada dalam manhaj dan nilai-nilai luhur dalam menjalankan pemerintahan? dan apakah ada cara yang paling sukses dalam urusan manajemen selain nabi Sulaiman?. Tidak ada. Bahkan Nabi Sulaiman memanaj urusan kerajaan yang besar dan megah tersebut secara professional sendirian bersama keluarganya dan dalam rumah yang kecil. Dari kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an; kisah tentang nabi Sulaiman dapat kita ambil pelarajan dan ibrah bagaimana menjaga dan memelihara serta melestarikan kerajaan iman, dan apa tugas-tugas yang dilakukan dalam kehidupannya dan apa saja sarana kekuatannya. Sesungguhnya kisah Nabi Sulaiman disebutkan dalam Al-Qur’an dalam tiga tempat; dalam surat An-Naml, surat Shaad dan surat Saba’. Dan dalam surat An-Naml mengkisahkan tentang periode kehidupan nabi Sulaiman AS; kisah tentang dirinya bersama burung Hud-Hud dan ratu Balqis, sebagai pendahuluan terhadap apa yang akan dilakukan Nabi Sulaiman dari ilmu yang diberikan Allah kepadanya sehingga dapat berbicara dengan burung dan memahami bahasa binatang, karunia dari berbagai karunia, rasa syukurnya kepada Allah terhadap karunia yang nyata dihadapannya, kemudian peristiwa rombongan yang dipimpinnya bersama Jin dan Manusia, burung dan peringatan ratu semut terhadap kaumnya khawatir terinjak oleh rombongan tersebut, dan pemahaman Sulaiman terhadap ungkapan ratu semut, can rasa syukurnya beliau kepada Allah terhadap karunia tersebut, dan beliau memahami bahwa nikmat tersebut adalah sebagai ujian, dan meminta kepada Tuhannya untuk bisa menyatukan rasa syukurnya dengan ketaatan kepada-Nya dan beliua berhasil menjalani ujian ini. Ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan akan awal dari tamkin (kejayaan), fenomena-fenomea tamkin dan bagaimana kiat memelihara tamkin tersebut serta sifat dan karakteristik pemimpin robbani yang mampu memegang kerajaannya. Awal dari tamkin
Adapun awal dari tamkin yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah ayat Allah: “Dan Sungguh, Kami telah memberikan kepada Daud karunia”. Sebelum ayat ini berakhir, hadir kesyukuran nabi Daud dan nabi Sulaiman atas nikmat ini, memaklumatkan akan nilai-nilainya dan kemampuannya yang besar, sehingga menampakkan ketinggian ilmu dan kebesaran anugrah dari Allah terhadap hamba-Nya, dan karunia yang banyak terhadap hamba-Nya yang beriman. Dan tidak disebutkan disini jenis ilmu dan ketentuannya; karena jenis ilmu merupakan tujuan yang ingin dimunculkan dan ditampakkan, dan untuk mengisyaratkan bahwa ilmu seluruhnya adalah merupakan karunia dari Allah, dan sesungguhnya bagi orang berilmu selayaknya menyadari akan sumber ilmu yang dimiliki, menghadap kepada Allah dengan memberikan pujian atas-Nya, menggunakan ilmu kepada sesuatu yang diridhai Allah yang telah memberikan karunia dan anugrah ilmu kepadanya; karena sumber ilmu itu tidak bisa dipungkiri adanya yaitu Allah SWT, bahkan tidak boleh dilupakan akan Pemberinya, dan menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian kecil dari anugrah dan karunia-Nya. Apalagi setelah melihat kenikmatan yang diberikan kepada nabi Daud dan nabi Sulaiman, serta pujian keduanya terhadap karunia tersebut dan kesadaran keduanya akan kemampuannya, dan kapasitas yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman; ن دَا ُ َ3ْ'َُ+ ث َ ا ْ َو َو ِر2 ُ ْWَ;ْ ُ َ اDَ ن هََا ْ ٍء ِإ5َM 2 ُِ'*َ ِ آ6'ْ ِ َوأُوA ] ا َ ِA*َ َ*ْ3ُ& س ُ * َ اDل َ َأ َ َ" ُو َد َو ُ 'ِBُ3 “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: “Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.(An-Naml:16) A. Fenomena-fenomena tamkin dalam kerajaan nabi Sulaiman Sesungguhnya Allah telah memberikan anugrah kepada hamba-Nya; nabi Daud AS, dalam bentuk kenabian dan kerajaan, dan kemudian nabi Sulaiman mewarisinya dan diberikan tamkin kepadanya berupa kerajaan dan negara, dan juga diberikan karunia dari berbagai kenikmatan dalam bentuk kerajaan dan kekuasaan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun setelahnya untuk bisa mencapai tingkatan sepereti yang telah dicapai olehnya. Allah berfirman: 2 ُ َ3َْ َ ِPْ ا َ ِْ ِ َوAِ)ْ ا َ ْ'َ& َُ َ*َْ+ْ ٌ َوَأDَM َDُ9ْ ٌ َو َروَاDَM َُ ُ< وهc e َ ن ا َ َ3ْ'َُِ غْ َو/ِ َ َن َرِ َو ِ ْذKِِ ِْ<َ َ َ ْ'َ َْ& ُْDْ*ِ
ِ 'ِ ب ا ِ ل دَا ُو َد `َأْ ِ َ ُ ِ"ُْ ِْ &ََا َ 4 َُا3ْ&ت ا ٍ َ'ِ+ب َو"ُ<ُو ٍر را ِ ََاPْ َِ;َنٍ آ0 َو2 َ 'َِ3َ6 َوb َ َِر- ِ َ ُءgَ َ َُ ن َ َُ3َْ ْ ًا%ُM ُ ُر%g ي ا َ َ ِدBِ& ْ ٌ2'َِ"َو “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyalanyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (Saba’:12-13)
Dan dari ayat-ayat tersebut diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa diantara fenomena-fenoma tamkin yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman adalah sebagai berikut: 1. Allah mewariskan kepadanya kerajaan dari bapaknya dan juga Allah memberikan kepadanya kenabian, sehingga menjadi satu kesatuan dalam dua bentuk: kenabian dan kerajaan. 2. Allah memberikan kepadanya ilmu untuk bisa berbicara kepada hewan; seperti burung dan semut. Sebagaimana Allah berfirman: َ*ْ3ُ& س ُ * َ اDل َ َأ َ َ"ن دَا ُو َد َو ُ َ3ْ'َُ+ ث َ َو َو ِر ُ 'ِBُ3ْ ا2 ُ ْWَ;ْ ُ َ اDَ ْ ٍء ِإن هََا5َM 2 ُِ'*َ ِ آ6'ْ ِ َوأُوA ] ا َ ِA*َ ”Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: “Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. Dan Allah berfirman: ُ%*َ3ِAْ-َ Q َ ُْ%َ*ُُِا ََآHْ اد2 ُ ْ3* َ اDٌ َ َأhَْ3َ ْ_َ َ" 2 ِ ْ3* َْا &ََ وَادِي ا6 ِإذَا َأ8َ9ن َ ُْ ُوgَ Q َ ُْ َوهCُ ُ*ُ ُد0ن َو ُ َ3ْ'َُ+ ْ ` َ َBَ8َ ي َوَأ <َ ِ َو&ََ وَا5 ََ& _ َ ْ3َْ َأ5ِ8 ` ا َ َ8َ3ِْ َ ُ%ْM َأنْ َأ5ِ*ْ&ب َأوْ ِز ل َر َ َ"َ َوDِ َْ" ً%ِ9َi ` َ ِ8َ3ْ9 َ ِ 5ِ*ِْHْ َوَأدCُ َiْ َ6 ً-ِ َ1 2 َ َ3ْ&نْ َأ َ 'ِ-ِ = ك ا َ َ ِدBِ& 5ِ “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) Perkataan semut itu. dan Dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. (An-Naml:18-19) Allah menganugrahkan kepadanya al-hikmah pada usia muda, seperti yang telah kami ceritakan dari sebagian kisah yang terjadi dalam menetapkan hukum. Allah berfirman: ْ ا5ِ ن ِ َ3ُ%ْ-َ ْن ِإذ َ َ3ْ'َُ+ َودَا ُو َد َو َ ِ<َِهM ِْDِ3ْ%ُ-ِ *َُ*َ ُ ا ْ)َْ ِم َوآc ِ'ِ ْ_َgَ;َ ْث ِإذ ِ ْ َ-` ً3ِْ&ً َو3ْ%ُ9 َ*ْ'َ64 k I ُن َوآ َ َ3ْ'َُ+ َْ*َه3Dَ;َ “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu”. (Al-Anbiya:77-78) Allah juga menundukkan untuknya angin sehingga angin tersebut bisa membawanya ke berbagai penjuru dunia. Berjalan mengelilingi dunia walau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan panjang. Allah berfirman:
