REFERAT PERDARAHAN POSTPARTUM
Pembimbing : dr. Erdiyan Astato, Sp.OG
Disusun oleh : Fanny Ristanti 1461050103
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI GINEKOLOGI PERIODE 1 OKTOBER – 8 DESEMBER 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat berjudul “Perdarahan Postpartum”. Penulis dapat menyelesaikan referat ini tidak lepas dari bimbingan, perhatian, dan doa. Untuk itu, dengan penuh hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Erdiyan Astato, Sp.OG yang telah meluangkan waktu untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, baik itu isi, bahasa, maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu penulis dengan lapang dada bersedia menerima segala kritik dan saran, guna menambah pengetahuan dan pemahaman penulis di masa yang akan datang. Akhir kata, kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Jakarta, 08 November 2018 Penulis,
Fanny Ristanti (1461050103)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I : PENDAHULUAN.....................................................................................1 1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2 Tujuan Penulisan ...........................................................................................3 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................4 2.1 Definisi Perdarahan Postpartum ...................................................................4 2.2 Klasifikasi Perdarahan Postpartum ..............................................................4 2.3 Etiologi Perdarahan Postpartum ...................................................................5 2.4 Patofisiologi Perdarahan Postpartum .........................................................16 2.5 Diagnosis Perdarahan Postpartum ..............................................................18 2.6 Pencegahan Perdarahan Postpartum ...........................................................21 2.7 Penanganan Perdarahan Postpartum ..........................................................26 BAB III : KESIMPULAN ...................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................38
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perdarahan postpartum merupakan perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.1 WHO melaporkan 60% mortalitas ibu di negara berkembang disebabkan oleh perdarahan postpartum, terhitung lebih dari 100.000 kematian per tahun.2 Pada persalinan di rumah sakit dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan postpartum dapat dicegah. Namun apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak darah, kematian tidak selalu dapat dihindarkan. Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan postpartum merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.3 Di Indonesia, dari lima juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.4,5 Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 2007 AKI sebesar 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini meningkat signifikan pada SDKI 2012, menjadi 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup, yang merupakan AKI tertinggi di Asia Tenggara.6–8 Padahal target Indonesia untuk AKI dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025 berkisar
74 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2025.9 Tingginya AKI di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan, dan infeksi.4,10,11 Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, penyebab terbesar kematian ibu selama tahun 20102013 masih tetap sama yaitu perdarahan. Pada tahun 2013, perdarahan bertanggung jawab atas 30,3% kematian ibu, hipertensi sebesar 27,1%, dan infeksi sebesar 7,3%.4,12
1
Berdasarkan Profil Kesehatan DKI Jakarta Tahun 2014, Angka Kematian Ibu dilaporkan sebesar 42 per 100.000 kelahiran hidup, dengan jumlah kematian ibu di Provinsi DKI Jakarta sebesar 88 orang, yang terdiri dari 14 kematian ibu di Jakarta Pusat, 17 kematian ibu di Jakarta Utara, 20 kematian ibu di Jakarta Barat, 9 kematian ibu di Jakarta Selatan, dan 28 kematian ibu di Jakarta Timur.13 Profil Kesehatan Sudinkes Jakarta Timur melaporkan jumlah kasus kematian ibu sebesar 28 orang ini sudah mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan jumlah kematian ibu pada tahun 2013 sebanyak 31 orang.14 Meskipun demikian, Jakarta Timur masih merupakan wilayah dengan jumlah kematian ibu terbanyak di Provinsi DKI Jakarta. Perdarahan yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal yang tepat waktu.4 Adapun tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian dan kesakitan ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai “3T” (terlambat). Yang pertama adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan, dan nifas, serta dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal. Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis dan sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai di tempat rujukan.4 Walaupun 88% ibu hamil diperiksa oleh bidan atau dokter minimal empat kali, seperti direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, masih terlalu banyak petugas kesehatan maupun ibu hamil yang kurang dapat mengidentifikasi tanda bahaya kehamilan, serta keputusan terlambat untuk mencari penolongan medis, sering menyebabkan ibu hamil dan ibu bersalin meninggal dunia karena pendarahan.10 Karena pentingnya perdarahan di bidang obstetri, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang perdarahan, khusunya dalam hal ini perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan.
2
1.2
Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan referat ini adalah: 1. Memahami mengenai perdarahan postpartum 2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran khususnya bagian Obstetri Ginekologi
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Perdarahan Postpartum Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan merupakan
perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.1 Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai kehilangan darah 500 ml atau lebih setelah melahirkan.1,15–18 Perdarahan terjadi setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir). Namun pengukuran darah yang keluar sukar untuk dilakukan secara tepat.19 Kehilangan darah seringkali diperhitungkan secara lebih rendah dengan perbedaan 30-50%. Kehilangan darah rata-rata setelah persalinan pervaginam adalah 500 mL, dengan 5% ibu mengalami kehilangan darah > 1000 mL. Kehilangan darah setelah bedah sesar rata-rata 1000 mL. Baru-baru ini, perdarahan postpartum telah didefinisikan sebagai 10% penurunan hematokrit sejak masuk atau perdarahan yang memerlukan transfusi darah. 10-15% (4% setelah persalinan per vaginam, 6-8% setelah persalinan dengan bedah sesar).20 Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan.1 Sebagai patokan, setelah persalinan selesai maka keadaan disebut “aman” bila kesadaran dan tanda vital ibu baik, kontraksi uterus baik, dan tidak ada perdarahan aktif atau merembes dari vagina.1,21
2.2
Klasifikasi Perdarahan Postpartum Perdarahan Postpartum yang dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi
pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi
4
lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi lahir.1 Adapun perdarahan postpartum dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:1,15,16,18–20 -
Perdarahan Postpartum Dini / Primer (Early Postpartum Hemorrhage) Perdarahan postpartum primer didefinsikan sebagai perdarahan postpartum yang terjadi ≤ 24 jam setelah kelahiran. Penyebab perdarahan postpartum primer mencakup atonia uterus, potongan plasenta yang tertinggal, laserasi saluran genital bawah, ruptur uterus, inversi uterus, plasentasi abnormal, koagulopati.20 Jika perdarahan < 500 cc, namun telah menyebabkan syok hipovolemia, tetap dikatakan perdarahan postpartum primer.21
-
Perdarahan Postpartum Lambat/ Sekunder (Perdarahan Masa Nifas) Perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah bayi lahir, tetapi < 6 minggu pascapersalinan. Perdarahan postpartum ini biasanya terjadi pada 6-10 hari setelah persalinan. Sebab yang tersering adalah sisa plasenta. Sebab lain yaitu infeksi (endometritis), koagulopati, subinvolusi lokasi insersi plasenta, terbukanya jahitan episiotomi atau terbukanya luka seksio sesarea.15,19,20 Gejalanya berupa perdarahan, dan perdarahan ini dapat berlangsung terus menerus atau berulang. Pada palpasi didapatkan fundus uteri masih dapat teraba lebih besari dari yang diperkirakan. Pada pemeriksaan dalam didapatkan uterus yang membesar, lunak, dan dari ostium uteri keluar darah.19 Perdarahan dikatakan massif jika darah yang hilang ≥1000, 1500, atau 2500 cc.21
2.3
Etiologi Perdarahan Postpartum Pada pelepasan plasenta selalu terjadi perdarahan karena sinus-sinus
maternalis di tempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluhpembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah.3 Perdarahan postpartum dapat terjadi karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah.
