JUDUL BUKU
EVALUASI KEAMANAN LAUT INDONESIA PENELITI DR. INDRA JAYA, M.PD
i
PENGANTAR KATA Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan taufiq dan
hidayah-Nya, sehingga kajian yang bertemakan tentang
Evaluasi keamanan Laut Indonesia ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah menyampaikan serangkaian ajaran kebenaran kepada seluruh manusia, sehingga dengan ajaran itulah manusia akan menerima kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Pada awalnya, penulis cukup terperangah ketika mendapat tugas penelitian dengan tema Keamanan Laut Indonesia dari Direktur PT Meredian Kreatama Mandiri yang dipimpin oleh Kakanda Dr. Anton Leonard SP, MM. PT Meredian Kreatama Mandiri ini merupakan salah satu konsultan terkemuka di Jakarta yang sudah cukup berpengalaman membidangi bidang konstruksi, Society, agricultural dan Survey. Kesempatan yang ditawarkan oleh kakanda Anton, tadinya peneliti anggap sebagai sebuah tantangan, tetapi ternyata setelah kakanda Anton membukakan paradigma pemikiran peneliti yang masih mengalir darah dari seorang pejuang 45 ini. kesempatan yang sifatnya tantangan tersebut kemudian berubah sifat menjadi suatu kewajiban Menurut kakanda Anton, Otak seluruh anak Bangsa ini sudah cukup lama terstigma oleh paradigma Darat yang mengakibatkan lunturnya kandungan makna terindah dari BINEKA TUNGAL IKA. Selanjutnya `peneliti bertanya, mengapa bisa demikian kakanda? dengan sangat ringan beliau menjawab, karena kita sebagai bangsa Bahari sudah jelas-jelas melupakan LAUT. Selanjutnya saya balik bertanya, Apa alasannya mengapa bisa LAUT yang dipermasalahkan, beliau menjawab, karena tanpa kita sadari bahwa laut adalah pemisah dari mana kita berasal. Apakah tidak sebaliknya Kakanda, bahwa laut adalah perekat utama dari bangsa ini, ujar saya. Tidak ! kalimat itu hanya sebuah selogan, jawab beliau tegas. Jadi semakin tidak mengerti peneliti ketika itu apa yang ada di Otak Kakanda Anton. Sampai pada akhirnya kakanda Anton memaparkan satu demi satu apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dengan tandas Kakanda Anton menyuruh saya mendekati Peta yang tergantung dan melekat pada dinding ruangan Kantornya, Coba lihat Peta itu, Lihat dulu pulau Sulawesi, tepatnya sulawesi Utara dan Ujung Pandang. Kemudian lihat lagi pulau Maluku Utara. Selanjutnya ambil mistar, coba bandingkan jauhnya jarak dari Sulawesi Utara dengan Ujung pandang dan jauhnya jarak dari Sulawesi Utara dengan Maluku Utara. Secara tegas saya menjawab, tentu lebih jauh jarak dari
ii
Sulawesi Utara ke Ujung Pandang daripada jarak dari Sulawesi Utara ke maluku Utara. OK, kata beliau, ukuran mistarmu menghitung jarak diantara pulau itu sudah benar. Nah sekarang. Apakah kamu yakin kalau masyarakat di sulawesi utara merasa lebih bersaudara dengan masyarakat yang ada di Maluku Utara daripada masyarakat yang ada Sulawesi Utara dengan masyarakat yang ada di Ujung Pandang. Jawaban itu baru saya peroleh, ketika saya bertemu dengan tiga orang sosok pemuda (X, Y, dan Z) yang pada saat itu kami sama-sama menempuh studi di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta. Dua dari pemuda tersebut berasal dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan serta satu sosok pemuda lainnya berasal dari sulawesi selatan. Ketiga sosok pemuda ini saya amati perilakunya selama satu bulan, serasa ada yang unik dari hasil pengamtan tersebut. Mengapa pemuda yang berasal dari Kalimantan Barat merasa lebih bersaudara dengan sosok pemuda yang berasal dari Kalimantan selatan, daripada sosok pemuda yang berasal dari Kalimantan Selatan dengan sosok pemuda yang berasal dari Sulawesi Selatan. Padahal dua sosok pemuda yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan tersebut satu Jurusan, satu angkatan dan bahkan rumah kost mereka bertetangga dengan rumah cost saya di Jalan Pemuda I Rawamangun saling bersebelahan. Ada sebuah pertanyaan besar dibenak saya ketika itu, Mengapa hal ini bisa dapat terjadi? Mengakhiri ketidakpuasan saya atas jawaban yang tidak pasti yang saya peroleh hanya berasal dari pengamatan perilaku dari ketiga sosok pemuda tersebut, kemudian saya melakukan interviuw langsung kepada salah seorang sosok pemuda yang berasal dari Kalimantan Selatan, cerara kebetulan pemuda tersebut memiliki kepentingan dengan saya dalam hal mata kuliah metodologi penelitian dan statistik. Kesempatan ini tentunya tidak saya sia-siakan begitu saja. Setelah saya selesai menerangkan jawaban yang beliau pertanyakan, selanjutnya saya mempertanyakan ketidakpuasan atas pengamatan yang saya lakukan kepada beliau. Tanpa beliau ketahui maksud dan tujuan saya mempertanyakan hal tersebut. Dengan hati-hati saya bertanya, Maaf Bapak X, ketika di kampus kelihatannya Bapak X lebih akrab dengan Bapak Y dari pada Bapak Z yang dari Sulawesi Selatan itu lho Pak. Oh, itu…, karena kami sama-sama dari “KALIMANTAN”. Dengan satu pertanyaan dari saya dan satu jawaban dari beliau, sepertinya sudah terjawab permasalahan tentang LAUT yang selama ini menjadi pertanyaan besar dalam diri saya. Jawab sosok pemuda X tersebut mengawali Hipotesis saya, “ Pertama, Otak anak Bangsa yang sudah cukup lama terstigma oleh paradigma Darat berpengaruh signifikanterhadap lunturnya kandungan makna terindah dari
iii
BINEKA TUNGAL IKA oleh kondisi kelautan yang belum dapat diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan perekat Bangsa. Kedua,
Otak anak Bangsa yang
sudah cukup lama terstigma oleh paradigma Darat yang berpengaruh signifikan terhadap lunturnya kandungan
makna terindah dari BINEKA TUNGAL IKA oleh
seorang anak bangsa yang memiliki paradigma Darat yang pernah memimpin cukup lama bangsa ini Berangkat dari dua hipotesis ini cukup lama juga saya memikirrenungkan, apakah mungkin ada kaitannya dengan awal pembuktian dari ramalan terakhir yang pernah dikhawatirkan oleh seorang raja Indonesia yang bernama “Joyo Boyo”. Ramalan tersebut adalah sebagai berikut: Nanti ketika hari mau berakhir akan ditandai dengan tanda-tanda sebagai berikut: orang jawa akan kembali ke tanah Jawa, Orang Kalimantan akan kembali ke tanah Kalimantan, Orang sulawesi akan kembali ke tanah Sulawesi dan Orang sumatera akan kembali ke tanah Sumatera, masing-masing mereka akan mempertahankan tanah asal-usulnya.
Sebulan kemudian, hasil pengamatan perilaku ini saya laporkan kepada Kakanda Anton. Beliau katakan bahwa, kedua hipotesis yang kamu ajukan tersebut sama bagusnya dan boleh juga kedua-duanya kamu teliti, namum harus kamu dahulukan menyelesaikan pembuktian pada hipotesis pertamanya. Okelah kakanda tawaran yang bersifat kewajiban ini saya terima. Saya akan teliti tentang keamanan Laut Indonesia seperti saran kakanda. Penelitian evaluasi keamanan laut ini merupakan studi kelayakan dalam melahirkan sebuah lembaga terkait dengan keamanan laut yakni Sea and Guard di Indonesia yang sebelumnya bernama BAKORKAMLA. Penyelesaian proyek Badan Keamanan laut Indonesia
(Bakorkamla) ini
bekerja sama BPPT Jakarta dengan dua belas Departimen yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kelautan. Oleh BPPT mensubkan penyelesaian kajian ini ke PT Meredian Kreatama Mandiri yang dipimpin oleh Kakanda Anton dan saya menyelesaikan pekerjaan ini lewat Amanah Beliau. Semoga penelitian tentang evaluasi keamanan laut ini dapat memberikan
informasi
yang
bermanfaat
khusunya
bagi
pemangku
kepentingan di Negari pertiwi ini terkait dengan kendisi keamanan laut INDONESIA. Peneliti Dr. Indra Jaya, M.Pd.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ................................................................................................................i DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... vi DAFTAR TABEL....................................................................................................... vii I
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 I.1 Latar Belakang........................................................................................... 1 I.2 Maksud dan Tujuan ................................................................................... 3 I.3 Sasaran ..................................................................................................... 3 I.4 Keluaran .................................................................................................... 3 I.5 Pendekatan dan Metodologi ...................................................................... 3 I.6 Sistematika ................................................................................................ 6
II
MASALAH DAN KONDISI SAAT INI.................................................................. 7 II.1 Issue Strategis Keamanan Laut ................................................................. 7 II.2 Profil Zona Keamanan Laut ..................................................................... 11 II.3 Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan ................................. 24 II.4 Badan Koordinasi Keamanan Laut ..........................................................107
III III.1 III.2 III.3 III.4
PEMBAHASAN ............................................... Error! Bookmark not defined. Analisis Kelembagaan Daerah ................................................................113 Issue Keamanan Laut .............................................................................115 Hasil Survey............................................................................................119 Aternatif Bagan organisasi ......................................................................153
IV.1 IV.2
REKOMENDASI .........................................................................................157 Simpulan.................................................................................................157 Saran ......................................................................................................158
IV
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Dislokasi Tindak Pidana Tertentu di Laut, Jan – Juni 2007 ................... 12 Gambar 2. Peta Kerawanan Kegiatan Illegal Logging ............................................ 12 Gambar 3. Peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ............................................ 14 Gambar 4.Peta Provinsi Kalimantan Barat .............................................................. 15 Gambar 5. Peta Provinsi Kalimantan Timur ............................................................ 17 Gambar 6. Peta Provinsi Sulawesi Utara................................................................ 19 Gambar 7. Peta Kota Bitung................................................................................... 20 Gambar 8. Peta Provinsi Papua ............................................................................. 21 Gambar 9. Peta Kabupaten Merauke ..................................................................... 22 Gambar 10. Peta Provinsi Maluku .......................................................................... 24 Gambar 11. Struktur Organisasi TNI-AL ............................................................... 73 Gambar 12. Struktur Organisasi Polisi Perairan di Tingkat Pusat ........................... 75 Gambar 13. Struktur Organisasi Polisi Perairan di Tingkat Wilayah....................... 75 Gambar 14. Struktur Ditjen P2SDKP ...................................................................... 77 Gambar 15. Struktur Pelaksana Teknis PSDKP ..................................................... 78 Gambar 16. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ................ 79 Gambar 17. Struktur Organisasi Kantor Administrasi Pelabuhan............................ 80 Gambar 18. Struktur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Pusat)............................ 81 Gambar 19. Struktur Kantor Wilayah Bea Cukai ..................................................... 82 Gambar 20. Struktur Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A ..................................... 83 Gambar 21. Struktur Organisasi Bakorkamla ........................................................109 Gambar 22. Kesesuaian program dan Efektifitas proses .......................................145 Gambar 23. Kesesuaian program dan Efektifitas output ........................................146 Gambar 24. Kesesuaian program dan efektifitas outcome ....................................147 Gambar 25. Input dan Efektifitas proses................................................................148 Gambar 26. Input dan Efektifitas output ................................................................149 Gambar 27. Hasil Analisis T-Values ......................................................................151 Gambar 28. Hasil Analisis T-Values, Standardized Solution..................................153 Gambar 29. Alternatif 1 Bakorkamla Daerah .........................................................155 Gambar 30. Alternatif 2 Bakorkamla Daerah .........................................................155 Gambar 31. Alternatif 3 Bakorkamla Daerah .........................................................156
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peraturan Perundang-undangan Terkait .............................................25 Tabel 2. Instansi Pemerintah Terkait ..................................................................70 Tabel 3. Jumlah Kapal Patroli yang Dimiliki oleh Instansi terkait.....................92 Tabel 4. Instansi Maritim dan Batasan Wilayah Operasinya............................93 Tabel 5. Aspek-aspek kelembagaan dari “Instansi Maritim” .......................... 101 Tabel 6. Data kualitatif pada permasalahan kesesuaian program ................ 123 Tabel 7. Data kualitatif pada permasalahan input ........................................... 125 Tabel 8. Data kualitatif pada permasalahan proses ........................................ 129 Tabel 9. Data kualitatif pada permasalahan output......................................... 133 Tabel 10. Data kualitatif pada permasalahan outcome ..................................136 Tabel 11. Data kualitatif pada permasalahan impact ...................................... 141
vii
BA B I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Laut yang aman merupakan hal yang utama bagi sebuah negara kepulauan agar integrasi antar pulau dijamin tak mengalami gangguan. Meningkatnya kejahatan ekonomi seperti illegal fishing dan illegal logging yang telah merugikan negara beberapa tahun terakhir ini adalah bentuk kejahatan ekonomi yang terjadi di perairan Indonesia mencerminkan ketidak amanan laut Inonesia. Hal ini hanya dapat dihadapi dengan meningkatkan keamanan di laut dan oleh karenanya penegakan hukum dan keamanan di laut perlu mendapat perhatian. Laut yang aman mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan, bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas penggunaan atau pemanfaatan laut, antara lain : ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan senjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman militer, pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata di laut. ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi, serta kurang memadainya sarana bantu yang ada seperti suar, sistem perambuan, dan lain-lain sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran ancaman terhadap sumberdaya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, serta konflik pengelolaan sumberdaya laut. Fakta menunjukan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan pergekaran kekuatan militer. ancaman pelanggaran hukum, yaitu ancaman pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, illegal dredging, penyelundupan, dan lain-lain Sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayahnya baik berupa daratan maupun lautan, NKRI berhak mewujudkan keberdaulatannya di laut untuk mengatur, mengawasi, melindungi serta mengolah kekayaan laut guna melindungi kepentingan nasional di laut. Posisi geografis yang strategis di antara dua benua, benua Asia dan Australia dan dua samudera, samudera Hindia dan Pasifik dengan wilayah laut kurang lebih 75% dari seluruh wilayah Republik Indonesia seluas kurang lebih 5,8 juta km2 memerlukan agenda pengamanan yang menyeluruh dan terpadu untuk melindungi kepentingan nasional tersebut.
1
Di tahun 1972 telah dibentuk sebuah Badan Koordinasi Keamanan Laut melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, Nomor : KEP/B/45/XII/1972; SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1; dan KEP-085/J.A/12/1972 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut. Dengan adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis yang dialami, Badan Koordinasi Keamanan Laut diatur kembali dalam rangka meningkatkan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003 melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003 dibentuk kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Melalui serangkaian seminar dan rapat koordinasi lintas sektoral pada tanggal 29 Desember 2005 ditetapkan pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut yang baru melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut ( BAKORKAMLA ) yang menjadi dasar hukum bagi BAKORKAMLA yang ada sekarang. Secara institusional, BAKORKAMLA merupakan lembaga/instansi pusat yang mengoordinasikan sejumlah instansi terkait dalam hal kegiatan pengamanan laut baik kebijakan maupun operasional dengan cakupan wilayah laut yang sangat luas. Tugas pokok dan fungsi BAKORKAMLA ini antara lain: 1) mengoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan operasi keamanan laut terpadu; 2) perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut, 3) serta koordinasi kegiatan keamanan laut yang meliputi pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia Namun demikian, Bakorkamla hanya dibekali fungsi koordinasi antar lembaga secara nasional di tingkat pusat seperti diuraikan dalam tugas pokok dan fungsi di atas. Selain itu belum ada lembaga sejenis atau lembaga pelaksana di tingkat daerah/wilayah, sehingga dirasakan sulit bagi BAKORKAMLA untuk menjalankan tugasnya secara optimal dalam menjawab tantangan dan menjamin keamanan laut di seluruh wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan kajian untuk mengembangkan organisasi Bakorkamla di daerah/wilayah disertai dengan penegakan hukum yang menjamin keamanan laut di masing-masing daerah/wilayah.
