B. Kajian Tentang Perkawinan Untuk mempertajam pembahasan mengenai perkawinan khususnya yang terkait dengan perkawinan beda agama, maka pokok bahasan di atas dibagi menjadi beberapa sub bahasan berikut : 1. Filosofis Perkawinan Dalam Islam Pembahasan ini dimaksudkan untuk melihat secara lebih mendalam mengenai apa yang seharusnya dicapai dari sebuah perkawinan dalam ajaran islam. Ikatan perkawinan ditandai dengan sebuah aqad (perjanjian) yang kuat (mitsaqan galizha). Akad nikah adalah perjanjian yang melibatkan Allah, jadi bukan perjanjian biasa. Firman Allah dalam Surah al- Nisa ayat 21 : "Bagaimana kamu akan mengambilnya kembalii, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". Pernikahan sekilas adalah aktivitas duniawiah belaka, namun dalam Islam nikah merupakan ibadah yang secara tegas dinyatakan sebagai sunnah Rasulullah SAW. Sabda Rasulullah SAW : "Tiga golongan yang berhak ditolong Allah : pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau unasi pembayarannya dan orang kawin karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram". Dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk melaksanakan ajaran Islam dalam memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya yang diselenggarakan dalam suasana saling mencintai (mawadah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Filosofis perkawinan dalam Islam itu dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sacral, karena bermula dari perjanjian khusus yang melibatkan Allah, karenanya segala sesuatu yang berkenaan dengannya diatur secara khusus dan lengkap. 2. Perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antara kedua lawan jenis yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium, dan hubungan intim.
3. Perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, secara legal dan bertanggung jawab, karena tanpa adanya regenerasi populasi manusia di bumi ini akan punah. 4. Perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, k 1arena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri yang semula merupakan orang lain dan asing, kemudian menjadi bersatu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis (sakinah) 5. Perkawinan memiliki dimensi sosiologis, yakni dengan perkawinan seseoarng memiliki status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh Disisi lain, mengakibatkan lahirnya anak-anak, yang secara naluriyah memerlukan pemelihara dan pelindung yang sah, yakni kedua orang tuanya. Orang tua (ayah dan ibu) anak inilah yang bertanggung jawab atas perkembangan fisik dan psikis anak-anak, terutama pada saat mereka sebelum menginjak usia dewasa, agar di kemudian hari mereka menjadi generasi penerus umat manusia yang berkemampuan untuk membangun planet bumi ini. Dengan demikiam, dalam Islam perkawinan bukan saja persoalan biologis belaka, dan bukan pula persoalan dan hubungan pribadi sepasang suami isteri, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis, bahkan merupakan persoalan teologis. Islam mengkonkritkan hubungan dan tanggung jawab antara suami isteri dalam bentuk hukum-hukum, misalnya tentang kewajiban dasar suami untuk memenuhi anak. Islam juga mengatur hak yang seimbang dengan kewajiban, antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan seksual dari pasangannya. Di samping itu, Islam mengajarkan eetika yang harus diikuti oleh masing-masing, serta menetapkan larangan-larangan yang harus dihindarkan oleh masing-masing suami isteri, agar keharmonisan dapat terjaga selamanya. Bahkan diajarkan pula jalan keluar jika terjadi perselisihan antar suami isteri, agar mereka terhindar dari perceraian. Meskipun perceraian dihalalkan sebagai jalan terakhir jika keduanya tidak dapat dipersatukan lagi, tetapi perceraian merupakan perbuatan tercela. Sabda Rasulullah SAW :
