Fiqh Alternatif

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqh Alternatif as PDF for free.

More details

  • Words: 5,488
  • Pages: 21
FIQH ALTERNATIF

Pendahuluan

Ketika Gus Dur menghalalkan Ajinomoto yang dinyatakan haram oleh MUI, timbul kebingungan di kalangan umat Islam, mana yang benar di antara keduanya? Fatwa MUI ataukah pendapat Gus Dur? Mungkinkah benar kedua-duanya, atau salah kedua-duanya? Itulah kira-kira pertanyaan yang terpendam di benak umat Islam saat itu, yang mungkin saja belum diperoleh jawabannya sampai sekarang. Tentu saja, kasus Ajinomoto hanyalah contoh kecil, yang status hukumnya kontroverional. Di samping itu, masih banyak lagi masalah, kalau tidak seluruh persoalan fiqh, bersifat kontroversional. Untuk menyebut beberapa di antaranya, adalah mengenai status bunga bank, bagaimana hukumnya, haram atau halal? Jual beli pesanan (salam) dan jual beli dengan cara kredit, boleh tidak? Jawabannya, ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan, dengan alasannya sendiri-sendiri. Itu dalam bidang ekonomi (muamalah). Dalam soal perkawinana (munakahat), banyak sekali masalah yang kontroversial. Misalnya, sahkah nikah tanpa wali? Bolehkah akad nikah dilaksanakan dengan jarak jauh, seperti melalui telpon atau teleconference? Bagaimana hukumnya poligami, hukum nikah mut’ah, dan menikah beda agama? Kemudian, apakah orang yang sudah melakukan zina dan sudah hamil boleh dinikahkan atau tidak? Jawabannya, bisa boleh bisa tidak, tergantung dalil dan alasan yang dipilihnya. Demikian pula dalam bidang politik (siyasah), bolehkah perempuan jadi kepala negara? Jadi hakim? Itu pun, kontroversial, ada yang membolehkan dan ada yang melarang dengan argumentasinya masing-masing. Adanya formulasi fiqh yang tidak satu macam, apalagi berkaitan dengan persoalan haram dan tidak haram, boleh dan tidak bolehnya suatu peristiwa hukum yang melibatkan kehidupan orang banyak, seperti dicontohkan di atas, sangat

2

berpotensi menimbulkan konflik di kalangan umat Islam. Setidaknya, telah membuat bingung ummat, dan bukan mustahil sebagian dari mereka kemudian menjadi alergi berbicara fiqh. Karena itu, diperlukan solusi dan penyikapan secara proporsional, yang dapat menjelaskan sejatinya karakteristik fiqh berikut sebab-sebabnya mengapa formulasinya bisa dua tiga macam, dan terutama lagi tentang bagaimana menyikapi formulasi yang macammacam itu. Tulisan ini merupakan langkah awal dari solusi yang ingin ditawarkan itu.

Pengertian Fiqh Kata fiqh, dilihat dari makna harfiahnya adalah al-fahm, yang berarti faham. Atau, al-ilmu yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Fiqh, baik sebagai suatu faham maupun sebagai suatu ilmu, tentu tidak terlepas dari karakternya yang nisbi dan selalu terbuka untuk perbedaan dan perubahan, karena fiqh tidak pernah lahir di ruang hampa. Fiqh lahir dari dan dalam dinamika pemikiran dan kehidupan manusia. Karenanya, fiqh berwatak dinamis mengikuti dinamika intelektual dan kultural kehidupan manusia. Fiqih yang pada satu masa atu suatu daerah tertentu dianggap benar, bisa saja ditolak di waktu dan pada tempat yang lain. Demikian sebaliknya. Apa yang dahulu dilarang karena berbagai alasan, sekarang menjadi pilihan karena alasan yang lain, atau karena alasan yang dulu sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, tidak berarti bahwa fiqh yang dahulu atau yang ditinggalkan itu salah, ia bisa benar juga, untuk waktu dan tempatnya saat itu, tetapi dianggap salah atau kurang tepat kalau diamalkan saat ini, karena situasi dan kondisinya berbeda atau sudah berubah. Maka, perubahan itulah yang menghendaki perubahan fiqh. Fuqaha mengungkapkannya dengan kalimat: Taghayyur al-ahkam bi taghayyuri al-amkinah wa al-azminah wa al-ahwal (Hukum dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya).

3

Secara depinitif, fiqh biasa diartikan dengan hukumhukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalildalil (al-Qur’an dan al-Sunnah) tertentu. Atau, secara sederhana dapat dikatakan, bahwa fiqh adalah formula hukum Islam, sebagai hasil pemahaman atau interpretasi terhadap al-Qur’an/ al-Sunnah mengenai satu atau beberapa kasus hukum tertentu. Ia merupakan hasil pemikiran, pemahaman, atau hasil kerja fikir (ijtihad) fuqaha (ulama yang secara profesional menekuni bidang ini). Sebagai hasil pemikiran dan produk ilmu pengetahuan, maka kebenarannya relatif (nisbi). Ia dapat dikritisi dan dikaji ulang. Ia pun dapat berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, sebagai hasil pemahaman atau interpretasi, maka perbedaan dan keberagaman merupakan sesuatu yang biasa, bahkan sudah seyogyanya. Perbedaan dan keberagaman merupakan sifat dasar fiqh. Semua sifat itu merupakan karakter dan habitat fiqh. Fiqh seyogyanya harus macam-macam. Perbedaan rumusan fiqh bukanlah suatu keanehan, melainkan suatu kemestian. Yang aneh justru apabila hukum Islam hanya satu macam, bukan ketika ada dua atau beberapa macam. Harus dianggap aneh kalau hukum fiqh harus satu macam. Mengapa? Karena, banyak faktor yang mengharuskannya. Salah satu faktornya, karena ia merupakan hasil pemikiran, atau setidaknya melibatkan pemikiran orang yang merumuskannya. Sedangkan pemikiran manusia, karena berbagai sebab dan latarbelakang, seringkali macam-macam. Pemikiran manusia dipengaruhi oleh banyak faktor: faktor pendidikan, pengalaman, kondisi sosial ekonomi, budaya, dan faktorfaktor lain, baik faktor internal maupun eksternal, yang secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi pemikirannya; termasuk ketika memahami al-Quran dan alSunnah, dan ketika melakukan istinbath serta menetapkan hukum (fiqh). Maka, yang jadi persoalan bukan bagaimana menjadikan fiqh agar menjadi satu macam, sebab hal itu sulit dilakukan dan sekaligus melawan habitat atau kodrat fiqh itu sendiri. Yang penting adalah bagaimana memahami dan

