FILSAFAT SEJARAH ( Sifat Alamiah Suatu Ilmu) (Tugas Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Kuliah Filsafat Sejarah) Dosen pengampu : Henry Susanto S.S.,M.Hum dan Sumargono,S.Pd.M.Pd.
Oleh Kelompok 10 1. Ulfa Diana
1713033033
2. Septi Annisa Putri
1713033025
3. Galuh Pravita Sari
1713033020
4. Astika Oktaviyana
1753033006
5. Deka Rio Alditanasya
1753033006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2019
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Sifat Alamiah Suatu Ilmu” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti mata kuliah Filsafat Sejarah. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan semangat kepada kami 2. Bapak Henry Susanto S.S.,M.hum dan Bapak Sumargono,S.Pd.M.Pd yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. 3. Teman teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan khususnya teman teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2017. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak. Dan apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar besarnya.
Bandarlampung,
Februari 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2.Rumusan Masalah 1.3.Tujuan Penulisan BAB II PEMBAHASAN 2.1.Pengertian ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu 2.2.Sifat alamiah suatu ilmu BAB III PENUTUP 3.1.Kesmpulan 3.2.Saran DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1.Latar Belakang Masalah Alam semesta merupakan ciptaan Tuhan yang menakjubkan. Manusia merupakan salah satu unsure yang berada di dalam nya. Diberkahi akal sehat serta makhluk yang sempurna, manusia memiliki otak yang memiliki kemampuan bekerja yang terus berkembang, kemampuan inilah yang disebut kemampuan rasional. Kemampuan rasional yang terus berkembang inilah merupakan ciri khas manusia. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah animal rasionale. Kemampuan rasional sangat berguna bagi manusia dalam rangka memecahkan problem hidupnya. Manusia mempunyai dunia yang terbuka bagi semua kemungkinan, dengan ini maka problem manusia juga berkembang. Ada tiga kondisi dasar kehidupan manusia, hasrat ingin tahu, dunia yang terbuka, hasrat menyelesaikan masalah. Dari kondisi dasar inilah manusia menggunakan logika. Cara kerja logika manusia pun berkembang dari yang sederhana kearah yang komplek dan sistematis. Pada tahap awal akal manusia bekerja untuk memenuhi rasa ingin tahu. Tahap ke dua akal manusia bekerja dalam membantu memecahkan problem hidupnya. Tahap ke tiga, memasuki tahap tantangan dimana akal menciptakan kebutuhan baru atau teori (pengetahuan) sebagai pemenuhan hasrat ingin tahu.
Cara kerja akal yang tersusun secara sistematis inilah yang disebut sebagai ilmu. Ilmu berkembang seiring dengan perkembangan dan perubahan seta tuntutan hidup manusia. Dalam perkembangan nya di satu sisi ilmu telah memberikan kontribusinya bagi kehidupan manusia dan bisa bergerak menjadi ancaman. Untuk karena itu dibutuhkan nya untuk mengetahui sifat-sifat alamiah dalam ilmu untuk menghadapi perkembangan zaman sekarang.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat ditemukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud filsafat ilmu? 2. Apa saja sifat alamiah dalam ilmu?