2
I.2
Maksud dan Tujuan
Maksud dilakukannya kajian ini adalah untuk mendapatkan bentuk organisasi yang tepat dalam pengoperasionalan pelaksanaan keamanan laut di daerah, yaitu: 1. Menjalankan evaluasi kondisi mengenai pengelolaan pengamanan wilayah laut di daerah 2. Memonitor dan mengevaluasi sinergitas institusi terkait dalam proses pengamanan wilayah perairan di daerah, 3. Menganalisas hasil monitoring dan evaluasi mengenai pengamanan wilayah laut di daerah serta menghubungkannya dengan urgensi pembentukan Bakorkamla daerah/wilayah sesuai Renstra Bakorkamla 2007-2009 I.3
Sasaran
Sasaran kajian ini adalah terbentuknya alternatif model keorganisasian kemanan laut di daerah yang tepat dalam pengoperasionalan pelaksanaan keamanan laut di daerah. I.4
Keluaran
Kajian ini diharapkan menghasilkan keluaran berupa: 1. Identifikasi mengenai zonasi wilayah pengamanan laut berdasarkan geografis, sosio-ekonomi, kewilayahan dan struktur pola pengamanan wilayah laut yang sudah ada. 2. Gambaran mengenai kondisi Bakorkamla sekarang sebagai koordinator kegiatan keamanan laut di tingkat nasional serta urgensi akan adanya Bakorkamla daerah/wilayah di dalam membantu mensinergikan pola pengamanan wilayah laut di daerah dan kewenangan administratifnya sesuai Renstra Bakorkamla 2007-2009 3. Rekomendasi tentang sistem pengelolaan pengamanan wilayah laut di daerah sebagai masukan bagi pengambil keputusan, khususnya menyangkut pelaksanaan kegiatan pengamanan laut di masa yang akan datang; I.5
Pendekatan dan Metodologi
Pendekatan Mengkaji keamanan laut Indonesia, tidak terlepas dari berbagai pendekatan yang dapat dilakukan, salah satu pendekatan tersebut harus dilihat dari sistem keorganisasian yang dilaksanakan selama ini. Seperti dikemukakan Supriatna (2000:28) Keorganisasian ditinjau dari pendekatan sistem dapat mencakup komponen-komponen seperti: Input, yang terdiri dari nilai sumberdaya manusia, sumber daya alam, budaya dan kelembagaan masyarakat. Proses, kemampuan
3
organisasi dan menajemen pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan. Output, berupa perubahan kualitas perilaku manusia yang berakses pada kognisi, afeksi dan keterampilan yang berkaitan dengan taraf hidupnya. Pembangunan sebagai gerakan mengandung makna bahwa pembangunan sebagai usaha sadar, terorganisir terarah dan berkelanjutan yang dilakukan birokrasi pemerintah bersama masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan sebagai metode berorientasi pada upaya penciptaan kemajuan sosal ekonomi yang didukung oleh pengorganisasian dan peran serta masyarakat pelaku pembangunan. Patricia (2004:7) efektif berarti mengerjakan pekerjaan yang benar dan efisien. Efektivitas didefinisikan juga sebagai suatu ukuran tingkatan input yang dapat dibandingkan terhadap output yang ditargetkan (ukuran keberhasilan mencapai output yang ditargetkan). Cameron (1998) dalam perkembangan selanjutnya, efektivitas menjadi issu sentral baik secara implisit maupun eksplisit, dalam semua pekerjaan pakar dan peneliti yang melakukan kajian tentang organisasi. Efektifitas sesuatu dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai keberhasilan sesuatu pekerjaan maupun keadaan. Dengan demikian, menurut March dan Sutton bahwa penggambaran variasi efektivitas merupakan salah satu tema abadi dalam studi kinerja organisasi. Lusthaus (2002:94) Khonsz (1972:89) berpendapat efektivitas dari segi pelaksanaan kebijakan sangat dipengaruhi oleh taraf pendidikan, pengalaman dan tingkat senioritas usia serta pertumbuhan sosial dari orang yang menjalankan kebijakan tersebut. Lebih lanjut dikemukakannya efektivitas pelaksanaan kebijakan dapat dilihat dari sektor prestasi kerja dalam hal: (1). kesungguhan/kecermatan, (2) keadilan, (3) kebijaksanaan, (4) kegairahan kerja/semangat, (5) pengendalian perasaan (emosi). Terkait dengan efektivitas suatu keorganisasian, Hitt (2001:50) mengemukakan bahwa kebanyakan organisasi menghadapi lingkungan eksternal yang berkembang semakin keras dan kompleks, sehingga membuat penafsiran semakin sulit. Untuk menangani data-data lingkungan yang tidak lengkap dan meningkatkan pemahaman mereka pada lingkungan umum, organisasi melibatkan diri dalam suatu proses yang disebut analisis lingkungan eksternal. Proses tersebut, dilakukan secara terus-menerus, yang terdiri dari empat komponen yaitu: Pemindaian (Scanning), Pemantauan (Monitoring), Peramalan (Forecasting), Penilaian (Assessing). Dalam pembentukan BAKORKAMLA di tingkat pusat telah ditetapkan bentuk struktur organisasi yang berlaku saat ini untuk dioperasionalkan secara nasional. Namun Undang-undang no 17 tahun 2008 mengisyaratkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang pelaksanaannya dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
4
Sementara itu untuk pelaksanaan di daerah perlu beberapa pertimbangan agar dalam pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Untuk mendapatkan bentuk organisasi pelaksanaan keamanan laut di daerah perlu dipelajari berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan operasional tersebut antara lain dengan mengumpulkan data dan informasi sebagai berikut: 1) Aspek kesesuaian program keamanan laut antara pusat dan daerah, meliputi: (a) kesesuaian visi dan misi, (b) kesesuaian program, (c) kesesuaian kebijakan, (d) ;2) Apek input berupa kesiapan daerah dalam melaksanakan keamanan laut, melipti: (a) kesiapan tenaga perencana, (b) kesiapan organisasi dan manajemen, (c) kesiapan dana pendukung, (d) kesiapan sarana dan prasarana pendukung, (e) ketersediaan waktu. 3) Aspek proses berupa efisiensi pelaksanaan program, meliputi: (a) efektivitas metode yang digunakan, (b) efisiensi waktu, (c) efektivitas kesiapan tenaga pelaksana, (d) efektivitas penggunaan sarana dan prasarana, (e) koordinasi, (f) pengendalian dalam pelaksanaan kegiatan, (g) efektivitas penilaian keberhasilan; 4) Aspek output berupa efektivitas pelaksanaan kegiatan program, meliputi: (a) efektivitas pencapaian tujuan, (b) efektivitas pencapaian sasaran, (c) efektivitas pembuatan laporan, (d) efektivitas deseminasi/sosialisasi, (e) efektivitas penerapan hasil-hasil kegiatan, (f) kualitas hasil-hasil kegiatan; 5) Aspek Outcome berupa manfaat dari hasil kegiatan yang telah dilakukan, meliputi: (a) manfaat bagi keorganisasian, (b) manfaat bagi masyarakat nelayan, (c) manfaat bagi pengusaha perikanan, (d) manfaat bagi pembinaan usaha perkoperasian, (e) manfaat dalam rangka pembinaan mental tenaga pelaksana program, (f) manfaat bagi pembinaan pendanaan usaha nelayan, (g) manfaat bagi pembinaan kewirausahaan, (h) manfaat bagi pembinaan disiplin usaha perkoperasian, (i) manfaat bagi pembinaan koordinasi tenaga pelaksana program, (j) manfaat bagi Stake holders; 6) Aspek impact dari hasil pelaksanaan kegiatan program, meliputi: (a) tersedianya berbagai kebijakan sebagai acuan, (b) keterpaduan kegiatan antara pusat dan daerah, (c) koordinasi pelaksanaan kegiatan antara pusat dan daerah, (d) kelancaran untuk pengembangan, (e) peningkatan mutu keorganisasian, (f) komunikasi antara pusat dan daerah, (g) peningkatan mutu SDM (h) peningkatan hubungan antara Stake Holders dengan masyarakat.
Metodologi Untuk memperoleh informasi dan data yang diperlukan, digunakan cara pengumpulan data dengan kuesioner yang berisikan 40 butir pertanyaan terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan operasional keamanan laut di daerah, seperti dijelaskan pada uraian sebelumnya . Kuesioner dikirim ke stake holder yang terkait dengan keamanan laut di 6 zona. Mengingat keterbatasan yang ada kajian dilaksanakan berdasar data dan informasi yang akan dikumpulkan di 2 lokasi/zona dari 6 zonasi tersebut. Data tersebut dipergunakan untuk melengkapi data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi untuk memilih bentuk organisasi Bakorkamla di daerah. 5
Kajian akan disajikan sebagai kajian deskriptif kuantitatif dan kuantitatif yang dianggap cukup untuk mendapatkan alternatif bentuk organisasi keamanan laut di daerah guna menunjang kegiatan BAKORKAMLA secara Nasional. Metode yang dilakukan berdasarkan pendekatan metode kualitatif dan metode kuantitatif. a. Metode kualitatif disesuaikan dengan KAK, ruang lingkup kegiatan Kajian Pengembangan Organisasi Bakorkamla Wilayah meliputi : 1. Identifikasi peran serta pemerintah daerah dalam pengamanan laut di wilayah administratifnya, strategi dan mekanisme pengamanan laut, perencanaan laut dan sistem pemantauan keamanan laut di daerah; 2. Inventarisasi mengenai gangguan keamanan laut di wilayah Indonesia. 3. Perencanaan zonasi pengamanan laut di wilayah laut Indonesia berdasarkan kondisi geografis, sosio-ekonomi dan kewilayahan bagi operasionalisasi Bakorkamla daerah/wilayah. b. Metode kuantitatif dilakukan dengan cara menyebarkan angket tertutup selanjutnya data tersebut dianalisis dengan teknik analisis Struktural Equation Modeling (SEM) untuk mengetahui: 1. Gambaran efektivitas keorganisasian pada kegiatan pengembangan program keamanan laut pusat dan daerah terkait dengan pencapaian tujuan. 2. Gambaran manfaat yang sudah dihasilkan oleh kegiatan pengembangan keamanan laut di daerah. Berdasarkan tinjauan manfaat dari sudut ekonomi, Poleksosbud, geografis, dan kekayaan SDA. 3. Gambaran aspirasi masyarakat daerah terkait dengan keorganisasian keamanan laut yang diinginkan. I.6
Sistematika
Laporan ini disusun dalam tiga bagian utama. Bagian pertama terdiri dari bab yang menguraikan mengapa kajian ini diperlukan, maksud dan tujuan kajian serta lingkup kerja kajian yang di uraikan dalam Bab I. Pendahuluan. Dalam bab berikutnya disampaikan situasi dan kondisi masalah kelambagaan keamanan laut saat ini dan keterkaitannya dengan regulasi yang ada, yang diuraikan dalam Bab II. Permasalahan dan Kondisi Saat ini. Bagian Kedua menguraikan pembahasan kajian, termasuk uraian hasil survey dan alternatif agan organisasi Bkorkamla. Daerah. Bagian terakhir adalah penutup, Bab IV Rekomendasi yang berisi kesimpulan dan rekomendasi atas kajian pengembangan kelembagaan di daerah/wilayah serta alternatif zonasi.
6
BA B II MASALAH DAN KONDISI SAAT INI
II II.1
MASALAH DAN KONDISI SAAT INI Issue Strategis Keamanan Laut
Issue strategis keamanan laut dapat dipandang dari berbagai aspek yang antara lain meliputi: kedaulatan atas wilayah perairan, ekonomi kelautan, posisi geografis dan mitigasi bencana alam, pulau dan perairan, biodiversity dan kekayaan sumber daya alam, masyarakat pesisir (POLEKSOSBUD), perbatasan serta penelitian. Hal-hal tersebut dapat diuraikan lebih terperinci sebagai berikut. II.1.1 Kedaulatan negara Seperti yang sudah diuraikan di bab Pendahuluan, Republik Indonesia adalah negara yang berdaulat penuh atas wilayahnya baik berupa daratan maupun lautan dan oleh karenanya berhak mewujudkan keberdaulatannya di laut untuk mengatur, mengawasi, melindungi serta mengolah kekayaan laut guna melindungi kepentingan nasional di laut. Hak dan kewenangan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan atas kekayaan laut dan sumber daya alam laut lainnya dijamin dalam UNCLOS/United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Undang-undang no.17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS mengukuhkan status Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Yang dimaksud dengan Negara Kepulauan menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan di antara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara histories telah dianggap sebagai satu kesatuan. Posisi geografis Indonesia yang strategis di antara dua benua, benua Asia dan Australia dan dua samudera, samudera Hindia dan Pasifik dengan wilayah laut kurang lebih 75% dari seluruh wilayah Republik Indonesia seluas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan kurang lebih 17.500 pulau dan 81.000 km garis pantai memerlukan agenda pengamanan yang menyeluruh dan terpadu untuk melindungi kepentingan nasional tersebut.
7
II.1.2 Ekonomi kelautan Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ekonomi kelautan akan berperan penting bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Kepentingan ini dapat ditunjukkan dengan ambisi negara-negara maju untuk menguasai samudera-samudera besar seperti Samudera Pasifik, bahkan Perancis yang berada di tengah Eropa turut menguasainya. Wilayah laut dan pantai nusantara mengandung banyak potensi kekayaan dari sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat terbarukan maupun yang tak terbarukan. Dari potensi kekayaan alam yang sangat besar ini setidaknya ada 11 sektor ekonomi kelautan1 yang dapat dikembangkan. (1) Perikanan tangkap (2) Perikanan budi daya (3) Industri pengolahan hasil perikanan (4) Industri bioteknologi (5) Pertambangan dan energi (6) Pariwisata bahari (7) Kehutanan (8) Perhubungan laut (9) sumber daya pulau-pulau kecil (10) Industri dan jasa maritim (11) Sumber daya alam nonkonvensional Potensi ekonomi dari kesebelas sektor ini diperkirakan dapat mencapai US$ 800 M (setara dengan Rp 7.200 triliun) per tahun yang mampu menciptakan lapangan kerja sekurang-kurangnya bagi 30 juta orang. Di antara sektor-sektor tersebut, saat ini industri pariwisata bahari dan industri garam sangat potensial dikembangkan. Sementara itu industri dan jasa kelautan perlu terus dikembangkan dan sangat memerlukan berbagai regulasi dan tindakan untuk mengamankan dan melindunginya. Data menunjukkan bahwa penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia terus meningkat, dengan total kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$ 2 milyar, atau sekitar Rp. 18 Trilyun per tahun. Dari kegiatan penyelundupan, Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 1 milyar per tahun. Eksploitasi pasir secara ilegal merugikan Indonesia lebih dari Rp. 2 Trilyun setiap tahun. Sementara kegiatan pencurian kayu (illegal logging) merugikan negara sekitar Rp 30 trilyun. Kondisi yang memprihatinkan tersebut menuntut upaya sistematis bangsa dan pemerintah untuk menyelamatkan perairan Indonesia, maupun meningkatkan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkan laut Indonesia.
1
Dahuri MS, Prof. Dr. Ir. Rohmin : Makna Hari Nusantara bagi Kedaulatan dan Kemakmuan Indonesia, Kompas Newspaper, December 17, 2008
8
II.1.3 Posisi geografis dan Mitigasi bencana alam Lempeng Benua Euroasia membentang sampai tepi bagian Timur Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa yang terlihat dari kedalaman laut sekitar 60 meter di Selat Malaka, Selat Karimata dan Laut Jawa. Di sini terdapat Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI I) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda adalah perairan dalam yang mencapai 6.000 meter, sampai Laut Arafura yang dasarnya bertemu dengan lempeng benua Australia. Di perairan ini terdapat 2 alur laut kepulauan Indonesia, ALKI II dan ALKI III. Gerakan kedua lempeng benua tersebut mengakibatkan berbagai bentuk gangguan alam seperti gempa, letusan gunung api sampai dengan tsunami yang sangat memerlukan pengamanan berbentuk tindakan pencegahan, penanggulangan dan bantuan pasca bencana terutama bagi pengguna perairan dan masyarakat pesisir. II.1.4 Pulau dan Perairan Terdapat berbagai bentuk perairan di antara ribuan pulau di wilayah nusantara. Berbagai bentuk perairan tersebut sangat mempengaruhi pola pengamanannya agar dapat efisien dan efektif. Perairan di Selat Malaka sangat berbeda situasi dan kondisinya dengan perairan di sekitar Kabupaten Maluku Tenggara Barat walaupun keduanya sama berbatasan dengan negara tetangga. Teluk dan perairan di pulau-pulau sekitar Laut Sulawesi dan Laut Banda sangat berbeda pengamanannya dengan telukteluk dan perairan di sekitar Selat Karimata. Demikian pula halnya dengan gugus pulau di Barat Pulau Sumatera dan perairan di Selatan Jawa sampai Selatan Nusa Tenggara Timur walaupun sama sebagai bagian dari Samudera Hindia. Pulau-pulau yang masih banyak tidak berpenghuni sangat memerlukan pola pengamanan dari kemungkinan disalahgunakan untuk keperluan illegal trading dan penyeludupan obat terlarang. II.1.5 Biodiversity dan Kekayaan SDA Megabiodiversity merupakan potensi sumber daya laut yang diakui dunia sebagai kekuatan sumber daya alam Indonesia namun belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk kesejahteraan rakyat banyak. Di samping kekayaan minyak dan gas yang telah dieksploitasi sebagai sumber devisa dan sumber energi negara maka kekayaan mineral di laut merupakan kekayaan sumber daya alam yang kelak dapat diandalkan. Mengamankan potensi ini sangat memerlukan pengetahuan dan teknologi. II.1.6 Masyarakat pesisir (POLEKSOSBUD) Lebih kurang 70% kota besar dunia berada di daerah pesisir demikian pulau halnya denga kota besar di Indonesia . Hanya 3 ibukota provinsi yang tidak berada di pantai dari 33 provinsi bahkan beberapa di antara provinsi tersebut merupakan provinsi kepulauan yakni Kepulauan Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
9
Maluku dan Maluku Utara. Namun jika dibandingkan kota besar dunia negara maju yang terletak di muara sungai sangat berbeda kondisinya dengan kota besar di Indonesia. Regulasi keamanan baik untuk kepentingan pemerintahan, masyarakat umum maupun kepentingan lingkungan sudah sangat maju sehingga masyarakat di perairan pinggiran kota tersebut telah merasakan keamanan yang dapat memberikan kenyamanan hidup. Pembangunan sanitasi dan infrastruktur lainnya di kota-kota pesisir di Indonesia masih memerlukan konsep dan regulasi agar dapat menjadi tempat yang nyaman. Kehidupan pesisir di desa-desa pesisir tentu lebih buruk lagi. Penduduk desa pesisir yang umumnya hidup sebagai nelayan merupakan bagian terbesar dari penduduk iskin Indonesia. Rendah dalam kualitas pendidikan, rendah dalam kesehatan dan tentu sangat rendah dalam tingkat perekonomian. Infrastruktur sangat jauh dari memadai sehingga masyarakat desa pesisir umumnya adalah masyarakat yang termajinalkan. Dengan kondisi sosial dan ekonomi seperti hal tersebut diatas dan kondisi wilayah nusantara yang terdiri dari pulau-pulau dimana masyarakat pesisir terbut berdiam, sangatlah rawan terhadap tingkat keamanan. Pada sisi lain sebenarnya pekerjaan nelayan justru dapat dimanfaatkan untuk sistem keamanan laut daerah apabila masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir baik tingkat kesejahteraannya. II.1.7 Perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan dengan negara-negara tetangga dan ada 10 (sepuluh) negara yang memiliki batas laut dengan Indonesia. Pulau-pulau di sekitar Pulau Sabang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berbatasan dengan India dan Thailand. Selat Malaka berbatasan dengan Malaysia dan Singapore. Perairan di Selat Karimata dan pulau-pulau di sekitar Pulau Natuna berbatasan dengan Thailand dan Malaysia. Laut Sulawesi bagian Utara dan perairan di sekitar Pulau Miangas berbatasan dengan Malaysia dan Philipina. Perairan di Utara Pulau Biak berbatasan dengan Negara-negara Pasifik Selatan dan perairan di sekitar Jayapura berbatasan dengan Papua New Guinea. Perairan Arafura bagian Selatan sampai pulau-pulau di Wetar berbatasan dengan Australia serta perairan di sekitar Pulau Timor berbatasan dengan Timor Leste. Penentuan batas laut tidaklah mudah diselesaikan dengan tuntas. Beberapa masalah perbatasan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan juga masih belum tuntas. Hal ini akan mempengaruhi masalah pelintas batas dan pencurian sumber daya laut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan sangat saling mempengaruhi dengan negara tetangga hal ini terutama diakibatkan budaya yang mirip atau sama dan kegiatan perdagangan dan kondisi sosial lainnya yang berlangsung sehari-hari.
