PRESENTASI KASUS “KERATITIS PUNGTATA”
Pembimbing: dr. Yulia Fitriani, Sp. M 198207302014122001
Disusun oleh: Nur Annisa Laras Fikria
G1A014008
Laelatul Faizah
G1A014009
Prajna Paramita
G1A014010
Ambar Kholida Zahra
G1A014011
Desi Tri Utami
G1A014012
Aminatuz Zukhruf O
G1A014013
Rizki Maulana Tsani
G1A014014
Nirmala Muflihatul K
G1A014015
SMF ILMU KESEHATAN MATA RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN PRESENTASI KASUS “Keratitis Pungtata”
Disusun oleh: Nur Annisa Laras Fikria
G1A014008
Laelatul Faizah
G1A014009
Prajna Paramita
G1A014010
Ambar Kholida Zahra
G1A014011
Desi Tri Utami
G1A014012
Aminatuz Zukhruf O
G1A014013
Rizki Maulana Tsani
G1A014014
Nirmala Muflihatul K
G1A014015
Diajukan sebagai salah satu komponen penilaian dalam Blok 7.4 Foundation of Clinical Rotation Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal 16 Desember 2017
Pembimbing
Dr. Yulia Fitriani, Sp. M 198207302014122001
2
I.
PENDAHULUAN
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Oleh karena itu, kornea haru s tetap jernih agar tidak menghalangi proses pembentukan sinar. Kelainan yang dapat merusak bentuk maupun kejernihan kornea dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama jika letaknya di sentral (daerah pupil), dan apabila tidak segera diobati dapat menimbulkan kebutaan (Roderick, 2009). Kelainan pada kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut atau kronis dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, maupun alergi. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko keratiris yaitu trauma pada mata, penggunaan lensa kontak, operasi mata, mata kering, deformitas kelopak mata, gangguan sensasi pada kornea, penggunaan steroid topical jangka panjang dan kondisi immunocompromised (Wong et al., 2012). Keratitis dapat digolongkan bedasarkan penyebabnya yaitu keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, dan keratitis akibat alergi. Sedangkan, menurut bentuk klinisnya keratitis dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis numularis, dan keratitis neuroparalitik. Secara garis besar keratitis juga dapat dibedakan berdasarkan tempatya yakni keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial (Ilyas, 2008). Gejala umum keratitis adalah penurunan visus yang perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa seperti ada benda asing di mata. Gambaran klinis masingmasing keratitis pun berbeda-beda tergantung jenis dan penyebab serta tingkat kedalamannya. Pada keratitis yang tidak ditangani dengan benar dapat berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan (Roderick, 2009). Di amerika serikat, sekitar 25.000 penduduknya menderita keratitis infeksi. Insiden dari keratitis mikroba dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yaitu sekitar 2-4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dan sebayak 10-20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan penggunaan jangka panjang (Mills, 2008).
3
II. STATUS PASIEN
A.
IDENTITAS PENDERITA Nama
: Ny. Purwatiningsih
Usia
: 52 tahun
Alamat
: Kalibagor RT 04/05
Waktu datang : 15 Desember 2017
B.
KELUHAN UTAMA Mata kanan dan kiri merah
C.
ANAMNESIS 1.
Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan mata merah terasa dimata kanan dan kiri. Keluhan awalnya dirasakan pada mata kiri sejak 1 bulan yang lalu, satu minggu kemudian mata kanan menjadi merah. Pasien juga mengeluhkan keluar cairan kental berwarna putih kekuningan dari mata kiri di pagi hari setiap bangun tidur. Mata juga berair pada mata kanan dan kiri. Pasien merasakan nyeri pada mata kiri dan terasa makin nyeri apabila tidur miring ke arah kiri. Pasien tidak merasa perih pada kedua mata. Keluhan dirasakan mengganggu aktivitas. Pasien tidak mengeluhkan pandangan kabur, mengeluhkan silau, rasa mengganjal di mata kanan dan kiri disangkal. Pemakaian lensa kontak disangkal.
2.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat DM
: diakui
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat operasi mata
: disangkal
Riwayat trauma mata
: disangkal
Riwayat penggunaan kacamata
: diakui
4
3.