4

menyikapi fiqh yang macam-macam, atau fiqh yang kontroversial itu. Pemahaman yang komprehensif dan proporsional tentang fiqh diperlukan, karena spektrumnya yang sanat luas. Lingkup kajian fiqh meliputi segenap persoalan hukum tentang perilaku manusia atau perbuatan mukallaf (orang dewasa, yang sudah terkena beban hukum). Hukum-hukum fiqh itu merupakan hasil pemahaman fuqaha (pakar di bidang fiqh) atas nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan (amaliyah) manusia sesuai dengan dalilnya masing-masing yang dianggap relevan dengan perbuatan tersebut (dalil tafshili). Dengan demikian, lingkup kajian fiqh adalah seluas perbuatan manusia, dan sebanyak dalil yang berhubungan dengan perbuatan manusia tersebut. Lingkup kajian fiqh meliputi segala hal yang berkatan dengan bagaimana seharusnya manusia berhubungan dan melakukan pengabdian kepada tuhannya, Allah SWT. Berarti, fiqh dalam hal ini membahas hukum dan cara-cara thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Inilah yang kemudian dikenal dengan Fiqh Ibadah. Fiqh juga membahas tentang bagaimana manusia menjalin kerja sama ekonomi dengan sesamanya. Dalam hal ini, fiqh menawarkan konsep tentang jual beli (al-bay’), pinjam meminjam (al-âriyah), sewa-menyewa (al-ijârah), pesan-memesan (al-salm) kerjasama usaha (al-mudhârabah atau al-qirâdh), kerjasama dalam permodalan (al-musyârakah), atau kerjasama penggarapan tanah (al-muzâra’ah dan al-mukhâbarah). Halhal yang berkaitan dengan kajian bidang ini dikenal dengan fiqh Muamalah. Kemudian, fiqh juga membahas bagaimana hukum dan proses perkawinan yang disyariatkan dalam Islam, hubungan lawan jenis yang dilarang, dan bagaimana mekanisme ketika keutuhan perkawinan tidak dapat lagi dipertahankan, serta bagaimana kedudukan harta dan pembagiannya ketika mereka bercerai atau salah satunya meninggal dunia. Hal-hal seperti ini dibahas dalam Fiqh Munakahah dan Fiqh Mawaris. Mengenai hukum tentang perilaku kejahatan dan pelanggaran berikut sanksi-sanksinya dibahas dalam fiqh

5

Jinâyah. Sedangkan aturan yang berkaitan dengan tata cara memilih pemimpin, mengenai tugas dan tugas dan kewajibannya, serta mengenai bagaimana norma-norma kepemimpinan dalam Islam, dibahas dalam Fiqh Siyâsah. Itulah garis besar objek kajian fiqh yang ditemukan dalam kitab-kitab klasik selama ini. Dalam perkembangannya belakangan ini, tentu lingkup kajian fiqh sudah berkembang lebih luas lagi, dan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan jaman dan dinamika masyarakat. Kajian fiqh tidak lagi terbatas pada masalah ibadah, muamalah, munakahah, warits, jinayah, dan siyasah, tetapi berkembang meliputi bidang-bidang kehidupan lain yang lebih spesifik. Karena itu, belakangan ini muncul apa yang disebut dengan misalnya Fiqh Perempuan, Fiqh Sosial, Fiqh Kesehatan, dan Fiqh Lingkungan Hidup, yang mengkaji masalah-masalah tersebut dari perspektif fiqh (hukum Islam). Bahkan, yang lebih menarik lagi adalah munculnya Fiqh Lintas Agama yang menawarkan pluralisme, inklusifisme, dan liberalisme dalam bidang fiqh. Fenomena ini mempertegas dan memperkuat habitat fiqh yang dinamis (dapat berubah sesuai dengan perubahan keadaan, taghayyur bi taghayyuri al-amkinati, wa al-azminati wa al-ahwâl), sekaligus memperlihatkan perannya sebagai pengawal dan pedoman bagi kehidupan kontemporer, agar perilaku kehidupan manusia senantiasa berada dalam sinaran nilai-nilai ilahi.

Fiqh Kontroversial, Kenapa?

Fiqh, dengan karakteristik seperti disebutkan di atas, sangat kaya dengan nuansa kontroversi atau keragaman pendapat (khilafiyah). Sebab utamanya, seperti telah disebutkan berulang kali, adalah karena fiqh merupakan hasil pemikiran atau hasil pemahaman. Sebagai hasil pemikiran, maka rumusan hukum fiqh dapat berbeda antara ulama yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain sebagai berikut: Pertama, karena perbedaan dalil yang ditemukan/ dipilih, termasuk di dalamnya perbedaan penilaian terhadap dalil, yang menyebabkan suatu dalil dipilih oleh ulama yang satu

