Fenomena Tidur Terbaru.docx

  • Uploaded by: fatna
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fenomena Tidur Terbaru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,206
  • Pages: 4
Fatma nur anisa 201533053

Fenomena Tidur dibutuhkan oleh setiap orang untuk dapat menjaga status kesehatan pada tingkat yang optimal. Tidur dapat memulihkan fisik setelah seharian beraktivitas, mengurangi stress, menjaga keseimbangan mental dan emosional, serta meningkatkan kemampuan dan konsentrasi. Kesulitan tidur, sering terbangun di malam hari, sulit untuk tidur kembali, dan bangun dini hari serta merasa tidak segar saat bangun pagi adalah gejala yang dialami oleh penderita insomnia (Saputra, 2013). Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Perubahan tidur yang terjadi pada lansia seiring dengan perubahan fisiologi yang ada pada tubuh lansia. Perubahan tidur seperti memendeknya episode REM, terjadi penurunan pada tidur tahap NREM 3 dan 4, dan atau tidak mengalami tahap NREM 4 menyebabkan lansia mudah terbangun di malam hari karena tidak mendapat fase tidur yang dalam (Hellstrom, 2013). Salah satu masalah tidur yang terjadi pada lansia yaitu insomnia. Berdasarkan laporan dari berbagai negara untuk kasus insomnia kira-kira 30% orang dewasa mengalami satu atau lebih gejala insomnia. Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita insomnia diperkirakan mencapai 10%, yang artinya dari total 238 juta penduduk Indonesia sekitar 23 juta jiwa diantaranya menderita insomnia (Medicastore, 2010). Insomnia merupakan gangguan pada kuantitas dan kualitas yang menghambat fungsi (NANDA, 2015). Terdapat faktor yang berhubungan pada klien dengan insomnia seperti kurangnya aktivitas yang dilakukan sehari-hari, ansietas, berduka, faktor lingkungan seperti kebisingan di lingkungan sekitar, pencahayaan yang kurang, dan suhu. Selain itu kebersihan tidur yang tidak adekuat, ketidaknyamanan fisik dan stresor merupakan faktor yang berhubungan dengan insomnia (Miller, 2012). Berdasarkan hasil survey mahasiswa peminatan gerontik FIK UI pada Mei 2016 di PSTW, ditemukan masalah insomnia sebanyak (24,1%). Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan memulai dan mempertahankan tidur secara terus menerus (Szentkiralyil, 2009). Insomnia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu insomnia akut dan insomnia kronik. Menurut Kamel & Gammack (2006) insomnia akut terjadi kurang dari 4 minggu dan insomnia kronik terjadi lebih dari 4 minggu. Insomnia kronik dibagi menjadi insomnia primer dan sekunder. Insomnia primer termasuk gangguan napas saat tidur, sleep apnea, restless leg syndrome (RLS) atau gangguan periodik pergerakan ekstremitas, dan disfungsi sirkadian (Ancoli, 2006). Pada klien tergolong dalam insomnia kronik atau insomnia sekunder yang muncul akibat dari diagnosa medis berupa penyakit kronik yaitu hipertensi dan

diabetes mellitus. Orang tua cenderung menderita kedua insomnia primer dan sekunder (Szentkiralyi, 2009). Insomnia berkontribusi dalam penurunan kualitas hidup lansia, mengurangi sistem kekebalan tubuh, gangguan kognitif, status fungsional, peningkatan risiko jatuh dan peningkatan angka kematian yang lebih tinggi. Jika masalah tidur tidak terpenuhi secara adekuat akan berdampak pada lansia berupa kelelahan, perubahan mood, mudah marah, mengantuk di siang hari, cemas akan tidur, kurangnya konsentrasi, perburukan memori, kualitas kinerja atau aktivitas yang buruk, kurangnya motivasi dan energi, dan peningkatan tekanan darah (American Academy of Sleep Medicine, 2008). Faktor usia menyebabkan lansia menghadapi banyak keterbatasan sehingga memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosialnya (Samsudrajat, 2012). Kualitas hidup yang baik akan membawa lansia tetap mampu hidup produktif dalam keterbatasannya. Sebaliknya, penurunan kualitas hidup justru membuat lansia menjadi manusia yang tidak produktif, bahkan tergantung pada bantuan pihak lain. Penurunan kualitas hidup antara lain disebabkan oleh gangguan tidur sebagai akibat proses penuaan. Maka penanganan gangguan tidur sesungguhnya merupakan upaya peningkatan kualitas hidup lansia. Hal ini penting dilakukan mengingat populasi penduduk lansia terus bertambah. Jumlah penduduk lansia tahun 2014 tercatat 19,2 juta jiwa, meningkat pesat dibanding data tahun 1971 sebesar 5,3 juta jiwa (Kemenkes RI, 2015). Bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi ledakan penduduk lansia menjadi 28,8 juta jiwa atau sebesar 11,34% (Fatimah, 2012). Fase lansia membawa perubahan organobiologik karena makin menuanya organ-organ tubuh. Salah satu dampak proses menua yang lazim terjadi adalah perubahan pola tidur. Seorang lansia akan lebih sering terjaga pada malam hari sehingga total waktu tidur malamnya berkurang (Marchira, 2007). Meskipun secara fisiologis kebutuhan tidur lansia berkurang tetapi hendaknya ketidakcukupan kuantitas dapat diimbangi dengan kualitas tidur. Tidur yang berkualitas meskipun kuantitasnya sedikit tetap lebih baik dibanding waktu tidur yang panjang tetapi tidak berkualitas. Menurut Madjid (2008), tidur yang berkualitas adalah keadaan tidur yang dalam, tidak mudah terbangun, dapat mencapai mimpi, dan ketika bangun tubuh menjadi lebih segar, merasakan kepuasan tidur dan bebas dari ketegangan. Insomnia merupakan bentuk gangguan tidur yang termasuk dalam kelompok pertama dan paling banyak dikeluhkan oleh lansia. Faktor yang memengaruhi gangguan tidur juga variatif. Wolkove, dkk. (2007) dan Crowley (2011) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi gangguan tidur yaitu respon terhadap penyakit, stres emosi, depresi, pengaruh lingkungan dan penggunaan obat-obatan. Penelitian Khasanah dan Hidayati (2012) mengidentifikasi tiga faktor utama penyebab gangguan tidur, yaitu keadaan lingkungan yang berisik, merasakan nyeri, dan terbangun karena mimpi. Hasil berbeda didapatkan dalam penelitian Oliveira (2010) yang