4.
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat DM
: diakui
Riwayat hipertensi
: diakui
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi Pasien bekerja sebagai guru dan ibu rumah tangga. Udara di lingkungan kerja pasien terasa bersih dan tidak berdebu.
D.
STATUS PRESEN Keadaan Umum/Kesadaran Tinggi Badan
: 163 cm
Berat Badan
: 50 kg
IMT
: 18.81 kg/m2
: Baik/Compos mentis
Tekanan darah : 150/80 mmHg Nadi
: 80x/menit
Respiratory rate : 20x/menit Suhu
E.
: 36,5 oC
STATUS OFTALMOLOGIK Okuli Dextra
Okuli Sinistra
5
Visus
Okuli Dextra
Okuli Sinistra
VOS = 0,8 F
VOS = 0,8 F
Visus dengan kacamata -
-
sendiri Visus koreksi
-
Bola mata
Ukuran (N), gerak segala Ukuran
Silia
Palpebral superior
-
segala arah
SS: madarosis (-)
SS: madarosis (-)
S: trikiasis (-)
S: trikiasis (-)
Lagophtalmus (-), ptosis Lagophtalmus (-), ptosis (-), oedem (-)
Oedem (-), Sekret (-), Oedem (-), Sekret (+), Hiperemis (-)
Konjungtiva palpebra
gerak
arah
(-), oedem (-) Palpebral inferior
(N),
Hiperemis (+)
Folikel (-), Sekret (-), Folikel (-), Sekret (+), Anemis (-), hiperemis (-) Anemis (-), hiperemis (+)
Konjungtiva bulbi
Jar.
Fibrosa
Konjungtiva
(-), (+),
inj. Jar.
Fibrosa
inj. Konjungtiva
(-),
inj.
(+),
inj.
Silier (-)
Silier (-)
Sklera
Ikterik (-), blue sklera (-)
Ikterik (-), blue sklera (-)
Kornea
Infiltrat (-), Keratokonus Infiltrat
(+),
(-),
(-), Keratokonus
(-),
Keratoglobus
(-),
Keratoglobus
Keratik presipitat (-)
Keratik presipitat (-) Bilik mata depan
COA dalam (+), hifema COA dalam (+), hifema (-), hipopion (-), efek (-), hipopion (-), efek tyndall (-)
Iris
Kripte simetris,
tyndall (-)
(N),
nodul
regular Pupil
3mm,
cokelat, Kripte (-), simetris,
(N),
cokelat,
nodul
(-),
regular bulat,
sentral, 3mm,
bulat,
sentral,
6
regular,
R.
direct
& regular, R. direct
Indirect (+)
Indirect (+)
Lensa
Jernih, Iris shadow (-)
Jernih, Iris shadow (-)
Reflek fundus
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Korpus vitreus
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tekanan intraokuli
Normal teraba seperti Normal teraba seperti pangkal hidung
System
pangkal hidung
kanalis Hiperemis (-), oedem (-), Hiperemis (-), oedem (-
lakrimalis
F.
&
Nyeri tekan (-)
), Nyeri tekan (-)
RINGKASAN 1.
Anamnesis KU
: mata kanan dan kiri merah
Onset
: 1 bulan yang lalu
Lokasi
: mata kanan dan mata kiri
Kuatitas
: terus-menerus
Kualitas
: mengganggu aktivitas
Progresifitas
: semakin lama semakin meluas
Faktor memperberat : tidur miring kiri mata kiri semakin nyeri Faktor memperingan: Keluhan Penyerta : mata berair, keluar cairan putih keluningan pada mata kiri, nyeri mata kiri, silau kedua mata. RPD
: DM (+), penggunaan kacamata (+), keluhan serupa (-)
RPK
: HT (+), DM (+), keluhan serupa (-)
Riwayat Sosek
: Pasien bekerja sebagai guru dan ibu rumah tangga. Udara di lingkungan kerja pasien terasa bersih dan tidak berdebu.
2.
Status Oftalmologik a.
Konjungtiva bulbi oculi deksta terdapat injeksi konjungtiva (+)
7
b.