10
II.1.8 Penelitian dan Antartika Demikian potensialnya kekayaan alam laut Indonesia baik untuk kepentingan ekonomi negara masa kini maupun masa yang akan datang, namun pengetahuan tentang potensi tersebut belum sepenuhnya dikuasai oleh bangsa Indonesia. Bila kekayaan laut tidak boleh diambil oleh orang asing, maka pengetahuan itu haruslah dikuasai oleh Bangsa Indonesia. Sudah tentu terdapat berbagai kepentingan dan minat negara lain terhadap kekayaan alam tersebut, oleh karenanya penelitian terhadap perairan di seluruh wilayah nusantara harus ditata dalam peraturan yang tepat untuk mengamankannya. Bahkan penelitian terhadap perairan seluruh samudera Hindia sampai ke Antartika Walaupun Pulau Christmas merupakan wilayah Australia dan merupakan bagian penelitian Antartika, tetapi terletak tidak jauh dari Selatan Jawa dan Barat Sumatera hingga sebenarnya Indonesia harus masuk dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di Antartika. Sebagai pemula Indonesia sudah dilibatkan empat kali namun dapat dikatakan masih sebatas peninjau. Keikut sertaan dalam kegiatan Antartika ini merupakan bagian penting dalam mengamankan laut nusantara terutama di bagian Selatan Indonesia.
II.2
Profil Zona Keamanan Laut
II.2.1 Pembagian wilayah dalam 6 Zona Kondisi keselamatan, kemananan di laut saat ini semakin rumit dengan maraknya kejahatan lintas negara (Transnational Organized Crime/TOC) dan belum adanya perjanjian ekstradisi antar negara. Hampir seluruh kejahatan yang termasuk kategori TOC dapat dilakukan di laut atau menggunakan laut sebagai medianya, seperti peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking), penyeludupan/perdagangan manusia (trafficking in person), penyeludupan senjata (arm smuggling), perompakan di laut (sea piracy), illegal trading, illegal fishing, perusakan sumber daya kelautan (terumbu karang), serta pencemaran lingkungan laut (tumpahan minyak). Titik-titik rawan tindak kriminalitas dapat dilihat pada peta berikut.
11
Sumber :Paparan Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla, di Seminar Palapa - RI, Februari 2007 Gambar 1. Dislokasi Tindak Pidana Tertentu di Laut, Jan – Juni 2007 Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa kegiatan gangguan keamanan laut yang paling sering terjadi adalah pencurian ikan, illegal logging dan perompakan. Pencurian ikan terjadi hampir merata di seluruh wilayah perairan Indonesia, yang tersebar secara sporadis. Wilayah yang sering terjadi pencurian ikan dan perompakan yaitu Selat Malaka dan sekitarnya. Sedangkan jalur illegal logging dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Sumber :Paparan Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla, di Seminar Palapa - RI, Februari 2007 Gambar 2. Peta Kerawanan Kegiatan Illegal Logging
12
Untuk memudahkan dan memperlancar proses kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia maka perlu ditetapkan zonasi wilayah laut Indonesia. Zonasi wilayah pengamanan laut yang sudah ada adalah pembagian wilayah yang terbagi atas 6 zona, yaitu: 1. BABEL meliputi: Aceh, Sumut, Jambi, Riau, Sumsel, Lampung, Sumbar, Bengkulu, Banten, Bangka Belitung dan Kepri(Kepulauan Riau) 2. PONTIANAK meliputi: Kalbar, Kalsel, Kalteng, Jabar, Jateng dan Jatim 3. TARAKAN meliputi: Kaltim, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Bali, dan NTB 4. BITUNG meliputi: Sulut, Sulgara, Maluku Utara, Maluku dan Biak 5. MERAUKE meliputi: Papua Barat & Papua Selatan 6. TUAL meliputi: NTT, Dobo & Perbatasan Australia II.2.2 Zona Bangka Belitung Zona Bangka Belitung meliputi provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Bengkulu, Banten. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 o 50’ sampai 109o 30’ Bujur Timur dan 0 o 50’ sampai 4 o 10’ Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Natuna Sebelah Selatan : berbatasan dengan Laut Jawa Sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Bangka Sebelah Timur : berbatasan dengan Selat Karimata Kepulauan Bangka Belitung merupakan gugusan dua pulau yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang sekitarnya dikelilingi pulau-pulau kecil, dengan ibukota provinsi Kota Pangkal Pinang. Pulau-pulau kecil yang mengitari Pulau Bangka antara lain Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa, Panjang, Tujuh. Sedangkan Pulau Belitung dikelilingi oleh pulau-pulau kecil antara lain Lima, Lengkuas, Selindung, Pelanduk, Seliu, Nadu, Mendanau, Batu Dinding, Sumedang dan pulau-pulau kecil lainnya. Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total luas wilayah mencapai 81.725,14 km2. Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km2 atau 20,10 % dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km2 atau 79,9 % dari total wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah daratan terbagi dalam 6 (enam) Kabupaten dan 1 kota, yaitu kabupaten bangka dengan luas wilayah 2.950,68 km2; Kabupaten Bangka Barat dengan luas 2.820,61 km2; Kabupaten Belitung luas wilayah 2.293,69 km2; Belitung Timur 2.506,91 km2 dan kota Pangkal Pinang dengan luas wilayah 89,40 km2.
13
Gambar 3. Peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Daerah Kepulauan Bangka Belitung dihubungkan oleh perairan laut dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan daratan dan perairan Bangka Belitung merupakan satu kesatuan dari bagian dataran Sunda, sehingga perairannya merupakan bagian Dangkalan Sunda (Sunda Shelf) dengan kedalaman laut tidak lebih dari 30 meter. Sebagai daerah perairan, Kepulauan Bangka Belitung mempunyai dua jenis perairan yaitu perairan terbuka dan perairan semi tertutup. Perairan terbuka yang terdapat di sekitar pulau Bangka terletak di sebelah utara, timur dan selatan pulau Bangka. Sedangkan perairan semi tertutup terdapat di selat Bangka dan teluk Kelabat di Bangka Utara. Sementara itu perairan di pulau Belitung umumnya bersifat perairan terbuka. Sub sektor perikanan khususnya perikanan laut sangat dominan mengingat kepulauan Bangka Belitung dikelilingi oleh lautan dan berbatasan dengan Laut Cina Selatan yang memiliki sumberdaya laut yang relatif besar untuk dikembangkan. Komoditi yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seperti ikan kerapu, kakap merah, udang, cumi-cumi, sirip ikan dan lain-lain. II.2.3
Zona Pontianak
Pontianak merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Barat, merupakan provinsi yang berbatasan dengan negara bagian Serawak Malaysia. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur, dengan luas wilayah 146.807 km (7,53 % dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas Pulau Jawa) dan menjadi provinsi terluas ke empat setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Provinsi ini terletak pada 108o - 114o Bujur Timur dan 2o6’ Lintang Utara - 3o5 Lintang Selatan, dan dilewati oleh garis khatulistiwa tepat di Kota Pontianak (0 derajat), dengan batas wilayah sebagai berikut:
14
Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat
: berbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur) : berbatasan dengan Laut Jawa : berbatasan dengan Selat Karimata dan Laut Cina Selatan Sebelah Timur: berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah
.
Gambar 4. Peta Provinsi Kalimantan Barat Yang termasuk dalam Zona Pontianak adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimatan Barat merupakan perairan laut, tetapi Kalimantan Barat memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna, yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Riau. Sebagai teras depan wilayah perbatasan dengan negara tetangga, provinsi ini memiliki penduduk yang sifatnya heterogen, dimana berbagai etnis serta suku baik yang berasal dari negeri tetangga maupun dari berbagai provinsi sekitar dan berbaur dalam satu lingkungan. Namun kecenderungan masyarakat di wilayah ini juga berorientasi ke Serawak baik dalam hal informasi (media cetak, radio, televisi, dan lain-lain) yang berhubungan dengan politik, hukum maupun pertahanan keamanan yang berpotensi melunturkan rasa nasionalisme serta kesadaran politik masyarakat di wilayah ini. Rendahnya tingkat kesadaran hukum dan disiplin masyarakat di wilayah ini serta rendahnya pengawasan di pos-pos perbatasan kerap kali memicu terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal, seperti TKI ilegal, illegal logging, illegal trading, illegal mining, human traficiking, serta tindakan ilegal dan kriminalitas lainnya.
15
Daerah Kalbar termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi "Seribu Sungai". Julukan ini sesuai dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Letak geografis yang strategis pada persimpangan dua benua dan beberapa Negara Asean, menyebabkan Kalimantan Barat secara langsung maupun tidak langsung dapat berpotensi terlibat aktif dalam permasalahan kejahatan transnasional. Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintupintu masuk Indonesia seperti pelabuhan laut, darat dan udara, serta masih terbatasnya kerjasama internasional dan bilateral di bidang transnasional menjadikan wilayah ini menjadi lahan subur potensial bagi tumbuhnya kejahatan transnasional. Lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan pengelolaan sumber daya alam, telah mengundang pihak-pihak tertentu termasuk pihak asing untuk memanfaatkannya secara ilegal baik berupa illegal logging, illegal mining, illegal fishing, maupun trafficking yang mengakibatkan kerugian Negara mencapai ratusan trilyun setiap tahunnya. Banyaknya kapal-kapal asing tanpa dokumen resmi yang ditangkap di perairan Laut Natuna baik yang melakukan penangkapan ikan, penambangan, atau pengapalan kayu-kayu gelondongan menunjukan bahwa kejahatan terhadap sumber daya alam relatif belum menunjukan gejala penurunan tingkat kriminalitas. II.2.4
Zona Tarakan
Kota Tarakan merupakan salah kota yang termasuk dalam wilayah Provinsi Kalimanan Timur. Zona ini terdiri dari Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Timur, dengan ibukota Samarinda, membentang dari Utara - Selatan sepanjang 1.038 km dengan luas sekitar 57.731,64 km2. Secara astronomis wilayah ini terletak pada 4o20’ dan 1o20’ Lintang Utara, dan 113o35’ Bujur Timur, dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah dan Serawak. Sedangkan secara geografis, Provinsi Kalimantan Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara
:
Sebelah Selatan
:
Sebelah Barat
:
Sebelah Timur
:
berbatasan dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia Timur) berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Negara Bagian Serawak (Malaysia Timur) berbatasan dengan Selat Makassar, Laut Sulawesi dan Selat Sulawesi
16
Gambar 5. Peta Provinsi Kalimantan Timur Berdasarkan Undang-undang No.29 tahun 1997 dan Peraturan Daerah No.23 Tahun 1999, wilayah administrasi Kota Tarakan meliputi 4 kecamatan dan 18 kelurahan. Kota Tarakan, yang secara geografis terletak pada 3o14'23"-3o26'37" Lintang Utara dan 117o30'50"-117o40'12" Bujur Timur, terdiri dari 2 (dua) pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas wilayah mencapai 657,33 km2, terdiri atas wilayah daratan seluas 250,80 km2 dan wilayah lautan seluas 406,53 km2. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur
: : : :
berbatasan dengan Pesisir Pantai KecamatanBunyu berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Palas berbatasan dengan Pesisir Pantai Kecamatan Sesayap berbatasan dengan Kecamatan Bunyu dan Laut Sulawesi
Kota Tarakan, yang didiami oleh suku asli Tidung, dalam perkembangannya sebagaimana daerah lain dihuni pula oleh suku-suku lain seperti; Suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada pada Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kota Tarakan per Juli 2008, jumlah penduduk Kota Tarakan mencapai 176.668 jiwa,
17
Tarakan mempunyai potensi kelautan yang demikian besar. Sumber daya ini telah dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakatnya dalam mencari nafkah sebagai nelayan dan petambak udang. Hasil laut yang melimpah ini selain dikonsumsi oleh masyarakat setempat, sebagian besar (terutama udang) telah dijadikan komiditi ekspor oleh beberapa pengusaha melalui Cold Storage mereka. Keberadaan perusahaan-perusahaan ini mampu menyedot sejumlah besar tenaga kerja yang sangat membantu Pemerintah Daerah dalam menanggulangi permasalahan ketenagakerjaan. Kemajuan dan perkembangan Kota Tarakan yang dulu dipicu dengan beroperasinya beberapa perusahaan di bidang perminyakan, pada akhirnya juga mendorong daerah berkembang menjadi Kota Transit, Industri Jasa dan Perdagangan. Secara umum, wilayah Provinsi Kalimantan Timur mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan, baik potensi sumber daya alam maupun potensi di bidang jasa, perdagangan dan wisata. Wilayah ini memiliki sumber daya hutan, sumber daya hayati di hutan lindung, dan Taman Nasional Kayan Mentarang yang membentang sepanjang wilayah perbatasan, serta potensi pertambangan yang belum optimal pengelolaannya. Wilayah ini juga potensial untuk jasa dan perdagangan, terutama kawasan Sebatik dan Nunukan yang letaknya strategis perbatasan dengan Negara Malaysia dan Filipina. Namun sayangnya, provinsi ini juga rawan terhadap disintegrasi bangsa dan pencurian sumber daya alam. Sumberdaya alam daerah perbatasan Kalimantan Timur lebih banyak diperdagangkan secara ilegal ke luar negeri akibat kondisi infrastruktur industri yang lebih memadai serta kesempatan melakukan usaha ekonomi yang lebih pasti di luar negeri. Hal ini menjadi semakin buruk dengan lemahnya pengawasan atas hasil eksploitasi sumberdaya alam di dalam negeri. Masalah ini tentu saja sangat menguntungkan Negara tetangga yang dapat memanfaatkan hasil eksploitasi sumber daya alam kita dengan harga yang lebih murah.
II.2.5
Zona Bitung
Kota Bitung merupakan salah satu pemerintah kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara dengan luas wilayah daratan 304 km2. Zona Bitung terdiri atas Provinsi Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Kota Biak. Provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado, terletak pada posisi 0o30’ - 5°35’ Lintang Utara dan 123°20’ 127°00’ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur
: : : :
berbatasan dengan Filipina berbatasan dengan Teluk Tomini berbatasan dengan Provinsi Gorontalo berbatasan dengan Laut Maluku
18
Gambar 6. Peta Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara memiliki luas 15.472,98 km2, dan panjang garis pantai 1.837 km. yang terdiri dari beberapa pulau, diantaranya adalah Pulau Manado Tua, Pulau Bangka, Pulau Lembeh, Pulau Siau, Pulau Tagulandang, Pulau Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu. Wilayah perairan laut Sulawesi Utara memiliki 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan kepulauan, yaitu: (1) Gugusan kepulauan Talaud yang letaknya paling Utara masuk dalam wilayah adminstratif Kabupaten Talaud, (2) Gugusan Sangir Besar masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sangihe, dan (3) Siau Tagulandang dan Biaro (disingkat Sitaro) sedang menunggu status otonom. Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang secara geografis dan administrasi terletak di wilayah perbatasan negara. Secara geografis, Kota Bitung terletak pada posisi diantara 1o23'23" - 1o35'39" LU dan 125o1'43" - 125o18'13" BT, dengan batas wilayah:
Sebelah Utara
Sebelah Selatan : Sebelah Barat :
Sebelah Timur
:
:
Berbatasan dengan Kecamatan Likupang dan Kecamatan Dimembe (Kabupaten Minahasa Utara) berbatasan dengan Laut Maluku berbatasan dengan Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa Utara) berbatasan dengan Laut Maluku dan Samudera Pasifik
19
Gambar 7. Peta Kota Bitung Wilayah daratan mempunyai luas 304 km2, secara administratif terbagi dalam lima wilayah kecamatan serta enam puluh kelurahan. Lima kecamatan tersebut masingmasing Kecamatan Bitung Utara (136,40 km2) meliputi 12 kelurahan, Kecamatan Bitung Tengah (24 km2) meliputi 10 kelurahan, Kecamatan Bitung Barat (33,62 km2) meliputi 10 kelurahan, Kecamatan Bitung Timur (59,08 km2) terdiri dari 13 kelurahan dan Kecamatan Bitung Selatan yang terdapat di Pulau Lembeh (50.90 km2) meliputi 15 kelurahan. Sebagai pintu gerbang jalur laut di Provinsi Sulawesi Utara, dengan berbagai aktifitas perdagangan dan pendidikan serta dengan keberadaan sumber daya alam yang cukup memadai, Kota Bitung memiliki lahan sawah seluas 156 Ha , lahan kering 28.719 Ha dan lainnya 1252 Ha, menunjukkan penggunaan lahan dalam pembangunan Kota Bitung cenderung maksimal. Kota Bitung merupakan kota multi dimensi dengan keragaman etnis yang dalam kesehariannya berkembang dalam nuansa kebersamaan dengan menghargai keragaman tersebut dengan didukung semangat dan budaya Mapalus. Kelurahan yang ada masih ada yang mempunyai ciri pedesaan baik dilihat dari segi fisik maupun pola hidup masyarakatnya. Masih ada beberapa kelurahan yang bercirikan kelurahan pesisir (Bitung Selatan, Bitung Timur dan beberapa kelurahan di Bitung Utara) maupun kelurahan yang bercirikan masyarakat petani (Bitung Utara). Keberhasilan pembangunan Kota Bitung yang dicerminkan dari laju pertumbuhan ekonomi cukup menggembirakan, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para migran untuk tinggal dan bekerja di Kota Bitung. Ratarata kepadatan penduduk pada Tahun 2005 mencapai sekitar 558 jiwa per km2. Terwujudnya Kota Bitung sebagai kota pelabuhan internasional, industri, pariwisata, perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan dan unggul di era globalisasi, sesuai dengan visi yang akan dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Kota Bitung.
