FILSAFAT SEJARAH
Disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Tengah Semester (UTS) mata kuliah Filsafat Sejarah Dosen Pengampu : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd
Disusun Oleh: Mohammad Taufiq Asseghaf
(K4416039)
PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2018
1.
Bacalah buku “Sejarah Pemikiran Filsafat Modern” kemudian tuangkan kembali apa yang telah Anda baca! Bab I Isi dan Arti Sejarah Filsafat Modern Secara etimologis sejarah berasal dari bahasa Arab “Syajaratun” yang berarti
pohon. Dalam bahasa Inggris adalah “history”, yang artinya “the record of any succesion of events in time, especially those concerned with the development of man and bis institution”. Dari kedua bahasa tersebut ada sesuatu yang khas yaitu sejarah menunjuk adanya pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan manusia dan institusi-institusi lainnya. Sasaran pokok sejarah adalah suatu “proses menjadi”. Dalam hubungannya dengan pemikiran modern, berarti bagaimana manusia menjadikan sesuatu berubah menjadi bentuk lain, demi tujuan hidupnya dan juga demi kelestarian alam lingkungannya. Dengan demikian jelas bahwa sejarah pasti menunjuk masa depan dengan mempertimbangkan masa lalu sesuai dengn masa kini. Pemikiran menunjuk adanya suatu aktivitas pikiran (akal) manusia yang terkait dengan adanya suatu objek. Kegiatan itu terjadi karena ada dorongan berupa tujuan. Selanjutnya menjadi nyata dengan adanya keterampilan olah pikir dan akal, yang terkait dengan rasa dan karsa. Adapun dorongan atau tujuan mengadakan pemikiran itu ada yang bersifat subjektif dan objektif. Meski ada perbedaan dorongan pemikiran itu ada, namun berpikir tetaplah berpikir. Berpikir pastilah mengenai objek tertentu dan bertujuan mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai objek itu. Berpikir mengandung proses pemikiran. Pertap Sing Mehra, mengidentifikasikan pemikiran sebagai pengetahuan umum. Pemikiran menunjuk pada proses yang tertuju pada kebenaeran. Menurut jenisnya, kebenaran ada yang material (bersifat nyata) dan ada yang formal (mengenai bentuknya saja, tidak perllu bukti-bukti empiris. Kebenaran masig da yang bersifat idealisti, realistis, dan pragmatis. Kebenaran pragmatis adalah yang paling menarik untuk dibahas dalam pemikiran modern.
Karena
pemikiran
pragmatis
selalu
bersifat
kontekstual
dan
mempertimbangkan situasi dan kondisi tertentu daro objek. Pemikiran bagi manusia bersifat kodrati. Tanpa pemikiran dapat dipastikan manusia tidak akan bertahan
hidup. Karena manusia lahir dalam keadaan labil belum terkondisikan dan masih berupa potensi untuk menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungannya. Jika diambil kesimpulan tentang sejarah, pemikiran dan modern maka masingmasing ada kesamaan ciri. Yaitu adanya dinamika yang “terarah kepada”. Jadi, mengandung tujuan (tellos). Disamping itu masing- masing saling memberi arti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Di dalam sejarah terkandung proses yang mempertimbangkan kejadian-kejadian masa lampau untuk membentuk konsep atau pedoman hidup masa kini dalam rangka tujuan hidup masa depan. Jadi, selalu ada arah ke suatu pembaharuan atau dunia hidup modern. Di dalam pemikiran jga ada proses, ada dinamika ke arah pemecahan persoalan (sejarah) menurut konsep, pertimbangan dan penentuan tertentu, yang hasilnya merupakan sesuatu yang baru (modern). Dalam istilah modern juga mengandung dinamika yang bertumpu pada pola pemikiran dan pengetahuan yang tertuju kepada tujuan hidup menurut keselarasan dengan lingkungan. Jadi, sejarah, pemikiran dan modern masing-masing menuntut suatu dinamika ke arah terwujudnya tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan.
Bab II Pemikiran Mitiologis dan Filosofis A. Pemikiran Mitologis Pemikiran mistis merupakan suatu pola pikiryang menyatakan bahwa diri manusia berada di dalam kungkungan gaib alam dan para dewa. Pemikiran mistis secara jelas tampak pada kebudayaan primitif, dimana tingkah lau manusia secara langsung melibatkan diri dengan para dewa sebagai sumber kekuatan alam yang serba misterius.di dalam pemikiran mitologis ternyata sudah ada ketegangan-ketegangan antara dua kekuatan, yaitu kekuatan manusia di satu pihak dan kekuatan alam di pihak lain. Pemikiran mitologis sering kali dipahami sebagai pemikiran yang tidak logis atau tidak ilmiah. Pemikiran mitologis kemudian disebut sebagai “pra-logis” atau pemikiran kekanak-kanakan. Ketika mereka sedang ditimpa wabah penyakit pemikiannya memastikan bahwa dewa sedang murka. Oleh karena itu, diadakanlah upacara-upacara dan sesaji-sesaji.
