Fifi Yuliana_155020301111003_cc.docx

  • Uploaded by: Fifi Yuliana
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fifi Yuliana_155020301111003_cc.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,852
  • Pages: 18
INDIKASI MANAJEMEN LABA PADA PROSPEKTUS UNTUK TUJUAN INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) MELALUI AKRUAL DISKRESIONER SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA SAHAM JANGKA PANJANG

Fifi Yuliana Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ([email protected])

Abstract Sometimes companies need additional funding to fund their business along with the growing economic activities. They could get additional funding by issuing shares in the stock exchange. The first time a company become a going public company by issuing right is called Initial Public Offering (IPO). From this important moment then a problem occured. The big problem is that the company who did IPO manage their earnings before IPO which would be presented to the investors in the form of prospectus. Most earnings management is did by affecting accruals transaction, so that it called discretionary accruals. Companies tend to perform income maximization or income increasing, which would increase the earnings to to a specific amount they need to be presented to potential investors. But the investors are smart enough because they can detect the earnings management as evidenced by the underpricing of initial share. Earnings management is not only could done a period before the IPO date, but also two or three period before. There are companies that deliberately not doing earnings management a period before IPO to avoid detection from potential investors. Earnings management before IPO impact on long-term market performance. Companies with higher discretionary accruals had worse performance performance stocks in the three years after the IPO. So it can be said that the more aggresive they did earnings management, the worse their long-term market performance. Keywords: Earnings management, Initial Public Offering, prospectus, discretionary accruals, underpricing, long-term market performance

1

1.

Pendahuluan

Seiring dengan semakin bertambahnya aktivitas ekonomi, perusahaan membutuhkan dana yang besar untuk dapat terus menjalankan bisnisnya. Pendanaan dapat bersumber dari dua hal, yaitu kewajiban pendanaan (financing liabilities) dan ekuitas (equity). Subramanyam dan Wild (2010, p.169) mendefinisikan kewajiban pendanaan sebagai seluruh bentuk pendanaan kredit, seperti wesel bayar jangka panjang dan obligasi, pinjaman jangka pendek, dan sewa. Sedangkan ekuitas merupakan klaim atas aset bersih perusahaan. Penerbitan saham menjadi salah satu pilihan dalam mendapatkan sumber pendanaan bagi perusahaan. Status perusahaan akan menjadi perusahaan go public ketika ia telah melakukan penawaran umum di pasar modal. Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan

Nomor

7/POJK.04/2017

tentang

Dokumen

Pernyataan

Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang, Dan/Atau Sukuk, penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Waktu pertama perusahaan melakukan penawaran umum disebut dengan penawaran perdana atau Initial Public Offering (IPO). Sebagian orang masih menganggap bahwa IPO merupakan salah satu cara termudah dan termurah bagi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dana sebagai konsekuensi dari semakin besarnya atau berkembangnya perusahaan serta meningkatnya kebutuhan dana untuk investasi (Fitriani, 2012). Dengan menerbitkan saham dan menawarkannya ke publik berarti perusahaan perusahaan telah siap untuk dinilai oleh calon investor. Mereka akan menilai sejauh mana potensi perusahaan dalam memberikan keuntungan bagi dirinya. Salah satu informasi dalam laporan keuangan yang penting bagi calon investor adalah informasi laba. Menurut PSAK Nomor 1 (dalam Ningsih, 2015) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya. Namun menilai perusahaan yang baru

2

melakukan penawaran perdana atau IPO lebih sulit bagi investor, terlebih jika perusahaan penerbit tidak melakukan publikasi laporan keuangan secara rutin sebelum IPO. Sebelum melakukan IPO, tentu saja saham perusahaan belum memiliki harga saham. Untuk itu, calon investor membutuhkan informasi-informasi di laporan keuangan setidaknya beberapa periode sebelum IPO dalam rangka membuat keputusan investasi. Untuk mengajukan pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum di Bursa Efek Indonesia (BEI), OJK (melalui Peraturan OJK Nomor 7/POJK.04/2017 Pasal 3) mewajibkan emiten untuk menyampaikan prospektus, yaitu setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek. Karena sebelumnya tidak ada publikasi atas laporan keuangannya, maka perusahaan yang baru akan melaksanakan IPO akan menerbitkan prospektus yang akan berguna bagi investor untuk menilai perusahaan di masa awalnya menawarkan saham di pasar modal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2001) menunjukkan bahwa informasi prospektus, baik informasi akuntansi maupun non-akuntansi digunakan para pemodal dalam pembuatan keputusan investasi pada perusahaan yang baru melakukan IPO. Karena tidak ada sumber lain terkait kinerja perusahaan, investor akan bergantung pada informasi dalam prospektus. Teoh dkk (1998, p.1937) mengatakan bahwa proses IPO sangat rentan terhadap manajemen laba, yang menawarkan pengusaha motivasi dan peluang untuk mengelola pendapatan. Di sini ada high information asymmetry antara emiten atau perusahaan dengan calon investor. Perusahaan tentu saja mempunyai lebih banyak informasi yang mungkin saja berbeda dengan apa yang disajikan kepada calon investor. Prospektus memang memberikan manfaat besar bagi calon investor sehingga tertarik menanamkan modalnya di perusahaan. Namun ketika laporan keuangan dikelola sedemikian rupa, misalnya dengan manajemen laba, maka informasi keuangan termasuk laba yang disajikan tidak akan sesuai dengan informasi yang sesungguhnya. Ada kemungkinan bahwa perusahaan yang melakukan IPO akan mengelola labanya untuk mencapai tingkat laba yang diinginkannya. Motivasi manajemen dalam melaksanakan manajemen laba adalah manajemen memiliki

