Filsafat Epistimologi Kelompok.docx

  • Uploaded by: Faisal Fahmi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Filsafat Epistimologi Kelompok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,622
  • Pages: 29
FILSAFAT ILMU “SOSIO-EPISTIMOLOGI”

MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Filsafat Ilmu Yang dibina oleh Bapak Sukamto

Oleh Alde Nabil Antoni 130731616734 Faisal Fahmi Mohammad 130731607282 Muhammad Rofikul Alim 130731615746 Yoga Wijaya 130731615751

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH SEPTEMBER 2014

BAB X SOSIO-EPISTEMOLOGI SEBAGAI KATEGORI EPISTMOLOGI

Dalam bab ini, sebuah permasalahan yang diangkatadalah, apakah Sosio-Epistemologi memenuhi tuntutan-tuntutan dasar epistemology dalam membuktikan dirinya sebagai sebuah cabang filsafat atau special epistemology ? Di dalam bab ini penulis mencoba membuktikan apakah Sosio-epistemologi layak dikategorikan sebagai teori pengetahuan ataukah hanya menjadi teori social ? Sosio-epistemologi mengembangkan dirinya sebagai cabang dari epistemology dengan menginjakkan kakinya di atas kedua medan kajian secara dialektis, yaitu epistemology dan teori sosial. Dengan begitu, Sosio-epistemologi mensyaratkan dirinya beberapa prinsip atau kategori, yaitu tuntutan-tuntutan mengenai rasionalitas, kebenaran, objektivitas, cirri teoritis, dan metode.

A. Kategori rasional 1. Tuntutan rasional, yaitu apapun yang dapat dilakukan dengan baik mengenai proses kerja maupun isi pengetahuan yang dihasilkan oleh sebuah bidang epsitemologi, khususnya pengetahuan berwatak social, harus dapat dipertanggungjawaban secara rasional. Kerasionalan ini telah mengalami pergolakan arti yang luas dalam sejarah epistemologi. Sosio-epistemologi hadir untuk mengkritisi tuntutan tuntutan rasio yang demikian.

2. Pembaruan atas tuntutan rasio, dimana Sosio-epistemologi hadir sebagai fondasi atas rasionalitas kritis untuk membangun kesadaran dan pembebasan. Sosio-epistemologi berfungsi sebagai kritik rasio atas irasionalitas modern yang membelenggu rasionalitas serta menempatkan rasio pada makna dan posisi yang sebenarnya selaku kekuatan pencerahan dan pembebasan. Sosio-epistemologi hadir bukan untuk menjadikan pemikiran bersifat antiintelektuil atau antiirasional. Justru sebaliknya, dimana sosio-epistemologi ingin menegakkan intelektualitas dan secara khusus supremasi rasio pada posisi yang sebenarnya. Mengapa demikian ? Karena Sosio-

epistemologi menganggap rasionalitas modern hanyalah sebuah alat legitimasi yang telah melakukan “pembusukan rasio” dibawah tekanan kepentingan dan ambisi kekuasannya. Oleh karena itu kemudian Sosio-epistemologi menghadirkan suatu rasionalias untuk membersihkan teori-teori pengetahuan dan teori-teori social sebelumnya dari pemiskinan “rasionalitas Barat Modern”. Rasio baru tersebut adalah rasio emansipasi dan rasio komunikasi. Rasio emansipasi mencoba untuk mengajak manusia keluar dari alam ketidaktahuannya, sedangkan rasio komunikasi mencoba untuk membimbing manusia ke dalam percakapan-percakapan argumentasi.

3. Membangun rasionalitas yang utuh dan mendasar. Sosio-epistemologi menilai bahwa pengetahuan hanya akan diperoleh dalam suasana komunikasi rasional atau dialog argumentative untuk semakin membuka dan meningkatkan proses kematangan. Hal ini lebih mengacu kepada daya penyingkapan yang berfungsi untuk melakukan pembedahan serta mengungkapkan berbagai isi dan aspek kekayaan pergaulan dasar dari alam rasio sosial atau rasio komunikasi itu sendiri. Sehingga dasar yang terbentuk adalah komunikasi yang menghasilkan kesepakatan atau consensus.

B. Kategori Kebenaran 1. Hakikat Kebenaran Sejati Kebenaran merupakan sebuah tema utama dalam Sosio-epistemologi. Namun, ternyata kebenarana dalam bidang epostemologi secara umum masih tetap merupakan ermasalahan yang sifatnya abadi karena belum dapat diselesaikan secara tuntas. Dalam dunia epistemologis umumnya menyikapi permasalahan kebenaran dengan dua sikap dasar, yaitu mempertanyakan dan meragukan, serta mempermasalahkan adanya kebenaran pengetahuan itu sendiri. Sikap yang pertama adalah “skeptisme Doktriner” atau skeptisme absolute yang dengan penuh keyakinan mengajarkan bahwa kebenaran itu memang tidak ada. Sikap ini kemudian melahirkan “skeptisme radikal” atau “relativisme”. Tampaknya sikap yang pertama lebih banyak ditinggalkan karena dianggap lebih banyak mengalami kebuntuan. Sedangkan sikap yang kedua lebih bersifat metodis dan oleh karena itu sikap ini keudian dikenal dnegan “skeptisisme metodis”. Sikap ini ingin meragukan tuntutan-tuntutan

kebenaran yang berlaku. Tujuannya, untuk menguji dan menyelidiki bobot kepastiannya sampai pada taraf kebenaran yang tidak dapat diragukan. Inti dari sikap ini adalah tuntutan kebenaran apapun harus dihadapi dengan sikap skeptic atau sikap ragu agar orang tidak terjebak didalam kesalahan atau kekeliruan. Akhirnya, orang bisa tiba pada kesimpulan yang mungkin dapat saja memperkuat kepastian tentang kebenaran atau sebaliknya menolaknya. Sikap ini juga kemudian melahiran faham “subjektivisme” dan “oragmatisme” tentang kebenaran.

2. Tuntutan kebenaran di dalam Sosio-epistemologi

a. Arti kebenaran di dalam Sosio-epistemologi Sosio-epistemologi menyikapi persoalan kebenaran secara kitis dan optimis. Tuntutan pokoknya adalah “meskipun demikian rumitnya kebenaran tersebut, ,anusia berbudaya harus tetap berani menghadapinya sebagai sebuah panggilan kodrati”. Prinsip Sosio-epistemologinya ialah manusia berbudaya harus berani membebaskan dirinya dari kondisi ketidakpastian dan ketidaktahuannya. Karena kondisi tersebut membuat manusia menjadi tidak berdaya dan tidak dewasa. Sosio-epistemologi mendekati tuntutan kebenaran itu dari sisi pengetahuan, bukan dari sisi wahyu, keyakinan keagamaan, atau ideologi. Namun melalui itu, hendak ditunjukkan bahwa kebenaran pengetahuan adalah kebenaran dalam batas kemanusiaan manusia. Keterbatasan inilah yang akhirnya memunculkan erbagai pendekatan terhadap kebenaran dan kepastian pengetahuan yang dimaksud.

b. Ciri kebenaran di dalam Sosio-epistemologi 

Majemuk Realitas kebenaran yang dihadapi dalam sosio-epistemologi bukanlah realitas kebenaran bendawi yang statis, tunggal, dan terisolir. Justru kebenaran di dalam Sosio-epistemologis berhubungan dengan dunia realitas kemanusiaan yang kaya, dinamis, berkembang, dan penuh daya misteri



Hipotesis

Tidak ada kebenaran yang dapat memutlakkan diri secara sepihak serta mengklaim diri sebagai yang benar satu-satunya., terlepas dari yang lain. 

Kebenaran bertegangan Hal ini dimaksudkan untuk memperluas dan memperdalam konsep-konsep kebenaran sektoral, serta memulihkan hakikat kebenaran epistemology dari ancaman kebekuan dan kebuntuan dogmatism.