َُِ ْ ٌ َوDَM َDُ9ْ ٌ َو َروَاDَM َُ ُ< وهc e َ ن ا َ َ3ْ' “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula)”. (Saba’:12) Maknanya adalah bahwa nabi Sulaiman melakukan perjalanan di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula), sesuai dengan kebutuhan yang dapat ditempuh dari perjalanan pagi dan sore, yang dapat dilakukan oleh nabi Sulaiman dan diwujudkan sesuai dengan perintah Allah”. [2] 3. Allah juga menundukkan baginya Jin dan syaitan, sehingga mereka mampu tenggelam ke dasar lautan untuk mengeluarkan permata dan intan, mereka melakukan pekerjaan untuknya yang tidak mampu dilakukan oleh manusia seperti membangun istana yang tinggi dan mihrab di tempat-tempat ibadah, patung dan gambar-gambar dari timah, kayu dan lain-lainnya, lembah (danau) yang berisi air yang jernih. Dan Jin juga membuatkan untuk nabi Sulaiman pinggan besar untuk makan seperti lubang besar, dan membuatkan untuknya lampu yang besar dan tinggi untuk memasak karena kebesarannya. Allah berfirman: ِPْ ا َ ِْ ِ َوAِ)ْ ا َ ْ'َ& َُ َ*َْ+ْ ٌ َوَأDَM َDُ9ْ ٌ َو َروَاDَM َُ ُ< وهc e َ ن ا َ َ3ْ'َُِ ُْ &َْ َوDْ*ِ ْغ/ِ َ َن َرِ َو ِ ْذKِِ ِْ<َ َ َ ْ'َ 2 ُ َ3َْ َ
ِ 'ِ ب ا ِ ل دَا ُو َد `َأْ ِ َ ُ ِ"ُْ ِْ &ََا َ 4 َُا3ْ&ت ا ٍ َ'ِ+ب َو"ُ<ُو ٍر را ِ ََاPْ َِ;َنٍ آ0 َو2 َ 'َِ3َ6 َوb َ َِر- ِ َ ُءgَ َ َُ ن َ َُ3َْ ْ ًا%ُM َ"ُ ُر َو%g ي ا َ َ ِدBِ& ْ ٌ2'ِ “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyalanyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (Saba:12-13) 4. Allah juga memberikan kemampuan kepadanya membuat cairan tembaga baginya, sehingga tembaga tersebut cair seperti air dan membentuknya sekehendaknya. Allah berfirman:
ِ ْAِ)ْ ا َ ْ'َ& َُ َ*َْ+َوَأ “Dan Kami alirkan cairan tembaga baginya”. (Saba:12) Dan pada saat itu tembaga merupakan unsur kemajuan suatu peradaban, materi kemajuan suatu negara, fenomena kemegahan dan kebesaran dalam suatu kerajaan, sarana konstrukti dan
pembangunan, sehingga nabi Sulaiman menjadi raja yang besar yang berusaha memakmurkan dunia untuk ketaatan kepada Allah dan semua penduduk bumi tunduk kepadanya. Beliau hadir untuk memakmurkan bumi yang saat itu nabi Sulaiman tidak yang melaukan tandingan dalam kepemimpinan dan memiliki kerajaan[3]. Bahwa pasukan nabi Sulaiman terdiri dari manusia, jin dan burung (binatang), dan beliau memberikan tugas dan berbagai urusan negara kepada mereka, jika beliau keluar, maka semuanya ikut keluar bergerombol dengannya, ada bertugas melindunginya dan berkhidmah dari berbagai penjuru. Manusia dan jin berjalan bersamanya dalam satu kelompok, sedangkan pasukan burung menjadi payung menaungi mereka dengan sayapnya dari panas dan matahari [4]. Inilah beberapa bagian fenomena tamkin pada masa pemerintahan Nabi Sulaiman, dan tampak anugrah Allah baginya. Seperti dalam firman Allah: ب ٍ َِ9 ِ ْ'َaِ ْ`َِْ ُؤَ َْ*ُْ َأوْ َأAَ& هََا “Inilah anugerah kami; Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab”. (Saba:39) Kemudian ditambah dengan anugrah lainnya berupa ganjaran di dunia dan sebaik-baik tempat kembali di akhirat kelak. ب ٍ mَ َ ُْ9 ْ;َ َو/ُ َ َ<َ *ِ& َُ ن َوِإ “Dan Sesungguhnya Dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik”. (Shad:40) B. Pemahaman Nabi Sulaiman dalam menata negara Bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman menunjukkan akan kepiawan dan profesionalismenya dalam menata negara dan memelihara kejayaan. Dan diantara pemahaman beliau dalam menata negara adalah sebagai berikut: 1. Seringnya melakukan inspeksi terhadap bawahan, memantau berbagai urusan negara guna mendapatkan dan melihat sisi-sisi kerusakan yang terjadi terhadap anggota dan jamaahnya; seperti yang terjadi antara beliau dengan burung Hud-hud, saat beliau kehilangan seekor burung, yang menunjukkan akan perhatian beliau terhadap pasukannya khususnya kaum yang lemah [5]. Tentunya seorang pemimpin membutuhkan banyak team, alat dan perangkat yang mampu melaksanakan tugas-tugas besar tersebut, bahwa Sulaiman as memiliki perhatian dengan melakukan inspeksi pasukan terhadap para pengawalnya khususnya jika terjadi sesuatu terhadap kondisi mereka, maka ketika nabi Sulaiman as tidak melihat burung Hud-Hud beliau langsung bertanya: “Kenapa saya tidak melihat burung Hud-Hud” (An-Naml:20), maksudnya apakah dia absen (tanpa izin)? Seakan beliau bertanya kebenaran yang terlintas dalam dirinya [6]. Kemudian dia berkata: “Apakah dia termasuk orang yang lalai” (An-Naml:20), pertanyaan lain yang menerangkan akan ketegasan pertanyaan tersebut setelah melakukan pemantauan, maka dari itu
nabi Sulaiman berusaha memahami apa yang terjadi dari absennya bukan karena kasih sayang saja namun karena ketegasan beliau jika absennya bukan karena ada udzur [7]. 2. Setiap negara pasti memiliki undang-undang sehingga dapat memanaj berbagai urusan dengan cara menghukum orang yang melakukan kesalahan dan memberi pujian bagi orang yang melakukan kebaikan, dan dalam melakukan tindakan hukuman juga harus memperhatikan jenjangnya dan tingkatan kesalahan yaitu melihat batasan kesalahan dan besarnya dosa, dan ini merupakan bentuk keadilan. Karena itulah nabi Sulaiman tidak memutuskan langsung hukuman dalam bentuk azab terhadap burung Hud-hud, ketika melakukan kesalahan, nabi beliau memperhatikan besarnya kesalahan : “Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar Dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. (An-Naml:21) Para ulama menjadikan dalil pada ayat ini bahwa hukuman sesuai dengan batas dosa yang dilakukan, berawal dari yang keras kepada yang lebih keras sesuai dengan kebutuhan dalam melakukan perbaikan suatu kesalahan. 3. Negara Islam juga memiliki perhatian terhadap perangkat keamanan dan berusaha untuk memiliki perhatian terhadap berita dan informasi sehingga dapat diberdayakan (difungsikan) untuk kemaslahatan agama, aqidah tauhid, penyebaran prinsip-prinsip yang mulia, tujuan dan misi yang agung dan akhlak yang terpuji, dan berusaha untuk menanamkan kecintaan terhadap jihad kepada rakyatnya melalui sarana informasi dan sarana tarbiyah, menggerakkan jiwa pada kondisi-kondisi yang sesuai untuk mendirikan agama dan menegakkan kalimat Allah. Dan demikianlah yang dilakukan oleh nabi Sulaiman –seperti yang diungkapkan oleh Imam AlQurtubi-: “Bahwa berita yang dibawa Hud-Hud menjadi suatu kebenaran akan alasan ketidak hadirannya, karena membawa berita yang berhubungan dengan jihad, dan nabi Sulaiman juga mengarahkan kepadanya untuk cinta pada jihad” [8]. 4. Bahwa seorang pemimpin pada negara muslim juga harus memiliki perhatian terhadap pembelaan dakwah yang menyeru pada atuhid, dan berusaha semampunya untuk disampaikan kepada setiap yang mukallaf, karena nabi Sulaiman ketika mendengar akan berita suatu kaum yang musyrik, beliau bersegera mengirimkan surat kepada mereka, yang dimulai dengan hujjah dan alasannya: ن َ ُِ0ْ َ ُ ْ َذَاEَْ ُْDْ*َ& ل َ َ6 ُ ِْDْ'َ ْ)ِْ ِإSََ هََا5َِ8ِ% bَاذْه “Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan” (An-Naml:28). Al-Qurtubi berkata: “Pada ayat diatas merupakan petunjuk bahwa mengirim surat atau buku kepada orang-orang musyrik untuk menyampaikan dakwah dan mengajak mereka kepada Islam. Sebagaimana pula yang dilakukan nabi Muhammad saw dengan mengirimkan surat kepada kisra dan kaisar dan kepada para pemimpin kafir lainnya [9].
