FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN IBU MEMBERIKAN 5 (LIMA) IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYINYA (ANALISIS KUALITATIF)
Kesehatan merupakan masalah yang penting dalam sebuah keluarga, terutama yang berhubungan dengan bayi dan anak. Mereka merupakan harta yang paling berharga sebagai titipan Tuhan Yang Maha Esa, juga dikarenakan kondisi tubuhnya yang mudah sekali terkena penyakit. Oleh karena itu, bayi dan anak merupakan prioritas pertama yang harus dijaga kesehatannya. Pada saat seorang bayi dilahirkan ke dunia, ia sudah harus menghadapi berbagai ‘musuh’ yang mengancam jiwa. Virus, bakteri, dan berbagai bibit penyakit sudah siap menerjang masuk ke tubuh yang masih tampak lemah itu. Ternyata sang bayi mungil pun sudah siap untuk menghadapi kerasnya dunia. Berbekal antibodi yang diberikan ibunya, ia siap menyambut tantangan. Inilah contoh dari apa yang kita sebut sebagai daya imunitas (kekebalan) tubuh. Tanggal 8 Mei 1980 adalah merupakan hari bersejarah. Pada tanggal tersebut eradikasi atau pembasmian penyakit cacar atau smallpox eradication, secara resmi sudah tercapai. Virus penyebab penyakit cacar kini hanya tinggal kenangan, tersimpan dalam arsip laboratorium dibeberapa
negara
di
dunia,
dengan
penjagaan
yang
amat
(http://datadeni.blogspot.com/2008/02/bab-i.html,
ketat 2009)
Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, “Paradigma Sehat” dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pemberantasan penyakit. Salah satu upaya pemberantasan penyakit
menular
adalah
upaya
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
pengebalan Republik
(imunisasi). Indonesia
No.
1059/MENKES/SK/IX/2004, salah satu pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan “Indonesia Sehat 2010” adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, yang berarti setiap upaya program pembangunan harus mempunyai kontribusi positif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat dan perilaku sehat. Sebagai acuan pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep “Paradigma Sehat” yaitu pembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan
(rehabilitatif)
secara
menyeluruh
dan
terpadu
dan
berkesinambungan.
Pemerintah mewajibkan setiap anak untuk mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh macam penyakit yaitu penyakit TBC, Difteria, Tetanus, Batuk Rejan (Pertusis), Polio, Campak (Measles, Morbili) dan Hepatitis B, yang termasuk dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) meliputi imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B. Imunisasi lain yang tidak diwajibkan oleh pemerintah tetapi tetap dianjurkan antara lain terhadap penyakit gondongan (mumps), rubella, tifus, radang selaput otak (meningitis), HiB, Hepatitits A, cacar air (chicken pox,
varicella)
dan
rabies.
Penyelenggaraan program imunisasi pemerintah Indonesia mengacu pada kesepakatankesepakatan internasional untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit, antara lain: 1) 1. WHO tahun 1988 dan UNICEF melalui World Summit for Children pada tahun 1990 tentang ajakan untuk mencapai target cakupan imunisasi 80-80-80, Eliminasi Tetanus Neonatorum dan Reduksi Campak; (2. Himbauan UNICEF, WHO dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang; (3. Himbauan dari WHO bahwa negara dengan tingkat endemisitas tinggi > 8% pada tahun 1997 diharapkan telah melaksanakan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin; (4. WHO/UNICEF/UNFPA tahun 1999 tentang Joint Statement on the Use of Autodisable Syringe in Immunization Services; (5. Konvensi Hak Anak: Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 tertanggal 25 Agustus 1990, yang berisi antara lain tentang hak anak untuk memperoleh kesehatan dan kesejahteraan dasar; (6. Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) tahun 1988 dan tahun 2000 yang diperkuat dengan hasil pertemuan The Eight Technical Consultative Group Vaccine Preventable Disease in SEAR tahun 2001 untuk mencapai Eradikasi Polio pada tahun 2004 untuk regional Asia Tenggara dan sertifikasi bebas polio oleh WHO tahun 2008; (7. The Millenium Development Goal (MDG) pada tahun 2003 yang meliputi goal 4 : tentang reduce child mortality, goal 5: tentang improve maternal health, goal 6: tentang combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (yang disertai dukungan teknis dari UNICEF); (8. Resolusi WHA 56.20, 28 Mei 2003 tentang Reducing Global Measles Mortality, mendesak negara-negara anggota untuk melaksanakan The WHO-UNICEF Strategic Plan for Measles Mortality Reduction 2001-2005 di negara-negara dengan angka kematian campak tinggi sebagai bagian EPI; (9. Cape Town Measles Declaration, 17 Oktober 2003, menekankan pentingnya melaksanakan tujuan dari United Nation General Assembly Special Session(UNGASS) tahun
2002 dan World Health Assembly (WHA) tahun 2003 untuk menurunkan kematian akibat campak menjadi 50 % pada akhir tahun 2005 dibandingkan keadaan pada tahun 1999; dan mencapai target The United Millenium Development Goal untuk mereduksi kematian campak pada anak usia kurang dari 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun 2015 serta mendukung The WHO/UNICEF Global Strategic Plan for Measles Mortality Reduction and Regional Elimination 2001-2005; (10.Pertemuan The Ninth Technical Consultative Group on Polio Eradication and Polio Eradication and Vaccine Preventable Diseases in South-East Asia Region tahun 2003 untuk menyempurnakan proses sertifikasi eradikasi polio, reduksi kematian akibat campak menjadi 50% dan eliminasi tetanus neonatal, cakupan DPT3 80% di semua negara dan semua kabupaten, mengembangkan strategi untuk Safe Injections and Waste Disposal di semua negara serta memasukkan vaksin hepatitis B di dalam Program Imunisasi di semua negara; (11.WHOUNICEF tahun 2003 tentang Joint Statement on Effective Vaccine Store Management Initiative (http://www.desentralisasi-kesehatan.net,
2009).
Kendala utama untuk keberhasilan imunisasi bayi dan anak dalam sistem perawatan kesehatan yaitu rendahnya kesadaran yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan tidak adanya kebutuhan masyarakat pada imunisasi, jalan masuk ke pelayanan imunisasi tidak adekuat, melalaikan peluang untuk pemberian vaksin dan sumber-sumber yang adekuat untuk kesehatan masyarakat
dan
program
pencegahannya
(Nelson,
2000)
Banyak anggapan salah tentang imunisasi yang berkembang dalam masyarakat. Banyak pula orang tua dan kalangan praktisi tertentu khawatir terhadap resiko dari beberapa vaksin. Adapula media yang masih mempertanyakan manfaat imunisasi serta membesar-besarkan resiko beberapa vaksin
(Muhammad
Ali,
2005).
Kecemasan para orang tua ini ditimbulkan oleh diterbitkannya laporan pada tahun 1998 oleh seorang spesialis organ dalam untuk anak, Dr. Andrew Wakefield, yang menyatakan bahwa kemungkinan bahwa anak yang mendapat vaksin MMR bisa mengalami gangguan usus dan autisme. Namun sebenarnya laporan yang diterbitkan di Lancet itu menyimpulkan bahwa mereka tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara vaksin MMR dengan sindrom tersebut (Grifford,
2008:
7).
Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan yang memadai tentang hal itu diberikan. Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut. (Muhammad Ali, 2005). Dalam hal ini peran orang tua, khususnya ibu menjadi sangat penting, karena orang terdekat dengan bayi dan anak adalah ibu. Demikian juga tentang pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku kesehatan ibu. Pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku kesehatan seorang ibu akan mempengaruhi kepatuhan pemberian imunisasi dasar pada bayi dan anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasinya. Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi bayinya tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan dan pengetahuan
yang
memadai
tentang
hal
itu
diberikan.