3

keyakinan bahwa akan adanya imbalan atas tindakan atau upaya yang dilakukan (Pratama, 2016, p.2049). Perusahaan akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola earnings increasing atau peningkatan laba. Perusahaan yang melakukan IPO terlibat dalam manajemen laba, dengan meminjam atau memindahkan laba dari masa lalu atau masa depan, sehingga laba yang dilaporkan tinggi dan menghasilkan harga penawaran yang lebih tinggi (Teoh dkk, 1998, p.1938). Menurut Wibisono (dalam Pratama, 2016, p.2052) manajemen pada saat pelaporan keuangan dapat melakukan manajemen laba untuk menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Perusahaan sebagai emiten bisa saja memperoleh harga penawaran yang cukup tinggi atas saham perdananya dengan melakukan laba. Namun perusahaan tidak dapat terus tergantung pada tindakan manajemen laba ini. Investor pun harus waspada. Fan (2007, p.29) menjelaskan bahwa

meskipun manajer dapat

meningkatkan penghasilan yang dilaporkan dalam satu periode, selama siklus hidup perusahaan, total penghasilan yang dilaporkan harus sama dengan total arus kas, sehingga karena akrual akuntansi akhirnya berbalik, laba masa depan akan turun akibat manipulasi masa lalu. Inilah yang perlu diperhatikan oleh calon investor. Calon investor perlu mengantisipasi adanya perusahaan yang sedang IPO yang melakukan manajemen laba dengan mempertimbangkan jumlah yang mereka bayarkan untuk membeli saham perdana perusahaan emiten. Melalui studi literatur ini, penulis merumuskan permasalahan yang ingin diungkapkan, yaitu (1) apakah ada indikasi manajemen laba pada prospektus untuk tujual Initial Public Offering (IPO) melaului aktivitas akrual?; dan (2) apakah peristiwa manajemen laba tersebut berpengaruh terhadap kinerja saham jangka panjang? Hal ini khususnya untuk perusahaan publik di Indonesia, mengingat penelitian ini dilakukan pada perusahaan publik yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian ini mungkin dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi perusahaan untuk memperbaiki proses dalam pembuatan prospektus sebelum melaksanakan Initial Public Offering. Perusahaan bisa mempertimbangkan lagi apakah keputusan manajemen laba yang dibuatnya akan membuat perusahaan menjadi lebih baik atau justru akan memperburuk kinerja jangka panjang

4

perusahaan karena perusahaan tidak dapat terus bergantung pada tindakan manajemen laba. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi investor yang akan membeli saham perusahaan yang sedang melaksanakan Initial Public Offering, sehingga dapat lebih berhati-hati dalam memutuskan harga penawarannya untuk membeli saham perusahaan.

2.