Palpebra inferior oculi sinistra terdapat sekret (+) dan hiperemis (+).
c.
Konjungtiva palpebral oculi sinistra terdapat sekret (+) dan hiperemis (+)
G.
H.
d.
Konjungtiva bulbi oculi sinistra terdapat injeksi konjungtiva (+)
e.
Kornea oculi sinistra terdapat infiltrate (+)
DIAGNOSIS DIFERENSIAL 1.
Uveitis
2.
Glaukoma
DIAGNOSIS KERJA ODS Keratitis Pungtata
I.
TERAPI Gentamisin eye drop 1.5% 4x1 tetes ODS Triaxitrol eye drop 4x1 tetes ODS Progenta Minidose 4x1 tetes ODS
J.
PROGNOSIS Quo ad visam
: OD = Bonam OS = Bonam
Quo ad sanam
: OD = bonam OS = bonam
K.
Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad cosmeticam
: Bonam
USULAN/RENCANA a.
Kultur
b.
Flouresen test
c.
Test Plasido
8
III. PEMBAHASAN
Pada kasus, pasien mengalami keluhan mata merah di kedua mata sejak 1,5 bulan lalu. Mata merah terjadi akibat kongesti pembuluh darah sebagai respon dari inflamasi pada mata. Pasien mengeluh mata kiri terasa nyeri dan semakin terasa nyeri saat berbaring ke kiri. Mata merah dengan nyeri sedang sampai berat dicurigai
terdapat
kelainan
pada
mata
berupa
keratitis
herpetiformis,
konjungtivitis bakterialis, keratitis, ulkus kornea, uveitis, skleritis, trauma mata, dan glaukoma sudut tertutup (Cronau et al., 2010). Kemudian, pasien mengeluhkan silau atau fotofobia pada kedua matanya. Fotofobia terjadi karena stimulasi dari ujung saraf. Keluhan silau pada mata dapat dijumpai pada keratitis bakterialis, skleritis, uveitis, dan glaukoma sudut tertutup. Pada konjungtivitis, fotofobia tidak ditemukan sehingga diagnosis ini dapat disingkirkan (Gilani et al., 2016). Keluhan lain berupa sekret berwarna putih kekuningan menunjukan adanya infeksi bakterial. Keluhan seperti pusing, mual dan muntah tidak ada sehingga tidak dicurigai adanya peningkatan tekanan intraokular. Pasien mengaku tidak pernah menggunakan lensa kontak. Pasien juga mengaku tidak pernah mengalami trauma dan operasi pada kedua matanya. Namun, pasien merupakan penderita diabetes mellitus yang merupakan salah satu faktor risiko dari keratitis (Gillani et al., 2016). Pada pemeriksaan fisik lokalis mata dengan slitlamp didapatkan infiltrat pada kornea mata kiri, sehingga diagnosis keratitis semakin kuat. Pada keratitis terjadi peradangan pada kornea berupa multiple, kecil di permukaan kornea akibat infeksi bakteri, defisiensi vitamin B2, infeksi virus, trauma kimia, sinar ultraviolet ( Ilyas, 2015). Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat benda asing, misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak. Di samping itu, kerusakan epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel, nekrosis misalnya pada keratomalasia, deskuamasi epitel akibat edema kornea, dan perubahan secara trofik. Pada keratitis, perlu diperhatikan saat inspeksi mata antara lain abnormalitas kelopak mata seperti trichiasis dan lagophthalmos, penurunan reflek kornea, adanya discharge dan injeksi konjungtiva. Kemudian pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji fluorescein
9
untuk menilai adanya defek epitel kornea, serta adanya infiltrat pada kornea yang diperiksa menggunakan slit lamp (Upadhyay et al., 2015). Pada pasien tidak didapatkan abnormalitas pada kelompak mata maupun bulu mata. Namun pada konjungtiva didapatkan injeksi konjungtiva dan discharge berwarna putih kekuningan. Kemudian, pada pemeriksaan kornea dengan slit lamp didapatkan infiltrat pada mata kiri. Pada pemeriksaaan tekanan intraokular mata tidak ada kelainan sehingga diagnosis glaukoma dapat disingkirkan Penemuan pada hasil pemeriksaan fisik menunjukan adanya defek pada kornea sehingga dapat disimpulkan pasien menderita keratitis punctata.