5
Risiko perdarahan meningkat pada ibu hamil yang mengalami anemia dan memiliki janin yang besar.11 Atonia uteri Atonia uteri adalah gagalnya uterus yang berkontraksi dengan baik setelah persalinan.11,22 Adapun atonia uteri didefinisikan sebagai keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.1,18,21 Atonia uteri ini merupakan sebab utama dari perdarahan postpartum.19 Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:1,19,20,22 1. umur yang terlalu muda/terlalu tua 2. Regangan rahim berlebihan atau overdistensi uterus karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar (makrosomia janin). 3. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep. 4. Paritas (multipara dan grandemultipara) 5. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun 6. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim 7. Infeksi intrauterin (korioamnionitis) 8. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya. 9. Faktor sosial ekonomi dan pemberian narkosis/pemakaian obat perelaksasi uterus. Kondisi ini dapat diketahui berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, seperti:11 1. Konsistensi uterus lunak atau cenderung melunak setelah masase fundus uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. 2. Terjadi perdarahan yang bersifat intermiten dan bergumpal. 3. Terjadi pengeluaran gumpalan darah dari vagina pada saat dilakukan masase pada fundus uterus bersamaan dengan timbulnya kontraksi uterus. Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
6
tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.1,21 Pencegahan dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III dan pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 μg) segera setelah bayi lahir.1,21 Melakukan manajemen aktif kala III secara rutin pada semua wanita yang dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.1 Namun, perlu diingat bahwa atonia juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.3 Robekan jalan lahir Robekan jalan lahir mencakup robekan pada serviks, vagina, atau perineum.19,20 Trauma persalinan adalah trauma yang terjadi di jalan lahir selama persalinan. Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan terjadinya robekan jalan lahir. Robekan jalan lahir biasanya terjadi akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap.1,21 Selain itu, bayi besar atau makrosomia janin, dan persalinan lama juga menjadi faktor risiko terjadinya robekan jalan lahir. Umumnya, robekan juga terjadi pada ibu yang baru melahirkan pertama kali, angka kejadian hingga 90%, dengan episiotomi 40-60%. Luka di perineum dapat menyebabkan nyeri, dyspareunia, hingga disfungsi psikoseksual.21 Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat, ruptura uteri.1 Kerusakan jalan lahir pada vulva dan vagina, robekan pada klitoris atau sekitarnya dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak. Kadang-kadang juga terjadi kolpaporrhesis ialah robeknya vagina bagian atas, sedemikian rupa sehingga serviks terpisah dari vagina. Kerusakan pada serviks dapat berupa robekan kecil-kecil yang selalu terjadi pada persalinan. Robekan biasanya terdapat pada pinggir samping serviks bahkan
7
terkadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang demikian dapat membuka pembuluh darah yang besar dan menimbulkan perdarahan yang hebat.23 Adapun trauma di perineum dibagi menjadi 4 derajat, yaitu:21 -
Derajat 1: di kulit perineum saja
-
Derajat 2: di perineum, otot perineum
-
Derajat 3a: hingga mengenai sfingter ani eksterna < 50%
-
Derajat 3b: hingga sfingter ani eksterna >50%
-
Derajat 3c: hingga sfingter ani interna dan hampir seluruh sfingter ani eksterna
-
Derajat 4: hingga mengenai mukosa rektum. Laserasi dapat menimbulkan perdarahan yang banyak bila tidak direparasi
dengan segera. Hematoma dapat terjadi pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada daerah jahitan perineum.19 Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini.1 Diagnosis harus dipertimbangkan ketika perdarahan pervaginam berlanjut meskipun tonus otot memadai.20 Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti dengan anestesi lokal (perineorafi).1,21 Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis.1 Terdapat beberapa usaha untuk mengurangi terjadinya risiko trauma perineal dengan derajat yang semakin besar, diantaranya:21
8
- Episiotomi Rekomendasi dari NICE berdasarkan bukti-bukti dengan evidence tinggi mengatakan bahwa episiotomi yang dilakukan secara rutin itu tidak terlalu menguntungkan untuk jangka pendek/panjang bagi ibu dibandingkan tidak melakukan
episiotomi.
Namun,
beberapa
sumber
menyatakan,
tidak
dilakukannya episiotomi (restricted episiotomy) juga dapat menyebabkan trauma vagina anterior dan trauma perineum yang berat (derajat 3-4).21 NICE memberikan pernyataan kembali, jika akhirnya dilakukan episiotomi, sebaiknya menggunakan teknik episiotomy mediolateral dari vaginal fourchette dan biasanya menuju ke sisi kanan. Sudut dari aksis vertikal diantara 45-60° ketika episiotomi dilakukan. Episiotomi midline dapat meningkatkan risiko trauma yang semakin meluas. Namun episiotomi mediolateral pun juga tidak menunjukkan penurunan insidensi robekan derajat 3.21 - Persalinan normal (tanpa alat bantu) Beberapa minggu sebelum melahirkan, melakukan pemijatan pada daerah perineum dapat melindungi dari trauma perineum pada nullipara.21 - Mode of delivery (metode persalinan) Persalinan sesar elektif serta berkurangnya persalinan pervaginam dengan bantuan alat dapat menurunkan insidensi trauma perineum. Persalinan secara spontan dikatakan lebih sedikit menyebabkan trauma sfingter ani dibandingkan forcep. Ketika akhirnya diputuskan melakukan persalinan pervaginam dengan bantuan alat, maka dianjurkan untuk melakukan episiotomi dahulu, terutama pada nullipara dan menggunakan forsep. Dibandingkan persalinan pervagiman dengan alat yang dikatakan meningkatkan risiko trauma, lebih dianjurkan untuk menunggu hingga kepala bayi turun (descent) saat kala II pasif kemudian dipertimbangkan untuk induksi (augmentation) dengan oksitosin pada ibu nullipara. Namun, hal ini masih dievaluasi antara risiko dan keuntungannya.21 - Analgesik epidural dan kala II laten Analgesik epidural dikatakan berkaitan dengan peningkatan risiko persalinan pervaginam menggunakan alat, hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya trauma perineum.21
9
Ruptur uterus Ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya renggang miometrium. Ruptura uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Insidensi 1 dari 2.000 kelahiran.18,20 Ruptura uteri termasuk salah satu diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok, dan perdarahan pervaginam.18 Penyebab tersering dari rupture uterus adalah pemisahan skar histerektomi dari operasi sesar sebelumnya. Faktor predisposisi lainnya adalah kuretase, perforasi, atau miomektomi. Selain itu, induksi dengan oksitosin untuk menstimulasi uterus yang berlebihan/tidak sesuai juga dapat menyebabkan rupture uterus. Ruptur uterus juga bisa disebabkan trauma (traumatic rupture), seperti trauma abdomen (blunt trauma), akibat forcep, janin besar karena hidrosefalus. Umumnya, trauma tumpul pada uterus jarang menyebabkan uterus rupture. Namun, pada perempuan hamil, trauma apapun yang mengenai abdomen, harus diwaspadai terjadinya rupture uterus.21 Obat-obat uterogenik lainnya, selain oksitosin pun dapat menyebabkan ruptur, misalnya seperti tablet vaginal prostaglandin E1 atau gel prostaglandin E2.21 Diagnosis ruptura uteri iminens (mengancam) mudah di kenal melalui tanda munculnya ring van Bandl yang semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah, takut, karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan di sertai tanda-tanda gawat janin. Untuk mendapatkan apakah rupture uteri itu komplit perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam. Pada rupture uteri komplit, jari-jari tangan pemeriksa dapat melakukan beberapa hal berikut: jari-jari tangan dapat meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin, dapat meraba pinggir robekan yang biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim, dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan, dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari tangan dalam sehingga ujung-ujung jari tangan luar saling mudah meraba ujung-ujung jari.18 Sebaiknya pasien dengan risiko tinggi dirujuk agar persalinannya berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan di awasi