20
Sebagai daerah perbatasan secara geopolitik, Provinsi Sulawesi Utara memiliki potensi dan kerawanan ideologi, sosial politik, ekonomi dan pertahanan keamanan nasional dalam interaksi aktifitas kerja sama global terutama kerjasama bilateral maupun multirateral dengan negara tetangga terutama negara Filipina yang perlu dikelola secara dinamis dan konstruktif. Secara geografis, Provinsi Sulawesi Utara berada di ujung Utara kepulauan nusantara, sehingga berperan sebagai pembatas antara RI dengan Negara Filipina. Hal ini menjadikan provinsi Sulawesi Utara memiliki nilai strategis, antara lain: (1) Berada di bibir Asia dan Pasifik yang memungkinkan wilayah ini menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi wilayah di Kawasan Timur Indonesia; (2) Berada pada jalur lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 2 dan ALKI 3); (3) Didukung oleh pelabuhan bertaraf internasional. Dengan beberapa nilai strategis tersebut, menjadikan Provinsi Sulawesi Utara mempunyai kesempatan luas untuk mengembangkan potensi ekonominya. II.2.6
Zona Merauke
Kabupaten Merauke merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Papua, dengan ibukota provinsi Kota Jayapura. Zona Merauke ini hanya terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Papua Selatan. Provinsi Papua yang mempunyai luas 421.981 km2, terletak diantara 130º - 141º Bujur Timur dan 2º25´ Lintang Utara - 9º Lintang Selatan, dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Sebelah Selatan : Sebelah Barat :
Sebelah Timur
:
berbatasan dengan Samudera Pasifik berbatasan dengan Laut Arafura berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, dan Provinsi Maluku berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG)
Gambar 8. Peta Provinsi Papua
21
Kabupaten Merauke yang merupakan wilayah perbatasan paling timur di Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan upaya pembangunannya semakin menunjukkan adanya perubahan dan kemajuan yang telah dirasakan manfaatnya bagi kehidupan masyarakat. Disatu sisi perubahan dan kemajuan tersebut semakin menuntut percepatan pembangunan daerah. Namun sebagaimana umumnya wilayah perbatasan lainnya, sebagian besar kondisi masyarakat di sepanjang wilayah perbatasan Papua masih tertinggal dengan tingkat kesejahteraan yang rendah serta kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat akibat kondisi geografis, topografis yang sukar dan berat diterobos. Kondisi ini menyebabkan rendahnya tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat di bidang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat, serta melatarbelakangi maraknya kegiatan-kegiatan illegal seperti illegal logging, illegal trading, trafficking serta kegiatan illegal lainnya. Kabupaten Merauke terletak pada 1370 30’ – 1410 00’ Bujur Timur dan 50 00’ – 90 00’ Lintang Selatan, dengan luas wilayah 45.071 km2 (UU No. 26 tahun 2002 ) berbatasan langsung dengan:
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Laut Arafura
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Laut Arafura
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Papua New Guinea
Gambar 9. Peta Kabupaten Merauke Sebagai persimpangan jalur lalulintas negara-negara Asia, Pasifik, New Guinea, dan Australia yang cukup padat yang sangat strategis dan ekonomis bagi perkembangan kemajuan pembangunan ke depan. Kabupaten Merauke dalam konteks wilayah, nasional bahkan internasional memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu sebagai pusat pemerintahan dengan berbagai aktifitas pelayanannya
22
Sebagai pilar terdepan bangsa Indonesia karena berbatasan langsung serta mempunyai rentang perbatasan yang sangat panjang dengan negara tetangga PNG dan laut yang berbatasan langsung dengan perairan Australia Untuk mempercepat pembangunan di daerah dan mengejar ketertinggalan daerahdaerah di sebelah selatan papua yang memiliki luas 37,8 % dari luas Provinsi Papua dengan daerah lain di Papua, maka pada tanggal 7 Februari 2007 telah terwujud suatu kesepakatan dari empat kabupaten yang ada sebelah selatan Papua untuk membentuk Provinsi Papua Selatan yang tertuang dalam Dokumen Kesepakatan Percepatan Pembentukan Provinsi Papua Selatan yang ditanda tangani oleh unsur Pemerintah Daerah, DPRD serta perwakilan tokoh masyarakat, adat, pemuda dan agama dari kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. II.2.7
Zona Tual
Kota Tual adalah kota otonom yang ada di Provinsi Maluku. Satuan administratif ini belum resmi berdiri, tetapi telah disetujui Rancangan Undang-undang pendiriannya oleh DPR RI pada tanggal 17 Juli 2007. yang termasuk dalam zona ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Dobo, dan perbatasan Australia. Secara keseluruhan Provinsi Maluku memiliki wilayah seluas 712.479,69 km2. sebagian besar wilayahnya merupakan perairan seluas 658.294.69 km2, sedangkan luas wilayah daratannya hanya sekitar 54.185 km2. Provinsi ini merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 632 pulau besar dan kecil, dengan batasan wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Provinsi Irian Jaya
Provinsi Maluku merupakan salah satu dari 12 provinsi di Indonesia yang wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara lain, yaitu Timor Leste dan Australia. Karena tipologi perbatasan yang berada di wilayah laut, maka wilayah perbatasan negara di Provinsi Maluku meliputi pula pulau-pulau kecil terluar yang berdampingan langsung dengan wilayah laut Negara tetangga. Dalam konteks pengembangan wilayah perbatasan, kondisi keamanan di wilayah perbatasan Maluku sangat terkait erat dengan penetapan garis batas antar negara dan pengamanan di wilayah perbatasan antar negara di laut. Kondisi garis batas negara yang jelas dan telah disepakati bersama dengan negara tetangga, yaitu Timor Leste dan Australia sangat penting untuk menjamin kedaulatan dan yurisdriksi negara. Adanya kondisi garis batas yang belum disepakati dikhawatirkan dapat memicu konflik dengan negara lain.
23
Gambar 10. Peta Provinsi Maluku Berbagai isu dan permasalahan yang berkembang di wilayah perbatasan Maluku berbeda dengan wilayah provinsi lain dimana bentangan kawasan perbatasan yang ada sangat luas dengan tipologi perbatasan laut dan pulau-pulau kecil terluar. Kawasan ini juga berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, sebuah negara baru yang tingkat kesejahteraannya saat ini tidak jauh berbeda, namun memiliki potensi berkembang di masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan terdapat beberapa isu yang memerlukan penanganan yang spesifik. Kasus-kasus penyelundupan, misalnya penyelundupan BBM lewat wilayah laut, kerap terjadi di wilayah perbatasan Maluku. Penyelundupan melalui jalur laut jumlahnya cukup besar karena melibatkan kapal-kapal asing. Masalah ini terjadi akibat minimnya sarana dan prasarana keamanan dan pengawasan perbatasan yang tidak sebanding dengan luas wilayah perbatasan yang ada. Selain itu rendahnya kesejahteraan masyarakat turut mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan penyelundupan.Di kawasan ini sering pula terjadi pencurian sumber daya hayati laut secara ilegal oleh kapal-kapal asing dengan menggunakan pukat harimau, terutama di laut Arafura sebagai lokasi penangkapan ikan terbesar di dunia. Hal ini selain berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, juga sangat merugikan bagi lingkungan.
II.3 II.3.1
Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan Peraturan perundang undangan nasional
Kajian kelembagaan tentang lembaga keamanan laut berhubungan secara langsung maupun tak langsung dengan peraturan perundang-undangan lain yang masih berlaku saat ini. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
24
Tabel 1. Peraturan Perundang-undangan Terkait No 1. 2. 3. 4.
Undang-Undang
Tentang
UU No. 1 Tahun 1973 UU No. 5 Tahun 1983 UU No. 17 Tahun 1985 UU No. 5 Tahun 1990
Landas Kontinen Indonesia Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Pengesahan UNCLOS 1982 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Keimigrasian Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Kepabeanan Perairan Indonesia Lingkungan Hidup Minyak dan Gas Bumi Kepolisian Negara Rl Perikanan Pemerintahan Daerah TNI Penataan Ruang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil Pelayaran
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
UU No. 9 Tahun 1992 UU No. 16 Tahun 1992 UU No. 10 Tahun 1995 UU No. 6 Tahun 1996 UU No. 23Tahun1997 UU No 22 Tahun 2001 UU No. 2 Tahun 2002 UU'No. 31 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 34 Tahun 2004 UU No. 26 Tahun 2007 UU No. 27 Tahun 2007
17.
UUNo. 17 Tahun 2008
Bagian ini mengidentifikasi aspek kelembagaan terkait, penegakan hukum dan batasan daerah pengaturan pada setiap peraturan perundang-undangan terkait. Secara lengkapnya, uraian pasal-pasal tersebut diuraikan di bawah ini. II.3.1.1 UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Pasal-pasal dalam UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mempunyai kaitan dengan keamanan laut, di antaranya yaitu: a. Kelembagaan Terkait Pasal 4 : Eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di bidang masing-masing. Pasal 10 ayat (1) : Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan: a. Pertahanan dan keamanan nasional; b. Perhubungan; c. Telekomunikasi dan transmisi listrik di bawah laut; d. Perikanan; e. Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; f. Cagar alam.
25
b. Batasan Daerah Pengaturan Pasal 1 butir a : Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. II.3.1.2 UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia a. Kelembagaan Terkait Pasal 5 ayat (2) : Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 5 ayat (3) : Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEEl oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Pasal 6 : Barangsiapa membuat dan/atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEEl harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut. Pasal 7 : Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di ZEEI harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syaratsyarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 8 ayat (1) : Barangsiapa melakukan kegiatan-kegiatan di ZEEl, wajib melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut. Pasal 8 ayat (2) : Pembuangan di ZEEl hanya dapat dilakukan setelah memperoleh keizinan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pasal 14 ayat (1) : Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di ZEEl adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal 14 ayat (2) ; Penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 14 ayat (3) : Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orangorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a.
26
b. Batasan Daerah Pengaturan Pasal 2 : Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. II.3.1.3 UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea Untuk memperkuat hak dan kewajiban Indonesia di wilayah laut, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Menurut Subagyo (2002), sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 1985 bahwa UNCLOS 1982 ditinjau dari isinya dapat dirinci, yaitu sebagai berikut: Pertama, sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuaan hukum di laut lepas dan hak lintas damai laut internasional. Kedua, sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dengan kriteria landas kontinen. Ketiga, sebagian merupakan rezim-rezim hukum baru, seperti asas Negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif, dan penambangan di dasar laut internasional. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejimrejim hukum sebagai berikut: 1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan 2. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional 3. Zona Ekonomi Eksklusif 4. Landas Kontinen 5. Laut Lepas 6. Rejim Pulau 7. Rejim Laut tertutup/setengah tertutup 8. Rejim akses negara tidak berpantai ke dan dari laut serta kebebasan transit 9. Kawasan Dasar laut Internasional 10. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan Laut 11. Penelitian ilmiah kelautan 12. Pengembangan dan Alih Teknologi 13. Penyelesaian Sengketa 14. Ketentuan Penutup
27
II.3.1.4 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya a. Kelembagaan Terkait Pasal 38 ayat (1): Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah b. Batasan Daerah Pengaturan Pasal 14 : Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari: a. cagar alam; b. suaka margasatwa. Pasal 17 ayat (1) : Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Pasal 29 ayat (1) : Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. taman nasional; b. taman hutan raya; c. taman wisata alam. Pasal 31 ayat (1) : Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. II.3.1.5 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian a. Kelembagaan Terkait
Pencegahan -
-
Pasal 11 ayat (1): Wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh: a.
Menteri, sepanjang menyangkut urusan yang bersifat keimigrasian.
b.
Menteri Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
c.
Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 huruf g UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Rl.
d.
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakan keamanan dan pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988.
Pasal 11 ayat (2):
28
Pelaksanaan atas keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau Pejabat imigrasi yang ditunjuk olehnya.
Penangkalan: -
Pasal 15 ayat (1): Wewenang dan tanggung jawab penangkalan terhadap orang asing dilakukan oleh: a. Menteri, sepanjang menyangkut urusan yang bersifat keimigrasian. b. Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 huruf g UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Rl. c.
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakan keamanan dan pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988.
- Pasal 15 ayat (2) : Pelaksanaan atas keputusan penangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk olehnya. -
Pasal 16 ayat (1) : Wewenang dan tanggung jawab penangkalan terhadap Warga Negara Indonesia dilakukan oleh sebuah Tim yang dipimpin oleh Menteri dan anggotanya terdiri dari unsur-unsur: a. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; b. Kejaksaan Agung Republik Indonesia; c. Departemen Luar Negeri; d. Departemen Dalam Negeri; e. Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional; dan f.
-
Badan Koordinasi Intelijen Negara.
Pasal 16 ayat (2) : Pelaksanaan atas keputusan penangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk olehnya.
Penyidikan -
Pasal 47 ayat (1) : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Repubtik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Penyidikan -
Pasal 47 ayat (1) : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
29
Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. -
Pasal 47 ayat (2) : Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang; a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; b. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang, yang disangka melakukan tihdak pidana keimigrasian; c. memeriksa dan/atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perialanan, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; e. melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; f.
mengambil sidik.jari dan memotret tersangka.
Ketentuan Pidana -
Pasal 48 : Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat (migrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000.
-
Pasal 49 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 30.000.000 a. orang asing yang dengan sengaja membuat palsu atau memalsukan Visa atau izin keimigrasian; atau b. orang asing yang dengan sengaja menggunakan Visa atau izin keimigrasian palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau berada di wilayah Indonesia.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir a : Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 1 butir b : Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi darat, laut, dan udara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30
II.3.1.6 UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 13 : Petugas karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina berdasarkan Undang-undang ini
b. Aturan Penegakkan Hukum
Tindakan Karantina -
Pasal 9 ayat (1) : Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang dimasukkan, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam, dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
-
Pasal 9 ayat (2) : Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republ'ik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
-
Pasal 9 ayat (3) : Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia tidak dikenakan tindakan karantina, kecuali disyaratkan oleh negara tujuan.
-
Pasal 10 : Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina, berupa a. pemeriksaan; b. pengasingan; c. pengamatan; d. perlakuan; e. penahanan; f. penolakan; g. pemusnahan; h. pembebasan.
Yurisdiksi negara -
Pasal 30 ayat (1) : Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
-
Pasal 30 ayat (2) : Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam UU No, 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan UU No. 5
31
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. -
Pasal 30 ayat (3) : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan erkenaan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan; a. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi dalam tindak pidana di bidang karantina hewan, ikin, dan tumbuhan; b. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan; d. membuat dan menandatangani berita acara; e. menghentikan penyidikan apabila tidak didapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
-
Pasal 30 ayat (4) : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan Pidana -
Pasal 31 ayat (1) : Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000.
-
Pasal 31 ayat (2) : Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak R. 50.000.000.
c. Batasan Pengaturan
Pasal 1 butir 12 : Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat tain yang dianggap perlu, yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan/atau mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan.
32
II.3.1.7 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 8 : Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Pasal 1 butir 8 : Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 76 ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undangundang ini, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta bantuan angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya.
Pasal 76 ayat (2) : Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya berkewajiban untuk memenuhinya.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Wewenang Kepabeanan -
Pasal 74 ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undangundang ini dan peraturan perudang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal, Pejabat Bea dan Cukai untuk mengamankan hak-hak negara berwenang mengambit tindakan yang diperlukan terhadap barang.
-
Pasal 74 ayat (2) : Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-
Pasal 75 ayat (1) : Pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan pengawasan sarana pengangkut agar melalui jalur yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) serta untuk melaksanakan pemeriksaan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya.
Ketentuari Pidana -
Pasal 102 : Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000.