3. Kebenaran Sosio-epistemologi sebagai Praxis Inti kebenaran “praxis” menunjuk pada aspek-aspek pembebasan atau emansipasi yang semakin mengarah pada kedewasaan dan kematangan hidup. Tuntutan kebenaran Sosi-epistemologi ini mensyaratkan adanya pertautan dialektis antara gagasan-gagasan empiris-positivis tentang kebenaran sebagai koherensi (persesuaian antargagasan) dengan gagasan dialektika mengenai kebenaran sebagai “praxis” atas realitas kehidupan sosio-historis manusia yang dinamis. Melalui konsensus, Soisoepistemologi berusaha memperlihatkanadanya kebenaran sebagai praxis yang berdasar pada keputusan-keputusan pragmatis-intersubjektif. Dalil utama yang diberlakukan adalah pengangkatan ke dalam proposisi yang lebih bermakna. Proposisi-proposisi tersebut akhirnya semakin mengungkapkan wawasan Sosioepistemologi mengenai tuntutan kebenaran yang bersifat dialektis. Klaim kebenaran tersebut terus menuntutn kepada permasalahan mendasar mengenai sifat-sifat kebenaran pengetahuan yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia yang merupakan kodratnya. Melalui pertimbangan kritis diaas, dapat dilihat bahwa kebenaran pengetahuan yang diusahakan dalam Sosio-epistemologi secara khusus berorientasi pada inti pergumulannya, yaitu dalam rangka kepentingan praxis manusia. Justru itulah perwujudan kebenaran pengetahuan tersebut dapat bergerak pada dua tatarannya yang khas.

BAB XI KEBENARAN KONSESUS

A. HAKIKAT KEBENARAN KONSESUS DALAM SOSIO-EPISTIMOLOGI Sosio-epistimologi (pengetahuan berwatak sosial) secara jelas melihat kebenaran konsesus sebagai salah satu teori kebenaran yang ingin melepaskan tuntunan-tuntunan kebenaran pengetahuan dari bentuk-bentuk kebenaran sektoral yang stasis dan kering. Tujuannya untuk mewujudkan hakikat kebenaran yang utuh atas dasar argumentasiargumentasi bersyarat. Hakikat kebenaran yang diusahakan dalam teori kebenaran konsesus pun dikuasai oleh “tegangan dialektis” baginya, semua unsure kebenaran tersebut patut diperhatikan dengan sungguh karena masing-masing memiliki nilai kebenaran yang bersifat aktif dan missioner. Teori konsensus menunjukkan bahwa suatu tuntunan kebenaran harus dihubungkan dengan suatu pernyataan melalui perbuatan menyatakan. B. TAHAP PENGEMBANGAN KEBENARAN KONSESUS Sehubungan dengan maksud tersebut, ditunjukkan aspek-aspek pragmatis atau peraturan permainan yang tetap . 1. Tahap Komunikasi Praktis Tahap ini disebut pula sebagai tahap perbincangan praktis yang mengadaikan adanya proses komunikasi praktis atau perbincangan harian. Tuntutan Sosioepistimologi atas sebuah perbincangan atau komunikasi praktis menunjukkan bahwa setiap pengadaian dasar mengenai saling pengertian dan kesepakatan harus terwujud dalam suatu sikap yang diambil secara bersama. Sikap tersebut mengandung empat tuntunan yang harus diakui berlaku sah dalam proses komunikasi praktis. 2. Tahap Perbincangan Penuh (Diskurs) Tahap perincangan ini memiliki perbedaan dengan komunikasi praktis sebelumnya. Artinya pada taraf ini, kebenaran salah satu pertanyaan mulai dipersoalkan dan digugat melalui proses perbincangan yang bersifat rasional atau argumentatif. Jelas bahwa tahap pertama (komunikasi praktis) adalah kebenaran factual atas dasar pengalaman natural. Selanjutya pada tahap kedua (tahap perbincangan), yang dipentingkan, adalah kebenaran argumentasinya. Tuntunan kebenaran Sosio-epistimologis yang ditetapkan di dalam

konsesus menunjukkan bahwa tuntutan- tuntutan kebenaran yang bersifat fisik natural harus dapat ditempatkan secaara hipotesis. 3. Tahap Perbincangan Formal atau Perbincangan Teoritis Peraturan yang mengarahkan proses perbincangan dalam membangun kebenaran sosio-epistimologi yang disebut konsesus ini memiliki dasar “logika perbincangan”. Tuntutan kebenaran Sosio-epistimologi atas tuntutan tercapainya kesepakatan atau konsesus, harus dapat dibedakan dua macam perbincangan. Pertama, “Perbincangan teoritis” yang berurusan dengan tuntutan berlakunya sebuah hak kebenaran. Kedua, “perbincangan praktis” yang berurusan dengan tuntutan berlakunya sebuah keabsahan. Tuntuan kebenaran Sosio-epistimologi bagi suatu “ perbincangan teoritis” adalah setiap peserta perbincangan dituntut untuk mempersoalkan benar tidaknya pernyataanpernyataan mereka. Perbincangan pada taraf ini diarahkan bukan pada sebuah pengalaman, tetapi pada penafsiran-penafsiran atas pengalaman tersebut. Akibatnya, perlu ditetapkan pula jenis penafsiran yang diterima dalam menyusun argumentargumen tersebut. Kesimpulan itu harus diterima secara ekspilisit sebagai kebenaran sehingga perbuatan menyatakan argumen tersebut diakui dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan tuntutan di atas, ada dua jenis persyaratan yang harus diperhatikan dalam tahap perbincangan teoritis dalam rangka “konsesus epistimologi” ini. a. Syarat-syarat yang Menentukan Bentuk Formal Perbincangan Tahap pertama adalah tahap pembukaan percakapan.Tahap kedua adalah tahap ketika argument-argumen yang berbeda-beda dikemukakan dengan memakai suatu system bahasa terntu. Tahap ketiga adalah percakapan yang hendak melanjutkan persoalan bahasa yang telah ditingkatkan pada tahap yang lebih formal pada sistem-sistem teoritis. Tahap keempat adalah tahap perbincangan mengenai hakikat pengetahuan. Tuntutan Sosio-epistimologi atas kebenaran pengetahuan pada tatanan ini adalah khas. Alasannya karena kebenaran yang diperoleh bukanlah sekedar kebenaran pengetahuan tertentu yang dapat dikehendaki, melainkan kebenaran pengetahuan yang sehrusnya dikehendaki. b. Situasi Perbincangan Ideal Sehubungan dengan situasi perbincangan ideal, Jurgen Habermas mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, semua orang harus diberi kesempatan yang sama untuk angkat bicara dengan memakai cara berkomunikasi atau perbuatan berbicara yang mereka inginkan.

Kedua, dalam melangsungkan perbincangan, para peserta harus diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan penarsiran, pernyataan, anjuran, keterangan, dan pembenaran, atau sebaliknya mempersoalkannya. Ketiga, dituntut agar semua peserta dapat memahami dan mengambil sikap komunikasi yang wajar. Keempat, di antara peserta perbincangan tidak diperbolehkan adanya diskriminasi. Masih ada hal penting lain yang perlu dikembangkan dalam konstruksi perbincangan ideal bagi upaya mewujudkan tuntutan-tuntutan Sosio-epistimologis atas kebenaran konsesus. Caranya dengan pengembangan skema-skema kognitif dan metode penyelidikan ilmiah yang dikonfrontasikan dengan kompleksitas kenyataan manusia berkembang. Kebenaran konsensus atas dasar tuntutan Sosio-epistimologis yang bersifat tegangan dialektis dan emansipatoris ini memiliki dua sifat yang mendasar. Pertama, sebagai sebuah hasil yang bersifat hipotesis, namun memiliki hak keabsahan. Kedua, sebagai criterium dalam meneliti kebertanggungjawaban perbuatan atau tindakantindakan perbincangan yang ideal. Inti kebenaran itulah yang memungkinkan terpenuhinya syarat-syarat bagi penyelidikan “intersubjektif” (antara subjek-subjek, bukan objek-objek) dan yang komunikatif (dialogi). Jadi, inti kebenaran konsensus dalam Sosio-epistimologi tidak ditentukan berdasarkan objektifitas objek pengalaman empiris tetapi oleh argumentasi yang baik yang berdasarkan proses interpretasi, konfrontasi, dan penyelidikan ilmiah terhadap objek pengalamannya.