10
dengan penuh dedikasi oleh petugas yang berpengalaman. Bila terlah terjadi rupture uteri, tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesulai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan anti syok, serta pemberian antibiotika spektrum luas dan sebagainya.18 Retensio plasenta Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta.1,3,21,22 Sebab-sebabnya meliputi plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.3 Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).3 Sementara plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.1,21 Adapun plasenta belum lepas dari dinding uterus dapat disebabkan karena:3 Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua sampai miometrium, sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta – perkreta). Terdapat beberapa jenis perlekatan plasenta:1,21 Plasenta akreta: implantasi menembus desidua basalis dan lapisan Nitabuch (Nitabuch layer). Plasenta inkreta: plasenta sampai menembus hingga miometrium. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus perimetrium Jika plasenta belum terlepas sama sekali, maka tidak akan terjadi perdarahan. Jika sebagian sudah terlepas, maka akan timbul perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.3,21 Pada pasien dengan kontraksi baik, robekan sudah dijahit, namun masih ada perdarahan, perlu dicurigai retensio atau sisa plasenta, harus segera dilakukan eksplorasi manual plasenta dengan digital/kuret dan pemberian uterotonika.21
11
Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan postpartum primer atau lebih sering sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan atau separasi plasenta akan ditanndai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.1 Sisa plasenta Perdarahan postpartum dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa plasenta atau selaput janin.19 Sisa plasenta tersebut diakibatkan oleh tertinggalnya kotiledon atau lobus sekenturiat (terlihat pada 3% plasenta). Pemeriksaan plasenta dapat mengidentifikasi kelainan yang menunjukkan kemungkinan adanya potongan yang tertinggal.20 Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka. Bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara manual atau dikuret, disusul dengan pemberian obat-obatan oksitosika intravena.19 Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual atau digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai dengan keperluannya.1 Jika ditemukan adanya kotiledon tidak lengkap dan masih adanya perdarahan pervaginam, padahal plasenta telah lahir. Penanganan yang dilakukan sama dengan penanganan retensio plasenta.22
12
Inversio uteri Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri sternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.1,21 Singkatnya, keadaan ketika fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya ke dalam kavum uteri disebut inversio uteri.22 Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.3 Insidensi 1 dari 2500 kelahiran. Gejala mencakup nyeri perut akut dan syok (30%), serta uterus mungkin terlihat menonjol melalui vulva.20 Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kiri ke dalam terowongan inversio dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat pada peritoneum parietal. Kecuali jika plasenta yang seringkali belum lepas dari uterus masih melekat seluruhnya pada dinding uterus, terjadi juga perdarahan.3 Kejadian inversio uteri sering disertai dengan adanya syok. Perdarahan merupakan faktor syok, tetapi tanpa perdarahan syok tetap dapat terjadi karena tarikan kuat pada peritoneum, kedua ligamentum infundibulopelvikum, serta ligament rotundum. Syok dalam hal ini lebih banyak bersifat
neurogenik.
Pada
kasus
ini
tindakan
operasi
biasanya
lebih
dipertimbangkan, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan reposisi uteri terlebih dahulu.22 Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah, atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).1,21
13
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri, kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri atau yang merupakan permulaan inversio uteri.3 Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya.19,22 Menurut perkembangannya inversio uteri dapat dibagi dalam beberapa tingkat.3,22 - Inversio uteri ringan: Fundus terbalik menonjol dalam kavum uteri, namun belum keluar dari ruangan rongga rahim. - Inversio uteri sedang: Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina. - Inversio uteri berat: uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina. Adapun inversio uteri dapat dibagi menjadi inversio komplit dan inkomplit; inversi akut dan kronis. Pada inversio inkomplit, fundus uteri tidak sampai keluar dari serviks, sedang pada inversio komplit seluruh uterus keluar dari serviks. Inversio uteri biasanya terjadi dengan cepat disertai perdarahan dan syok. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan banyaknya darah yang hilang. Banyaknya perdahan tergantung pada kemampuan uterus yang mengalami inversi untuk mengadakan kontraksi dan jenis inversinya. Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri perlu dilakukan palpasi abdomen dan pemeriksaan dalam. Palpasi abdomen pada inversio inkomplit didapatkan cekungan berbentuk seperti kawah pada fundus uteri, sedang pada inversi komplit fundus uteri tidak dapat diraba. Pemeriksaaan dalam pada inversi inkomplit teraba fundus uteri di kanalis servikalis dan pada inversi komplit fundus uteri teraba di vagina atau bahkan sudah keluar dari vagina. Prinsip perawatan inversio uteri adalah mengatasi syok. Segera setelah syok dapat diatasi, dilakukan reposisi secara manual, dan apabila reposisi berhasil diberikan uterotonika.19 Diagnosis tidak sukar dibuat jika diingat kemungkinan inversio uteri. Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat
14
menunjukkan tumor yang lunak di atas serviks uteri atau dalam vagina, sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedangkan konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan. Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa banyak gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi cepat memberikan harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.3 Koagulopati. Sering kali perdarahan postpartum yang persisten adalah akibat dari gangguan pembekuan darah.19 Koagulopati kongenital menjadi komplikasi pada 12 per 10.000 kehamilan.20 Kausal perdarahan postpartum karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.1 Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial thromboplastin time).1 Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan hemarinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).1 Diagnosis paling sering adalah penyakit von Willebrand dan ITP. Penyebab yang didapat mencakup terapi antikoagulan dan koagulopati konsumtif yang
15
disebabkan oleh komplikasi obstetrik (seperti pre-eklamsia, sepsis, abrutio, embolisme cairan amnion).20 Biasanya untuk mengetahui adanya gangguan ini dilakukan Clott observation test. Cara melakukan Clott observation test adalah sebagai berikut: 5 cc darah dimasukkan dalam tabung gelas, kemudian diobservasi dan dicatat kapan terjadi pembekuan darah. Setelah terjadi pembekuan masih dilakukan observasi untuk melihat apakah masih terjadi lisis bekuan darah tersebut. Perdarahan akibat gangguan pembekuan darah ini umumnya dapat diatasi dengan pemberian darah segar. Dalam keadaan ini setiap tindakan akan menambah perdarahan.19
2.4
Patofisiologi Perdarahan Postpartum Perdarahan pada umumnya menunjukkan ekstravasasi darah akibat