-
Pasal 103 : Barangsiapa yang : a. menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Pabean; b. mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea. dan
33
Cukai, dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor; c. membuat, menyetujui, atau serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan; d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000. -
Pasal 104 : Barangsiapa yang; a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal102; b. memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-undang ini harus disimpan; c. menghiiangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; d. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.
-
Pasal 105 : barangsiapa yang: a. membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini; b. tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang. telah dipasang oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000.
-
Pasal 106 : Importir, eksportir, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan Sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp 125.000.000.
-
Pasal 107 : Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya.
34
-
Pasal 108 ayat (1) : Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau melalaikan pencegahannya.
-
Pasal108 ayat (2) : Tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan juga oleh atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpuian, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
-
Pasal 108 ayat (3) : Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 300.000.000 jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.
-
Pasal 109 ayat (1) : Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara.
-
Pasal109 ayat (2) : Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dapat dirampas untuk negara.
-
Pasal 110 ayat (1) : Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan terpidana.
-
Pasal110 ayat (2) : Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
-
Pasal 111 : Tindak pidana di bidang Kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya tindak pidana.
35
Penyidikan -
Pasal112 ayat (1) : Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.
-
Pasal 112 ayat (2) : Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang: a. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan; b. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan; f.
memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait; h. mengambil sidik jari orang; i.
menggeledah rumah tinggai, pakaian, atau badan;
j.
menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
k. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan; l.
memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
m. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan; n. menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; o. menghentikan penyidikan;
36
p. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab. -
Pasal112 ayat (3) : Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
-
Pasal 113 ayat (1) : Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di Bidang Kepabeanan.
-
Pasal 113 ayat (2) : Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah yang bersangkutan melunas? Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah Bea Masuk yang tidak atau kurang dibayar.
c. Batasan Daerah Pengaturan -
Pasal 1 butir 2 : Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang ini.
-
Pasa 1 ayat 3 : Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
II.3.1.8 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia a. Kelembagaan Terkait
Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan: Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden
b. Aturan Penegakkan Hukum
Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan: Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24 ayat (2) yang menyebutkan: Yurisdiksi adalah penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia
37
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum, internasional lainnya: dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan: Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan: Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang dikukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 3 ayat (3) yang menyebutkan: Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
Pasal 3 ayat (4) yang menyebutkan: Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamannya semua, bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 4 yang menyebutkan: Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
II.3.1.9
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup
a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 25 yang menyebutkan: Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Wewenang Pengelolaari -
Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan: Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan-untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.
-
Pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan: Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
38
a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan iingkungan hidup; b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika; c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika; d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi Administrasi -
Pasal 25 ayat (1) yang menyebutkan: Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya peianggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan-tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
-
Pasal 25 ayat (2) yang menyebutkan: Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/ Walikotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat i.
Ganti Rugi -
Pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap perbuatan melahggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
-
Pasal 34 ayat (2) yang menyebutkan: Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Penyidikan -
Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan: Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
39
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Pasal 40 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang (ingkungan hidup; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasi! pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup; f. -
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Pasal 40 ayat (3) yang menyebutkan: Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dfmaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasii penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Pofisi Negara Republik Indonesia.
-
Pasal 40 ayat (4) yang menyebutkan: Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Ketentuan Pidana -
Pasal 41 ayat (1) yang menyebutkan: Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000.
-
Pasal 41 ayat (2) yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000.
40
-
Pasal 42 ayat (1) yang menyebutkan: Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.
-
Pasal 42 ayat (2) yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau iuka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000.
-
Pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan: Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000
-
Pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan: Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
-
Pasal 43 ayat (3) yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000.
-
Pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan: Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.
-
Pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan:
41
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau iuka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000. -
Pasaf 45 yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiganya.
-
Pasal 46 ayat (1) yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap Redua-duanya.
-
Pasal 46 ayat (2) yang menyebutkan: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
-
Pasal 46 ayat (3) yang menyebutkan: Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
-
Pasal 46 ayat (4) yang menyebutkan: Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
-
Pasal 47 yang menyebutkan: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak
42
pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau f.
Menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 tahun.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan: Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Wawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
II.3.1.10
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 25 yang menyebutkan: Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Ketentuan Penyidikan -
Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan: Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di (ingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
-
Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan: Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
43
c. Minyak dan Gas Bumi; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f.
menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi; h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Ketentuan Penyidikan -
Pasal 53 yang menyebutkan: Setiap orang yang melakukan : a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling tinggi Rp 50.000.000.000. b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling tinggi Rp 40.000.000.000. c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000. d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama) tahun dan denda paling tinggi Rp 30.000.000.000.
-
Pasal 55 yang menyebutkan: Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 60.000.000.000.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir 15 yang menyebutkan: Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia
44
II.3.1.11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Rl a. Kelembagaan Terkait
Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan: Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
b. Aturan Penegakkan Hukum
Tidak diatur dalam undang-undang ini.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan: Wilayah Negara Republik Indonesia adalah wilayah hukum bertakunya kedaulatan Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan kewenangannya di seturuh wilayah Negara Republik Indonesia, terutama di wilayah dia ditugaskan.
II.3.1.12 . UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan a. Kelembagaan Terkait
Pasal1 butir 24 yang menyebutkan: Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan
Pasal 42 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan.
Pasal 42 ayat (2) yang menyebutkan: Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar.
Pasal 42 ayat (3) yang menyebutkan: Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan lain, yakni:
45
a. memeriksa ulang perikanan.
kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal
b. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan.
Pasal 44 ayat (1) yang menyebutkan: Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.
Pasal 44 ayat (2) yang menyebutkan: Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Pengawasan Perikanan: -
Pasal 66 ayat (1) yang menyebutkan: Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.
-
Pasal 66 ayat (2) yang menyebutkan: Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
-
Pasal 66 ayat (3) yang menyebutkan: Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan nonpenyidik pegawai negeri sipil perikanan.
-
Pasal 67 yang menyebutkan: Masyarakat dapat diikutsertakan-i dalam membantu pengawasan perikanan.
-
Pasal 68 yang menyebutkan: Pemerintah perikanan.
-
mengadakan
sarana
dan
prasarana
pengawasan
Pasal 69 ayat (1) yang menyebutkan: Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapa! pengawas perikanan.
-
Pasal 69 ayat (2) yang menyebutkan: Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.
-
Pasal 69 ayat (3) yang menyebutkan: Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan
46
pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. -
Pasal 69 ayat (4) yang menyebutkan: Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.
Pengadilan Perikanan -
Pasal 71 ayat (1) yang menyebutkan: Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
-
Pasal 71 ayat (2) yang menyebutkan: Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum.
-
Pasal 71 ayat (3) yang menyebutkan: Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tuai.
-
Pasal 71 ayat (4) yang menyebutkan: Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Penyidikan: -
Pasal 72 yang menyebutkan: Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
-
Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan: Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
-
Pasal 73 ayat (2) yang menyebutkan: Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi.
-
Pasal 73 ayat (3) yang menyebutkan: Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi.
-
Pasal 73 ayat (4) yang menyebutkan: Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
47
c. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak dana di bidang perikanan; f.
memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; i.
membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j.
melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian penyidikan; dan l. -
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pasal 73 ayat (5) yang menyebutkan: Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.
-
Pasal 73 ayat (6) yang menyebutkan: Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari.
-
Pasal 73 ayat (7) yang menyebutkan: Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 hari.
-
Pasal 73 ayat (8) yang menyebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
-
Pasal 73 ayat (9) yang menyebutkan: Setelah waktu 30 hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Penuntutan: -
Pasal 74 yang menyebutkan:
48
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. -
Pasal 75 ayat (1) yang menyebutkan: Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan ditakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat yang ditunjuk.
-
Pasal 76 ayat (1) yang menyebutkan: Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan.
-
Pasal 76 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus, mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
-
Pasal 76 ayat (3) yang menyebutkan: Dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
-
Pasal 76 ayat (4) yang menyebutkan: Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
-
Pasal 76 ayat (5) yang menyebutkan: Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan.
-
Pasal 76 ayat (6) yang menyebutkan: Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
-
Pasal 76 ayat (7) yang menyebutkan: Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 10 hari.
-
Pasal 76 ayat (8) yang menyebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
49
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Perikanan -
Pasal 77 yang menyebutkan: Pemeriksaan di sidang pengadiian dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
-
Pasal 78 ayat (1) yang menyebutkan: Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.
-
Pasal 78 ayat (2) yang menyebutkan: Susunan majelis hakim terdiri atas 2 hakim ad hoc dan 1 hakim karier.
-
Pasal 79 yang menyebutkan: Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
-
Pasal 80 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
-
Pasal 80 ayat (2) yang menyebutkan: Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa.
-
Pasal 81 ayat (1) yang menyebutkan: Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari.
-
pengadilan
Pasal 81 ayat (2) yang menyebutkan: Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dipertukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10 hari.
-
Pasal 81 ayat (3) yang menyebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
-
Pasal 82 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
-
Pasal 82 ayat (2) yang menyebutkan: Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari.
-
Pasal 82 ayat (3) yang menyebutkan:
50
Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 10 hari. -
Pasal 82 ayat (4) yang menyebutkan: K.etentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dani ayat (3) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
-
Pasal 83 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam nal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tangga! berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
-
Pasal 83 ayat (2) yang menyebutkan; Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari.
-
Pasal 83 ayat (3) yang menyebutkan: Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 hari.
-
Pasal 83 ayat (4) yang menyebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhirjika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
Ketentuan Pidana: -
Pasal 84 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan 'dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling !ama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000.
-
Pasal 84 ayat (2) yang menyebutkan: Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
51
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000 -
Pasal 84 ayat (3) yang menyebutkan: Pemilik kapal perikanan, pemiiik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau iingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.
-
Pasal 84 ayat (4) yang menyebutkan: Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2,000.000.000.
-
Pasal 85 yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.
-
Pasal 86 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.
52
-
Pasal 86 ayat (2) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyakRp1.500.000.000.
-
Pasal 86 ayat (3) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000.
-
Pasal 86 ayat (4) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000.
-
Pasal 87 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
-
Pasal 87 ayat (2) yang menyebutkan: Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000.
-
Pasal 88 yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000.
53
-
Pasal 89 yang menyebutkan: Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000.
-
Pasal 90 yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000.
-
Pasal 92 yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000.
-
Pasal 93 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.
-
Pasal 93 ayat (2) yang menyebutkan: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapa! Penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000.
-
Pasal 94 yang menyebutkan: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
54
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000. -
Pasal 96 yang menyebutkan: Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000.
-
Pasal 97 ayat (1) yang menyebutkan: Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.
-
Pasal 97 ayat (2) yang menyebutkan: Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEl yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), djpidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
-
Pasal 97 ayat (3) yang menyebutkan: Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.
-
Pasal 98 yang menyebutkan: Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir 19 yang menyebutkan: Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkat kepulauan Indonesia.
Pasal 1 butir 20 yang menyebutkan:
55
Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Pasal1 butir 21 yang menyebutkan: Zona ekonomi eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEl, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
Pasal 1 butir 22 yang menyebutkan: Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEl, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan: Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: a. perairan Indonesia; b. ZEEl; dan. c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
II.3.1.13 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 1 yang menyebutkan: Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 butir 2 yang menyebutkan: Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 butir 3 yang menyebutkan: Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Watikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
56
Pasal 1 butir 4 yang menyebutkan: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.
Pasal 18 ayat (2) yang menyebutkan: Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan: Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
di
wilayah
laut
a. b. c. d.
Ekspforasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut Pengaturan administratif Pengaturan fata ruang Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang.dilimpahkan kewenangannya oleh permerintah. e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan: Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukurdari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan: Apabila wilayah laut antara 2 provinsi kurang dari 24 mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
II.3.1.14 . UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 8 yang menyebutkan: Departemen Pertahanan adalah pelaksana fungsi pemerintah di bidang pertahanan negara.
57
Pasal 1 butir 9 yang menyebutkan; Menteri Pertahanan adalah menteri yang bertanggungjawab di bidang pertahanan negara.
Pasal 9 yang menyebutkan: Angkatan Laut bertugas: a. melaksanakan tugas TNl matra laut di bidang pertahanan; b. menegakkan hukum dan menajga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasionai yang telah diratifikasi; c. melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; serta e. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut;
b. Aturan Penegakkan Hukum
Tidak diatur dalam undang-undang ini.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir 4 yang menyebutkan: Wilayah adaiah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan. II.3.1.15 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 34 yang menyebutkan: Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang periataan ruang.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Pengawasan -
Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan: Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
-
Pasal 55 ayat (2) yang menyebutkan: Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
-
Pasal 55 ayat (3) yang menyebutkan: Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
58
Pasal 55 ayat (4) yang menyebutkan:
-
Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. Pasal 55 ayat (5) yang menyebutkan:
-
Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengari menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
Sanksi administrasi Pasal 62 yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. Pasal 63 yang menyebutkan:
-
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa: a. Peringatan tertulis b. Penghentian sementara kegiatan c. Penghentian sementara pelayanan umum d. Penutupan lokasi e. Pencabutan izin f.
Pembatalan izin
g. Pembongkaran bangunan h. Pemulihan fungsi ruang i.
Denda administratif
Penyidikan -
Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan: Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Batasan Daerah, Pengaturan
Pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan: Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
59
II.3.1.16 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil a. Kelembagaan Terkait
Pasal 1 butir 44 yang menyebutkan: Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan: Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
Pasal 50 ayat (2) yang menyebutkan: Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
Pasal 50 ayat (3) yang menyebutkan: Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Pengawasan -
Pasal 36 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus. Pasal 36 ayat (2) yang menyebutkan: Pengawasan dan/atau pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang menangani bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaan yang dimilikinya.
- Pasal 36 ayat (3) yang menyebutkan: Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang: a. Mengadakan patroli/perondaah di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atau wilayah hukumnya; serta b. Menerima laporan yang menyangkut perusakan Ekositem Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum, dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
60
-
Pasal 36 ayat (5) yang menyebutkan: Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya.
-
Pasal 36 ayat (6) yang menyebutkan: Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penyidikan -
-
Pasal 70 ayat (1) yang menyebutkan: Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 70 ayat (2) yang menyebutkan: Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai negeri sipil.
-
Pasal 71 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Pelanggaran terhadap persyaratan sebagaimana tercantum di dalam HP3 dikenakan sanksi administratif. Pasal 71 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, denda administratif, dan/atau pencabutan HP-3. Pasal 72 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Dalam hal program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau menarik kembali insentif yang telah diberikan kepada Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat yang telah memperoleh Akreditasi. Pasal 72 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat wajib memperbaiki ketidaksesuaian antara program pengelolaan dan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 72 ayat (3) yang menyebutkan: Dalam hal Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan tindakan a. Pembekuan sementara bantuan melalui Akreditasi b. Pencabutan tetap Akreditasi program
61
Ketentuan Pidana -
Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.000 setiap orang yang dengan sengaja: a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruff, dan hurufg; c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h; d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i. e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j. f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.
-
-
g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf I. h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Resisir dan PulauPulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1). Pasal 73 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000. Pasal 74 yang menyebutkan: Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 300.000.000 setiap orang yang karena kelalaiannya: a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau
-
b. tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). Pasal 75 ayat (1) yang menyebutkan: Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 300.000.000 setiap orang yang karena kelalaiannya: a. melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
62
hak
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4). c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir 7 yang menyebutkan: Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
II.3.1.17 2.2.17. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran a. Ketembagaan Terkait
Pasal 1 butir 59 yang menyebutkan:
Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundangundangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 1 butir 62 yang menyebutkan:
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 butir 63 yang menyebutkan:
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 1 butir 64 yang menyebutkan:
Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran. Pasal 276 ayat (1) yang menyebutkan:
Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundangundangan di laut dan pantai. Pasal 276 ayat (2) yang menyebutkan:
Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai. Pasal 276 ayat (3) yang menyebutkan:
Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 277 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
63
a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut;
c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut; e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan f. mendukung pelaksanaan; kegiatan pencarian dan; pertolongan jiwa di laut. Pasal 277 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk: merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut; menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu; kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu. Pasal 278 ayat (1) yang menyebutkan:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai-mempunyai kewenangan untuk: melaksanakan patroli laut; melakukan pengejaran seketika (hot pursuit); memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
melakukan penyidikan. Pasal 278 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai pejabat PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal279 ayat (1) yang menyebutkan:
Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara. Pasal 279 ayat (2) yang menyebutkan:
Penjaga laut dan pantai wajib memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 279 ayat (3) yang menyebutkan:
64
Pelaksanaan penjagaan dan penegakan hukum di laut oleh penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan dan menunjukkan identitas yang jelas. Pasal 280 yang menyebutkan: Aparat penjagaan dan penegakan peraturan di bidang pelayaran yang tidak menggunakan dan menunjukkan identitas yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (3), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
b. Aturan Penegakkan Hukum
Sanksi Adnninistrasi -
Pasal 58 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 59 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal9 ayat (8), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 33 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. denda administratif; c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.
-
Pasal 59 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang mefanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa kepelabuhanan. Pasal 112 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif. Pasal 171 ayat (1) yang menyebutkan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal125 ayat (1), Pasal 129 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 130 ayat (1), Pasal 132 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), dan Pasal 165 ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa: peringatan; denda administratif; pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; pencabutan izin atau pencabutan sertifikat; tidak diberikan sertifikat; atau tidak diberikan Surat Persetujuan Berlayar.
65
-
Pasal 206 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (6), Pasal 178 ayat (5), Pasal 193 ayat (2), Pasal198 ayat (2), Pasal 200 dikenakan sanksi administratif, berupa: peringatan; pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.