Tinjauan pustaka

2.1 Manajemen Laba Healy dan Wahlen pada 1999 (dalam Rahman, 2008) mendefinisikan earnings management atau manajemen laba sebagai upaya-upaya manajemen dalam menggunakan pertimbangannya (judgement) dalam menyusun laporan keuangan, sehingga dapat menyesatkan stakeholders dalam menilai kinerja perusahaan atau dapat mempengaruhi kontrak-kontrak pendapatan yang telah ditetapkan berdasarkan angka-angka laporan keuangan. Menurut Scott (2009, p.403) earnings management atau manajemen laba sebagai suatu pilihan yang dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan kebijakan akuntansi, atau tindakan nyata yang dapat memengaruhi laba sehingga mencapai laba yang diinginkan. Manajer dapat melakukan manajemen laba dengan membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi nilai item-item dalam laporan keuangan sehingga dapat menghasilkan laba yang ditargetkannya. Tindakan manajer dalam mempengaruhi laba melalui kebijakan ini juga disebut dengan diskresi manajer. Manajemen laba merupakan financial numbers game, dalam artian bahwa financial numbers game merupakan permainan angka-angka dimana penggunaan praktik-praktik akuntansi kreatif agar dapat mengubah pandangan pengguna laporan keuangan atas kinerja suatu perusahaan (Pratama, 2016, p.2053). Manajemen laba dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda, yaitu perspektif pelaporan keuangan dan perspektif kontrak (Scott, 2015, p.417). Dari perspektif pelaporan keuangan (financial reporting perspective), manajer berharap bahwa mereka dapat menyajikan laporan keuangan, dalam hal ini jumlah laba, yang setidaknya tidak jauh berbeda dengan prakiraan yang dibuat analis. Namun hal ini mungkin kurang relevan di Indonesia karena sangat jarang ada analis yang membuat prakiraan potensi laba yang akan didapat di masa mendatang.

5

Sedangkan dari perspektif kontrak (contracting perpective), manajer terdorong untuk menyajikan laporan keuangan dengan target laba tertentu karena mereka terikat kontrak. Hubungan kontrak antara manajer dengan investor membuat manajer sebagai agen yang disewa oleh investor sebagai prinsipal harus memenuhi target yang ditetapkan investor. Untuk mencapai tujuannya, juga sebagai motivasi untuk manajer, investor memberikan reward berupa bonus. Hubungan kontrak antara manajer dengan kreditur memaksa manajer untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh kreditur untuk agar terhindar dari konsekuensi yang telah ditentukan kreditur. Ada beberapa pola yang dapat dilakukan untuk mengelola laba. Scott (2009) membagi pola manajemen laba menjadi empat pola, yaitu (1) taking a bath, (2) income maximization, (3) income minimization, dan (4) income smoothing. Taking a bath adalah pola manajemen laba yang dilakukan dengan menjadikan laba menjadi sangat ekstrim rendah atau bahkan rugi dibandingkan dengan periode sebelumnya ketika kondisi perusahaan memang sedang jatuh dan biasanya ada pergantian Chief Executive Officer (CEO). Income maximization dilakukan dengan menurunkan laba yang didapat sehingga laba yang disajikan lebih rendah daripada laba sesungguhnya, biasanya dilakukan ketika profitabilitas perusahaan relatif rendah. Sebaliknya, income minimization dilakukan dengan menaikkan laba yang didapat sehingga laba yang disajikan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya, biasanya dilakukan ketika profitabilitas perusahaan sangat tinggi dan ada perbedaan yang cukup banyak dibanding laba periode sebelumnya. Pola terakhir adalah income smoothing yang menjadi pola yang menarik yang merupakan kombinasi antara income maximization dan income minimization. Income smoothing ini menjadi pilihan bagi manajer yang ingin menjadikan laba yang dilaporkan menjadi relatif konsisten dari waktu ke waktu. Sisi oportunis dari pola ini tentu saja manajer lebih memilih aliran bonus yang konstan atau ingin menghindari risiko tidak lancarnya bonus yang diterima di masa mendatang. Menurut Setyawati dan Nai’m (dalam Widyaningtyas, 2009), tiga cara berikut dapat dilakukan untuk merekayasa laba atau melakukan manajemen laba.

6

a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan judgement terhadap beberapa pos yang memang tidak ditentukan dalam standar akuntansi, sehingga membutuhkan penilaian berupa estimasi dari akuntan. Contohnya adalah estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi umur manfaat aktiva tetap, dan estimasi biaya garansi. b. Mengubah metoda akuntansi Standar akuntansi terkadang membebaskan akuntan memilih satu dari beberapa metoda yang diperbolehkan dalam standar. Manajemen laba dapat dilakukan dengan mengubah dari metoda satu ke yang lainnya untuk mempengaruhi nilainya. Contohnya adalah mengubah metoda depresiasi dari metoda jumlah angka tahun ke garis lurus. c. Menggeser periode biaya atau pendapatan Contoh cara menggeser periode biaya atau pendapatan antara lain dengan mempercepat atau menunda biaya R&D sampai periode berikutnya, serta kerjasama dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman tagihan utang perusahaan sampai periode berikutnya. 2.2 Initial Public Offering Salah satu motivasi dilakukannya manajemen laba adalah karena perusahaan akan melakukan penawaran perdana (Initial Public Offering). Penawaran perdana adalah waktu dimana perusahaan yang bertindak sebagai emiten menerbitkan saham untuk pertama kalinya di bursa efek. Saham ini akan berada di pasar perdana terlebih dahulu untuk kemudian diperdagangkan ke publik secara bebas. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (dalam Ardika, 2015), penawaran umum adalah kegiatan penawaran yang dilakukan emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara

yang

telah

diatur

dalam

undang-undang

tersebut

dan

peraturan

pelaksanaannya. IPO menjadi salah satu momen terpenting bagi perusahaan, yaitu waktu dimana perusahaan melakukan penawaran umum pertamanya. Dari sini lah perusahaan akan mendapatkan suntikan dana sebagai tambahan modal untuk melakukan kegiatan bisnisnya.