robeknya pembuluh darah.24 Terhentinya aliran darah dari pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, yang disebut hemostasis, mempunyai arti yang penting dalam ilmu kedokteran umumnya dan cabang-cabang ilmu kedokteran khususnya yang banyak menghadapi penderita-penderita dengan perdarahan, termasuk operasi. Dalam proses hemostasis 3 faktor memegang peranan, yakni:3 - faktor ekstravaskuler, seperti kulit, jaringan dibawah kulit, dan jaringan otot; - faktor vaskuler, yakni dinding pembuluh darah; dan - faktor intravaskuler yang terdapat di dalam pembuluh darah dan yang dapat menyebabkan pembekuan, seperti trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah lainnya. Tidak lama setelah pembuluh darah kecil-kecil (arteriole, venule, dan kapiler) terbuka, pembuluh darah itu dengan sendirinya menyempit. Trombosittrombosit melekat serta berkumpul di ujung-ujung yang terbuka itu, yang kemudian rusak dan membentuk gumpalan-gumpalan trombosit. Biasanya hemostatis primer ini sudah cukup untuk menghentikan aliran darah.3 Akan tetapi, pada perlukaan yang lebih besar yang disertai terbukanya pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar pula, masih diperlukan pembentukan fibrin di ujung-ujung pembuluh darah yang terbuka itu untuk mencapai dan menjamin hemostasis (sekunder). Selain itu, dengan berkontraksinya otot-otot di 16
sekitar luka dan merapatnya jaringan di bawah kulit, maka ujung-ujung pembuluh darah terjepit dari luar. Apabila semuanya itu tidak mampu menghentikan perdarahan, diperlukan penjahitan jaringan untuk hemostasis.3 Pada setiap persalinan terjadi perdarahan dinding uterus pada tempat plasenta yang sudah lepas. Hemostasis dicapai berkat ketiga mekanismus tersebut di atas dengan peranan otot uterus yang paling penting. Pembuluh-pembuluh darah di dalam dinding uterus yang menghubungkan uterus dengan plasenta lepas dan pembuluh darah itu terbuka, maka dengan berkontraksinya uterus ujung-ujung pembuluh darah yang terbuka itu terjepit dari luar. Selain itu, seperti telah disebutkan di atas, pembuluh darah sendiri menyempit, dan terbentuk gumpalangumpalan trombosit dan fibrin.3 Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh kelainan proses pembekuan darah akibat hipofibrinogenemia (solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya, apabila sebagian besar plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan dalam masa nifas. Sebab terpenting perdarahan postpartum ialah atonia uteri. Ini dapat terjadi sebagai akibat: partus lama; pembesaran uterus yang belebihan pada waktu hamil; seperti pada kehamilan kembar, hidramnion, atau janin besar; multiparitas; anestesi yang dalam; anestesi lumbal.3 Sebab tersering perdarahan postpartum ialah atonia uteri, yang disusul oleh luka jalan lahir dan tertinggalnya sebagian plasenta. Gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan perdarahan postpartum. Dalam hal ini yang menyebabkannya biasanya defisiensi faktor pembekuan dan/atau penghancuran fibrin yang berlebihan.3 Hal ini disebabkan oleh kontraksi sel miometrium berperan mempersempit arteri penetrans dan mengurangi perdarahan, sehingga hemostasis uterus
terutama
bergantung
pada
kontraksi
miometrium
dan
produksi
prostaglandin, dan kurang bergantung pada kaskade koagulasi.20 Sifat perdarahan pada perdarahan postpartum bisa banyak, bergumpalgumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa
17
henti. Pada awalnya wanita hamil yang normotensi akan menunjukkan kenaikan tekanan darah sebagai respons terhadap kehilangan darah yang terjadi dan pada wanita hamil dengan hipertensi bisa ditemukan normotensi setelah perdarahan. Pada wanita hamil dengan eklampsia akan sangat peka terhadap perdarahan postpartum, karena sebelumnya telah terjadi defisit cairan intravaskular dan ada penumpukan cairan ekstravaskular, sehingga perdarahan yang sedikit saja akan cepat mempengaruhi hemodinamika ibu dan perlu penanganan segera sebelum terjadinya tanda-tanda syok.1
2.5
Diagnosis Perdarahan Postpartum Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik; gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan postpartum dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan, setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan postpartum dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi; sedang pada perdarahan karena perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjur tentang adanya dan di mana letaknya perlukaan dalam jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan postpartum dapat dicegah. Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak darah. Karena persalinan di Indonesia sebagian
18
besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan postpartum merupakan sebab utama (terpenting) kematian dalam persalinan.3 Di samping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejalagejalanya ialah astenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolism dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.3 Sindrom Sheehan adalah nekrosis kelenjar hipofise akibat perdarahan postpartum. Selama kehamilan, kelenjar hipofise akan membesar dan keadaan hipovolemia atau perdarahan obstetrik yang massif secara tiba-tiba dapat menyebabkan hipoksia sehingga terjadi nekrosis hipofise. Hipofise anterior lebih sering terkena pada sindrom ini dibandingkan hipofise posterior. Gangguan laktasi atau kegagalan untuk melakukan laktasi (karena kekurangan prolactin) merupakan gambaran klinis yang paling sering ditemukan. Gambaran lainnya meliputi oligomenore atau amenore. Jika diagnosisnya terlewatkan pada stadium yang dini, maka sindrom Sheehan dapat ditemukan
dengan
gambaran
panhipopituirarisme
seperti
hipotiroidisme,
insufisiensi sekunder adrenal atau krisis adrenal.25 Tahapan diagnosis perdarahan postpartum meliputi:19 1. Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. Perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada. 2. Perdarahan yang terjadi di sini dapat deras atau merembes saja. Perdarahan yang deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani, sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang Nampak sering sekali tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Perdarhan yang bersifat merembes
19
ini bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat. 3. Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan dari tingginya fundus uteri setelah uri keluar. 4. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan yang lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam. 5. Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir, uterus berkontraksi dengan baik, sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta. Adapun Kriteria diagnosis perdarahan postpartum dini meliputi:15 - Perdarahan banyak yang terus-menerus setelah bayi lahir - Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, serta ekstremitas yang dingin, tampak darah keluar dari kemaluan terusmenerus. - Pemeriksaan obstetri, mungkin kontraksi uterus lembek, uterus membesarm bila ada atonia Rahim. Bila kontraksi baik, mungkin ada luka jalan lahir. - Pemeriksaan dalam, dilakukan bila keadaan telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir, sisa plasenta (inspekulo) - Adanya riwayat penggunaan anestesi umum, partus lama, partus presipitatis, uterus yang terlalu tegang (hidramnion), solutio plasenta, plasenta previa, riwayat perdarahan post partum sebelumnya. - Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan Hb, Hematokrit, pembekuan darah (masa perdarahan dan masa pembekuan darah) Sementara kriteria diagnosis perdarahan pada masa nifas meliputi: 15 - Perdarahan berulang dan tetap
20
- Pemeriksaan fisik: kadang-kadang penderita febris, nadi naik dan syok - Pemeriksaan obstetri: fundus uteri masih tinggi dan kontraksi tidak baik. - Pemeriksaan ginekologi: uterus masih besar, lembek dan nyeri tekan kalau ada infeksi, tampak perdarahan pervaginam. Mungkin teraba ada sisa plasenta dalam kavum uteri. - Pemeriksaan penunjang: Hb, hematokrit, Leukosit, Ureum. USG untuk melihat sisa plasenta.
