Factsheet-08

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Factsheet-08 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,253
  • Pages: 2
Buletin the WAHID Institute

Agama dan Keyakinan dalam R–KUHP Alamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320 Indonesia. Telp: +62 21–3928233, 3145671 Faks: +62 21–3928250 E–mail: [email protected]. Web: www.wahidinstitute.org ; www.gusdur.net

Bebas dari Tuduhan Penodaan agama (1)

Pengantar Redaksi Salah satu analisis atas berbagai kasus penodaan agama edisi lalu adalah adanya kecenderungan, orang yang diadili dengan tuduhan melakukan penodaan agama sulit untuk diputus bebas. Hampir semua kasus penodaan agama yang disajikan dalam beberapa edisi sebelum ini secara jelas menunjukkan hal tersebut. Namun, belakangan ada fenomena lain tentang hal ini. Selama tahun 2006, ada dua kasus penodaan agama yang diputus bebas, yaitu kasus Muhammad Abdul Rahman, orang nomor 2 dalam komunitas Lia Eden, dan kasus Teguh Santoso, pemimpin redaksi media Rakyat Merdeka online, yang dituduh melakukan penodaan agama karena telah menayangkan kartun Jyllands Posten yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Kedua orang ini dianggap tidak secara sah dan menyakinkan melakukan sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai penodaan agama, sehingga hakim memutus bebas mereka berdua. Edisi kali ini –dan satu edisi mendatang—akan membahas pembebasan dua orang ini dari tuduhan penodaan agama. Apa yang bisa dimaknai dari kasus ini?

Dew an R edaksi: Yenny Zannuba Dewan Redaksi: Wahid, Ahmad Suaedy, Rumadi, Moqsith Ghazali Redaktur: Gamal Ferdhi, Subhi Azhari, Nurul Maarif, Nurun Nisa Desain: Widhi Cahya Kerjasama The Wahid Institute—Yayasan TIFA

Pembebasan Muhammad “Eden” Abdul Rahman

D

alam komunitas Tahta Suci Kerajaan Eden, Muhammad Abdul Rahman (36 tahun) diyakini sebagai reinkarnasi Imam Mahdi. Abdul Rahman juga diyakini sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad yang diberi tugas dan tanggung jawab oleh Lia Eden untuk menyampaikan amanah berupa risalah-risalah Ruhul Kudus yang diterimanya sebagai Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada masyarakat. Singkatnya, Rahman adalah tangan kanan Lia “Eden” Aminuddin. Ketika tulisan ini dibuat, kasus Lia Eden masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung yang belum diketahui apakah MA membatalkan putusan PN Jakpus memperkuat atau bahkan memperberat hukuman untuk Lia. Sebelumnya, Lia Eden sudah divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui putusan No. 677/ PID.B/ 2006/PN.JKT.PST pada 29 Juni 2006. Lia Aminuddin dianggap oleh majelis hakim PN Jakpus secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan yang melanggar pasal 156a Jo pasal 55 ayat 1 KUHP, dan pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Vonis Lia Eden tersebut sebenarnya lebih ringan dari tuntutan Jaksa, lima tahun penjara. Hal yang memberatkan bagi Lia, menurut majelis hakim, adalah perbuatannya menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an menurut kehendaknya sendiri, dan dianggap bertentangan dengan akidah umat Islam. Singkatnya, Lia Eden dituduh telah menodai agama Islam. Nah, jika Lia Eden divonis dua tahun penjara dan dianggap telah melakukan penodaan agama, mengapa Abdul Rahman dinyatakan bebas, padahal tuduhan yang dialamatkan kepada Rahman tidak berbeda dengan tuduhan kepada Lia. Padahal Lia dan Rahman setali tiga uang. Mereka mempunyai keyakinan dan melakukan aktifitas yang sama. Ada hal yang menarik dalam salinan putusan PN Jakarta Pusat, baik untuk Lia Eden maupun Abdul Rahman. Dalam penulisan identitas, agama terdakwa ditulis: “agama perenial”. Pekerjaan Lia Eden: Spiritualis; dan pekerjaan Abdul Rahman: Pelayanan. Dari sini sebenarnya ada semacam “pengakuan” dari Pengadilan Negeri adanya agama baru bernama “perenial”. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita melihat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Abdul Rahman melalui surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-834/JKTPST/05/2006. Menurut JPU, Abdul Rahman secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti melakukan tindak pidana: 1) melanggar pasal 156s Jo pasal No.8/Desember 2006

