Farmakoterapi Malaria

  • Uploaded by: Sony Eka Nugraha
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Farmakoterapi Malaria as PDF for free.

More details

  • Words: 3,396
  • Pages: 17
FARMAKODINAMIK MALARIA A. Definisi Malaria adalah suatau penyakit akut dan dapat menjadi kronik, disebabkan protozoa yang hidup intrasel, genus plasmodium dan ditandai dengan panas, anemia dan splenomegali. Malaria merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya dapat menyebabkan kematian, terutama pada kelompok-kelompok yang mempunyai risiko tinggi seperti bayi, anak balita dan ibu hamil, serta kelompok usia produktif, sehingga secara langsung dapat menurunkan produktivitas kerja(Hasan, 2006). Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negaranegarayang beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malariaberjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiaptahun, kasusnya berjumlah sekitar 300-500 juta kasus dan mengakibatkan 1,52,7 juta kematian, terutama di negara-negara benua Afrika. B. Etiologi Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Penyebab malaria adalah plasmodium; termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Pembiakan seksual plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk, yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Pada manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Terdapat 4 spesies genus plasmodium yang dapat menyerang manusia, yaitu: 1.

Plasmodium vivaks, (malaria tertiana)

2.

Plasmodium falciparum, (malaria tropika)

3.

Palsmodium malariae (malaria malariae)

4.

Plasmodium ovale (malaria ovale)

Biasanya, nyamuk anopheles betina menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja hingga subuh. Jarak terbangnya tidak lebih dari 0,5 – 3 km dari tempat perindukannya, kecuali jika ada tiupan angin kencang bisa terbawa sejauh 20 – 30 km. Nyamuk anopheles juga dapat terbawa mobil, pesawat terbang atau kapal laut, dan menyebarkan malaria ke daerah non-endemis. Umur nyamuk anopheles dewasa di alam bebas belum banyak diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai 3 – 5 minggu. C. Siklus Hidup Parasit Malaria Daur hidup speises malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk dan fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh manusia.

a. Fase aseksual Dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan sporozoit yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia. Dalam waktu 30 menit – 1 jam, sporozoit masuk kedalam sel parenkhim

hati dan

berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut intrahepatic schizogony atau pre-erythrocyte eksoeritrosit, karena parasit belum masuk

schizogony atau skizogoni

kedalm eritrosit (sel darah merah).

Lamanya fase ini berbeda-beda untuk tiap spesies plasmodium; butuh waktu 5,5 hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk P.malariae. Pada akhir fase terjadi sporulasi, dimana skizon hati

pecah dan banyak

mengeluarkan merozoit ke dalam sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati

yang dapat bertahan sampai bertahun-

tahun, atau dikenal sebagai sporozoit “tidur” yang dapat mengakibatkan relaps pada malaria, yaitu kambuhnya penyakit setelah tampak mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit dimulai saat merozoit dalam sirkulasi menyerang sel darah melalui reseptor permukaan eritrosit dan membentuk trofozoit. P.vivax berhubungan dengan faktor antigen Duffy Fya dan individu dengan golongan darah Duffy negatif tidak Reseptor P.falciparum diduga merupakan suatu

merah

Reseptor pada

Fyb. Oleh karena itu

terinfeksi malaria vivax. glikoforin, sedangkan pada

P.malariae dan P.ovale belum diketahui. Dalam kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk cincin; pada

P.falciparum berubah menjadi bentuk stereo-

headphones didalam sitoplasma yang intinya mengandung kromatin. Parasit malaria tumbuh dengan mengonsumsi hemoglobin. Bentuk eritrosit yang mengandung berbentuk lonjong. Setelah 36 jam skizon. Setiap skizon yang

parasit menjadi lebih elastis dan

menginvasi eritrosit, parasit berubah menjadi

pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit yang siap

menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual P.falciparum, P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan P.malariae adalah 72 jam. Dengan kata lain, proses menjadi trofozoit – skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit terbentuk, berubah menjadi bentuk seksual, gamet jantan dan gamet betina.

sebagian

b. Fase seksual Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandung parasit malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. mengalami pematangan menjadi mikrogametosit dan kemudian terjadi pembuahan membentuk zygote menembus dinding lambung nyamuk dan

Bentuk ini

makrogametosit, yang

(ookinet). Selanjutnya, ookinet

menjadi ookista. Jika ookista pecah,

ribuan sporozoit dilepaskan dan bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia. D. Manifestasi Klinik Adapun gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita malaria adalah: 1.