Dan yang terpenting adalah memberikan penjabaran, bahwa dengan keagungan dan kemuliaan Islam dan iman, serta dengan kewibawaan Al-Qur’an, tidak boleh merasa rendah diri dan hina, dan tidak memaksa manusia untuk menerima seruan tersebut, meninggalkan silang pendapat terhadap apa yang dimurkai Allah. Dan apa yang dilakukan oleh nabi Sulaiman dalam mengirim surat kepada Ratu Saba yang diawali dengan rahmat dan kemuliaan, dan pada akhir surat seruan untuk menerima ajakan kembali kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya: “Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: ِ 'ِ9 ا ِ َ3ْ9 اY ِ ن َوِإُ ِْ ِ ا َ َ3ْ'َُ+ ِ ُ ُْ `ِإ5ُِ6ْ َوأ5 ََ& َُْا6 Q َأ َ 'ِ3ِ “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Bahwa janganlah kamu sekalian Berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (An-Naml: 30-31) Karena itu negara Islam harus juga memiliki perhatian dalam penggunaan nama Allah, bangga dengan menyebut asma-Nya dalam pertemuan-pertemuan, acara-acara dan tulisan-tulisan/suratsurat, karena hal tersebut merupakan izzah dan syiar bagi orang-orang yang beriman, dan bertujuan mensucikan nama-Nya yang suci dari hal-hal yang tidak layak baginya, dan memeliharanya dari kejahilan orang-orang yang jahil; sebagaimana Nabi Sulaiman mengawali suratnya dengan menyebut nama-Nya karena takut, kalau ratu Saba menyebut nama lain yang tidak layak sehingga nama yang disebutkan di dalam surat tersebut untuk menjaga kesucian nama Allah [10]. Sebagaimana negara Islam ketika membuat surat untuk berdakwah dengan cara sungguhsungguh dalam mengajak manusia kepada Islam dan memperhatikan akan keunivesalan agama Islam serta berusaha mempersingkat surat tanpa bertele-tele dan panjang lebar. Sebagaimana surat yang dibuat oleh nabi Sulaiman kepada ratu Balqis : ِ 'ِ9 ا ِ َ3ْ9 اY ِ ن َوِإُ ِْ ِ ا َ َ3ْ'َُ+ ِ ُِ `ِإ3ُِْ 5ُِ6ْ َوأ5 ََ& َُْا6 Q َأ َ' “Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian Berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (AnNaml:30-31) Kenapa demikian? Karena yang dituntut dari manusia adalah ilmu dan kerja, dan ilmu harus lebih di dahulukan daripada kerja. Maka dari itu ungkapan : “Bismillahirrahmanirrahim”, mencakup pada penetapan Dzat yang mencipta dan sifat-sifat Allah swt. yang Rahman dan Rahim. Sedangkan ungkapan “Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku”, merupakan larangan untuk tunduk kepada selain Allah, hanya karena mengikuti dan taat kepada hawa nafsu. Sedangkan ungkapan yang ketiga : “Dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”, terdapat di dalamnya ajakan untuk beriman dengan hati dan berislam dengan raga [11].
Dan bagi para daiyah juga harus merasa tinggi dihadapan para pecinta dunia, sehingga ketika berhadapan dengan para penyuap dalam agama atau orang-orang yang suka menggadaikan prinsip-prinsip, maka jadikanlah syi’ar yang diungkapkan oleh nabi Sulaiman sebagai pegangan: “Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: ن َ ُ9 َ ْ;َ6 ُْ%ِ8<ِ َDِ ُْ8ْْ َأ2َ َُْآ64 3 ٌ ْ'َH Y ُ ا5َِ64 َ3َ ل ٍ َ3ِ ِ َِ<و3ُ6َأ “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu”. (An-Naml:36) Dan ketika Ratu Saba mengirim utusan untuk menghadap nabi Sulaiman dan membawakan untuknya harta yang banyak untuk mengujinya besarnya kecintaan dirinya terhadap agama, maka tampak bahwa dirinya tidak tertarik pada harta tersebut, bahkan beliau memberikan jawaban kepada orang-orang yang datang kepadanya bahwa Allah telah menganugrahkan kepadanya agama yang merupakan kebahagiaan tertinggi, dan memberikan kenikmatan dunia yang tidak ada bandingannya, maka bagaimana mungkin dirinya cenderung dan menerima pada harta yang sedikit tersebut?! Dan menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang senang dan bangga terhadap hadiah tersebut dan menyangka bahwa dengan harta tersebut dapat membuat mereka bahagia, karena itu nabi Sulaiman tidak menerimanya kecuali dengan Islam atau pedang (jihad) [12]. 5. Kemampuan mengambil keputusan yang benar pada kondisi dan tempat yang cocok, dan tidak memiliki keraguan dalam menentukan suatu keputusan yang sulit untuk menguasai keadaan yang kritis. Karena itu ketika nabi Sulaiman mendapatkan berita bahwa ada suatu kaum yang masih berada dalam kemusyrikan, beliau bersegera mengajaknya untuk kembali pada kebenaran. Beliau berkata kepada utusan yang membawa hadiah: ِْ ُونَارcَ1 ًُْ َوهh َ َأ ِذDْ* ُD*َ0 ِ ْ:ُ*َ َ َوDِ ُْDَ 2 َ َBِ" Q ُ*ُ ٍدPِ ُD*َ'ِ6ْSَ*ََ ِْDْ'َ ْ ِإnِ0 “Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak Kuasa melawannya, dan pasti Kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”. (An-Naml:37) Dan tidak dilarang menggunakan sikap yang tegas dihadapan para pembangkang, menggunakan kekuatan yang besar guna membuat gentar orang-orang yang menghalangi dakwah, karena jika tidak demikian itu kadang tidak bermanfaat kepada yang lainnya dalam menyelamatkan kaum dari kemusyrikan. Bahwa diantara di dalam jiwa manusia terdapat sesuatu yang tidak bisa dilunakkan kecuali dibawah ancaman pedang dan tentara kuda. Dan cara ini juga yang menyebabkan masuknya ratu Balqis kepada Islam dan ketundukan dirinya dan tentaranya kepada nabi Sulaiman as. Dan tidak dilarang juga menggunakan strategi yang cerdas dan cemerlang, ketelitian dalam membuat strategi untuk membuat gentar hati-hati dan jiwa-jiwa mad’u kepada agama Islam dan memanfaatkan berbagai kenikmatan dan anugrah Allah sebagai dalil akan ke-Esaan Allah. Mengajak manusia dengan trik yang disenangi oleh hati orang-orang awam dan menjamu orang-
orang khusus darinya. Karena nabi Sulaiman ketika sampai kepadanya berita akan datangnya ratu Saba dalam jumlah yang banyak, maka beliau ingin memperlihatkan kebesaran yang telah diberikan dan dianugrahkan Allah kepadanya dari kekuatan yang dimiliki oleh ratu Saba sehingga beliau meminta dipindahkan singgasana ratu Saba yang ditinggalkan di negeri Saba saat ingin bertemu Nabi Sulaiman [13]. Negara Islam juga harus bisa memanfaatkan keahlian, pengalaman dan kemampuan khusus dalam melakukan pemantauan, dan meletakkan seseorang pada jabatan dan tempat yang cocok. Bahwa kerajaan Sulaiman terdapat di dalamnya tentara dari manusia dan jin serta tentara lainnya yang dapat menunaikan tugasnya. Namun Sulaiman mampu menempatkannya secara proporsional. Karena itu beliau memerintahkan secara khsusus berbagai urusan yang ada di bawah kerajaan dan meminta bantuan para pasukan yang terpercaya dari jin yang kuat, untuk melakukan tugas-tugas khusus; yang hal tersebut merupakan bagian dari ilmu dan hikmah [14]. C. Sifat-sifat menonjol nabi Sulaiman sebagai pemimpin negara Bahwa ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat nabi Sulaiman sebagai raja dan pemimpin serta pembawa kejayaan di muka bumi, merupakan isyarat dari Allah akan sifat-sifat kepemimpinan yang dituntut untuk menjadi penjaga kejayaan syariat Allah: 1. Memiliki hati yang tegas: hal tersebut tampak pada pemimpin jika memiliki keyakinan bahwa ada kekurangan atau kemalasan salah satu anggota untuk hadir saat diminta, atau terlambat saat bekerja: “Sungguh saya akan mengazabnya dengan azab yang pedih atau saya akan sembelih dia”. (An-Naml:21). Bahwa yang demikian merupakan ketegasan ketika diketahui bahwa burung Hud-Hud gaib (tidak hadir), lalu mengancamnya dihadapan khalayak ramai akibat ketidakhadirannya, sehingga tidak menjadikan ketidakhadiran Hud-Hud –jika tidak dilakukan tegas- akan menjadi preseden buruk pada pasukan lainnya pada waktu yang akan datang [15]. 