2.6
Pencegahan Perdarahan Postpartum Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca persalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:1 1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal. 2. Mengenal faktor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan postpartum sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan. 3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama. 4. Kehamilan risko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan. 5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun. 6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan postpartum dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
21
Terapi terbaik ialah pencegahan. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit.3 Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara lege artis.19 WHO menganjurkan pelaksanaan manajemen aktif kala III persalinan melalui pemberian obat-obatan uterotonika untuk mencegah perdarahan postpartum. Keuntungan pemberian obatobatan oksitosika dalam manajemen aktif kala III persalinan telah dibuktikan melalui uji coba klinis. Lebih lanjut, tindakan manajemen aktif kala III persalinan lebih efektif dalam pelepasan plasenta jika dikombinasikan dengan traksi tali pusat terkendali. Bukti ilmiah terkait manajemen aktif kala III persalinan, seperti pemberian obat-obatan uterotonika, traksi tali pusat terkendali, stimulasi kontraksi uterus, dan masase, menunjukkan bahwa tindakan tersebut dapat menurunkan angka kejadian perdarahan postpartum hingga 60%.11 Perdarahan postpartum dapat dicegah jika penolong persalinan juga melakukan tindakan yang tepat.11 Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemeli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, dua hal harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika plasenta belum lahir, segera lakukan tindakan untuk mengeluarkannya. Setelah plasenta lahir, perlu ditentukan apakah di sini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan atonik dengan segera dilakukan massage uterus dan suntikan 0,2 mg ergometrin intravena.3 Suntikan
22
ergometrin secara intravena setelah anak lahir bertujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi.19 Jika tindakan ini tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu yang singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada uterus. Tangan kiri penolong dimasukkkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dnegan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan; tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.3 Kompresi bimanual melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas memberi hasil, perlu diganti dengan perasat yang lain. Perasat Dickinson mulai diselenggarkan pada seorang multipara dengan dinding perut yang sudah lembek. Tangan kanan diletakkan melintang pada bagian-bagian uterus, dengan jari kelingking sedikit di atas simfisis melingkari bagian tersebut sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri memegang korpus uteri dan sambil melakukan massage, menekannya ke bawah ke arah tangan kanan ke belakang ke arah promontrorium. Akhirnya masih dapat dilakukan tamponade uterovaginal. Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya dengan usaha-usaha tersebut di atas perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan dalam uterus di belakang tampon. Dengan seorang pembantu memegang dan menahan fundus uteri, tangan kiri penolong diletakkan di vagina dengan ujung-ujung jari untuk sebagian masuk ke serviks uteri. Tangan kanan dengan petunjuk tangan kiri memasukkan tampon kasa panjang ke dalam uterus sampai kavum uteri terisi penuh. Utnuk menjamin bahwa tampon benar-benar mengisi kavum uteri dengan padat, kadang-kadang usaha memasukkan tampon dihentikan sebentar untuk memberi kesempatan kepada tangan dalam uterus untuk menekan tampon pada dinding kavum uteri. Dengan mengisi kavum uteri secara padat, dapat dihindarkan terjadinya perdarahan di belakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan
23
tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi. Sesudah uterus diisi, tampon dimasukkan juga ke dalam vagina. Tampon diangkat 24 jam kemudian.3 Pada perdarahan di atas masih ada kemungkinan untuk dengan laparotomi melakukan ikatan arteria hipogastika kanan dan kiri atau histerektomi. Sebab-sebab hipofibrinogenemia sudah dikemukakan di atas, berhubung dengan itu perlu dipikirkan perdarahan yang disebabkan oleh gangguan pembekuan, jika terdapat solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus dan emboli air ketuban. Terapi yang terbaik terhadap perdarahan disebabkan oleh hipofibrinogenemi ialah transfusi darah segar, ditambah dengan pemberian fibrinogen jikalau ada persediaan.3 Adapun hal-hal yang harus diperhatikan terkait pencegahan perdarahan postpartum, antara lain: 11 1.
Manajemen aktif kala III persalinan menurunkan risiko perdarahan postpartum dan harus ditawarkan dan direkomendasikan untuk semua ibu.
2.
Oksitosin 10 IU yang diberikan melalui intramuskular merupakan medikasi dan rute pemberian pilihan untuk pencegahan pendarahan postpartum. Tenaga kesehatan harus melakukan penatalaksanaan obat ini.
3.
Pemberian infusi oksitosin 20 hingga 40 IU dalam 1.000 mL cairan (150 mL per jam) merupakan alternatif yang dapat diterima untuk manajemen aktif kala III persalinan.
4.
Pemberian bolus oksitosin 5 hingga 10 IU melalui IV selama 1 hingga 2 menit dapat dilakukan untuk mencegah perdarahan postpartum setelah pelahiran spontan, tetapi saat ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan pada pelahiran seksio sesaria elektif
5.
Ergonovin dapat digunakan untuk mencegah perdarahan postpartum, tetapi obat ini biasanya diberikan setelah oksitosin. Ergonovin dianggap sebagai obat pilihan kedua setelah oksitosin karena memiliki risiko dan efek samping yang lebih besar pada ibu dibandingkan dengan oksitosin. Kontraindikasi pemberian ergonovin adalah ibu yang mengalami hipertensi.
24
6.
Bolus carbetocin dapat diberikan melalui IV selama lebih dari 1 menit. Obat ini digunakan sebagai pengganti infusi oksitosin pada pelahiran seksio sesaria elektif untuk mencegah perdarahan postpartum dan mengurangi kebutuhan pemberian obat-obatan uterotonika terapeutik.
7.
Pada ibu yang melahirkan spontan dan memiliki satu faktor risiko perdarahan postpartum, carbetocin yang diberikan melalui IM dapat mengurangi kebutuhan untuk masase uterus guna mencegah perdarahan postpartum dibandingkan dengan pemberian infusi oksitosin secara kontinu.
8.
Ergonovin 0,2 mg yang diberikan melalui Im dan 600-800 mcg misoprostol yang diberikan melalui oral, sublingual, atau anal akan ditawarkan sebagai alternatif pencegahan perdarhan postpartum dalam pelahiran sointan jika oksitosin tidak tersedia.
9.
Jika memungkinkan, penundaan penjepitan tali pusat selama minimal 60 detik dilakukan pada bayi baru lahir premature (usia gestasi < 37 minggu) untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah.
10. Pada
bayi
cukup
bulan,
penundaan
penjepitan
tali
pusat
harus
mempertimbangkan peningkatan risiko ikterus yang membutuhkan fototerapi. 11. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dalam pelahiran dengan penyulit tanpa perdarahan, intervensi yang dilakukan untuk mempercepat pelahiran plasenta, biasanya sebelum 30 hingga 45 menit, akan mengurangi risiko perdarahan postpartum. 12. Drainase plasenta tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin karena bukti yang menunjukkan bahwa tindakan ini dapat mengurangi durasi kala III persalinan terbatas pada ibu yang tidak mendapat oksitosin sebagai bagian dari manajemen kala III. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa intervensi ini dapat mencegah perdarahan postpartum. 13. Pemberian suntikan misoprostol 800 mcg atau oksitosin 10 hingga 30 IU melalui intraumbilikan dapat dianggap sebagai intervensi alternatif sebelum melakukan pengeluaran plasenta secara manual. 14. Untuk
memperkirakan
kehilangan
darah,
tenaga
kesehatan
harus
memerhatikan tanda dan gejala bukan perkiraan visual.
25
15. Manajemen perdarahan postpartum yang kontinu membutuhkan pendekatan multidisiplin yang meliputi mempertahankan stabilitas hemodinamik sementara secara bersamaan mengidentifikasi dan menangani penyebab kehilangan darah. 16. Semua unit obstetric harus memiliki peralatan darurat untuk penanganan perdarhan postpartum yang diperiksa secara teratur. 17. Pemberian recombinant activated factor VIII (rFVIIa) tidak direkomendasikan sebagai bagian dari praktik rutin penanganan perdarahan postpartum. 18. Tamponade uterus dapat menjadi intervensi yang efisien dan efektif untuk mengontrol sementara perdarahan postpartum aktif akibat atonia uterus yang tidak responsif terhadap pengobatan. 19. Teknik bedah, seperti ligase arteri iliaka internal, jahitan kompresi, dan histerektomi harus dilakukan untuk menangani perdarahan postpartum yang responsif terhadap terapi medis.