6

dan ditinggalkan oleh ulama yang lain. Atau, sebaliknya. Hal ini sangat dimungkinkan, karena seringkali suatu peristiwa hukum memiliki dalil yang tidak satu, alias banyak yang bisa dijadikan dalil. Misalnya, untuk pelaksanaan shalat. Kita diperintahkan untuk shalat seperti shalat Rasulullah SAW (Shallu kama roaitumuni ushalli).Persoalan timbul ketika hadits tentang bagaimana Rasulullah shalat ternyata tidak hanya satu, dan satu sama lain berbeda isinya. Seperti tmengenai cara Rasul mengangkat tangan dalam takbirat alihram, dalam satu hadits dikatakan sampai sejajar dada, dalam hadits lain sampai pundak dan dalam hadits lainnya lagi sampai sejajar dengan telinga. Demikian pula dalam bacaan do’a iftitah, bacaan basmalah, fatihah, bacaan ruku’ dan sujud. Masing-masing dalilnya tidak hanya satu, dan itu berbeda satu sama lain. Perbedaan dalil bukan hanya terjadi pada level yang setara, hadits dengan hadits, seperti pada contoh di atas, tetapi banyak pula terjadi antara dalil al-Quran dengan alHadits. Seperti Q.S. al-Baqarah: 178 yang memerintahkan untuk berwasiat kepada orang tua dan kerabat, sementara al-Hadits melarang berwasiat kepada ahli waris. Dalam konteks seperti ini, maka para ulama dengan alasannya sendiri memilih dalil yang dinilainya lebih kuat, sementara ulama lainnya dengan alasannya pula memilih dalil yang lain lagi, yang juga dianggapnya lebih kuat. Maka, hukum yang ditetapkan oleh masing-masing ulama itu akan berbeda, sesui dengan dalil yang dipilihnya.Dengan demikian, ketika ada dua atau tiga dalil, maka hukumnya pun bisa ada dua atau tiga macam. Menjadi aneh, ketika dalilnya ada dua atau lebih, kok hukumnya harus satu macam saja. Kedua, karena perbedaan pemahaman terhadap dalil. Mungkin saja, dalil untuk suatu masalah hukum itu hanya ada satu, tetapi pemahaman terhadap dalil itu bisa berbeda antara ulama yang satu dengan ulama lainnya. Contohnya, masalah wudlu. Dalilnya dalam al-Quran hanya satu, yaitu ayat 6 surah al-Maidah, yang menyatakan bahwa “apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Tetapi,

7

karena para ulama berbeda dalam memahami ayat itu, maka formulasi fardlu wudlu ada beberapa versi. Ada yang menyatakan, bahwa fardlu wudlu itu ada empat dan ada enam; sementara versi lain mengatakan ada tujuh, ada delapan, dan lebih dari itu. Perbedaan pemahaman terhadap dalil itu terjadi karena berbagai sebab, tetapi yang paling banyak disebabkan karena perbedaan pemahaman terhadap makna huruf dan makna lafaz yang ada pada dalil bersangkutan. Perbedaan tentang fardlu, seperti dicontohkan di atas, sebabnya adalah karena perbedaan dalam memaknai huruf athaf wau. Imam Abu Hanifah memaknai wau itu “li al-jam’i faqath”, hanya menunjukkan bahwa wudlu itu terdiri atas empat anggota badan yang disebut di dalam ayat; karena itu menurutnya, fardlu itu hanya empat. Sementara Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal mengartikan tidak hanya li al-jam’i tetapi juga li at-tartib, berurutan. Karenanya, fardlu wudlu ditambah dengan tartib. Bahkan, Imam Malik menambahkan lagi dengan muwalah (berturut-turut) karena wau athaf itu juga bermakna li al-tawalli, berturut-turut (sebelum kering anggota wudlu yang satu harus segera dibasuh/ disapu anggota berikutnya). Maka, otomatis jumlahnya bertambah lagi. Demikian seterusnya. Sebab lain, karena ulama yang satu memaknai lafaz tertentu secara hakiki, ulama lain memaknainya secara majazi (kiasan). Seperti lafaz lamastum al-nisa’. Imam Syafi’i mengartikan secara hakiki, karenanya batal wudlu hanya dengan bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya secara majazi, yang maksudnya jima’ (setubuh), sehingga dengan hanya bersentuhan wudlu tidak batal. Wudlu baru batal apabila melakukan jima’. Selain itu, perbedaan bisa disebabkan karena lafaz dalil itu sendiri memiliki makna ganda (musytarak), seperti lafaz quru’ pada kalimat tsalatsata quru’ (Q.S. al-Baqarah: 228), yang berarti suci dan haid. Ulama Syafi’iyah memaknai lafaz itu dengan arti suci, sehingga lamanya masa iddah itu adalah tiga kali suci. Sedangkan Hanafiyah mengartikannya dengan

8

haid, sehingga masa iddah adalah tiga kali haid, bukan tiga kali suci. Di samping faktor-faktor di atas, masih ada beberapa sebab lain, yang menjadi menyebabkan terjadinya perbedaan rumusan fiqh itu, antara lain adalah perbedaan dalam mengambil konsekuensi dari penunjukan suatu dalil. Apakah redaksi perintah (amr) pada dalil itu mengandung konsekuensi hukum wajib atau sunnah saja. Demikian dalam redaksi larangan (nahy), apakah menunjukkan hukum haram atau makruh saja. Atau, apakah dalil tersebut harus diartikan secara tekstual, atau bisa secara kontekstual. Perbedaan semacam ini membawa konsekuens yang signifikan terhadap kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam formulasi fiqh. Ketiga, karena berbeda metode yang digunakan. Terdapat sejumlah metode yang biasa digunakan oleh para ulama di dalam menetapkan hukum. Di antaranya adalah metode qiyas, istihsan dan al-mashlahah al-mursalah. Para ulama tidak seluruhnya sepakat bahwa metode-metode itu dapat digunakan. Abu Daud al-Dhahiri misalnya. Ia tidak mau menggunakan qiyas, karena itu bangkai tiku yang jatuh ke dalam benda cair selain minyak sapi, dinilai tidak menajiskannya. Sebab, hadits Nabi SAW hanya mengatakan bahwa yang najis adalah ketika tikus masuk ke minyak sapi, dan itu tidak bisa diqiyaskan kepada benda cair lainnya. Pandangan tersebut berbeda dengan ulama lain (Imam Syafi’i) yang mengakui metode qiyas sebagai sumber hukum Islam. Contoh lain adalah ulama Malikiyah. Dengan dasar almashlahah al-mursalah, mereka membolehkan membunuh orang Islam yang dijadikan perisai oleh musuh untuk menghancurkan Islam. Sementara jumhur ulama tidak membolehkannya karena mereka tidak menerima almashlahah al-mursalah sebagai dalil. Keempat, karena perbedaan konsep masalah dan aspekaspek yang dipertimbangkan ketika hukum itu dirumuskan. Misalnya, perbedaan tentang boleh tidaknya pluralisme, tergantung bagaimana pluralisme itu didefinisikan. MUI mendefinisikan pluralisme sebagai faham yang mengajarkan bahwa semua agama itu sama, maka dengan semangat