7

2.3 Prospektus Fenomena manajemen laba menjelang IPO terjadi karena perusahaan ada dalam kondisi asimetri informasi dengan investor. Investor tidak memiliki informasi yang cukup terkait perusahaan. Maka perusahaan merasa lebih leluasa untuk melakukan manajemen laba. Perusahaan akan menerbitkan prospektus untuk tujuan IPO. Ini dimaksudkan sebagai publikasi laporan keuanagan beberapa tahun sebelum IPO sehingga investor mendapatkan cukup informasi. Untuk mengajukan pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum di Bursa Efek Indonesia (BEI), OJK (melalui Peraturan OJK Nomor 7/POJK.04/2017 Pasal 3) mewajibkan emiten untuk menyampaikan prospektus, yaitu setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek. Dengan prospektus inilah investor dapat melakukan penilaian terhadap perusahaan sehingga tertarik untuk membeli saham dengan harga yang dikehendakinya, tentu dengan mekanisme pasar. Prospektus biasanya akan dibagikan kepada publik oleh emiten melalui underwriter (penjamin emisi) menjelang penawaran umum dilakukan. Prospektus mungkin

juga

dipublikasikan

melalui

surat

kabar

berskala

nasional

(Widyaningtyas, 2009). Walaupun informasinya mungkin tidak selengkap laporan tahunan perusahaan yang telah melaksanakan publikasi, tetapi prospektus ini akan sangat berguna bagi calon investor. Investor akan mendapatkan informasi terkait dengan penawaran umum yang dilaksanakan oleh emiten sehingga dapat membuat keputusan investasi. Prospektus yang diterbitkan oleh emiten seharusnya sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 /POJK.04/2017 Tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas. Dalam pasal 6 dijelaskan informasi apa saja yang harus ada di dalam prospektus, sebagai syarat untuk listing di BEI. Prospektus paling sedikit harus memuat bagian-bagian berikut: a. informasi pada bagian kulit muka Prospektus; b. daftar isi;

8

c. ringkasan Prospektus; d. Penawaran Umum; e. penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum; f. pernyataan utang; g. ikhtisar data keuangan penting; h. analisis dan pembahasan oleh manajemen; i. faktor risiko; j. kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan Publik; k. keterangan tentang Emiten, kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha; l. ekuitas; m. kebijakan dividen; n. perpajakan; o. penjaminan emisi Efek (jika ada); p. lembaga dan profesi penunjang Pasar Modal serta pihak lain; q. ketentuan penting dalam anggaran dasar dan ketentuan penting lainnya terkait pemegang saham; r. tata cara pemesanan Efek bersifat ekuitas; s. penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan pembelian Efek bersifat ekuitas; t. pendapat dari segi hukum; u. laporan keuangan; dan v. laporan Penilai dan laporan tenaga ahli (jika ada). 2.4 Aktivitas Akrual Konsep akrual adalah konsep yang penting untuk diketahui dalam memahami manajemen laba. Akrual secara teknis sebenarnya merupakan selisih antara laba bersih dengan arus kas yang berasal dari aktivitas operasional. Terdapat dua komponen akrual, yaitu akrual diskresioner (discretionary accruals) dan akrual non-diskresioner (non-discretionary accruals). Akrual diskresioner adalah pengakuan laba akrual atau beban yang bebas diatur, dan merupakan pilihan kebijakan manajemen (Khaiyat, 2017). Manajemen dapat membuat kebijakan atas suatu transaksi sehingga nilainya dapat berubah.