Penyidikan -
Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 282 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia. Pasal283 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran. Pasal 283 ayat (2) yang menyebutkan: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran; b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; d. melakukan penangkapan dan penahaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran; f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran; g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran; h. mengambil sidikjari; i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran; j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
66
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran; l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran; m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; n. mengadakan penghentian penyidikan; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. -
Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
Ketentuan Pidana -
Pasal 284 yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penumpang dan/atau barang antarpulau atau perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dipidana dengan pidana penjara paling lama banyak Rp 600.000.000. Pasal 287 yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000. Pasal 292 yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000. Pasal 294 ayat (1) yang menyebutkan:
-
Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000. Pasal 294 ayat (2) yang menyebutkan:
-
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000. Pasal 294 ayat (3) yang menyebutkan:
-
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000. Pasal 299 yang menyebutkan:
asing untuk mengangkut antarpelabuhan di wilayah dalam Pasal 8 ayat (2) 5 tahun dan denda paling
67
-
-
-
-
-
-
-
-
Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 301 yang menyebutkan: Setiap orang yang mengoperasikan terminal khusus untuk melayani perdagangan dari dan ke luar negeri tanpa memenuhi persyaratan dan belum ada penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 303 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 Pasal 303 ayat (2) yang menyebutkan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000. Pasal 303 ayat (3) yang menyebutkan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000. Pasal 315 yang menyebutkan: Nakhoda yang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan dimaksud dalam Pasal 167 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000. Pasal 324 yang menyebutkan: Setiap Awak Kapal yang tidak melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 325 ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 325 ayat (2) yang menyebutkan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemamya lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000.
68
-
-
-
-
-
-
-
Pasal 325 ayat (3) yang menyebutkan: Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000. Pasal 326 yang menyebutkan: Setiap orang yang mengoperasikan kapalnya dengan mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 328 yang menyebutkan: Setiap orang yang melakukan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa memperhatikan spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 233 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000. Pasal 332 yang menyebutkan: Setiap orang yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara yang tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000. Pasal 333 ayat (1) yang menyebutkan: Tindak pidana di bidang peiayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersamasama. Pasal 333 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 335 yang menyebutkan: Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.
c. Batasan Daerah Pengaturan
Pasal 1 butir 2 yang menyebutkan: Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya sedangkan secara singkatnya berupa matriks perbandingan antara setiap peraturan perundang-undangan seperti diperiihatkan pada Tabel 2.2.
69
II.3.2
Instansi terkait dengan keamanan laut
Kondisi sistem kelembagaan saat ini yang terjadi adalah banyaknya instansi yang terlibat atau berkepentingan dalam pelaksanaan penegakan hukum, keselamatan dan keamanan di laut. Hal ini diakibatkan oleh kompleksitas jenis kegiatan yang ada. Kegiatan-kegiatan penegakan hukum (penyidikan hingga penuntasan tindak pidana), keamanan, dan keselamatan pelayaran di laut tersebut diselenggarakan oleh berbagai instansi yang berbeda yang didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berbeda pula. Tinjauan ketembagaan eksisting akan memberikan deskripsi mengenai sistem kelembagaan yang ada melalui deskripsi kondisi lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dan keamanankeselamatan di laut, yang meliputi landasan hukum, tugas pokok dan fungsi, struktur organisasi, serta ketersediaan sumberdaya masing-masing tembaga. Berdasarkan tabel 2.2. pelaksanakan penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut melibatkan setidaknya 15 instansi pemerintah. Jika dikelompokan berdasarkan keberadaan satuan tugas patroli laut yang dimiiiki oleh setiap instansi, maka terdapat dua kategori instansi yang terkait dengan keamanan laut, yaitu instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut dan instansi tanpa satuan tugas patroli di laut. Setiap instansi menjalankan tugas berlandaskan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di sektor masing-masing. Tabel 2. Instansi Pemerintah Terkait Instansi Terkait dengan Satgas Patroli Laut
Instansi Terkait tanpa Satgas Patroli Laut
(1)
Tentara Nasional Indonesia (TNI) – TNI AL
(2)
Kepolisian Republik Indonesia – Polair
(10)
Departemen Pertanian
(3)
Departemen Kelautan dan Perikanan Ditjen PSDKP
(11)
Departemen Kehutanan
(4)
Departemen Perhubungan - Dit. KPLP
(12)
Departemen Kesehatan
(5)
Departemen Keuangan - Ditjen Bea Cukai
(13)
Departemen ESDM
(6)
Badan SAR Nasional
(14)
Kejaksaan
(7)
Departemen Hukum dan HAM – Ditjen Imigrasi
(15)
Pengadilan
(8)
Badan Koordinasi Keamanan Laut
II.3.2.1 A. a.
(9)
Kementerian Hidup
Lingkungan
Instansi dengan Satuan Tugas Patroli Laut ("Instansi Maritim")
TNI AL
TNI-AL merupakan satah satu instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut. Keberadaan patroli TNI AL di laut dijustifikasi oleh UU No 3/2002, dimana tugas pokok dari TNI AL adalah :
70
(1)
Menyiapkan dan membina kekuatan untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi kepentingan nasional di laut yurisdiksi nasional.
(2)
Menegakkan hukum di laut sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam pemndang-undangan nasional dan hukum internasional.
(3)
Melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
TNI-AL memiiki dua fungsi dasar yaitu : (1) pengendalian, laut, dan (2) proyeksi kekuatan. Pengendalian laut bertujuan untuk menjamin kepentingan nasional di dan lewat laut, dan bertujuan agar mampu secara optimal memanfaatkanpotensi laut yang dimilikinya untuk kepentingan bangsa sendiri, serta mampu mencegah atau menghambat pemanfaatan oleh bangsa lain yang dapat merugikan kepentingan sendiri. Proyeksi kekuatan, terbagi ke dalam : (1)
Proyeksi kekuatan sebagai bagian dari pengendalian laut. Adalah penggunaan dari kapal-kapa! TNI AL dan pasukan Marinir untuk memastikan pengendalian dan terpeliharanya keamanan di Laut dan daerah penting lainnya.
(2)
Proyeksi kekuatan untuk mendukung kampanye kekuatan darat dan udara. Spektrum yang lebih luas ini meliputi operasi amfibi, penggunaan pesawat angkut udara, bantuan tembakan kapal terhadap sasaran di darat, dalam mendukung kampanye udara dan darat.
Selain tugas, pokok, dan fungsi diatas, TNI AL memiliki empat peran strategis, yaitu: (1) Peran Militer (Military/Defence). Peran Militer TNI AL dilaksanakan dalam rangka menegakkan kedaulatan negara di laut dengan cara pertahanan negara dan penangkalan; menyiapkan kekuatan untuk persiapan perang, menangkal setiap ancaman militer melatui laut, menjaga stabilitas kawasan maritim, melindungi dan menjaga perbatasan laut dengan negara tetangga. Selanjutnya dalam upaya pertahanan negara dan penangkalan ini dilaksanakan kegiatan ataupun operasi untuk melindungi segenap aktifitas negara dalam eksplorasi dan eksploitasi laut, melindungi kehidupan, kepentingan dan kekayaan laut nasiona! baik dari ancaman luar maupun dalam negeri, menyiapkan sistem pertahanan laut yang handal, membangun kekuatan tempur laut yang siap untuk perang, membangun pangkalahpangkalandanfasilitas labuh bagi kapal-kapat, serta menunjukan iktikad damai terhadap negara tetangga. Peran militer dalam keadaan perang ataupun konflik bersenjata pada hakekatnya adalah penggunaan kekuatan secara optima! untuk memenangkan perang atau konflik bersenjata. Penggunaan kekuatan tersebut tergantung kondisi geografi dan intensitas konflik bersenjata yang dihadapi. Penggunaan kekuatan diarahkan untuk menghadapi setiap agresi militer melalui laut, mencegah musuh untuk menggunakan laut untuk kepentingannya, mengendalikan laut untuk kepentingan nasional, mengamankan dan melindungi penggunaan laut bagi lalu lintas manusia dan barang, menggunakan laut untuk proyeksi kekuatan ke darat, serta mendukung operasi pemeliharaan perdamaian PBB;
71
(2) Peran Polisionil (Constabulary). Peran Polisionil TNI AL dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut nasional, memelihara ketertiban di laut, serta mendukung pembangunan bangsa, dalam hal ini memberikan kontribusi terhadap stabilitas dan pembangunan nasional. Peran polisionil ini dilaksanakan di seluruh perairan laut yurisdiksi nasional yang secara umum untuk memelihara ketertiban di laut. Peran untuk melaksanakan tugas penegakkan dan hukum di laut diseienggarakan secara mandiri atau gabungan dengan komponen kekuatan laut lainnya. Pelaksanaan penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan laut dengan cara menggelar operasi laut di kawasan strategis dan operasi laut sehari-hari. Menegakkan hukum dan memelihara ketertiban di laut dilaksanakan dalam upaya melindungi pemanfaatan kekayaan laut secara legal, mencegah penyelundupan dan imigran gelap serta mencegah pelanggaran-pelanggaran di laut lainnya. Sedangkan untuk keamanan jalur lintas laut internasional, diselenggarakan daiam rangka mendukung dan melaksanakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional di wilayah laut yurisdiksi nasional. (3) Peran Dukungan Diplomasi (Diplomacy Supporting). Peran dukungan diplomas! oleh TNI AL dikenai sebagai Unjuk Kekuatan Angkatan Laut yang telah menjadi peran tradisional angkatan laut. Dukungan diplomasi adalah penggunaan kekuatan laut sebagai sarana diplomasi datam mendukung kebijaksanaan iuar negeri pemerintah, dan dirancang untuk mempengaruhi kepemimpinan negara atau beberapa negara dalam keadaan damai atau pada situasi yang bermusuhan. Secara tradisional, angkatan laut menunjukan kehadirannya di laut dengan metaksanakan kunjungan kapal-kapal perang ke Iuar negeri untuk mengingatkan dan menunjukan kemampuan dan kekuatannya di laut. Di samping itu untuk mempengaruhi pandangan negara-negara yang dikunjungi terhadap kebesaran bangsa, dan mempromosikan di dunia internasional. Kehadiran di laut itu tidak didasarkan atas adanya ancaman, namun lebih merupakan sebagai duta bangsa yang berperan untuk membentuk opini dan membangun kepercayaan antar negara (Confidence Building Measures/CBM). Kapal perang yang melaksanakan tugas diplomasi ini harus memiliki kesiapan tempur yang prima, mudah dikendalikan, memiliki mobilitas yang tinggi, memiliki kemampuan proyeksi kekuatan ke darat, serta mampu untuk menampilkan sosok angkatan laut yang kuat dan berwibawa sebagai simbol dari kekuatan, dan memiliki daya tahan operasi yang tinggi. (4) Peran Lainnya. Disamping tiga peran di atas, TNI AL juga memiliki peran untuk melaksanakan operasi lain selain perang (Military Operations Other Than War) dalam rangka memanfaatkan kekuatan TNI AL bagi kepentingan bangsa dan negara. Peran tersebut mencakup tugas-tugas k.emanusiaan dap penanggulangan bencana, search and rescue, operasi perdamaian dan operasi bantuan lainnya yang dibutuhkan. Struktur organisasi dari TNI AL diperlihatkan pada gambar 3.1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa perumusan kebijakan dalam TNI-Al dilaksanakan oleh Mabes TNI AL, sedangkan pelaksanaannya dilaksanakan oleh unsur-unsur di tingkat Komando Utama (KOTAMA).
72
Gambar 11. Struktur Organisasi TNI-AL Berdasarkan peran Angkatan laut yang menyangkut military, diplomacy, dan constabulary role yang didalamnya mengandung makna tugas penegakan kedaulatan serta tugas penegakan keamanan dan hukum di laut, kekuatan Angkatan Laut ditata dalam susunan tempur standar Angkatan Laut internasional, yaitu Striking Force, Patrolling Force, dan Supporting Force. Susunan standar ini digunakan TNI AL sebagai berikut:
73
(1) Susunan Tempur Pemukul (Striking Force). Unsur pemukut terdiri dari kapal selam, destroyer, fregate, corvet, helikopter anti kapal selam, Fast Patrol BoatTorpedo, Fast Patrol Boat-Missile, Buru Ranjau, dan Ranjau Laut. Pada masa damai, unsur pemukul digunakan dalam gelar operasi siaga tempur laut, diarahkan untuk penangkatan serta pengendalian laut. Sedangkan pada masa krisis/perang diarahkan untuk melaksanakan tempur laut. Pada prinsipnya peran constabulary melekat pada semua KRI, sehingga di masa damai unsurunsur pemukul jenis kapal atas air dapat digunakan untuk peran tersebut (2) Susunan tempur patroli (Patrolling Force). Unsur patroli terdiri dari Fast Patrol Boat-Gun, Kapal Patroli Cepat, dan Maritime Patrol Aircraft. Pada masa damai penggunaan unsur .patrol! diarahkan untuk mencegah serta menanggulangi berbagai bentuk gangguan keamanan laut dan pada masa krisis/perang diarahkan bersama-sama unsur pemukul melaksanakan tempur laut.Susunan tempur dukungan (Supporting Force). Terdiri dari kapal angkut personel, angkut tank, tanker, hidro-oseanografi, kapal markas, kapal repair, kapal tunda, dan kapal iatih. Unsur-unsur pendukung diarahkan untuk memberikan dukungan terhadap unsur-unsur pemukul dan unsur-unsur patroli. Disamping itu unsur-unsur bantu juga digunakan untuk mendukung operasi bantuan kemanusiaan. b.
Polisi Perairan
Polisi perairan merupakan salah satu instansi dengan satuan tugas patroli di laut. Sesuai dengan UU no. 2 tahun 2002, tugas POLR! secara umum adalah adalah (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; (3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, Poiri menyelenggarakan empat fungsi, yaitu : (1) fungsi penegakan hukum, (2) fungsi organik, (3) fungsi teknis, dan (4) fungsi khusus. Sedangkan tugas pokok Polisi Perairan adalah membina dan melaksanakan fungsi kepolisian dalam batas kewenangan yang ditentukan, menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan tingkat pusat dalam rangka melayani, melindungi, mengayomi, serta pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum di wilayah perairan Republik Indonesia. Fungsi utama dari Polisi Perairan adalah penegakan hukum, yaitu pembinaan kekuatan Poiri maupun potensi masyarakat dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Fungsi lainnya adalah Fungsi organik meliputi dua hal yaitu fungsi organik operasional dan fungsi organik pembinaan. Fungsi organik operasional meliputi operasional kepolisian baik rutin maupun khusus, operasional kamtibmas maupun bantuan administrasi secara teknis maupun taktis. Sedangkan fungsi organik dibidang pembinaan meliputi bidang penetitian dan pengembangan, perencanaan dan pengorganisasian sampai ke tingkat pengawasan dan pengendalian. Adapun Fungsi Teknis meliputi unsur-unsur penggerak operasional kepolisian yang terdiri dari intelijen dan pengamanan, reserse, samapta,
74
lalu iintas dan bimbingan masyarakat. Disamping itu juga fungsi teknis yang lebih bersifat administratif, yaitu masalah personel, pendidikan dan logistik. Fungsi teknis juga meliputi fungsi-fungsi yang bersifat sosial, antara lain bidang sejarah, psikoiogi kedokteran dan interpol. Sedangkan fungsi khusus kepolisian meliputi bidang keuangan, pembinaan sistem informasi, komunikasi dan elektronika, penerangan, hukum, pembinaan mental dan SAR (Search and Rescue). Poiisi Perairan dipimpin oleh seorang direktur dan bertanggung jawab kepada Kapolri. Di tingkat daerah, Polair merupakan bagian dari struktur organisasi kepoiisian daerah (Gambar 12. dan Gambar 13.) Direktur Polisi Perairan Wakil
Subdit Bingakkum
Subdit Binops
Subdit Fasharkan
Satuan Patroli Nusantara
Gambar 12. Struktur Organisasi Polisi Perairan di Tingkat Pusat Direktur Polisi Perairan
Subdit Binops
Kapal Patroli
Gambar 13. Struktur Organisasi Polisi Perairan di Tingkat Wilayah c. Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Pengendalian Sumberdaya Ketautan dan Perikanan merupakan unit tingkat eselon I pada Departemen Kelautan Perikanan yang memiliki satuan tugas patroti di laut. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 5/Men/2003 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen PSDKP mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan (pasal 650). Fungsi-fungsi yang dimiliki oleh Direktorat Jendera! PSDKP antara lain : (1)
Penyiapan perumusan kebijakan Dep. Kelautan dan Perikanan di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan;
75
(2)
Peiaksanaan kebijakan di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan pemndang-undangan yang berlaku;
(3)
Perumusan standar norma, pedbman, kriteriff, dan prosedur di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan;
(4)
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.