2. Perlahan dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menerapkan hukum, karena boleh jadi ketidak hadiran personil (individu) memiliki alasan, atau ada dalil yang syar’i sehingga dirinya dapat terhindar dari dosa dan hukuman. Karena itu nabi Sulaiman berkata setelahnya: “Atau dirinya dirinya datang kepadaku dengan alasan yang nyata”. (An-Naml:21) yakni “dengan memberikan alasan syar’i akan ketidak hadirannya” [16]. Dan hal ini yang selayaknya dilakukan oleh seorang hakim dan pemimpin jika ingin berlaku adil. Dan Nabi Sulaiman sebagai pemimpin yang dikenal dengan sifat adilnya terhadap rakyat dan pasukannya hingga kepada seekor semut sekalipun, tidak melakukan kezhaliman kepada burung Hud-Hud, atau yang ada dibawahnya atau diatasnya kecuali diperlakukan secara adil dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum terhadap suatu kesalahan dan bahkan tidak segera menghukumnya sebelum mendengar alasan darinya. 3. Lapang dada dalam mendengar alasan dari orang yang memberikan alasan atau alasan para pelaku kesalahan, dan nabi Sulaiman berdiam diri dan menyimak untuk mendengar alasan yang disampaikan burung Hud-hud hingga selesai alasan yang disampaikan, sekalipun terdapat di dalamnya akibat yang akan diberikan “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata:
ٍ 'ِ)َ SٍَBَ*ِ SٍَBَ+ ِ ` َ ُ8ْoِ0ْ ِِ َوpِ-ُ6 َْ َ3ِ _ ُ Aَ9َ `َأ0 َو5ِ'ٌ ِإEَ& ٌَ &َ ْشDَ ْ ٍء َو5َM 2 ُِ'َ_ْ ِ آ6ُْ َوأُوDُ%ِْ3َ6 ت اْ َ َأ ًة <` َD6<َ0َو َ 2 ِ 'ِB ا ِ َ& ُُْْ َ=َ <هDَ َ3ْ&ن َأ ُ َAْ'g ُ ُ اDَ َ َو َزY ِ نا ِ ِ دُوr ِ ْ3gِ ن َ ُ<ُوPَْ َDََْ"ن َو َ َ<ُو8ْDَ Q َ ُْD` <ُ ُPَْ Q ج َأ ُ ِ ْ:ُ ا ِيY ِ وا ن َ ُ*ُِْ6 َن َو َ ُ;ْ:ُ6 َ ُ ََْض َو ِ ْرO َ ت وَا ِ َوَا3 ا5ِ ْ َءbَ:ْ ِ' ِ `اEَْ ش ا ِ ْ َْ ب ا هُ َ َرQ ِإ ََ ِإQ َ Y ُ ا “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati Dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang besar”.(An-Naml:22-27). Semua alasan tersebut tidak berusaha dicut (dipotong) oleh nabi Sulaiman, tidak didustakan, bahkan tidak disikapi dengan keras sehingga selesai menyampaikan alasan yang merupakan alasan kejadian baru dan besar bagi Sulaiman. 4. Menerima alasan bagi siapa saja yang menyampaikan alasan dengan jelas dan menyerahkan semua kebenarannya kepada Allah swt, karena itu nabi Sulaiman berdiam tidak mengambil tindakan dan berpindah untuk berhati-hati menerima berita tersebut. Imam Al-Qurtubi berkata: “Hal ini merupakan petunjuk bahwa imam harus menerima alasan anak buahnya, dan memberikan hukuman sesuai dengan kondisi konkritnya ketimbang alasan yang tersimpan, karena nabi Sulaiman tidak menghukum Hud-Hud sehingga menyampaikan alasan kepadanya [17]. 5. Berhati-hati dalam mensikapi berita yang dibawa; inilah yang diceritakan oleh Hud-Hud, yang merupakan bukan perkara sepele dan tidak mudah diterima begitu saja, dan Hud-Hud juga tidak berani mengarang cerita yang panjang ini, karena dia mengetahui bahwa Nabi Sulaiman merupakan pemimpin, dan memiliki kemampuan mencari ketegasan akan kebenaran berita yang disampaikan, karena itu pula nabi Sulaiman tidak menerima langsung alasan tersebut sebagaimana pula tidak bersegera mendustakannya. Namun beliau berkata: “Akan kita tunggu”, yaitu meneliti dan mencari kebenarannya [18]. “Akan kita lihat apakah yang kamu bawa adalah benar atau merupakan kedustaan belaka” maksudnya adalah apakah berita yang kamu bawa itu benar atau dusta, hanya untuk menghindar dari ancaman hukuman? [19]. Tidak terpedaya dengan hawa nafsu, banyaknya pasukan dan luasnya kekuasaan, namun hanya bersandarkan diri kepada Allah terhadap berbagai kenikmatan yang Allah anugrahkan, dan selalu memperbaiki rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Dan Nabi Sulaiman ketika meminta memindahkan singgasana ratu Balqis yang akhirnya mampu dilakukan oleh pasukannya dan tampak dihadapannya apa yang dimintanya, maka beliau bersegera memerintahkan untuk menata diri kembali guna taat kepada Allah dan takut kepada-Nya serta tunduk dan patuh kepada Allah, Tuhan semeseta alam. “Maka ketika beliau melihat –singgasananya- hadir dihadapannya” beliau berkata: “Ini adalah bagian dari karunia Tuhanku”, maksudnya bahwa kemenangan dan kejayaan ini merupakan karunia dari Allah untuk mengujiku apakah aku bersyukut atau kufur
terhadapnya, karena bagi siapa yang bersyukur maka tidak akan kembali manfaat syukur tersebut kecuali terhadap dirinya sendiri, sehingga akan disempurnakan, dilestarikan dan mendapatkan tambahan. Adapun bagi siapa yang ingkar maka Allah Maha Kaya, Maha Dermawan yang tidak pernah mencegah karunia dan anugrah kepada siapapun [20]. 7. Tawadhu merupakan puncak kemuliaan dan kejayaan: bahwa nabi Sulaiman selalu tawadhu sehingga diceritakan bahwa beliau berjalan kaki sambil menundukkan kepalanya karena khusyu’ kepada Allah, dan disaat melakukan perjalanan bersama pasukannya dari bangsa jin, manusia dan burung, beliau melintasi lembah semut, dan karena beliau selalu menundukkan kepalanya ke bawah; beliau melihat semut, lalu beliau memperhatikan dengan seksama, dan mendengar teriakan raja semut, dan karena beliau mengetahui bahasa burung dan binatang lainnya maka beliau berusaha memahami apa yang terjadi terhadap semut, sehingga beliau menyadari bahwa bangsa semut sedang kocar-kacir dan ketakutan terhadap pasukan nabi Sulaiman yang akan melintas di tengah mereka. Dan nabi Sulaiman mendengarnya dan memahaminya”. ُْgَ Q َ ُْ َوهCُ ُ*ُ ُد0ن َو ُ َ3ْ'َُ+ ُْ%*َ3ِAْ-َ Q َ ُْ%َ*ُُِا ََآHْ اد2 ُ ْ3* َ اDٌ َ َأhَْ3َ ْ_َ َ"ن َ ُو “Berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”. (AnNaml:18). Semut adalah makhluk kecil di dalam kerajaan yang begitu besar, yang sedang bekerja seperti saudara yang lainnya mencari rizki, dan menasihati yang lainnya untuk membuka jalan dihadapan kendaraan raja yang adil, sehingga terjadi kezhaliman yang tidak disengaja oleh mereka. Imam Al-Qurtubi berkata: ”Perhatian seorang mukmin, yaitu keadilan nabi Sulaiman dan karunianya, dan keutamaan pasukannya yang tidak menginjak-injak pasukan semut dan yang diatasnya sekalipun kecuali karena mereka tidak menyadari dan tidak merasakannya [21]. Bahwa semut tersebut bukan apa-apa kecuali hanya bagian dari bangsa yang dilindungi oleh nabi Sulaiman dalam kerajaannya yang tergabung di dalamnya bangsa jin, manusia dan binatang yang beragam seperti burung dan semut serta yang lainnya. Nabi Sulaiman mendengar ucapannya dan memahami pengaduannya, sehingga beliau mendengar ucapan tersebut dan trenyuh hatinya terhadap bentuk semut yang kecil, dan pada akhirnya beliau memerintahkan kepada pasukannya untuk berhenti, dan beliau bersyukur kepada Allah yang telah mengajarkan kepadanya bahasa makhluk-makhluk lainnya, sehingga beliau mampu menguasai