MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSIF DOSEN PENGAMPU
: Mirnawati, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh :
Akhmad Fikriady
1710118310002
Prodi : Pendidikan Matematika UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meninggalkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan, dll. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dalam memenuhi keberagaman kebutuhan siswa untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan inklusi ini memegang tugas dan tanggung jawab yang penting, karena pada dasarnya pendidikan untuk semua kalangan tanpa membedakan apapun merupakan kebutuhan dasar untuk menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan. Pemahaman mengenai pendidikan inklusi juga merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seorang guru. Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang Pendidikan Inklusi, konsep Pendidikan Inklusi, kelebihan pendidikan inklusi, dan sejarah pendidikan inklusi. B. Rumusan Masalah 1.
Apa filosofi pendidikan inklusi?
2.
Apa pengertian dari pendidikan inklusi?
3.
Apa konsep dasar dari pendidikan inklusi?
4.
Bagaimana dengan sejarah pendidikan inklusi?
5.
Bagaimana dengan perkembangan pendidikan inklusi di dunia dan di indonesia?
6.
Apa saja landasan pendidikan inklusi?
C. Tujuan 1.
Mahasiswa dapat memahami filosofi pendidikan inklusi.
2.
Mahasiswa dapat memahami pengertian pendidikan inklusi.
3.
Mahasiswa dapat memahami konsep dasar pendidikan inklusi.
4.
Mahasiswa dapat mengetahui sejarah dari pendidikan inklusi.
5.
Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan pendidikan inklusi di dunia dan d indonesia.
6.
Mahasiswa dapat mengetahui landasan dari pendidikan inklusi.
BAB II PEMBAHASAN A. Filosofis Pendidikan Inklusif Filosofis pendidikan inklusif mencerminkan paham tentang nilai-nilai filosofis yang termanifestasi dalam bingkai keberagaman dan kesetaraan antarsesama. Pada praktiknya, filosopis pendidikan inklusif berupa memperjuangkan anak-anak berkebutuhan khusus agas mereka mendapatkan akses yang lebih besar dan mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayanan pendidikan secara optimal. Menurut vaughn, bos dan schum (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, pendidikan inklusif sebaiknya dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individunya. Penulis menilai bahwa filosopis pendidikan inklusif sangat terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pengalaman belajar bersama anak normal umumnya. Tidak heran bila pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu negara berjewajiban untk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termask mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada uud 1945 pasal 31 (1). Konsep inklusif adalah sebuah filofi pendidikan yang berkaitan langsung dengan relasi sosial antar sesama dalam upaya membangun kebersamaan tanpa memandang latar belakang kehidupan maupun status sosialnya. Mereka yang percaya proses inklusif meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun berbedaan mereka. Dalam pendidikan ini bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maou ketidak mampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku latar belakng budaya atau bahasa menyatu dalam komunikasi sekolah yang sama. Sebagai cermin iklusifitas dalam menghargai perbedaan dan keterbatasan, pendidikan dindonesia harus mampu menciptakan kesetaran dan keadilan bagi siapa saja yang dianggap tidak normal atau berkeainan. Maka kehadiran pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan seperti tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunarungu, maupun tunalaras.secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan salamaca pada komperesi dunia tentang pendidikan berkelainan bulan juni1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan semua anak siogianya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Ketika itulah muncul sekolah inklusif yang menampung semua anak berkebutuhan khusus dipendidikan formal tanpa pengecualian.sekolah in menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan bantuan yang diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. namun sayang system pendidikan di indonesia belum mengakomodasi keberagaman sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang mendasar pada perbedaan agama, etnis dan bahkan perbedaan kemampuan, baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Sementara itu pendidikan tidak hanya di tunjukan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya sehingga perlu di bantu dan dikasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka. B. Pengertian Pendidikan Inklusif Definisi pendidikan inklusif terus menerus berkembang sejalan dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktik yang ada. Jika pendidikan inklusif ingin tetap menjadi jawaban yang nyata dan berharga untuk mengatasi tentang pendidikan dan hak asasi manusia. Akhirnya definisi pendidikan inklusif hanya berupa versi lain dari pendidikan luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus. Beberapa definisi pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut: 1. Pendidikan inklusif adalah penggabungan pendidikan regular dan pendidikan khusus kedalam satu sistem persekolahan yang dipersatukan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa. 2. Pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan pendidkan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa. 3. Menurut Permen No.70 Tahun 2009 Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam llingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. 4. Pendidikan inklusif adalah pendidikan regular yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidkan inklusif mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan, bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidkan layanan khusus.
5. Pengertian pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam seminar AGRA dan disetujui oleh 55 negara ( terutama dari selatan) yaitu :
Pengertian pendidikan inlusif lebih luas dari pada pendidikan formal karena mencakup pendidikan dirumah, masyarakat, sistem non formal dan informal.
