Farter_kelompok 5.docx

  • Uploaded by: Rindy gisratami
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Farter_kelompok 5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,464
  • Pages: 60
Makalah Farmakoterapi Terapan

Penyakit Depresi, Skizofrenia, Gangguan Ansietas Umum (Gad) Dan Psikosis

Oleh Dwi Asti Fiandari

O1B1 18 005

Irvan Anwar

O1B1 18 011

Mu’ammar Mudjahid

O1B1 18 017

Putri Sabryna Ayu Sainuddin

O1B1 18 023

Rifka Hardianti

O1B1 18 029

Sarmita

O1B1 18 034

Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo Kendari 2019

DAFTAR ISI Halaman Sampul .................................................................................................. I Kata Pengantar...................................................................................................... II Daftar Isi ............................................................................................................... III BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2 C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 3 D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN A.

Penyakit Depresi ............................................................................... 4

B.

Penyakit Ansietas .............................................................................. 18

C.

Penyakit Skizofrenia ......................................................................... 41

D. Penyakit Psikotik .............................................................................. 43 E.

Kasus ................................................................................................. 45

BAB III PENUTUP A.

Kesimpulan ....................................................................................... 55

B. Saran.................................................................................................. 55

Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah makalah ini dapat terselesaikan. Melalui makalah ini, kita dapat mengetahui tentang macam-macam terapi penatalaksanaan obat yang bekerja di sistem saraf pusat dan fungsinya, beserta, dosis dan efek sampingnya. Pembuatan makalah ini menggunakan metode kepustakaan, serta data-data penulis peroleh

dari

beberapa

sumber

dan

pemikiran

yang penulis

gabungkan sehingga menjadi sebuah makalah yang semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari akan kelemahan dan kekurangan dari makalah ini. Oleh sebab itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar makalah ini akan semakin baik sajiannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Kendari, 15 Februari 2019

Penulis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem saraf pusat merupakan pusat pengaturan informasi, dimana seluruh aktivitas tubuh dikendalikan oleh sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang. Otak dilingdungi oleh tengkorak dan sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Otak dan sumsum tulang belakang dibungkus oleh selaput meningia yang melindungi sistem saraf halus, membawa pembuluh darah, dan dengan mensekresi sejenis cairan yang disebut serebrospinal, selaput meningia dapat memperkecil benturan dan guncangan. Meningia terdiri ata tiga lapisan, yaitu piamater, arachnoid, dan duramater. Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medula dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak-depan oleh senyawa stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah. Contoh senyawa stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar.

Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut analeptika. Obat-obat yang bekerja terhadap susunan saraf pusat berdasarkan efek farmakodinamiknya dibagi atas dua golongan besar yaitu : merangsang atau menstimulasi yang secara langsung maupun tidak langsung merangsang aktivitas otak, sumsum tulang belakang beserta syarafnya, menghambat atau mendepresi, yang secara langsung maupun tidak lansung memblokir proses proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang belakang dan saraf- sarafnya. Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang sangat luas (merangsang atau menghambat secara spesifik atau secara umum). Kelompok obat memperlihatkan selektifitas yang jelas misalnya analgesik antipiretik khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu pusat nyeri tanpa pengaruh jelas.

B. Rumusan masalah 1. Bagaimana penatalaksanaan terapi penyakit depresi ? 2. Bagaimana penatalaksanaan terapi penyakit ansietas? 3. Bagaimana penatalaksanaan terapi penyakit skizofrenia? 4. Bagaimana penatalaksanaan terapi penyakit psikosis?

C. Tujuan 1. Mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit depresi 2. Mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit ansietas

3. Mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit skizofrenia 4. Mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit psikosis D. Manfaat 1. Mampu menerapkan dan mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit depresi 2. Mampu menerapkan dan mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit skizofrenia 3. Mampu menerapkan dan mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit ansietas 4. Mampu menerapkan dan mengetahui penatalaksanaan terapi penyakit psikosis

DESKRIPSI PENYAKIT DEPRESI 1. Definisi Gangguan depresi mayor dan gangguan distimik merupakan dua tipe kelainan depresi yang tercantum pada diagnosic enstatistica manual of mental disorder, 4 th ed., text revision (DSM-IVTR). Gambaran penting pada gangguan depresi mayor adalah keadaan klinis yang ditandai dengan satu atau lebih episode depresi dengan atau tanpa riwayat maniak, gabungan depresi-mania atau hipomania. Gangguan distimik adalah gangguan suasana hati (mood) kronis yang melibatkan depresi suasana hati, dan sekurangnya dua gejala yang lain, dan gangguan ini pada umumnya lebih ringan dibandingkan gangguan depresi mayor. Bab ini lebih difokuskan pada diagnosis dan terapi gangguan depresi mayor. 2. Penyebab depresi a. Faktor genetik Seseorang yang dalam keluarga nya diketahui menderita depresi berat memiliki resiko

lebih

besar

menderita

gangguan

depresi

dari

pada

masyarakat pada umumnya. Gen berpengaruh dalam terjadinya depresi, tetapi ada banyak

gen

di

dalam

tubuh kita dan tidak ada seorang pun peneliti secara pasti bagaimana gen bekerja dan tidak ada bukti langsung bahwa ada penyakit depresi yang disebabkan oleh faktor keturunan. 3. Patofisiologi a. Hipotesis amin biogenik. Depresi

dapat

isebabkan

oleh

penurunan

jumlah

norepinefrin (NE), serotonin (5-HT) dan dopamin (DA) dalam otak

neurotransmitter

b. Perubahan post-sinaptik pada sensitifitas reseptor Perubahan sensitifitas reseptor NE dan 5-HT2 dapat berpengaruh pada awal mula munculnya (onset) depresi.

c. Hipotesis deregulasi Teori ini lebih ditekankan pada kegagalan regulasi homeostatik pada sistem neurotransmitter dibandingkan peningkatan atau penurunan absolut akti-vitas neurotransmitter itu sendiri d. Diperlukan sistem serotonergik dan noradrenergik yang fungsional agar efek antidepresan dapat optimal e. Peranan dopamin (DA) Beberapa kajian bahwa peningkatan neurotransmisi (DA) dalam nucleus accumbens kemungkinan terkait dengan mekanisme aksi anti-depresan.

4. Manifestasi klinis a. Gejala emosional, anatar lain meliputi : berkurangnya kemampuan untuk merasakan kesenangan, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasa dilakukan, kesedihan, kelihatan pesimis, sering menangis, putus harapan, ansietas (dijumpai pada hampir 90% depresi rawat jalan), perasaan bersalah, dan tanda-tanda psikosis (misalnya halusinasi, mendengar sesuatu, delusi). b. Gejala fisik, meliputi: keletihan, kesakitan (terutama sakit kepala), gangguan tidur, ganggaun pada nafsu makan (menurun atau meningkat), kehilangan minat

seksual, dan keluhan mengenai saluran cerna dan kardiovaskular (terutama palpitasi). c. Gejala intelektual atau kognitif, meliputi : penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi atau keterlambatan proses berpikir, ingatan yang lemah terhadap kejadian yang baru terjadi, kebingungan dan ketidak yakinan. d. Gangguan psikomotor meliputi : retardasi psikomotor (terlambatan gerakan fisik, proses berpikir, dan berbicara) atau agitasi psikomotor.

5. Diagnosis a. Depresi mayor ditandai oleh satu atau lebih episode depresi mayor, seperti yang telah didefinisikan pada DSM-IV-TR b. Ketika

pasien

menunjukkan

gejala

depresi,

perlu

diteliti

mengenai

kemungkinan penyebab medis, psikiatrik dan/atau dipilu oleh obat (druginduced) c. Pada pasien depresi, perlu dilakukan kajian pengobatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mental, hitung darah lengkap termasuk diferensial, tes fungsi tiroid, dan pemeriksaan elektrolit.