10
IV. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Keratitis adalah peradangan pada kornea. Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di lapisan bowman dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Berdasarkan lokasinya, keratitis dibagi menjadi 3 jenis, yaitu keratitis superfisial, interstisial, dan profunda (Fitryani et al., 2014). Keratitis pungtata termasuk dalam kelompok keratitis superfisial. Sedangkan berdasarkan etiologinya, keratitis dapat dibedakan menjadi keratitis bakterial, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis parasit, dan keratitis noninfeksi (Pambudy et al., 2014).
B. Epidemiologi Keratitis pungtata merupakan penyakit mata yang cukup sering ditemukan, mengingat etiologi dari penyakit ini yang sangat beragam. Keratitis dapat terjadi akibat invasi mikroorganisme, masuknya benda asing pada bagian dalam palpebrae, pemakaian lensa kontak, paparan asap, mata kering, alergi, dan lain-lain. Angka kejadian keratitis di amerika serikat berkisar 5% diantara seluruh penyakit mata. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang setiap tahunnya. Perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan tidak mencolok (American Academy of Ophthalmology, 2007).
C. Etiopatogenesis Kornea merupakan lapisan terluar bola mata yang berwarna jernih dan berperan penting dalam proses refraksi. Secara histologi, kornea terdiri atas enam lapisan, yaitu epitel, stroma, dua layer, bowman, membran descement, dan endotel. Peradangan pada kornea paling sering disebabkan infeksi oleh berbagai organisme, seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit. Keadaan noninfeksi juga dapat menjadi faktor penyebab keratitis, antara lain trauma, pemakaian kontak lensa, penyakit permukaan mata (mata kering, trikiasis,
11
entropion), imunosupresi, diabetes melitus, dan defisiensi vitamin A (Pambudy et al., 2014). Epitel kornea merupakan pelindung yang baik bagi kornea terhadap invasi mikroorganisme. Rusaknya epitel kornea, menyebabkan lapisan kornea yang lebih profunda (lapisan bowman, stroma) terpapar langsung dengan lingkungan eksternal dan menjadikannya mudah terkena infeksi. Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya
keratitis.
Pemakaian
kortikosteroid
jangka
panjang
akan
menyebabkan penekanan pada sistem imun tubuh, sehingga infeksi oleh organisme oprtunistik dapat terjadi (Pambudy et al., 2014). Lesi epitel kornea merupakan pintu masuk bagi mikroorganisme untuk menginfeksi kornea. Mikroorganisme tersebut akan berkolonisasi di lapisan stroma dan menimbulkan gejala klinis berupa mata merah. Kolonisasi tersebut akan menyebabkan reaksi inflamasi yang kemudian menyebabkan antibodi diaktifkan dan menuju lokasi lesi. Akibat reaksi inflamasi kornea dapat berubah menjadi sedikit keruh dan mengandung infiltrat. Jika tidak segera ditangani, mikroorganisme yang menginvasi kornea dapat menyebar dan menginfeksi seluruh permukaan kornea hingga ke bagian bola mata yang lebih profunda (Lang, 2006).
D. Klasifikasi Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal: 1.
Berdasarkan Lapisan yang Terkena Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi: a.
Keratitis Pungtata Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel tiologi Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada Moluscum contagiosum, Acne rosasea, Herpes simplex, Herpes zoster, Blepharitis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis lagoftalmos, keracunan obat seperti
12
neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet lainnya. Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan (Ilyas, 2009).
Gambar 4.1 Keratitis pungtata
Pada Pemeriksaan laboratorium penyakit ini ditandai kekerutan epitel
yang
meninggi
berbentuk
lonjong
dan
jelas
yang
menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun (Ilyas, 2009). b.
Keratitis Marginal Keratitis Marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis Etiologinya adalah
13
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia (Ilyas, 2009). Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus (Ilyas, 2009). Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi
organisme,
khususnya
bakteri
(Biswell,
2010).Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi (Ilyas, 2009). c.