Direktorat Jenderal PSDKP memiliki 5 unit eselon II (Gambar 3.4), yang jika diltinjau dari fungsi yang melekat pada masing-masing direktorat, maka seluruh unit tersebut memiliki keterkaitan erat dengan fungsi penegakan hukum dan pengendalian di bidang sumberdaya kelautan dan perikanan. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Perikanan menyelenggarakan fungsi: (1)
penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan;
(2)
penyiapan penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan;
(3)
pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan;
(4)
pelaksanaan evaluasi di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan;
Direktorat Pengawasan menyelenggarakan fungsi:
dan
Pengendalian
Sumber
Daya
Kelautan
(1)
penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan;
(2)
penyiapan penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan;
(3)
pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan;
(4)
pelaksanaan evaluasi di bidang pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan; Direktorat Kapal Pengawas menyelenggarakan fungsi:
(1)
penyiapan perumusan kebijakan di bidang kapal pengawas;
(2)
penyiapan penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang kapal pengawas;
(3)
pelaksanaan bimbingan teknis di bidang kapal pengawas;
(4)
pelaksanaan evaluasi'di bidang kapal pengawas; Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan menyelenggarakan fungsi:
(1)
penyiapan perumusan pengawasan;
kebijakan
di
bidang
sarana
dan
prasarana
76
(2)
penyiapan penyusunan, standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang sarana dan prasarana pengawasan;
(3)
pelaksanaan bimbingan teknis di bidang sarana dan prasarana pengawasan;
(4)
pelaksanaan evaluasi di bidang sarana dan prasarana pengawasan;
(5)
pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga direktorat. Sedangkan Direktorat Penanganan Pelanggaran menyelenggarakan fungsi:
(1) (2)
penyiapan perumusan kebijakan di bidang penanganan pelanggaran; penyiapan penyusunan, standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penanganan pela nggaran;
(3)
pelaksanaan bimbingan teknis di bidang penanga nan pelanggaran;
(4)
pelaksanaan evaiuasi di bidang penanganan pelanggaran;
Gambar 14. Struktur Ditjen P2SDKP Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan di lapangan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis di bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Nomor Per.04/Men/2006, Unit Pelaksana Teknis di bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan dipimpin oleh seorang Kepala. Tugas dari Unit Pelaksana Teknis di Bidang Pengawasan Sumber Daya Kelautan adalah melaksanakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) (2)
penyusunan rencana, program, dan evaluasi di bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; pelaksanaan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan;
77
(3) (4) (5) (6) (7)
pelaksanaan pembinaan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS); pelaksanaan dan evaluasi penanganan pelanggaran sumber daya kelautan dan perikanan; pelaksanaan operasional dan penyiapan logistik kegiatan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; pelaksanaan pemeliharaan sarana dan prasarana pengawasan; pelaksanaan perencanaan dan pengembangan pengawakan kapal pengawas;
Unit Pelaksana Teknis di Bidang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dikiasifikasikan menjadi Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dengan struktur diperlihatkan pada gambar berikut
Gambar 15. Struktur Pelaksana Teknis PSDKP d. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Instansi lain yang memiliki satuan tugas patroli di laut adalah Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), salah satu unit eselon II dibawah Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan (Gambar 2.6.). Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan no. 43 tahun 2005, Direktorat KPLP mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur, serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai. Dalam melaksanakan tugas tersebut Direktorat KPLP menyelenggarakan fungsi: (1)
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran,
78
penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai; (2)
Penyusunan norma,' standar, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai;
(3)
Penyiapan perumusan dan pemberian bimbingan teknis di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipii, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai;
(4)
Penyiapan pelaksanaan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan .keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib peiayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air; sarana dari prasarana penjagaan laut dan pantai;
(5)
Pembinaan teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut serta penyusunan dan pemberian kuaiifikasi teknis sumber daya manusia di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air dan pemberian perijinan;
(6)
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai;
struktur organisasi KPLP dapat dilihat sebagai berikut. Ditjen Perhubungan Laut
Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut
Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan
Direktorat Perkapalan dan Kepelautan
Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai
Gambar 16. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut di lapangan dilaksanakan oteh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Administrator Pelabuhan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Sesuai dengan
79
Keputusan Menteri no 62 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrator Pelabuhan, tugas dari Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai adalah melaksanakan pengawasan tertib bandar, tertib berlayar, dan pemberian Surat Ijin Berlayar, pengusutan kecelakaan kapal dan bantuan Search And Rescue laut, penanggulangan pencemaran dan penanganan kerangka kapal, kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air, serta pengamanan, penertiban dan penegakan peraturan di bidang pelayaran. penyidikan tindak pidana pelayaran di pelabuhan dan perairan. (1)
Dalam melaksanakan tugas tersebut, KRLP melaksanakan fungsi-furigsi: Pelaksanaan tertib bandar, pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal, pemberian Surat Ijin Beriayar serta pengawasan kapal asing (Port State Control);
(2)
Pengawasan bongkar muat barang berbahaya dan pengusutan kecelakaan kapal;
(3)
Pemberian bantuan Search And Rescue /aut, penanggulangan pencemaran serta penanganan kerangka kapal, serta kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air serta
(4)
Pengamanan, penertiban dan penegakan peraturan di bidang pelayaran serta Penyidikan tindak pidana peiayaran di pelabuhan dan perairan bandar. Kepala Kantor Administrator Pelabuhan Kelas I
Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Laut dan Kepelabuhanan
Bidang Penjagaan dan Penyelamatan
Bidang Kelaiklautan Kapal
Gambar 17. Struktur Organisasi Kantor Administrasi Pelabuhan e.
Ditjen Bea dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, unit eselon I dari Departemen Keuangan, merupakan salah satu instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan di bidang kepabeanan dan cukai. Ditinjau dari strukturnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari 8 direktorat, seperti terlihat pada gambar 18.
80
Ditjen Bea Cukai
Direktorat Teknis Kepabean an
Direktorat Fasilitas Kepabean an
Direktorat Cukai
Direktorat Penindak an dan Penyidika n
Direktorat Audit
Direktorat Kepabean an Internasio nal
Direktorat Penerima an dan Peraturan Kepabean an dan Cukai
Direktorat Kepabean an Internasio nal
Gambar 18. Struktur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Pusat) Keberadaan patroli laut tersebut terkait dengan fungsi penegakan hukum bidang kepabeanan di laut yang dimiliki oleh Direktorat Penindakan dan Penyidikan, dimana direktorat ini menyelenggarakan beberapa fungsi antara lain: (1)
Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan intelijen dalam rangka pencegahan pelanggaran peraturan peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai;
(2)
Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan dibidang patroli dan operasi dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai;
(3)
Penyiapan penyusunan mmusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan dibidang penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai;
(4)
Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis evaluasi dan pelaksanaan penyediaan dan pemeliharaan sarana operasi;
Pada pelaksanaannya di lapangan, tugas pokok dan fungsi diatas diselenggarakan oleh instansi vertikai di tingkat wilayah, yakni Kantor Wilayah Bea dan Cukai serta Kantor Pelayanan Bea dan Cukai. Sesuai dengan Permenkeu no.133/PMK.01/2006 mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Dirjen Bea Cukai, Kantor Wiiayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan dipimpin oieh seorang kepala. Kantor Wilayah Bea dan Cukai memiliki tugas untuk melakukan koordinasi, bimbingan teknis, pengendalian, evaluasi dan pelaksanaan tugas di bidang kepabeanan dan cukai. Ditinjau dari strukturnya, Kanwil Bea Cukai terdiri dari empat bidang dan satu bagian (Gambar 19.).
81
Kakanwil Bea Cukai
Bagian Kepabeanan dan Cukai
Bagian Penindakan dan Penyidikan
Bagian Informasi Kepabeanan dan Cukai
Bagian Audit
Gambar 19. Struktur Kantor Wilayah Bea Cukai Unit yang memiliki keterkaitan erat dengan fungsi penegakan hukum di laut pada Kantor Wilayah Bea dan Cukai adalah bagian penindakan dan penyidikan, dengan fungsi-fungsi antara lain : (1)
Pengendalian, evaluasi dan pelaksanaan intelijen di bidang kepabeanan dan cukai;
(2)
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan patroli dan operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan, penindakan, dan penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai;
(3)
Pengendalian dan pemantauan tindak lanjut hasil penindakan dan penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai;
(4)
Pengendalian, pengelolaan dan pemeliharaan sarana operasi dan senjata api kantor wilayah;
Dibawah kantor wilayah, terdapat Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, yaitu€ instansi vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah dan mempunyai tugas dalam melaksanakan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai. Kantor Pelayanan Bea Cukai terdiri dari 5 (lima) tipe dengan struktur yang berbeda-beda, antara lain: (1) Tipe A1; (2) Tipe A2; (3) Tipe A3; (4) Tipe A4; dan (5) Tipe B. Fungsi penegakan hukum di laut pada setiap kantor pelayanan dimiliki oleh seksi penindakan dan penyidikan, dengan fungsi-fungsi antara lain : (1)
Pelaksanaan intelijen, patroli, dan operasi penindakan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai;
(2)
Penyidikan di bidang kepabeanan dan cukai;.
(3)
Pengelolaan dan pemeliharaan sarana operasi, sarana komunikasi dan senjata api
82
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai
Seksi Administrasi Manifest
Seksi Kepabeanan dan Cukai
Seksi Perbendahara an
Seksi Tempat Penimbunan
Seksi Penindakan dan Penyidikan
Seksi Duk. Teknis dan distribusi dokumen
Gambar 20. Struktur Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A Berdasarkan uraian di atas, susunan organisasi, tugas pokok, dan fungsi di bidang kepabeanan yang terkait dengan fungsi penegakan hukum di laut, khususnya di bidang kepabeanan, dirangkum dalam tabel berikut.
f. Badan SAR Nasional Badan SAR Nasional (Basarnas) merupakan instansi tingkat eselon I di Departemen Perhubungan, Badan SAR Nasional merupakan instansi yang menangani masalah SAR sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Tugas pokok BASARNAS adalah membina, mengkoordinasikan dan mengendalikan potensi SAR dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan serta memberikan bantuan SAR dalam bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional. Dalam melaksananakan tugas tersebut, BASARNAS melakukan beberapa fungsi antara lain: (1)
Menyusun perumusan kebijaksanaan teknis, membina dan mengkoordinasikan Pusat-pusat SAR dan Kantor SAR untuk melaksanakan kegiatan pencarian, pemberian pertolongan dan penyelamatan terhadap orang dan material yang hilang, dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam penerbangan,pelayaran dan bencana alam sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan SAR internasional;
(2)
Membina, mengkoordinasikan pengendalian pengerahan operasi SAR atas Instansi/pihak-pihak lain baik tenaga SAR maupun peralatannya;
(3)
Menilai dan mengevaluasi keseluruhan hasil operasi SAR;
(4)
Menyusun rencana dan program kerja operasional SAR; dan
(5)
Melaksanakan hubungari kerjasama.
Secara jelas tugas dan fungsi SAR adalah penanganan musibah pelayaran dan/atau penerbangan, dan/atau bencana dan/atau musibah lainnya dalam upaya pencarian dan pertolongan saat terjadinya musibah. Penanganan terhadap musibah yang dimaksud meliputi 2 hal pokok yaitu pencarian (search) dan pertolongan (rescue). Dalam melaksanakan tugas penanganan musibah pelayaran dan penerbangan harus sejalan dengan IMO dan ICAO. Sejarah Basarnas dimulai dengan terbitnya Keputusan Presiden no 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang Badan SAR
83
Indonesia (BASARl), dengan tugas pokok menangani musibah keceiakaan dan pelayaran. BASARl berkedudukan Gambar-3.10.-Struktur Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A dan bertanggung jawab kepada Presiden dan sebagai pelaksanan di lapangan diserahkan kepada PUSARNAS (Pusat SAR Nasiona!) yang diketuai oleh seorang pejabat dari Departemen Perhubungan. Pada tahun 1980 berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan nomor KM.91/OT.002/Phb-80 dan KM 164/OT.002/Phb-80, tentang Organisasi dan tata kerja Departemen Perhubungan, PUSARNAS menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS). Perubahan struktur organisasi BASARNAS mengalami perbaikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM. 80 tahun 1998. tentang Organisasi dan Tata Kerja BASARNAS dan KM. Nomor 81 tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor SAR. Pada tahun 2001 struktur organisasi BASARNAS diadakan perubahan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan KM. Nomor 24 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan dan Keputuasan Menteri Perhubungan No 79 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Search and Rescue (SAR). Unit di dafam Departemen Perhubungan yang terkait dengan pengamanan laut adalah Badan SAR Nasional (BASARNAS). Basarnas merupakan unit eselon I di Departemen Perhubungan dan dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan. Di tingkat pusat, struktur Organisasi Basarnas terdiri dari (1) Sekretariat Jenderal; (2) Pusat Bina Operasi SAR; (3) Pusat Bina Potensi SAR; dan (4) UPT/Kantor SAR. Di tingkat wilayah, hingga saat ini terdapat 24 Kantor SAR yang memifiki tanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan, koordinasi dan pelaksanaan operasi SAR di wilayahnya. g.
Ditjen Imigrasi Depkumham
Tugas pokok Direktorat Jenderal Imigrasi adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan'' standarisasi teknis di bidang Imigrasi. Dalam menyelenggarakan tugas tersebut Ditjen Imigrasi mempunyai fungsi : (1) Penyiapan rumusan kebijakan Departemen di bidang keimigrasian; (2) Pelaksanaan kebijakan di bidang keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang keimigrasian; (4) Pemberikan bimbingan teknis dan evaluasi; (5) Pelaksanaan urusan administrasi direktorat kenderal; (6) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengamanan teknis operasional di bidang (7) Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas di bidang keimigrasian; (8) Pembinaan dan pengelotaan sumberdaya manusia, keuangan, perlengkapan, system, dan metode di bidang keimigrasian; dan (9) Pelayanan teknis di bidang keimigrasian. Ditjen Imigrasi merupakan unit eselon 1 di Departemen Hukum dan HAM serta dipimpin oleh seorang Direktur Jendera! yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Dirjen Imigrasi membawahi 6 unit direktorat eselon 11 antara lain : (1) Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian; (2) Direktorat izin Tinggal dan Status Keimigrasian; (3) Direktorat Penindakan Keimigrasian dan Rumah Detensi Imigrasi; (4) Direktorat Kerjasama Luar Negeri Keimigrasian; (5) Direktorat Sistem Informasi
84
Keimigrasian; dan (6) Direktorat Intelijen dan Tempat Pemeriksaan Keimigrasian Pada tingkat Propinsi, struktur Direktorat Jenderal Imigrasi berada dibawah koordinasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan berbentuk sebuah Divisi, bernama Divisi Imigrasi. Divisi ini menjalankan tugas yang bersifat kordinatif guna mengawasi Kantor Imigrasi yang berada di kota tempat kedudukan Kantor Wilayah. Kantor tmigrasi adalah unit pelaksana yang menjalankan fungsi Direktorat Jendera! Imigrasi pada suatu daerah atau kota tertentu. Sebuah Kantor Imigrasi dapat membawahi satu area kabupaten/ kota atau lebih. Unit dibawah Ditjen Imigrasi yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan keamanan laut, khususnya fungsi penyidikan dan penindakan keimigrasian, dijalankan oleh Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian, unit eselon II. Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal di bidang penyidikan dan penindakan keimigrasian berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jendera. Untuk melaksanakan tugas tersebut. Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian menyelenggarakan fungsi: (1)
Penyiapan, penyusunan rancangan kebijakan teknis di bidang penyidikan dan penindakan keimigrasian;
(2)
Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan dan penindakan keimigrasian;
(3)
Penyiapan informasi di bidang penyidikan dan penindakan keimigrasian;
(4)
Pelaksanaan penyidikan terhadap setiap orang asing yang melanggar undang-undang keimigrasian;
(5)
Penindakan terhadap orang asing yang melanggar peraturan keimigrasian di wiiayah Negara Republik Indonesia;
Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian membawahi 4 sub-direktorat antara lain : (a) Subdirektorat Penyidikan Keimigrasian; (b) Subdirektorat Penindakan Keimigrasian; (c) Subdirektorat Pencegahan dan Penangkalan; (d) Subdirektorat Detensi Imigrasi dan Deportasi. Adapun fungsi Ditjen Imigrasi di tingkat provinsi yang diselenggarakan oleh Kanwil Ditjen Imigrasi dan terkait dengan upaya penegakan hukum dan keamanan laut adalah fungsi pengaturan, bimbingan dan pengamanan teknis peiaksanaan tugas di bidang penindakan keimigrasian dan rumah detensi imigrasi. Fungsi ini diseienggarakan oleh Bidang Intelijen, Penindakan dan Sistem Informasi Keimigrasian dibawah Divisi Keimigrasian. Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang intelijen dan Tempat Pemeriksaan Imigrasi, penindakan keimigrasian serta sistem informasi keimigrasian sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun fungsi yang diselenggarakan oleh Bidang Intelijen, Penindakan, dan Sistem Informasi Keimigrasian menyelenggarakan fungsi:
85
(1)
Peiaksanaan kebijakan, bimbingan, pengaturan dan pengamanan teknis pelaksanaan tugas di bidang intelijen dan tempat pemeriksaan imigrasi, penindakan keimigrasian dan rumah detensi imigrasi;
(2)
Pelaksanaan kebijakan, bimbingan, pengaturan, dan pengamanan teknis pelaksanaan tugas di bidang sistem informasi keimigrasian.
Bidang Intelijen, Penindakan dan Sistem Informasi Keimigrasian terdiri dari subbidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian dan subbidang Sistem Informasi Keimigrasian. Sub-bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan, pengevaluasian dan pengamanan teknis pelaksanaan tugas keimigrasian di bidang intelijen dan tempat pemeriksaan imigrasi, penindakan keimigrasian, dan rumah detensi imigrasi. Sedangkan subbidang Sistem Informasi Keimigrasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan, pengumpulan data, pelayanan informasi, pengevaluasian, dan pengamanan teknis pelaksanaan tugas di bidang sistem informasi keimigrasian.
h.
Badan Koordinasi Keamanan Laut
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) adalah instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut. Tugas pokok Bakorkamla sesuai dengan Perpres 81 tahun 2005, yaitu mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operas; keamanan laut secara terpadu. Sedangkan Fungsi Bakorkamla sesuai pasal 4 adalah menyelenggarakan :
(1)
perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut;
(2)
koordinasi kegiatan dalam peiaksanaaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan I ndonesia;
(3)
pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.