9

memelihara akidah dan integrasi umat, pluralisme dinyatakan bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam diharamkan mengikutinya.1 Sementara itu, kalangan pluralis mendefinisikan pluralisme sebagai faham yang memandang bahwa pada dasarnya agama-agama itu berbeda, tetap semuanya memiliki ajaran yang sama tentang keharusan memelihara perdamaian dan kasih sayang. Pluralisme adalah faham yang memandang bahwa pluralitas itu merupakan realitas, dan masing-masing memiliki hak untuk diyakini dan diimani oleh penganutnya masing-masing. Dengan pengertian seperti ini, maka pluralisme bukan saja tidak haram, tetapi boleh jadi merupakan suatu keniscayaan. Dilihat dari berbagai sudut pandang seperti di atas, kiranya menjadi jelas bahwa perbedaan dalam rumusan fiqh bukanlah suatu keanehan, melainkan suatu kewajaran, bahkan mungkin suatu kemestian. Ketika penilaian dan pemahaman terhadap dalil itu berbeda, masa hukum yang dikeluarkannya harus sama. Demikian juga ketika berbeda persepsi tentang konsep masalah yang hendak dicarikan hukumnya, metode yang digunakannya, dan aspek yang dipertimbangkannya ketika hukum itu dirumuskan, maka sudah tentu produk hukum yang dihasilkannya pun akan berbeda. Yang aneh, justru apabila hukum Islam hanya satu macam, bukan ketika ada dua atau beberapa macam. Hukum yang macam-macam itu mungkin saja (dalam perspektif tertentu) salah satunya yang benar, atau semuanya salah, tetapi boleh jadi benar semuanya. Siapa tahu? Biarlah Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya, yang akan memutuskan di hari akhirat nanti, mana yang benar di antara sekian kemungkinan benar yang berbeda-beda itu (Q.S. al-Baqarah: 113). Setelah dimaklumi bahwa kontroversi dan perbedaan rumusan fiqh merupakan sesuatu yag niscaya, maka berikutnya yang lebih penting lagi adalah memaklumi bagaimana menyikapi kontroversi hukum yang bermacammacam itu.

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: MUI, 2005. 1

10

Menyikapi Kontroversi Fiqh, Bagaimana?

Salah satu cara untuk menyikapi kontroversi fiqh adalah menerima kontroversi itu sebagai realitas, dan menjadikan keseluruhannya sebagai pilihan-pilihan hukum, atau sebagai fiqh alternatif. Maksudnya, fiqh yang hukumnya tidak satu macam itu, mungkin dua, tiga atau beberapa macam itu, semuanya dipandang sebagai pilihan-pilihan benar, yang boleh diambil sesuai dengan kecenderungan nurani dan kebutuhan yang memilihnya, tanpa harus merasa bersalah apalagi menyalahkan orang lain yang berbeda pilihannya. Dengan demikian, fiqh alternatif itu adalah fiqh yang macammacam. Yakni, fiqh yang memuat berbagai masalah fiqh dalam berbagai pandangan fuqaha, yang semuanya dapat dipilih sebagai alternatif. Hal itu berlaku untuk seluruh masalah yang masuk dalam wilayah kajian fiqh, baik dalam bidang ibadah, muamalah, munakahah, jinayah, waris, siyasah, maupun bidang-bidang fiqh lainnya. Perlu disadari, bahwa untuk sebagian besar umat Islam tidak mudah memahami adanya fiqh yang beragam seperti ini, apalagi untuk menerima seluruhnya sebagai realitas, sebagai pilihan-pilihan benar, sebagai fiqh alternatif, yang boleh dipilih oleh siapa pun dalam keadaan bagaimana pun. Sampai saat ini masih banyak orang yang merasa bingung dan cenderung menganggap aneh, kalau formulasi hukum Islam (fiqh) bermacam-macam, atau berbeda-beda rumusannya. Dalam pandangan mereka, hukum Islam itu seyogyanya hanya satu macam, sama untuk semua kaum Muslimin di mana pun, karena bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi yang sama. Bagi mereka, nampaknya sulit untuk dapat memahami adanya formula fiqh yang berbeda-beda, apalagi untuk mengakui adanya fiqh Indonesia, fiqh Arab, atau fiqh daerah-daerah tertentu. Kalau pun diakui bahwa faktanya memang banyak kasus yang dihukumi berbeda oleh fuqaha, yang benar mestilah hanya satu. Kemudian, secara terang-terangan atau tidak, biasanya orang mengklaim bahwa yang satu benar itu adalah yang menjadi pilihannya. Pilihan orang lain, yang berbeda dengan pilihannya itu pastilah salah. Masih sulit bagi mereka untuk mengakui apalagi mengamalkan fiqh yang berbeda-beda dalam posisi