BAB XII Tuntutan Objektif Dalam Sosio Epistemologi A. Arti Objektif Objektivitas atau kebenaran objektif merupakan tuntutan mutlak dalam setiap teori pengetahuan dan merupakan tuntutan yang juga berlaku dalam Sosio Epistemologi (Pengetahuan berwatak sosial). Objektif secara harfiah berarti apa yang berhubungan dengan sebuah objek atau berada dalam objek apa adanya. Objektivitas dalam Sosioepistimologi berarti luas, misalnya dalam pendekatan kritik imanen terhadap realitas sosial atau objektivitas sosial. Habermas (1972:78-89) menjelaskan bahwa positivisme telah mendewakan objektivitas sebagai “objektivisme”. Kenyataan itulah yang dimaknakan dengan positif. Melalui ilusi “Objektivisme” ini subjek pengetahuan begitu dibatasi sehingga ia tidak sanggup merefleksikan pengetahuannya karena jalan masuk kedalam kenyataan tersebut telah dipatok dengan patok-patok positif. Pengertian Objektif dalam keilmuan sosisla meliputi apa yang diketahui atau dialami, entah itu betul atau tidak, maupun apa saja yang ditangka oleh indra, dipersepsi, dipahami, dikhayalkan, dan sebagainya. Dalam hal ini Keilmuan sosial memandang bahwa sebuah dunia objektif tidak mempunyai makna yang semata-mata fisik dan operasional, tetapi selalu mengandung isi intuitifnya. Objektivitas dalam Sosio-epistimologi (pengetahuan berwatak sosial) bukanlah objektivitas pengalaman natural yang statis, tetapi justruobjektivitas pengalaman kemanusiaan yang dinamis. Prinsip pokok dalam sosio epistimologi sehubungan dengan tuntutan objektivitas ini adalah bahwa setiap objek yang menyatakan diri segera memasuki suatu dunia subjektif ketika objek itu ditangkap atau dirumuskan oleh sang subjek. Objektivitas dalam Sosio-epistimologi bukanlah jiplakan realitas, melainkan hasil konstruksi manusia. Pendeknya, terlihat bahwa hampir tidak ada objek yang ditangkap secara murni objektif lagi. Tuntutan Objektivitas tidak hanya meliputi dunia yang berkesesuaian dengan objek-objek alamiseperti benda atau fakta. Tuntutan/Klaim Objektivitas ini tampak dalam bentuk interpretasi, simbolisasi, dan komunikasi objek-objek melalui pernyataan-pernyataan argumentasi (rasional). Objektif dalam pernyataan tersebut dihadirkan secara simbolis menurut arti yang dinyatakan oleh objeknya. Tuntutan itu didasarkan pada prinsip bahwa sebuah objek hanya dapat menjadi objek sejauh dibuat menjadi objek oleh pengetahuan manusia. Objektivitas bukan lagi berupa pengalaman fakta atau benda alami karena berada dibawah tuntutan pengetahuan yang tunduk pada syarat-syarat pengetahuan yang diandaikannya. Meksi demikian, objek itu juga dapat diberi fungsi ikut menentukan di dalamnya tuntutan objektivitas keilmuan sosial. Objek dalam hal ini berfungsi untuk menentukan apa

yang dinyatakan mengenai dirinya dan sekurang-kurangnya dapat diberi fungsi sebagai norma objektif, setiap tuntutan objektivitas sifatnya sektoral/ akan dikritik.

B. Debat para ahli tentang klaim objektivitas dalam keilmuan sosial Meski arti kedudukan objektivitas dalam teori pengetahuan sosio-epistimologi meupun keilmuan sosial begitu penting, usaha pembuktiannya tidak mudah untuk dikerjakan dalam sebuah penelitian keilmuan, khususnya penelitian keilmuan sosial. Upaya menyingkap tuntutan objektivitas dalam Sosio Epistimologi dan penelitian sosial atau penelitian keilmuan sosial, lebih jelas bila dilihat dalam kerangka penelusuran terhadap debat para ahli mengenai tuntutan objektivitas tersebut. 1. Mitos “Monyet Ke-Seratus” (MKS) dengan Paradigma Objektivitas Campurbaur Debat epistimologis tentang hal objektivitas dalam sosio-epistimologi dan penelitian keilmuan khususnya penelitian sosial menarik untuk dilihat dalam berbagai argumentasi mengenai mitos “Monyet Ke-Seratus”(MKS). MKS bukan merupakan sebuah penelitian namun merupakan sebuah imajinasi kreatif mengenai sebuah hasil penelitian di jepang selama 30 tahun tentang perbuahan perilaku sekelompok monyet di pulau Koshima. Hasil penelitian itu menunjukkan : Hierarki sosial para monyet, perilaku monyet betina dan jantan, perilaku pergaulan monyet diantara sesamanya, hubungan monyet muda dengan ayah ibunya pada usia pendidikan, proses terjadinya perubahan perilaku dalam hubungan dengan waktu perubahan. Debat argumentasi atas hasil penelitian tersebut dan pengembangan imajinasinya hingga menjadi mitos KMS menunjukkan bahwa hal objektivitas dalam sebuah pengetahuan berwatak sosial dan penelitian sosial selalu berada dalam tegangan dialektis antara objektivitas dan subjektivitas karena adanya campur-baur antara fakta dan pendapat yang simpang siur. Fakta objektif tersebut terbuka untuk digunakan baik untuk alasan pembenaran atau penyangkalan yang sifatnya terarah pada hasil penelitian itu sendiri maupun pendapat-pendapat pro kontra yang ada sebelumnya. Tuntutan objektivitas khususnya dalam sosio-epistimologi dan keilmuan sosial selalu bersifat aktif (dinamis). 2. Karl R. Popper dengan Paradigma Objektivitas Penyangkalan (Falsification) Menurut Popper, setiap pengetahuan yang sudah diumumkan dengan sendirinya Objektif dan terlepas dari monopli pengarang dan penggagasnya. Pikiran itu segara akan memasuki dunia pengetahuan objektif dan menjadi otonom serta