Demam

Masa tunas tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan demam pertama. (3) Serangan demam yang khas terdiri dari 3 stadium, yaitu menggigil, puncak demam, dan berkeringat. Demam dapat mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada respon imun.(4) 2.

Splenomegali

Splenomegali merupakan gjala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.(4) 3.

Anemia

Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena P. Falciparum. Hal ini diakibatkan oleh karena penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam susmsum tulang.(4) 4.

Ikterus

Ikterus disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar. (4)

E. Pencegahan Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan cara proteksi personal dan Kemoprofilaksis a.Proteksi Personal Dapat dilakukan dengan mengurangi pajanan nyamuk Anopheles (vektor malaria) dengan manusia yaitu dengan mencegah gigitan nyamuk. Contoh upaya proteksi personal yang dapat dilakukan ini adalah[2,3]: 

Pemasangan kelambu berinsektisida,



Penggunaan obat pengusir nyamuk yang mengandung DEET (N,N-diethyl-3methylbenzamide), IR3535 (3-[N-acetyl-N-butyl]-aminopropionic acid ethyl ester) atau icaridin (1-dipeperidinecarboxylic acid, 2-(2-hydroxyethyl)-1methylpropylester)



Pemasangan kawat kasa yang bisa menghalau nyamuk



Pengendalian vektor

b. Kemoprofilaksis Pemberian mempertimbangkan

obat-obatan keuntungan

(kemoprofilaksis)

dilakukan

dan risiko yang akan didapatkan

setelah dengan

kemoprofilaksis ini. Plasmodium memiliki sensitifitas yang berbeda-beda terhadap pengobatan anti-malaria dan bergantung juga pada siklus hidupnya saat itu. Contohnya, obat yang bekerja pada stadium eritrositik tidak efektif untuk membunuh parasit yang sedang dalam stadium liver. Kemoprofilaksis tidak dapat menghindarkan infeksi seperti yang terjadi pada vaksinasi pada umumnya, tetapi bekerja dengan membunuh parasit yang sudah ada[3]. Kemoprofilaksis malaria terbagi menjadi 2 kelompok dari cara kerja obatnya, yaitu[1,3]: 1.

Profilaksis kausal: 

Obat yang yang menyekat Plasmodium pada stadium liver (preeritrositik) pada malaria vivaks dan ovale untuk mencegah terjadinya relaps



Dapat dihentikan segera setelah meninggalkan daerah endemik

Obat yang bisa digunakan adalah atovaquone-proguanil dan primakuin.



Hanya primakuin yang memiliki efek parasitisidal terhadap hipnozoit. 2.

Profilaksis supresif Obat yang menyekat Plasmodium pada stadium aseksual di darah Dikonsumsi sampai setidaknya 4 minggu setelah meninggalkan daerah



endemik untuk membunuh parasit aseksual di liver setelah pajanan. Obat yang biasa digunakan adalah doksisiklin (kontraindikasi pada



kehamilan, anak di bawah usia 8 tahun dan diberikan maksimal 6 bulan). Dosis pemberiannya adalah 100 mg/hari dan dimulai 1-2 hari sebelum pergi ke daerah endemis. Obat lain yang dapat digunakan adalah meflokuin dan klorokuin.