Pembebasan Muhammad “Eden” Abdul Rahman 55 ayat (1), yaitu “melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. 2) melanggar pasal 157 ayat (1) Jo pasal 55 ayat (1), yaitu melakukan atau turut serta melakukan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongangolongan rakyat Indonesia dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui umum. Dengan itu, Abdul Rohman dituntut 5 (lima) tahun penjara. Untuk memperkuat dakwaannya, JPU menyiapkan tidak kurang dari 84 (delapan puluh empat) barang bukti, mulai dari naskah peresmian kerajaan Tuhan Eden, naskah-naskah tulisan yang disampaikan Jibril yang disampaikan kepada Lia Eden, sampai dokumen Salamullah mengenai Imam Mahdi Hakim. Dalam proses pemeriksaan, dihadirkanlah saksisaksi dalam peradilan, baik saksi yang memberatkan maupun yang meringankan. Beberapa saksi yang diundang antara lain: H. Muhamad Isa Anshary (MUI), M. Amin Djamaludin sebagai saksi pelapor, Halimi S.Sos (Lurah Bungur, Kec. Senen, Jakpus tempat dimana komunitas Eden melakukan aktifitas), Siti Zaenab Lutianti alias Dunuk (pengikut Lia Eden), Umar Iskandar (pengikut Lia Eden) dan Lia Eden. Di samping itu diundang pula beberapa saksi ahli, antara lain: Dr. H. Ahmsd Sayuti Anshari Nasution (IIQ Jakarta), Dr. Choirul Huda, SH, MH ahli hukum pidana dari UMJ. Tim penasehat hukum juga mengundang saksi yang meringankan, antara lain: Marzani Anwar (Depag RI), Hidayaturrahman, Irsa Bastian, Sumardiono, JS. Survita Marjaut, Daisy Eleondra Lumankun, Arif Rosyad, dan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor. Di luar keterangan para saski, baik yang meringankan maupun yang memberatkan, Abdul Rahman membuat pembelaan (pledoi) setebal 59 halaman. Pledoi itu secara garis besar berisi bantahan atas dakwaan-dakwaan JPU. Atas tuduhan bahwa Ajaran Kerajaan Suci Eden telah menodai agama (pasal 156a), Rahman membantahnya dengan mengatakan bahwa kehadiran Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden adalah bagian dari dinamika sosial keagamaan dalam peradaban umat manusia. Kehadiran keyakinan baru yang berbeda dengan keyakinan yang telah ada tak dapat dipandang sebagai penodaan terhadap keyakinan lama. Agama Kristen tak dapat dinilai menodai Yahudi, Islam tak dapat dianggap menodai Kristen. Ketidakpercayaan adalah sebuah

hal, teteapi ketidakpercayaan dan ketidaksetujuan tak dapat diang gap sebagai penodaan atas keyakinan, apalagi dianggap sebagai perbuatan kriminal. (Muhammad Abdul Rahman, Penzaliman Atas Kerajaan Tuhan, sebuah Pledoi di PN Jakarta Pusat, 6 September 2006, h. 15.) Di bagian akhir pledoi itu disebutkan, pernyataan yang tercantum dalam risalah-risalah Ruhul Kudus bukanlah sebuah pernyataan yang berdiri sendiri. Pernyataan-pernyataan Malaikat Jibril sebagaimana yang dituliskan oleh Lia Eden mer upakan reaksi atas apa-apa yang terjadi terhadap kehendak Tuhan yang dibawakan oleh Malaikat Jibril. Pernyataan-pernyataan tersebut berada dalam konteks kritik atau teguran agar kita semua memperbaiki diri dan membawa umat Islam dan bangsa Indonesia pada kebaikan sebagaimana yang diajarkan Tuhan. Pernyataan-pernyataan tersebut sama sekali tak dimaksudkan untuk menghina, memusuhi, atau membenci Islam. Dengan penjelasan dalam pledoi ini, Abdul Rahman menyatakan bahwa tak ada penghinaan, permusuhan, atau pun kebencian yang terkandung di dalam pernyataan-pernyataan di dalam Risalah Eden sebagaimana yang dikutip JPU dalam dakwaannya Pasal 157 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 (ayat) ke-1 KUHP. Dakwaan itu salah dan tidak terbukti. Majelis Hakim PN Jakpus yang dipimpin H. Lief Sofijullah, SH, M. Hum (Hakim Ketua), Heru Pramono, SH, M. Hum (Hakim Anggota), Aman Barus, SH, M.Hum (Hakim Anggota), pada 6 Desember 2006 akhirnya memutuskan bahwa Abdul Rahman tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penodaan agama. Putusan ini cukup menggembirakan bila dilihat dari konteks perkembangan Hak Asasi Manusia dan kebebasan beragama di Indonesia. Bagaimanapun, keyakinan seseorang tidak bisa dikriminalisasi. Keyakinan (apalagi keyakinan keagamaan) bukanlah tindak pidana yang bisa menyeret seseorang ke pengadilan. Oleh karena itu, pembebasan Abdul Rahman merupakan preseden baik bagi dunia peradilan kita sejauh putusan ini tidak dibatalkan Mahkamah Agung. Meski demikian, penulis masih menyimpan sedikit keraguan, apakah putusan PN Jakpus yang membebaskan Abdul Rahman tersebut benarbenar merupakan cermin dari progresifitas hakim, ataukah putusan ini karena kecilnya (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) tekanan massa, sebagaimana lumrah terjadi dalam kasus-kasus keagamaan lainnya. Ataukah, karena Lia Eden sudah divonis 2 tahun sehingga Abdul Rahman ‘dilepas’ pun tidak ada menimbulkan reaksi massa. Ibaratnya, jika ikan besarnya sudah tertangkap, melepas ikan kecil akan dianggap bukan sebuah kerugian. Sekali lagi, jangan-jangan…[] RD