tidak lagi menggantungkan diri pada orang yang semula menggagasnya. Popper menegaskan bahwa penafsiran terhadap suatu gagasan yang telah diumumkan dapat saja berbeda dari apa yang semula dimaksudkan oleh pengarangnya. Popper dalam bukunya “Logika Penelitian” berisi pandangan kritis Popper mengenai permasalahan induksi dalam ilmu pengetahuan yang menentang pendekatan deduksi dalam paham “Rasionalisme”. Metode penelitian induksi induktif ini dijalankan dengan observasi dan eksperimentasi. Metode rasionalsime kritis Popper menjadikan fakta-fakta sebagai dasar keabsahan dan objektivitas keilmuan. Menentang deduksi rasionalsime dengan narasi universalitasnya, metode induksi justru menegaskan tidak ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang samapai sekarang berlangsung dengan cara yang sama besok juga akan terjadi dengan cara demikian. Menurut Popper pandangan keilmuan yang bersifat dialektis tersebut telah melahirkan sejumlah permasalahan yang sulit dipecahkan dalam ilmu pengetahuan sampai kini. Popper mengartikan “rasionalisme kritis” hanya pada sikap kritisnya, sementara tetap mempertahankan pendekatan induksi sebagai jalan mendapatkan dan merumuskan kebenaran itu sendiri. Popper menunjukkan bahwa suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melainkan dapat diuji. Intinya semakin besar sebuah teori untuk menyangkal suatu teori lainnya maka semakin kukuh kebenarann teori tersebut. Ilmuwan sejati tidak akan takut terhadap kritik karena sejatinya ilmu pengetahuan senantiasa mengharapkan krtitik demi mencapai ilmu pengetahuan yang lebih maju. Untuk mencapai kebenaran pandangannya tersebut, Popper menggunakan suatu kebenaran logis yang sebenarnya sangat sederhana. “Dengan observasi pada angsa-angsa putih orang tidak akan sampai pada teori bahwa semua angsa putih, tetapi cukup dengan observasi pada seekor angsa hitam untuk menyangkal teori tadi”. Rasionalisme kritis Popper membuka suatu perspektif baru terhadap ilmu pengetahuan, yang sama sekali berlainan dengan paham induksi sebelumnya. Karl Popper adalah orang pertama yang bertindak sebagai pencetus istilah “rasionalisme kritis”. Istilah tersebut diusulkan oleh Popper sebagai reaksi krtisnya dengan menolak pandangan umum, khususnya dari kelompok lingkungan Wina yang menanamkan pemikiran-pemikirannya sebagai “neopostivisme” atau “positivisme logis”. Jelasnya kebenaran objektif/objektivitas adalah kekeliruan yang untuk sementara waktu dianggap benar meskipun itu sebenarrnya tetap merupakan kekeliruan. Sikap itu membuka bahwa objektivitas harus selalu terbuka untuk

dikelirukan. Tuntutan itu sesuai dengan dua gagasan Popper yaitu “teh thesis of refutability” dan “the principle of falsification”. Popper berupaya membangun model-model penelitian ilmiah yang bersifat interdisipliner yang dianggap sebagai suatu dialog kritis berkesinambungan antara pelbagai jenis teori ilmiah, antara ilmu dan bukan ilmu. Popper dengan rasionalisme kritis-nya akhirnya berpdau dengan positivisme dalam membentuk klaim-klaim kebenaran objektif. Popper menegaskan bahwa kritiknya terhadap pokok pikiran lingkungan Wina yang cenderung menggolongkan dirinya dalam kelompok tersebut sebagai aliran “neo positivisme”. Ia ingin mengajukan kritik tentang usaha lingkungan Wina yang ingin membedakan antara ilmu pengetahuan empiris dan metafisika melalui apa yang disebut “prinsip verifikasi” yang menjunjung tinggi induksi. Rasionalisme kritis Popper bukan bermaksud menggantikan prinsip verifikasi dengan prinsip falsifiabilitas, tetapi hendak menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan nonilmiah, anatara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Baginya ada garis pemisah yang tegas diantara dua hal itu yang disebutnya dengan the principle of falsifiability. Popper selanjutnya menegaskan bahwa teori-teori yang sepintas lalu tampaknya ilmiah seperti psikoanalisa Sigmund Freud atau filsafat sejarak Karl Max yang berpretensi dapat menerangkan segala sesuatu justru harus ditolak. Popper menegaskan bahwa filsafat tidak boleh memebatasi diri hanya pada penjelasan kata-kata saja. Filsafat harus berbicara tentang realitas tentang atau dunia. Khusus mengenai peneliyian ilmu-ilmu sosial Popper menunjukkan adanya kemiskinan pandangan historisme yang diandaikan oleh banyaknya pandangan totaliter tentang masyarakat. Karl Popper lebih mendasarkan diri pada kebutuhan individu itu sendiri untuk mencari kebenaran (ilmiah murni) dan bukan kepentingan-kepentingan praxis. Artinya Popper justru melihat perkembangan ilmu pengetahuan itu pada diri dan disiplinnya sendiri dan tidak mempertautkannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Kesimpulannya, meskipun Popper sendiri menentang kaum positivisme logis dan membela diri sebagai orang yang tidak berada pada garis pemikiran tersebut, namun ternyata ia tetap berada pada jalur positivisme dengan saintismenya yang ketat. Popper masih tetap mempertahankan pendiriannya bahwa teori sama dengan logika sehingga teori daoat dipisahkan dari praxis. Reaksi terhadap “rasionalisme kritis” datang dari Habermas. Ia ingin tetap mempertahankan tradisi “rasio kritis”, namun dengan makna makna yang lebih dinamis atas dasar realitas sosial kemanusiaan yang majemuk. Meskipun demikian, ia tetap kritis terhadap norma-norma universal. Tegasnya di satu pihak ia menolak

dasar objektivitas kebenaran dan ilmu lalu melihat kebenaran bukan sebagai “persesuaian” antara konsep dan kenyataan. Jelas bahwa sampai pada titik pemikiran rasionalisme kritis ini dapat dilihat adanya suasana perkembangan epistemologi zaman abad modern yang telah menjadi sangat rumit dan bersifat diskontinuitas-revolusioner.

3. Thomas S. Kuhn dengan paradigma Objektivitas Nonlinear dan Nonakumulatif Kuhn dengan karyanya “The Structure of Scientific Revolution” menunjukkan adanya krisi objektivitas yang sama akibat revolusi atau pergeseran paradigma di dalam perkembangan sains modern. Kuhn menyebut situasi tersebut sebagai “krisis paradigma yang dikuasai oleh paradigma tunggal ilmu normal yang mapan”. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu berlangsung secara nonlinear dan nonakumulatif. Akibat sains atau keilmuan modern yang telah berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma-paradigma lama dan menggantikannya dengan paradigma baru. Kenyataan itu oleh hilangnya fleksibilitas dan “daya temu” di dalam sistem keilmuan positif itu sendiri dengan klaim objektivitasnya yang tunggal, deduktif (dipaksakan dari luar), deterministik (membatasi), dan kumulatif (utuh). Revolusi keilmuan modern yang kekuatannya dibangun atas dasar p”Positivisme”, dengan ciri empiris-analitisnya, telah menempatkan ilmu sebagai satu-satunya kelimuan atau kebenaran ilmiah yang sahih tentang kenyataan. Pandangan Thomas Kuhn yang demikian justru berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Karl Popper. Kuhn disisi lain justru tidak melihat klaim objektivitas pengetahuan dari sisi perkembangan pengetahuan itu sendiri. Menurutnya, klaim objektivitas dalam pengetahuan maupun keilmuan, tidak semata-mata berasal dari dalam diri dan disiplinnya sendiri, tetapi ada didalam kerangka yang lebih luas. Artinya Kuhn melihat klaim objektivitas pengetahuan dan keilmuan itu sendiri didalam perkembangan pengetahuan sebagai pertemuan antarmanusia didalam masyarakat. 4. Paul Ricoeur dengan Paradigma Objektivitas Bahasa Paul Ricoeur disisi lain menjelaskan permasalahan Objektivitas dalam sebuah permainan bahasa. Ricoeur dengan itu meletakkan perbedaan anatara masalah bahasa lisan (speech act) dengan bahasa tulisan (inscription). Menurut Ricoeur, pada bahasa lisan, pembicara menjadi unsur penting yang menentukan makna objektivitas pembicaraan. Sebaliknya, pada bahasa tulisan, peranan uatam