Dosis obat dan frekuensi kemoprofilaksis malaria dalat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Dosis obat dan frekuensi kemoprofilaksis malaria Obat

Dosis

Dosis pediatrik

Atovaquone-

dewasa 250

proguanil

mg/100 mg mg11-29 kg: 1 tab21-

Sediaan:

Frekuensi

62 mg/25 1x sehari

Durasi (profilaksis) 1 hari

30 kg: 2 tab31-40 kg: 3 tab> 40 kg: dosis Meflokuin

250 basa tablet)

dewasa mg 5 – 9 kg: 4.6 mg 1x (1 basa/kgBB10 – 19kg: seminggu

1



minggu

¼ tab20 – 30 kg: ½ tab31 – 45 kg: ¾

Doksisiklin Primakuin diperiksa

100 mg

tab>=45 kg: 1 tab Kontraindikasi

di 1x sehari

bawah usia 8 tahun (wajib 30 mg basa 0.5 mg/kgBB basa 1x sehari sebelum (biasanya 2 maksimal 30 mg basa

penggunaannya)

tablet)

1 – 2 hari 1 hari

3

Klorokuin

300

mg 5 mg/kgBB

basa

1x

1 minggu

seminggu

Pengobatan malaria adalah pengobatan radikal yaitu membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh. Tujuan pengobatan radikal adalah untuk mendapatkan kesembuhan secara klinik dan parasitologik serta memutus rantai penularan. F Pengobatan 1. Artesunat - Amodiaquine Setiap kemasan Atesunate + Amodiakuin terdiri dari 2 blister, yaitu blister amodiakuin terdiri dari 12 tablet @ 200 mg dan 153 mg amodiakuin basa dan blister artesunat terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. Obat kombinasi diberikan per oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian, sebagai berikut: - Amodiakuin basa 10 mg/kg bb - Artesunat 4 mg/kg bb. 2. Dihydroartemisinin + Piperaquin Fixed Dose Combination (FDC) 1 tablet mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperaquin. Obat ini diberikan per-oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut: - Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB - Piperaquin dosis 16-32 mg/kgBB 3. Artemether + Lumefantrin 1 tablet mengandung 20 mg artemether ditambah 120 mg lumefantrine. Merupakan obat Fixed Dose Combination. Obat ini diberikan peroral selama tiga hari dengan cara 2 x 4 tablet per hari. 4. Artesunat-Meflokuin

(digunakan di daerah Mekhong), Obat ini terdiri dari 50 mg artesunate dan 250 mg basa Meflokuin. 5. Artesunat-Sulfadoxin Pirimetamin (SP) Obat artesunat 50 mg, Sulfadoxin Pirimetamin (SP) dengan dosis Sulfadoxin 25 mg/kgBB dan Pirimetamin dosis 1,25 mg/BB. 6. Artemisinin-Naphtoquin (masih dalam penelitian), obat ini mengandung 250 mg artemisinin dan 100 mg Naphtoquin dengan cara minum obat sekali minum sebanyak 4 tablet. Di Indonesia saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan oleh program malaria: 1. Artesunate – Amodiaquin 2. Dhydroartemisinin – Piperaquin

G. Penatalaksanaan

H. Farmakodinamika Obat Antimalaria 1. Klorokuin a. Struktur dan Mekanisme Kerja Klorokuin merupakan turunan dari 4-aminokuinolon. Mekanisme kerja dari. Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, sama sekali tidak efektif pada parasit di jaringan. Efektivitasnya sangat tinggi terhadap P. falcifarum dan P. vivax. Mekanisme kerja obat ini diduga menghambat DNA dan RNA polimerase. Secara fisik terjadi interkalasi klorokuin dengan guanin rantai DNA. Parasit yang menginfeksi eritrosit akan segera mengambil dan mengakumulasi obat tersebut dalam badannya.(5) b. Farmakokinetik Absorbsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat dan makanan mempercepat absorbsi ini. Kadar puncak plasma dicapai setelah 1-2 jam. Metabolisme klorokuin dalam tubuh sangat lambat dan metabolitnya diekskresikan lewat urin. Metabolisme klorokuin dihambat oleh amodiakuin, hidroksiklorokuin dan apamakuin.(5) c. Efek Samping dan Kontraindikasi Efek samping yang mungkin timbul oleh pemberian klorokuin adalah sakit kepala ringan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan dan gatal-gatal. Yang tersering adalah gangguan saluran cerna dan gatal-gatal. Sedangkan kontraindikasi penggunaan klorokuin adalah pada penyakit hepar. Penggunaan harus hati-hati pada gangguan pada gannguan gastrointestinal, gangguan darah, dan gangguan neurologik yang berat. Sebaiknya tidak digunakan bersama Au dan fenilbutazon karena menyebabkan dermatitis. (5) d. Sediaan Klorokuin tersedia sebagai garam difosfat dan sulfat. Bentuk tablet 100 dan 150 mg basa. Bentuk sirup 50 dan 25 mg. (5)

