Fertilitas

  • Uploaded by: Dian Novitasari
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fertilitas as PDF for free.

More details

  • Words: 2,299
  • Pages: 8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Fertilitas Fertilitas merupakan hasil dari suatu proses perilaku yang dipengaruhi oleh anggapan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di mana perempuan tinggal. Misalnya, dimasyarakat yang menganut paham keluarga besar dan perempuan harus kawin muda, tingkat fertilitas umumnya tinggi. Faktor gender juga berpengaruh di mana ketika status perempuan rendah, maka tingkat fertilitas akan tinggi. Pendekatan Sosial Pemikiran Davis dan Blake tentang Variabel Antara (Intermediate Variables) Salah satu pendekatan ilmu sosial tentang faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah pendekatan yang dikembangkan oleh pemikiran Davis dan Blake (1956), yang terkenal dengan istilah pendekatan ‘variabel antara’ (intermediate variables). Variabel antara adalah variabel yang secara langsung mempengaruhi fertilitas dan dipengaruhi oleh variabelvariabel tidak langsung, seperti faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Pada tahun 1956 Kingsley Davis dan Judith Blake dalam papernya berjudul “Social Structure and Fertility: An Analytic Framework” mengajukan bahwa terdapat tiga tahap penting dalam proses kelahiran, yaitu tahan hubungan kelamin (intercourse), tahap konsepsi (conception), dan tahap kehamilan (gestation). Ketiga tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di mana perempuan dan masyarakat tinggal. Faktor-faktor tersebut hanya dapat memengaruhi tinggi rendahnya fertilitas melalui ketiga tahapan tersebut. Ketiga faktor ini disebut sebagai ‘variabel antara’, yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu, sebagai berikut: 1. Enam variabel yang berkaitan dengan tahapan hubungan kelamin, yaitu semua faktor yang memengaruhi hubungan seks. a. Umur saat memulai hubungan seks. b. Selibat permanen: proporsi perempuan yang tidak pernah melakukan hubungan seks seumur hidupnya. c. Lamanya perempuan berstatus kawin. d. Abstinensi sukarela. e. Abstinensi terpaksa, seperti sakit atau berpisah sementara karena tugas atau belajar. f. Frekuensi hubungan seks.

2. Tiga variabel konsepsi, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi kemungkinan terjadinya konsepsi atau pembuahan.

a. Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang tidak disengaja (kemandulan sejak lahir atau karena infeksi kandungan) b. Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang disengaja, seperti minum obat penyubur atau sterilisasi. c. Pemakaian alat kontrasepsi.

3. Dua variabel kehamilan, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi kehamilan. a. Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang tidak disengaja (keguguran atau spontaneous abortion). b. Aborsi atau mortalitas janin karena sebab-sebab yang disengaja (menggugurkan kandungan atau induced abortion). Konsep variabel antara dipakai sebagai alat-kerangka pikir-untuk menganalisis tinggi rendahnya fertilitas antara suatu kelompok perempuan dengan kelompok perempuan lain. Misalnya, membandingkan tingkat fertilitas antara negara maju dengan negara berkembang atau antara kelompok dengan tingkat sosial dan ekonomi tinggi dengan tingkat sosial ekonomi rendah dalam satu negara. Semua faktor, apakah itu sosial seperti pendidikan, atau ekonomi seperti penghasilan, hanya dapat memengaruhi fertilitas melalui salah satu atau beberapa variabel di antara sebelas variabel antara tersebut. Sebagai contoh, dari sekelompok perempuan dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan kawin pada umur yang lebih tua dan umumnya ingin mempunyai jumlah anak yang lebih sedikit dengan memakai alat/metode kontrasepsi (KB). Dalam hal ini, penjelasan mengenai mengapa tingkat fertilitas perempuan yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai anak lebih sedikit dapat diterangkan melalui variabel antara ‘usia kawin pertama’ (umur saat memulai hubungan seks) dan ‘variabel konsepsi’, yakni pemakaian alat/cara KB. Tinggi rendahnya usia kawin dipengaruhi juga oleh faktor budaya, bias gender, dan lain-lain. Pemikiran Freedman Pakar sosiologi lain, Freedman (1973) mengembangkan konsep variabel antara dari Davis dan Blake menjadi suatu kerangka pikir yang lebih lengkap, tetapi tetap memakai jalan pikiran bahwa variabel antara yang dapat dengan jelas menerangkan perbedaan fertilitas. Menurut Ronald Freedman, variabel antara (intermediate variables) sangat erat hubungannya dengan norma sosial yang berkembang dalam masyarakat. Semua perilaku perempuan yang berkaitan dengan variabel antara sangat dipengaruhi oleh adat istiadat serta anggapan masyarakat di sekelilingnya tentang proses kelahiran mulai saat menikah, hamil,