makna objektivitas tidak dipegang oleh pengarang, melainkan oleh teks tertulis. Bagi Paul Ricoeur, pada tahap ini pengetahuan tidak lagi subjektif tapi objektif, dalam arti kesesuaian fisik. Objektivitas Sosio-Epistemologi, sebagaimana juga keilmuan sosial dalam arti yang demikian, sangat ditentukan oleh permainan bahasa, baik yang bersifat aktivitas pembicaraan mapun teks tertulis. Sikap tersebut mengandung empat tuntutan. Persyaratan pertama menghendaki agar semua perbuatan menyatakan (speech act) harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap dan dimengerti. Persyaratan kedua menghendaki agar semua perbuatan menyatakan dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh dan jujur. 5. Drucker dengan Paradigma Objektivitas Manajemen Debat berikut tentang objektivitas dalam keilmuan sosial, khususnya dalam ilmu ekonomi datang dari Drucker. Asumsinya realitas sosial itu sendiri, pada dirinya, mengandung struktur kognitif yang merupakan paradigma keilmuan sosial seperti manajemen. Hal itu biasanya dilakukan secara tidak sadar oleh si pelejar, penulis, guru, dan praktisi di lapangan. Meskipun demikian, sebagian besar asumsi tersebut, baik yang diperhatikan maupun yang dikecualikan atau dikesampingkan, menentukan objektivitas disiplin ilmu. Menurut Drucker, peran paradigma sosial dalam ilmu manajemen telah mencetak sebuah klaim objektivitas dengan struktur perkembangan keilmuan yang bersifat nonlinear dan nonakumulatif. Konsekuensinya, pengagungan yang berlebihlebihan terhadap klaim objektivitas sektoral, misalnya klaim objektivitas dalam ilmu manajemen bisnis sebagai paradigma tunggal/putra mahkota yang secara utuh menguasai ilmu manajemen tidak terbukti (gugur dengan sendirinya). Bahkan sampai kini tidak ada sebuah paradigma manajemen yang bersifat tepat dan berlaku mutlak dalam ilmu manajemen. Hal itu nyata baik, dalam dunia organisasi nonbisnis seperti manajemen pemerintahan, politik, keagamaan, dan manajemen bisnis. Kenyataan itu Menurut Drucker telah ditegaskan dalam sanggahan Abraham H. Maslow. Maslow menegaskan klaim objektivitas tersebut dengan menunjukkan bahwa sesungguhnya orang dalam konteks sosialnya yang berbeda harus diatur dengan manajemen yang berbeda pula. Disisi lain orang yang bekerja untuk satu organisasi yang mengandalakan profesionalitas, bekerja penuh waktu dan bergantung pada organisasi untuk pengembangan karier serta kehidupannya. Meskipun mereka bawahan tapi sebenarnya mereka adalah teman karena pengetahuan yang dimiliki masing-masing.

Jadi pekerja pengetahuan yang produktif mungkin menjadi pusat manajemen organisasi. Kesimpulannya tuntutan atau klaim objektivitas dalam manajemen selalu berhubungan dengan unsur manajemen yang penting untuk mengatur sumbersumber daya dan organisasi untuk hasil didalam atau diluar organisasi. C. Objektivitas Bertentangan dalam Sosio-epistemologi 1. Hakikat Objektif dalam Sosio-epistemologi Pergolakan pemikiran para ahli sebagaimana ditunjukkan diatas menunjukkan bahwa masalah tuntutan objektivitas pengetahuan pun memasuki wilayah-wilayah yang sifatnya spesifik. Orang mulai membedakan antara objektivitas pengetahuan yang bersifat empiris naturalis yang berciri ketat dan tertutup dengan tuntutan-tuntutan objektivitas pengetahuan yang nonempiris yang bersifat terbuka. Ilmu-ilmu nonempiris seperti ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosisal memberikan tuntutan objektif yang bersifat “objektifitas terbuka” dan dinamis. Selain dua tuntutan objektivitas diatas, klaim atau tuntutan objektif diadalam sosio-epistemologi ingin mengatasi berbagaipergulatan sosial didalam klaim-klaim keobjevtivan dan klaim kebenaran ilmu sosial. Persoalan-persoalan sosial, secara langsung berhadapan dengan dua tuntutan objektif yang sifatnya saling menyangkal atau saling mengabaikan. Kedua tuntutan tersebut menghadapkan tuntutan objektivitas sosial dalam penelitian sosial pada dua pilihan yang sifatnya dilematis. Pertama, apakah penelitian sosial harus membuktikan hakikat keilmuan sosial sebagai jenis pengetahuan objektif yang ketat, dalam arti tertutup dan menjaga dirinya sebagai cabang kelimuan yang normatif trasendental yang berlaku universal. Kedua, apakah penelitian sosial hendak memantapkan keilmuan sosial secara konsekuen pada tuntutan sosio-historis manusia yang bersifat terbuka dan dinamis. Pilihan pertama didasarkan pada pertimbangan bahwa keilmuan sosial merupakan variabel independen terhadap kepentingan kehidupan sosial (“Praxis”) karena itu bersifat objektif, normatif, dan deduktif. Pilihan kedua didasarkan pada pertimbangan bahwa keilmuan sosial merupakan variabel dependen dalam arti dipengaruhi oleh “Praxis” kehidupan masyarakat. Ternyata hakikat keilmuan sosial yang bersifat dialektis itu menghendaki sebuah tuntutan objektif yang berlawanan dengan prinsip dualisme objektivitas diatas. Letak tuntutan objektivitas dalam keilmuan sosial justru pata titik pertautan antara aspek transenden dan imanen dalam pengetahuan yang intinya pada rasio itu sendiri. Tuntutan pokoknya agar objektivitas tersebut tidak diartikan secara dangkal karena merupakan salah satu aspek fenomenal dalam eksistensi sosial manusia yang utuh. Karenanya, orang tidak harus mengabaikan semua nilai yang berimbun dalam tuntutan objektifnya.

Setiap putusan atau penilaian mengenai tuntutan objektif hendaknya memeperlihatkan tiga hal penting. Pertama, kemampuan untuk membuat penilaian terhadap suatu situasi tanpa dipengaruhi oleh perasaan, emosi, dan gagasan-gagasan yang belum mapan dan tidak rasional. Kedua, dukungan terhadap suatu pernyataan pengetahuan dengan bukti dan evidensi yang didasarkan atas kejadian-kejadian aktual. Ketiga, cita-cita, tujuan, ideal, atau sasaran yang diuapayakan oleh kegiatan pengetahuan itu. Ketiga prinsip ini menunjukkan bahwa demi menjaga objektivitas keilmuan sosial diperlukan komunikasi dan konsensus. Sehubungan dengan “Praxis”, tuntutan objektivitas tersebut hendaknya tidak hanya memepertimbangakan nilai-nilai didalam dirinya sendiri, tetapi juga nilainilai sosio historis yang berada diluarnya. Persoalan mendasar lain yang selalu diperdebatkan sehubungan dengan tuntutan objektivitas adalah mengenai “Kebebasan nilai” dan “Peratutan nilai” dalam keilmuan sosial itu sendiri. Ada orang yang berpandangan bahwa objektivitas pengetahuan harus tetap dijaga. Meskipun demikian ada pula yang berpandangan bahwa objektivitas atau kenetralan pengetahuan terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada aspek metafisik pengetahuan. Intinya pengetahuan pada hakikatnya merupakan pengatahuan manusia yang juga dihasilkan oleh cara kerja manusia tertentu yang secara langsung dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu pula. Akibatnya pengetahuan itupun pada hakikatnya sudah dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai tertentu didalamnya. Tuntutan objektivitas tersebut mesti mencirikan sebuah pertautan dialektis antara teori dan praxis. Praxis dalam hal ini dipahami secara filosofis yang menggambanrkan lingkaran tindakan refleksi-aksi atau teori dan praktik. 2. Objektivitas Bertentangan Ternyata, hakikat dari sosio-epistemologi yang bersifat dialektis itu mengkehendaki sebuah tuntutan objektif yang berlawanan dengan prinsip dualisme objektivitas diatas. Sosio-epistemologi menganggap bahwa kedua sisi objektivitas itu merupakan dua hal yang berbeda, namun saling bertentangan di dalam kepenuhan objektivitas Sosio-epistemologi itu sendiri. Bagi sosio epistemologi, letak tuntutan objektivitas justru pada titik pertautan antara aspek trasenden dan imanen dalam pengetahuan yang intinya pada rasio itu sendiri. Sikap yang diambil sehubungan dengan itu adalah berusaha mempertautkan antara kepentingtan normatif dan praxis itu secara kritis dan terbuka. Caranya, dengan melakukan analisis rasional terhadap kodrat inteligibilitas kedua aspek tersebut yang memungkinkan terpenuhinya tuntutan objektivitas pengetahuan didalam Sosio-epistemologi itu sendiri.