"Barang halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian" Pengetatan perceraian ini mengandung hikmah yang sangat dalam, karena jika percraian dengan mudah dilaksanakan atau bahkan berulang kali, mala nilai sakralitas perkawinan akan berkurang. Bahkan perceraian akan menjadi andil yang cukup besar pada munculnya problema kehidupan anak-anak yang ditinggalkan oleh salah satu dari orang tua mereka. 2. Kajian Islam mengenai Non Muslim Dalam beberapa pembahasan istilah non muslim biasanya diungkapkan dengan menggunakan istilah "kafir", jamaknya kafirin atau kuffar. Secara terminologis pengertian kafir adalah orang-orang yang ingkar (menolak/tidak mengakui) terhadap kebenaran Islam dan keluar dari agama Islam Sesuai Firman Allah dalam Surah al-Nahl ayat 106 "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)". a. Non muslim dalam perkawinan Ada 2 kriteria non musim dalam perkawinan, yang disebutkan dalam al-Qur'an yaitu musyrik dan ahli kitab. Musyrik adalah pihak yang dilarang al-Qu'ran untuk dikawini oleh seorang muslim sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 221, dan Surah alMumtahanah ayat 10. Menurut Muhammad Abduh, musyrik yang dilarang dinikahi adalah musyrik dilingkungan tanah Arab saja, pendapat ini beliau kutip dari pendapat Ibnu Jarir al Tabari. Walaupun larangan mengawini orang musyrik itu adalah orang musyrik di tanah Arab, karena saat ayat diturunkan tujuannya adalah musyrik tanah Arab, tetapi juga berlaku umum untuk semua orang selain yang beragama Islam dan ahli kitab.Ibnu katsir berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik disini adalah penyembah berhala dan di khususkan (dikeluarkan dari pengertian musyrik) adalah ahli kitab. b. Gambaran tentang ahli kitab Gambaran tentang ahli kitab yang hidup pada masa Rasulullah SAW perlu diketengahkan, mengingat tenggang waktu antara zaman rasul dengan saat ini sangat jauh, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan yang signifikan dalam agama Nasrani sangat dimungkinkan. Apalagi tempat antara tanah Arab dengan
bumi Indonesia juga amat jauh, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan kendati dalam waktu yang bersamaan juga dimungkinkan. Di Indonesia secara formal hanya ada penganut Nasrani (Katholik dan Kristen), penganut Yahudi secara formal belum dikenal di Indonesia. Walau demikian banyaknya orang Indonesia yang berkiprah di luar negeri lebih memungkinkan terjadinya persentuhan bahkan perkawinan antara seorang muslim Indonesia dengan penganut agama Yahudi. Secara harfiah Yahudi dan Nasrani dipandang sebagai ahli kitab, tetapi dalam perkembangan berikutnya setelah kehadiran Islam, namun mereka tetap dalam keyakinan semula. Atau bahkan memasuki agama Yahudi dan nasrani setelah tersebarnya Islam,oleh Ibnu Umar tidak lagi dipandang sebagai ahli kitab yang boleh dinikahi lelaki muslim, melainkan sebagai orang musyrik yang dilarang menikah dengannya. c. Kondisi Kemasyarakatan yang harus dipertimbangkan Kondisi masyarakat menjadi penting untuk dipertimbangkan karena perkawinan dalam Islam bukan sekedar hubungan antara suami dengan isteri, tetapi juga berdampak bagi masa depan dan pendidikan anak-anaknya, bahkan juga melibatkan dan mempengaruhi masyarakat disekitarnya. Kondisi kemasyarakatan terus berkembang, karena itu hukum yang penetapannya terkait dengan perkembangan kehidupan masyarakat harus dinamis, sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Memelihara agama baik bagi perorangan maupun masyarakat menjadi kewajiban semua pihak. Karena memelihara agama menjadi salah satu tujuan hukum Islam disyariatkannya agama Islam kepada umat manusia. Perubahan hukum karena perubahan masyarakat, bukan dimaksudkan agar hukum mengikuti apa yang terjadi, tetapi agar hukum dapat mengatur dan membatasi masyarakat. Agar masyarakat tidak keluar dari koridor yang diajarkan Allah, agar hukum dapat melindungi masyarakat dari kerusakan. Walau pada dasarnya menikahi wanita kitabiyah dibolehkan, namun ketika zaman telah berubah dan kerugian mengancam kehidupan umat Islam, Umar bin Khattab melarang laki-laki muslim menikahi ahli kitab. Tindakan ini diambil Umar dengan pertimbangan : 1. Anak-anak mereka paling sedikit akan terpengaruh dengan agama ibunya. Umar menganggap isteri yang beragama ahlulkitab adalah batu sandungan bagi kelangsungan rumah tangga, dikhawatirkan aka nada pertentangan dalam rumah tangga mereka.