dan melahirkan. Norma sosial tersebut sangat berhubungan dengan tingkat kemajuan perempuan atau pasangan tersebut sangat berhubungan dengan tingkat kemajuan perempuan atau pasangan tersebut, ataupun masyarakat sekelilingnya. Pada akhirnya, perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh norma yang ada (Gambar 4.2). Pendekatan Ekonomi Para ekonom juga melihat kemungkinan untuk menerangkan tinggi rendahnya tingkat fertilitas melalui disiplin ilmu ekonomi, yakni dengan pendekatan “The New Home Economics”. Teori ini meninggalkan pemikiran makro yang beranggapan bahwa tinggi rendahnya tingkat fertilitas suatu kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan modernisasi. Para ekonom demografer mengetengahkan pemikiran bahwa tingkat fertilitas ditentukan pada tingkat yang paling dasar, yakni keputusan pasangan suami istri dalam hal jumlah anak. Para penganut ilmu baru ini percaya bahwa teori ekonom mikro dapat menerangkan keputusan suami istri untuk mempunyai anak atau menambah jumlah anak dengan pertimbangan kondisi ekonomi pasangan tersebut, seperti layaknya pasangan suami istri memikirkan apakah setelah menikah, mereka akan mencicil rumah atau mobil dulu atau apakah akan mempunyai anak segera. Pemikiran Leibenstein Menurut Leibenstein (1957), mempunyai anak dapat dilihat dari segi ekonomi, yaitu segi kegunaannya (utility) dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membesarkan dan merawat anak. Kegunaan anak adalah dalam memberikan kepuasan kepada orang tua, dapat memberi transfer ekonomi (misalnya memberikan kiriman uang kepada orang tua saat dibutuhkan), atau dapat membantu dalam kegiatan produksi misalnya membantu mengolah tanah pertanian. Anak juga dapat menjadi sumber yang dapat membantu kehidupan orang tua di masa depan (investasi). Sementara itu, pengeluaran untuk membesarkan anak merupakan biaya dari kepemilikan anak tersebut. Apabila ada kenaikan pendapatan orang tua, maka aspirasi orang tua untuk mempunyai anak akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang lebih baik. Misalnya, dengan menyekolahkan anak setinggi mungkin, memberi makanan bergizi dengan jumlah yang cukup, memberikan kursus-kursus di luar jam sekolah, membawa ke tempat perawatan kesehatan yang berkualitas, dan lain-lain. Hal ini berarti biaya untuk membesarkan dan merawat anak menjadi besar. Di pihak lain, kegunaan anak akan turun, sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan psikologis, akan tetapi balas jasa ekonominya menurun. Waktu yang diberikan oleh anak untuk membantu orang tua akan

menurun karena anak-anak lebih lama berada di sekolah atau kegiatan lain untuk kepentingan anak sendiri. Di samping itu, orang tua modern dengan penghasilan cukup juga tidak lagi tergantung dari sumbangan anak. Singkatnya, biaya membesarkan anak menjadi lebih besar dari pada kegunaannya. Secara ekonomi, hal ini mengakibatkan permintaan terhadap anak menurun dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat fertilitas. Pemikiran Becker Gary Becker memperkenalkan analisis fertilitas dengan menggunakan pedekatan ekonomi yang menekankan analisisnya pada pengaruh tingkat pendapatan orang tua dan biaya merawat serta membesarkan anak terhadap tingkat kelahiran. Menurut Becker (1976; 1981), anak dapat dianggap sebagai barang ‘konsumsi tahan lama’ (durable goods). Sebagai ‘barang konsumsi’, anak diasumsikan akan memberikan ‘kepuasan’ (utility). Orang tua mempunyai pilihan antara kuantitas dan kualitas anak. Kualitas anak diartikan sebagai pengeluaran rata-rata (biaya) untuk anak oleh satu keluarga yang didasarkan atas dua asumsi. 1. Selera orang tua tidak berubah. 2. ‘Harga anak’ dan harga barang-barang konsumsi lainnya tidak dipengaruhi keputusan rumah tangga untuk konsumsi. Analisis fertilitas Becker diawali upaya keluarga untuk memaksimalisasi utility atas jumlah anak, n; pengeluaran untuk setiap anak (cost of children), q; dan jumlah barangbarang lainnya, Z; sehingga fungsi utility keluarga tersebut dapat diuraikan dalam persamaan: U = U(𝑛, 𝑞, 𝑍)

Anak tidak dapat ‘dibeli’ seperti halnya komoditas, melainkan harus dihasilkan sendiri oleh keluarga. Oleh karena itu, biaya total merawat dan mebesarkan seorang anak akan berbeda untuk setiap keluarga, sehingga fungsi ‘kendala anggaran’ (budget contraint) satu keluarga dapat diuraikan dalam persamaan berikut: Pn n + PZ Z = I

Dimana I adalah pendapatan total rumah tangga yang dialokasikan bagi pengeluaran untuk anak dan konsumsi barang, Z; Pn adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk anak; PZ adalah biaya atas konsumsi barang Z atau harga barang Z yang harus dibayar oleh rumah tangga. Hubungan antara fungsi utility dan kendala anggaran dapat digambarkan oleh kurva di Gambar 4.3.