Kritik Sosio-epistemologi ada pula tuntutan pokoknya agar objektivitas pengetahuan tidak diartikan secara dangkal. Pokok pertimbangan ialah pengetahuan merupakan salah satu aspek fenomenal dalam eksistensi manusia yang utuh. Tuntutan objektif dalam pengetahuan tidak boleh memandang objek seakan-akan nyaris tidak memiliki apa-apa berkaitan dengan subjek.

BAB XIII TUNTUTAN TEORIS, METODIS, VALIDITAS DALAM SOSIO-EPISTEMOLOGI A. ARTI TEORI Keterangan normatif umumnya berlaku mutlak bagi setiap cabang epistemologi, termasuk secara khusus sosio-epitemologi adalah tuntunan atau klaim teoritisnya untuk membuktikan sebagai teori pengetahuan yang sejati. 1. Variabel Teori Sosio-epistemologi dalam hal ini memahami dirinya bukan sekedar rumusan (konsep variabel) yang mati tetapi sebuah pedang bermata dua. Artinya, di satu sisi harus membedah ide – ide dan kreativitas intelektual yang bersifat rasional universal, sementara di sisi lain, ia harus dapat membedah medan kehidupan aktual dan menuntun para praxis. Teori dari bahasa yunani yaitu Theoros adalah wakil yang diutus warga polis dalam suatu acara keagamaan untuk melihat atau mengamati peristiwa – peristiwa sakral yang di hadirkan kembali sehingga melaluitindakan itu manusia mengalami pembebasan atau emansipasi dari nafsu – nafsu rendah yang dalam bahasa yunani disebut Katharis. Katharis adalah pengalaman pembersihan diri dari perasaan atau dorongan – dorongan fana yang berubah – ubah sehingga manusia memperoleh suatu orientasi untuk tindak secara tepat pada kehidupan. Cara untuk memperoleh pengetahuan sejati adalah bahwa teori teori tersebut harus dimurnikan dari unsur dorongan dan perasaan subjektif manusia yang berubah – ubah. 2. Variabel Pengetahuan Sosio- epistimologi meletakan tuntutan – tuntutan pengetahuannya pada realitas manusia dan kemanusiaan yang bersifat utuh, sinergis, intersubjektif, dan hipotesis. Sosioepistimologi ingin tetap pada hakikat keaslian dirinya sebagai sebuah cabang filsafat yang berciri dialektis. Tuntutan sosio-epistemologi atas pengetahuan, terdiri dari tiga hal penting yaitu : Pertama : pengetahuan merupakan kegiatan yang sifatnya berkembang dan menambah kesempurnaan. Kedua : pengetahuan pada hakikatnya adalah pengetahuan manusia, dari dan untuk manusia. Ketiga : pengetahuan bersifat terbatas, tidak sempurna, dan karena itu tumbuh dan berkembang.

B. TUNTUTAN METODE Para ahli filfus terbagi menjadi dua aliran pemikiran sehubungan dengan tuntunan metodis. Pertama, kelompok yang ingin memepertahankan ilmu sosial. Karena menurut kelompok ini permasalahan sosial manusia tidak bisa di ukur dengan ilmu alam atau yang di tetapkan positivisme. Kedua adalah kelompok yang berpegangan teguh bahwa keberhasilan ilmu sosial dapat di ukur dengan cara metode ilmu alam atau positivisme. Karl Popper dalam “The Poverty of Historicism” (1985-4) juga membagi ahli filsuf menjadi dua bagian yaitu antara antinaturalis dan pronaturalis. Situasi perkembangan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 telah menampilkan kembali suatu metodhenstreit baru, anatar penganut “neokantianisme” dan aliran barat daya (madzab baden) yang meminati ilmu – ilmu budaya. (bertens 1983:87). Menunculkan tokoh yaituWindelband yang mempertentangkan antara nomothetic sciences dan indiographic sciences. Nomothetic yaitu kelompok ilmu alam yang menyelidiki gejala - gejala alam yang berulang – ulang sehingga dapat di simpulkan dan dibuat hukum (nomos). Sedangkan ilmu budaya melihat kejadian atau peristiwa individual yang unik dan sekali terjadi dan melukiskan keunikannya. Setelah perang dunia pertama, perdebatan tentang metode ini terus diperdalam oleh karl mennheim kemudian menghasilkan sosiologi pengetahuan. Akan tetapi perdebatan anatara Popper dan Adrono, kemudian berkelanjutan dengan tampilnya jurgen habermas yang secara tegas memihak Adorno dan menghadapi albert yang berpihak pada Popper. Albert dan Popper menurut Jurgen mereka menganut positivisme logis dengan seintisme yang ketat. Ilmu sosial tidak bisa mengunakan positivisme, akan tetapi popper maupun albert menolak hal itu dikarenakan ilmu sosial dengan metode ilmu alam, pasti harus bersifat netral baik terhadap nilai maupun praxis manusia. C. TUNTUTAN VALIDITAS Sosio-epistemologi menawarkan sebuah jalan keluar yang khas dengan validitas pengetahuan yang bersifat “dialektis bertentangan” (tensional truth). Logika veliditas ini ingin mewujudkan bahwa pengetahuan sebagai tindakan berfikir adalah perbuatan komunikasi antara kategori – kategorinya bersifat transenden dan imanen.

BAB XIV PEMBAHARUAN ATAS TEORI PERKEMBANGAN (“RASIONALISTIK”) MASYARAKAT

A. ALASAN PERKEMBANGAN Salah satu tekanan pokok dalam Sosio-epistimologi adalah tersusunnya suatu perbaruan atas teori-teori abad modern mengenai perkembangan masyarakat. (Campbel 1994:5) perkembangan masyarakat dipandang sebagai sebagai hal yang bersifat teknologi semata. Hal tersebut ditandai dengan pola yang digunakannya yaitu “reduksi”, “institusionalisasi”, dan “objektivitas” masyarakat. Tujuannya supaya realitas sosial dan perkembangan (modernisasi) asyarakat tersebut dapat dimanipulasi menurut hukum perkembangan yang bersifat teknologi dan ekonomis sebagaimana yang kehendaki. Fritjof Capra (1997:32-35) mengkritik ambisi masyarakat modern tersebut dengan menunjukkan beberapabukti kegagalan modenisme. Menurutnya, kegagalan tersebut diakibatkan oleh keangkuhan rasionalisme modern dan saintisme yang begitu kuat menguasai alam maupun kehidupan sosial manusia secara total. Prinsipnya dalam Sosio-epistmologi diandaikan bahwa “moralitas” masyarakat (pandangan masyarakat mengenai kebaikan manusia sebagai manusia) dan “legalitas” (pandangan mengenai kebaikan manusia menurut pelaksanaan hukum), pribadi, dan sebagainya menganut prinsip-prinsip rasional yang bersifat transenden-universal. B. PEMBARUAN ATAS TEORI RASIONALISASI MASYARAKAT Sosio-epistimologi secara tegas memandang bahwa rasio adalah ciri kekhususan manusia yang membedakan dirinya dari binatang. Meski manusia itu dilahirkan tanpa ketrampilan untuk mempertahankan diri, namun lewat kemampuan rasio maka manusia sanggup menyempurnakan keberadaannya. Rasio dalam pandangan Sosio-epistimologi bersifat komplek dan utuh. Masyarakat rasional dalam hal ini bukanlah masyarakat yang berada di bawah tekanan rasio sebaliknya masyarakat yang bertumbuuh secara rasional dengan potensi rasionya yang konstruktif. I. Inti Teori “Rasioanalisasi Perkembangan Masyarakat” Teori rasionalisasi (disebut juga rasio bertujuan) atas perkembangan masyarakat lebih merupakan hasil perkembangan dan penyebaran rasionalisasi manusia Barat modern ke segenap kehidupan dan tingkah laku sosial manusia. Rasionalisasi sebagai tindakan bertujuan demikian dimaksudkan untuk mencapai sasaran-sasaran dengan