6. Proses Terjadinya Masalah Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi,faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagainya. Depresi biasanya dicetuskan oleh trauma fisik seperti

penyakit

infeksi, pembedahan,

kecelakaan, persalinan dan sebagainya, serta faktor psikik seperti kehilangan kasih sayang atau harga diri dan akibat kerja keras. Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Penyebab depresi terbagi menjadi beberapa aspek menurut Beck yaitu : 1. Aspek Yang Dimanifestasikan Secara Emosional a) Perasaan kesal atau patah hati (dejected mood)

perasaan

ini

menggambarkan keadaan sedih, bosan dan kesepian yang dialami individu.Keadaan ini bervariasi dari kesedihan sesaat hingga kesedihan yang terus -menerus b) Perasaan negatif terhadap diri sendiri perasaan ini mungkin berhubungan dengan perasaan sedih yang dijelaskan di atas, hanya bedanya perasaan ini khusus ditujukan kepada diri sendiri. c) Hilangnya rasa puas maksudnya ialah kehilangan kepuasan atas apa yangdilakukan. Perasaan ini dapat terjadi pada setiap kegiatan yang dilakukantermasuk hubungan psikososial, seperti aktivitas yang menuntut adanyasuatu tanggung jawab d) Hilangnya keterlibatan emosional dalam

melakukan

pekerjaan

atau

hubungan dengan orang lain, keadaan ini biasanya disertai dengan hilangnya kepuasan di atas. Hal ini dimanifestasikan dalam aktivitas tertentu, kurangnya perhatian atau rasa keterlibatan emosi terhadap orang lain.

e) Kecenderungan untuk menangis diluar kemauan, gejala ini banyak dialami oleh penderita depresi, khususnya wanita. Bahkan mereka yang tidak pernah menangis selama bertahun-tahun dapat bercucuran air mata atau merasa ingin menangis tetapi tidak dapat menangis f) Hilangnya respon terhadap humor dalam hal ini penderita tidak kehilangan kemampuan untuk mempersepsi lelucon, namun kesulitannya terletak pada kemampuan penderita untuk merespon humor tersebut dengan cara yang wajar. Penderita tidak terhibur, tertawa atau puas apabila mendengar lelucon. 2. Aspek depresi yang dimanifestasikan secara kognitif a) Rendahnya evaluasi diri hal ini tampak dari bagaimana penderita memandang dirinya. Biasanya mereka menganggap rendah ciri - ciri yang sebenarnya penting, seperti kemampuan prestasi, intelegensi, kesehatan, kekuatan, daya tarik, popularitas, dan sumber keuangannya b) Citra tubuh yang terdistorsi hal ini lebih sering terjadi pada wanita. Merekamerasa dirinya jelek dan tidak menarik. c) Harapan yang negatif penderita mengharapkan hal - hal yang terburuk danmenolak uasaha terapi yang dilakukan. d) Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri hal ini muncul dalam bentuk anggapan penderita bahwa dirinya sebagai penyebab segala kesalahan dan cenderung mengkritik dirinya untuk segala kekurangannya. e) Keragu-raguan dalam mengambil keputusan ini merupakan karakteristik depresi yang biasanya menjengkelkan orang lain ataupun diri penderita. Penderita sulit untuk mengambil keputusan, memilih alternatif yang ada, dan mengubah keputusan.

3. Aspek yang dimanifestasikan secara motivasional Meliputi pengalaman yang disadari penderita, yaitu tentang usaha,dorongan, dan

keinginan.

Ciri

utamanya

adalah

sifat

regresif

motivasi

penderita, penderita tampaknya menarik diri dari aktifitas yang menuntut adanya sua tu tanggung jawab, inisiatif bertindak atau adanya energi yang kuat. 4. Aspek depresi yang muncul sebagai gangguan fisik Meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, kehilangan libido, dan kelelahan yang sangat. Individu mengalami depresi jika individu mengalami gejalagejala rasa, seperti sedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, kehilangan konsentrasi, dan kehilangan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, berat badan menurun, insomnia, kehilangan libido, dan selalu ingin menghindari orang lain. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek depresi adalah gejala depresi yang dapat dimanifestasikan secara emosional, kognitif, motivasional, fisik dan pencernaan, raut wajah sedih, retardasi, dan agitasi. Gejala yang dimanifestasikan secara emosional terdiri dari perasaan kesal

atau

patah

hati, perasaan negatif terhadap dirinya, hilangnya rasa puas, hilangnya keterlibatan emosional,kecenderungan untuk menangis diluar kemauan, dan hilangnya respon terhadap humor. Sedangkan gejala yang dimanifestasikan secara kognitif meliputi sikap menyimpang penderita, baik terhadap diri, pengalaman, dan masa depannya. Gejala yang dimanifestasikan secara motivasional meliputi pengalaman yang memecahkan masalah. Kalaupun tidak, dapat berbagi cerita perasaan jadi lebih enteng dan pikiran tidak stress. 7. Terapi Pengobatan

1. Tujuan terapi pengobatan Tujuan terapi episode depresi akut adalah untuk mengeliminasi atau mengurangi gejala depresi, meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan terhadap pengobatan, membantu pengembalian ketingkat fungsi sebelum sakit dan mencegah episode depresi lebih lanjut a. Terapi farmakologi Lazimnya obat-obat antidepresan dibagi dalam 4 kelompok besar, yakni : -

Antidepresan trisiklik obat-obat ini menghambat reabsorpsi kembali dari serotonin dan nonadrenalin dari sela sinaps diujung-ujung saraf. Pengecualian adalah desipramin yang menghambat re-uptake NA secara lebih selektif. Oleh karena itu obat ini bekerja mengaktifkan dengan timbulnya risiko bunuh diri selama minggu-minggu pertama terapi.

Antidepresan tetrasiklik Nama obat

Nama dagang ludiomil Remeron

Maprotiline Mianserin

Dosis awal 50-75 15

Rentang dosis lazim (mg/hari) 100-225 15-45

Antidepresan trisiklik Nama obat Amitriptilin Klomipramin Doksepin Imipramin Trimipramin Amin sekunder Desipramin Nortiptilin Protriptilin

Nama dagang Amitriptilin (generik) Anafrant Sagalon Tofrant Tidak ada

Dosis awal 50-75

Rentang dosis lazim (mg/hari) 100-300

25 50-75 50-75 50-75

100-250 100-300 100-300 100-300

Tidak ada Motiyal Tidak ada

50-75 25-50 10-20

100-300 100-300 15-60

-

Obat generasi kedua dengan struktur kimiawi lain, yang menimbulkan lebih sedikit efek samping, khususnya berkurangnya efek jantung dan kerja antikolonergis, maka lebih aman pada overdose dan bagi pasien lansia.

-

SSRI (Serotonin selektive re-uptake inhibitors)

Nama obat Sitalopram Essitalopram Fluoksetin

Fluvoksamin Paroksetin Sartralin

-

Nama dagang Cipram Cipralex Andep Ansl Antideprestin Courage Deprezac Eflzac Foransi Kalxetin Lodep Nopres Noxetine Axipres Prestin Prozac Zac Zactin Luvez Seroxat Antilpres Deptral Fatral Fridep Igledep Nudep Serlot Semade

Dosis awal 20 10-20

Rentang dosis lazim (mg/hari) 20-60 10 10-60

50 20 50

50-300 20-50 100-200

MAO-blockers obat ini menghambat enzim mono-amino-oxidase (MAO), yang menguraikan zat-zat monoamin setelah selesai aktivitasnya. MAO terdapat dalam dua bentuk: MAO-A dan MAO-B. Kedua obat di atas menghambat kedua bentuk secara irreversibel.

Nama obat

-

Fenelzin Tranilsipromin D- benzoksazepin Nama obat Amoksapin

Nama dagang Tidak ada Tidak ada

Dosis awal (mg/hari) 15 20

Rentang dosis lazim (mg/hari) 15-90 20-60

Nama dagang Asendin

Dosis awal (mg/hari) 50-150

Rentang dosis lazim (mg/hari) 100-400

Efek samping penggunaan obat 1. Antidepresan trisiklik dan heterosiklik lain -

Efek samping anti kolinergik (seperti : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, takikardia, dan gangguan memori) dan sedasi lebih sering terjadi pada pemberian antidepresan trisiklik amina tersier dibandingkan pada pemberian amina sekunder.

-

Hipotensi ortostatik dan sinkop yang diakibatkannya (merupakan efek samping yang serius dan umum terjadi). Dapat terjadi sebagai akibat efek antagonis pada x1.

-

Adrenergik.

-

Efek samping lain yang dapat terjadi meliputi keterlambatan konduksi jantung dan blok jantung, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan konduksi.

-

Efek samping lain yang dapat berakibat pada ketidakpatuhan, meliputi: peningkatan berat badan, keringat berlebihan dan disfungsi seksual.

-

Penghentian antidepresan trisiklik (terutama dengan dosis tinggi) secara mendadak dapat mengakibatkan kemunculan kembali (rebound) gejala kolinergik (seperti: pusing, mual, diare, insomnia, kegelisahan).