Mitos dalam bahasa Inggris “myth” yang berarti dongeng atau suatu cerita buatan. Biasanya dongeng dibuat untuk memberikan pedoman agar tingkah lakudan perbuatan manusia lebih terarah. Mitos bukan hanya cerita-cerita penghibur atau laporan berbagai peristiwa alam saja. Lebih dari itu, mitos merupakan suatu rangkaian peristiwa alam saja. Lebih dari itu, mitos merupakan suatu rangkaian peristiwa yang panjang dan mampu menggetarkan jiwa yang kemudian bisa mendorong manusia untuk mengarahkan tingkah lakunya sehingga bisa tercipta suatu kebijaksanaan hidup. Jadi, sebenarnya di dalam pemikiran mitologis manusia telah mulai memerankan diri sebagai subjek terhadap alam. Alam pikiran mitologis yang bersumber dari daya batin manusia atas pengalaman hidupnya, jelas disusun untuk kepentingankepentingan tertentu. Jika direnungi secara saksama, rupanya mitos terarah pada terciptanya suatu cara melahirkan kesadaran manusia bahwa di luar dirinya ada kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat dan ajaib. Alam pikiran mitologis mempunyai ciri-ciri khusus seperti: belum adanya kesadaran diri (identitas diri); diri manusia adalah bagian integral dari alam dan masyarakatnya; ada kekuatan dahsyat dari para dewa dan alam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan; dan tegasnya, manusia belum mampu berdiri sebagai subjek yang utuh dan bulat.
B. Pemikiran Filosofis Pada taraf pemikiran filosofis, subjek mulai mengatasi objek. Dengan demikian, subjek tidak lagi berada di dalam atau sebagai bagian dari objek. Oleh karena itu, logika atau akal pikiran mulai dominan. Pada taraf pemikiran filosofis, manusia yang menjadi titik sentral. Manusia menjadi subjek yang bebas dan otonom terhadap realitas. Terdapat beberapa filosof yang corak pemikirannya dapat dikatakan mewarnai diskusi-diskusi filsafat sepanjang sejarah perkembangannya yaitu Permenides (540475), Herakleitos (535-475), Plato (427-347), dan Aristoteles (384-322) a. Pemikiran Gaya Permenides versus Herakleitos Permenides (Bapak Metafisika) secara brilian menjelaskan bahwa realitas sebagai to be (ada), (being as being), (being as such). Yang ada dan tidak ada
merupakan satu kesatuan utuh dan tidak dapat dipecah-pecah. Ia menunjuk alat yang pasti tepat, yaitu pikiran. Dengan pemikiranlah pengetahuan umum, abstrak, dan menyeluruh dapat dicapai. Pengindraan hanya mampu mencapai pengetahuang yang pragmatis, terbelah-belah, khusus, dan selalu keliru. Pengetahuan indra tidaklah handal. Sebaliknhya, Herakleitos menilai bahwa realitas ini sebagai sesuatu yang plural, tidak tepat, dan serba menjadi (to become), Pantirei tidak hanya hal/barang yang tanpa perubahan. Sedangkan pikiran sendiri selalu berubahubah. Karena itu apa yang disaksikan oleh indra bukanlahsuatu kesesatan, melainkan kebenaran. b. Idealisme Plato Versus Realisme Aristoteles Sesungguhnya Plato berusaha mempertemukan antara filsafat ada (Permenides) dan filsafat menjadi (Herakleitos). Namun, Plato masih berat sebelah karena seolah tidak mau mengakui segala kesaksian indra sebagai suatu realitas. Rupanya Plato telah berhasil menyederhanakan struktur realitas. Apa yang ia saksikan sebagai permacam-macaman ia kelompokkan dan ia abstraksikan hingga suatu keseragaman (ide) dapat dipahami. Dengan demikian, ia telah merekonstruksi realitas yang tersusun atas realitas sejati dan realitas semu. Berbeda halnya dengan Plato (guru Aristoteles) tentang persoalan kontradiktif antara hakikat realitas apakah tetap atau menjadi, Aristoteles menerima yang serba berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya yang kesemuanya itu ada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles disebut sebagai realisme. Aristoteles menerima dengan baik permacam-macaman maupun ideaidea yang keduanya bersifat realistis. Sedangkan Plato menolak permacammacaman sebagai kebenaran dan menerima idea sebagai kebenaran satusatunya.