cara dan sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai yang tertinggi. Maksudnya adalah untuk mengarahkan tindakan secara sistematis dan konsisten pada pencapaian tujuan itu. Habermas (1992:1-3) dengan “rasionalitas bertujuan”. Inti pemikiran rasionalitas bertujuan ini adalah bahwa orang yang bekerja dengan rasionalisasi akan lebih mementingkan cara mencapai tujuan. Inti pemikiran yaitu rasio yang mementingkan cara atau teknik pencapaian tujuan. Rasionalisasi atau menyingkirkan driri dari hal-hal yang sifatnya tidak menunjang efisiensi dan efektivitas tindakan. Menurut pandangan Teori Rasionalisasi, dalam masyarakat tradisional konsep rasionalisasi ini belum berkembang. Perkembangan masyarakat dihubungkan secara langsung dengan institusional perkembangan sains dan teknologi. Jelas bahwa paradigma utama teori rasionalisasi perkembangan masyarakat ini adalah penggunaan teknologi yang cocok dan penyusunan sistem-sistem perkembangan kehidupan masyarakat sesuai tujuan yang ditetapkan. Teori “rasionalisasi perkembangan masyarakat ” menuntut pelepasan diri secara mutlak dari kepentingan-kepentingan masyarakat yang berada dalam proses tindakan kritis, emansipasi, “refleksi diri” dan komunikasi. Teori rasionalisasi dalam hal ini bukan saja melihat alat tetapi teknik sebagai norma kehidupan. Teori rasionalisasi akhirnya menganggap masyarakat dan kebudayaan sebagai kenyataan alamiah yang mekanis serta menganggap bahwa kemajuan teknologi adalah kemajuan moral. 2. Pembaruan atas Teori “Rasionalisasi Perkembangan Masyarakat” “Sosio-epistimologi” memandang “rasionalisasi” sebagai pembenaranpembenaran secara rasional terhadap tindakan-tindakan bertujuan di bawah determinasi hukum teknologi yang ketat. “Rasio Kritis” merupakan kekuatan pencerahan dalam membangun otonomi, emansipasi, atau refleksi diri. Rasionalitas atau rasio kritis inilah yang dapat menuntun perkembangan masyarakat pada tingkat kedewasaan baik pada tataran pengetahuan, budaya, maupu tataran kehidupan sosialnya. Rasionalisasi tidak mengarahkan perkembangan masyarakat untuk berkembang secara kritis dan dewasa. Sebaliknya, masyarakat digiring untuk berkembang mengikuti kekuasaan “rasio” kapitalis yang diakui benar (dirasionalisasikan). Sejarah Sosio-epstimologis menunjukkan bahwa upaya ke arah pembaruan teori rasionalisasi itu telah dimulai dari sikap kritis Teori Kritis. Kritik Sosio-epistimologi terhadap situasi masyarakat modern dilakukan dalam dua cara.

Pertama, menelusuri kembali akar munculnya cara berpikir positivisme masyarakat modern. Kedua, dalam pandangan Sosio-epistimologi, cara berpikir posivistis yang telah menanamkan pengaruhnya secara luas di dalam ilmu pegetahuan dan teknologi yang berlaku sebagai ideologi. 3. Inti Pembaruan Teori Rasionalisasi Perkembangan Masyarakat Kritik Habermas terhadap teori “rasionalisasi perkembangan masyarakat” begitu penting dalam studi Sosio-epistimologi. Berdasarkan pandangan Habermas tersebut, kritik pembaruan Sosio-epistimologi atas teori rasionalisasi ini dapat dirumuskan dalam empat butir. Pertama, pembaruan terhadap “rasionalisasi bertujuan” atau “rasio teknologis”. Dasar pemikiran Sosio-epistimologi di sini adalah perkembangan rasio masyarakat harus diletakkan pada sifat rasionalitasnya yang utuh dan mendasar. Sosioepistimologi menempatkan “praxix” sebagai dasar tindakan sosial yang mempertautkan antara “kerja” dan “komunikasi” Sosio-epistimologi memandang bahwa tindakan rasio bertujuan atau rasio instrumental harus ditempatkan di dalam peranannya yang strategis. Tindakan tersebut berdasarkan harapan timbal-balik antarsubjek yang berinteraksi. Sosio-epistimologi justru memandang bahwa “tindakan rasio komunikatif” menghasilkan sistem sosial yang disebut “kerangka kerja institusional”. Kedua tindakan ini dapat dilihat secara jelas dalam sejarah perkembangan modernisasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat kapitalis liberal dan ke masyarakat dewasa ini yang disebut “masyarakat kapitalis lanjut”. Kedua, pembaruan atas kedua dimensi rasionalisasi. Pembaruan Sosioepistimologi terhadap teori rasionalisasi perkembangan masyarakat di atas memperlihatkan ada dua dimensi poko dalam rasionalitas masyarakat yaitu “rasionalitas dari bawah” dan “rasionalitas dari atas”. Perkemabangan masyarakat kapitalis lanjut dewasa ini menunjukkan bahwa peranan tindakan sosial atau tindakan komunikasi telah diarahkan bukan lagi dalam rangka mewujudkan tujuantujuan praktis (moral), melainkan untuk memecahkan masalah sosial yang bersifat teknis. Kritik pembaruan Sosio-epistimologi hendak menegaskan bahwa rasio dari bawah harus ditempatkan sebagai kekuatan pencerahan yang membimbing masyarakat menuju taraf kematangan dan kedewasaan hidup. Hal inni dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan komunikasi yang bersifat kompleks dan mendasar.

Ketiga, pembaruan atas sifat kemajemukan dan kompleksitas masyarakat. Sosio-epistimologi memandangbahwa ide yang mau menyamakan dengan rasionalitas masyarakat dengan perluasan rasio instrumental dan strategis merupakan ide yang terlalu sederhana. Inti pembarauan ini adalah perkembangan masyarakat dan kebudayaan bukanlah kenyataan ilmiah yang mekanis, melainkan perkembangan dalam jaringan makna. Sosio-epistimologi secara tegas memandang bahwa bangsa rasionalitas masyarakattidak bisa direkayasa secara “monistik universal”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa rasionalitas masyarakat menganut kemajemukan. Keempat, pembaruan daya penyebaran rasionalisasi. Sosio-epistimologi memandang bahwa rasionalisasi tidak hanya menyebar dan memasuki bidang pemahaman atau pengetahuan sosial saja. Habermas menjelaskan bahwa raionalisasi ini teah menjangkau tiga segi kehidupan sosial yang paling mendasar, yaitu masyarakat, kebudayaan, dan kepribadian. Teori rasinalisasi hanya memandang rasio dalam dua segi saja, yaitu segi efektivitas suatu sarana dan segi tepatnya suatu tujuan. Prinsipnya, rasionalitas tindakan di dalam Sosio-epistotimologi memertautkan antara rasionalitas instrumental (rasionalitas tujuan) yang bersifat formal dengan rasionalitas pilihan yang bersifat subtantif, serta rasionalitas strategi yang bersifat praktis dengan rasinalitas nilai yang berorientasi pada nilai yang bersifat normatif. Ringkasnya, Sosio-epistimologi memandang bahwa perkembangan rasionalitas masyarakat tidak bersifat selektif dan partikular atau saling terlepas. C. PEMBARUAN TERHADAP TEORI MODERNISASI Teori modernisasi masyarakat dengan pendekatan rasionalisasinya melihat modernitas masyarakat sebagai wujud prestasi nyata melalui perkembangan yang sifatnya linear dari rasionalitas tujuan. Pandangan Sosio-epistimologi atas daya penyebaran rasio ini hendak menunjukkan penyebaran proses rasionalisasi masyarakat modern atau rasionalisasi pada tahap kemasyarakatan merupakan jembatan melalui “rasionalitas kultural”. Inti pandangan Sosio-epistimologi mengenai modernitas menunjukkan dua sisi pendekatan yang mendasar. Kedua sisi itu sama dengan dua sisi perkembangan rasionalitas masyarakat, yaitu “modernitas dari atas dan odernitas daari bawah”. Teori rasionalitas memandang bahwa strukturstruktur kesadaran modern paling jelas terwujud secara kemasyarakatan dalam ekonomi kapitalis dan negara modern. Modernits yang utuh adalah modernitas yang tidak hanya mengandalkan pada kemutlakan kenikmatan dan kesenangan material, tetapi kebebasan dan kedewasaan