-

Amoksapin merupakan metabolit hasil demetilasi dari loksapin, dan pemberian nya dapat terkait dengan efek samping ekstrapiramidal sebagai akibat efek pengeblokan reseptor DA post sinaptik

-

Maprotilin (merupakan obat antidepresan tetrasiklik) dapat menyebablkan kejang dengan angka kejadian yang lebih tinggi dibandingkan antidepresan trisiklik pada umumnya dan dikontraindikasikan pada pasien riwayat kejang. Batas atas dosis yang disarankan adalah 225 mg/hari

-

Venlafaksin dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah diastolik, dimana efek ini terkait dengan dosis. Penurunan dosis atau penghentian pemberian venlafaksin perlu dilakukan jika terjadi hipertensi yang berkepanjangan

-

SSRI kejadian efek samping kardiovaskuler, sedasi, dan antikolinergik pada pemberian SSRI dilaporkan lebih sedikit dibandingkan antidepresan trisiklik. Sedangkan SSRI tidak terkait dengan penambahan berat badan. Efek samping dari SSRI meliputi mual, muntah, diare dan disfungsi seksual. Sakit kepala, insomnia dan keletihan juga sering dilaporkan

-

Amino keton kejadian kejang pada pemberian bupropion tegantung pada dosis dan dapat meningkat dengan adanya faktor pendukung (seperti: riwayat trauma kepala atau tumor pada sistem saraf pusat). Pada dosis batas atas (400 mg/hari) angka kejadian kejang adalah 0,4%

-

Penghambat ambilan serotonin/norepinefrin efek samping mirtazapin yang paling sering terjadi adalah mengantuk, peningkatan berat badan, mulut kering, dan konstipasi. Pada studi pre klinis, peningkatan tes fungsi

hati terjadi 1,6x lebih sering pada kelompok mirtazasapin dibandingkan kelompok plasebo -

Penghambat MAO efek samping penghambat MAO yang paling sering terjadi adalah hipotensi postural (lebih sering terjadi pada pemberian venelzin daripada tranilsipromin) dimana dapat diminimalkan dengan pemberian dosis terbagi dalam sehari. Efek samping antikolinergik juga seringkali terjadi, namun lebih ringan dibandingkan antidepresan trisklik. Venelzin menyebabkan efek sedasi ringan sampai sedang, sedangkan tranilsipromin seringkali memberikan efek stimulasi sehingga dosis akhir disarankan pada sore hari (tidak mendekati waktu tidur). Disfungsi seksual pada pria atau wanita seringkali dilaporkan. Venelzin juga dikaitkan dengan efek samping kerusakan sel hati dan peningkatan berat badan

b. Terapi non farmakologi 1. Terapi non farmakologi -

Evikasi psikoterapi dan obat antidepresan dapat dikatakan saling menambahkan. Psikoterapi saja tidak disarankan untuk terapi akut pada pasien dengan kelainan depresi mayor berat dan/atau psikosis. Untuk kelainan depresi mayor non kronis tanpa komplikasi, terapi kombinasi tidak akan memberikan manfaat khusus. Terapi kognitif, terapi prilaku dan psikoterapi interpersonal diduga memiliki evikasi yang setara.

-

Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsivetherapy- ECT) merupakan terapi yang aman dan efektif untuk semua sub-tipe gangguan depresi mayor. Terapi diberikan jika diharapkan respon yang cepat, terapi lain memberikan

resiko yang lebih besar dibandingkan manfaatnya, pemberian obat tidak mmberikan respons yang baik, atau preferensi pasien terhadap ECT. ECT dilaporkan memberikan respons terapeutik yang cepat (10-14 hari). Kontraindikasi ECT meliputi peningkatan tekanan intrakranial, lesiserebral, infark miokard yang baru terjadi, perdarahan intraserebral yang baru terjadi, perdarahan, ataupun kondisi vaskuler yang tidak stabil. Efek samping ECT meliputi kebingungan, gangguan memori, apnea yang berkepanjangan, -

Terapi cahaya (yaitu: pasien melihat ke dalam suatu kotak lampu) dapat digunakan untuk pasien dengan gangguan afektif musiman.

-

Terapi Interpersonal Bantuan psikoterapi jangka pendek yang berfokus kepada hubungan antara orang-orang dengan perkembangan simtom penyakit kejiwaan

-

Konseling kelompok dan dukungan sosial Konseling secara kelompok adalah pelaksanaan wawancara konselingyang dilakukan antara seorang konselor professional dengan beberapa pasiensekaligus dalam kelompok kecil

-

Berolahraga Keadaan

mood

yang

negative

seperti

depresi,

kecemasan,

dan

kebingungan disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang negative pula. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan pikiran dan perasaan positif yang dapat menghalangi munculnya adalah dengan berolahraga.

mood

negative

-

Diet (mengatur pola makan) Simtom depresi dapat diperparah oleh ketidakseimbangan nutrisi di dalamtubuh. Ketidakseimbangan nutrisi yang dapat menyebabkan depresi semakin parah yaitu konsumsi kafein secara berkala, konsumsi sukrosa (gula), kekurangan biotin, asam folat dan vitamin B, C, kalsium, tembaga, magnesium

Kelebihan magnesium, ketidakseimbangan asam amino,

alergi makanan -

Terapi Humor Sudah

lama

professional

medis

mengakui

bahwa

pasien

yang

mempertahankan sikap mental yang positif dan berbagai tawa, merespons lebih baik terhadap pengobatan. Respons psiologis dari tertawa termasuk meningkatkan pernapasan, sirkulasi, sekresi hormone dan enzim pencernaa ndan peningkatan tekanan darah. -

Berdoa Banyak orang mempunyai kecenderungan alami untuk berpaling padaagama dalam memperoleh kekuatan dan hiburan. Bagi yang percaya,keyakinan yang kuat dan menjadi anggota aliran agama tertentu serta tujuanyang sama dapat menanggulangi penderitaan dan depresi. Berdoa

merupakan

salah

satu

cara

untuk

mengatasi

depresi.

Mengambilwaktu untuk berdoa memberi kesempatan kepada kita menghentikan kegiatankita dan jalan arus hidup kita. -

Hidroterapi dan Hidrotermal

Hidroterapi adalah penggunaan air untuk pengobatan penyakit terapi. Hidrotermal adalah penggunaan efek temperature air misalnya mandi air panas, sauna, dan lain-lain.Pengobatan dari hidroterapi berdasarkan efek mekanis dan atau termal dariair. Tubuh bereaksi pada stimulus panas dan dingin. Saraf mengantarkan rangsangan yang dirasakan kulit kedalam tubuh, dimana merangsang systemimun, memengaruhi hormone stres, meningkatkan aliran tubuh dan mengurang rasa sakit.

GANGGUAN ANSIETAS UMUM (GAD) A. Defenisi Istilah kecemasan dalam Bahasa Inggris yaitu anxiety yang berasal dari Bahasa Latin angustus yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik (Trismiati, dalam Yuke Wahyu Widosari, 2010: 16). Selanjutnya Steven Schwartz, S (2000: 139) mengemukakan “anxiety is a negative emotional state marked by foreboding and somatic signs of tension, such as racing heartt, sweating, and often, difficulty breathing, (anxiety comes from the Latin word anxius, which means constriction or strangulation). Anxiety is similar to fear but with a less specific focus. Whereas fear is usually a response to some immediate threat, anxiety is characterized by apprehension about unpredictable dangers that lie in the future”. Steven Schwartz, S (2000: 139) mengemukakan kecemasan berasal dari kata Latin anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan. Kecemasan mirip dengan rasa takut tapi dengan fokus kurang spesifik, sedangkan ketakutan biasanya respon terhadap beberapa ancaman langsung, sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak

terduga yang terletak di masa depan. Kecemasan merupakan keadaan emosional negative yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik ketegangan, seperti hati berdetak kencang, berkeringat, kesulitan bernapas. Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR) mendefinisikan gangguan cemas meyeluruh merupakan suatu kecemasan yang berlebihan tentang suatu kegitan yang berlangsung setidaknya selama 6 bulan (American Psychiatric Assosiation, 2010 dalam Humaida, 2016). Serangan panik adalah suatu episode ansietas yang cepat, intens, dan meningkat, yang berlangsung 15 sampai 30 menit, individu mengalami ketakutan emosional yang besar juga ketidaknyamanan fisiologis. Selama serangan panik individu tersebut sangat cemas

dan memperlihatkan empat atau lebih gejala

berikut:

palpitasi,

berkeringat, tremor, sesak napas, rasa asfiksi, nyeri dada, mual, distress abdomen, pusing, parastesia, meggigil, atau hot flash (Barlow, 2006 dalam Humaida, 2016). Definisi yang paling menekankan mengenai kecemasan dipaparkan juga oleh Jeffrey S. Nevid, dkk (2005: 163) “kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi”. Senada dengan pendapat sebelumnya, Gail W. Stuart (2006: 144) memaparkan “ansietas/ kecemasan

adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya”. Dari berbagai pengertian kecemasana (anxiety) yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas. Patofisiologi Ansietas Seluruh psikolog sepakat bahwa kecemasan adalah faktor yang menimbulkan munculnya penyakit jiwa. Terapi psikologi digunakan untuk menghilangkan

rasa

cemas dan menebarkan rasa aman dalam jiwa seseorang. Walaupun untuk merealisasikan tujuan ini, masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda. Sayangnya, metode terapi psikologi modern belum bisa menyembuhkan gangguan kecemasan secara sempurna (Salmawati, 2010). Al-Qur’an merupakan solusi terbaik yang tiada banding. Iman kepada Allah dapat menyembuhkan gangguan kejiwaan, kecemasan, sekaligus memberikan rasa aman dan tentram pada diri seseorang. AlQur’an telah menjelaskan pengaruh iman yang mampu memberikan rasa aman dan tentram dalam jiwa seseorang,hendaklah dengan

berdzikir kepada Allah Azza Wa Jalla. Berdzikir

dalam arti

yang luas

menyebabkan orang-orang dapat memahami dan menghadirkan Tuhan dalam pikiran, perilaku, dan sebagainya.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 28). (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya). Pada hakekatnya kecemasan, kegelisahan dan ketakutan adalah jejaring yang sengaja Allah ciptakan untuk kita. Namun demikian, banyak yang tidak memahami makna cemas dan kegelisahan tersebut. Keresahan, kegelisahan,

dan ketakutan

sebenarnya adalah nikmat dan karunia dari Allah bagi orang yang beriman. Artinya,keresahan