11

yang setara. Masih kuat anggapan bahwa memilih fiqih itu harus satu macam; tidak boleh memilih lebih dari satu, apalagi pindah-pindah pilihan. Dalam pandangan mereka, memilih lebih dari satu macam fiqh, atau berpindah-pindah dari satu fiqh ke fiqh yang lain disebut talfiq, dan itu haram hukumnya. Begitulah kira-kira pandangan umat Islam selama ini dalam menyikapi perbedaan dan keberagamanan rumusan hukum Islam (fiqh). Maka, fiqh terkesan menjadi sangat kaku, bahkan sepanjang sejarahnya lebih sering menjadi pemicu konflik daripada sebagai pemersatu. Perbedaan fiqh lebih nampak sebagai pembawa laknat, daripada sebagai rahmat. Inilah kondisi yang harus segera diakhiri, dengan mendudukkan fiqh secara proporsional sesuai dengan karakteristik dan habitatnya. Bagian paling penting yang perlu dipahami dan digarisbawahi tentang karakteristik fiqh, dan karena itulah mengapa perlu ditegaskan lagi, adalah perbedaan dan keberagaman. Kapan pun dan pada bidang apa pun dari kajian fiqh, hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya perbedaan-perbedaan atau kontroversi-kontroversi di dalamnya. Perbedaan dan kontroversi itu tidak perlu dihindari, apalagi dimusuhi, tetapi harus didekati dan diselami agar ia membawa rahmat, bukan membawa laknat. Perbedaan dapat membawa laknat ketika perbedaan itu menjadi konflik dan permusuhan. Konflik dan permusuhan sangat mungkin terjadi ketika masing-masing pihak mengklaim bahwa yang benar adalah yang menjadi pilihannya. Sesungguhnya, tidak menjadi masalah orang mengklaim atau beranggapan bahwa fiqh yang menjadi pilihannya merupakan fiqh yang benar. Asalkan, tidak disertai tudingan bahwa yang berbeda dengan pilihannya adalah salah. Tudingan yang selalu menganggap salah pada pilihan orang lain inilah yang menjadi persoalan. Karena, klaim dan tudingan semacam itu bukan saja tidak realistik dan tidak kondusif bagi perkembangan fiqh, pada tingkat tertentu dapat mengganggu ukhuwwah (persaudaraan) sesama Muslim. Bukankah memelihara ukhuwwah itu wajib hukumnya? Kalau begitu, wajib pula untuk mencari solusi

12

bagaimana agar fiqh dapat berkembang tanpa harus mengganggu ukhuwwah, bahkan bila mungkin turut memberi konstribusi dalam memperkuat semangat ukhuwwah itu. Fiqh Alternatif merupakan salah satu ikhtiar ke arah itu. Wacana yang dikembangkan adalah wacana fiqh inklusif (kalau boleh digunakan istilah ini) atau fiqh muqaran (fiqh perbandingan). Dengan wacana seperti ini diharapkan umat Islam memperoleh gambaran utuh dan proporsional tentang karakteristik fiqh, yang sejatinya memang kaya dengan nuansa perbedaan. Berkaitan dengan itu, maka sikap yang dikembangkan adalah sikap toleran seperti yang dimiliki oleh ulama dahulu (mutaqaddimun). Ungkapan yang perlu diwarisi dari tradisi akademik mereka adalah: “Mazhabku benar, tapi tidak tertutup kemungkinan salah; sedangkan mazhabmu salah tetapi terbuka kemungkinan benar”. Dengan upaya ini, diharapkan kaum Muslim dapat lebih toleran terhadap perbedaan, dan dapat menerima perbedaan-perbedaan itu sebagai kenyataan, bahkan keharusan. Lebih jauh, diharapkan umat Islam semakin terbiasa untuk sepakat dalam perbedaan atau sepakat dalam ketidaksepakatan, sebagai prasyarat bagi terjalinnya ukhuwwah dalam arti yang sesungguhnya. Inilah makna tersirat yang ingin digapai melalui tulisan ini. Upaya untuk mengembangkan fiqh alternatif memerlukan jiwa besar, selain wawasan fiqh yang luas, agar yang bersangkutan tidak terjebak pada pemihakan kepada salah satunya. Dalam konteks ini, yang lebih dikedepankan adalah pengungkapan tentang sebab-sebab terjadinya kontroversi di kalangan fuqaha pada setiap bidang kajian, tanpa harus memihak kepada salah satu. Contoh yang sudah merintis model ini adalah Ibnu Rusyd melalui karya menumentalnya, Bidayat al-Mujtahid, yang banyak mengilhami sekaligus menjadi obsesi tulisan ini. Hal yang juga perlu digarisbawahi adalah bahwa pendekatan fiqh alternatif tidak mesti menawarkan pilihan tertentu dari sejumlah kemungkinan benar yang ada, yang harus dipilih, semata-mata karena ingin menempatkan fiqh secara proporsional. Maksudnya, karena secara metodologis, dari perspektif fiqh maupun ushul fiqh, rumusan fiqh yang

13

ditawarkan fuqaha itu ada kemungkinan benar seluruhnya, setidaknya dalam perspektifnya masing-masing, maka rumusan manapun sah dan dapat dipilih. Paparan fiqh alternatif berhenti sampai dengan penyajian tentang rumusan fiqh dari setiap fuqaha, alasan-alasannya, dan sebab-sebab terjadinya perbedaan (kontroversi) di antara mereka pada masalah bersangkutan. Sampai di situ, kiranya pembaca sudah cukup memiliki bahan untuk menentukan pilihan sendiri. Dengan demikian, soal pilihan tentang rumusan fiqh mana yang akan diambil sepenuhnya dipersilakan kepada individu atau komunitas Muslim bersangkutan, sesuai dengan kecerdasan dan kecenderungan masing-masing. Pendekatan fiqh alternatif cukup dengan meyakinkan, bahwa pilihan mana pun, sejauh pilihan itu masih berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah, insya Allah merupakan pilihan yang benar, setidaknya bukan sesuatu yang sesat atau menyesatkan. Jaminan Rasulullah SAW, “fa lan tadlillû abadâ”, tidak akan sesat untuk selamanya! Kalaupun ingin menyarankan, maka ambillah yang lebih baik atau yang terbaik.dari sekian pilihan yang tersedia. Misalnya, dalam menyikapi kontroversi tentang batal tidaknya wudlu karena bersentuhan dengan lawan jenis. Dalam persektif fiqh, hukumnya kontroversial, bisa batal dan bisa tidak batal; tergantung perspektif mazhab mana yang dianut. Maka, dalam kasus ini, yang lebih baik adalah berwudlu lagi, sebab dengan itu ada tambahan amal, yaitu wudlu yang notabene merupakan ibadah tersendiri bilamana dilakukan.. Atau, ikutilah sikap Abu Hanifah. Ketika ditanya tentang hukum air comberan (air hujuan yang tergenang dan mengenai pakaian), ia katakan bahwa air itu suci, sehingga pakaian yang terkena air tersebut tidak harus dicuci. Namun, ketika air itu mengenai pakaiannya, ternyata Abu Hanifah mencuci pakaian tersebut. Saat dipertanyakan kembali, ia menjawab: “Dzalika fatwa wa hadza taqwa”, itu adalah fatwa, dan ini adalah taqwa. Rupanya, meskipun air comberan itu tidak najis, Abu Hanifah merasa lebih baik apabila mencucinya. Ia merasa tidak/ kurang sreg memakai kain yang kotor, meskipun tidak najis. Inilah sikap ihsan, memilih yang

