Farmakologi Sistem Respirasi Lidia 2018.pdf

  • Uploaded by: Diana Marcus
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Farmakologi Sistem Respirasi Lidia 2018.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,525
  • Pages: 106
Farmakologi Sistem Respirasi dr. Kartini Lidia, M.Sc FK Undana 2018

MASALAH SISTEM RESPIRASI 

Rinitis Alergi

 Common cold 

Asma Bronkiale



PPOK



TBC

OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK MASALAH SISTEM RESPIRASI 

Analgesic antipyretics and NSAIDs



Antihistamines



Sympathomimetics



Antitusive, expectorants mucolytics



Antibiotics

RINITIS ALERGIKA • Kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan proses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada mukosa hidung. • Gejala : hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan pengobatan.

• Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut.

Terapi Rinitis Alergi 1. Antihistamin 2. Dekongestan Hidung 3. Kortikosteroid 4. Antikolinergik

5. Natrium Kromolin 6. Imunoterapi

1. ANTIHISTAMIN • Pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi. • Antagonis reseptor H1 otot polos, sel endotel, otak • Mekanisme Kerja : Otot Polos  relaksasi

Endotel vasokonstriksi, mencegah peningkatan permeabilitas Otak dosis terapetik : depresi overdosis : eksitasi

ANTIHISTAMIN • -

Generasi pertama : Etanolamin : difenhidramin, dimenhidrinat Alkalinamin : chlorpheniramin maleate (CTM) Fenotiazin : Prometazin Piperidin : Siproheptadin

• Generasi Kedua : - Piperazin : cetirizine - Piperidin : Loratadine, desloratadine

2. DEKONGESTAN • Golongan simpatomimetik agonis reseptor α adrenergik • Mekanisme Kerja : aktivasi reseptor α otot polos pembuluh darahvasokonstriksiresistensi perifer ↑ TD ↑ • Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam. • Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. • Pemakaiannya terbatas selama 10 hari. • Efek samping : Penggunaan jangka panjang (> 3 jam/kali, > 3 minggu) mengakibatkan rebound congestion. • Interaksi obat : Antihipertensi, MAO Inhibitor

Contoh Dekongestan • Phenylephrine  α1 selektif reseptor agonis • Efedrine Agonis α dan β - ↑ denyut jantung

- ↑ cardiac output - ↑TD - Aktivasi reseptor β mengakibatkan bronkodilatasi

- Stimulasi CNS

Contoh Dekongestan • Simpatomimetik lain yg digunakan secara lokal : - Naphazoline

- Oxymetazoline - Xylometazoline - Phenylpropanolamine

Memiliki efek spt efedrin tetapi stimulasi CNS lebih rendah Menigkatkan resiko stroke - Pseudoefedrin

3. KORTIKOSTEROID Kortikosteroid Sistemik • Oral atau injeksi • Kortikosteroid oral sangat efektif mengurangi gejala rinitis alergi terutama dalam episode akut.

• Efek samping pemakaian jangka panjang : osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari hypothalamicpituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma, cutaneous

striae. • Pengawasan : asma + TB, infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.

KORTIKOSTEROID TOPIKAL (INTRANASAL) • Efek antiinlamasi kuat • Mempunyai afinitas yg tinggi pada reseptornya

• Efek samping sistemik lebih kecil • Pemakaian jangka lama mukosa hidung atropi dan memicu timbulnya jamur

• Contoh : Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan Triamcinolone acetonide

4. ANTIKOLINERGIK • Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan

vasodilatasi. • Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara

topikal dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.

5. NATRIUM KROMOLIN • Menghambat pelepasan mediator dari sel mastosit atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida. • Inhalasi

6. IMUNOTERAPI • Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis alergi. • Cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal. • Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi dihentikan.