dan berbuat adil kepadanya. Dan sifat keadilannya begitu dikenal oleh seluruh makhluknya, sampai kepada semut yang meminta maaf lebih dahulu jika mereka terinjak-injak oleh pasukan nabi Sulaiman oleh karena tidak disengaja dan tidak terasa oleh mereka [22]. ب َأوْ ِز ل َر َ َ"َ َوDِ َْ" ً%ِ9َi َ َBَ8َ2 َ َ3ْ&ي َوَأنْ َأ <َ ِ َو&ََ وَا5 ََ& _ َ ْ3َْ َأ5ِ8 ` ا َ َ8َ3ِْ َ ُ%ْM َأنْ َأ5ِ*ْ& Cُ َiْ َ6 ً-ِ َ1 “Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) Perkataan semut itu. dan Dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai “. (An-Naml:19) Nabi Sulaiman menyadari bahwa dirinya – disisi Allah- membutuhkan akan rahmat, kasih sayang dan kelembutan melebihi kebutuhan semut darinya. Karena itu beliau berkata: َ 'ِ-ِ = ك ا َ َ ِدBِ& 5ِ ` َ ِ8َ3ْ9 َ ِ 5ِ*ِْHَْوَأد “Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. (An-Naml:19) ___________________________________ [1]. Ibnu Katsir, 4/40 [2]. Fi Dzilal Al-Qur’an, 5/2898 [3]. Lihat: Al-Hukm wat tahakum fi khitab al-wahyu, 2/587 [4]. Lihat: Dakwatu Sulaiman As. hal. 55-56 [5]. Lihat: Tafsir Al-Qurtubi, 13/177 [6]. Tafsir Ar-Rozi, 24/189 [7]. Lihat: Al-Hukm wat tahakum fi khitab al-wahyu, 2/593 [8]. Tafsir Al-Qurtubi, 13/189 [9]. Ibid. 13/190 [10]. Ibid. 2/594 [11]. Lihat: Ruhul Ma’ani, 24/195 [12]. Lihat: Al-Hukm wat tahakum fi khitab al-wahyu, 2/598 [13]. Ibid. 2/593 [14]. Tafsir Ruhul Ma’ani, 9/193 [15]. Lihat: Fi zhilal Al-Qur’an, 5/2638 [16]. Tafsir Al-Qurtubi, 13/180 [17]. Ibid. 13/184
[18]. Tafsir Ar-Razi, 24/193 [19]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/349 [20]. Lihat: Al-Hukm wat tahakum fi khitab al-wahyu, 2/600 [21]. Tafsir Al-Qurtubi, 13/170 [22]. Lihat: Al-Hukm wat tahakum fi khitab al-wahyu, 2/589
Serial Fiqh Kemenangan dan Kejayaan Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah (11):
Mendirikan Daulah; Kisah Nabi Daud AS Al-Ikhwan.net | 14 July 2008 | 11 Rajab 1429 H | Hits: 443 DR. Ali Muhammad As-Slaaby
Penterjemah:Abu Ahmad Diantara macam-macam tamkin (kejayaan) yang disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim adalah tercapainya para ahlu tauhid dan iman yang shahih menuju singgasana pemerintahan (kekuasaan) dan menguasai berbagai urusan negara. Al-Quran Al-Karim telah banyak menceritakan contohcontoh para pemimpin negara dan berhasil membimbing umat dengan syariat Allah, seperti nabi Daud as, nabi Sulaiman as, seorang pemimpin yang beriman dan seorang penakluk yang shalih, seorang pemimpin yang adil (Dzul Qornain), dan menjadikan mereka semua sebagai tauladan dan contoh yang menakjubkan bagi para ahlul iman sepanjang masa dan sejarahnya, sesuai dengan perputaran waktu dan zaman. Dan Al-Quran juga menjabarkan akan fenomena dan sisisisi penting dari usaha dan jihad yang mulia yang mereka lakukan yang bertujuan mencapai attamkin terhadap nilai-nilai yang mulia, prinsip-prinsip yang tinggi, budi pekerti yang luhur, akhlak yang terpuji yang terpancar dari keimanan kepada Allah dan hari akhir, jauh dari ambisi nasionalisme, fanatisme kesukuan, perseteruan rasial, pentahbisan tanah dan pemimpin. Bukanlah penaklukan dan kerja yang mulia mereka lakukan hanya bertujuan untuk meraih kepemimpin militer atau ghanimah perekonomian, perluasan kekuasaan atau ambigu apharteidisme yang membangkitkan cinta kekuasaan dan ambisi jabatan. Namun mereka terjun ke dalam perang dan memimpin pasukan hanya bertujuan untuk kemuliaan manusia dan membersihkan mereka dari kemusyrikan, auham (angan-angan) dan penyimpangan terhadap agama, menghilangkan manusia dari kezhaliman dan menegakkan keadilan, serta mengajak manusia kepada aqidah yang benar, manhaj yang bersih dan tashawwur (pandangan) yang robbani. Begitupun yang dilakukan nabi saw dan para khulafa setelahnya manjadi bagian dari contoh yang berhasil melakukan misi yang mulia diatas, dan untuk itu kita akan coba
menjabarkan fasal ini beberapa karakteristiknya, sebagaimana kita akan coba memunculkan sejarah Islam klasik dan kontemporer untuk memberikan beberapa contoh nyata –dengan izin Allah- untuk mengambil darinya pelajaran dan ibrahnya. 1. Tamkin Allah terhadap nabi Daud as dan nabi Sulaiman as a. Nabi Daud as Masa emas bani Israil dimulai dengan munculnya nabi Daud as dalam perang; saat Allah memuliakannya dengan berhasil membunuh Jalut, dan Al-Quran menjelaskan bahwa Daud adalah seorang mujahid dalam tubuh pasukan Thalut, dan merupakan salah seorang yang berhasil selamat dalam ujian yang berat yang ditetapkan oleh pemimpin pasukan pada suatu lembah, sehingga sebagian mereka ada yang jatuh dan sebagian lainnya ada yang selamat. Nabi Daud telah berhasil mengangkat bendera kemenangan dan syariat dalam mengembalikan tamkin bagi Bani Israil setelah berhasil membunuh Jalut, dan saat itu beliau masih muda namun berhasil mendapatkan kemenangan, sehingga terpatri dalam hatinya suatu kecintaan, terpancar baginya sendi-sendi keikhlasan, sehingga waktu pagi hingga sore menjadi bahan pembicaraan pada kalangan bani Israil. Terdapat dalam jiwanya kehormatan, kecintaan dan kemuliaan. Sehingga sejak saat itu mulai tampak cahaya kemenangan dari langit, berpindah dari satu keberhasilan menuju keberhasilan lainnya, dari kemenangan diiringi dengan kemenangan lainnya, sehingga akhirnya menduduki kekuasaan dan memiliki kerajaan dan tampil sebagai model hukum pada zamannya secara adil dan bijaksana. Beliau adalah sosok yang selalu bertaubat dan kembali kepada Tuhannya dengan ketaatan, ibadah, dzikir dan istighfar. Adapun manhaj taghyir pada masa nabi Daud AS adalah merupakan shira’ (pertempuran) dengan menggunakan senjata antara pembawa kekuatan kebaikan dan kejahatan, antara iman dengan kekufuran, antara petunjuk dan kesesatan. Sehingga dengan izin Allah dan secara realita, kebatilah menjadi hancur dan Bani Israil -saat itu- berhasil meraih kemuliaan dan kekuatan mereka. Namun yang harus diingat adalah bahwa nabi Daud selain menggunakan kekuatan dalam memperkokoh kekuasaannya. Disisi lain, dan ini yang menjadi inti kelanggengan suatu kekuasaan nabi Daud as dan umat setelahnya adalah adanya tasbih, dzikir dan ketaatan yang dilakukan oleh nabi Daud As. Bahwa nabi Daud selalu bertasbih pagi dan sore, sehingga gunungpun ikut berdzikir bersamanya mengiringi dzikir yang selalu dilantunkan oleh beliau, sebagaimana juga burung. Allah SWT berfirman: َ ل َ َBِPْ َْ ا:َ+ قِإ ِ ْ َاMu ِ وَا5 ِgَْ ِ َ ْ-Bَُ َُ “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama Dia (Daud) di waktu petang dan pagi”
