DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………..
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….
3
2.1 Definisi…………………………………………………………………………………... 4 2.2 Epidemiologi…………………………………………………………………………….. 4 2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi……………………………………………………….... 5 2.4 Patofisiologi……………………………………………………………………………… 7 2.5 Manifestasi klinis………………………………………………………………………... 8 2.6 Diagnosis………………………………………………………………………………... 16 2.7 Penatalaksanaan…………………………………………………………………………
18
2.8 Prognosis………………………………………………………………………………… 20 BAB III LAPORAN KASUS ………………………………………………………………
22
BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………………………..
27
1
BAB I PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus. Saat ini banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi PGK meningkat di berbagai wilayah di seluruh dunia. Prevalensi PGK derajat II sampai V terus meningkat sejak tahun 1988 sejalan dengan peningkatan prevalensi penyakit diabetes dan hipertensi yang juga merupakan penyebab PGK. 850 JUTA ORANG DI SELURUH DUNIA kini diperkirakan menderita penyakit ginjal dari berbagai sebab. CKD menyebabkan setidaknya 2,4 juta kematian per tahun dan sekarang menjadi penyebab kematian keenam tercepat. Cedera ginjal akut (AKI), pendorong penting CKD, mempengaruhi lebih dari 13 juta orang di seluruh dunia dan 85% dari kasus ini ditemukan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sekitar 1,7 juta orang diperkirakan meninggal setiap tahun karena AKI. Meskipun beban penyakit ginjal semakin meningkat di seluruh dunia, kesenjangan kesehatan ginjal dan ketidakadilan masih tersebar luas. CKD dan AKI sering muncul dari kondisi sosial di mana orang dilahirkan, tumbuh, hidup, bekerja dan usia termasuk kemiskinan, diskriminasi gender, kurangnya pendidikan, bahaya pekerjaan dan polusi antara lain. Diagnosis dini, pencegahan dan keterlambatan perkembangan adalah pilihan berkelanjutan untuk mengurangi biaya dan konsekuensi penyakit ginjal bagi individu dan negara. Namun, hambatan untuk perawatan ginjal yang tersedia, mudah diakses, memadai dan berkualitas masih ada. Pada tahun 2019, dalam 14 tahun keberadaannya, Hari Ginjal Sedunia akan ditandai pada 14 Maret. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan beban penyakit ginjal yang semakin tinggi di seluruh dunia dan perlunya strategi untuk pencegahan dan manajemen penyakit ginjal.
2
Menurut KDIGO, PGK dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan
keseimbangan
asam-basa
atau
elektrolit,
pruritus),
kegagalan
pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada penderita yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR <30mL/menit/1,73m2) juga harus dimulai terapi hemodialisis. Dengan metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik.
3
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal 2.2 Epidemiologi Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS, angka yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun didapatkan angka yang berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika, dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.1,2,3,4
Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin perempuan, kasus ini juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang mengatakan puncak kedua SLE pada usia sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun. 2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
5
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imunyang abnormal.1,2.3 2.3.1 Faktor Genetik SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D dan CD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen menjadi dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni.
6
Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan terakumulasi pada titik kritis.2,3 Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum terhadap antigen nukleus (antinuclear antibodies, atau ANA). Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi, antigen target, dan kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut.1,3 Pada kasus ini ditemukan tes antinuclear antibodies, atau ANA yang positif. 2.3.2 Faktor Lingkungan Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE. Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi obat daripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai pengaruh geografis pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan ini.3 Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi singkat autoimun pada manusia,seperti juga telah terbukti pada kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien mengidap SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran kemih seringkali diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif.2,3 Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang jelas karena menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya menjadi berat dengan paparan pada sinar matahari. Pada pasien ini juga terjadi infeksi yaitu pneumonia. Sesuai dengan teori, antara infeksi yang sering terjadi adalah infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu pneumonia. 2.3.3 Pengaruh Hormonal Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang penyakitnya stabil.3
2.4 Patofisiologi Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan
cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.2,3,4 2.5 Manifestasi Klinis Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan, perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator .1,2,3,4,5 Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan sampai sedang dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit
secara
bertahap
atau
tiba-tiba.
Pada
sebagian
kecil
pasien
dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang, pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping pengobatan, khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan gejala dan tanda SLE. 1,2,3,4,5 2.5.1 Manifestasi Konstitusional Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit,
efek samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4 Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan pada pasien ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut ditemukan pada kasus ini. 2.5.2 Manifestasi Mukokutan Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exagerrated sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar matahari atausumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan etnis, walaupun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.
1,2,3
Alopesia dapat timbul akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping pengobatan.4,5
Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut. 2.5.3 Manifestasi Muskuloskeletal Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan gejala yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur tendon dapat
merupakan
komplikasi
terapi
glukokortikoid.
Osteonekrosis
(nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik. 1,2,3 Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifestasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming arthritis. 2.5.4 Manifestasi Kardiovaskular Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau dalam kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia, atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik, menopause prematur, serta faktor diet dan gaya hidup dapat menyebabkan arteriosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan dan kaki sering tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri. 2.5.5 Manifestasi Paru Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan perubahan fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4 2.5.6 Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. 5 Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 Leu/µL. 2.5.7 Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea; atau bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatif lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus ini, cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis banding dari penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1 ,5 Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan kesadaran.