2. Pirimetamin

a. Struktur dan Mekanisme kerja Pirimetamin adalah turunan pirimidin yang berbentuk bubuk putih, tidak terasa, tidak larut dalam air, dan sedikit larut dalam asam klorida. Kasiat anti malaria ditemukan pada turunan yang mepunyai gugus metil atau alkoksi pada posisi 5 dalam inti pirimidin. Adapun mekanisme kerja pirimetamin dengan menghambat enzim dehidrofolat reduktase plasmodia pada kadar yang jauh lebih rendah daripada yang diperlukan untuk menghambat enzim yang sama pada manusia. Enzim bekerja dalam rangkaian reaksi sintesis purin, sehingga penghambatannya menyebabkan gagalnya pembelahan inti pada pertumbuhan skizon dalam hati. (5) b. Farmakokinetik Penyerapan pirimetamin di saluran cerna berlangsung lambat tetapi lengkap. Obat ini ditimbun terutama dalam hati, hepar, ginjal, paru, dan limpa, kemudian diekskresikan lambat dengan waktu paruh kira-kira 4 hari. Metabolitnya diekskresikan melalui urin. Pirimetamin diekskresikan cukup banyak lewat ASI sehingga dapat dicapai kadar supresi dalam darah bayi yang sepenuhnya maendapat ASI. (5) c. Efek Samping Dengan dosis besar dapat menimbulkan anemia makrositik hyang serupa dengan defisiensi asam folat. Untuk mencagah anemia, trombositopenia dan leukopenia maka leukovorin dapat diberikan bersamaan dengan pirimetamin. Pirimetamin tak dianjurkan pada wanita hamil. (5) d. Sediaan Pirimetamin tersedia sebagai tablet 25 mg. Sediaan kombinasi dengan sulfadoksin 500 mg (fansidar). 3. Primakuin a. Struktur dan Mekanisme Kerja Primakuin atau 8-6-metokuinolon merupakan turunan dari 8-aminokuinolon. Adapun aktivitas sebagai antimalaria tidak banyak diketahui tentang cara kerja 8aminokuinolon, lebih-lebih tentang aktivitasnya yang lebih menonjol terhadap skizon

jaringan. Sedangkan yang menyebabkan hemolisis yang lebih kuat adalah metabolitnya. (5) b. Farmakokinetik Pemberian per oral, primakuin segera diabsorbsi, tetapi metabolismenya berlangsung cepat sehingga hanya sebagian kecil yang diekskresikan dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai 1-2 jam, kemudian cepat menurun dengan waktu paruh 3-6 jam. Metabolisme oksidatif primakuin menghasilkan 3 metabolit turunan karboksil yang tidak berefk antimalria tetapi efek hemolitiknya lebih kuat. (5) c. Efek Samping dan Kontraindikasi Efeka samping yang terberat dari primakuin adalah anemia hemolitik akut pada pasien yang amgalami defisiensi enzim G6PD. Primakuin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit sistemik yang berat yang cenderung mengalami granulositopenia. Wanita hamil juga tidak dianjurkan meminum obat tersebut. (5) d. Sediaan Primakuin fosfat tersedia sebagai tablet 26,3 mg garam setara dengan 15 mg basa. Dosis optimal untuk pengobatan radikal malaria vivaks atau ovale 15 mg/hari untuk orang dewasa sedangkan anak-anak0,3 mg/kgBB/hari selamam 14 hari. (5) 4. Proguanil a. Struktur dan Mekanisme Kerja Proguanil adalah biguanida yang dimetabolisme dalam tubuh oleh enzim sitokrom P450 polimorfik CYP2C19 membentuk metabolit aktif sikloguanil yang diekskresi terutama ke dalam urin. Sekitar 3% Kaukasia dan Afrika, 20% Oriental termasuk poor metabolizer dengan demikian biotransformasi proguanil menjadi sikloguanil pada populasi tersebut berkurang. Sikloguanil menghambat dihidrofolat reduktase plasmodial. Proguanil mempunyai aktivitas antimalaria intrinksik yang lebih lemah dari metabolitnya.