Karena itu Allah SWT menganugrahkan kepadanya nikmat terbesar, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman: ب ِ َAِ:ْ ا2 َ ْ=ََ َوhَ3ْ%ِ-ْ اCُ َ*ْ'َ64ََُ و%ُْ ََْ َ<دMَو “Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan”. (Shaad:20) Maksudnya adalah bahwa Kami (Allah) telah memberikan kepadanya kerajaan yang sempurna dari seluruh kerajaan yang besar, karena itu musuh-musuhnya tidak mampu mengalahkannya karena beliau memiliki prajurit yang banyak dan penjagaan yang ketat. Dan seperti yang banyak diceritakan bahwa beliau memiliki ribuan pasukan yang saling bergantian dalam menjaga benteng, sehingga tidak bisa dipecahkan dan dikalahkan dalam berbagai peperangan apapun, sebagaimana juga -tentunya- adanya pertolongan dari Allah dan dukungan-Nya [1]. Allah berfirman: َ َ ََ& ْ ِBْ1ْ ِ< ِإُ َأوابٌاSَْ ْ َ<َ دَاوُو َد ذَا اBَ& ْ ُن وَاذْآ َ ُ ُ) “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan)”. Shaad:17) Bagi para pemerhati tentang kisah nabi Daud AS dalam Al-Qur’an Al-Karim, maka akan mendapati sifat-sifat yang mulia yang dimiliki oleh nabi Daud sehingga dapat dijadikan tauladan oleh orang yang beriman –terutama bagi seorang pemimpin- dalam rangka mewujudkan kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Adapun diantara sifat yang dimiliki nabi Daud adalah: 1. Sabar; karena itu pula Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad saw untuk bersabar seperti yang dilakukan oleh nabi Daud; yaitu kesabaran dalam menunaikan ketaatan kepada Allah. 2. Ubudiyah; bahwa Allah telah mensifati nabi Daud dengan firman-Nya “Abdana”, dan sifat ubudiyah kepada Allah merupakan misi paling mulia, sebagaimana Allah juga mensifati nabi Muhammad pada saat akan di mi’rajkan dengan “Abdahu”. Allah berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. (Al-Isra:1) Dan nabi saw saat menceritakan kisah tentang nabi Daud, pertama kali yang dijelaskan adalah tentang kemuliaannya dan kesungguhannya dalam beribadah. Nabi bersabda: Y اvvvvvv 'م إvvvvv= اbvvvvv9'م داود إن أ1, مk ة داود &' اk1 Yة إ اk= اb9وأ, 2' اx= آن *م, و*مV و)م ً A; وآن =م ً و+<+ “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa nabi Daud, dan shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalatnya nabi Daud, beliau tidur pertengahan malam, dan
bangun disepertiga mala, dan tidur di seperenamnya, sebagaimana beliau berpuasa satu hari dan berbuka pada satu hari lainnya”. (Muslim) 3. Kemampuannya dalam menunaikan ketaatan kepada Allah dan berhati-heti terhadap perbuatan maksiat. Seperti dalam firman-Nya : “Memiliki kekuatan” 4. Mengembalikan seluruh urusannya kepada Allah melalui ketaatan. Seperti dalam firman Allah: “Bahwa sesungguhnya dia (Daud) selalu kembali”, yaitu bersifat kuat dalam taat kepada Allah. Dan kata “kembali” merupakan petunjuk akan kesempurnaan ma’rifah beliau kepada Allah, sehingga menjadikan dirinya giat dalam beribadah diatas manhaj robbani yang lurus. 5. Bertasbihnya gunung dan burung bersamanya; “Sesungguhnya Kami menundukkan gununggunung untuk bertasbih bersama Dia (Daud) di waktu petang dan pagi. Dan (kami tundukkan pula) burung-burung dalam Keadaan terkumpul. masing-masingnya Amat taat kepada Allah”. (Shaad:18-19) Maksudnya adalah bahwa gunung-gunung ikut tunduk dan bertasbih bersamanya, mulai terbit matahari hingga penghujung petang, sebagaimana Allah berfirman: “(kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”. (Saba:10) Ibnu Katsir berkata: “Begitupun burung bertasbih dengan tasbihnya beliau, dan kembali dengan kembalinya beliau, burung bertasbih di udara, sehingga beliau mendengarnya sedang beliau asyik mengikuti bacaan kitab Zabur, dan gunung-gunung yang kokoh juga bertasbih bersamanya” [2]. 6. Kekohoan singgasana “dan Kami kokohkan kerajaannya”, maksudnya; Kami kokohkan kerajaannya dengan pasukan dan pengawal, dan Kami jadikan kerajaannya begitu sempurna dengan berbagai peralatan yang dibutuhkan oleh raja lainnya. 7. Hikmah (kebijaksanaan); “Dan Kami berikan kepadanya Hikmah”, maksudnya adalah Kami berikan kepadanya pemahaman, kecerdasan, akal, ilmu, keadilan, profesionalitas kerja dan hukum yang benar. 8. Mampu memberikan solusi yang baik dalam berbagai pertikaian “dan mampu menyelesaikan perselisihan”. Maksudnya adalah Kami telah memberikan kepadanya kepandaian dalam menyelesaikan perselisihan dalam suatu urusan dan keputusan hukum dengan membenarkan yang hak dan membatilkan yang batil, memberikan perjelasan secara singkat dan tepat melalui ucapan yang sedikit namun memiliki makna yang banyak” [3]. Dan secara thabi’i dalam sunah Allah, nabi Daud tetap berhadapan dengan berbagai ujian dan cobaan serta fitnah, namun Allah selalu melindungi beliau, membimbing langkah-langkahnya, dan tangan Allah selalu bersamanya dengan menyingkap kelemahannya dan kesalahannya, dan melindunginya dari jalan yang berbahaya dan mengajarinya cara melakukan antisipasi dan penanggulangan. Allah berfirman:
ب َ ْ َا-ِ3ْ ََ رُوا ا6 َْ=ْ ِ ِإذ:ْ اSَُBَ ك َ َ6ْ َأ2َُْ ِإ ` َوه%ْ9َ y ٍ َْ ََ& َ*ُWَْ َaَ ن ِ َ3ْ=َH ْxَ:َ6 Q َ ُْ "َ ُاDْ*ِ ع َ /ِ َ;َ َُا &ََ دَا ُو َدHذْ َد ََِا ِء ا = َاط+ َ ْ وَاهْ ِ<َ ِإpِAْgُ6 Q َ َ] َو-ْ ِ َ*َ*ْ'َ` ٌ َوhَPَْ 5 َ ِ ً َوhَPَْ ن َ ُِْ6ٌ َوnِْ6 َُ 5ِHن هََا َأ ِإ5ِ 5ِ/ َ&َ َوD'ِ*ِْ;ْل َأآ َ َ)َ ٌِ َ<ة9ا ب ِ َAِ:ْ ُْ &ََ َْ `اDُWَْ 5ِaْBَ'َ َ ِءAَُ:ْ ا َ ِ' ًاVَن آ ِِ َوِإ0َِ َ ` ِإ َ ِ8َPَْ ل ِ َاUُِ ` َ َ3ََ ْ<َ)َ ل َ َ" ُِا3َ&َ*ُا َو4 َ ِ اQ ِإy ٍ ٌُْ ه2'َِ"ت َو ِ َ-ِ = ب ا َ ََ رَاآًِ َوَأHْ;َ َ َرُ َوaَ8ْ+َ Cُ *َ8َ َ3 دَا ُو ُد َأ ََو “Dan Adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (Kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari Kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka Dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan Dia mengalahkan aku dalam perdebatan”. Daud berkata: “Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini”. dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. (Shaad:21-24) Adapun penjelasan fitnah ini bahwa nabi Daud adalah seorang raja, dan beliau mengkhususkan sebagian waktunya untuk urusan kerajaan, dan untuk penentuan hukum diantara manusia, waktu lainnya untuk berkhalwat dan ibadah kepada Allah, melantunkan anasyid ibadah dan bertasbih kepada Allah dalam mihrab khusus, dan jika beliau berada di dalam mihrab untuk beribadah dan khalwat, beliau tidak akan masuk sampai umat seluruhnya keluar darinya. Dan pada suatu saat beliau dikagetkan dengan dua orang yang masih berada di dalam mihrab yang tertutup, sehingga kedua orang tersebut terkejut. Keduanya berkata: kami sedang berselisih, dan terjadi kedzaliman diantara kami, sehingga kami datang untuk meminta keputusan darimu, dan kami meminta hukum kepada yang benar da keadilan, jauh dari kesalahan dan menunjukkan kami pada kebenaran. Maka salah seorang diantara keduanya menjelaskan inti permasalahannya bahwa saudaranya telah melakukan kezhaliman yang sangat jelas, maka nabi Daud pun terdorong hatinya untuk memutuskan hukum tanpa mendengar alasan dari yang lainnya. Dan setelah selesai dari menentukan hukum ditegaskan bahwa hukum tersebut tidak berlaku permanen, bisa saja orang yang pertama tadi adalah orang yang melakukan kezhaliman. Maka nabipun yakin bahwa peristiwa tersebut merupakan ujian dari Allah sehingga dia kembali pada tabiatnya yang semula dan memohon ampun kepada Allah, ruku dan bersujud kepada-Nya [4]. Dan sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa peristiwa tersebut merupakan kisah israiliyat yang dinisbatkan kepada nabi Daud sehingga menafikan kema’shumannya. Sementara itu para ahli sunnah sepakat bahwa para nabi seluruhnya adalah ma’shum dari dosa besar [5]. Dan syaikh Sa’di menyebutkan beberapa faidah agung dan hikmah yang banyak dari kisah nabi Daud AS.