9

Misalnya saja biaya depresiasi, untuk mengetahui besarnya biaya ini kita harus mengetahui biaya perolehannya, umur manfaat, serta metode depresiasi yang digunakan. Nilai biaya memang sudah tetap (fixed) dan tidak bisa diubah-ubah namun umur manfaat dan metoda depresiasi bisa diubah sesuai dengan kebijakan atau pertimbangan dari manajemen. Kebijakan ini disebut dengan diskresi manajemen atau management discretion. Contoh lain adalah penentuan kebijakan cadangan kerugian piutang dagang yang memang tidak diatur dalam standar sehingga perusahaan bebas melakukan estimasi. Akrual nondiskresioner adalah pengakuan laba akrual yang wajar, tidak dipengaruhi kebijakan manajemen, serta tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan jika standar tersebut dilanggar akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan (Khaiyat, 2017) . Manajemen tidak dapat mempengaruhinya, maka dikatakan non-diskresioner karena tidak ada diskresi dari manajemen. Contoh dari akrual nondiskresioner adalah pemilihan metoda depresiasi, apakah garis lurus, saldo menurun ganda, atau yang lainnya. Contoh lain adalah penggunaan metoda akuntansi dalam perusahaan minyak antara full method dan successful effort. Sebuah teori yang harus diperhatikan terkait dengan akrual disebut dengan Iron Law yang berbentuk “pembalikan akrual (accruals reverse)”. Dalam Iron Law dinyatakan bahwa manajemen laba dengan pola income maximization akan menyebabkan penurunan laba masa depan, dan sebaliknya. Manajer yang mengatur peningkatan-peningkatan current earning akan melakukan reversal terhadap accruals tersebut dengan menurunkan kemampuan future earning sebagai penyesuaian terhadap current earning yang telah diakui (Scott, 2009, p.403). 2.5 Kinerja Saham Jangka Panjang Keberhasilan perusahaan dapat diukur dengan berbagai ukuran kinerja. Kinerja perusahaan sangat penting untuk diperhatikan karena akan menentukan bagaimana perusahaan dapat terus berjalan. Menurut Yusnita dkk (2015, p.3), tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar dapat membedakan hasil dan tindakan yang diinginkan.

10

Salah satu ukuran kinerja perusahaan adalah dengan menggunakan kinerja pasar atau kinerja saham. Sesuai penelitian Sulistyanto dan Wibisono (dalam Pratama, 2016) bahwa kinerja saham dapat diukur dengan menggunakan tingkat pengembalian atau return saham. Return saham adalah suatu tingkat keuntungan yang dapat dinikmati oleh penanam modal atas suatu investasi saham yang dilakukannya (Robbert Ang, dalam Pratama, 2016). Return adalah hasil yang diperoleh dari harga saham sekarang yang dikurangi dengan harga saham sebelumnya dibagi dengan harga saham sebelumnya. Wahyuni (2008) mengatakan bahwa return saham dapat dikatakan sebagai tingkat pengembalian yang didapat investor dengan berinvestasi pada saham perusahaan. Investor tentu saja mengharapkan tingkat pengembalian yang tinggi. Return lah yang dapat menentukan tertarik atau tidaknya investor pada saham suatu perusahaan. Kinerja saham sesaat setelah IPO mungkin kurang dapat menggambarkan dampak dari manajemen laba yang dilaksanakan menjelang IPO. Untuk itu, diperlukan data beberapa tahun setelah IPO. Ini dimaksudkan agar dapat melihat efek dalam jangka panjang. Dengan begitu, dampaknya dapat lebih mudah diamati daripada apabila menetapkan satu periode akuntansi setelah IPO. Karena mungkin saja ada hal lain yang mempengaruhi kinerja saham, bukan hanya karena manajemen laba,

3.

Pembahasan

Penelitian yang dilakukan oleh Ardika (2015) terhadap 48 perusahaan yang melaukan IPO pada tahun 2009-2012 di Bursa Efek Indonesia menunjukkan adanya indikasi dilakukannya manajemen laba untuk tujuan IPO. Dari hasil perhitungan statistik deskriptif untuk nilai discretionary accruals pada periode satu tahun sebelum IPO dihasilkan nilai rata-rata positif. Ini menunjukkan bahwa perusahaan melakukan manajemen laba dengan pola income maximization atau income increasing tepat satu tahun sebelum tanggal IPO. Maka jelas bahwa salah satu alasan perusahaan melakukan manajemen laba adalah karena akan melakukan penawaran perdana di pasar saham. Kusumawardhani dan Siregar (t.th) melakukan penelitian terhadap 39 perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO pada tahun 2000 sampei 2003.