Proguanil termasuk skhizontosida

darah kerja lambat dan diduga aktif terhadap bentuk pre-erithrositik tetapi tidak berkhasiat terhadap hipnozoit P. vivax. Proguanil juga mempunyai aktivitas

sporontosida, membuat gametosit tidak infektif terhadap vektor nyamuk. Proguanil diberikan dalam

bentuk garam dalam kombinasi dengan atovakuon.

b. Farmakokinetik Obat ini tidak digunakan

dalam

proguanil berkembang

bentuk tunggal karena resistensi terhadap

sangat cepat. Waktu paruh proguanil 16 jam. Proguanil

harus digunakan setiap hari. C Efek Samping Dan Kontraindikasi Pada dosis terapi, dapat terjadi gangguan ringan pada saluran cerna, diare, ulserasi dan kerontokan rambut. Perubahan hematologikal (anemia megaloblastik dan pansitopenia) terjadi pada penderita gagal ginjal parah. Overdosis proguanil dapat menimbulkan ketidaknyamanan epigastrik,

muntah dan hematuria. Penggunaan

proguanil harus hati-hati pada penderita gangguan ginjal dan dosis harus dikurangi sesuai dengan tingkat

keparahan ginjal.

Sediaan 400 mg proguanil (4 tablet dosis kuat sebagai dosis tunggal) oral sekali sehari selama 3 hari berturut-turut. I. RESISTENSI a Resistensi klorokuin Sampai

saat

ini

mekanisme

klorokuin belum ada yang melaporkan.

resistensi

Plasmodium

vivax

terhadap

Selama ini penelitian banyak dilakukan

terhadap P. falciparum. Vakuola makanan parasit yang merupakan tempat aktifitas klorokuin di duga berperan dalam mekanisme resistensi Plasmodium terhadap klorokuin. Pada P. falciparum, baru-baru ini telah diidentifikasi suatu gen dengan 13 ekson dekat cg 2 pada kromosom VII,

yaitu gen pfcrt yang dianggap

berperan dalam resistensi terhadap klorokuin. Gen

ini mengkode protein PfCRT,

suatu

protein

yang

Plasmodium falciparum.

terletak

pada

tranmembran

vakuola

makanan

dari

Mutasi titik pada Pfcrt ditemukan berhubungan secara

lengkap dengan resistensi klorokuin secara in vitro pada

laboratory lines P.

falciparum yang

selatan. Penggantian

berasal dari Asia, Afrika, dan Amerika

threonin (T76) menjadi lysine (K76) pada posisi 76 (K76T) terdapat pada semua isolat resisten, tidak ditemukan pada semua isolat sensitif. Lebih jauh transformasi genetik dengan plasmid mengekspresikan bentuk mutan pfcrt yang berubah menjadi resisten.(15) Penelitian tersebut diperkuat oleh

hasil penelitian dari Afrika Barat bahwa

perubahan pada Pfcrt K76T didapatkan

pada 100% isolat rekurens, bahkan

Djimde et al menyatakan bahwa mutasi

Pfcrt T76 merupakan marker malaria

falciparum yang resisten dengan klorokuin.(16) Menurut Fidock et al, mutasi pada Pfcrt dapat mengubah

masuknya klorokuin pada vakuola

makanan atau

mengurangi ikatan obat pada hematin melalui perubahan pH pada vakuola makanan. (15)