14

terbaik dari sejumlah pilihan yang ada; dan sikap demikian merupakan indikator kualitas ketaqwaan. Jadi, yang dipilih adalah yang lebih baik atau lebih sreg, bukan yang lebih benar, karena tidak mudah mencari yang lebih benar, atau karena dalam fiqh peluang kebenarannya sama, relatif. Walaupun tentu saja, pandangan seperti ini pun kontroversial. Lepas dari kemungkinan tawaran fiqh alternatif ini yang bisa kontroversial, setidaknya pendekatan dapat menawarkan alternatif bagaimana menyikapi berbagai hukum fiqh yang kontroversial itu. Belajar dari literatur, ada beberapa teori yang telah ditawarkan oleh para ahli dalam menyikapi masalah tersebut. Pertama, metode tarjih. Dengan metode ini, hukum diambil mana yang lebih kuat (rajih) dalilnya, dan hukum yang dianggap tidak kuat atau lemah (marjuh) diabaikan. Prosesnya, diawali dengan penelitian terhadap sejumlah dalil yang ada dari berbagai aspeknya, mulai dari otentisitas dalil tersebut, ketegasan dalalah (kandungan maknanya), kualifikasi perawinya, maupun kesinambungan sanadnya. Dalil yang dinilai unggul dalam beberapa aspek yang dinilai, itulah yang dipilih atau diunggulkan. Kalaupun dinilai sama kuatnya, masih bisa dilihat dari segi asbab al-nuzul atau asbab al-wurud dalil itu, termasuk dari segi waktu turunnya. Dalil yang datang belakangan lebih diunggulkan daripada yang datang lebih awal, sebagaimana dikenal dalam teori nasakh (penghapusan atau penangguhan dalil yang datang lebih dulu oleh dalil yang datang kemudian). Namun demikian, hasil dari metode ini masih menyisakan persoalan karena dalam realitasnya seringkali terdapat penilaian yang berbeda dalam menetapkan dalil mana yang dianggap unggul dari sejumlah dalil yang tersedia. Ulama yang satu menilai dalil tertentu yang rajih, sementara ulama lain menganggap yang rajih adalah dalil yang lain, bukan yang dianggap rajih oleh ulama pertama. Sehingga, hasil dari motede ini tetap kontrovesial dan potensial menimbulkan konflik. Kedua, metode jam’u, atau metode kompromi. Dengan metode ini, sejumlah dalil yang kontroversial diupayakan untuk dicarikan titik temu agar sedapat mungkin kedua dalil

15

yang kontroversial dapat dipertemukan dan dapat diamalkan keduanya. Misalnya, ketika ada dalil yang membatalkan wudlu karena bersentuhan dengan lawan jenis atau karena menyentuh kemaluan, dan di pihak lain ada dalil yang tidak membatalkannya; maka untuk mengkompromikannya ditetapkan hukum “lebih baik berwudlu”. Tapi, persoalannya tidak semua dalil dapat dikompromikan seperti itu. Maka, perlu dicari cara yang lain. Cara kompromi lainnya itu adalah dengan mengabaikan kedua dalil yang bertentangan itu, yang dikenal dengan istilah mauquf atau tawaquf. Cara ini diambil sesuai dengan kaidah al-khuruj min al-khilaf mustahab” keluar dari khilafiyah dianjurkan). Dengan cara ini, dalil-dalil yang bertentangan dianggap tidak ada, dan karenanya tidak ada yang diamalkan. Kedua metode yang sangat populer di kalangan ulama ushul itu, tanpa disadari telah “memakan korban” berupa hilangnya atau tidak dipakainya sejumlah dalil karena dianggap lemah atau tidak diunggulkan. Bahkan, hanya karena pertimbangan datangnya lebih dahulu atau karena kredibilitas pembawa dalilnya (perawi atau sanadnya). Padahal, boleh jadi subtansi atau pesan yang terkandung dalam dalil itu sendiri positif, konstrktif, atau maslahat bagi kehidupan. Lebih dari itu, adalah implikasinya yang dapat menimbulkan konflik berkepanjangan, karena masing-masing memiliki klaim paling benar, atau masing-masing mengaku berdasarkan pada dalil yang paling rajih. Padahal, semua klaim benar dan rajih itu bersifat ijtihadi, sehingga ulama yang satu dengan lainnya dapat berbeda dalam menilai dalil mana yang lebih unggul atau lebih shahih itu, termasuk kesimpulan benar yang dihasilkan dari dalil-dalil tersebut. Atas dasar itu, kiranya layak untuk dipertimbangkan cara lain untuk menyikapi dalil-dalil yang kontroversial itu, yaitu dengan melihat semuanya sebagai pilihan-pilihan dalil dan pilihan-pilihan hukum yang boleh dipilih dan diamalkan sesuai dengan keinginan, atau sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan. Cara itulah yang diajukan Fiqh Alternatif ini. Dengan cara itu, maka pertimbangannya lebih pada kebutuhan “pragmatis” atau kebutuhan kemaslahatan daripada pada penilaian terhadap keunggulan dalilnya.