Bab III Ke Arah Pemikiran Fungsional Dalam perkembangan selanjutnya , humanisme yang sebelumnya telah mengemasi seluruh aktivitas psikis/fisis manusia (abad ke-15), kembali menjai basic dalam pemikiran bercorak fungsional. Filsafat yang mempunyai kebenaran fungsional lambat laun menjadi parsial, positif, konkret, dan praktis. Ilmu pengetahuan pun menjadi lebih sistematis dan pragmatis. Pada masa ini terdapat beberapa isme (paham) yang dapat dikatakan menguatkan kedudukan humanisme sebagai basic dalam perkembangan hidup manusia. a. Rasionalisme Aliran ini memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan pengetahuan, dan budi lah yang memegang tampuk pimpinan dalam bentuk mengerti. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra hanya menyesatkan saja. Tokoh-tokoh rasionalisme antara lain: Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Leibniz (1646-1716). b. Empirisme Empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Jadi, bukan budi yang menjdi sumber dan pangkal pengetahuan, melainkan indra atau pengalamanlah yang menjadi pangkal pengetahuan. Aliran ini memandang bahwa filsafat itu tidak ada gunanya bagi kehidupan.sedangkan yang berguna adalah ilmu yang diperoleh melalui indra (pengalaman) karena memang hanya pengetahuan inilah yang pasti benar. Jadi, jelaslah bahwa aliran ini tidak mau berfilsafat. Tetapi ada juga yang berfilsafat, seperti Francis Bacon (1210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan David Hume (1711-1776). c. Kritisisme Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosof berkebangsaan Jerman, mencoba mengatsi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Pada mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Pada satu pihak Kant mengakui kebenaran pengetahuan indra, dan di lain pihak ia mengakui bahwa budi juga mampu mencapai kebenaran. Tetapi, syarat-syaratnya harus dicari yaitu dengan mengktirik pengetahuan budi serta menerangkan
mengapa pengetahuan itu mungkin. Itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut sebagai kritisisme. d. Idealisme Karena idealisme itu berdasarkan subjek, maka ada yang menyebut aliran idealisme itu sebagai aliran idealisme-subjektif. Tokoh-tokoh terkemuka idealisme ini adalah J. G. Fichte (1762-1814), F. W. J. Schelling (1775-1854), dan G. W. F. Hegel (1770-1831). Fichte mengakui dan memberi prioritas yang tinggi kepada “aku”, sehingga “aku” itu pun dianggapnya sebagai satu-satunya realitas. Schelling mengakui bahwa objek (bukan aku) itu sungguh-sungguh ada. Lalu filsafat Hegel memberikan suatu kesimpulan bahwa pada hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan tidak berubah serta melatarbelakangi suatu hal. e. Positivisme Positivisme pertama kali muncul di Perancis dan ditokohi oleh Auguste Comte (1798-1857). Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka jiwa dan budi harus mendapatkan pendidikan yang matang. Maka sudah masanya harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif, yaitu matematika, fisika, biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Tokoh-tokoh positivisme antara lain adalah H. Traine (1828-1893), yang mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan. Emil Durkheim (1858-1917) yang menganggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof Inggris, yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika dan kesusilaan. f. Evolusionisme Akibat perkembangan aliran positivisme, lahirlah aliran evolusionisme. Tokoh evolusionisme yang terkenal adalah Charles Darwin (1809-1882) dan Herbert Spencer (1820-1903). Darwin mengajukan teori perkembangan bagi segala sesuatu termasuk manusia. Sedangkan Herbert Spencer memberikan kemajuan pada sistem filsafat evolusionisme ini. Ia berpendapat bahwa yang dapat dikenal adalah “menjadi” bukannya yang “ada”. Ilmu merupakan sebagian pengetahuan “menjadi”, sedangkan filsafat adalah keseluruhan dari pengetahuan “menjadi” tersebut. Proses dunia adalah kumpulan kembali gerak dan bahan. Karena itu,
evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integrasi) dalam bahan yang dengan sendirinya merupakan peralihan dari bahan mati. g. Realisme Modern Alirn filsafat ini menyatakan bahwa berpikir itu berkaitan dengan yang tampak dan realitas itu tidak tergantung pada pengetahuan. Tokoh aliran ini adalah Betrand Russel (1872-1970). h. Pragmatisme Aliran ini menekankan pada praktik dalan megadakan pembuktian pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan. Pragmatisme timbul di Amerika, tokohnya adalah Charles Sander Pierce (1839-1914), yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey (18581952). Tokoh lain dari aliran ini adalah William James (1842-1910). i. Materialisme Materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala sesuatu itu adalah bahan belaka. Pandangan ini berjaya pada abad ke-19 dan di Eropa hal itu terasa sekali pengaruhnya. Misalnya di Perancis yang dipelopori oleh LaMettrie (1709-1751). Menurut LaMettrie, manusia adalah mesin yang sama dengan binatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari dengan petunjuk bahwa, “tanpa jiwa badan dapat hidup, tetapi jiwa tanpa badan tidak dapat hidup”. Materialisme meluas sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya yang terkenal, seperti Feurbach (1804-1872), Karl Georg Buchner (1813-1837), dan Molenschot. j. Eksistensialisme Untuk menerangkan dan menyatakan apakah eksistensialisme itu tidaklah mudah karena di dalamnya terdapat bermacam-macam aliran. Namun demikian dapat disajikan beberapa ciri umum aliran ini, yaitu: -
Orang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan yang sesungguhnya, sebagaimana yang ada.