2. Hal itu akan menyebabkan wanita muslimah tidak laku nikah karena khabisan kavling, dan memberikan angin segar kepada wanita ahlulkitab. 3. Kawin Beda Agama Dalam Teori dan Praktek Telah terjadi perkawinan beda agama jauh sebelum adanya larangan yang tegas dari Kompilasi Hukum Islam. Bahkan ketika pasangan beda agama mengalami kendala pencatatan di tanah air, ada kecenderungan mereka melakukan perkawinannya di luar negeri. Tulisan ini bukan menyajikan hasil penelitian lapangan, namun untuk menggambarkan adanya konteks antara tulisan dengan realitas kemasyarakatan, maka beberapa kasus yang telah terungkap melalui berbagai media dicoba diketengahkan. Pembahasan ini dibagi dalam beberapa sub bahasan sebagai berikut : a. Teori yang berkenaan dengan kawin beda agama Pada dasarnya semua agama menolak perkawinan beda agama. Semua agama menghendaki perkawinan harus seiman (satu agama). Perkawinan beda agama kalaulah diperkenankan oleh agama tertentu sangat terbatas. Hanya sebagai pengecualian yang diberikan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.. Islam mengajarkan umatnya agar hidup lurus dalam hidayah Allah. Jauh dari kesesatan karena godaan setan, jin maupun manusia. Untuk itulah maka seorang muslim dilarang menikah dengan orang musyrik (Surah Al-Baqarah ayat 221). Dalam Surah AlMumtahanah, Allah melarang kawin dengan orang kafir. Pada ayat 10 ditegaskan larangan mengembalikan wanita islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah kepada suami di Makkah yang musyrik. Wanita Islam tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir/musyrik, dan suaminya tidak halal baginya. Dalam Islam satu-satunya kemungkinan adalah karena adanya pendapat yang memperbolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita kitabiyah. Kehalalan menikahi wanita kitabiyah ini menjadi masalah khilafiyah skitar batasan mengenai wanita ahli kitab dan hokum menikahinya. Pendapat yang memperbolehkannya mensyaratkan bahwa pernikahannya dilaksanakan dengan suatu "aqad". Ibnu Rusyd menulis aqad dengan ma'rifah (menggunakan alif lam) menunjukkan bahwa aqad tersebut adalah aqad nikah yang diajarkan Islam. Konsekwensi dari perkawinan ini menempatkan pihak isteri yang kitabiyah mendapatkan segala haknya sbagai isteri, namun kedua belah pihak tidak mempunyai hak saling mewarisi. Karena hak waris
dalam Islam harus seagama antara ahli waris dengan pewarisnya. Perkawinan seperti ini ternyata mengandung problema keadilan dalam kewarisan. Agama Kristen Katolik secara tegas menyatakan, "Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain adalah tidak sah" (Kanon : 1086). Gereja memberikan dispensasi dengan persyaratan yang ditentukan hukum gereja. (Kanon: 1125). Dispensasi dalam realisasinya diberiakan oleh Uskup setelah memenuhi persyaratan tertentu, dan kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis yang berisi : Pertama : Yang beragama Katolik berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Kedua : Yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik melaksanakan imannya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik. Agama Kristen Protestan mengajarkan kepada umatnya mencari pasangan hidup yang seagama. Menyadari adanya kehidupan bersama dengan umat lain, maka gereja tidak melarang penganutnya melangsungkan perkawinan dengan 0rang-orang yang bukan beragama Kristen. Perkawinan beda agama dapat dilangsungkan di gereja menurut hukum Gereja Kristen apabila pihak yang bukan beragama Kristen menyatakan tidak keberatan secara tertulis. Gereja Kristen Indonesia telah mengatur perkawinan beda agama yang bersifat rinci, dengan kesediaan pihak bukan Kristen untuk menikah di Gereja dan anak-anaknya dididik secara Kristen. Dalam agama Hindu, sustu perkawinan dapat disahkan jika mempelai itu telah penganut agama lain