2.7
Penanganan Perdarahan Postpartum Perdarahan postpartum adalah komplikasi persalinan yang berbahaya dan
harus ditangani dengan rencana yang terperinci dan jelas.11 Tindakan pada perdarahan postpartum mempunyai dua tujuan, yaitu mengganti darah yang hilang dan menghentikan perdarahan. Pada umumnya kedua tindakan dilakukan bersamasama, tetapi apabila keadaan tidak mengijinkan maka penggantian darah yang hilang dapat diutamakan.19 Penatalaksanaan perdarahan postpartum memerhatikan kondisi plasenta, apakah plasenta sudah lahir atau belum. Penatalaksanaan perdarahan postpartum jika plasenta belum lahir, antara lain:11 1. Jika manajemen kala III menggunakan metode aktif, segera berikan infuse 500 mL cairan RL yang ditambahkan 5 IU oksitosin agar uterus berkontraksi dengan baik. Jika uterus sudah berkontraksi, lakukan upaya lain untuk melahirkan plasenta.
26
2. Jika manajemen kala III menggunakan metode pasif, segera berikan infuse 500 ml cairan RL yang ditambahkan 5 IU oksitosin. Selanjutnya, bantuk pelahiran palsenta dengan traksi tali pusat terkendali (metode aktif). 3. Jika upaya pelahiran plasenta masih gagal, diagnosis retensi plasenta ditegakkan. Pengeluaran plasenta secara manual dilakukan. Penatalaksanaan perdarahan postpartum jika plasenta sudah lahir, antara lain: 11 1. Masase fundus uterus untuk merangsang kontraksi uterus agar perdarahan segera berhenti. 2. Segera pasang slang IV dan berikan infusi 500 mL cairan RL yang ditambahkan 5 IU oksitosin. Sekali lagi, pastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik melalui tindakan masase fundus uterus. Masase fundus uterus harus dilakukan tanpa memerhatikan penyebab perdarahan postpartum. 3. Kosongkan kandung kemih. Kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontraksi uterus sehingga perdarahan akan tetap terjadi. 4. Tegakkan diagnosis perdarahan postpartum. Dua penyebab utama perdarahan postpartum yang harus dibedakan adalah perdarahan postpartum akibat atonia uterus dan perdarahan postpartum akibat robekan jalan lahir. Segera setelah diketahui perdarahan pascapersalinan, tentukan ada syok atau tidak, dan bila ada segera berikan transfusi cairan/darah, kontrol perdarahan dan berikan O2. Bila keadaan umum telah optimal, segera lakukan pemeriksaan untuk mencari etiologi.15 Etiologi akan menentukan tatalaksana selanjutnya.20 Atonia uterus Tujuan pengobatan adalah untuk menimbulkan kontraksi uterus.19 Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemia, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.1 Tindakan yang harus dilakukan jika terjadi perdarahan postpartum akibat atonia uterus adalah:11
27
1. Lakukan masase fundus uterus, kosongkan kandung kemih, kemudian berikan methergin jika tidak ada kontraindikasi dan infusi oksitosin 5 IU dalam 500 mL cairan RL. 2. Jika tidak terdapat kontraksi uterus, periksa kelengkapan plasenta. Pastikan tidak ada bagian plasenta yang tertinggal di dalam uterus. 3. Jika plasenta tidak lengkap, siapkan tindakan kuretase. 4. Jika plasenta lengkap, tetapi kontraksi uterus buruk: a. Lanjutkan pemberian infusi oksitosin b. Ambil sampel darah untuk persiapan transfusi darah. c. Lakukan masase kompresi uterus bimanual. Tindakan ini dilakukan untuk memasukkan tangan kanan yang terkepal ke dalam vagina untuk mendorong korpus uterus sementara tangan kiri menekan fundus dari atas melalui dinding abdomen. Upayakan agar uterus berkontraksi dengan baik. d. Posisikan ibu dalam posisi datar atau semi-Trendelenburg. Pasang sungkup oksigen. e. Berikan 2-4 tablet cytotec melalui rektal. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:1 -
Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
-
Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara: o Masase fundus uteri dan merangsang putting susu o Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m., i.v., atau s.c. o Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan takikardia. o Pemberian misoprostol 800-1000 μg per-rektal. o Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal o Kompresi aorta abdominalis
28
o Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam cavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif. o Catatan: tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan. o Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomy dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa:
Ligasi arteria uterina atau arteria ovarika
Operasi ransel B Lynch
Histerektomi supravaginal
Histerektomi total abdominal
Bila dengan masase uterus perdarahan masih berlangsung terus, dapat dilakukan kompresi bimanual uterus. Sebelumnya kandung kemih harus dikosongkan.15,19 Ada dua cara melakukan kompresi bimanual uterus.19 1.
Seluruh tangan dimasukkan dalam vagina dan digenggamkan, uterus ditekan antara tangan yang berada di vagina dan tangan yang di luar.
2.
Seluruh tangan dimasukkan dalam vagina dan memegang serviks, sedangkan tangan yang lain memegang fundus uteri, kemudian fundus uteri didekatkan pada serviks uteri. Tindakan ini biasanya tidak dapat dilangsungkan terlalu lama, karena tindakan ini sangat melelahkan penolong.
Terapi uterotonik medis sebagai berikut:20 (i)
Infus oksitosin secara cepat (1-40 unit dalam 1 L atau mungkin diberikan secara intramuskular atau intramiometrial). Catatan: Oksitosin bolus IV dapat menyebabkan hipotensi.