COMMON COLD • Infeksi virus yang mengenai saluran pernapasan atas (hidung, dan tenggorokan) • Tidak berbahaya dan bersifat self limited • Etiologi : Rhinovirus, Coronavirus, Virus parainfluenza, sinsitial respirasi, influenza dan adenovirus. • Tanda & Gejala : - Hidung gatal dan berair - Nasal congestion - Bersin

Penatalaksanaan COMMON COLD • • • • • • • •

Tidak ada terapi spesifik, terapi bersifat simptomatik Antibiotik : Tidak diberikan kecuali terdapat infeksi sekunder Antivirus : Tidak terbukti ampuh mengurangi gejala flu Antihistamin Dekongestan α1 selektif agonis NSAIDs Vitamin C Zinc

Analgesic - antipyretics 1.

Acetaminophen (paracetamol)

2.

Acetosal (acetyl salicylic acid)

3.

Proprionic acid derivatives (ibuprofen)

4.

Fenamic acid derivatives (mefenamic acid)

5.

Acetic acid derivatives (indomethacin, diclofenac)

6.

Oxicam (pyroxicam, meloxicam etc.)

Acetyl salicylic acid (ASA) • Efek Samping : 

Nyeri Epigastrium



Ulkus Gster



Perdarahan GI (melena)



Pemanjangan waktu perdarahan

Antitusive - expectorants Antitusive  Mengsupresi reflek batuk  narcotics (codeine)  nonnarkotics (dextromethorfan HBr)

 Expectorants - mucolytics  Mengencerkan mukus- sputum, meningkatkan sekresi mukus  Untuk batuk produktif  NH4Cl, KJ, bromhexine, ambroxol ect.

ASMA BRONKIALE • Inflamasi kronik saluran napas  hiperesponsif jalan napas gejala episodik berulang • Patofisiologi 1. Inflamasi saluran nafas - Edema saluran napas - Sekresi mukus 2. Obstruksi udara intermiten - Bronkokonstriksi akut - Mucous plug - Edema saluran nafas - airway remodelling 3. Hiperesponsivitas bronkial - Diperberat oleh stimulus endogen atau eksogen

PATOFISIOLOGI ASMA

Gejala dan Tanda Gejala episodik berulang : mengi/whezing, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas

yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

• Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara.

• Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,

semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. • Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)

• Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan

faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.

Penatalaksanaan Asma

Tujuan : 1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah eksaserbasi akut 3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin 4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise 5. Menghindari efek samping obat 6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel 7. Mencegah kematian karena asma

Asma Terkontrol

1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam 2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) 4. Variasi harian APE kurang dari 20% 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Medikasi Asma Tujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas : • Reliever/Pelega Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. • Controller/Pengontrol/Pencegah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.

Pengontrol (Controllers) • Kortikosteroid inhalasi • Kortikosteroid sistemik

• Kromolin (Sodium kromoglikat dan Nedokromil sodium) • Metilsantin • Agonis beta-2 kerja lama (LABA), inhalasi

• Agonis beta-2 kerja lama (LABA), oral • Leukotrien modifiers • Anti Histamin generasi ke-2

Pelega (Reliever) • Agonis beta2 kerja singkat • Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat

pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan

dengan bronkodilator lain). • Antikolinergik • Aminofillin

• Adrenalin

Pengontrol Kortikosteroid inhalasi • Medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. • Pilihan bagi asma persisten (ringan sampai berat)

Perbaikan faal paru Menurunkan hiperesponsif jalan napas, Mengurangi gejala,

Mengurangi frekuensi dan berat serangan dan Memperbaiki kualiti hidup .

Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

• Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar • Peningkatan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan

manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan napas) meningkatkan risiko efek samping.

• Bila dgn steroid inhalasi tidak mencapai asma terkontrol, tambahkan obat pengontrol lain, bukan meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut .

Efek Samping • Efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan ususmasing-masing obat steroid inhalasi berbeda . • Budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik < beklometason dipropionat dan triamsinolon. • Risiko efek sistemik juga tgt sistem penghantaran (spacer ↓ bioavailabiliti sistemik ↓efek samping sistemik • Efek samping lokal : kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas.dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur setelah inhalasi.