1.3.Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diketahui penyusun memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui apa yang dimaksud filsafat dan ilmu 2. Mengetahui sifat alamiah dalam ilmu
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Pengertian ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu
Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science, bahasa latin scientia berarti mempelajari atau mengetahui yang diturunkan dari kata scire artinya mengetahui atau belajar. Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. (Wilujeng, Jurnal ISSN, No, 2, 2014:97) Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena, apabila para penyelenggara berbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing masing ilmu itu sendiri, maka orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut. ( Beerling,Kwee,Mooij Van Peursen,2003:1) Dengan mengalihkan perhatian dari obyek-obyek yang sebenarnya arti penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya sendiri, maka muncullah
suatu matra baru. Segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan menjadi tampak. Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling hubungan antara obyek-obyek dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah. Dan memang filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan (secondary reflexion) Di dalam tahapan perkembangan penyelenggaraan ilmu yang dipercepat dan jalinmenjalin (seperti yang terjadi dewasa ini), maka refleksi sekunder yang demikian itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada Bahkan memang sudah sejalan dengan keadaan ilmu itu sendiri untuk member tekanan perhatian kepada metodika serta sistem, dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang-Iatar belakang serta hubunganhubungan yang dipunyai kegiatan-kegiatan ilmiah. Refleksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha yang demikian itu. Sumbangan tersebut masih dapat mengambil dua bentuk. Pertama, kita dapat mengarahkan
metode-metode
penyelidikan
ilmiah
kejuruan
kepada
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah. Secara demikian sejarah ilmu dapat menganalisa serta menerangkan hubungan-hubungan kesejenisan yang ada antara berbagai ilmu dalam sejarah. Demikian pula psikologi ilmu serta sosiologi ilmu, dapat menyelidiki proses-proses serta struktur-struktur, faktor-faktor serta syaratsyarat yang berlaku baik pada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah secara ilmu demi ilmu maupun secara kolektif. Di dalam ketiga macam bentuk refleksi ilmiah itulah, dilakukan penyelidikan mengenai latar belakang-latar belakang serta hubungan-hubungan yang bersifat faktual, dipertanyakan kembali secara defacto asal-mula
yang
mempertumbuhkan
serta
memungkinkan
timbulnya
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah, atau sebaliknya yang merintangi serta membatasi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah. ( Beerling,Kwee,Mooij Van Peursen,2003:2)
Kedua, kita dapat menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap kegiatan ilmiah. Dalam hal ini kita mempertanyakan kembali secara de jure mengenai landasanlandasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu untuk memberikan pembenaran terhadap dirinya sendiri serta terhadap apa yang dianggapnya benar. Perbedaan antara filsafat ilmu dengan sejarah ilmu, psikologi ilmu, serta sosiologi ilmu terletak pada masalah yang hendak dipecahkan serta juga pada metode yang digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyataannya melainkan mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat mengatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ”ilmiah”.
Pertanyaan ini tidak akan dapat dijawab dalam lingkungan ilmu itu sendiri, dan juga tidak dalam reflesi ilmiah terhadap ilmu. Pertanyaan tersebut membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Dan ini tidaklah berarti, perenungan kefilsafatan dapat dipisahkan dari penyelenggaraan ilmu yang sebenarnya. Bahkan sebaliknya nya, syarat mutlak bagi filsafat ilmu mengandung makna ialah adanya pengetahuan mengenai permasalahan yang terdapat dalam ilmu ilmu kejuruan secara mendalam. Pertalian antara filsafat dengan ilmu haruslah terjelma dalam pribadi filsuf ilmu. la harus berdasarkan atas pengalamannya sendiri secara sungguh-sungguh, dalam memahami ada. nya berbagai
macam
cara
yang tidak
sama
yang dapat
digunakan
bagi
penyelenggaraan ilmu-ilmu kejuruan. Jika tidak demikian halnya, dapat timbul bahaya besar seperti halnya yang terjadi dalam bentuk-bentuk reneksi sekunder lain bahwa orang bertitik tolak pada gambarangambaran skematik yang diperolehnya sesudah ia melakukan refleksi, dan bukannya bertitik tolak pada proses penyelenggaraan ilmu itu sendiri. Di samping filsafat ilmu yang bersifat umum tersebut, terdapat pula filsafat ilmufilsafat ilmu khusus. Filsafat ilmu khusus membicarakan kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan daiam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompokkelompok ilmu tertentu, seperti kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat,
kelompok ilmu teknik, dan sebagainya. Ini perlu dijelaskan karena, acapkali filsafat ilmu khusus dari kelompok ilmu alam dipandang sebagai filsafat ilmu umum, dan kategori -kategori serta metode-metode yang digunakan dalam kelompok
ilmu
alam
tersebut
dianggap
sebagai
pola
dasar
bagi
kelompokkelompok ilmu yang lainnya. Di dalam filsafat ilmu umum, masalah kesatuan, keragaman, serta hubungan di antara segenap ilmu masih merupakan persoalan, yang tegas-tegas harus dikemukakan dalam kaitannya dengan masalahmasalah yang lain, seperti masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan, kesatuan, penjenjangan, serta susunan kenyataan, dan sebagainya.