-
Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada.
-
Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya.
-
Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Sooren Kierkegaard (1815-1855), Martin Heidegger (1889-1976), karl Jaspers (1883-1969) ketiganya dari Jerman. Sedangkan tokh dari Perancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973) dan Jean Paul Sartre (1905-1980).
Bab IV Perubahan Sikap dan Pola Pikir A. Arti Lingkungan Hidup secara Kefilsafatan Filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang secara khusus mempersoalkan hakikat terdalam suatu objek. Adapun yang menjadi objek filsafat adalah “yang ada”. Jadi apa saja baik berupa benda atau non-benda (idea, konsep dsb).Didalam hidup dan kehidupannya, manusia bagaikan dihadapkan dengan sebuah buku bacaan yang tidak ada bagian pendahuluan dan penutupnya. Jadi ia hanya menghadapi bagian isinya saja. Dari bagian ini, manusia berusaha sendiri menyusun bagian pendahuluan dan penutupnya. Beribu-ribu tahun lamanya manusia berusaha memikirkan dirinya. Dari mana dia datang dan mau kemana atau untuk apa sebenarnya ia hidup. Kebahagiaan hidup merupakan suatau hal yang diambil sepenuhnya oleh setiap orang, siapa pun ia. Tetapi, dalam perjalanan hidupnya kebahagiaan itu bentuknya berubah sesuai dnegan kondisi kehendak pribadi dan situasi alam sekitar. Potensi alam dianggap sebagai sumber kebahagiaan, sehingga manusia pun berpendapat dan bersikap untuk semaksimal mungkin memanfaatkan potensi alam itu, tanpa menghiraukan konsekuensi-konsekuensi yang menimpa alam itu sendiri. Setelah terlanjur berbuat banyak barulah kesadaran muncul bahwa sikap terhadap alam sekitar yang demikian itu bukannya menciptakan kebahagiaann melainkan justru mengancam kebahagiaan bahkan kehidupannya sendiri. Dengan demikian, lingkungan hidup bagi manusia merupakan sebagian dari dirinya. Manusia akan mampu menemukan arti dan fungsi dirinya sebagai manusia secara utuh dan total, jika lingkungan hidup ini dipandang, dihayati dan diamalkan bukan sebagai yang lain, melainkan sebagai bagian hakiki dari dirinya sendiri.
B. Manusia dan Lingkungan Hidupnya Manusia dapat saja menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Jika lingkungan itu membahayakan hidup dan kehidupannya. Manusia menciptakan lingkungan hidupnya. Ia berusaha untuk mengubah lingkungan alam menjadi lingkungan manusia yaitu suatu lingkungan yang bisa semaksimal mungkin memberi keuntungan kepada dirinya demi tujuan hidupnya. Manusia cenderung mendayagunakan alam demi kebutuhan biologisnya, tanpa memerhatikan kebutuhan alam itu sendiri. Ilmu pengetahuan dikembangkan kearah penciptaan teknologi tepat guna, semata-mata hanya untuk menjinakan alam dan memanfaatkannya semaksimal mungkin. Manusia berpikir, berfilsafat, bersikap dan bertingkah laku demi keuntungan berlebih bagi dirinya sendiri (ego-centered). Sedangkan dunia atau lingkungan hidupnya tidak dipikirkan kelstarianya.
C. Beberapa Pokok Pikiran tentang Tingkah Laku Manusia terhadap Lingkungan Hidup Pada mulanya manusia bersikap pasrah dan menyatu dengan alam. Pada taraf ini, manusia berada “didalam alam” artinya berada dengan mengikuti dan bergantung sepenuhnya
kepada
alam
dan
hukum-hukumnya.