Keratitis Interstisial Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 2008). Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis (Ilyas, 2009). Keratitis Interstisial biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya visus. Menurut Hollwich (2008) keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis lainnya (Ilyas, 2009) Pada pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan grammaupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell, 2010). Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama secara intensif setiap
14
jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali sehari dan salep mata pada malam hari (Hollwich, 2009). Selain itu Keratitis dapat di bagi berdasarkan: a.
Keratitis epithelial Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis, dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat (misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi
sampai
erosi
kecil-kecil,
pembuntukan
filament,
keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi itu juga bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan dan tanpa pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata bagian luar (Khurana, 2014). b.
Keratitis Stroma Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang menunjukkan akumulasi sel-el radang; edema muncul sebagai penebalan
kornea,
pengkeruhan
atau
parut;
penipisan
dan
perlunakan, yang dapat berakibat perforasi, dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter sering harus mengandalkan informasi klinik
dan
pemeriksaan
labpratorium
untuk
menetapkan
penyebabnya (Khurana, 2014). c.
Keratitis Endotelial Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula-mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel–sel radang pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak selalu menandakan adanya
15
penyakit endotel karena sel radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak menyertai keratitis stroma. 2.
Berdasarkan Organisme Penyebab a.
Keratitis Bakterial Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah
bakteri
yang
dapat
menginfeksi
kornea
yaitu
Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan haemophilus. Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang intak. Gejala – gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair (Vaughan,2015).
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal (ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui. Immobilisasi badan siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi (Lang,2007)
16
Gambar 4.2 Keratitis Bakteri b.
Keratitis Viral 1) Keratitis Herpes Simplex Terdapat dua bentuk keratitis herpes simplex yaitu primer dan rekurens. Keratitis jenis ini merupakan penyebab ulkus yang paling umum dan penyebab kebutaan kornea yang paling umum. Gejalanya yaitu sangat nyeri, photophobia, hiperlakrimasi, dan pembengkakan pada kelopak mata. Bentuk keratitis virus herpes simpleks dibedakan berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritic mempunyai khas lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan dapat berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel yang intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus herpes simpleks terdapat pada humor aquos yang menyebabkan pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada pasien imunokompromis (AIDS) (Lang,2007) Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti
IDU
trifluoritimidin dan asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena gejala akan sangat berkurang
17
akan tetapi proses berjalan trus karena daya tahan tubuh yang berkurang (Lang, 2007). 2) Keratitis Herpes Zooster Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa). Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian analgetika, vitamin dan antibiotik topical atau umum untuk mencegah infeksi sekunder (Lang, 2007).
Gambar 4.3 Keratitis Viral c.
Keratitis Jamur Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida albicans. Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan bahan organic yang mengandung jamur seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah, ulkus yang berbatas tegas dan dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous. Pada pemeriksaan slitlamp menunjukkan infiltrat stroma yang berwarna putih keabuan, khusuhnya jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi – lesi 18
yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang besar membentuk lesi satelit. Indentifikasi mikrobiologi jamur sulit dan memakan waktu. Pengobatan konservatif berupa anti nikotik topikal seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B, sedangkan tindakan pembedahan berupa keratoplasti jika dengan pengobatan konservatif gagal dan keadaan makin memburuk dalam perawatan (Lang, 2007).
Gambar 4.4 Keratitis Fungal
Menurut Susetio (2003) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut : 1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama. 2) Lesi satelit. 3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. 4) Plak endotel. 5) Hipopion, kadang-kadang rekuren. 6) Formasi cincin sekeliling ulkus. 7) Lesi kornea yang indolen. Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun
negative
mbelum
dapat
menyingkirkan
diagnosis
keratomikosis. Hal yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan
19
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa (Susetio, 2003).
E. Gejala Klinis Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan blefarospasme. Oleh karena korea memiliki banyak serat – serat saraf, kebanyakan lesi kornea baik supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri pada keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral (umunnya palpebral superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga terjadi penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela
mata
dan
merefraksikan
cahaya,
lesi
kornea
sering
kali
mengakibatkan penglihatan menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian Sentral (Khurana, 2014). Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi epithelia multiple sebanyak 1-50 lesi (rata-rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan bintik-bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi flouresent (Vaughan, 2015). Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
20
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien (Khurana, 2014).