(
Beerling,Kwee,Mooij Van Peursen,2003:4) Sesungguhnya terdapat suatu keadaan saling mempengaruhi antara sifat serta kadar pengetahuan ilmiah di satu pihak, dengan sarana-sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut, di lain pihak. Ini mengakibatkan dalam perjalanan sejarah terjadi pergeseran-pergeseran dalam hal isi pengertian ”ilmiah”. Sudah pasti di sini, faktorfaktor yang berada di luar ilmu juga ikut berpengaruh. Tetapi faktorfaktor tersebut harus diupayakan agar tidak menghentikan pengembangan ilmu secara mandiri. Menurut pendirian modern yang kita termasuk di dalamnya ilmu dipandang mempunyai kedudukan mandiri (autonomous) dalam usaha memperkembangkan norma-norma ”ilmiah” bagi dirinya sendiri. Pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas keyakinan di bidang etik-keagamaan, kemanfaatan bagi masyarakat, keuntungan ekonomi, kegunaan politik, dan sebagainya, tidak boleh mempengaruhinya. Selangkah lebih maju, ini berarti pengakuan bahwa usaha mencapai pengetahuan ilmiah itu sendiri sudah dipandang berharga. Tentu ini tidak berarti memustahilkan terdapatnya bentuk-bentuk pengetahuan, pemahaman serta kebijaksanaan lain, yang juga dipandang berharga. Dan yang tidak dimustahilkan pula ialah, dalam babak terakhir ilmu dipandang sebagai bagian integral dari kebudayaan dan masyarakat. Sesungguhnya tidak ada alasan untuk menganut pendirian ”ilmu demi ilmu” dan untuk berpendapat bahwa ilmu hendaknya diselenggarakan semata. mata demi dirinya sendiri Dalam kenyataannya, dengan melalui berbagai cara, bahkan tampaknya ilmu semakin lama semakin erat
berjalin dengan masyarakat, mendapatkan dorongan dorongan maju dari masyarakat, dan juga membawa akibat-akibat besar bagi masyarakat. Begitulah maka pada banyak lapangan kian tampak adanya batas yang kabur yang memisahkan penyelidikan ilmiah murni dengan penyelidikan ilmiah terapan. Kiranya tidaklah sesuai dengan kenyataan hidup bila kita menutup mata terhadap kenyataan ini. ( Beerling,Kwee,Mooij Van Peursen,2003:6)
Kemandirian ilmu sesungguhnya bersangkutan dengan norma-norma "ilmiah". Kita baru dapat mengatakan sesuatu hal sebagai ilmu, apabila pengetahuan yang diusahakannya serta cara-cara kerja yang diterapkannya memenuhi sejumlah syarat tertentu. Subyek penyelenggaraan ilmu memang tetap harus ada, tetapi hendaknya diusahakan sedapat mungkin agar dapat digantikan kedudukannya oleh manusiamanusia lain. Menilik sifatnya, dalam babak terakhir tetap manusianya jugalah yang menyelenggarakan ilmu. Betapapun kita dapat melakukan pengamatan, pengukuran, registrasi, eksperimentasi secara ilmiah dengan mengunakan alat-alat yang tinggi derajat kemampuan pemahamannya, dan betapapun kita dapat melakukan
penghitungan,
penyimpulan,
pengubahan
bentuk
dengan
menggunakan komputer-komputer sebagai sarananya, namun dalam babak terakhir manusialah yang menyusun teori-teori serta yang memperoleh hasil-hasil kegiatan ilmiah. Dalam hal ini yang perlu mendapatkan perhatian, dalam penyelenggaraan ilmu, sifat-sifat pribadi serta orang seorang yang dipunyai oleh subyek dengan sendirinya menjadi tidak relevan. Yang penting, subyek tersebut harus memenuhi sejumlah syarat tertentuderajat kecerdasankemampuan untuk berpikir secara akali dan secara kritik, pengetahuan yang mengenai penyusunann pengertian dan mengenai teknik-teknik penyelidikan dan sebagainya. Setiap subyek kalau perlu dapat digantikan kedudukannya oleh sembarang subyek yang lain, yang menilik keadaannya mempunyai pembawaan, perhatian, kecerdasan akal serta pendidikan pendahuluan yang setara.