1. Perlindungan Allah terhadap para nabi dan orang-orang pilihan-Nya, ketika terjadi di tengah mereka kesalahan berupa fitnah yang ditujukan kepada mereka, dan ujian yang dapat menghilangkan kehati-hatian, dan kembali kepada kesempurnaan seperti sedia kala sebagaimana yang terjadi pada diri nabi Daud. 2. Bahwa para nabi adalah ma’shum dari kesalahan terhadap apa yang Allah bebankan kepada mereka untuk menyampaikan risalah, karena maksud dari risalah tidak akan sampai kecuali dengan adanya kema’shuman. 3. Bahwa nabi Daud, pada keseluruhan hidupnya selalu komitmen dengan ibadah, hidupnya diserahkan untuk berkhidmah kepada Rabbnya. 4. Selayaknya menggunakan etika ketika masuk dan menghadap pejabat dan yang lainnya, karena kedua orang yang berselisih saat masuk menghadap nabi Daud pada kondisi yang bukan biasa, dan bukan dari pintu yang sebenarnya sehinnga membuat dirinya terkejut dan melihatnya bukan dengan pandangan yang layak. 5. Bahwa tidak dilarang seorang hakim memutuskan hukum dengan benar tanpa adanya etika orang yang mengadu dalam suatu permasalahan dan perbuatan yang tidak layak (sopan). 6. Sempurnanya kelembutan hati nabi Daud, karena beliau tidak marah terhadap dua orang yang berselisih dan tidak memiliki etika, yaitu saat keduanya datang tanpa seizinnya lebih dahulu, padahal beliau adalah seorang raja, namun beliau tidak membentak dan mencelanya. 7. Dibolehkan seseorang yang dizhalimi mengatakan kepada orang yang menzhaliminya : ”Engkau telah zhalim kepadanya”, atau wahai yang zhalim kepada saya. Seperti firman Allah: “Dua orang yang berselisih saling mengungkapkan kezhalimannya”. 8. Bahwa orang yang diberi nasihat sekalipun usianya sudah lanjut, memiliki ilmu dan kedudukan, jika diberi nasihat oleh seseorang tidak boleh marah dan kesal, namun hendaknya menghormati dan menghargainya. 9. Bahwa bercampur dengan kerabat dan sahabat, dan interaksi dengan harta dunia dapat mengakibatkan terjadinya permusuhan, terjadi saling curiga dan zhalim, dan hal tersebut tidak bisa mengembalikan mereka pada kebenaran kecuali dengan taqwa dan sabar terhadap berbagai perkara dan diirigi dengan iman dan amal shalih. 10. Bahwa istighfar dan ibadah khususnya shalat dapat menghapus dosa dan kesalahan, karena Allah mengurutkan ampunan terhadap dosa nabi Daud melalui istighfar dan sujudnya (shalatnya) [6]. 11. Amanah Khilafah yang diberikan Allah kepada nabi Daud. Allah berfirman: ِWُ'َ ََىDْ اnِ ِB8َ6 Q َ ] َو َ-ْ ِ س ِ * ُْ َ'َْ ا%ْ9َ ض ِ ْرO َ ا5ِ ًhَ;'َِH ك َ َ*ََْ0 َ دَا ُو ُد ِإ2 ِ 'ِBَ+ َ& ن َ ِWَ َ ِ ن ا ِ إY ِ ا2 ِ 'ِBَ+ َ& ` َ <ُ ِ<َM ٌُْ &ََابDَ Y ِ با ِ َِ-ْ َ َُا َْ َم ا3ِ
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. 12. Allah berbicara dengan nabi Daud dengan mengangkatnya sebagai pemimpin diantara manusia di muka bumi ini, sehingga beliau mempunyai jabatan dan kekuasaan, dan manusia wajib untuk mendengar dan taat kepadanya, kemudian Allah menjelaskan kaidah-kaidah dalam meraih kekuasaan sebagai pelajaran bagi seluruh manusia; 1. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia; Maksudnya adalah putuskanlah suatu hukum diantara manusia dengan adil yang dengannya mampu menegakkan langit dan kitab, dan ini merupakan kaidah utama dan sangat penting dalam suatu pemerintahan. 2. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu; maksudnya adalah dalam memutuskan suatu hukum jangan cenderung pada hawa nafsu atau oleh sebab adanya ketamakan duniawi, karena mengikuti hawa nafsu dapat menggelincirkan dan menjerumuskan manusia kepada neraka. Karena itu Allah berfirman setelah “Sehingga kamu akan sesat dari jalan Allah”, maksudnya karena mengikuti hawa nafsu menyebakan diri terjerumus pada kesesatan dan penyimpangan dari kebenaran dan berakibat pada kehinaan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. Maksudnya adalah bahwa orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan keadilan akan mendapatkan azab yang pedih pada hari kiamat dan hari hisab, oleh karena kealpaan mereka terhadap kondisi yang menakutkan pada hari tersebut, dan apa yang terdapat di dalamnya hisab yang pedih dan detail terhadap setiap insan, dan juga, oleh karena mereka meninggalkan pekerjaan untuk berlaku adil dalam hukum. Dan pelajaran pada tema ini adalah wasiat Allah kepada para pemimpin dan penguasa untuk berhukum diantara manusia dengan cara yang benar dan tidak menyimpang darinya sehingga tersesat dari jalan Allah, dan Allah telah memberikan ancaman bagi siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan lupa akan adanya hari hisab dengan ancaman yang pasti (azab yang pedih) dan hisab yang mengerikan [7]. Ayat mulia diatas menjelaskan bahwa hukum diantara manusia merupakan bagian dari agama yang telah dilakukan oleh para utusan Allah, dan merupakan ciri bagi setiap makhluknya, dan bahwasannya kewajiban dan tugas seorang penegak hukum adalah memutuskan hukum dengan cara yang benar dan menjauhi dari hawa nafsu. Dan berhukum dengan cara yang benar menuntut adanya ilmu tehadap perkara-perkara syar’iyyah, memahami gambaran permasalahan hukum secara detail, dan memahami bagaimana memasukkannya ke dalam hukum syar’i. karena seorang yang tidak memahami akan salah satu permasalahan tidak mampu memberikan kebenaran terhadap suatu hukum, dan tidak berhak menjadi seorang hakim (pemimpin). Dan juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus berhati-hati dari hawa nafsu, dan harus bisa menjaga jarak darinya, karena setiap jiwa tidak bisa lepas darinya; bahwa hendaknya seorang
pemimpin harus bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu tersebut sehingga kebenaran yang diinginkan dapat tercapai [8]. Anugrah dari Allah berupa keberkahan, penaklukan dan ilham. Bahwa nabi Daud memiliki banyak anak, namun Allah SWT memberikan kekhususan kepadanya seorang anak yang salih; seorang yang kelak menjadi nabi dan raja; yaitu Sulaiman AS, dan dalam kitab-Nya Allah memujinya karena sebagai seorang hamba yang selalu bertaubat kepada Allah, taat beribadah dan mohon ampun dalam berbagai kegiatan dan aktivitasnya. Dan diantara keutamaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya; nabi Daud as adalah dibarikan karunia nabi Sulaiman yang menjadi pewaris kerajaan dan kenabian. Allah berfirman: ٌْ ُ< ِإُ َأوابBَْ ن ِْ َ ا َ َ3ْ'َُ+ ْ*َ ِ<َا ُو َدBََو َوه “Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya)”. (Shaad:30) Allah telah memberikan kemuliaan kepada nabi Sulaiman berupa kerajaan dan kenabian serta pemahaman yang mendalam, pendapat yang tajam dan akal yang cerdas. Adapun yang menunjukkan kemuliaan tersebut adalah firman Allah: َ ِ<َِهM ِْDِ3ْ%ُ-ِ *َُ*َ ُ ا ْ)َْ ِم َوآc ِ'ِ ْ_َgَ;َ ْث ِإذ ِ ْ َ-ْ ا5ِ ن ِ َ3ُ%ْ-َ َْنَ ِإذ3ْ'َُ+ن َوآُ ` َودَا ُو َد َو َ َ3ْ'َُ+ َْ*َه3Dَ;ًَ3ِْ&ً َو3ْ%ُ9 َ*ْ'َ64 k I “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya. Menurut riwayat Ibnu Abbas; bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka yang Empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang Empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan Sementara kepada yang Empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. dan orang yang Empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat [9]. Para ulama mengambil intisari dari dua ayat diatas beberapa masalah penting, diantaranya adalah:
1. Dibolehkannya seorang hakim menarik kembali hukum yang telah diputuskan, jika tampak ada keputusan lain yang lebih tepat, karena nabi Daud telah menarik kembali keputusannya dan mengikuti apa yang telah diputuskan oleh nabi Sulaiman. 2. Para Fuqaha berpendapat bahwa kebenaran hanya ada satu dalam silang pendapat para mujtahidin, bukan berarti semuanya benar atau tepat. Seperti dalam dalil disebutkan “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)” dikhususkannya kepada Sulaiman pemahaman, karena jika semuanya benar maka pengkhususan terhadap pemahaman ini tidaklah tepat [10]. Kecerdasan nabi Daud dalam membuat senjata Allah berfirman: َ*ْ3َ&ن َو َ َآِ ُوM ُْ8ْْ َأ2َDَ ُْ%ِ+ْSَ ُ%َ*ِ=ْ-ُ8ِ ُْ% س ٍ ُBَ َhَْ*َ1 Cُ “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”. (Al-Anbiya:80) Nabi Daud -pada saat itu- merupakan orang yang pertama kali menggunakan dan membuat tameng berupa baju besi, dan mengajarkannya kepada umat manusia, karena itu beliau adalah merupakan orang yang pertama kali menciptakan dan membuat baju besi untuk dijadikan tameng dalam perang. Hal tersebut menjadi sebuah nikmat bagi seluruh pasukan perang hingga saat ini dan akan datang, sehingga Allah memerintahkan umat untuk bersyukur terhadap nikmat tersebut. Karena itu Allah berfirman: “Maka apakah kalian mau bersyukur” maksudnya atas kemudahan adanya nikmat membuat baju besi untuk kalian, dan hendaknya mentaati Rasululah terhadap apa yang diperintahkan olehnya. Ayat diatas menunjukkan dibolehkannya menggunakan peralatan dan berbagai saranan sebagai sebab, karena hal tersebut merupakan sunnatullah dalam ciptaan Allah; yaitu kesaksian untuk para pekerja, orang yang memiliki keahlian dan industry bahwa pekerjaan merupakan kemuliaan, memiliki keahlian merupakan kehormatan. Dan ayat diatas menunjukkan motivasi kepada orangorang yang beriman untuk bekerja, berkreasi dan membuat berbagai sarana yang dapat digunakan sebagai sebab-sebab kemenangan terhadap musuh, memerangi kerusakan dengan mempersiapkan pasukan dengan membekali nilai-nilai keimanan dan ajaran-ajaran dari yang Maha Rahman serta syariat agama. Allah SWT berfirman: <َ ِ<َ-ْ ن َ=ِ' ٌ ` َوَأ َ* َُ ا َ َُ3َْ6 َ3ِ 5ً ِإ-ِ َ1 َُا3ْ& ا ْ ِد وَا5ِ ْت َو"َ <ر ٍ َaَِ+ ْ2َ3ْ&ن ا ِ َأ “Dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan”. (Saba’:10-11)
Hal tersebut merupakan anugrah Allah diatas anugrah lainnya yang berupa kerajaan dan kekuasaan, diiringi dengan kenabian dan keikhlasan, sesungguhnya Allah memberikan nikmat atas hamba-Nya nabi Daud dengan melunakkan besi baginya atau mengajarkannya bagaimana melunakkan besi yang merupakan sarana memakmurkan bumi, pembangunan dan industri, dan tentunya urgensi besi sangat penting sekali dalam pembangunan peradaban dan pembangunan negara dalam menuju kemenangan. DR. Imaduddin Khalil berkata:”Dalam surat Al-Hadid kita sering membaca ayat ini: 'ِ3ْ ب وَا َ َ8ِ%ْ ُ ُ اDََ َ*ْ /َ ْت َوَأ ِ َ*'َBْ ِ َ*َُ+َْ*َ ُر+ْ َ)َ<ْ َأرY ُ س وَ ِ'ََْ َ ا ِ *ِ nُ َِ*ََ<ِ<ٌ َوM ٌْسSَ ِ'ِ <َ ِ<َ-ْ ْ*َ ا/َ ِْ َوَأpِْ)ْ ِ س ُ * ن ِ'َ)ُ َم ا َ َا/ ٌ/ِ/َ& ي | ِ َ" Y َ نا ِإb ِ ْ'َaْ ِ َُُ+ َو ُرCُ ُ ُ=ْ*َ َ “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”. (Al-Hadiid:25) Apakah ada banyak dalil yang menunjukkan hubungan muslim dengan negerinya dari nama surat yang lengkap; nama besi dan memiliki urgensi yang penting? Apakah ada sarana lain untuk memberikan kepuasan dalam melakukan perbaikan peradaban, kreasi dan pembangunan, yang dibawa oleh Islam untuk menjadikannya sebagai bagian yang asasi dari akhlak dan prilakunya di dalam jantung dunia. Dari ayat ini menjelaskan akan pentingnya besi sebagai nikmat terbesar yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya, dan menjelaskan kepadanya masalah dalam dua sisi yang selalu bersinggungan dengan besi; (besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat) yaitu dengan menggunakan besi sebagai senjata utama dan persiapan pasukan, dan; (berbagai manfaat bagi manusia), yang dapat dirasakan oleh manusia dari besi dalam berbagai aktivitas dan pembangunan dan (perdamaian) ? apakah ada banyak kebutuhan untuk menegaskan akan urgensi yang lebih terhadap besi dalam perjalanan masa, dalam permasalahan damai dan perang, dan hal tersebut selalu terjadi dalam sejarah kita sebagai salah satu wasilah dari wasilah-wasilah penting lainnya dalam berbagai medan kekuatan negara baik dalam keadaan damai dan perang? Bahwa negara kontemporer yang memiliki besi akan mampu menggetarkan musuh-musuhnya karena dengannya dapat dibuat senjata yang berat… dan mampu –juga- melakukan langkah lebih banyak dan luas agar mampu bersaing dengan negara-negara industry-industri besar yang berasal dari besi yang dapat dibuat dan digunakan sebagai tiang-tiang yang kuat dan kokoh [11]. Sesungguhnay Allah menganugrahkan besi kepada Daud dan mengajarkan kepadanya bagaimana melunakkannya, karena faidah besi dapat terwujud dengan adanya kemampuan melunakkan dan membentuknya, dan hal tersebut –tentunya- dapat membantu pembangunan peradaban yang besar yang menyatukan antara manhaj Robbani dan pembangunan industry.. etc. Dan jika kita renungkan kembali dalam ayat tentang besi maka akan kita dapatkan intervensi yang mendalam dan hubungan yang kuat antara ayat tentang besi, dan hadirnya para utusan dan turunnya kitab bersama mereka, membangun keseimbangan yang detail untuk menebarkan
keadilan di tengah umat manusia, dan antara diturunkannya besi yang terdapat di dalamnya sumber kekuatan, kemudian penegasan bahwa itu semua datang “agar supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya dan Allah Maha kuat dan perkasa”. Bahwa seorang muslim Robbani tidak akan mampu memberikan perlindungan setelah kekuatan dari Allah kecuali melalui tangan yang beriman, yang memahami bagaimana mencari besi, membentuk dan mempegunakannya secara baik untuk dapat melindungi akidah dan kemajuan peradaban melalui agama Islam, dan mewujudkan kemenangan bagi orang-orang yang beriman, serta menghadirikan daulah Islam yang menerapkan hukum syariat Allah. Karena itu Allah berfirman: “Dan Kami lembutkan untuknya besi”, sehingga terdapat di dalamnya akan pentingnya besi dan bagaimana memfungsikannya untuk kepentingan Islam. __________________________________ [1]. Lihat: Tafsir Al-Qurtubi; jil. 15, hal. 162 [2]. Tafsir Ibnu Katsir; jil. 4, hal. 29 [3]. Lihat: Tafsir Al-Munir, Wahbah Zuhaili; jil. 23, hal. 182-185 [4]. Lihat: Qishash Ar-Rahman fi Zhilal Al-Qur’an; jil. 4 hal, 35-36 [5]. Lihat: Tafsri Al-Munir; jil. 23, hal. 190 [6]. Lihat: Tafsir Al-Sa’di yang diringkas pada satu jilid, hal. 559-560 [7]. Lihat: Tafsir Al-Munir; jil. 23, hal. 188 [8]. Lihat: Tafsir Al-Sa’di yang diringkas pada satu jilid, hal. 560 [9]. Lihat: Tafsir Al-Munir; jil. 17, hal. 106 [10]. Ibid. hal. 105 [11]. Tafsir Al-Islami li Tarikh, hal. 221-222