Engan
memanfaatkan
kecerdasannya yaitu kecerdasan akal, ketajaman perasaan dan dorongan keinginan kuat manusia mulai mengambil jarak dengan alam dan mempelajarinya. Filosof-filosof seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes masing-masing mengatakan bahwa alam ini berhakikat “air” yang tidak terbatas dan “udara”. Yang lain, seperti Herakleitos, Phytagoras, Parmenides dan Demokritos, masing-masing mengatakan bahwa hakikat alam itu adalah “api”, “bilangan”, “yang ada” dan “atom”. Manusia mualai sadar bahwa alam adalah sumber kelesatarian dan perkembangan hidupnya, dari kesadaran ini manusia tahu benar bahwa dirinya adalah “mikrokosmos” yaitu alam kecil yang memiliki potensi sama dengan alam besar (makrokosmos). Kesadaran dan pengetahuan inilah yang selanjutnya mendasari pemikiran kefilsafatan yang berkembang menjadi keilmuan di zaman modern. Tuntutan akan kebenaran ilmiah yaitu kebenaran yang dapat diuji baik secara rasionla maupun empiris, menjadi gaya pemikiran filsafat modern.
Selama era teknologi dan industri sampai dewasa ini pemikiran manusia diarahkan kepada terselenggaranya kebutuhan ekonomi menjadi pemikiran final, sehingga manusia cenderung mengahadapi alam sebagai sumber manfaat. Jadi menusia bersikap egoistis, (ego centered behavior). Dengan pola pikir diharapkan sikap dan cara hidup manusia menjadi selaras dengan pola pikir tersebut dalam hubungannya dengan alam, dengan dirinya dan sesamanya maupun dengan Tuhannya sebagai cause primanya. Oleh sebab itu, menjadikan aspek moralitas bersumber dari tradisi, adat kebudayaan dan agamaagamayang sebagai dasar pengembangan aspek intelektual keilmuan baik bagi pendidikan sekolah maupun yang non-sekolah maupun aksi yang tidak mengada ada dan itu patut kita kembangkan dan lestarikan.
Bab V Wawasan Berpikir Etis A. Perkembangan Iptek, Moralitas, dan Ancaman Ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil menyediakan segala macam kebutuhan hidup sehari-hari, moralitas manusia bergerak mengancam hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Iptek telah membuktikan secara nyata kemampuan melipat ganda produksi mulai daro kebutuhan primer sampai kebutuhan sekunder. Keadaan ini diiringi dengan perkembangan mentalitas dan sikap hidup manusia yang semakin materialistis saja. Kecukupan sandang dan pangan sudah bukan lagi menjadi arah kegiatan hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup. Yang menjadi arah kegiatan hidupnya saat ini adalag mengumpulkan uang dan harta kekayaan. Kebahagiaan berubah menadi barang nyata berupa limpahan materi. Teknologi beralih peran dari alat hidup menjadi tujuan hidup. Kecenderungan adanya peralatan teknologi yang tidak lagi sesuai dengan arti dan fungsinya, melainkan lebih dijunjung sebagai pengangkat martabat dan derajat pribadinyaa dimata masyarakat. Oleh karena itu, jenis makanan, minuman, pakaian, perumahan, mobil, komputer, telepon dsb, menjadi atribut baru yang dikejar-kejar oleh hampir setiap orang demei prestise sosial dan kebahagiaan diri pribadi.
B. Etika Teknologi Pendidikan moral yang bersumber dan renungan kefilsafatan dan keagamaan seharusnya direalisasikan secara nyata sebagai basis pendidikan intelektual. Melalui sistem pendidikan seperti itu, tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan harus dikonsepsikan kembali dan segera diiringi dengan penanaman paham bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu perangkat alat yang tajam bagi tujuan kebahgiaan itu. Cara-cara dan teknologi pergaulan sosial seharusnya berkiblat kepada hak dan kewajiban sebagai basis kebahagiaan. Tanpa dasar kebahagiaan ini, pergaulan sosial pasti pincang dan tejadi pengisapan, keserakahan, ketamakan, dan kezaliman. Oleh karena itu, manusia perlu bertingka laku adil terhadap alamnya yaitu dengan menggunakan teknologi canggih untuk memberikan hak sepenuhnya kepada alam agar kemudian bisa secara etis menikmatinya. Jadi seharusnya teknologi bukan dipergunakan untuk mengeksploitas sumber daya alam secra besar-besaran melainkan sebaliknya digunakan sebagai dan atau menyuburkan sumber daya alam. Sebagaisalah satu sarana, teknologi berorientasi kepada penyelenggaraan hidup lahiriah yaitu ketertiban, keamanan, dan kemakmuran sosial. Sementara itu, kebahagiaan bersifat rohani atau spiritual yang mengakar pada hati nurani manusia terdalam. Jadi seluruh kegiatan teknologi dengan esensi kebahagiaan adalah sebanding dengan hubungan antara rasio dan perasaan. Melalui filsafat ilmu pengetahuan teknologi perlu secara etis dipergunakan sesuai dengan kedudukannya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup yang fisis material.