11

Hipotesis pertamanya adalah untuk mendeteksi dilakukannya manajemen laba menjelang penawaran perdana. Hasil analisisnya membuktikan bahwa rata-rata perusahaan melakukan manajemen laba untuk tujuan IPO dengan pola income increasing (meningkatkan laba) melalui penggunaan total akrual diskresioner. Dari hasil penelitian di atas, dapat kita simpulkan bahwa rata-rata perusahaan di Indonesia akan melakukan manajemen laba menjelang IPO. Mereka akan mengelola laba pada laporan keuangan prospektus atau laporan keuangan beberapa tahun sebelum IPO untuk tujuan IPO itu sendiri. Pola yang biasa dilakukan tentu saja adalah income increasing. Perusahaan akan menaikkan laba sampai pada tingkat tertentu yang mereka inginkan. Dengan dilakukannya hal tersebut, perusahaan berharap ini dapat berdampak positif pada harga penawaran perdana atas sahamnya. Harga saham perdana tinggi tentu menentukan besarnya jumlah modal yang akan diterima. Maka harga saham perdana menjadi sangat penting bagi perusahaan. Rahman (2008) melakukan penelitian terhadap perusahaan yang melakukan penawaran perdana di Bursa Efek Indonesia dari tahun 1994 sampai dengan 2003. Dalam penelitiannya tersebut, peneliti merumuskan dua hipotesis, yaitu: (1) perusahaan melakukan manajemen laba pada saat IPO; dan (2) manajemen laba pada saat IPO mempengaruhi kinerja jangka panjang perusahaan. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan publik yang terdaftar di BEI yang tidak bergerak dalam industri perbankan, keuangan, dan asuransi. Kemudian diperoleh 149 perusahaan sampel untuk menguji hipotesis pertama, dan ditetapkan 148 sampel untuk menguji hipotesis kedua. Dari penelitian tersebut, dihasilkan kesimpulan bahwa perusahaan yang melakukan penawaran perdana terbukti melakukan manajemen laba rata-rata melalui variabel akrual diskresioner (discretionary accruals), yaitu variabel akrual diskresioner lancar dan variabel akrual diskresioner jangka panjang. Peneliti tidak dapat membuktikan adanya indikasi dilakukannya manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil. Selanjutnya, untuk menguji hipotesis kedua, peneliti mengelompokkan sampel menjadi perusahaan yang melakukan manajemen laba secara konservatif dan agresif. Dari pengujian awal tersebut, peneliti menyatakan bahwa kinerja saham

12

perusahaan tidak dipengaruhi oleh derajat manajemen laba yang dilakukan, apakah manajemen laba dilakukan secara konservatif ataupun agresif. Pradana dan Wirasedana (2016) telah melakukan sebuah penelitian yang mana salah satu hipotesisnya adalah adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan menjelang IPO, khususnya untuk perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Indonesia. Peneliti menentukan sampel yang digunakan dengan kriteria tertentu, yaitu yang melakukan penawaran umum perdana atau pada periode 2010 sampai dengan 2014, bukan perusahaan di sektor keuangan, dan tentu saja memiliki laporan keuangan prospektus atau setidaknya dua tahun sebelum IPO. Dengan kriteria tersebut, akhirnya didapatlah 60 perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Dari penelitian ini, kesimpulannya adalah ada hubungan positif antara manajemen laba dua tahun menjelang IPO dan return saham. Ini menunjukkan bahwa memang perusahaan cenderung melakukan manajemen laba dengan IPO sebagai salah satu motivasinya. Dengan dilakukannya manajemen laba, maka ada reaksi positif di pasar dan return saham yang dihasilkan memang baik (dalam penelitian ini diuji setelah 7 hari masuk pasar). Mungkin tidak semua investor dapat mendeteksi adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh emiten menjelang IPO. Atau mungkin juga investor telah men-generalisasi anggapan bahwa setiap perusahaan akan melakukannya menjelang IPO. Atau bahkan investor sudah dapat secara mandiri mengetahui indikasi dilakukannya manajemen laba. Investor akan berhati-hati pada perusahaan yang baru melakukan IPO karena mereka menganggap emiten akan cenderung bergantung pada manajemen laba, terutama untuk tujuan IPO. Syafei dan Nugroho (2014) meneliti 79 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Melalui penelitian ini, peneliti ingin menganalisis pengaruh manajemen laba terhadap underpricing saham IPO. Hasilnya menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap underpricing saham IPO. Disimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan manajemen laba secara lebih agresif lebih underpriced dibanding dengan yang tidak.