2.5.8 Manifestasi Gastrointestinal Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan hati dengan peningkatan transaminase ringan.4 2.5.9 Manifestasi Hematologi Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien
SLE.
Leukositosis
dapat
disebabkan
oleh
glukokortikoid.
Trombositopenia ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5 Pada kasus ini deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
2.5.10 Manifestasi Mata Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik atau oklusi arteri atau vena retina. 3,4,5 2.5.11 Late Lupus Syndrome Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan organ tahap akhir akibat SLE dan efek samping pengobatan, khususnya akibat penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Sindrom ini dikenali dengan penyakit arteriosklerotik luas, atrofi kulit, osteoporosis,osteonekrosis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, insufisiensi adrenal, gangguan kognitif, depresi, dan deconditioning. Keadaan ini dapat membatasi long-term survival dan kualitas hidup pasien. 1 2.5.12 Tampilan Khusus Lupus Eritematosus Sistemik 2.5.12.1 Lupus Eritematosus Kutis Subakut Gambaran klinis lupus eritematosus kutis subakut adalah lesi papuloskuamosa, psoriasiform, ruam anular. Lesi ini umumnya ditemukan pada bagian tubuh yang terpajan matahari. Artritis dan serositis dapat ditemukan dan umumnya terjadi secara episodik. Anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB) sering ditemukan pada kelompok pasien dengan lupus eritematosus kutis subakut. 4 2.5.12.2 Lupus Neonatus Segera setelah lahir, bayi dari ibu dengan anti-Ro (SSA) dapat mengalami sindrom artritis, erupsi kulit fotosensitif, alopesia, serositis, sitopenia, dan pada kasus yang jarang dapat ditemukan gangguan konduksi jantung, termasuk blokade jantung. Sejalan dengan waktu, antibodi dari ibu akan hilang dan digantikan oleh antibody bayi, penyakit akan menghilang, namun gangguan konduksi mungkin akan menetap.3 2.5.12.3 Lupus Eritematosus Diinduksi Obat Hidralazin dan prokainamid merupakan senyawa tersering yang menyebabkan lupuseritematosus yang diinduksi obat. Senyawa ini tidak menyebabkan peningkatan aktivitas penyakit bila diminum oleh pasien dengan SLE.3
2.5.12.4 Sindrom Antibodi Antifosfolipid Sindrom ini ditandai dengan tromboemboli vena dan/atau arteri rekuren dan komplikasi obstetrik, umumnya retardasi pertumbuhan intrauterus dan kematian janin. Biasanya dapat ditemukan gejala lain seperti trombositopenia sedang, livedoreticularis,
migren,
dan
endokarditis
Libman-Sacks.
Keberadaan
antibodiantifosfolipid dapat dibuktikan dengan tes ELISA untuk antibodi antikardiolipin(ACL). 1,2,3,4,5 2.5.12.5 Overlap Syndromes Sindrom tumpang tindih atau overlap syndromes tersering adalah penyakit jaringan ikat campuran (Mixed connective tissue disease, atau MCTD), SLE dengan sindrom Sjögren, SLE dengan skleroderma, SLE dengan tiroiditis, dan SLE dengan anemia hemolitik mikroangiopati.1,3,4 2.5.13 Temuan Laboratorium Uji laboratorium bertujuan untuk (1) menegakkan atau menyingkirkan diagnosis; (2)mengikuti perkembangan penyakit; dan (3) mengidentifikasi efek samping terapi. Pemeriksaan darah rutin akan menunjukkan bukti inflamasi sistemik, seperti anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik) dan trombositosis. Pada SLE lebih sering ditemukan leukopenia dan limfopenia. Pemeriksaan fungsi ginjal biasanya normal pada awal penyakit, walaupun nefritis lupus telah terjadi, namun urinalisis dapat menunjukkan proteinuria dan hematuria mikroskopik. Sedimen eritrosit merupakan tanda glomerulonefritis berat. Pemeriksaan fungsi hati biasanya normal. Petanda inflamasi yang sering dipakai adalah laju endap darah(LED) dan protein reaktif C (C-reactive protein, atau CRP). LED dapat meningkat pada penyakit berat. Peningkatan CRP biasanya lebih ringan pada SLE dibandingpada penyakit infeksi. 1,2,3,4,5 Untuk kepentingan diagnostik, autoantibodi terpenting adalah ANA karena tes ini positif pada > 95% pasien, biasanya pada awitan gejala. Kadar antibodi IgG terhadap DNA untai ganda yang tinggi merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk SLE. Antibodi terhadap Sm juga spesifik untuk SLE dan mengarahkan diagnosis; antibodi anti-Sm biasanya tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit atau manifestasi klinis. aPL tidak spesifik untuk SLE, namun keberadaannya memenuhi salah satu kriteria dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko penggumpalan vena atau arteri, trombositopenia, dan kematian janin.