Lanj .

Pengontrol

Kortikosteroid sistemik • Peroral atau parenteral. • Pengontrol asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. • Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. • Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. • Jika terpaksa harus diberikan (asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol) steroid oral selama jangka waktu tertentu.

• Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral : • Gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal • Bentuk oral, bukan parenteral • Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

Efek Samping • Efek samping sistemik penggunaan jangka panjang : osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. • Meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan. • Perhatian dan supervisi ketat pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) • Mekanisme : antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. • Pemberiannya secara inhalasi. • Pengontrol pada asma persisten ringan. • Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. • Efek samping minimal : batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi .

Metilsantin • Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. • Mekanisme kerja : antagonis reseptor adenosine, menghambat fosfodiesterase (PDEs) menghidrolisis cAMP & cGMP menjadi AMP dan GMP  bronkodilatasi • Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat. • Sebagai Pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.

• Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, • Studi menunjukkan metilsantiin sebagai terapi tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efektif mengontrol asma , walau disadari peran sebagai terapi tambahan tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi tetapi merupakan suatu pilihan karena harga yang jauh lebih murah.

Efek Samping • Rentang dosis sangat sempit • Gejala gastrointestinal nausea, muntah (paling sering), nyeri kepala, cemas. • Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia • Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol.

• Dianjurkan monitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping. • Perhatikan : – keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin. – seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.

AGONIS RESEPTOR ADRENERGIK β • Reseptor β : Bronkus (β2), Jantung (β1), uterus (β2), ginjal (β1, β2)

• Non selektif : Isoproterenol • Selektif β2 : - Short acting (SABA) : Metaproterenol, Terbutaline,

Salbutamol (albuterol), fenoterol - Long acting (LABA) : Formoterol, Salmeterol

Obat-obat Simpatomimetik/ Agonis Adrenoreseptor 1. Melemaskan Otot Polos Saluran Napas 2. Menghambat pelepasan mediator bronkokonstriksi dari Sel Mast 3. Menghambat kebocoran mikrovaskular 4. Meningkatkan transpor mukosiliar 5. Merangsang adenil siklase cAMP meningkat

Agonis Beta 2 Kerja Lama (LABA) • Per inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). • Efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. • Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. • Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral. • Efek samping : rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia

Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2

Agonis β2 kerja Lama Inhalasi • Sebaiknya diberikan ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis

glukokortikosteroid inhalasi tersebut .

• Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan dengan

glukokortikosteroid inhalasi.

Leukotriene modifiers/LRA , LI • Leukotrien receptor antagonis/ Leukotrien sintesis inhibitor • Leukotrien merupakan bronkokonstriktor • Per oral • Mekanisme kerjanya : Menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien. Contoh : Zileuton Memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target contoh : montelukas, pranlukas, zafirlukas. Diketahui sebagai terapi tambahan , leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers. Efek samping : jarang, Zileuton toksik hati

Pelega (Reliever) Agonis beta-2 kerja singkat (SABA) • Salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. • Onset cepat. • Onset cepat dan durasi lama Formoterol. • Inhalasi  onset cepat, ES <<<, atau oral • Mekanisme kerja : relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. • Terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

SABA • Kebutuhan ↑ atau bahkan setiap haripetanda perburukan asma  perlu terapi antiinflamasi.

• Gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan  petanda perlu kortikosteroid oral.

• Efek samping : rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.

METILSANTIN • Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. • Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. • Aminofilin bolus dosis 5-6 mg/kgBB, dilanjutkan dengan drip untuk mempertahankan kadar serum dalam darah dosis 0,5-0,9 mg/kgBB/ jam

ANTIKOLINERGIK • Ipratropium Bromida • Inhalasi. • Mekanisme kerja : memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napasmenurunkan tonus kolinergik bronkodilatasi, • Efek bronkodilatasi lebih lambat agonis beta-2 kerja singkat • Onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum, teapi durasi lebih lama (6 jam) • Tidak berpengaruh terhadap inflamasi. • Inhalasi antikolinergik + SABA sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja,

Lanj. ANTIKOLINERGIK • Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, • Alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek

samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. • Efek samping : berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.