F. Diagnosis Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel kornea dan membran bowman superfisial terkait (Riordan Eva, 2013). Fluoresein adalah pewarna khusus yang dipakai untuk memulas kornea dan menonjolkan setiap ketidakteraturan pada permukaan epitelnya. Fluoresein topikal merupakan larutan pewarna water-soluble yang non-toksik dantersedia dalam berbagai bentuk, contohnya disertai dengan obat anestetik (benoxinate or propracaine) atau dengan antiseptik (povidoneiodine). Secarik kertas steril dengan fluoresein dibasahi dengan saline steril atau anestetik lokal dan ditempelkan pada permukaan dalam palpebra inferior untuk memindahkan pewarna kekuningan itu ke dalam lapis air mata (The Eye M.D. Association, 2011). Flouresein dapat melakukan penetrasi pada intraseluler kornea, namun jika lapisan epitel kornea intak maka larutan flourensceins ini tidak bisa menembus epitel. Larutan flourenscein ini lebih mudah diobservasi pada kornea dibandingkan pada konjungtiva, maka pemeriksaan flourenscein ini merupakan pemeriksaan yang dibutuhkan dalam mengevaluasi kelainan di kornea. Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal tersebut dapat memberikan gambaran defek epithelial. Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai informasi yang berguna dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis pungtata superfisial (Pflugfelder, 2004).
21
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit (Lang, 2007).
G. Diagnosis Banding 1.
Uveitis Uveitis adalah peradangan yang terjadi pada iris, corpus ciliare, atau koroid. Uveitis dapat juga terjadi sekunder akibat keratitis atau skleritis. Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun. Uveitis dapat di bagi menjadi 3 bentuk yaitu uveitis anterior, intermediet dan posterior. Gejala pada uveitis anterior adalah nyeri, fotofobia dan penglihatan kabur. Uveitis anterior biasanya terjadi unilateral dan onsetnya akut. Tanda dari uveitis intermediet adalah peradangan vitreus. Uveitis intermediet memiliki gejala khas yaitu floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada. Sedangkan gejala pada uveitis posterior adalah floaters, kehilangan lapangan pandang atau penurunan tajam penglihatan yang mungkin parah (Lin et al., 2014).
Gambar 4.5 Uveitis
22
2.
Glaukoma Akut Sudut Tertutup Glaukoma sudut tertutup akut (glaukoma akut) terjadi bila bentuk iris bombe yang menyebabkan oklusi sudut bilik mata depan oleh iris perifer. Hal ini akan menghambat aliran keluar aqueous dan tekanan intraokular meningkat dengan cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan penglihatan kabur (Weinreb et al., 2014).
Gambar 4.6 Glaukoma Akut Sudut Tertutup 3.
Oftalmika Simpatika Oftalmika Simpatika merupakan peradangan bilateraldengan gejala klinis penglihatan menurun dan mata merah. Biasanya terjadi akibat trauma tembus atau bedah mata intraokular. Tanda dini dari penyakit ini adalah gangguan binokular akomodasi atau tanda radang ringan uvea anterior ataupun posterior. Tanda yang terlihat adalah mata sakit dan fotofobia pada kedua mata (Chu and Chan, 2013).
4.
Endoftalmitis Merupakan peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Endoftalmitis terbagi dua yaitu endoftalmitis eksogen akibat trauma atau infeksi sekunder setelah proses pembedahan dan endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri, jamur, ataupun parasit dari fokus infeksi di dalam tubuh. Peradangan akibat bakteri akan memberikan gambaran klinik rasa sakit yang sangat, kelopak merah dan bengkak, kelopak sukar di buka, konjungtiva keruh dan merah, kornea keruh, BMD keruh yang kadang-kadang di sertai hipopion (Safneck, 2012). 23
Gambar 4.7 Endoftalmitis
H.
Tatalaksana Penatalaksaan dari keratitis biasanya simptomatik 1.
Artificial tears membantu mata mengeluarkan benda asing
2.