yang

tengah menggorogoti hati menunjukkan bukti sayangnya

Allah kepada kita. B. PATOFISIOLOGI Sistem syaraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul akibat adanya rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Kemudian rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem syaraf pusat melibatkan jalur cortex cerebri – limbic system – reticular activating system – hypothalamus yang memberikan impuls kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memicu syaraf otonom melalui mediator hormonal yang lain (Owen, 2016). C. TINGKATAN ANSIETAS a. Ansietas Ringan Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan peristiwa kehidupan sehari-hari. Lapang persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-hati dan waspada. Orang yang

mengalami ansietas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Responsrespons fisiologis orang yang mengalami ansietas ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung. Respons kognitif orang yang mengalami ansietas ringan adalah lapang persepsi yang melebar, dapat menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara efektif. Adapun respons perilaku dan emosi dari orang yang mengalami ansietas adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi. b. Ansietas Sedang Pada ansietas sedang tingkat lapang persepsi pada lingkungan menurun dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal lain. Respons fisiologis dari orang yang mengalami ansietas sedang adalah sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi dan gelisah. Respon kognitif orang yang mengalami ansietas sedang adalah lapang persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian. Adapun respons perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman . c. Ansietas Berat Pada ansietas berat lapang persepsi menjadi sangat sempit, individu cenderung memikirkan hal-hal kecil dan mengabaikan hal-hal lain. Individu sulit berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan perhatian pada area lain. Respons-respons fisiologis ansietas berat adalah napas pendek, nadi dan tekanan darah

darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur, dan mengalami ketegangan. Respon kognitif pada orang yang mengalami ansietas berat adalah lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun respons perilaku dan emosinya terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan blocking. d. Panik Pada tingkatan panik lapang persepsi seseorang sudah sangat sempit dan sudah mengalami gangguan sehingga tidak bisa mengendalikan diri lagi dan sulit melakukan apapun walaupun dia sudah diberikan pengarahan. Respons-respons fisiologis panik adalah napas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi dan koordinasi motorik yang sangat rendah. Sementara respons-respons kognitif penderita panik adalah lapang persepsi yang sangat pendek sekali dan tidak mampu berpikir logis. Adapun respons perilaku dan emosinya terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan dan berteriak-teriak, blocking, kehilangan kontrol diri dan memiliki persepsi yang kacau (Herry Zan Pieter, 2011).

D. PENYEBAB ANSIETAS Menurut Stuart (2013) terdapat tiga faktor penyebab terjadinya ansietas, yaitu : a) Faktor biologis/ fisiologis, berupa ancaman yang mengancam akan kebutuhan seharihari seperti kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan keamanan. Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting

dalam mekanisme terjadinya ansietas. Selain itu riwayat keluarga mengalami ansietas memiliki efek sebagai faktor predisposisi ansietas. b) Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan benda/ orang berharga, dan perubahan status sosial/ ekonomi. c) Faktor perkembangan, ancaman yang menghadapi sesuai usia perkembangan, yaitu masa bayi, masa remaja dan masa dewasa. Selain tiga hal di atas, Jiwo (2012) menambahkan bahwa individu yang menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, kanker, penyakit jantung dapat menyebabkan terjadinya ansietas. Penyakit kronik dapat menimbulkan kekhawatiran akan masa depan, selain itu biaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan juga akan menambah beban pikiran. E. CIRI-CIRI DAN GEJALA KECEMASAN (ANXIETY) Menurut Jeffrey S. Nevid, dkk (2005: 164) ada beberapa ciri-ciri kecemasan, yaitu. 1. Ciri-ciri fisik dari kecemasan, diantaranya: 1) kegelisahan, kegugupan, 2) tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, 3) sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, 4) kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, 5) banyak berkeringat, 6) telapak tangan yang berkeringat, 7) pening atau pingsan, 8) mulut atau kerongkongan terasa kering, 9) sulit berbicara, 10) sulit bernafas, 11) bernafas pendek, 12) jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang, 13) suara yang bergetar, 14) jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, 15) pusing, 16) merasa lemas atau mati rasa, 17) sulit menelan, 18) kerongkongan merasa tersekat, 19) leher atau punggung terasa kaku, 20) sensasi seperti tercekik atau tertahan, 21)

tangan yang dingin dan lembab, 22) terdapat gangguan sakit perut atau mual, 23) panas dingin, 24) sering buang air kecil, 25) wajah terasa memerah, 26) diare, dan 27) merasa sensitif atau “mudah marah” 2. Ciri-ciri behavioral dari kecemasan, diantaranya: 1) perilaku menghindar, 2) perilaku melekat dan dependen, dan 3) perilaku terguncang 3. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan, diantaranya: 1) khawatir tentang sesuatu, 2) perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, 3) keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas, 4) terpaku pada sensasi ketubuhan, 5) sangat waspada terhadap sensasi ketubuhan, 6) merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian, 7) ketakutan akan kehilangan kontrol, 8) ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, 9) berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan, 10) berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan, 11) berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, 12) khawatir terhadap hal-hal yang sepele, 13) berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-ulang, 14) berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan, 15) pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, 16) tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, 17) berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis, 18) khawatir akan ditinggal sendirian, dan 19) sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran Manifestasi kecemasan a. Perasaan Cemas (ansietas)

1) Cemas 2) Firasat buruk 3) Takut akan pikiran sendiri 4) Mudah tersinggung b. Ketegangan 1) Merasa tegang 2) Lesu 3) Tidak bisa istirahat dengan tenang 4) Mudah terkejut 5) Mudah menangis 6) Gemetar 7) Gelisah c. Ketakutan 1) Pada gelap 2) Pada orang asing 3) Ditinggal sendiri 4) Pada binatang besar 5) Pada keramaian lalu lintas 6) Pada kerumunan orang banyak d. Gangguan tidur 1) Sukar masuk tidur 2) Terbangun malam hari 3) Tidur tidak nyenyak

4) Bangun dengan lesu 5) Banyak mimpi-mimpi 6) Mimpi buruk 7) Mimpi menakutkan e. Gangguan kecerdasan 1) Sukar konsentrasi 2) Daya ingat buruk 3) Daya ingat menurun 4) Sering bingung f. Perasaan depresi (murung) 1) Hilangnya minat 2) Berkurangnya kesenangan pada hobi 3) Sedih 4) Bangun dini hari 5) Perasaan berubah-ubah sepanjang hari g. Gejala somatik/fisik (otot) 1) Sakit dan nyeri di otot 2) Kaku 3) Kedutan otot 4) Gigi gemerutuk 5) Suara tidak stabil h. Gejala somatik/fisik (sensorik) 1) Tinitus (telinga berdenging)

2) Penglihatan kabur 3) Muka merah atau pucat 4) Merasa lemas 5) Perasaan ditusuk-tusuk i. Gejala Kardiovaskuler 1) Takikardia (denyut jantung cepat) 2) Berdebar-debar 3) Nyeri di dada 4) Denyut nadi mengeras 5) Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan 6) Detak jantung menghilang sekejap j. Gejala Respiratori (pernafasan) 1) Rasa tertekan didada 2) Perasaan tercekik 3) Merasa napas pendek atau sesak 4) Sering menarik napas panjang k. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) 1) Sulit menelan 2) Perut melilit 3) Gangguan pencernaan 4) Nyeri sebelum dan sesudah makan 5) Perasaan terbakar diperut 6) Rasa penuh atau kembung

7) Mual 8) Muntah 9) Buang air besar lembek 10) Sukar buang air besar (konstipasi) 11) Kehilangan berat badan l. Gejala Urogenital (perkemihan dan kelamin) 1) Sering buang air kecil 2) Tidak dapat menahan air seni 3) Amenor/menstruasi yang tidak teratur 4) Menjadi dingin (frigid) 5) Ejakulasi dini m. Gejala Autonom 1) Mulut kering 2) Muka merah 3) Mudah berkeringat 4) Pusing /sakit kepala 5) Bulu roma berdiri n. Tingkah laku (sikap) pada wawancara 1) Gelisah 2) Tidak tenang 3) Jari gemetar 4) Kerut kening 5) Muka tegang

6) Otot tegang/mengeras 7) Napas pendek dan cepat 8) Muka merah (Hawari,2008) F. PENEGAKAN DIAGNOSTIK Menurut Alldredge dkk (2013) Kriteria diagnostik untuk Gangguan Kecemasan Umum 1. Kecemasan dan kekhawatiran yang tidak realistis atau berlebihan tentang keadaan kehidupan setidaknya selama 6 bulan, selama orang tersebut terganggu dalam kehidupan kesehariannya 2. Seseorang memiliki kesulitan mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran 3. Kecemasan dan kekhawatiran dikaitkan dengan setidaknya tiga hal berikut dengan gejala: a. Gelisah atau perasaan terkunci atau tegang b. Mudah lelah c. Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong d. Sifat lekas marah e. Ketegangan otot f. Gangguan tidur 4. Jika ada gangguan kejiwaan lain, fokus kecemasan dan khawatir tidak ada hubungannya dengan itu 5. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan tekanan yang signifikan gangguan sosial, pekerjaan, atau beberapa aspek penting lainnya berfungsi