Bab VI Menuju Indonesia Modern A. Pengembangan Iptek Gaya Indonesia Falsafah hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila. Didalam Pancasila terkandung tiga persoalan manusia (Indonesia) yaitu : a). Hubungan antara manusia dengan Tuhan
b). Hubungan manusia dengan sesama manusia (bangsa indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya) c). Hubungan manusia dengan alam sekitar secara luas. Pancasila di dalam dirinya sendiri adalah suatu sistem filsafat. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang benar mengenai objek tertentu secara metodologis dan sistematis. Dari ilmu pengetahuan itu muncul teori-teori ilmiah yang siap untuk suatu penciptaan. Dari sini, lahir pedoman hidup, sikap hidup dan cara hidup. Dan dari sini pula orang menentukan pekerjaan dan selanjutnya menyusun rencana program, dan sistem kerja. Dengan pekerjaan manusia menjadi aktual tentu saja pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tepat bagi filsafat dan tujuan hidupnya. Ilmu pengetahuan humaniora, yang berorientasi kepada pembudidayaan nilai religius manusiawi menurut data olah cipta, rasa dan karsa tentang segala macam persoalan hidup manusia akan menjadi sudut pandang pemikiran tentang pengembangan iptek gaya Indonesia.
B. Problematika Karena Iptek memang lebih menjajikan kemudahan hidup menuju masa depan secara nyata dan pasti. Bahkan dipenghujung abad ke 20 ini, iptek menjadi ukuran bagi kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana iptek berperan. Dengan kecanggihan teknologi suatu negara bisa melipatgandakan produksi segala macam barang kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan konsumsi biologis sampai konsumsi spiritual religius. Kini teknologi berperan sebgai maharaja yang berkuasa atas alam dan tingkah laku manusia. Melalui perlakuan teknologi secara eksploitatif oleh para penguasa, mereka menjadi terlalu berkuasa atas setiap warga sehingga perkembangan dan kemajuan hidup menjadi tidak mungkin berjalan wajar. Kekuatan teknologi mampu mengubah sikap dan bentuk kepribadian serta mentalitas seseorang menjadi praktis-pragmatis.
C. Pengembangan Teknologi Gaya Indonesia Idealnya, pengembangan teknologi di suatu negara harus berdasarkan kondisi nasional negara itu sendiri. Indonesia memiliki kepribadian sendiri yang mengakar kepada bumi pertiwi, tradisi dan adat kebudayaan serta agamanya sendiri, semuanya itu tersimpul dalam filsafat bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila. Realitas masyarakat Indonesia yang heterogen justru tepat bagi pengembangan teknologi. Karena dengan demikian akan ada ketegangan dan proses tarik menarik antara yang pro dan kontra. Keadaan ini secara natural akan menciptakan kontrol yang mampu memberikan pengarahan tepat dan siap untuk melakukan pengereman ketika bahaya datang. Pluralitas yang ada di masyarakat Indonesiajustru menjamin proses pembudayaan teknologi asalkan keterbukaan dibiarkan eksis. Jadi otonomi dan kebebasan setiap pihak harus diberikan. Karena dengan demikian teknologi akan berkembang menurut
napas pluralistik Indonesia itu sendiri yang pasti akan
enghasilkan produk-produk yang semakin lengkap. Teknologi indonesia seharusnya dikembangkan menurut prinsip keadilan dan diperuntukan bagi kepentingan seluruh warga. Bukan teknologi eksploratif melainkan yang kausatif dengan berorientasi pelestarian dan pengembangan kehidupan sosial serta alam.