Standar Pelayanan Minimum Kesehatan ( SPMK ) yang dicanangkan oleh pemerintah, bahwa pada tahun 2010 nanti setiap bayi yang lahir harus mendapatkan imunisasi lengkap secara merata 100% ke semua desa. Sedangkan berdasar Indikator Imunisasi Dasar lengkap untuk anak bayi yaitu imunisasi, BCG, DPT- HB3, Polio 4 dan Campak lebih dari 80 %. Dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu memberikan 5 imunisasi dasar lengkap pada bayinya, pada hasil prasurvei, di Desa Sumber Sari Natar diketahui bahwa dari jumlah bayi usia 9-11 bulan yang ada di wilayah tersebut baru 70% yang telah mendapatkan imunisasi lengkap. Dengan demikian penelitian memilih Desa Sumber Sari Natar sebagai tempat penelitian.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization
(WHO), lebih dari 10 juta balitameninggal tiap tahun, diperkirakan 2,5 juta meninggal akibat penyakit yangtidak dapat dicegah. Vaksin imunisasi sangat penting untuk mengurangi angkak e s a k i t a n d a n k e m a t i a n . P e n ya k i t i n f e k s i ya n g d a t a n g s e b a g a i p e m b u n uhutama anak – a n a k ya i t u ; c a m p a k , p o l i o m i e l yt i s , d i f t e r i , p e r t u s i s ( b a t u k rejam), dan
tuberculosis.
Untuk
memberantas
penyakit
ini
tetanus maka
sejak t a h u n 1 9 9 7 , W H O t e l a h m e m u l a i p e l a k s a n a a n p r o g r a m i m u n i s a s i s e b a g a i upaya global secara resmi yang Expended Program Of Imunitation (EPI) yangd i k e n a l d i I n d o n e s i a s e b a g a i Program Pengembangan Imunisasi (PPI)(Hadinegoro, 2004)S e j a k p e n e t a p a n E P I o l e h W H O , c a k u p a n i m u n i s a s i d a s a r a n a k meningkat dari 5% hingga mendekati 80% di seluruh dunia, sekurang – kuranngnya ada 2,7 juta kematian akibat campak, tetanus neonatorum dan pertusis serta 200.000 kelumpuhan akibat polio yang dapat dicegah setiaptahun. Vaksinasi terhadap 7 penyakit telah direkomendasikan EPI sebagaiImunisasi rutin di negara berkembang yaitu : BCG, DPT, POLIO, CAMPAK,dan HEPATITIS B (Ali, 2006
Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi
adalah suatu
usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseoran g sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Programimunisasi di Indonesia dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakitcacar di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980
mulai
diperkenalkan
imunisasiB C G , D P T d a n T T s e c a r a b e r t u r u t -
turut untuk memberikan kekebalant e r h a d a p p e n y a k i t p e n y a k i t T B C a n a k , d i f t e r i , p e r t u s i s d a n t e t a n u s neonatorum. T a h u n 1 9 8 1 d a n 1 9 8 2 b e r t u r u t - t u r u t m u l a i d i p e r k e n a l k a n antigen
polio
dan
campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan PPI (Depkes RI, 2000)
Status program yang demikian, pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) y a i t u k o m i t m e n i n t e r n a s i o n a l d a l a m rangka Child Survival p a d a a k h i r t a h u n 1 9 9 0 . D e n g a n p e n e r a p a n s t r a t e g i mobilisasi
sosial
dan
pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS),UCI ditingkat nasional dapat dicapai
pada
akhir
tahun
1990.
Akhirnya
lebihd a r i 8 0 % b a yi d i I n d o n e s i a m e n d a p a t i m u n i s a s i l e n g k a p s e b e l u m u l a n g tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000)
UCI merupakan indikator penting d alam program imunisasi. TargetUCI tahun 2009 adalah
>90%
artinya
target
UCI
tercapai
bila
minimal
90%desa/kelurahan dikabupaten/kota telah memenuhi target imunisasi campak sebag ai imunisasi rutin terakhir.2
Cakupan UCI tahun 2009 Provinsi Sumatera Selata n saat ini adalah82,5% artinya masih sangat jauh dibanding target 90%. Apalagi tahun 2010 ini target UCI harus 100% sesuai Kepmenkes nomor 741 tahun 2008 tentangStandar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota
(Dinkes.