(ii) Metilergonovin 0,2 mg IM per 2 jam maksimum 3 dosis (hindari pemakaian untuk penderita hipertensi) (iii) 15-metil-prostaglandin F2α (Hemabate) 0,25 mg IM atau intramiometrial per 15-20 menit dengan maksimum 8 dosis (hindari pemakaian untuk penderita asma),
29
(iv) Dinoproston (PGE2) 20 mg atau misoprostol (PGE1) 1000 mg per rektum. Jika tidak ada respons terhadap tatalaksana di atas maka pertimbangkan:19,20 (i)
Uterine packing (jarang digunakan) Pemasangan tampon uterovagina.15,19 Vagina dibuka dengan spekulum, dinding depan dan belakang serviks dipegang dengan ring tang, kemudian tampon dimasukkan dengan menggunakan tampon tang melalui serviks sampai ke fundus uteri. Tampon tang ditarik beberapa cm, kemudian memegang lagi tampon dan didorong ke fundus uteri. Hal ini diulangi berkalikali sampai seluruh rongga uterus dipenuhi oleh tampon. Sedangkan tangan asisten berada di fundus uteri.19 Bila perdarahan berhenti, tampon dapat dipertahankan 24-48 jam dan oksitosin diteruskan.15 Namun apabila perdarahan masih terjadi setelah pemasangan tampon ini, pemasangan tampon tidak boleh diulangi.19
(ii) Angiografi dan embolisasi 20 (iii) Laparotomi eksploratif dengan pilihan pembedahan termasuk pengikatan pembuluh
uterus/utero-ovarium/infundibulopelvis,
pengikatan
arteri
hipogastrika, histerektomi.15,19,20 -
Pengikatan arteri hipogastrika (iliaka interna) selalu dilakukan secara bilateral, menurunkan tekanan perfusi uterus sebanyak 50%.20 Langkah yang dilakukan pada ligasi/pengikatan arteri hipogastrika yaitu:19 1. Irisan pada kulit dilakukan pada garis tengah antar pusat dan simfisis. Untuk mencapai pembuluh darah yang akan diikat dilakukan irisan pada parametrium (bilamana perlu ligamentum rotundum dipotong sedistal mungkin); kemudian paramerium dibuka secara tajam dan tumpul hingga bifurcation arteria iliaca communis tampak. 2. Ureter dengan mudah dapat ditarik ke medial dan biasanya melekat pada sisi medial parametrium. Dengan cara ini mobilisasi sigmoid ke arah medial juga dipermudah bilamana hendak mengadakan pengikatan arteria hipogastrika yang kiri. Jaringan ikat kendor yang menutupi arteria hipogastrika diangkat dengan menggunakan gunting dan kemudian arteria hipogastrika diangkat dengan pertolongan jarum
30
Deschamps. Pengikatan arteria hipohastrika dilakukan pada dua tempat dengan jarak kurang lebih 1 cm dengan menggunakan catgut khromik nomor 2. Di sini harus dijaga jangan sampai terjadi perlakuan vena hipogastrika yang letaknya postero-medial dari arteri tersebut. Ligamentum rotundum bila dipotong kemudian dapat dijahit kembali dan peritoneum pada akhir operasi ditutup. 3. Apabila hal tersebut diatas terjadi dan tidak ada fasilitas untuk melakukan laparotomi, maka dapat dilakukan tindakan sementara yaitu penjepitan parametrium menurut Henkel. Langkah penjepitan parametrium tersebut yaitu: Vagina dibuka dengan dua spekulum, kemudian bibir depan dan belakang serviks dipegang dengan ring tang dan sebelum itu telah disiapkan klem Kelly yang panjang lurus atau pun bengkok sebanyak dua buah. Kemudian serviks dengan perantaraan dua ring tang ditarik sejauh mungkin ke kiri dan dengan klem Kelly forniks lateralis kanan dijepit. Setelah itu serviks ditarik ke kanan dan dengan klem Kelly hal yang sama dikerjakan pada forniks lateralis yang kiri. Klem tersebut dibiarkan selama 12-24 jam. Bahaya tindakan ini ialah ikut terjepitnya ureter dan kemungkinan terjadi fistula uretero-vaginalis. -
Histerektomi (pengangkatan uterus), biasanya untuk atomia uterus, akreta, ruptur.
-
Pengikatan arteri uterine (Jahitan O’ Leary), dilakukan secara bilateral, tidak mengikat cabang serviks desendens arteri uterina.
Retensio plasenta Retensi plasenta adalah kondisi ketika plasenta tidak lahir selama lebih dari 30 menit setelah bayi lahir kendati manajemen aktif kala III persalinan sudah dilakukan. Retensi plasenta dapat disebabkan oleh pelahiran premature dan plasenta akreta. Penanganan yang salah dapat menyebabkan komplikasi, seperti perdarahan, infeksi, atau trauma sistem genitalia.11 Tindakan yang harus dilakukan oleh penolong persalinan jika terjadi retensi plasenta antara lain:11
31
1. Lanjutkan pemberian 500 mL carian RL yang ditambahkan 5 IU oksitosin. Pastikan terjadi kontraksi uterus agar tidak terjadi perdarahan postpartum. 2. Berikan anestesi. 3. Lakukan pengeluaran plasenta secara manual di rumah sakit. 4. Identifikasi bagian plasenta yang sudah terlepas. Lahirkan plasenta jika terdapat bagian plasenta yang sudah terlepas. Pertimbangkan pemeriksaan USG jika tindakan tersebut sulit dilakukan. 5. Palpasi dan masase fundus uterus. 6. Berikan 10 atau 20 IU oksitosin melalui IV dalam cairan salin normal. 7. Berikan 20 mg PGF2α yang dilarutkan dalam 20 mL salin normal. Pemberian PGF2α lebih efektif dalam mencegah pengeluaran plasenta secara manual dibandingkan dengan pemberian oksitosin. Tidak terdapat perbedaan terkait kehilangan darah, demam, dan nyeri abdomen antara kedua preparat tersebut dalam kasus kecil. 8. Berikan 250 μg PGE2 melalui IV setelah 30 menit. 9. Tidak terdapat data yang memadai untuk mendukung atau menolak pemberian antibiotik profilaksis. Untuk mengeluarkan plasenta yang belum lahir setengah jam setelah anak lahir, dapat dicoba dahulu perasat menurut Crede. Tindakan ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversio uteri; tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok. Akan tetapi, dengan teknik yang sempurna halhal itu dapat dihindarkan. Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut di atas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak di permukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan tekanan ke arah atas belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas, maka tali pusat tidak tertarik ke atas, Kemudian tekanan di atas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat
32
dicegah ialah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran palsenta dnegan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik ke atas, tangan kanan dimasukkan ke dalam kavum uteri. Dengan mengikuti tali pusat, tangan itu sampai pada plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian jari-jari tangan itu dimasukkan antara pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan.3 Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta perforasi mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual dihentikan, lalu dilakukan histerektomi.3 Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran konstriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan ke bagian bawah uterus dengan dibantu oleh anesthesia umum untuk melonggarkan konstriksi. Dengan tangan tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempai sempit itu.3 Robekan jalan lahir Perdarahan postpartum yang terjadi akibat robekan jalan lahir dapat diketahui dari tanda klinis, seperti kontraksi uterus baik, tetapi perdarahan berwarna merah segar yang mengalir tetap terjadi. Robekan jalan lahir dapat terjad pada serviks, vagina, atau perineum. Ibu yang berisiko tinggi mengalami robekan serviks selama persalinan adalah ibu yang mengejan pada saat dilatasi serviks belum lengkap, ibu yang menjalani persalinan operatif per vagina, dan ibu yang menjalani pelahiran presipitatus.11 Penatalaksanaan perdarahan postpartum akibat robekan jalan lahir, antara lain:11 1.
Posisikan ibu dalam posisi litotomi.
33
2.
Lakukan pemeriksaan perineum untuk mengidentifikasi lokasi robekan dan sumber perdarahan. Perbaiki semua robekan yang ada, terutama yang menyebabkan perdarahan.
3.
Lakukan pemeriksaan vagina dengan membuka vagina menggunakan kedua ujung telunjuk. Lakukan penjahitan jika terdapat robekan vagina.
4.
Jika tidak ditemukan robekan perineum dan vagina, periksa adanya kemungkinan ruptur uterus.
Penatalaksanaan perdarahan postpartum akibat episiotomi, antara lain:11 1.
Perbaiki luka episiotomi dengan melakukan penjahitan yang baik.
2.
Jika perdarahan masih berlanjut dengan penjahitan episiotomi, buka jahitan awal dan lakukan penjahitan ulang dengan baik dan benar.
Ruptur uterus Jika terjadi ruptur uterus, lakukan laparotomi, memperbaiki luka parut dan/atau histerektomi.20 Inversio Uteri Tidak ada uji terkontrol acak yang dilakukan untuk mengkaji penatalaksanaan inversi uterus.11 Akan tetapi, secara garis besar tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut:1,21 1.
Memanggil bantuan antestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan pemberian obat.
2.
Bila perlu, berikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
3.
Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil, dikeluarkan dari rahim. Sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap dipertahankan di dalam hingga konfigurasi uterus kembali normal, kemudian tangan operator baru dilepaskan.