6. Gangguan tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat, obat-obatan, atau kondisi medis umum dan tidak hanya terjadi selama gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan meresap G. PENGOBATAN GANGGUAN KECEMASAN 1. Terapi Non Farmakologi Manajemen GAD dapat melibatkan nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Perawatan non drug seperti terapi suportif psikoterapi, psikoterapi dinamis, terapi kognitif, pelatihan relaksasi, dan meditasi sering membantu dalam meringankan kecemasan dan meningkatkan keterampilan mengatasi kecemasan (Alldredge dkk., 2013). Terapi kognitif ditujukan mengidentifikasi pola pikir negatif yang memprovokasi atau memperburuk kecemasan dan membuat mereka lebih positif. Perilaku kognitif terapi (CBT) telah dikaitkan dengan pengurangan yang signifikan dalam kecemasan yang dipertahankan selama 6 hingga 12 bulan, juga penurunan komorbiditas psikiatrik pada GAD. Perbandingan yang dikendalikan terapi kognitif dan pengobatan benzodiazepine telah melaporkan efisiensi yang sebanding di GAD (Alldredge dkk., 2013). Meski psikososial perawatan umumnya direkomendasikan sebagai lini pertama terapi untuk GAD dan gangguan kecemasan lainnya, mereka sangat banyak kurang dimanfaatkan karena biaya (banyak penyedia asuransi menawarkan terbatas cakupan untuk psikoterapi rawat jalan), persyaratan waktu, dan terbatasnya ketersediaan terapis terlatih. Penurunan penggunaan terapi psikososial untuk gangguan kecemasan juga

berkorelasi dengan ledakan pilihan pengobatan untuk mengobati kecemasan gangguan (Alldredge dkk., 2013).

2.

Pengobatan Farmakologi Pilihan obat untuk ansietas

(Dipiro dkk, 2011). Terapi ansietas non benzodiazepin

(Dipiro dkk, 2011).

(Alldredge dkk., 2013). BENZODIAZEPIN (Alldredge dkk., 2013) Benzodiazepin adalah agen ansiolitik yang banyak diresepkan, dan kemanjuran dalam mengobati GAD dan gangguan kecemasan lainnya, khususnya dalam jangka pendek, sudah mapan. Benzodiazepin menawarkan bantuan gejala cepat dengan keuntungan klinis yang berbeda dibandingkan dengan agen yang lebih tua seperti barbiturat dan alkohol. Keuntungan ini termasuk efek ansiolitik yang lebih spesifik, lebih rendah tingkat kematian akibat

toksisitas akut dan overdosis (dalam monoterapi), peningkatan toleransi, potensi penyalahgunaan yang lebih rendah, dan lebih sedikit interaksi obat yang berbahaya. Penggunaan nonbenzodiazepine yang lebih tua agen sebagai anxiolytics dianggap tidak pantas karena banyak keuntungan dari benzodiazepin dan agen baru lainnya. Meskipun lebih disukai daripada agen yang lebih tua ini, benzodiazepin adalah masih terkait dengan risiko ketergantungan dan penarikan dan tidak disarankan untuk pengelolaan jangka panjang GAD. AGEN ANTIDEPRESSAN (Alldredge dkk., 2013). Antidepresan adalah pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk kebanyakan pasien dengan gangguan kecemasan, meskipun benzodiazepine masih banyak ditentukan. Satu perbedaan penting antara dua kelas obat ini adalah ansiolitik efek benzodiazepin terjadi segera, sedangkan efek antidepresan terjadi secara bertahap selama beberapa minggu. Oleh karena itu, umum untuk benzodiazepine jangka pendek terapi yang akan diresepkan dalam kombinasi dengan antidepresan selama perawatan awal banyak gangguan kecemasan. Antidepresan terbukti efektif dalam pengobatan gangguan kecemasan pada 1970-an, ketika antidepresan trisiklik tertent (TCA) dan inhibitor monoamine oxidase (MAOIs) dianggap berguna dalam mengobati gangguan panik. Clomipramine adalah TCA, muncul sebagai pengobatan yang efektif untuk OCD juga setelahnya. Seperti ditunjukkan pada Tabel 80-5, inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) sejak itu memperoleh status lini pertama untuk merawat semua lima primer gangguan kecemasan. Perbedaan antara anxiolytics dan antidepresan terus

menyempit, terutama mempertimbangkan presentasi komorbiditas yang umum dari depresi dan kegelisahan. Studi terkontrol awal menemukan trazodone, doxepin, imipramine, dan amitriptyline sebanding efektif atau superior untuk benzodiazepin dalam mengobati GAD. Meskipun benzodiazepine bekerja dengan cepat, dan perawatan TCA sering dikaitkan dengan peningkatan awal dalam kecemasan (terutama dengan dosis yang lebih tinggi), terapi TCA lanjutan biasanya efektif jika ada efek samping ditoleransi. Namun, TCA tidak banyak digunakan untuk mengobati gangguan kecemasan karena perhatian telah beralih ke banyak lainnya antidepresan yang lebih aman dan lebih baik. Paroxetine adalah SSRI yang paling banyak dipelajari di GAD dan merupakan US Food dan Administrasi Obat (FDA) yang disetujui untuk indikasi ini. Paroxetine lebih baik dibandingkan dengan plasebo dan sama efektifnya dengan TCA mengobati GAD, dengan peningkatan toleransi. Hasil dari yang besar studi dosis tetap menunjukkan dosis paroxetine 20 mg / hari efektif untuk sebagian besar pasien dengan GAD, walaupun beberapa pasien mungkin membutuhkan dosis hingga 40 mg / hari untuk manfaat optimal. Seperti TCA, pasien mungkin mengalami peningkatan kecemasan awal selama SSRI pengobatan, jadi dosis awal SSRI yang lebih rendah dari normal seharusnya digunakan pada pasien dengan GAD. Dosis awal paroxetine rendah 10 mg / hari direkomendasikan untuk minggu pertama pada pasien dengan GAD untuk meminimalkan efek samping awal.

Pemeliharaan

paroxetine

terapi

secara

signifikan

mengurangi

risiko

kekambuhan GAD di 6 bulan. Efek samping paling umum dari paroxetine di pasien dengan GAD adalah sedasi, mual, mulut kering, sembelit, asthenia, sakit kepala, dan disfungsi seksual. Dengan jangka panjang terapi, penambahan berat badan mungkin bermasalah. Kombinasi serotonin dan norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI), venlafaxine, dan duloxetine disetujui FDA untuk perawatan GAD. SNRI baru termasuk metabolit aktif milnacipran dan venlafaxine, desvenlafaxine, belum dipelajari dengan baik dalam pengelolaan kecemasan. Namun, data menyarankan agen ini mungkin berguna untuk pengobatan gejala kecemasan yang terkait dengan depresi, meskipun percobaan terkontrol acak lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi dalam penemuan ini. Beberapa penelitian terkontrol besar telah menunjukkan venlafaxine XR menjadi efektif dalam mengurangi kecemasan yang terkait dengan depresi, serta dalam pengobatan GAD. Itu dosis awal yang disarankan adalah 37,5 hingga 75 mg / hari, dan efektif kisaran dosis untuk GAD adalah 75 hingga 225 mg / hari. Banyak pasien merespons dosis venlafaxine 75 hingga 150 mg / hari, meskipun beberapa mungkin membutuhkan hingga 225 mg / hari. Profil efek samping venlafaxine mirip dengan SSRI, dengan mual terkait dosis menjadi yang paling umum, dan ini biasanya mereda setelah 1 sampai 2 minggu terapi lanjutan. Efek samping umum lainnya dari venlafaxine termasuk pusing, asthenia, mulut kering, berkeringat, dan baik sedasi atau insomnia. Peningkatan tekanan darah yang signifikan biasanya tidak terlihat dalam rentang dosis yang digunakan untuk GAD (75-225 mg / hari), tetapi dapat terjadi

dengan dosis yang lebih tinggi. Jangka panjang penelitian melaporkan tanggapan GAD yang berkelanjutan terhadap venlafaxine selama 6 bulan perawatan lanjutan. Efektivitas Duloxetine telah ditunjukkan dalam uji coba jangka pendek dan jangka panjang, dengan yang terakhir mengutip penurunan relaps GAD pada pasien yang diobati 60 hingga 120 mg / hari. Dalam uji coba tunggal dengan XR venlafaxine kelompok pembanding, baik duloxetine dan venlafaxine menunjukkan kesamaan kemanjuran dan tolerabilitas. Sehubungan dengan SSRI lain, escitalopram menerima FDA persetujuan untuk GAD pada akhir 2003, dan laporan awal menyarankan kemanjuran untuk citalopram. Sertraline, fluvoxamine, dan fluoxetine dilaporkan efektif dalam mengurangi gejala kecemasan pada penderita depresi. Fluoxetine mungkin lebih mungkin terjadi dari SSRI lain menyebabkan kecemasan sebagai efek samping awal. Fluoxetine telah dikaitkan dengan respons yang buruk pada pasien depresi dengan kecemasan atau agitasi psikomotor yang menonjol dalam beberapa penelitian, meskipun yang lain melaporkan itu sebanding dan efektif ditoleransi dengan baik seperti SSRI lain dalam populasi ini. Mirtazapine adalah antidepresan non-SSRI yang tampak promis. Mirtazapine adalah antidepresan non-SSRI yang tampak menjanjikan dalam pengobatan GAD, khususnya pada pasien dengan komorbiditas depresi berat, tetapi studi terkontrol hanya sedikit. Ini tidak mungkin menyebabkan kecemasan sebagai efek samping, karena reseptor 5-HT-nya aktivitas pemblokiran tipe-2. Gangguan Depresif Utama, untuk informasi lebih lanjut mengenai penggunaan klinis berbagai agen antidepresan.) Seperti yang disebutkan sebelumnya, dosis awal yang lebih rendah dari antidepresan dianjurkan