2010:
3).Penelitian Dwi
Lestari pada
tahun 2007, menunjukkan bahwa tingkatketepatan jadwal imunisasi dengan kategori baik, ditemukan sebagian besar pada ibu yang berpendidikan formal menengah, berumur antara 20-30 thn, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, dan pada umumnya memiliki 2 orang
anak.Peran
seorang
ibu
pada
program
imunisasi
sangatlah
penting
karenas u a t u p e m a h a m a n t e n t a n g p r o g r a m i n i a m a t d i p e r l u k a n u n t u k k a l a n g a n tersebut. Pemahaman imunisasi sangatdipengaruhi
ibu atau oleh
pengetahuan ibu tingkat
pendidikan
terhadap ibu
(Ali ,2002)S y a h r u l , F a r i a n i . , ( 2 0 0 2 ) d a l a m k e s i m p u l a n p e n e l i t i a n n y a j u g a mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahun ibudan
keterpaparan informasi dengan status imunisasi,tingkat pengetahuan ibutentang imunisasi sebagian besar (73,0%) sudah baik. Namun demikian jugamasih didapat sebagian kecil (4%) yang tergolong kurang.Menurut Noor,N.N (2000) menyebutkan berbagai variabel sangat erathubungannya dengan status sosio ekonomi sehingga merupakan karakteristik.Status sosial ekonomi erat hubungannya dengan pendapatan keluarga (Noor,,2000)3
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembanganak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Ali, 2002)Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun diIndonesia
cakupan
imunisasi
BCG
sebesar
86,9%,
imunisasi
2008, campak
sebesar 8 1 , 6 % , i m u n i s a s i P o l i o s e b e s a r 7 1 % , i m u n i s a s i D P T s e b e s a r 6 7 , 7 % , d a n imunisasi
Hepatitis
B
sebesar
62,8%,
sedangkan
cakupan
imunisasi
lengkapsebesar 46,2% (Depkes RI, 2008)Menurut Survei Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, dewasaini angka kematian bayi di Indonesia 34/1000 kelahiran hidup, dan dilaporkan bahwa sekitar 34.690 meninggal setiap tahun karena berbagai penyakit yangdapat
dicegah
dengan
imunisasi (BKKBN
Sumsel, 2007)Pelaksanan
program
imunisasi dasar (BCG, DPT, Hepatitis B, Polio,Campak) diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk usahaswasta baik berbentuk organisasi, yayasan
badan
usaha
maupun
perorangan.Unit
pelaksana
terdepan
adalah
puskesmas. Data imunisasi tahun 2010 hasilcakupan imunisasi untuk Sumatera Selatan secara nasional 94,9% sedangkanhasil dari Bidan Praktik Swasta Soraya tahun 2011 dimulai dari bulan januarisampai bulan mei 2011 berjumlah 460 bayi yang diimunisasi.Berdasarkan penelitian dan data yang diperoleh diatas penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Hubungan
Antara
Pendidikan, Pengetahuan,dan
Pendapatan
Keluarga
dengan Pemberian Imunisasi Dasar PadaBayi di Rumah Bersalin Citra Palembang Tahun 2011”
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab terbesar mortalitas dan
morbiditas anak sehingga sangat penting untuk menggunakan semua cara preventif yang tersedia. Semua dokter yang menangani seorang anak harus menekankan perlunya imunisasi pada orang tua dan menjalankan kebijakan ini (Meadow, Roy & Newel, Simon, 2002 : hal 233-234). Kasus Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) berdasarkan sumber buletin data surveilans PD3I dan imunisasi di Indonesia yaitu kasus campak pada tahun 2009 sebanyak 18.055 kasus, sedangkan pada tahun 2010 sampai dengan bulan Juni sebanyak 5390 kasus. Angka kejadian diphteri pada tahun 2009 untuk usia kurang 1 tahun sebesar 0,011 per 10.000 penduduk, usia 1-4 tahun sebesar 0,021 per 10.000 penduduk, usia 5-14 tahun sebesar 0,015 per 10.000 penduduk. Kasus tetanus neonatorum pada tahun 2009 di Indonesia sebanyak 158 kasus, sedangkan tahun 2010 sampai dengan bulan Juni sebanyak 45 kasus. Untuk wilayah Jawa Tengah kasus PD3I