Specific treatment dapat ditambahkan pada pasien, misalnya antiviral jika penyebabnya adalah virus Respon cepat lambatnya kornea pada agen infeksinya bergantung pada
penyebabnya, maka diberikan pengobatan berupa artificial tears untuk membantu mata mengeluarkan agen penyebab iritasi pada kornea. Sekitar 90% dari inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu epitel yang tidak intak dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea. Penanganan diawali dengan antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum terhadap kebanyakan organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil kultur dan tes sensitifitas diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk aminoglycoside dengan cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit. Seringkali digunakan ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata – rata penyembuhan dan penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.levofloxacin maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan pemberian oral.
24
I.
Prognosis Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika tidak terdapat sikatriks ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis pungtata superficial sangat baik. Sikatriks pada kornea dapat timbul pada kasus-kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung lama (Upadhyay et al., 2015).
25
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2007. Externa disease and cornea. San Fransisco: 8-12, 26-35. Chu, X.K., Chan, C.-C., 2013. Sympathetic Ophthalmia: To The Twenty-First Century and Beyond. J. Ophthalmic Inflamm. Infect. 3(49). Cronau, H., Kankanala R.R., Mauger T. 2010. Diagnosis and Management of Red Eye in Primary Care. Am Fam Physician, 81(2): 137-44. Fitriyani, A.B., Asy’ari, A.H. & Taufik, S.S. 2014. Keratitis Pungtata. Repository Unhas. Gillani C.J., Allen Y., Marc Y., Megan B. 2017. Differentiating Urgent and Emergent Causes of Acute Red Eye for the Emergency Physician. Western Journal of Emergency Medicine, 18 (3): 509-517. Hollwich F. 2008. Ophthalmology. Terjemahan Waliban. Jakarta: Binarupa Aksara; p. 57-63. Ilyas S. 2008. Imu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Khurana KA. 2014. Diseases of the Cornea. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive Ophthalmology 6th ed. New Delhi: New Age International; p. 51 - 82. Lang GK. 2007. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart: Thieme; p. 115-60. Lang, Gerhard K. 2006. Ophtalmology: a pocket textbook atlas. New York: Thieme. Lin, P., Suhler, E.B., Rosenbaum, J.T., 2014. The Future of Uveitis Treatment. Ophthalmology, 121: 365–376. Safneck, J.R., 2012. Endophthalmitis: A Review of Recent Trends. Saudi J. Ophthalmol. 26: 181-189. Millis T J. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis. Medscape. Pambudy, I.M. & Irawati, Yunia. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media aesculapius. Pflugfelder, Stephen C. Beuerman, Roger W. Stren, Michael S. 2004. Dry Eye and Ocular Surface Disorder. Marcell Dekker; p. 285-95. Riordan-Eva. 2013. Anatomy and embryology of The Eye. In: Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. General Ophthalmology. 20th edition. Connecticut: Appleton & Lange; p. 1-26. Roderick B. 2009. Cornea. In: Vaughan& Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; p. 125-149.
26
Susetio, B., 2003. Penatalaksaan Infeksi Jamur pada Mata. In: Cermin Dunia Kedokteran No 87. The Eye M.D. Association. 2012. External Diseases and Cornea in Basic and Clinical Science Course, American Academy of Opthalmology. Lifelong Education for the Opthalmologist. Upadhay M., Muthiah S., John P. 2015. Diagnosing and Managing Microbial Keratitis. Community eye health journal, 28 (89): 1-6. Upadhyay, M.P., Srinivasan, M., Hospital, A.E., Whitcher, J.P., 2015. Diagnosing and Managing Microbial Keratitis, 28: 3–6. Vaughan D,Asbury T,Riordan-Eva 2015. General Ophthalmology. 17th edition. Connecticut: Appleton & Lange; p. 139. Weinreb, R., Aung, T., Medeiros, F., 2014. The Pathophysiology and Treatment of Glaucoma. J. Am. Med. Assoc, 311: 1901-1911. Wong RLM et al. 2012. New Treatment for Bacterial Keratitis. Journal of Ophthalmology; p. 1-7.
27