16

Misalnya, dalam soal ibadah, pilihannya adalah mana yang lebih sreg atau lebih menenteramkan hati, dan lebih membawa taqarrub (kedekatan) kepada Allah. Bila Imam Syafi’i berprinsip “jika hadits shahih itulah madzhabku” (Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi), maka prinsip yang dipegang oleh pendekatan ini kurang lebih adalah “bila nyata ada mashlahat itulah madzhabku” (idza shahhat almashlahat fahuwa madzhabi). Berdasarkan pada paradigma ini, maka semua alternatif hukum yang ada dapat dipilih sebagai alternatif-alternatif fiqh, sebagai alternatif atau pilihan-pilihan benar yang boleh dipilih dan diamalkan oleh siapa pun dan dalam keadaan bagaimana pun, sepanjang semuanya memiliki dalil dari alQuran dan al-Sunnah. Atau, sepanjang mengandung kemashalahatan yang tidak bertentangan dengan kedua sumber hukum tersebut. Kebolehan memilih dari sekian pilihan yang ada dalam al-Qu’an dan al-Sunnah, atau spirit yang ada atau digali dari keduanya itu, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Ma in tamassaktum bihima fa lan tadlillu abada”. Bahwa, “sepanjang berpegang teguh pada kedua pusaka yang ditinggalkannya, al-Quran dan al-Sunnah, kalian tidak akan sesat selamanya”. Atas jaminan Rasul SAW yang sangat tegas dalam hadits itu, maka terbuka pilihan yang bebas bagi siapa pun untuk memilih salah satu atau sejumlah pilihan tertentu, bahkan berpindah-pindah dari pilihan yang satu kepada pilihan yang lain dari sekian pilihan yang tersedia, sepanjang pilihan itu ada dasarnya dari al-Quran atau al-Sunnah, atau dimungkinkan oleh kedua sumber hukum Islam itu. Tidak masalah, apakah pilihan itu sesuai atau tidak sesuai dengan pendapat ulama mazhab atau kiyai tertentu.

Fiqh Alternatif, Apa Perlunya?

Adalah kenyataan, bahwa corak Islam Indonesia adalah Islam fiqh. Indikatornya dapat dilihat melalui lembaga pendidikan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Hampir semua lembaga pendidikan Islam (terutama di pondok pesantren salaf, tradisional) di tanah air

17

mengajarkan kitab atau pelajaran fiqh. Posisinya, seolah menjadi pelajaran wajib. Indikator lainnya terlihat pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul di berbagai media, mediaa cetak maupun elektronik. Ketika dibuka rubrik tanya jawab keislaman, sebagian besar pertanyaan yang muncul berkisar sekitar masalah-masalah fiqh. Mulai dari soal-soal bersuci, sampai masalah zakat dan pembagian waris. Mengenai soal bagaimana bersuci bagi orang yang sakit, soal mandi junub yang kesiangan di bulan ramadlan, sampai masalah perkawinan beda agama, dan masalah-masalah kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari lainnya. Bahkan, belakangan ruang lingkupnya pun semakin meluas, tidak lagi sebatas perbuatan (amaliyah), tapi merambah pada wilayah pemikiran dan idiologi. Contohnya, tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang belakangan ini (2005) difatwakan haram hukumnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wacana fiqh begitu dominan mewarnai wacana dan hazanah pemikiran keislaman sepanjang masa, sejak masa awal Islam maupun pada masa modern sekarang ini. Begitu dominannya masalah fiqh, dan begitu besarnya tuntutan masyarakat untuk mendapat layanan, bimbingan, dan kejelasan status hukum mengenai bidang-bidang kehidupan yang dihadapinya, maka kredibilitas seorang kiayi, ulama, ustadz, muballigh, dai, atau pakar Islam seringkali diukur oleh seberapa luas wawasan pengetahuan dan penguasaannya terhadap bidang fiqh ini. Ekstrimnya, kompetensi dan kepakaran seorang kiayi dan ahli agama itu bisa diragukan dan dipertanyakan bila tanpa menguasai bidang fiqh. Secara historis, corak dan nuansa pemikiran fiqh mulai mendominasi wacana intelektual dan kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia diduga terjadi setelah munculnya ormas-ormas keagamaan modern seperti Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1923), dan Persatuan Islam ( l926). Ormas-ormas keagaman itulah yang secara kultural banyak mewacanakan masalah-masalah fiqh. Melalui lembagalembaga pendidikan yang dimilikinya, masing-masing ormasormas ini mengajarkan dan mengembangkan corak fqih