D. Peranan Ilmu Pengetahuan Humaniora Ilmu pengetahuan humaniora, prinsip keadilan yang berasal dari Ketuhanan dan Kemanusiaan dipakai sebagai landasan dan pilar pengembangan bentuk kebudayaan manusia, manusia modern. Ilmu pengetahuan humaniora memiliki daya pemahaman terhadap karakteristik khas masyarakat setempat dimana perguruan tinggi itu ada. Dalam hal ini, perguruan tinggi akan berperan dalam memberikan penilaian, apakah suatu teknologi itu sudah layak bagi masyarakat atau belum. Perannya adalah sebagai peletak dasar pilar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan memberi penilaian siap tidaknya suatu teknologi dimasyarakatkan di sisi yang lain. E. Keadilan Sebagai Pilar Pengembangan Iptek (Suatu Tinjauan Etika) Manusia juga sadar bahwa ia memiliki potensi untuk mengatasinya. Ia tahu persis Tuhan itu maha adil dan benar karena itu, perlu merealisasikan keadilan dan kebenaran Tuhan itu di dalam kehidupannya, meskipun sering terperosok kearah egoisme yang berbahaya. Diantara kedua kenyatan itu, yaitu kekuatan luar yang luar
biasa dan potensi diri yang boleh jadi meyakinkan muncul suatu sikap perilaku hatihati atau bijaksana. Yaitu suatu sikap dan perilaku yang senantiasa menempatkan diri sendiri dan yang lain pada tempatnya masing-masing sesuai dengan substansi dan potensinya. Sedangkan sikap dan perilaku berkuasa muncul sejak dunia ilmu pengetahuan mampu membuktikan kebenaran teori-teori ilmiahnya yang selanjutnya mampu menunjukan secraa nyata segala macam jenis produksi yang mampu memberikan kepuasan hidup melalui pendayagunaan teknologi dan industri. F. Teknologi versus Keadilan Teknologi merupakan poduk langsung dari teori-teori ilmiah yang merupakan subtansi ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan dibuka cakupannya seluas dan sedalam mungkin maka dari situ akan tampak filsafat. Filsafat adalah suatu sistem berpikir mengenai keberadaan manusia, dunia dan Tuhan Yang Maha Kuasa secara radikal, dalam rangka menentukan pedoman dan sikap hidup yang benar agar bisa mencapai kebahagiaan hidup. Teknologi sudah seharusnya terikat oleh nilai-nilai yaitu nilai kebenaran ilmiah dan nilai kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis demi kebahagiaan seluruh umat manusia yang tentu saja diliputi oleh nilai keilahian. Jadi barulah adil jika teknologi dikembangkan dan dimanfaatkan secra etis menurut prinsip ilmiah filosofis, kebenaran dan kebaikan demi terciptanya kebahagiaan. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah sikap mendahulukan kewajiban dalam memberikan hak pihak lain. Moral keadilan disisihkan begitu saja oleh orang terdidik dan para penguasa serta mereka yang justru mengetahui arti moral keadilan itu demi kepentingan pribadi. Pendayagunaan teknologi secara eksploitatif meliputi trilogi kehidupan manusia yaitu kehidupan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya dengan alam lingkungannya dan dengan Tuhan Sang Maha Pencipta. Akan tetapi karena semuanya bersumber dari manusia maka pasti manusia sendiri mampu mengatasi masalah yang telah tergelar atau digelar ini. Sebab manusia memiliki daya cipta, rasa dan karsa yang apabila dimanfaatkan dalam satu harmonisasi secara optimum pasti akan menimbulkan tingkah laku dan moralitas yang penuh dengan kebijaksanaan.
G. Etika Menuntut Keadilan Etika adalah suatu ilmu pengetahuan kesusilaan atau moral yang mempersoalkan masalah nilai kebaikan akan keburukan daripada tingkah laku manusia dalam mengemban tugas dan kewajibannya demi tercipta tujuan. 1. Adil terhadap Diri Sendiri Maksud adil terhadap adil diri sendiri adalah sejauh mana ilmu pengetahuan dan teknologi itu dimanfaatkan untuk membantu pembentukan kepribadian yang otonom, untuh dan bebas. 2. Adil terhadap Sesama Manusia Sesama manusia berarti pihak lain baik itu orang lain maupun yang terikat dalam suatu kehidupan masyarakat. Tingkah laku adil terhadap diri sendiri merupakan dasar yang tepat untuk bisa bertingkah laku terhadap sesama manusia. 3. Adil terhadap Alam Berdasarkan nilai tenggang rasa sebagai dasar kehidupan bersama diantara sesama manusia, terhadapalam lingkungan pun juga harus demikian sikap dan tingkah laku ini wajar, karena manusia mendapatkan segala kepentingan hidup dan kehidupannya dari alam. Jadi justru dengan ilmu pengetahuan dan teknologilah manusia bisa bergaul dengan alam lingkunganya dan mampu membuat lingkungan hidup manusia dalam arti yang seadil-adilnya. 4. Adil terhadap Tuhan Sang Pencipta Pada dasarnya, jika manusia telah menerapkan nilai keadilan terhadap diri sendiri dan sesamanya, serta terhadap alam secara harmonis dan dinamis, berarti ia telah berlaku adil terhadap Tuhan sang Pencipta. Jika perbuatan adil kepada Tuhandiwujudkan dalam bentuk shalat dan segala macam ibadah, maka spirit itu seharusmya diamalkan tanpa mengurangi nilai keilahiannya baik kepada diri sendiri, sesama, maupun kepada alam.