masyarakat atas dasar kedewasaan penegatahuan dan nilai-nilai etis serta keyakinan digunakan untuk pribadi manusia. Pendekatan utama yang digunakan itu adalah “rasionalitas nonselektif”. Prinsip Sosio-epistimologi yang dianut sehubungan dengan pembaruan tersebut adalh modernitas masyarakat akan berjalan utuh dan seimbangan jika kettiga bidang nilai kultural (kognitif, evaluaitf, dan ekspresi) dihubungkan dengan sistem-sistem tindakan. Prinsipnya, ciri modernitas yang utuh hanya dapat diperoleh dalam masyarakat modern yang komunikatif, menghargai percakapan dan agumentasi serta konsensus. D. PEMBARUAN TERHADAP TEORI EVOLUSI SOSIAL Teori evolusi perkembangan masyarakat dicanangkan oleh Karl Marx. Maksudnya ialah untuk menggambarkan tahapan-tahapan perkembangan masyarakat menurut hukum-hukum ekonomi yang sifatnya material.menurut Marx, sejarah perkemabngan masyarakat ditentukan oleh kehendak manusia, melainkan ditentukan oleh tingkat perkembangan produksi (tenaga produktif) di bidang ekonomi sebagai “basis”. Marx begitu yakin akan keastian ajarannya ini. Menurutnya, ajarannya itu bukan sekedar tuntutan moral, melainkan berdasarkan analisis ilmiah atas hukum-hukum objektif sejarah perkembangan masyarakat yang pasti dan tepat. Ciri masyarakat yang dicita-citakan itu adalah masyarakat yang bersifat sosial, utuh, terbuka, lepas dari akomodasi lahiriah. 1. Dalil Kerja Sosial Marx mengjarkan bahwa faktor penting yang membedakan manusia dari binatang adalah kerja yang diorganisasikan secara sosial. Artinya , secara sepihak Marx menekankan bahwa hanya melalui kerja itu sendirilah, manusia akan memproduksi diri dan hidupnya. Istilah, “produski” tersebut oleh Marx, tidak hanya dipahami sebagai tindakan-tindakan instrumental, yakni tindakan manusia terhadap lingkungan alamiahnya, tetapi termasuk di dalamnya lingkungan kerja sama sosial berbagai individu. Kritik pembaharuan “Sosio-epistimologi” dalam hal ini ditujukkan pada ketidakmemadaian pandangan Marx untuk menjelaskan hakikat “kerja sosial” itu sendiri. Sosio-epistimologi menunjukkan bahwa komunikasi rasional merupakan dasar peran-peran sosial. Melalui peran sosial, dua harapan tingkah laku yang berbeda dapat dihubungkan sedemikian rupa sehingga terbentulah sebuah sistem motivasi timbal balik.

2. Dalil Sejarah Spesies Pengadaian dasar dari sejarah spesies ini adalah pekerjaan merupakan dasar pembangunan diri umat manusia sebagai makhluk sejenis (spesies). Melalui pekerjaan, manusia mengubah dunia dan dengannya mengubah ruang dan tempat di mana generasi berikut akan menemukan diri mereka Dalil sejarah spesies, memandang sejarah bukan sebagai deretan peristiwa kebetulan, melainkan sejarah mengenai bagaimana umat manusia mengungkapkan dirinya. Marx menyimpan sebuah ide evolusi organis di balik pandangan kerja sosial tersebut. Ia meng daikan bahwa melalui kerja sosial, pada saat yang bersamaan manusia menghasilkan hubungan-hubungan antar masyarakat dan sejarah. Justru dalam hal ini, sejarah spesies dimengerti sebagai sejarah perubahan cara-cara produksi seagai ciri khas sebuah bentuk kehidupan sosial. Hubungan kekuatan produktif seperti hubungan-hubungan produksi antar manusia sebagai pekerja itulah yang disebut Karl Marx sebagai hubungan-hubungan produksi. Hubungan tersebut mencerminkan pembagian kekuasaan sehingga terceminlah struktur kepentingan sebuah masyarakat. Sosio-epistimologi menolak adanya reduksi manusia pada pekerjaan sebagaimana yang dilakukan oelh Marx. Alasannya ialah prediksi tersebut akan mengarah menjadi sebuah pengadaian materialisme sejarah. Kritik pembaruan “Sosio-epistimologi” hendak menunjukkan pula bahwa masyarakat tidak bisa disamakan dengan organisme. Oleh karena itu, masyarakat tidak bisa hanya diukur dengan kelangsungan hidup fisiknya, melainkan juga dari upaya menjaga identitas kemasyarakatan, dan “dapat diterima”. 3. Dalil “Suprastruktur” dan “Basis” Marx mengdaikan adanya dua segi dalam masyarakat yang dibedakan secara tegas (bdk. Hardiman 1993: 106-108). Segi pertama adalah strktur ekonomi masyarakat sebagai “basis” yang merupakan totalitas hubungan-hubungan produksi. Segi kedua adalah struktur hukum, politik, kesadaran sosial, intelektual yang dipandang sebagai suprastruktur masyarakat. Menurutnya, struktur ekonomi ini merupakan “basis” masyarakat. Prinsip “Sosio-epistimologi” dalam hal ini adalah tidak adanya hubungan determinasi antara suatu basis dengan suatu yang dianggap superstruktur. Tafsiran basis dan superstruktur dalam hal ini harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat konstektual dan historis. Basis dalam hal ini merupakan faktor sosial yang paling menentukan di dalam sebuah integriasi sosial. Prinsipnya, “Sosio-epistimologi memandang bahwa krisis sosial tersebut harus dilihat dari dua segi tindakan yang dilakukan dalam kerja sosial, yaitu kerja

dan komunikasi. Hal tersebut telah ditunjukkan dalam pandangan Habermas berikut ini. Kedua tindakan itu berlaku juga dalam sebuah sistem integrasi sosial. a. Memahami permasalahan krisis dan initegrasi sosial dalam perspektif kerja Ada empat hal pokok yang mau ditunjukkan dalam proyek pembaruan “Sosio-epistimologi sehubungan dengan krisis sosial itu. Pertama, dalam sebuah sistem sosial ada mekanisme belajar yang berasal dari dalam sistem itu sendiri. Kedua, cara-cara produksi berada dalam keadaan seimbang. Ketiga, perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dari dalam sistem itu yang menyebabkan munculnya ketidaksesuaian struktur antara keduanya. Keempat, ketidak seimbangan di dalam cara-cara produksi itulah yang sesungguhnya dapat menjungkirbalikkan hubungan-hubungan produksi yang ada. b. Memahami permasalahan krisis dann integrasi sosial dalam perspektif komunikasi “Sosio-epistimologi” mengkui bahwa peralihan masyarakat kepada bentuk-bentuk integrasi sosial yang baru, misalnya, dari sistem negara lalu memerlukan pengetahuan yang bersifat praktis-moral.

Daftar Pustaka Wathloly, A. 2013. SOSIO-EPISTIMOLOGI, membangun pengetahuan berwatak sosial. Penerbit Kanisius: Joogjakarta

Related Documents


More Documents from ""