berdasarkan sumber buletin data surveilans PD3I dan imunisasi bulan Januari sampai dengan Juni 2010 yaitu tersangka kasus campak sebanyak 56, kasus Acute Paralysis Rate (AFP) dengan klasifikasi virus polio liar, kompatibel, dan vaccine derived polio virus tidak ada kasus, sedangkan AFP dengan klasifikasi bukan polio sebanyak 78, dan yang masih dalam uji laboratorium sebanyak 16, tidak ada kasus tetanus neonatorum, Di kota Pekalongan berdasarkan sumber profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2009 Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah hanya terdapat 1 kasus campak, sedangkan kasus lainnya nihil. Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit sehingga dengan imunisasi diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat. Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit 2 sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi walaupun secara alamiah tubuh sudah memiliki pertahanan terhadap berbagai kuman yang masuk (Hidayat, 2008: hal 54). Imunisasi yang disediakan oleh pemerintah untuk mencegah kasus
PD3I sebagai imunisasi rutin adalah Hepatitis B, Polio, BCG (Bacillus Calmette_Guerin), DPT (Difteria, Pertusis, Tetanus), Campak, dan TT (Tetanus Toxoid) untuk sasaran WUS (Wanita Usia Subur). Sedangkan kasus penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi yang menjadi program pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu Difteri, Pertusis, Tetanus, Tuberkulosis, Campak, Poliomielitis, dan Hepatitis B. Reaksi simpang yang dikenal dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah semua kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi (Depkes, 2005: hal 1). Menurut komite KIPI, sebenarnya tidak ada satu pun jenis vaksin imunisasi yang aman tanpa efek samping. Oleh karena itu, setelah bayi diimunisasi, ia harus diobservasi terlebih dahulu setidaknya 15 menit, sampai dipastikan tidak terjadi adanya KIPI (reaksi cepat) (Tabloid Ibu dan Anak, Cyberwoman.cbn.net.id, 2004). Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus di antara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope,segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi (KN PP-KIPI, 2005: hal 12). Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1/2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine InformationStatement 1/1/2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 8/23/2000) (KN PP-KIPI, 2005: hal 12) 3 Kasus KIPI campak berupa demam terjadi 1/6 dosis yang terjadi pada 20% anak, ruam kulit ringan 1/20 dosis yang terjadi pada 24% anak, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis, dan efek samping berat berupa ensefalopati terjadi pada 1 diantara 2 juta dosis vaksin campak (KN PP-KIPI, 2005: hal 12). WHO Western Pasific memilah KIPI menjadi lima kelompok penyebab
yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI (Depkes, 2005). Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak, kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope (Depkes, 2005). Kejadian KIPI akibat reaksi suntikan langsung tersebut jarang sekali dilaporkan. KIPI tersebut biasanya muncul pada saat ibu berada di rumah atau terjadi pada hari berikutnya. Biasanya para ibu kebingungan bagaimana cara menangani kejadian tersebut seperti yang terjadi pada 2 orang ibu yang pernah menghubungi petugas karena pada bekas suntikan mengalami bengkak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada studi pendahuluan pengetahuan dan sikap ibu tentang KIPI dan tata laksananya akibat reaksi suntikan langsung yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2010 terhadap 20 responden yang mengimunisasikan bayinya di puskesmas Kusuma Bangsa Kota pekalongan dengan tingkatan pendidikan