untuk menghindari gejala kecemasan yang memburuk secara akut. Titrasi lambat dan pendidikan pasien mengenai reaksi merugikan yang berhubungan dengan antidepresan, termasuk peringatan kotak hitam untuk bunuh diri, juga disarankan. Meski gejala kecemasan berkurang selama pengobatan antidepresan dapat muncul di dalam 2 minggu pertama, responsnya bertahap dan umumnya berlanjut selama 8 hingga 12 minggu atau lebih. Oleh karena itu, uji coba optimal antidepresan dalam GAD harus memungkinkan setidaknya 8 minggu dosis yang memadai sebelumnya kurangnya respons ditentukan. Perbaikan lanjutan mungkin terjadi selama 4 hingga 6 bulan pada beberapa pasien GAD yang diobati antidepresan. Secara

keseluruhan,

kelebihan

antidepresan

dibandingkan

dengan

benzodiazepine dalam mengobati GAD termasuk kemanjuran mereka untuk gejala kognitif seperti kekhawatiran berlebihan dan kemanjurannya lebih baik untuk gangguan komorbiditas umum seperti depresi dan gangguan kecemasan lainnya. Antidepresan juga kurang potensial penyalahgunaan dan ketergantungan, meskipun sebagian besar antidepresan dapat menyebabkannya sindrom penarikan pada penghentian mendadak. AGEN

LAINNYA

DIGUNAKAN

UNTUK

PENGATASAN

GANGGUAN

KECEMASAN (Alldredge dkk., 2013). Buspirone dipasarkan di Amerika Serikat sebagai yang pertama dari nonbenzodiazepine kelas anxiolytics, azapirones. Kelas ini berbeda secara farmakologis dan klinis dari benzodiazepin.

Buspirone tidak berinteraksi dengan reseptor GABA dan berfungsi sebagai agonis parsial dari reseptor 1A tipe 5-HT (yaitu, ia berikatan dengan reseptor tetapi diberikan sebagian kecil dari efek agonis penuh). Ini aktivitas agonis parsial menghasilkan penurunan neurotransmisi 5-HT. Selain itu, buspirone meningkatkan neurotransmisi dopaminergic dengan memblokir autoreseptor reseptor-2 presinaptik dopamine dan juga memfasilitasi kegiatan noradrenergik. Buspirone adalah efektif dalam mengobati gejala kecemasan kognitif dan tidak terkait dengan pelecehan atau ketergantungan; namun, onsetnya tertunda efek ansiolitik dan tidak sesuai untuk penggunaan sesuai kebutuhan. Obat antikonvulsan, terutama pregabalin, jadwal Zat yang dikendalikan V, baru-baru ini mendapat perhatian untuk pengobatan gangguan kecemasan. Pregabalin tampaknya berkhasiat dalam mengelola gejala somatik dan psikis GAD dibandingkan dengan pembanding aktif, benzodiazepin dan venlafaxine. Pregabalin menunjukkan efek dosis-respons itu muncul ke dataran tinggi pada 300 mg / hari. Selain itu, satu jangka panjang studi lanjutan hingga 24 minggu menunjukkan pregabalin 450 mg / hari mungkin efektif dalam mencegah kekambuhan dibandingkan dengan plasebo. Akhirnya, antipsikotik atipikal sedang diselidiki sebagai monoterapi dan terapi augmentasi pada pasien dengan GAD. Aripiprazole, olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprasidone telah dipelajari untuk GAD yang resistan terhadap pengobatan, di sebagian besar uji coba kecil-label terbuka. Agen ini mungkin berguna pada pasien yang gagal menanggapi pilihan pengobatan lini pertama, atau pada pasien dengan penyakit psikotik komorbiditas.

DESKRIPSI PENYAKIT SKIZOFRENIA Skizofrenia merupakan ganggguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi) , gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas seharihari. (Keliat et al, 2011) 1. Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekitar 1% dari populasi, skizofrenia berkembang selama hidup mereka. Meskipun skizofrenia mempengaruhi pria dan wanita dengan frekuensi yang sama, ada perbedaan usia dan perjalanan penyakit. Biasanya skizofrenia terjadi pada remaja akhir atau awal masa dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa wanita rata-rata memiliki timbulnya skizofrenia 3 sampai 5 tahun dibanding pria 2. Etiologi Secara biologis, skizofrenia adalah gangguan neurofisiologis yang bersifat bawaan. Selain faktor biologis, skizofrenia disebabkan oleh faktor psikososial dan sosiokultural. Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi 3. Klasifikasi Berdasarkan DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disordes) terdiri dari lima sub-klasifikasi, yaitu : a. Tipe paranoid Pada skizofrenia paranoid ada dua kriteria yaitu delusi dan halusinasi. Gejala yang lain adalah perilaku dan cara bicara yang tidak teratur. b. Tipe Tidak Terorganisasi Skizofrenia tipe tidak terorganisasi disebut juga skizofrenia hebefrenik, dimana gangguan berpikir dan perasaan yang data terjadi bersama-sama c. Tipe Katatonik Gangguan yang nyata dalam aktifitas motorik dimana perilaku mungkin melambat menjadi stupor (diam ata hampir tidak bergerak) namun secara tiba-tiba berubah menjadi agitasi (gelisah).

d. Tipe Kabur Ada gejala psikotik namun tidak memenuhi kriteria untuk jenis paranoid, tidak terorganisasi atau katatonik. e. Tipe Residual Gejala positif terjadi pada intensitas rendah saja. 4. Gejala dan Tanda Pasien didiagnosa skizofrenia jika memenuhi kriteria diagnose menurut DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disordes), yaitu : 1. Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu : a. Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak rill) b.

Halusinasi (seperti mendengar suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada)

c. Cara bicara tidak teratur d. Tingkah laku yang tidak terkontrol e. Gejala negatif 2. Disfungsi sosial atau pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan 3. Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama 6 bulan, yang merupakan gejala karakteristik seperti pada poin pertama 4. Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar 5. Gejala bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik

5. Penatalaksanaan Skizofrenia Tujuan terapi skizofrenia dalah mengembalikan fungsi normal pasien dan mencegah kekambuhan. Sasaran terapinya bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit. Pada fase akut, sasarannya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien. Sedangkan pada fase stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi resiko

kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat.

1. Terapi Non Farmakologi Ada beberapa jenis pendekatan psikososial untuk skizofrenia yaitu intervensi keluarga, terapi perilaku kognitif, pelatihan keterampilan sosial, dan terapi elektrokonvulsif 2. Terapi Farmakologi Digunakan obat antipsikotik untuk mengatasi gejala psikotik (perubahan perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, dan proses pikiran kacau)

DEESKRIPSI PENYAKIT PSIKOTIK 1. Definisi Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh. Psikotik akut adalah sekelompok gangguan jiwa yang berlangsung kurang dari satu bulan dan tidak disertai gangguan mood, gangguan berhubungan dengan zat, atau suatu suatu gangguan psikotik karena kondisi medis umum. Gangguan psikotik akut dan sementara adalah sekelompok gangguan jiwa yang: 1. Onsetnya akut ( 2 minggu) 2. Sindrom polimorfik 3. Ada stresor yang jelas 4. Tidak memenuhi kriteria episode manik atau depresif 5. Tidak ada penyebab organik

2. Epidemiologi a. Frekuensi Berdasarkan studi epidemiologi internasional, insidensi nonaffective acute remitting psychoses sepuluh kali lebih tinggi terjadi di negara-negara berkembang daripada negara-negara industri bila dibandingkan dengan kejadian skizofrenia.2,3

b. Mortality/Morbidity Sebagaimana episode psikosis lainnya, risiko pasien menyakiti diri sendiri dan/atau orang lain dapat meningkat.2 c. Jenis kelamin Menurut studi epidemiologi internasional, insidensi dari gangguan ini dua kali lebih tinggi terjadi pada wanita dibandingkan pria. Di Amerika Serikat, sebuah penelitian mengindikasikan adanya insidensi yang lebih tinggi pada wanita. d. Usia Gangguan ini lebih sering terjadi pada pasien dengan usia antara dekade ke tiga hingga awal dekade ke empat. Beberapa klinisi meyakini bahwa pasien dengan gangguan kepribadian (seperti narcissistic, paranoid, borderline, schizotypal) lebih rentan berkembang menjadi gangguan psikosis pada situasi yang penuh tekanan.