18

tertentu yang berbeda satu dengan lainnya, yang kemudian secara fanatik diikuti dan dikembangkan oleh para pengikutnya masing-masing. Dalam konteks ini, secara sengaja atau pun tidak, langsung atau tidak langsung, ormas-ormas Islam telah memberi konstribusi positif dan signifikan bagi perkembangan fiqh di tanah air. Bidang studi fiqh dianggap penting untuk dipelajari dan dikembangkan dengan beberapa alasan: Pertama, karena fiqh berhubungan dengan perilaku keagamaan dan kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari bangun tidur, makan, bekerja, sampai dengan tidur lagi, baik dalam kedudukan dan peran sebagai individu dalam kaitannya dengan Sang Pencipta, Allah SWT, maupun sebagai anggota masyarakat. Setiap individu dan masyarakat Muslim berkepentingan untuk mengetahui fiqh, baik untuk kepentingan keilmuan dan keagamaan maupun untuk keperluan legalitas dan legitimasi hukum Islam atas segenap perilaku yang dilakukannya. Kedua, karena corak Islam Indonesia secara sosiokultural dan intelektual sangat kental dengan nuansa fiqh. Salah satu indikatornya adalah bahwa fiqh menjadi bidang studi “wajib” di hampir seluruh pondok pesantren dan sekolah-sekolah agama. Kemudian, pada hampir setiap pengajian dan tanya jawab keagamaan, baik yang langsung maupun melalui mass media, selalu didominasi oleh berbagai pertanyaan seputar masalah fiqh. Dengan demikian, studi fiqh diperlukan bagi pengembangan fiqh, agar ia tetap eksis dan survive sejalan dengan dinamika kehidupan manusia yang membutuhkannya. Ketiga, karena fiqh sarat dengan potensi konflik. Hal ini terkait dengan karakteristik fiqh yang kaya dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf). Secara sosiologis, perbedaan pendapat dan perbedaan formula fiqh pada tingkat tertentu telah menimbulkan berbagai konflik antara pengikut yang satu dengan pengikut lainnya. Sehingga tidak berlebihan, bila sejarah fiqh dinilai identik dengan sejarah konflik. Kesan ini memang memberi kontribusi bagi popularitas fiqh, sehingg ia menjadi sangat populer di dunia Islam. Namun, bersamaan dengan itu, kesan tersebut sangat tidak kondusif

19

bagi pengembangan fiqh, karena dapat menimbulkan sikap apriori terhadapnya, terutama terhadap berbagai persoalan khilafiyah (kontroversial) dalam fiqh. Dengan alasan untuk menghindari konflik di kalangan umat, orang pun dilarang berbicara soal-soal khilafiyah. Indikasinya nampak pada kuatnya himbauan agar “para muballigh dan ustadz jangan mengangkat masalah-masalah khilafiyah”, sehingga masalah-masalah fiqh yang kontroversial cenderung disembunyikan, tanpa penjelasan secara rasional dan proporsional. Masalah-masalah kontroversial yang dianggap sebagai potensi dan sumber konflik itu pun dibiarkan tumbuh ibarat api dalam sekam. Maka, implikasinya, wujud ukhuwwah di kalangan ummat Islam hanya bersifat artifisial, basa-basi. Ukhuwwah dalam arti sesungguhnya sulit terwujud, karena hal itu mensyaratkan adanya sikap toleran terhadap perbedaan, yakni kesiapan untuk berbeda pendapat, sepakat dalam ketidaksepakatan atau sepakat dalam perbedaan (agree in disegreement). Sehubungan dengan itu, maka sejalan dengan kedewasaan masyarakat yang semakin baik dalam menyikapi perbedaan, sudah saatnya dan sepatutnya fiqh dikaji secara transparan, terutama aspek-aspek fiqh yang kontroversial. Persoalan ini perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak yang kompeten, khususnya dari para pengasuh dan peminat bidang kajian ini. Tujuannya, agar secara proporsional fiqh dapat terus berkembang sesuai dengan kebutuhan jaman, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Dengan cara itu, maka fiqh akan lebih berkembang, sekaligus menawarkan banyak pilihan hukum yang secara praktis diperlukan, baik untuk pengembangan keilmuan maupun bagi pemecahan berbagai persoalan kehidupan manusia, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Lebih dari itu, secara sosiologis diharapkan akan dapat membangun toleransi dan ukhuwwah islamiyah dalam arti yang lebih luas dan sebenarnya, sekaligus mengakhiri dan menghilangkan potensi konflik yang bersumber dari masalah-masalah khilafiyah di bidang fiqh, yang tidak kondusif bagi soliditas umat Islam dan kehidupan masyarakat Indonesa yang plural

20

dan multikultural, bahkan bagi perkembangan fiqh itu sendiri. Wallahu A’lam.

21

Penutup: Tulisan ini, betata pun sederhananya, ingin saya persembahakan sebagai kado ulang tahun untuk guruku yang sangat saya kagumi dan sangat saya banggakan, Prof. Atjep Djazuli, yang pada Maret 2008 ini berulang tahun ke-70. Semoga beliau berkenan menerimanya. Alhamdulillah, saya merasa sangat beruntung telah diberi kesempatan menjadi salah seorang murid Prof. Atjep Djazuli. Selama empat tahun lebih saya menimba ilmu beliau yang sangat luas di bidang fiqh dan ushul fiqh. Khususnya, ketika saya menjadi mahasiswa di Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Bandung mulai tahun 1978 sampai 1984. Di mata kami, para muridnya, sosok Prof. Atjep bukan hanya seorang dosen, tapi sekaligus seorang kiyai yang sangat terpelajar, yang sangat ahli di bidangnya (fiqh dan ushul fiqh). Saya kira, bukan hanya kesan subjektif saya, insya Allah, semua orang yang pernah menjadi muridnya, dan siapa pun yang pernah berdiskusi dan mendengar atau membaca pikiran dan wawasannya, merasakan keluasan ilmu beliau. Bagi saya pribadi, Prof. Atjep adalah seorang guru yang banyak memberi motivasi dan inspirasi dalam memperluas wawasan dalam bidan fiqh. Bahkan, ketertarikan saya pada bidang studi fiqih/ ushul fiqh sejak menjadi mahasiswanya, sedikit banyak termotivasi oleh perkuliahan beliau. Keingininan untuk mengikuti dan meneladani jejak beliau dalam menguasai bidang studi itu, merupakan perjuangan panjang yang terus saya jalani sampai saat ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan beliau kepada saya dan para muridnya, yang sekarang sudah ratusan bahkan mungkin ribuan jumlahnya, dan sudah puluhan di antaranya telah menjadi guru besar, merupakan ilmu yang bermanfaat (yuntafa’u bih), ilmu yang barokah, selain merupakan wujud kebermaknaan hidup dan pengabdian beliau yang patut diteladani. Selamat ulang tahun guruku!

Related Documents

Fiqh Alternatif
May 2020 28
Fiqh
November 2019 66
Fiqh Fix.docx
April 2020 9
Fiqh Lessons
November 2019 21
Liens Fiqh
May 2020 9