Dengan menggunakan kerangka analisis teori ekonomi mikro, kurva di bawah dapat menggambarkan kondisi alokasi pilihan jumlah konsumsi barang dan jumlah anak. Apabila pendapatan naik, maka banyaknya anak yang diinginkan juga bertambah. Dengan kata lain, terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendapatan keluarga dan fertilitas. Hal tersebut seolah menyimpulkan bahwa anak juga merupakan barang yang bersifat inferior. Akan tetapi, studi empiris yang dilakukan oleh Becker menunjukkan bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi, umumnya mempunyai jumlah anak lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga yang tingkat pendapatnnya rendah. Temuan tersebut merupakan karakteristik umum dari penduduk di negara-negara maju yang berpendapat lebih tinggi. Becker menyanggah kesimpulan bahwa anak merupakan barang inferior dengan menggunakan teori alokasi waktu (time allocation theory), dimana utility waktu yang dipakai si ibu untuk merawat jumlah anak banyak lebih rendah dibandingkan utility waktu untuk merawat jumlah anak sedikit. Dengan demikian, menurut Becker para orang tua atau keluarga kemudian akan lebih menekankan kualitas dibandingkan kuantitas anak yang diminta. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern jika pendapatan meningkat, maka jumlah anak yang diinginkan bahkan lebih sedikit. Dalam analisisnya, Becker menyimpulkan tingkat pendapatan yang tinggi tidak hanya memengaruhi jumlah anak yang diminta (kuantitas) melainkan juga berupa biaya yang bersedia dikeluarkan oleh orang tua untuk seorang anak. Dengan kata lain, tingkat pendapatan akan memengaruhi kualitas anak yang diminta. Pendapatan yang semakin meningkat akan membuat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat dan membesarkan anak akan semakin mahal, sehingga pada gilirannya akan mengurangi permintaan terhadap jumlah anak.

Definisi, Ruang Lingkup dan Sumber Data Perkawinan dan Perceraian Definisi dan Ruang Lingkup Studi perkawinan dan perceraian dalam demografi dicakup dalam kajian nuptiality. Dalam Multilingual Demographic Dictionary (IUSSP,1982), nuptiality berkaitan dengan frekuensi atau banyaknya perkawinan, karakter pelakunya, dan yang berhubungan dengan berakhirnya perkawinan, seperti meninggalnya pasangan, perceraian, dan perpisahan. Perkawinan adalah penyatuan legal antara dua orang yang berlainan jenis kelamin sehingga menimbulkan hak dan kewajiban akibat perkawinan. Perkawinan dapat dilegalkan melalui hukum agama, sipil, maupun hukum lain yang diakui seperti hukum adat atau kebiasaan (custom). Studi demografi juga mengenal istilah ‘consensual union’, yakni suatu bentuk

hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat stabil, jangka panjang, yang mirip dengan sebuah perkawinan, tetapi tanpa suatu ikatan hukum yang pasti (hidup bersama). Hidup bersama seperti ini sering disebut juga sebagai perkawinan de facto, yang berbeda dengan perkawinan de jure, di negara-negara Amerika Latin, consensual union ini secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Kedua bentuk perkawinan tersebut, baik de jure maupun de facto, memengaruhi tingkat fertilitas. Oleh karena itu, keduanya diperhitungkan dalam studi demografi. Umumnya di Indonesia perkawinan de jure lebih menjadi perhatian dalam studi demografi karena perkawinan de facto relatif masih sedikit jumlahnya, selain karena belum diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membedakan status perkawinan dalam lima kategori, yaitu belum kawin, kawin, cerai, janda, dan duda. Pengertian janda dan duda disini adalah status seseorang yang ditinggal mati pasangannya dan belum melakukan kawin ulang. Dalam sensus atau survei, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengategorikan status perkawinan dalam empat golongan sebagai berikut: 1. Belum kawin, yaitu penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang belum pernah menikah, termasuk penduduk yang hidup selibat atau tidak pernah kawin. 2. Kawin adalah mereka yang kawin secara hukum (adat, negara, dan agama) dan mereka yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami istri. 3. Cerai adalah mereka yang bercerai dari suami/istri dan belum melakukan perkawinan ulang. 4. Janda atau duda adalah mereka yang suami atau istrinya meninggal dan belum melakukan perkawinan ulang. Oleh karena frekuensi perkawinan menduduki peran penting dalam studi demografi, perlu dibedakan antara perkawinan pertama, perkawinan kedua, dan selanjutnya. Perkawinan pertama merupakan perubahan status dari belum kawin ke status kawin, sedangkan perkawinan kedua, ketiga, dan seterusnya merupakan perubahan dari status cerai atau janda/duda menjadi status kawin. Perceraian adalah bubarnya perkawinan secara sah yang dikukuhkan oleh surat keputusan pengadilan, yang memberikan hak kepada masing-masing untuk kawin ulang menurut hukum sipil dan agama, sesuai dengan peraturan atau adat kebudayaan yang berlaku di tiap-tiap negara. Dalam masyarakat dimana perceraian tidak diperbolehkan, terdapat istilah penangguhan/pembatalan perkawinan, di mana dalam pencatatan biasanya perkawinan ini dikategorikan sebagai bercerai. Selain perceraian, ada peristiwa rujuk, yaitu perkawinan ulang antara suami dan istri yang telah bercerai. Dalam agama Islam, rujuk diperbolehkan dengan memberi batasan

hanya dua kali rujuk untuk suatu pasangan. Apabila pasangan tersebut bercerai kembali maka masing-masing pasangan diharamkan untuk menikah kembali kecuali masing-masing telah menikah dengan orang lain dan telah cerai kembali. Dalam agama Kristen atau Katolik, tidak ada peristiwa rujuk karena perceraian tidak diperbolehkan oleh agama tersebut. Perkawinan ulang adalah perkawinan yang terjadi antara seorang janda/duda atau yang berstatus cerai dengan laki-laki atau perempuan lain.

Sumber Data Perkawinan dan Perceraian Registrasi Studi tentang perkawinan dan perceraian memerlukan data statistik tentang jumlah pekawinan dan perceraian. Idealnya, statistik tentang hal tersebut dikembangkan dalam suatu sistem pencatatan yang dipelihara dan diperbarui secara terus menerus (Shryock dan Siegel, 1971). Sebaiknya, statistik tentang perkawinan dan perceraian dikerjakan dalam sistem registrasi vital (dibawah Departemen Dalam Negeri). Sistem registrasi yang dilaksanakan dengan baik akan menghasilkan data statistik dengan kualitas yang baik pula, termasuk kelengkapan

peristiwa,

cakupan,

kecermatan,

dan

kebenarannya

yang

dapat

dipertanggungjawabkan. Negara yang mempunyai statistik yang baik semacam ini, misalnya adalah Swedia. Di Indonesia, pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat nikah kantor urusan agama kecamatan (di bawah Departemen Agama). Untuk masyarakat yang beragama non-Islam, pencatatan nikah dan cerai dilakukan oleh gereja, wihara, pura maupun kelenteng serta diperkuat dengan nikah di kantor catatan sipil (Departemen Kehakiman). Apabila dari ketiga instansi ini bisa dikumpulkan data hasil catatan perkawinan secara langkap maka data statistik ini dapat menjadi sumber utama perhitungan langsung (direct method) tentang ukuran-ukuran perkawinan dan perceraian yang diperlakukan dalam studi demografi. Akan tetapi, sampai saat ini, statistik semacam itu belum tersedia karena tidak adanya sistem pelaporan dan penyajian yang terpadu dan terpublikasi. Akibatnya, studi perkawinan dan perceraian di Indonesia lebih banyak mengandalkan data lain dengan perhitungan secara tidak langsung (indirect method), umumnya dari sensus atau survei-survei penduduk. Sensus Penduduk dan Survei Sumber data lain yang dapat menjadi bahan perhitungan secara tidak langsung untuk ukuran perkawinan dan perceraian adalah Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (Supas), dan survei khusus yang mengumpulkan keterangan tentang perkawinan dan

perceraian. Sensus penduduk dan supas yang diselenggarakan oleh BPS memuat pertanyaanpertanyaan tentang status perkawinan penduduk dan usia saat kawin pertama kali. Survei khusus yang menanyakan tentang sejarah perkawinan responden adalah Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976, Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) tahun 1993, 1997/1998, 2000, dan 2007/2008, serta Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1987,1991, 1994, 2002/2003, dan 2007.

Related Documents


More Documents from "kasih nurhalija"

Diancara.docx
December 2019 7
Fertilitas
August 2019 10
491-1555-1-pb.pdf
December 2019 4
Proposal Dian.docx
April 2020 1
Perjanjian Bot.docx
June 2020 12