Mengakui bahwa semua anak dapat belajar
Memungkinkan stuktur, system, dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak
Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak meliputi usia, jenis kelamin, etika, bahasa, kecacatan, status HIV /AIDS.
Merupakan proses dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya
6. Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994). C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif Sejalan dengan gencarnya gerakan Hak Asasi Manusia muncul pandangan baru bahwa semua anak luar biasa harus dididik bersama-sama dengan anak normal di tempat yang sama. Dengan maksud anak luar biasa tidak boleh ditolak untukbelajar sekolah umum yang mereka inginkan. Pendidikan Inklusif dapat diartikan sebagai model penyelenggaraan pendidikan dimana anak yang memiliki kelainan dan yang normal dapat belajar bersama-sama disekolah umum. Bagi mereka yang memiliki kesulitan sesuai kecacatannya disediakan bantuan khusus. Dalam system pendidikan ini digunakan terminology anak dengan berkebutuhan khusus atau Children with specisl aducation need sebagai pengganti istilah anak cacat atu anak luar biasa. Hal inimengandung makna bahwa setiap anak mempunyai kebutuhan khusus baik yang permanen atau tidak permanen. Kebutuhan khusus ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu 1) kebutuhan secara individu; 2) kebutuhan khusus yang bersifat kekecualian dan 3) kebutuhan khusus yang umum. Sehubungan dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak luar biasa di beberapa negara termasuk pada sebagian masyarakat di Indonesia, terhadap kesepakatan bahwa system pendidikan Inklusi adalah system pendidikan yang paling layak untuk dilaksanakan. Sunantu (2000;4) menjelaskan beberapa alasan pendidikan Inklusi sebagai model pendidikan bagi anak luarbiasa, yaitu: 1) Semua anak mempunyai hak untuk belajar bersama, 2) Anak-anak tidak harus diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain karena kecacatannya, 3) tidak ada alasan yang legal untuk memisahkan pendidikan bagi anak luar biasa,karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, 4) banyak hasil penelitian menunjukan bahwa
prestasi akademik dan sosial anak luar biasa di sekolah-sekolah integrasi lebih baik dari pada di sekolah segregasi, 5) tidak ada pengajaran di sekolah segregasi yang tidak dapat dilakukan disekolah umum, 6) melalui komitmen dan dukungan yang baik, pendidikan lebih efisien dalam penggumaan sumber belajar, 7) semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang utuk hidup dalam masyarakat yang normal dan 8) hanya system pendidikan terpadu yang berpotensi untuk mengurangi rasa kekhawatiran membangun rasa persahabatan saling menghargai dan memahami. Pendidikan Inklusif dapat dipahami sebagai revisi system pendidikan bagi anak luar biasa yang telah ada sebelumnya. Kalua sebelum anak luarbiasa diterima di sekolah umum, karena kebijakan intern sekolah masing-masing dengan pertimbangan kemanusiaan. Dalam model pendidikan Inklusif ini, kesempatan bagi anak luar biasa untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum, telah memiliki dasar hukum yang kuat dan jelas berdasar psiko-edukatif serta bukan lagi didasrkan pada pertimbangan kemanusian semata. Model pendidikan Inkluusif dapat dipandang sebagai reformasi filosofis, konsep, dan prinsip pendidikan bagi anak luar biasa. Dengan demekian, kehadirn model pendidikan Inklusif dapat dilakukan sebagai bentuk pembaharuan dalam memandang anak luar biasa dan memaknai konsepkonsep pendidikan luar biasa, sehingga anak-anak luar biasa tidak lagi dibatsi pendidikan dalam setting SLB, akan terapi diberikan hak yang sama untuk mengikuti pendidikan secara terpadu dengan siswa normal di sekolah umum dengan kemamapuan yang dimilkinya. D. Sejarah Pendidikan Inklusif Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif. E. Perkembangan Pendidikan Inklusi di Dunia Sebelum munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan.Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan/tertolak adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama, untuk mengatasi masalah ini. Jika kita mengacu pada data International Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 8O juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka putus sekolah padahal pendidikannya belum selesai. Selain data tersebut di atas, ada pula data yangmenyebutkan bahwa ada sekelompok orang karena perbedaan jenis kelamin menyebabkan orang itu tidak dapat sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah terbatas.Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang atau sejumlah orang-tidak dapat menikmati haknya untuk memperoleh pendidikan, diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan,
bencana alam, dan lain-lain. Kondisi itu tentunya sangat memprihatinkan karena mereka akan menjadi orang yang termarginalkan dan tertolak oleh masyarakat. Itu semua ternyata menjadi permasalahan disetiap negara, bahkan di negara yang dikatakan sebagai negara maju sekalipun, hanya saja di negara maju jumlahnya lebih sedikit dibandingkan negara "miskin" dan berkembang. Jadi hampir di seluruh dunia memiliki persoalan yang sama, bagairnana semua warganya dapat mengakses atau memperoleh pendidikan, ternyata pendidikan itu adalah hak setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi sejumlah orang yang terpinggirkan (kaum marginal) dan tertolak dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya serta pendidikan. Semua negara memprihatinkan itu semua. Berdasarkan itu maka negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya.Mereka, melaluilembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu konferensi internasional.Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) dan konvensi Hak Anak (1989).Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO, dll) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan internasional. Di dalam konferensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi.Dalam konferensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (PBB, 1948) (yang menyatakan tentang hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989), itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari.Selanjutnya, UU dan dokumen hasil konferensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan masalah marginalisasi itu. Hasil dari konferensi diantaranya menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konferensi belum termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus. Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa negara.Kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (PBB, 1993).Konferensi ini dinamai The Salamanca World Conference on Special Needs Education (UNESCO, 1994).Dari konferensi inilah muncul prinsip-prinsip dan konsep dasar dari pendidikan inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusif.
Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB melalui UNESCO menyelenggarakan konferensi pendidikan untuk semua (PUS) kedua di Dakar tahun 2000.Dari Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul kerangka aksi pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasiflk yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang F. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia Di Indonesia pendidikan Inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun, dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut awalnya dinamakan pendidikan terpadu dan disahkan dengan surat keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan No. 002/U/1986 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu anak penyandang cacat juga ditempatkan di sekolah umum namun, mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga, mereka harus dibuat ‘Siap’ untuk diintegrasikan kedalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan, yang dilakukan oleh pendidikan Inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat.Apabila ada kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah. Sehingga pada tahun 2004 Indonesia menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukit tinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Jumlah sekolah pelaksana pendidikan terpadu hingga tahun 2001 adalah 163 untuk tingkat SD/MI dengan jumlah murid 875, 15 untuk tingkat SLTP/MTS dengan jumlah murid 40 orang, dan 28 untuk tingkat SMU/MA dengan jumlah 59 orang. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, maka konsep pendidikan terpadu pun berubah menjadi pendidikan inklusi.
G. Landasan Pendidikan Inklusif 1. Landasan Filosofis Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’). 3. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan. 2. Landasan Yuridis 1. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. 2. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’. 3. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’. 1. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB, SMPLB dan SMALB. 2. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, dan SMK. 3. Landasan Empiris 1. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights), 2. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child), 3. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on Education for All), 4. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities) 5. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education),
6. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All), dan 7. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”, 8. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai: 1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benarbenar untuk semua; 2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan 3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara. Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional 1. Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya 2. Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas 3. Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka 4. Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi 5. Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta 6. Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak 7. Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah 8. Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia prasekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini 9. Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang bermuatan pada nilai-nilai kesetaraan, hak asasi, serta kemanusian yang diwujudkan dalam kerangka pendidikan untuk semua. Berbagai kebijakan telah dilahirkan oleh pemerintah dalam upaya mendorong terwujudnya pendidikan inklusi. Implementasi kebijakan yang telah dilakukan masih banyak menimbulkan isu-isu baru yang lahir dan segara dibutuhkan upaya melahirkan kebijakan khusus pula. SARAN Dari berbagai peraturan perundangan dan kesepakatan yang ada tersebut telah mencakup hampir semua hak anak-anak berkebutuhan khusus, hannya yang masih menjadi kendala atau permasalahan adalah point pada pelanggaran hak-hak anak yang belum ada sangsinya sehingga masih belum adanya pencapaian hak-hak tersebut secara optimal. Sebagai calon pendidik, harus tetap mampu mewujudkan hak-hak anak berkebutuhan tersebut sehingga tidak ada deskriminasi karena telah diketahui tujuan pendidikan penting bagi semua orang. Masyarakat pun harus memiliki kesadaran untuk peduli dengan anak berkebutuhan khusus bukan tindakan pengucilan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Herlina, L. (2015, May 26). bollspeed. Retrieved from Ideologi Pendidikan Inklusif: https://bollspeed.wordpress.com/2015/05/26/pendidikan-inklusif/ Olifia Rombot, S. M. (2016, May 19). BINUS UNIVERSITY. Retrieved from BINUS UNIVERSITY. perpuskampus. (2016, October 1). perpuskampus. Retrieved from perpuskampus: https://perpuskampus.com/landasan-pendidikan-inklusif/ Siregar, E. C. (2015, Juky 3). EDUfa. Retrieved from YAYASAN EDUfa SALAMANCA & BIRO PSIKOLOGI EDUfa COUNSELING: https://edufacounseling.com/sejarah-danmakna-pendidikan-inklusi/