Dengan melepaskan penyelenggaraan ilmu dari subyek orang seorang, pengetahuan ilmiah memperoleh sifatnya yang umum. Penyelidikan ilmiah memang harus dilakukan dan disajikan sedemikian rupa, sehingga di dalam setiap bagiannya dan di dalam hubungan yang menyeluruh, dapat ditanggapi oleh para ilmuwan lain yang sama bidang keahliannya, Terhadap hasil-hasil penyelidikan ilmiah, harus lah dimungkinkan adanya kesepakatan yang bersifat intersubyektif. ( Beerling,Kwee,Mooij Van Peursen,2003:7)
2.3..Sifat Alamiah Suatu Ilmu
Kebenaran
yang
diungkapkan
secara
mendalam
dengan
tidak
terlalu
menghiraukan kegunaannya menghasilkan pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan itu diungkapkan atas dasar keinginan untuk diketahui semata-mata sampai memperoleh kejelasan tentang mengapa demikian atau sebabnya harus demikian. Pengetahuan didalam ilmu berusaha mengungkapkan keseluruhan aspek didalam objeknya, sehingga tidak sekedar memperhatikan kegunaannya saja. Di samping itu Sutrisno Hadi mengemukakan pula bahwa: “Ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonik daam suatu bangunan yang teratur”.(Nawawi,1993:10) Dari kedua definisi di atas semakin jelas bahwa ilmu selalu dimulai dari sesuatu yang konkrit atau sesuatu yang dapat diamati dan bersifat individua atau khusus. Selanjutnya dengan bantuan kemampuan berfikir yang dapat melampaui batas waktu dan ruang dan statistika, ilmu dapat sampai pada sesuatu yang abstrak dan bersifat umum. Untuk itu demi obyektifitas ilmu yang diungkapkan, orang harus bekerja dengan cara-cara ilmiah. ( Sifat alamiah di dalam ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ilmu harus mempunyai objek, karena kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara yang diketahui dengan objeknya. Persesuaian ini mungkin tidak mengenai seluruh aspek objeknya, tetapi sekurang-kurangnya harus sesuai dengan salah satu atau beberapa aspek dari objeknya. Untuk itu harus dibedakan antara Objek material dan Objek formal yang diungkapkan ilmu. Objek material adalah kenyataan yang diselidiki atau dibahas. Misalnya: manusia adalah objek material yang dipersoalkan oleh berbagai disiplin ilmu. Sedangkan yang dimaksud objek formal adalah aspek khusus atau tertentu dari objek material yang diungkapkan oleh suatu disiplin ilmu. Misalnya tentang budaya atau kebudayaan manusia, tentang perasaan hukum manusia, tentang kegiatan manusia mendidik, tentang kehidupan perekonomian manusia dan lain-lainnya. 2. Ilmu harus mempunyai metode, karena untuk mencapai suatu kebenaran yang objektif dalam mengungkapkannya objeknya ilmu tidak dapat bekerja secara serampangan. Untuk diperlukan cara tertentu yang tepat yang disebut metode keilmuan. Cara itu harus memberi jaminan bagi tercapainya persesuaian antara yang diketahui atau yang diungkapkan dengan kenyataan yang terdapat pada objeknya. Metode keilmuan harus mampu mengungkapkan bukti-bukti atau tanda kebenaran dari pengalaman manusia. Dengan kata lain metode yang dipergunakan harus merupakan cara kerja yang tepat, terarah atau teratur dan benar. 