Uji autoantibodi tambahan dengan nilai prediktif (tidak digunakan untuk diagnosis) dapat mendeteksi anti-Ro. Wanita usia produktif dengan SLE harus menjalani pemeriksaan aPL dan anti-Ro. Kadar komplemen rendah, khususnya C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik total), penting untuk diagnosis dan pemantauan aktivitas penyakit. Kadar C4 yang rendah
dapat
menggambarkan
menggambarkan defisiensi
aktivitas
produksi
penyakit,
parsial,
namun
sedangkan
juga C3
dapat rendah
menggambarkan aktivasi komplemen. Cairan serebrospinal dapat menunjukkan pleiositosis dan peningkatan kadar protein, dan antobodi antiribosom P dan antineutron dapat ditemukan walaupun kadar dalam serum negatif.3,4 Biopsi tidak bermakna untuk evaluasi kulit dan ginjal. Biopsi kulit menunjukkan gambaran deposisi kompleks imun dan produk komplemen pada perhubungan dermis-epidermis dengan pola granular. Biopsi ginjal menunjukkan derajat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk panduan pengobatan. Pemeriksaan mikroskop imunofluoresens dan elektron penting untuk interpretasi gambaran histopatologis ginjal yang benar. 1,2,3,4,5 Pada tes darah rutin pasien ini ditemukan kelainan hematologi, seperti anemia normositik normokrom (anemia pada penyakit kronik). Petanda inflamasi yang sering dipakai yaitu laju endap darah(LED) yang biasanya meningkat pada penyakit berat juga ditemukan meningkat pada pasien ini. Autoantibodi yang terpenting untuk diagnosis SLE yaitu antinuclear antibody juga adalah positif pada pasien ini. 2.6 Diagnosis Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda nonspesifik atau spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan memar, splenomegali, neuritis perifer, mioendokarditis dan endokarditis, pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs positif. Keberadaan anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria, hematuria, piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin, antibodi antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga membuat seseorang dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap penyakit ginjal; pasien yang berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami ruam,
artritis,
dan
penyakit
ginjal
namun
lebih
sering
mengalami
keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering mengalami serositis dan lebih jarang mengalami artritis.
1,2,3,4,5
Kriteria yang umum digunakan
untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini sekitar 96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun, nilai prediktif kriteria ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE (hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya memenuhi 3 kriteria), atau definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria). 1,2,3,4,5 Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17 th edition) Malar rash Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences Discoid rash Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular plugging; atrophic scarringmay occur Photosensitivity Exposure to ultraviolet light causes rash Oral ulcers Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician Arthritis Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or effusion Serositis Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion Renal disorder Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts Neurologic disorder Seizures or psychosis without other causes Hematologic disorder Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/µL) or lymphopenia (<1500/µL) or thrombocytopenia(<100,000/µL) in the absence of offending drugs Immunologic disorder
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid Antinuclear antibodies An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any point in time in the absence of drugsknown to induce ANAs If ≥4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is ~95%: sensitivity is ~75%.
2.7 Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. 6 Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian. 2.7.1 Terapi Farmakologi. Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadangkadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar. 1,3,4 Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas. 1,2,6 Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A)2,3,5. Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi ginjal. 6 Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang tradisional.6
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 3,4,5 2.7.2 Terapi Non Farmakologi. Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian.1 2.8 Prognosis Angka 5-year survival dan 10-year survival SLE telah membaik selama beberapa dekade terakhir. Penyakit ginjal telah dapat diterapi dengan lebih efektif, namun SLE yang melibatkan sistem saraf pusat, paru, jantung, dan saluran cerna masih merupakan masalah besar hingga saat ini. Prognosis untuk masing-masing individu bergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala klinis, sistem organ yang terlibat, dan kondisi komorbid. Konsekuensi jangka panjang SLE, termasuk pada late lupus syndrome, merupakan salah satu perhatian. Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2 tahun, 82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63 sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10 tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 µmol/l (>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g),
anemia
[hemoglobin
<124
g/l
(12,4
g/dl)],
hipoalbuminemia,
hipokomplemenemia, dan aPL pada saat diagnosis. Pasien yang menjalani terapi transplantasi ginjal memiliki angka kejadian penolakan graft yang relatif tinggi (sekitar dua kali pasien dengan penyebab lain gagal ginjal tahap akhir), namun secara umum angka bertahan hidup pasien masih dapat diperbandingkan (85% setelah 2 tahun). Nefritis lupus terjadi pada 10% ginjal yang ditransplantasi. Hendaya pada pasien dengan SLE sering ditemukan terutama disebabkan oleh penyakit ginjal kronik, kelelahan, artritis, dan nyeri. Sebanyak 25% pasien dapat mengalami remisi, terkadang untuk beberapa tahun, namun jarang sekali bersifat permanen. Penyebab mortalitas utama pada dekade pertama penyakit adalah aktivitas penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi; selain itu, kejadian tromboemboli semakin sering menjadi penyebab mortalitas.4,6 Prognosis pada kasus ini bisa digolongkan dalam kategori dubius ad malam karena penglibatan system saraf pusat.