ADRENALIN • Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan SABA. • Subkutan • Harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. • Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan

Sediaan dan Dosis obat Pengontrol Asma

Sediaan dan Dosis Obat Pelega dalam mengatasi Asma

Tidak direkomendasikan untuk tatalaksana serangan asma : • Sedatif (harus dihindari) • Mukolitik (memperburuk batuk) • Fisioterapi/terapi fisik yang melibatkan toraks (dapat memperburuk rasa tidak nyaman pasien) • Hidrasi dengan cairan jumlah besar untuk pasien dewasa atau anak berusia lebih tua (mungkin diperlukan untuk bayi atau anak berusia muda) • Antibiotik (tidak diberikan kecuali ada indikasi, misalnya pada pasien yang juga memiliki infeksi bakterial seperti pneumonia atau sinusitis) • Epinefrin atau adrenalin (dapat digunakan untuk tatalaksana anafilaksis atau angioedema, tapi tidak diindikasikan untuk serangan asma. GINA,2011

Asma pada Ibu Hamil • Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai saat kehamilan kecuali komponen α adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. • Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. • Bila terjadi serangan, harus segera ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta-2, oksigen dan kortikosteroid sistemik. • Pemilihan obat pada penderita hamil, dianjurkan : 1. Obat inhalasi 2. Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan terbukti aman.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik • Penyakit paru kronik progresif non reversibel • Gejala utama : - Sesak napas memberat saat aktivitas, - Batuk dan produksi sputum • Diagnosis : Gejala dan tanda + spirometri

PATOGENESIS

Tatalaksana Prinsip Terapi : • Mencegah evolusi lanjut penyakit • Mempertahankan jalan napas • Mempertahankan dan meningkatkan kapasitas fungsi paru • Penanganan Komplikasi • Menghindari eksaserbasi Farmakoterapi : • Bronkodilator • Obat simptomatik • Kortikosteroid

Gejala Eksaserbasi : • Sesak bertambah • Produksi sputum meningkat • Perubahan warna sputum Eksaserbasi Akut Ringan : • Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah cara pemberian bronkodilator (nebuliser), menambahkan mukolitik dan ekspektoran Prinsip Tatalaksana pada eksaserbasi: mengatasi segera gejala eksaserbasi dan cegah gagal napas

Bronkodilator • Βronkodilator yg digunakan : β agonis, antikolinergik dan metilsantin. • Pemilihan golongan bronkodilator melihat respon individu terhadap perbaikan gejala, efek samping dan ketersediaan obat. • Merupakan terapi sentral pada PPOK • Inhalasi lebih baik dibanding sistemik

Macam-Macam Cara Pemberian Obat Inhalasi • Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI) • IDT dengan alat Bantu (spacer)

• Dry powder inhaler (DPI) • Nebuliser

TERAPI INHALASI • Cara pemberian obat dalam bentuk aerosol langsung ke target organ saluran napas • Dosis 1 X semprot obat Inhalasi (metered aerosol), 40 X lebih kecil dari dosis obat oral yg dibutuhkan utk menghasilkan efek bronkodilatasi yg sama. • Lebih efektif  konsentrasi tinggi di jalan napas • Onset kerja cepat • Efek sistemik minimal • Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi karena tidak terabsorbsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin )

FARMAKOKINETIK OBAT INHALASI

TARGET KERJA INHALASI

Jenis- Jenis Alat Terapi Inhalasi 1. Nebuliser : - Jet Nebulizer - Ultrasound Nebulizer 2. Dry powder inhaler (DPI) 3. Metered dose inhaler (MDI)/ Inhalasi Dosis Terukur (IDT) - Tanpa Spacer - Dengan Spacer