3. Etiologi Di dalam DSM III-R faktor psikososial bermakna dianggap menyebabkan psikosis reaktif singkat, tetapi kriteria tersebuat telah dihilangkan dari DSM IV. Perubahan DSM IV menempatkan diagnosis gangguan psikotik akut di dalam kategori yang sama dengan diagnosis psikiatrik lainnya yang penyebabnya tidak diketahui dan diagnosis kemungkinan termasuk kelompok gangguan yang heterogen. Pasien dengan gangguan psikotik akut yang pernah memiliki gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau psikologis ke arah perkembangan gejala psikotik. Teori psikodinamika menyatakan bahwa gejala psikotik adalah suatu pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, penurunan harapan yang tidak tercapai atau suatu pelepasan dari situasi psikososial tertentu. 2

4. Patofisiologi Patofisiologi secara secara pasti dari psikosis masih belum diketahui. Stressor pencetus yang paling jelas adalah peristiwa kehidupan yang besar yang dapat menyebabkan kemarahan emosional yang bermakna pada tiap orang. Contoh peristiwa adalah kematian anggota keluarga dekat dan kecelakaan kendaraan yang berat. Klinisi lain berpendapat bahwa stressor mungkin merupakan urutan peristiwa yang

menimbulkan stress sedang, bukannya peristiwa tunggal yang menimbulkan stress dengan jelas.

5. Gambaran Klinis Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurangnya satu gejala psikotik, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu memasukkan keseluruhan pola

gejala yang ditemukan pada skizofrenia. Beberapa klinisi telah

mengamati ibahwa gejala afektif, konfusi, dan gangguan pemusatan perhatian mungkin lebih sering ditemukan pada gangguan psikotik singkat daripada gangguan psikotik kronis. Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik singkat adalah perubahan emosional, pakaian, atau perilaku yang aneh, berteriak-teriak atau diam membisu, dan gangguan daya ingat untuk peristiwa yang belum lama terjadi. Beberapa gejala tersebut ditemukan pada gangguan yang mengarahkan diagnosis delirium dan jelas memerlukan pemeriksaan organik yang lengkap, walaupun hasilnya mungkin negatif.

6. Terapi Penggunaan obat antipsikotik baik yang tipikal maupun atipikal merupakan pilihan terapi dan yang paling sering digunakan untuk mengobati gejala psikotik. Penggunaan obat tersebut terbukti memberikan perbaikan gejala dan mempertahankan pasien dari keberulangan.

Tahap 1 : episode psikosis pertama kali Antipsikotik atipikal perlu ditimbangkan sebagai pilihan pertama. Episode yang terjadi pertama-tama pasien memerlukan dosis antipsikotik lebih rendah dan harus dimonitor karena sensitivitasnya lebih besar menimbulkan efek samping. Respon sebagian atau tidak ada Tahap 2 Pemberian tunggal antipsikotik generasi kedua atau generasi pertama (selain antipsikotik yang diberikan pada tahap 1)

Respon parsial atau tidak ada Tahap 3 Klozapin Respon parsial atau tidak ada

Tahap 4 Berikan klozapin dan antipsikotik generasi pertama, antipsikotik generasi kedua, dan terapi elektrokonvulsif

Respon parsial atau tidak ada Tahap 5 Coba terapi dengan agen tunggal antipsikotik generasi kedua atau pertama (selain yang diberikan pada langkah 1 dan 2)

Respon parsial atau tidak ada Tahap 6 Terapi kombinasi, yaitu antipsikotik generasi kedua + pertama, kombinasi antipsikotik generasi kedua, antipsikotik generasi pertama atau kedua, terapi elektrokonvulsif + agen lain (contoh : mood stabilizer)

KASUS

1. Kasus Ansietas Pasien wanita berusia 31 tahun mengeluhkan sulit tidur, perasaan cemas, sulit berkonsentrasi, sering ‘blank’ saat bekerja, perasaan khawatir terhadap banyak hal, seperti hubungan dengan keluarga dan suaminya, pekerjaannya, rasa takut mendapat cap buruk dari rekan kerja atau atasannya, ia juga merasakan ketegangan otot yang terus menerus, sering mengalami nyeri abdomen dan diare. Intensitas kecemasan sudah meningkat sejak 6 bulan terakhir, selama ini ia mendapat terapi BuSpar. Oleh dokter ia didiagnosa mengalami gangguan obsessive-compulsive atau gangguan panik. Ia mendapat terapi hydroxyzine 12,5 mg BID dan 25 mg saat menjelang tidur. Namun setelah 2 minggu terapi, terjadi sedasi yang berlebihan dan mulut kering, sehingga obat tersebut dihentikan. Terapi

hydroxyzine dilanjutkan kembali, diberikan malam

menjelang tidur dan siang hari (p.r.n) untuk menekan kecemasan. Riwayat keluarga :  Pasien tidak punya riwayat gangguan psikiatri sebelumnya.  Ayahnya, berusia 62 tahun, sampai saat ini menjalani pengobatan saraf .  Ibunya, berusia 59 tahun, memiliki riwayat depresi mayor, saat ini sudah membaik.  Saudara laki-lakinya tidak punya riwayat gangguan depresi/kecemasan.  Ia memiliki kebiasaan minum alkohol.  Skor kecemasan terukur dengan metode Hamilton Anxiety Scale : 28  Kondisi memori, kemampuan bicara dll masih baik, tidak ada keinginan bunuh diri Riwayat pengobatan :  BuSpar Dividose 30 mg po BID untuk menekan kecemasan Sudafed PE 10 mg po QID PRN kongesti nasal Loperamide 2 mg po Q 6 h PRN untuk diare Kondisi kecemasan meningkat sehingga diberikan terapi :

 hydroxyzine 12,5 mg BID dan 25 mg saat menjelang tidur selama 2 minggu  terjadi efek samping obat, sementara terapi dihentikan  terapi dilanjutkan kembali dengan hydroxyzine 12,5 mg saat menjelang tidur dan bila terjadi kecemasan saat siang hari.

2. Penyelesaian Kasus a. Obat yang digunakan saat ini Nama obat

Gol. Obat dan MK

Indikasi

Dosis

BuSpar Dividose

Gol. Agonis serotonergik. Inti dendrit raphe dari neuron serotonergik memiliki autoreseptor prasinaptik inhibitif dari subtipe 5-HT1A yang ketika dirangsang, menurunkan pemicuan pada neuron 5-HT Melebarkan jalan pernafasan dengan cara vasokontriksi pembuluh darah

Menekan kecemasan

30 mg po BID

Kongesti nasal

Antimotilitas. Menekan peristaltik usus dengan memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus.

Diare

Sudafed PE

Loperamide

Rute pemberian Oral

Interaksi

ESO

Outcome

CCB, antibiotik makrolida, MAOI, derifat rifampisin

Pusing. Sakit kepala, mual, extrapiramidal

Menekan kecemasan

10 mg po QID PRN

Oral

Dengan hydroxyzine Menurunkan sedasi

Mual, muntah , mulut kering, sakit kepala

Melegakan sal. Pernapasan

2 mg po Q 6 h PRN

Oral

-

Konstipasi, Mual

Menghentikan diare

hydroxyzine

Gol. Piperazine

Menekan, kecemasan

12,5 mg BID dan 25 mg

Oral

Alkohol, Antikolinerg ik, betahistin

b. Data Subjektif pasien Subyektif

Obyektif

Nilai normal

sulit tidur, perasaan cemas, sulit

Skor kecemasan

Skor kurang dari 6 = tidak

berkonsentrasi, sering ‘blank’ saat

terukur dengan metode

ada kecemasan

bekerja, perasaan khawatir terhadap

Hamilton Anxiety

Skor 7 – 14 = kecemasan

banyak hal, seperti hubungan

Scale : 28

ringan

dengan keluarga dan suaminya,

Skor 15 – 27 = kecemasan

pekerjaannya, rasa takut mendapat

sedang

cap buruk dari rekan kerja atau

Skor lebih dari 27 =

atasannya, ia juga merasakan

kecemasan berat

ketegangan otot yang terus menerus, sering mengalami nyeri abdomen dan diare

terjadi sedasi yang berlebihan dan mulut kering

Menekan kecemasan

c. Asessment Problem Medik Anxiety / Panic disorder

Subyektif

Obyektif

sulit tidur, perasaan cemas, sulit berkonsentrasi, sering ‘blank’ saat bekerja, perasaan khawatir terhadap banyak hal, seperti hubungan dengan keluarga dan suaminya, pekerjaannya, rasa takut mendapat cap buruk dari rekan kerja atau atasannya, ia juga merasakan ketegangan otot yang terus menerus, sering mengalami nyeri abdomen

Skor kecemasan terukur dengan metode Hamilton Anxiety Scale : 28

Terapi BuSpar, Dividose hydroxyzine

Analisis

DRP

Anxiety pasien Pengobatan masuk pada tidak terobati level 3 (berat) dengan skor 28, pengobatan yang diberikan dengan Buspar tidak dapat mengatasi kecemasan karena Buspar termasuk terapi level 1.

d. Care Plan  Untuk pengobatan ansietas perlu dilihat scor kecemasan tujuanya agar dapat memilih terapi sesuai dengan kondisi tingkat kecemasan yang di alami pasien. Pada kasus ini pasien mengalami kecemasan tingkat berat (level 3) dengan melihat scor kecemasan pasien lebih dari 27 yaitu 28. 