menyebutkan bahwa faktor pencahayaan dan inkontinensia urin sebagai penyebab gangguan tidur pada lansia. Berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan oleh gangguan tidur; antara lain menurunnya daya tahan tubuh, menurunnya prestasi kerja, kelelahan, depresi, mudah tersinggung, dan menurunnya daya konsentrasi yang dapat memengaruhi keselamatan diri sendiri dan juga orang lain. Menurut Malik (2010), ketidakmampuan lansia memenuhi tidur yang berkualitas dan menurunnya fase tidur REM dapat menimbulkan keluhan pusing, kehilangan gairah, rasa malas, cenderung mudah marah/tersinggung, kemampuan pengambilan keputusan secara bijak menurun, hingga menyebabkan depresi dan frustrasi. Berdasarkan penelitian Syareef (2008) sebagaimana dikutip Jesica (2009), ditemukan 21,7% lansia yang mengalami gangguan tidur berkepanjangan memiliki keinginan untuk bunuh diri. Menurut Yang et al (2012), latihan meditasi, yoga dan self hypnosis dinilai cukup efektif untuk mengatasi gangguan tidur; tetapi hal ini sulit diterapkan pada lansia. Selain itu, Joshi (2008) meyakini bahwa efek rasa nyaman yang dihasilkan dari latihan relaksasi progresif juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan istirahat tidur meskipun belum banyak yang mencoba. Relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation), yaitu suatu teknik relaksasi yang menggunakan serangkaian gerakan tubuh yang bertujuan untuk melemaskan dan memberi efek nyaman pada seluruh tubuh (Corey, 2005). Rasa nyaman inilah yang dibutuhkan lansia guna meningkatkan kualitas tidurnya. Relaksasi progresif adalah latihan relaksasi yang didahului dengan menegangkan tubuh secara sistematis dan kemudian merelaksasikan semua otot tubuh (McCoy, 2010). Dilakukannya intervensi relaksasi otot progresif bertujuan untuk meningkatkan rasa nyaman dan memberikan aktivitas pada klien di siang hari. Menurut Australasian Sleep Association (2012), tujuan dari relaksasi otot progresif memberikan rasa rileks dan memberikan rasa kenyamanan serta mengurangi rasa nyeri yang ada pada klien. Relaksasi otot progesif dilakukan bersama klien selama empat minggu. Sejalan dengan Galimi (2010) bahwa keefektifan dari relaksasi otot progresif dilakukan 2 sampai 4 minggu. Beberapa kali setelah melakukan relaksasi otot progresif, klien mengungkapkan rasa nyaman setelah melakukan relaksasi otot progresif. Selain itu klien merasakan perubahan pada tidurnya yaitu semakin nyenyak dan semakin lama untuk terbangun. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan Yang, Tsai, Kuo, & Lee (2015), didapatkan hasil relaksasi otot progresif mampu meningkatnya kualitas tidur responden. Selain itu menurunnya tekanan sistolik klien membuat rasa nyeri berkurang dan meningkatkan hormon endorfin pada tubuh klien. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap Perubahan Tingkat Insomnia pada Lansia

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat di identifikasi maslah sebagai berikut : a. Insomnia merupakan masalah yang sering dijumpai pada usia lanjut. b. Latihan relaksasi otot progresif terbukti bermanfaat untuk meningkatkan kualitas tidur lansia. Manfaat tersebut tergambar dengan meningkatnya respon subjektif kepuasan tidur, latensi tidur memendek, durasi tidur bertambah, efisiensi tidur meningkat, keluhan gangguan tidur berkurang, dan berkurangnya gangguan aktifitas siang hari sehubungan dengan masalah tidur

Rumusan Masalah Berdasarkan studi kepustakaan peneliti tertarik melakukan penelitian tentanng apakah ada Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif terhadap Perubahan Tingkat Insomnia pada Lansia

Related Documents

Fenomena Tidur Terbaru.docx
November 2019 30
Tidur
November 2019 61
Rahasia-tidur
June 2020 25
Dbq Fenomena
December 2019 26
Fenomena Facebook
June 2020 22

More Documents from "abu abdirrahman"

Fenomena Tidur Terbaru.docx
November 2019 30