4.
Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
34
5.
Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan maneuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.
Intervensi bedah yang dilakukan dapat berupa: 11 - Prosedur Huntington. Pada prosedur ini, klem dipasang pada setiap cincin ligamen sekitar 2 cm ke dalam fundus yang mengalami inversi. Traksi dilakukan secara perlahan dan hati-hati. - Prosedur Haultain. Prosedur ini melibatkan pembuatan insisi di bagian belakang cincin inversi untuk memperbesar ukuran cincin dan mereposisi uterus. Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio uteri. Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan dan apabila dicoba melakukan perasat Crede harus sepenuhnya diindahkan syaratsyaratnya.3 Apabila terdapat inversio uteri dengan gejala-gejala syok, gejala-gejala itu perlu diatasi terlebih dahulu dengan infus intravena cairan elektrolit dan transfusi darah, akan tetapi segera sesudah itu reposisi harus dilakukan. Makin kecil jarak waktu antara terjadinya inversio uteri dan reposisinya, makin mudan tindakan ini dapat dilakukan. Untuk melakukan reposisi, yang perlu diselenggarakan dengan anestesia umum, tangan sepenuhnya dimasukkan ke dalam vagina sedang jari-jari tangan dimasukkan ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan tetapi terus menerus ke atah atas agak ke depan sampai korpus uteri melewati serviks dan inversio ditiadakan. Suntikan intravena 0,2 mg ergometrin kemudian dibeirkan dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal.3 Apabila reposisi pervaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultein. Dikerjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedikit, kemudian luka di belakang uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup. Pada inversio uteri menahun, yang ditemukan beberapa lama setelah persalinan,
35
sebaiknya ditunggu berakhirnya involusi untuk kemudian dilakukan pembedahan per vaginam (pembedahan menurut Spinelli).3 Koagulopati Hentikan perdarahan yang terus-menerus dan ganti produk darah (Termasuk trombosit, faktor koagulasi, dan sel darah merah). Produk darah yang diganti dapat berupa mengganti sel darah merah, trombosit, dan faktor koagulasi (dengan plasma beku segar dan/atau kriopresipitat).20
36
BAB III KESIMPULAN
Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan merupakan perdarahan masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya, dengan jumlah kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan pervaginam, atau > 1000 mL darah setelah bedah sesar. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi perdarahan postpartum primer yang terjadi ≤ 24 jam setelah kelahiran, dan perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah bayi lahir, tetapi < 6 minggu pascapersalinan. Penyebabnya antara lain meliputi atonia uteri, robekan jalan lahir, ruptur uterus, retensio plasenta, sisa plasenta, inversio uteri, dan koagulopati. Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum adalah dengan manajemen aktif kala III persalinan, seperti pemberian obat-obatan uterotonika, traksi tali pusat terkendali, stimulasi kontraksi uterus, dan masase uterus. Segera setelah diketahui perdarahan pascapersalinan, tentukan ada syok atau tidak, dan bila ada segera berikan transfusi cairan/darah, kontrol perdarahan dan berikan O2. Bila keadaan umum telah optimal, segera lakukan pemeriksaan untuk mencari etiologi, karena etiologi akan menentukan tatalaksana selanjutnya.
37
DAFTAR PUSTAKA 1.
Prawirohardjo S, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Perdarahan Pascapersalinan (PPP). Dalam buku: Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2016. 522–9.
2.
S mith JR, Ramus RM. Postpartum Hemorrhage: Background, Problem, Epidemiology. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/275038overview#showall, 8 November 2018
3.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006. 448-65, 653-62.
4.
Bappenas. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. Diunduh dari http://www.bappenas.go.id/ files/4813/5080/7296/indonesiamdgbigoal5__20081122001221__518.pdf, 8 November 2018.
5.
Stalker P et al. Millennium Development Goals. Diunduh dari http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/MDG/Let Speak Out for MDGs - ID.pdf, 8 November 2018.
6.
Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) & Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Diunduh dari http://chnrl.org/pelatihan-demografi/SDKI-2012.pdf, 8 November 2018.
7.
Direktorat Kesehatan Keluarga. Laporan Tahunan 2016. Diunduh dari http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Laptah TA 2016 Dit Kesga.pdf, 8 November 2018.
8.
Kaslam P. Capaian Target Kesehatan Ibu dan Bayi di Indonesia. Diunduh dari http://gkia.org/Uploads/Materi/Filename/150609011648_3. Capaian Target Kesehatan Ibu dan Bayi di Indonesia.pdf, 8 November 2018.
9.
Departemen Kesehatan RI. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025. Diunduh dari http://www.kmpk.ugm.ac.id/images/ Semester_2/Blok 1 - Sistem Kesehatan/Referensi Sesi_3_Blok_I_Rencana_ RPJPK_2005-2025.pdf, 8 November 2018.
10. Walton K. Rencana Aksi Daerah Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu (RAD PPAKI) 2015. Diunduh dari http://www.kinerja.or.id/pdf/1645df47f725-4d16-8162-9909b7b9e3cd.pdf, 8 November 2018. 11. Pratami E. Evidence-Based dalam Kebidanan: Kehamilan, Persalinan, & Nifas. Jakarta: EGC, 2016. 77-86, 217-43. 12. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf, 8 November 2018.
38
13. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta Health Profile 2014. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/resources/download/ profil/PROFIL_KES_PRO VINSI_2014/11_DKI_Jakarta_2014.pdf, 8 November 2018. 14. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Profil Kesehatan Sudinkes Jakarta Timur 2015. Diunduh dari http://www.pusdatin.kemkes.go.id, 8 November 2018. 15. Saifuddin AB, Utama H. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (Bagian I). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 48-50. 16. Sofian A. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri: Obstetri Operatif, Obstetri Sosial Jilid 1. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2011. 109-13, 206-11. 17. Gulmezoglu AM, Souza JP, Mathai M. WHO Recommendations for the Prevention and Treatment of Postpartum Haemorrhage. Diunduh dari http://www.who.int/reproductivehealth/publications/maternal_perinatal_healt h, 8 November 2018. 18. Maryunani A, Sari EP. Asuhan Kegawatdaruratan Materal dan Neonatal. Jakarta: Trans Info Media, 2013. 146-63. 19. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Perdarahan Postpartum. Dalam buku: Ilmu Bedah Kebidanan. 1st ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000. 188–97. 20. Norwitz ER, Schorge JO. Kala Tiga Persalinan dan Perdarahan Pascapersalinan. Dalam buku: At a Glance Obstetri dan Ginekologi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007. 134–5. 21. Tanto C, et al. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius, 2014. 408–9, 446–7. 22. Asih Y, Risneni. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui, Dilengkapi dengan Evidence Based Practice dan Daftar Tilik Asuhan Nifas. Jakarta: Trans Info Media, 2016. 255-9. 23. Purwoastuti E, Walyani ES. Lingkup Kelainan dan Komplikasi Kebidanan. Dalam buku: Ilmu Obstetri dan Ginekologi Sosial Untuk Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015. 13. 24. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Gangguan Hemodinamik, Trombosis dan Syok. In: Buku ajar patologi Robbins Volume 1. 7 ed. Jakarta: EGC; 2007. hal. 90–3. 25. L. Tao, K. Kendall. Kelainan Patologi. Dalam buku: Sinopsis Organ System Hematologi dan Onkologi. Tangerang: KARISMA Publishing Group, 2014. 25–33.
39
1