BuSpar disarankan untuk dihentikan karena buspar merupakan obat yang tidak di rekomendasikan pada terapi ini. Kondisi pasien dari General Ansietas Disorder (GAD) menjadi Panic Disorder sehingga direkomendasi untuk menggunakan Bupropion dimana obat ini digunakan pada ansietas dengan score kecemasan berat. Setelah pasien diberikan terapi dengan bupropion dan kondisi pasien mengalami penurunan pada tingkat kecemasan, pada tahap inilah baru pasien diberikan dengan terapi SSRI misal Fluoxetine dan paroxetine. fluoxetine dapat diberikan sekali seminggu dengan dosis 20-80 mg. Paroxetin dengan dosis permulaan 10 mg/hari (rentang dosis antipanik 20-60 mg)

 hydroxyzine diberikan saat serangan akut karena efek sampingnya yang menyebabkan mulut kering.  Loperamid tidak digunakan karena diare merupakan gejala dari panic disorder sehingga akan berhenti dengan sendirinya setelah diberikan terapi untuk ansietas.  Obat Sudafed PE sebaiknya tidak digunakan karena dapat berinteraksi dengan hydroxyzine yaitu dapat menurunkan efek sedasi dari hydroxyzine.  Nyeri abdomen yang dirasakan tidak perlu terapi karena merupakan gejala dari panic disorder sehingga akan berhenti dengan sendirinya setelah diberikan terapi untuk ansietas, jika nyeri memberat maka dapat diberikan obat antispasmodik misalnya Buskopan. e. Monitoring 1. Efek samping obat 2. Kondisi pasien 3. Tingkat kecemasan pasien 4. Kepatuhan meminum obat untuk meningkatkan outcome pasien.

f. Pertanyaan 1. Shanti Puji Rahayu Kenapa obat Buspar di hentikan dan digantikan dengan obat golongan SSRI Jawab : buspar dihentikan karena buspar merupakan obat yang tidak di rekomendasikan pada terapi ini dan bukan sebagai terapi lini pertama untuk kasus ini. Pemilihan golongan SSRI karena SSRI merupakan lini pertama pada pengobatan ansietas. 2. Windy Septia Apa yang dimaksud dengan Menejemen stres Jawab : kemampuan seseorang secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena tanggapan (respon). Tujuan dari manajemen stres itu sendiri adalah untuk memperbaiki kualitas hidup individu itu agar menjadi lebih baik.

g. Kesimpulan Berdasarkan kasus diatas maka disimpulkan bahwa pasien mengalami Ansietas atau yang sering di sebut dengan gangguan kecemasan. Pasien mengalami kecemasan dari tingkat GAD ke PD dengan scor kecemasan berat yaitu lebih dari 27. Pasien diberikan terapi dengan Bupropion dimana obat ini digunakan untuk terapi ansietas dengan kecemasan tingkat berat. Setelah penggunaan bupropion dan pasien menunjukan kondisi yang lebih baik atau dengan penurunan tingkat kecemasan ke tingkat sedang dan ringan maka pasien dianjurkan diterapi dengan golongan SSRI yaitu Fluoxetin dan Paroxetine.

2. Kasus Deperesi KASUS II Pak Dodi, 47 tahun, datang ke Poliklinik Jiwa dengan keluhan cemas disertai sering berdebar-debar dan pusing. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Dahulu pasien pernah mengalami penyakit serupa yaitu pada bulan Maret 2009. Awalnya pasien merasakan was-was, berdebar-debar, pusing saat duduk kemudian berdiri, seluruh tubuh gemetar, berkeringat, kesulitan tidur (kesulitan untuk memulai tidur dan terbangun pada tengah malam, tidak mimpi buruk), nafsu makan turun, minat bekerja turun, mudah menangis, merasa sering lelah dan pasien merasa takut mati. Hal ini dipicu karena pasien sedang menghadapi masalah dengan teman kerjanya. Seminggu yang lalu pasien merasakan was-was lagi, dada berdebar-debar. Ternyata ada masalah lagi dengan teman kerja, tanpa sebab teman tersebut tidak manyapanya. Hal ini yang membuat pasien pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.

Data Pasien Nama

:

Dodi

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Gejala Klinis

:

Was-was,

berdebar-debar,

pusing

saat

duduk

kemudian berdiri, seluruh tubuh gemetar, berkeringat, kesulitan tidur (kesulitan untuk memulai tidur dan terbangun pada tengah malam, tidak mimpi buruk), nafsu makan turun, minat bekerja turun, mudah menangis, merasa sering lelah, merasa takut mati Diagnosis

:

Depresi Tujuan Terapi: Memperbaiki perasaan

(mood), nafsu makan dan pola tidur Terapi Farmakologi yang Diberikan: Amitriptilin Amitriptilin 1 x 25 mg sebagai antidepresan.

Amitriptilin diberikan malam hari karena memberikan efek sedasi. Dosis lazim

:

25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis

maksimum 150300 mg sehari. Mekanisme aksi

:

amitriptilin dengan menghambat reuptake serotonin

dan norepinefrin di presinaps membran sel sehingga terjadi peningkatan konsentrasi serotonin dan atau norepinefrin di susunan saraf pusat. Kontra Indikasi

:

penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif

sumsum tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO. Interaksi Obat

:

bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi,

bersama depresan SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas,

bersama

reserpin

meniadakan

efek

antihipertensi. Perhatian

:

ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi

ginjal menurun, glakuoma, kecenderungan untuk

bunuh diri,

kehamilan, menyusui, epilepsi. Pada kasus ini Amitriptilin dipilih sebagai antidepresan karena menimblkan

efek

terapi

yang

lebih

cepat

dibandingkan antidepresan yang lain. Amitriptilin juga

berkhasiat

untuk

memperbaiki

perasaan

(mood), bertambahnya aktifitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan dan pola tidur yang lebih baik.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini, yaitu : 1. Penyakit

depresi

dapat

diterapi

dengan

menggunakan

obat-obat

antidepresan yang meliputi golongan antidepresan klasik, antidepresan generasi 2 dan antidepresan MAO. Pemilihan obat dapat disesuaikan dengan gejala penyakit 2. Pemilihan terapi pada penyakit GAD yakni obat antidepresan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) dan serotonin norephinephrin reuptake inhibitors (SNRI). 3. Penyakit psikotik dan skizofrenia dapat diterapi menggunakan obat-obat antipsikkotik dengan melihat gejala-gejala penderita . B. Saran 1. Sebaiknya, di setiap ruang perawatan rumah sakit terdapat apotekernya. Sehingga

pengawasan terhadap kepatuhan obat, maupun edukasi ke

pasien terkait obat dapat tersalurkan ketimbang menggunakan jasa perawat. 2. Pengaturan unit dosis seharusnya dilakukan di apotek, bukannya dilakukan oleh perawat di ruang perawatan. Bila dilakukan langsung oleh tenaga farmasi di apotek, diharapkan kesalahan pemberian obat kepada pasien dapat diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan terjemahan, Penerbit: Departemen Agama RI American Psychiatric Assosiation. Practice guideline for the treatment of patients with panic disorder second edition. New York: American Psychiatric Assosiation; 2010. American Psyciatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. Edisi ke-5. USA: American Psychiatric Publishing; 2013. Barlow DH, Craske MG. Mastery of your anxiety and panic: patient workbook. USA: Oxford University Press; 2006. Dadang Hawari. (2006). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: Gaya Baru. Gail W. Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih Bahasa: Ramona P. Kapoh & Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC. Hawari Dadang, 2008.Manajemen Stres,Cemas dan Depresi.Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Jeffrey S. Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Kedokteran: EGC Pieter, Zan, H., 2011, Pengantar Psikologi dalam Keperawatan, Edisi I, Jakarta Kencana Prenada Media Group. Steven Schwartz, S. (2000). Abnormal Psychology: a discovery approach. California: Mayfield Publishing Company. Stuart,Gail W,2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa.Edisi 5.Penerbit Buku Susilawati, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pada Pasien Hemodialisis Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Sutejo, Keliat, B.A., Hastono, S.P., Helena, N., 2011, Penurunan Ansietas Melalui Logoterapi Kelompok Pada Penduduk Pasca-Gempa Di Kabupaten Klaten, Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 14, No. 2, Juli 2011; hal 107-112.

Yuke Wahyu Widosari. (2010). “Perbedaan Derajat Kecemasan dan Depresi Mahasiswa Kedokteran Preklinik dan Ko-Asisten di FK UNS Surakarta.” Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

More Documents from "Rindy gisratami"

Tugas Tbc.docx
December 2019 17
Makalah Qc.pdf
November 2019 15
Farter_kelompok 5.docx
December 2019 8
Makalah Cpob Kel 1.docx
November 2019 8