Fenomena Bencana Alam Tanah Longsor di Indonesia Selain bencana alam masif berupa gempabumi, tsunami, hingga gunung meletus yang mengancam nusantara, ancaman lain yang berwujud pergerakan tanah pun tak bisa diabaikan. Pergerakan tanah atau yang sering disebut bencana alam tanah longsor di Indonesia amat sering terjadi tiap tahunnya. Kondisi geologis tanah di Indonesia yang rata-rata terdiri dari tanah lempung yang lunak memberikan ancaman longsoran tanah di sejumlah wilayah Nusantara. Jumlah kerugian dan nyawa yang harus melayang sebagai korban bencana alam tanah longsor pun tak dapat dipandang sebelah mata. Berdasar catatan kejadian bencana alam, hampir seluruh pulau besar di nusantara memiliki kabupaten dan atau kota yang berpotensi mengalami ancaman tanah longsor. Ciri utamanya adalah wilayah yang memiliki relief dan rupa tanah yang kasar, lembek, dengan lereng terjal. Kondisi tanah seperti itu yang banyak terhampar khususnya di Pulau Jawa diperparah oleh curah hujan yang tak menentu, terkadang kering namun sering pula hujan deras tanpa henti, ditambah pula oleh ancaman bencana alam gempa bumi yang dapat menjadi pemicu longsoran tanah. Secara umum, ancaman bencana alam pergerakan tanah membayang di daerah dataran tinggi dengan kontur perbukitan. Contoh kejadian terakhir, tanah longsor yang menimbun ratusan rumah warga di Pangalengan dan Banjarnegara terjadi di wilayah perbukitan yang tanahnya labil akibat dilanda hujan deras. Risiko bencana alam tanah longsor memang dipengaruhi oleh faktor kepadatan dan kerentanan penduduk yang berada di lokasi rawan pergerakan tanah. Kondisi bangunan dan infrastruktur di sekitar pergerakan tanah pun menjadi pemicu sejauh mana risiko kerugiannya. Akibat yang paling nyata dari bencana alam tanah longsor adalah tertimbunnya desa atau kelompok masyarakat yang hidup persis di atas atau di bawah bukityang labil tanahnya. Jika hujan deras sudah melanda tanpa henti, dan tanah di lereng perbukitan merupakan tanah lempung sepertinya jamaknya jenis tanah di Pulau Jawa, maka kewaspadaan akan pergerakan tanah patut diwaspadai. Kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam tanah longsor memang tak sebanding jika dibandingkan dengan catatan kerugian bencana alam lain di Indonesia. Namun, kewasapadaan dan proses mengurangi risiko tetap harus diperhatikan. Hutan dan pepohonan lebat sebagai pencegah utama longsoran tanah tetap harus dijaga kelestariannya. Karena pada kenyataannya, bencana alam tanah longsor, banjir, dan kekeringan terjadi akibat ulah tangan manusia itu sendiri yang tak bisa merawat dan menjaga hutan sebagai alat utama resapan air dan pengikat tanah di lereng-lereng berbukit. Ratusan nyawa yang tertimbun dalam bencana alam tanah longsor di Banjarnegara dan Pangalengan beberapa bulan silam setidaknya mampu menjadi pelajaran bagi masyarakat lain yang tinggal di jenis lokasi serupa khususnya di Pulau Jawa. Hanya butuh waktu tak lebih
dari sepuluh menit untuk menenggelamkan satu dusun dengan 300 lebih penduduknya di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pun serupa dengan yang terjadi di Pangalengan, bencana alam tanah longsor Pangalengan hanya perlu waktu 10 menit untuk menerjang bentangan desa seluas 1 Km persegi yang berada persis di bawahnya. (IJL)