13

Penelitian di atas menunjukkan bahwa investor sudah sangat cerdas dalam menilai saham perdana. Manajemen laba yang dilakukan menjelang IPO ternyata tidak selalu dapat memenuhi ekspektasi perusahaan untuk menghasilkan harga saham perdana tinggi. Walaupun sudah meningkatkan labanya pun, nyatanya justru menghasilkan underpricing saham perdana. Karena investor sudah cerdas, perusahaan pun harus cerdas dan berhati-hati dalam menentukan kebijakan terkait manajemen laba. Untuk mengatasi underpricing harga saham perdana, perusahaan pun juga ternyata cukup pintar. Beberapa dari mereka dengan sengaja tidak melakukan manajemen laba pada periode tepat satu tahun sebelum IPO. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Widyaningtyas (2009) terhadap 38 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 serta menyajikan laporan keuangan minimal tiga tahun sebelum IPO menetapkan hipotesis bahwa ada manajemen laba pada fenomena penawaran perdana. Setelah diteliti, ternyata didapatkan suatu kesimpulan bahwa rata-rata perusahaan melakukan manajemen laba melalui income-increasing discretionary accruals pada periode dua tahun sebelum IPO, tetapi tidak terbukti pada periode satu tahun sebelum IPO. Gumanti (dalam Widyaningtyas, 2009) menguraikan dua alasan yang menjelaskan hal tersebut. Pertama, perusahaan dalam hal ini sebagai issuers tidak ingin manajemen laba yang dilakukannya terdeteksi oleh investor. Manajemen laba yang dilakukan selama dua atau lebih periode berturut-turut dianggap berisiko, karena akan lebih mudah terdeteksi. Kedua, manajemen laba memang tidak bisa dilakukan terusmenerus. Manajemen tidak bisa terus bergantung pada manajemen laba untuk menyajikan laporan keuangan dengan tingkat laba yang terus bagus atau dengan peningkatan konstan. Karena manajemen laba dilakukan melalui akrual diskresioner, maka kebijakan rekayasa laba periode ini akan mempengaruhi periode masa depan. Siew Hong Teoh, Ivo Welch, And T. J. Wongemiten (1998) melakukan penelitian untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara manajemen laba pada saat dilakukannya IPO dengan kinerja pasar jangka panjang (long-run market performance). Sebagai sampel, peneliti menggunakan 1.649 perusahaan domestik

yang go public (dengan melakukan IPO) pada periode 1980-1992

14

dengan harga penawaran minimal $1 dan nilai kapitalisasi $20 juta pada tahun 1997. Teoh dkk mengklasifikasikan sampelnya menjadi perusahaan yang melakukan manajemen laba secara konservatif dan agresif. Hasilnya, perusahaan yang lebih agresif dalam melakukan manajemen laba, dalam 3 tahun setelah IPO memiliki 15% hingga 30% kinerja saham yang lebih buruk daripada perusahaan yang lebih konservatif. Maka, dari hasil penelitian tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa perusahaan atau emiten dengan akrual diskresioner (yang dapat mendeteksi manajemen laba) yang lebih tinggi memiliki kinerja kinerja saham (yang diwujudkan melalui return saham) yang lebih buruk dalam tiga tahun setelah IPO. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar tingkat manajemen laba, semakin buruk kinerja saham jangka panjangnya. Manajemen laba tidak dapat terus dilakukan dalam jangka waktu panjang, termasuk beberapa periode menjelang IPO, atau bahkan terus dilakukan sampai periode setelah IPO. Manajemen harus segera melakukan penyesuaian terhadap rekayasa dalam laporan keuangan pada periode-periode beriutnya agar publik tidak segera tahu aktivitas manajemen laba yang dilakukan perusahaan (Pratama, 2016, p.2049). Penyusaian ini secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap penurunan kinerja saham

4.

Simpulan, Keterbatasan dan Saran

4.1 Simpulan Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai aktivitas manajemen laba (earnings management). Salah satunya adalah terkait dengan motivasi IPO atau penawaran perdana. Dari beberapa penelitian yang disampaikan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, perusahaan yang go public dengan melakukan penawaran perdana atau IPO akan melakukan manajemen laba. Kebanyakan manajemen laba dilakukan melalui transaksi akrual diskresioner (discretionary accruals). Kedua, perusahaan cenderung melakukan pola income maximization atau income increasing, dimana perusahaan akan menaikkan tingkat laba sampai pada tingkat laba yang diinginkan untuk disajikan pada calon investor. Ketiga,