H. Asas Kesebaban sebagai Sumber Keadilan Tuntutan etika akan nilai keadilan yang dapat diwujudkan ke dalam perilaku sehari-hari, yang berkaitan dengan trilogi hidup dan kehidupan manusia. Kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan sebagai buah perilaku adil menjadi tujuan setiap negara khususnya yang sedang membangun. Agar terciptanya keadilan maka perlu adanya pendidikan untuk membantu terciptanya tujuan tersebut. Tugas pendidikan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendayagunakannya sesuai dengan tingkat dan kualitas yang dapat dicapai. Tugas dan kewajiban pendidik yang paling utama adlah memberikan kesadaran kepada para pemuda untuk instrospeksi diri agar dapat mengukur diri jika hendak mewujudkan keinginannya. Hal ini berarti pendidikan harus mengajarkan mereka untuk mengubah pola pikirdan bertingkah laku ke arah ASAS KESEBABAN. Asas kesebaban adalah submer, asal mula dari adanya sesuatu. Berarti masa depan suatu bangsa akan terhindar dari pemaksaan, eksploitasi dan manipulasi terhadap diri sendiri, sesam, alam sekitar, dan Tuhan Sang Pencipta. Hal itu juga berarti bahwa bangsa tersebut akan berkembang dan maju diatas kemampuannya sendiri. Jadi, benar-benar menjadi bangsa yang beas dan otonom serta mampu hidup dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika menuntut ilmu pengetahuan moral dan teknologi agar menjadi sasasaran utama pembangunan bangsa, bukannya mengutamakan pembangunan ekonomi.
2.
Ada berapa tokoh pemikir tentang filsafat sejarah a. Apa pentingnya mempelajari filsafat sejarah bagi Anda? Dengan mempelajari filsafat sejarah dapat menjadikan seseorang berpikir analitis kronologis dan arif-bijaksana dalam bersikap mempelajari filsafat kita mampu mengetahui permasalahan-permasalahan social yang dikaji dalam sebuah pemikiran intektual yang kemudian dapat diyakini beberapa orang menjadi hal yang biasa kita sebut ideologi. Permasalah-permasalah yang dikaji dapat dipertanggunjawabkan teori yang logis dan valid. Sebagai seorang mahasiswa yang berkecmpung pada bidang sejarah manfaat utama mempelajari filsafat sejarah adalah akan mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah. Artinya, bahwa bagi seorang peneliti atau pengkaji sejarah (sejarawan)
yang dibekali dengan pengetahuan filsafat sejarah akan menjadikan dirinya sebagai seorang “kritikus” yang handal. Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia.
b. Masih relevankah bagi Anda mempelajari teori Karl Marx?
Ada teori Marx yang masih relevan dipelajari sampai sekarang, tetapi disisi lain juga ada pemikirannya yang sudah tidak relevan digunakan di masa sekarang. Teori karl marx memberi pemahaman untuk melihat perbedaan kelas social dan konflik. Teori ini mengajarkan seorang Public Relations untuk selalu optimis terhadap apa yang dikerjakan, meskipun sedang tersangkut sebuah konflik ataupun masalah sehingga tujuannya dapat tercapai. Aktivitas Public Relations itu sendiri salah satunya adalah menumbuhkan hubungan baik antar segenap komponen sebuah organisasi dalam rangka memberikan pengertian, menumbuhkan motivasi, menggiatkan partisipasi dengan tujuan menumbuhkan dan mengembangkan relasi, pengertian dan kemungkinan baik antara organisasi dengan publiknya atau sebaliknya yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam penerapan teori Karl Marx dalam aktivitas Public Relations bisa dicontohkan pada hubungan internal dalam aktivitas Public Relations yang terjadi. Misalnya dalam sebuah organisasi antara atasan dan bawahan harus saling bekerja sama, bisa dengan cara menghilangkan kelas-kelas sosial yang akan menghambat kinerja sebuah organisasi. Agar terjadi suatu hubungan timbal balik serta terwujudnya sikap terbuka antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi
yaitu dengan menggunakan komunikasi dua arah. Dengan cara
tersebut dimungkinkan terjalin kekuatan relasi secara intern yang mana berguna untuk memaksimalkan kinerja setiap individu yang berperan dalam organisasi tersebut. Selain itu teori ini juga mengantarkan seorang praktisi Public Relations untuk memberikan nilai ekonomi pada perusahaan. Apabila tujuan PR untuk
menciptakan citra yang baik dan mengatasi masalah maka nilai ekonomi akan naik dan secara tidak langsung akan memberi pandangan kepada public bahwa perusahaan tersebut mempunyai reputasi yang tinggi. Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju yang menurut Marx akan menuju revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki keadaan mereka dan menjadi pendukung sistem ekonomi kapitalis. pandangan bahwa negara secara hakiki adalah negara kelas belum tentu benar. Di negara yang tidak menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi. Namun, di negara dengan sistem demokrasi , negara bukanlah negara kelas. Semakin demokratis suatu negara maka negara tersebut semakin tidak menjadi negara kelas.