Dari

laporan

di

atas

timbulpertanyaan

apakah

mutasi

orthologues dari Pfcrt pada P. falciparum mempunyai peran yang sama timbulnya resistensi P. vivax

gen

terhadap

terhadap klorokuin. Oleh sebab itu Nomura et al

melakukan penelitian terhadap pasien malaria vivax yang pengobatan

pada

mengalami kegagalan

dengan klorokuin.(17) Nomura menguji gen pvcg 10 dari P. vivax yang

orthologues dengan Pfcrt dari P. Falciparum. Pada pasien kegagalan pengobatan

tersebut tidak terlihat mutasi pada gen

yang mengalami Pvcg 10, yang

menyatakan bahwa mekanisme molekuler timbulnya resistensi P. vivax kemungkinan berbeda dengan P. falciparum.. b. Resistensi artemisin

DAFTAR PUSTAKA

1.

Zulkarnain, Iskandar. Malaria Berat Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam

Jilid I. FKUI Jakarta, 1998 ; 504-7. 2.

Gandahusada, Srisasi dkk. Parasitologi Kedokteran, Edisi 3. FKUI Jakarta,

1998; 171-209.

3.

Abdoerrachman. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : Bagian IKA FKUI,

1989; 655-9. 4.

Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

FKUI, 2001; 409-16

5.

Sukarban, S dan Zunilda. Obat Malaria Dalam Farmakologi dan Terapi

Edisi 4. Jakarta: FKUI, 1995; 545-59 Wernsdosfer WH. Antimalarial drug. In: Carisi G, Costelli F, editors. Quaderni cooperazione sanitaria; Handbook of malaria in the tropics, Italia: Associazone Italiana Amici di raoul Follereaus;1997.p.151-83. 2. Rieckman K, Davis DR, Hutton DC. Plasmodium vivax resistance to chloroquine ? Lancet 1989; 18: 1183-4. 3. Baird JK, Basri H, Purnomo, Bangs MJ, Subianto B, Patchen LC et al. Resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1991;44 (5):547-52. 4. Baird JK, Sustriayu Nalim MF, Basri H, Masbar S, Leksana B, Tjitra E et al. Survey of resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1996;90:40911. 5. Fryauff DJ, Tuti S, Mardi A, Masbar S, Patipelohi R, Leksana B. Chloroquine-resistant Plasmodium vivax in transmigration settlements of West Kalimantan, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1998;59(4):513-18.