bervariasi mulai dari lulusan SD sampai lulusan SLTA melalui wawancara didapatkan data 17 orang menjawab tidak tahu tentang KIPI, 4 orang menjawab pernah terjadi kemerahan dan bengkak pada bekas suntikan imunisasi, 17 orang menjawab tidak tahu apa yang harus dilakukan bila terjadi bengkak dan kemerahan pada bekas suntikan imunisasi. Peneliti juga pernah mendengar ada ibu yang salah memberikan tindakan pada bengkak bekas suntikan imunisasi yaitu dengan memberi obat oles 4 pelega pernapasan dan ibu yang membiarkan bengkak pada bekas suntikan bayinya sampai menjadi abses. Berdasarkan penelitian Maya Maulida Sari (2009) bahwa penyuluhan dengan metode ceramah dan pemberian leaflet manajemen laktasi dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu tentang manajemen laktasi. Rumondang Pulungan (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
terdapat peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil tentang pemberantasan sarang nyamuk setelah dilakukan penyuluhan dengan metode ceramah, leaflet, dan pemutaran film. Demikian juga penelitian yang dilakukan Aswita Amir (2008) yang menyatakan bahwa penyuluhan dengan model pendampingan oleh tenaga gizi pendamping dapat meningkatkan skor pengetahuan ibu tentang tingkat kecukupan energi. Dari penelitian-penelitian tersebut telah didapatkan hasil bahwa pendidikan kesehatan dengan berbagai metode dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang lebih mengutamakan praktik daripada metode ceramah saja. Dengan praktik diharapkan pengetahuan yang didapatkan akan lebih mudah untuk diingat. Seperti yang dilakukan UPTD Puskesmas Sibela Kota Surakarta yang melatih para kader kesehatannya dengan tujuan dapat memandirikan kader di bidang kesehatan dan menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh tersebut kepada masyarakat (Sugiarto, Infokes Vol.1 no.9, 2005). Penelitian lain yang dilakukan oleh Edy Sukiarko (2007) menyatakan bahwa pelatihan terhadap kader gizi dengan metode belajar berdasarkan masalah juga lebih efektif dibandingkan dengan metode konvensional. Demikian pula penelitian yang dilakukan Kiki Yuliana (2009) dengan rancangan one group pretest-posttest design menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada masyarakat kelurahan Palebon sebelum dan setelah dilakukan pelatihan survey jentik nyamuk DBD. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas telah membuktikan bahwa upaya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan 5 perilaku lebih efektif jika diberikan melalui pelatihan ataupun metode lain dibandingkan dengan metode konvensional atau ceramah saja. Sebagai seorang perawat dalam menghadapi permasalahan yang muncul tersebut di atas adalah bagaimana cara memberikan edukasi tentang KIPI kepada ibu. Pemberian edukasi yang tepat dapat meminimalkan ketidaktahuan ibu tentang KIPI dan penanganannya akibat reaksi suntikan langsung sehingga diharapkan ibu dapat melaksanakannya secara mandiri di
rumah dan menyebarluaskan pengetahuannya kepada para ibu yang lain.
Menurut laporan WHO angka cakupan imunisasi untuk DPT secara global adalah78%. Berarti terdapat 28 juta anak di dunia yang belum mendapat imunisasi DPT. 75% darianak-anak ini tinggal di 10 negara, diantaranya Indonesia (Harsono Salimo 2009).Cakupan imunisasi DPT di Indonesia secara global adalah 70,26% dimana jumlahanak yang tidak mendapatkan imunisasi terbesar ada di tiga propinsi di pulau Jawa (29%dari angka nasional) yaitu propinsi Jawa Barat (46.863), Jawa Timur (47.332) dan Banten(28.359) (Pusat Komunikasi Publik 2010). Angka cakupan imunisasi DPT di Jawa timur secara global 70,79% dimana DPT 1 sejumlah 79%, DPT 2 sejumlah 72,69% dan DPT 3sejumlah 60,68% (M. Faried K 2009)