dilarang dalam agama Hindu. Menurut hukum Hindu, suatu perkawinan hanya sah kalau dilaksanakan upacara suci oleh Pedende, dan Pedende hanya mau melaksanakan upacara pernikahan kalau kedua calon pengantin beragama Hindu. Perkawinan orang Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Pedende tidak mungkin memberkati atau menyelenggarakan upacara perkawinan kalau kedua mempelai berbeda agama. Jika kedua mempelai, berbeda agama, pedende tidak dapat memberkati, kecuali pihak yang bukan Hindu telah di suddhi-kan (disahkan) sebagai pemeluk agama Hindu, dan menandatangani Sudi Vadhani (surat pernyataan masuk agama Hindu). Agama Budha sebagai ajaran yang lebih banyak memperhatikan ajaran dan amalan moral dengan menitik beratkan pada kesempurnaan diri manusia, tidak mengatur secara khusus perkawinan beda agama. Agama Budha tidak membatasi umatnya untuk kawin
dengan penganut agama lain menurut hukum yang berlaku. Penganut agama Budha di India tunduk pada aturan hukum perkawinan Hindu (Hindu Marriage Act 1955). Dalam praktik penganut agama Budha mengukuti ketentuan hukum yang berlaku setempat (hukum adat, atau hukum Negara yang berlaku). Dari uraian mengenai teori perkawinan beda agama di atas, dapat disimpulkan : 1. Tiap agama mempunyai pengaturan tersendiri mengenai kawin antara penganut agamanya dengan penganut agama lain. 2. Hukum Islam mengatur secara eksplisit ketentuan perkawinan beda agama, namun di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat disebabkan perbedaan persepsi terutama pada ayat 5 Surah Al-Maidah 3. Hukum Katolik tidak membolehkan perkawinan beda agama, ia hanya dapat diizinkan apabila diizinkan oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. 4. Gereja Kristen/Protestan membolehkan perkawinan beda agama, dengan menyerahkan problemanya pada umat atau pada hukum nasional masing-masing 5. Hukum Hindu melarang dan tidak memberi jalan keluar kecuali dengan masuk agama Hindu (disudhi-kan) 6. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan bda agama, penganut agama Budha menaati hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat, hukum Negara). b. Perkawinan beda agama dalam praktek Tanpa membedakan antara perkawinan beda agama yang memungkinkan diakui berdasarkan pendapat tertentu di kalangan Islam, maupun yang sama sekali tidak memungkinkan mendapat pengakuan, terdapat gambaran bahwa perkawinan beda agama cenderung mengalami peningkatan, baik secara nasional maupun regional/local. Di Banjarmasin antara bulan Juli-Desember 1978 terjadi 3 kasus perkawinan beda agama yang salah satu pasangannya beragama Islam. Kasus yang sama di tahun 1979 yang terjadi antara bulan Januari-Agustus terdapat 6 kasus. Kalau pada tahun 1978 terjadi 0.50 kasus perbulan, maka pada tahun 1979 terjadi 0.75 kasus perbulan. Suatu perkembangan yang cukup signifikan. Di DKI Jakarta perkawinan beda agama menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1974 ada 10 kasus, tahun 1979 ada 80 kasus, tahun 1980 ada 99 kasus, dan pada tahun 1985 ada 617 kasus. Pada tahun 1984 Keuskupan Agung Jakarta terjadi perkawinan beda agama sebanyak 2.035 kasus, 163 (8.01 %) di antaranya salah satu pasangannya beragama Islam. Sementara perkawinan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita kitabiyah yang terjadi pada Kantor Urusan Agama