investor dapat dianggap cerdas karena dapat mendeteksi

dilakukannya manajemen laba yang terbukti dari adanya fenomena underpricing

15

saham perdana. Harga saham perdana tidak sesuai dengan ekspektasi perusahaan, padahal sudah menyajikan tingkat laba tertentu, tetapi harga saham justru di bawah dari yang seharusnya. Keempat, manajemen laba tidak hanya dilakukan pada periode akuntansi satu tahun sebelum tanggal IPO. Ada perusahaan yang dengan sengaja tidak merekayasa laba di periode tersebut untuk menghindari deteksi dari calon investor, sehingga manajemen laba dilakukan pada periode dua dan/atau tiga tahun sebelum tanggal IPO. Kelima, manajemen laba pada saat IPO ternyata berdampak terhadap kinerja pasar jangka panjang. Perusahaan dengan akrual diskresioner yang lebih tinggi memiliki kinerja kinerja saham yang lebih buruk dalam tiga tahun setelah IPO. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar tingkat manajemen laba, semakin buruk kinerja saham jangka panjangnya. 4.2 Keterbatasan Keterbatasan dari penelitian ini adalah karna merupakan studi literature. Penelitian akan dapat lebih objektif apabila dilakukan di lapangan dengan meneliti fakta-fakta yang ada, sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih meyakinkan terkait indikasi manajemen laba pada prospektus menjelang IPO serta hubungannya dengan kinerja saham jangka panjang. 4.3 Saran Perusahaan sebagai emiten diharapkan dapat lebih bijak dalam menyajikan laporan keuangannya. Manajemen laba yang dilakukan pada saat IPO berarti tidak menunjukkan keadaan atau profitabilitas perusahaan yang sesungguhnya kepada investor, sehingga dapat merugikan investor. Investor diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam membeli saham IPO. Investor harus betul-betul menganalisis informasi yang disajikan dalam prospektus, termasuk mendeteksi adanya indikasi laba.

Daftar Referensi Ardika, Geri. 2015. Praktik Manajemen Laba Sebelum dan Sesudah Initial Public Offering [Skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung Fan, Qintao. 2007. Earnings Management and Ownership Retention for Initial Public Offering Firms: Theory and Evidence. The Accounting Review Vol. 82, No. 1, 2007

16

Fitriani, Dini. 2012. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Setelah IPO (Studi Kasus IPO Perusahaan Listing di Bursa Efek Indonesia periode

2005-2010)

[Skripsi].

Universitas

Diponegoro:

Fakultas

Ekonomika dan Bisnis Khaiyat, M. Dinul. 2017. Indikasi Manajemen Laba Melalui Akrual Diskresioner pada Perusahaan Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi (JAk), 2017 Kusuma, Hadri. 2001. Prospektus Perusahaan dan Keputusan Investasi: Studi Empiris Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Siasat Bisnis (JSB) No. 6 Vol. 1, 2001. Kusumawardhani, Niken Astria Sakina, Dan Sylvia Veronica Siregar. [t.th]. Fenomena Manajemen Laba Menjelang Ipo dan Kaitannya Dengan Nilai Perusahaan Perdana Serta Kinerja Perusahaan Pasca–IPO: Studi Empiris Pada Perusahaan yang IPO di Indonesia Tahun 2000-2003. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ningsih, Suhesti. 2015. Pengelolaan Laba Melalui Aktivitas-Aktivitas Riil Perusahaan Perspektif Islam. Iqtishadia, Vol 8, No. 1, Maret 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2017. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/POJK.04/2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang, Dan/Atau Sukuk Otoritas Jasa Keuangan. 2017. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 /POJK.04/2017 Tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Pradana, Gede Bandem Wicitra Pradnya, dan I Wayan Pradnyantha Wirasedana. 2016. Pengaruh Manajemen Laba Menjelang Initial Public Offering pada.Return.Saham.Dengan.Ukuran Perusahaan.Sebagai Pemoderasi. E-‐Jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol.15.3, Juni 2016 Pratama, Andika, dan I G.N. 2016. Agung Suaryana. Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Kinerja Saham Jangka Panjang Perusahaan yang Melakukan Seasoned Equity Offering. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol.14 No.3, 2016

17

Rahman, Annisaa’. 2008. Manajemen Laba Melalui Akrual dan Aktivitas Real pada Penawaran Perdana dan Hubungannya dengan Kinerja Jangka Panjang (Studi Empiris pada BEJ). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Volume 5 - Nomor 1, Juni 2008 Scott, William R. 2009. Financial Accounting Theory Fifth Edition. Canada: Prentice Hall Subramanyam K.R., dan John J. Wild. 2010. Analisis Laporan Keuangan Edisi 10 Buku 1 (Terjemahan). Jakarta: Salemba Empat Syafei, Qorry Aina, dan Bernadus Yuliarto Nugroho. 2014. Analisis Pengaruh Manajemen Laba terhadap Underpricing Saham IPO pada Perusahaan IPO yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012. Jakarta: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Teoh, Siew Hong, Ivo Welch, dan T. J. Wong. 1998. Earnings Management And The Long-Run Market Performance Of Initial Public Offerings. The Journal Of Finance Vol. LIII, No. 6, December 1998 Widyaningtyas. 2009. Manajemen Laba Sebelum Initial Public Offering (IPO) (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yusnita, Heni, Mulyadi, dan Erick. 2015. Pengaruh Manajemen Laba Akrual dan Aktivitas Manajemen Riil terhadap Kinerja Perusahaan. JAFFA Vol.03 No.1, April 2015

18

Related Documents


More Documents from ""