6. Krogstad DJ, Schlesinger PH. The basis of antimalarial action: non-weak base effects of chloroquine on acid vesicle pH. Am J Trop Med Hyg 1987;36(2): 213-20. 7. Meshnick SR. Chloroquine as intercalator: a hypothesis revived. Parasitology Today 1990;6(3):77-9. 8. WHO. Advances in malaria chemotherapy. WHO Technical report series 1984;711:10-55. 9. Whitby M, Wood G, Veenendal JR, Rieckman K. Chloroquine-resistant Plasmodium. Lancet 1989;9:1395. 10. Fryauff DJ, Baird K, Candradikusuma D, Masbar S, Sutamihardja MA, Leksana B. Survey of in vivo sensitivity to chloroquine by Plasmodium falcifarum and P. vivax in Lombok, Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1997;56(2):241-4. 11. Baird JK, Sustriayu Nalim MF, Basri H, Masbar S, Leksana B, Tjitra E et al. Survey of resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1996;90:40911. 12. Marlan-Than, Myat-Phone-Kyaw, AyeYu-Soe, Khaing-Khaing-Gyi, MaSabai, Myint-Oo. Development of resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Myanmar. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1995;89:307-8. 13. Lim CS. Response to chloroquine of Plasmodium vivax among south Korean soldiers. Ann Trop Med Par 1999;93(6):565-8. 14. Murphy GS, Basri H, Purnomo, Anderson EF, Bangs MJ, Mount DL, et al. Vivax malaria resistant to treatment and prophylaxis with chloroquine. Lancet 1993;341:96-100. 15. Fidock DA, Nomura T, Talley AK, Cooper RA, Dzekunov SM, Ferdig MT. Mutations in the P. falciparum digestive vacuole transmembrane protein PfCRT and evidence for their role in chloroquine resistance. Mol Cell 2000;6(4):86171. 16. Djimde A, Pharm D, Ogobara K, Doumbo, Joseph F, Cortese BS, et al. A molecular marker for chloroquineresistant falcifarum malaria. New European J Med 2001;344(4):257-63. 17. Nomura T, Carlton JM-R, Baird JK, Portillo HA, Fryauff DJ, Rathore D, et al. Evidence for different mechanisms of chloroquine resistance in 2 plasmodium species that cause human malaria. J Infect Dis 2001;183:1653-61. 18. WHO. A general guide for the asessement of therapeutic efficacy of chloroquine for vivax malaria. Geneva; 2001. 19. Gomham PCC. Malaria parasites of man: life-cycles and morphology. In Wernsdorfer WH, Mc Gregor, 1st ed. Malaria, principles and practice of malariology. Edinburgh: ChurchillLivingstone; 1988.p.61-96. 20. Craig AA, Kain K. Molecular analysis of strain of Plasmodium vivax from paired primary and relapse infections. J Infect Dis 1996;(174):373-9. 21. Kirchgatter K, Portillo HA. Molecular analysis of Plasmodium vivax relapses using the MSP 1 molecule as a genetic marker. J Infect Dis 1998; (177):511-15. 22. Baird JK, Leksana B, Masbar S, Fryauff DJ, Sutamihardja MA, Suradi et al. Diagnosis of resistance to chloroquine by Plasmodium vivax: timing of

recurence and whole blood chloroquine levels. Am J Trop Med Hyg 1997;56(6):621-6. 23. Patchen LC, Mount DL, Schwartz IK, Churchill FC. Analysis of filterpaperabsorbed, finger-stick blood samples for chloroquine and its major metabolite Majalah Kedokteran Andalas No.2. Vol.32. Juli - Desember 2008 126 using high-performance liquid chromatography with fluorescence detection. J Chromatogr 1983;278:81-9. 24. Looareesuwan S, Olliaro P, White NJ, Chongsuphajaisiddhi T, Sabcharoen A, Thimasarn K. Consensus recommendation on the treatment of malaria in southeast Asia. Southeast Asian J Trop Med Pub Health 1998;29(2):355-60. 25. Fryauff DJ. Survey of chloroquine resistant falcifarum and vivax malaria in Indonesia and development of new treatment strategy for chloroquine resistant Plasmodium vivax. Asia-Pacific Military medicine conference; 1996 April 1415; Sydney.1996. 26. Baird JK, Basri H, Subianto B, Fryauff DJ, McElroy PD, Leksana B, et al. Treatment of chloroquine-resistant Plasmodium vivax with chloroquine and primaquine or halofantrine. J Infect Dis 1995; 171:1678-82. 27. Alcantara AK, Uylanggo CV, Sangalang RP, Cross JH. A comparative clinical study of mefloquine and chloroquine in the treatment of vivax malaria. Southeast Asian J Trop Med Pub Health 1985;16(4):534-8. 28. Pukrittayakamee S, Chantra A, Simpson JA, Vanijanonta S, Clemens R, Looareesuwan S, et al. Therapeutic responses to different antimalarial drugs in vivax malaria. Antimicrob Agent Chemother 2000;44(6):1680-5.

Related Documents

Farmakoterapi Malaria
October 2019 37
Malaria
June 2020 37
Malaria
November 2019 72
Malaria!!!
November 2019 58
Malaria
May 2020 40
Malaria
November 2019 50

More Documents from "sarguss14"

Farmakoterapi Malaria
October 2019 37
Riwayat Hidup.docx
July 2020 5
Part Biosel.docx
May 2020 10
Jurnal 2.docx
May 2020 9
Bahan.doc
May 2020 7