(KUA) di Jakarta relatif kecil. Tahun 1986 terjadi 19 kasus, 1987 terjadi 25 kasus, 1988 terjadi 32 kasus, 1989 terjadi 42 kasus, dan 1990 ada 30 kasus. Selain di KUA, pada Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta juga berlangsung perkawinan beda agama antara lelaki muslim dengan perempuan non muslim. Ada 90 pasangan apada tahun 1985, dan t9 pasangan pada tahun 1986 yang seyogyanya menikah di KUA melaksanakan nikah di KCS . Banyaknya lelaki muslim yang ingin kawin dengan wanita non Islam yang pergi ke KCS untuk menikah mendorong MUI DKI Jakarta mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan lelaki muslim menikahi wanita ahli kitab yang dilaksanakan di hadapan KUA. Fatwa MUI DKI Jakarta ini diikuti oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Kanwil Depag DKI Jakarta, sehingga merubah sikap para PPN dan KUA dalam melayani perkawinan beda agama. Namun, dengan keluarnya KHI yang melarang perkawinan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita non muslim yang dipahami sebagai peraturan perundang-undangan, maka pelayanan hukum perkawinan beda agama di KUA terhenti. Akibatnya adalah adanya upaya hukum untuk pelaksanaan perkawinan pasangan beda agama di luar negeri. Pelaksanaan perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita kitabi menurut hukum Islam dengan wali hakim. Namun ada perkawinan lelaki muslim dengan wanita kitabi di KUA Pasar Minggu dengan wali nikah ayahnya yyang Nasrani. Pelaksanaan dengan wali nikah ayahnya yang Nasrani ini didasarkan pada pendapat yang terdapat dalam kitab Bijuri dan al-Mahalli. c. Akibat hukum yang timbul dari kawin beda agama Perkawinan beda agama berpotensi melahirkan persoalan hukum berikut 1. Soal keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antar suami isteri. Hak isteri terhadap nafkah dan harta bersama sepenuhnya tergantung kepada ada tidaknya perkawinan yang sah sebagai alas hukumnya. Begitupula dari perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah mempunyai hubungan hukum hanya dengan ibunya. Dengan demikian segala hak anak terhadap bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh hukum. Hak pemeliharaan terhadap anak yang dimiliki orang tuanya, hanya akan dapat diperoleh apabila orang tua memiliki status perkawinan yang sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah memiliki bukti otentik berupa Buku Nikah, dapat diajukan pembatalan dengan alas an bahwa pernikahannya tidak sah. Karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama.
2. Hak kewarisan antara suami isteri dan anak-anaknya. Sekiranya keabsahan perkawinan pasangan beda agama tidak dipersoalkan. Dan dianggap keduanya telah terikat dalam perkawinan yang sah. Begitupula status anak-anaknya dengan sendirinya juga dianggap sah, namun hak kewarisan di antara mereka tidak ada. Perbedaan agama menggugurkan hak saling mewarisi. Bila persoalan kewarisan di atas dilihat dari aspek keadilan, maka larangan kawin beda agama jelas lebih melindungi hak kewarisan masing-masing. Anak-anak tidak mungkin beragama kembar, karena agama adalah persoalan keyakinan. Konsekwensinya anak hanya akan seagama dengan salah satu dari kedua orang tuanya bisa pula menganut agama yang lain lagi dari yang dianut kedua orang tuanyaKetika ada anak yang seagama dengan bapaknya yang mendapatkan hak kewarisan dari bapaknya itu, berhadapan dengan saudaranya yang beda agama. Akan timbul persoalan keadilan ketika yang satu – yang seagama, mendapat warisan, sementara saudara kandungnya – anak pewaris yang lain – yang tidak seagama sama sekali tidak mendapatkan warisan. 3. Masalah Pengadilan tempat menyelesaikan sengketa rumah tangga. Lembaga peradilan di Indonesia selain mengenal kewenangan absolut dan kewenangan relatif, juga mengenal asas personalitas. Pengadilan agama berwenang terhadap pihak-pihak yang beragama Islam, sementara Pengadilan Negeri berwenang terhadap pihak-pihak yang bukan muslim. Terhadap pasangan yang berbeda dimungkinkan terjadi sengketa kewenangan mengadili yang ada pada Mahkamah Agung. Bila hal ini yang harus ditempuh lebih dahulu, maka pokok perkara akan dikesampingkan sementara, dan akan diselesaikan kemudian. Penyelesaian menjadi lambat dan terbelit-belit. Halaman 66-90 M. Karsayuda. 2006. Perkawinan Beda Agama. Jogjakarta : Total Media Yogyakarta