3. Ilmu harus sistematik. Dalam mendiskripsikan pengalaman-pengalaman atau kebenaran-kebenaran tentang objeknya harus dipadukan secara harmonik sebagai suatu keseluruhan yang teratur. Dengan kata lain ilmu harus merupakan kebulatan yang sistematik atau bersistem. 4. Ilmu bersifat universal atau berlaku umum. Kebenaran yang dideskripsikan ilmu bukanlah mengenai sesuatu yang bersifat khusus atau yang individual. Kebenaran ilmiah berkenaan dengan suatu macam atau jenis dan tiap-tiap sesuatu di dalam macam atau jenis tersebut. Di dalam istilah penelitian berarti kebenaran ilmu harus berlaku bagi suatu populasi tertentu dan tidak sekedar berlaku secara terbatas pada unsur-unsurnya yang disebut sampel. (Nawawi,1993:11)
Metode, sistematika dan sifat universal serta bahkan juga objek material dalam berbagai disiplin ilmu mungkin sama. Oleh karena itu yang membedakan suatu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain adalah objek formalnya. Berdasarkan perbedaan objek formal itu, ilmu dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar sebagai berikut: 1. Ilmu yang objeknya benda alam dengan hukum-hukumnya yang relatif bersifat pasti dan berlaku umum disebut ilmu alam. Objeknya adalah faktafakta alam yang tidak dipengaruhi oleh manusia. Di samping itu karena hasilnya dirumuskan sebagai kepastian, maka disebut juga ilmu pasti atau ilmu eksakta. 2. Ilmu yang objeknya dipengaruhi oleh manusia termasuk juga manusia itu sendiri, sehingga hukum-hukumnya tidak sama dengan hukum-hukum alam karena bersifat secara relatif kurang pasti disebut ilmu sosial. Bukti kebenaran ilmu ini tidak dapat diulang-ulang karena dalam setiap pengulangan
selalu
terdapat
perubahan.
Di
samping
tu
karena
pendekatannya dipandang sebagai hasil kebudayaan manusia, maka ilmu ini disebut juga ilmu budaya. (Nawawi,1993:12)
BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Subyek penyelenggaraan ilmu memang tetap harus ada, tetapi hendaknya diusahakan sedapat mungkin agar dapat digantikan kedudukannya oleh manusia-manusia lain. Menilik sifatnya, dalam babak terakhir tetap manusianya jugalah yang menyelenggarakan ilmu. Betapapun
kita
dapat
melakukan
pengamatan,
pengukuran,
registrasi,
eksperimentasi secara ilmiah dengan mengunakan alat-alat yang tinggi derajat kemampuan pemahamannya, dan betapapun kita dapat melakukan penghitungan, penyimpulan, pengubahan bentuk dengan menggunakan komputer-komputer sebagai sarananya, namun dalam babak terakhir manusialah yang menyusun teoriteori serta yang memperoleh hasil-hasil kegiatan ilmiah. Untuk itulah diperlukan adanya sifat alamiah di dalam ilmu yang dapat diwujudkan apabila memenuhi syarat yaitu adanya objek, metode, sistematik, dan universal.
3.2. Saran
Dengan adanya lmu serta sifat alamiah yang ada di dalamnya hendaknya kita selalu mengamatinya karena, ilmu selalu dimulai dengan sesuatu yang konkrit karena manusialah yang menyelenggarkan suatu keilmuan serta teori.
DAFTAR PUSTAKA. Van Peursen, Mooji, Kwee,dan Beerling. (2003). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Nawawi, Hadari. (1993). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wilujeng, Rahayu Sri. “Ilmu Dalam Perspektif Filsafat” (Suatu Upaya Untuk Mengembalikan Ilmu Pada Hakikatnya).Vol II ,(2014), hal 93-103