Nebulizer Mengubah larutan ke bentuk aerosol melalui pressured air or ultrasonic wave

Jet nebulizer : aerosol dihasilkan dari aliran gas yang berasal dari kompresor Ultrasonic nebulizer : aerosol dihasilkan melalui vibrasi cairan yang dimasukan oleh gelombang ultrasound

NEBULIZER Ultrasound Nebulizer

Jet Nebulizer • Mampu membentuk aerosol semua bentuk cairan : - Solutio - Suspensi - Minyak • Aerosol dingin • Mudah dibawa dan diganti • Bising

ULTRASONIC NEBULIZER • Hanya menebulisasi larutan solusio • Tak mampu menebulisasi : - Suspensi - Cairan dengan viskositas > • Tidak Bising • Partikel aerosol lebih kecil

Perbandingan Nebulizer Parameters power source

Jet nebulizer electric / comp

Ultrasonic neb electric

how it works

high air flow

high freq vibrat’n

air flow

8L/mnt (+2)

-

sound

noisy

quiet

tool position

free

quite horizontal

<5 mL

>10mL

almost all

not steroid

price

cheap

expensive

maintenance

simple

complex

fill volume

nebulized drug

Interface

mouth piece

face mask

PILIHAN Interface

interface

< 3 years

3-6 years

> 6 years

mouth piece

-

+

+

face mask

+

+

-

Metered Dose Inhaler (MDI)/ Inhalasi Dosis Terukur (IDT) • Penggunaan alat yang benar akan memberikan dosis obat yang tepat ke jalan napas • Pentingnya teknik yang benar • Penggunaan spacer diperlukan untuk memperbaiki penghantaran obat ke paru • Deposisi di faring lebih besar • Praktis dan mudah dibawa

MDI with Spacer Spacer • mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, • mengurangi batuk akibat IDT dan • mengurangi kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid ; serta • mengurangi bioavailibiliti sistemik dan risiko efek samping sistemik Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dengan MDI dan spacer `memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian secara nebulisasi Pemberian melalui MDI dan spacer terbukti memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI.

MDI/IDT

Teknik Menggunakan Inhaler

MDI with spacer

MDI dengan SPACER

Dry powder inhaler (DPI) Alat untuk menginhalasi obat dalam bentuk dry powder • 1957: inhalasi dry powder antibiotic • 1970s: 1 DPI contains 1 dose (Spinhaler,Rotahaler) • 1980s: 1 DPI contains more doses (Diskhaler 8) • 1990-2000s: more doses in 1 DPI – Accuhaler – 60 doses – Turbuhaler – 120 doses – Easyhaler – 200 doses

DPI • Diskus, Turbuhaler, Handihaler, dan Swinghaler (Indonesia) • Sumber kekuatan inhaler berasal dari aliran Inhalasi pasien sehingga pasien harus dapat menarik napas dengan kuat • Tidak diperlukan koordinasi tangan dan tarikan napas • Praktis, tidak perlu spacer dan mudah dibawa • Deposisi orofaringeal lebih sedikit • Tidak cocok untuk anak dibawah 5 tahun

DRY POWDER INHALER (DPI)

CARA MENGGUNAKAN DISKUS

CARA MENGGUNAKAN TURBUHALER

Lung deposition of budesonide

MDI + SpacerMDI MDIMDI

MDI +MDI + DPI (Turbuhaler) spacer DPI (Turbuhaler)

TERIMA KASIH

Related Documents

Sistem Respirasi
June 2020 24
Sistem Respirasi
November 2019 35
Lidia
June 2020 14
Sistem Respirasi Aku.pptx
November 2019 27

More Documents from "muhammad alie muzakki"

May 2020 32
June 2020 23
Dj-c5 Transeiver
June 2020 19
An Electronics Test
June 2020 25