Bakorkamla adalah lembaga non-struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Organisasi Bakorkamla diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta beranggotakan 12 Menteri/Pejabat setingkat menteri, antara lain : (1) Menteri Luar Negeri, (2) Menteri Dalam Negeri, (3) Menteri Pertahanan, (4) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, (5) Menteri Keuangan, (6) Menteri Perhubungan, (7) Menteri Kelautan dan Perikanan, (8) Jaksa Agung, (9) Panglima Tentara Nasional Indonesia; (10) Kepala Kepoiisian Negara Republik Indonesia, (11) Kepala Badan Intelijen Negara, dan (12) Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Untuk mendukung kelancaran peiaksanaan tugas dan fungsi Bakorkamla dibentuk Pelaksana Harian Bakorkamla yang dipimpin oleh Sekretaris/Kepala Pelaksana Harian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Ketua Bakorkamla.
86
Pelaksana Harian Bakorkamia terdiri dari : (1) Tim Koordinasi Keamanan (tim Korkamla); (2) Sekretariat Pelaksana Harian Bakorkamla; dan (3) Pusat-Pusat. Tim Korkamla saat ini beranggotakan 12 Pejabat Eselon l/Setingkat Eselon I, antara lain : (1) Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Dept Luar Negeri, (2) Dirjen Pemerintahan Umum Dept Dalam Negeri, (3) Staf Ahli Menhan Bidang Keamanan Dept Pertahanan, (4) Dirjen Imigrasi Dept Hukum dan HAM, (5) irjen Bea dan Cukai Dept Menteri Keuangan, (6) Dirjen Perhubungan Laut Dept Perhubungan, (7) Dirjen Wasda! Dept Kelautan dan Perikanan, (8) Jamintel Kejaksaan Agung Republik Indonesia, (9) Asops Kasum TNI, (10) Waka Babinkam Poiri, (11) Staf Ahli Bidang Hukum Badan Intelijen Negara, dan (12) Asops Kasal. Sedangkan Pusat-Pusat yang ada terdiri dari : (1) Pusat Koordinasi Operasi Kamla; (2) Pusat Penyiapan Kebijakan Kamla, dan (3) Pusat tnformasi Hukum dan Kerjasama Kamla. Pelaksana Harian tersebut bertugas memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada Bakorkamla dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam rangka pelaksanaan tugas, Bakorkamla memiliki Satuan Tugas Koordinasi Keamanan Laut (Satgas Korkamla) yang bersifat adhoc dan dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu dalam rangka operasi bersama keamanan laut. II.3.2.2 B.
Instansi Terkait tanpa Satuan Tugas Patroli di Laut
a. Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup tidak memiiiki satuan tugas patroli di laut, tetapi memiliki tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup di laut. Unit yang terkait dengan hal ini adalah Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana dan Administrasi Lingkungan yang berada dibawah Deputi Bidang Penataan Lingkungan Kementerian LH, dimana unit ini memiliki tugas melaksanakan analisis, penyusunan pedoman, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Pidana dan Administrasi Lingkungan menyelenggarakan fungsi: (1)
pelaksanaan analisis dari penyusunan pedoman di bidang penegakan hukum adminsitrasi dan pidana lingkungan;
(2)
penyiapan koordinasi dan pelaksanaan penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan hukum administrasi dan pidana lingkungan;
(3)
pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pefaksanaan kegiatan di bidang penegakan hukum administrasi dan pidana lingkungan;
(4)
pelaksanaan pengembangan dan pembinaan teknis pejabat pengawas dan penyidik pegawai negeri sipii iingkungan hidup.
87
b.
Departemen Pertanian
Karantina Pertanian adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tugas Pokok Karantina adalah melaksanakan perkarantinaan tumbuhan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan hewan budidaya. Karantina pertanian dilaksanakan di Bandara Udara, Pelabuhan Laut/Penyeberangan, Pos Lintas Batas, dan Kantor Pos. Berdasarkan Keppres no. 58 tahun 2001 Karantina Pertanian di Indonesia merupakan tanggung jawab Departemen Pertanian yang pelaksanaannya oleh Badan Karantina Pertanian, salah satu unit organisasi Eselon I lingkup Departemen Pertanian. Badan Karantina Pertanian dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Pertanian. Di tingkat Pusat, Kepala Badan Karantina Pertanian dibantu oleh 4 pejabat eselon II, 10 pejabat eselon 111 dan 24 pejabat eselon IV. Ditingkat lapangan Kepala Badan dibantu oleh Kepala UPT terdiri atas 39 UPT Karantina Hewan, 43 UPT Karantina Tumbuhan dan 1 Balai Uji standar. Unit eselon II yang terkait dengan fungsi karantina di bawah Badan Karantina Pertanian adalah Pusat Karantina Hewan dan Pusat Karantina Tumbuhan. Pusat Karantina Hewan terdiri dari tiga bidang, antara lain : (a) Bidang Karantina Hewan Impor, (b) Bidang Karantina Hewan Ekspor dan Antar Area, dan (c) Bidang Tehnik dan Metode Karantina Hewan. Demikian pula dengan Pusat Karantina Tumbuhan, terdiri 3 bidang antara lain : (a) bidang Karantina Tumbuhan Impor, (b) Bidang Karantina Tumbuhan Ekspor dan Antar Area, dan (c) Bidang Tehnik dan Metode Karantina Tumbuhan. c.
Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan mempunyai tugas pokok membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas dalam menyelenggarakan sebagian tugas kepemerintahan di bidang kehutanan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Departemen Kehutanan menyelenggarakan fungsi : (1) petancaran pelaksanaan di bidang kehutanan; (2) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi Departemen; (3) Pelaksanaan peneiitian dan pengembangan terapan, serta pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang kehutanan; dan 4) Pelaksanaan pengawasan fungsional. Terkait dengan fungsi penegakan hukum dan keamanan laut, khususnya fungsi penyidikan dan penanggulangan illegal, logging, unit yang terkait erat adalah Direktorat Penyidikan dan Periindungan Hutan di bawah Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Direktorat ini mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi, dan bimbingan teknis di bidang penyidikan dan perlindungan hutan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan menyelenggarakan fungsi: (1)
penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan program dan evaiuasi, penyidikan, penanggulangan illegal logging, perambahan, peredaran illegal
88
tumbuhan dan - satwa liar, perburuan, pengeiolaan poiisi kehutanan dan PPNS dan sarana prasarana di bidang penyidikan dan perlindungan hutan; (2)
pelaksanaan kebijakan, penyusunan program dan evaluasi, penyidikan, penanggulangan illegal logging, perambahan, peredaran illegal tumbuhan dan satwa liar, perburuan, pengeiolaan poiisi kehutanan dan PPNS dan sarana prasarana di bidang penyidikan dan perlindungan hutan;
(3)
penyiapan perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur pelaksanaan program dan evaluasi, penyidikan, penanggulangan iliegal logging, perambahan, peredaran illegal tumbuhan dan satwa liar, perburuan, pengetolaan poiisi kehutanan dan PPNS dan sarana prasarana di bidang penyidikan dan perlindungan hutan;
(4)
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi penerapan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur pelaksanaan program dan evaluasi, penyidikan, penanggulangan illegal logging, perambahan, peredaran illegal tumbuhan dan satwa liar, perburuan, pengetolaan poiisi kehutanan dan PPNS dan sarana prasarana di bidang penyidikan
Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan terdiri dari beberapa sub- direktorat antara lain : a. Subdirektorat Program dan Evaluasi Penyidikan dan Perlindungan; b. Subdirektorat Penyidikan dan Perlindungan Wilayah 1; c. Subdirektorat Penyidikan dari Perlindungan Wilayah 11; d. Subdirektorat Poiisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan e. Subdirektorat Sarana dan Prasarana Perlindungan. Di lapangan, tugas pokok dan fungsi dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber Daya Alam. d.
Departemen Kesehatan
Tugas pokok Departemen Kesehatan adalah melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi Departemen; pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijaksanaan di bidang kesehatan; pelaksanaan pengawasan fungsional. Fungsi yang dilaksanakan Depkes yang terkait dengan keamanan laut adalah karantina kesehatan. Dalam .struktur Departemen Kesehatan, karantina, mecupakan salah fungsi yang menjadi kewenangan Direktorat Surveilas Epidemiologi Imunisasi dan Kesehatan Matra dibawah Direktorat Jenderal Pengendaiian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Direktorat ini memiliki 5 Subdirektorat antara lain : (1) Subdit Surveilans Epidemioiogi; (2) Subdit Kesehatan Matra; (3) Subdit Imunisasi; (4) Subdit Karantina Kesehatan; dan (5) Subdit Kesehatan Haji. Karantina kesehatan ditangani oleh Subdit Karantina Kesehatan yang memiliki dua seksi, yaitu : (1) seksi standarisasi karantina kesehatan; dan (2) Seksi bimbingan dan evaluasi karantina kesehatan. e.
Departemen ESDM
Tugas pokok Departemen ESDM adalah membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber
89
daya mineral. Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, Departemen ESDM memiliki fungsi : (1) Perumusan kebijakan nasional, kebijakan peiaksanaan dan kebijakan teknis di bidang energi dan sumber daya mineral; (2) Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; (3) Pengeiolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Departemen; (4) Pengawasan atas pelaksanaan tugas Departemen; dan (5) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsi Departemen kepada Presiden. Instansi ini tidak memiiiki fungsi dan struktur yang bersifat operasional dalam penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut. f.
Kejaksaan
Kejaksaan merupakan salah satu unsur penting dalam sistem penegakan hukum, keamanan, keselamatan di laut. Berdasarkan UU no 16 tahun 2004 pasal 30, tugas dan wewenang kejaksaan meliputi bidang pidana dan bidang perdata. Pada bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: (1) melakukan penuntutan; (2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; dan (5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum difimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordiriasikan Dengan penyidik. Pada bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Sedangkan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : (1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; (2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; (3) pengawasan peredaran b arang cetakan; (4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; dan (6) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Di provinsi dan di kabupaten/kota masing-masing dibentuk kejaksaaan tinggi dan kejaksaan negeri. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada kekhususan dafam sistem kejaksaan dalam hal penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut. Dengan demikian upaya penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut sangat bergantung dari efektivitas dari kejaksaan negeri, kejaksaaan tinggi, dan kejaksaan agung dalam melakukan penuntutan tidak pelanggaran pidana di laut. g.
Pengadilan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan periakuan yang
90
sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradiian guna menegakkan hukum dan keadiian berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan fata usaha negara serta mahkamah konstitusi. Dalam konteks penegakan hukum dan keamanan di laut penyelesaian perkara diselenggrakan dalam lingkup peradilan umum. Dalam lingkungan peradilan umum, pengadilan negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata yamg berkedudukan di wilayah Kota atau Kabupaten. Pengadilan Tinggi merupakan iembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding ferhadap'perkara-perkara yang diputus oleh'Pengadilan: Negeri. Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melaiui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara Rl diterapkan secara adil, tepat dan benar. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapaf perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku. Selain itu mahkamah agung juga memiliki hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi. Selain fungsi peradilan, mahkamah agung juga menjalankan fungsi pengawasan, mengatur, nasihat, adminstrasi, dan fungsi lain yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. II.3.3
Kondisi Prasarana
Kapal patroli yang dimiliki TNl Al saat ini secara keseluruhan berjumlah 113 unit. Kapal patroli Polisi Perairan yang beroperasi hingga saat ini terdiri atas 228 unit, terdiri dari : (1) Kapal tipe A 500 sebanyak 15 unit; (2) Kapal tipe A 900 sebanyak 4 unit; (3) Kapal tipe @ 600 sebanyak 11 unit; dan (4) Kapal patroli berukuran kecil sebanyak 198 unit Ditjen PSDKP hanya memiliki 23 unit kapal patroli, terdiri dari Baracuda (2 unit), hiu (8 unit), hiu macan (2 unit), todak (2 unit), marlin 6 unit), takalamungan (1 unit), padaiodo (1 unit), dan speedboat (1 unit). Sedangkan jumlah kapal yang dimiliki oleh KPLP adalah sebanyak 159 unit kapal (Data tahun 2005). Adapun Bea Cukai memifiki 207 unit kapal patroli, terdiri dari 32 kapal patroli cepat jenis FPB 28, 10 unit kapal patroli lokal (Loca/ Patrol Craft), 10 unit kapal patroli jenis Vert Silinder Vessel, serta Speec/ Boat sebanyak 127 unit. Sedangkan Bakorkamla hingga saat ini baru memiliki 7 unit kapal patroli. Jika jumlah seluruh kapal patroli
91
tersebut digabungkan, maka terdapat sekitar 737 unit kapal patroli berbagai jenis, yang dimiliki oleh. 6 instansi terkait (Tabel 3.2) Tabel 3. Jumlah Kapal Patroli yang Dimiliki oleh Instansi terkait
Jumlah Kapal Patroli
II.3.4
BASAR
TNI AL
POLAIR
P2SDKP
KPLP
Bea Cukai
Bakor Kamla
Imigrasi
113
228
23
159
207
7
N/A
NAS N/A
Total
± 737
Batasan Wilayah Kerja
Dalam upaya penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut melekat hukum internasional dan hukum nasional dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut The United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, laut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa, namun negara lain pun memiliki hak untuk pemanfaatan. Hak berdaulat dan kedauiatan di wilayah perairan Indonesia sesuai dengan UNCLOS adalah sebagai berikut: (1)
Di laut wilayah selebar 12 mil laut dan garis pangkal, Indonesia memiliki kedauiatan penuh, artinya negara berhak mengatur segala ketentuan hukum nasional.
(2)
Di Zona Tambahan selebar 24 mil laut dari garis pangkal, Indonesia memiliki hak berdaulat dalam bidang kepabeanan, sanitasi, imigrasi, dan fiskal.
(3)
Di ZEE selebar 200 mil laut dari garis pangkal, Indonesia memiliki hak berdaulat dalam eksploras'i dan eksploitasi sumberdaya laut.
(4)
Di landas kontinen sampai kedalaman 350 meter, Indonesia berhak untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam.
Terkait dengan lembaga yang mempunyai kewenangan langsung di wilayah laut, setidaknya terdapat 7 (tujuh) institusi yang perlu untuk dibahas berdasarkan wilayah operasinya, yaitu Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut, Polisi Air, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, KPLP, Bea Cukai, Badan Search and Rescue Nasional, serta Badan Koordinasi Keamanan Laut (Lihat Tabel 3.3). Terdapat batasan kewenangan dan wilayah kerja dari masing-masing instansi penyelenggara lapangan yang didasarkan pada ,aturan hukum internasional dan nasional. Berdasarkan-kewenangan dan wilayah kerjanya, terdapat tiga goiongan instansi maritim di Indonesia, yaitu : (1)
Instansi dengan kewenangan penegakan hukum di laut secara luas, namun terbatas pada wilayah perairan dengan kategori wilayah kedaulatan negara saja. Instansi dengan karakteristik ini adalah Polisi Perairan.
92
(2)
Instansi dengan kewenangan penegakan hukum dilaut yang spesifik, dan meliputi wilayah perairan yang dikategorikan wilayah kedauiatan negara dan wilayah berdaulat. Instansi dengan karaktersitik seperti ini yang batasan wilayah kerjanya pada wilayah kedauiatan negara antara lain KPLP, sedangkan yang batasan kerjanya hingga wilayah berdaulat antara lain PSDKP, Bea Cukai, dan Imigrasi
(3)
Instansi dengan kewenangan penegakan hukum di laut secara luas dan meliputi wilayah perairan, baik wilayah kedauiatan negara maupun wilayah hak berdaulat. Instansi dengan karakteristik ini adalah TNI-AL.
Tabel 4. Instansi Maritim dan Batasan Wilayah Operasinya Wilayah Operasi (•) Instansi
Perairan Pedalaman
Perairan Kepulauan
Laut Teritorial
TNI-AL
•
•
•
POLAIR
•
•
•
PSDKP
•
•
•
KPLP
•
•
•
Bea Cxukai
•
•
•
BASARNAS
•
•
•
BAKORKAMLA
•
•
•
II.3.5
ZEEI
•
Zona Tambahan
Landas Kontinen
•
•
•
•
Dasar hukum masing-masing instansi
Uraian berikut: merupakan dasar hukum masing-masing instansi dengan Satgas di laut dalam menegakan hukum di laut berdasarkan wilayah operasinya. a.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
Institusi TNI Angkatan Laut mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum hampir di seluruh wilayah, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif -
Pasal 14 ayat (1) yang menyebutkan : Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan -
Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan : Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : (a) Perairan Indonesia; (b) ZEEI; dan (c) Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
93
-
Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan : Penyidlkan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pehkanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia -
Pasal 9 yang menyebutkan: Angkatan Laut bertugas : (a) melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; (b) menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; (c) melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; (d) melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; serta (e) melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut;
UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran -
b.
Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan : Selain penyidik pejabat polisi NegaraRepublik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya penjelasan Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "penyidik lainnya" adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Polisi Perairan
Polisi Perairan msmpuriyai kewenangan dalam menegakkan hukum hanya di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara dan laut teritorial, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana -
Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan : Penyidik adalah : (a) Pejabat polisi negara Republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Dava Alam Hayati Dan Ekosistennnya -
Pasal 39 ayat (1) yang menyebutkan : Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya a/am hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
94
Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. -
Pasal 39 ayat (2) yang menyebutkan : Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE/ dan UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perlkanan.
UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian -
Pasal 47 ayat (1) yang menyebutkan : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Deparfemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 19.81 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan -
Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan : Se/a/n penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang Ungkup,tugas dan tanggung- jawabpya meliputi pembinaan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
-
Pasal 30 ayat (2) yang menyebutkan : Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan -
Pasal 112 ayat (1) yang menyebutkan : Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup -
Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
95
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi -
Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas 'Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Rl -
Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan : Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Selanjutnya Penjelasan Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Wilayah Negara Republik, Indonesia adalah wilayah hukum berlakunya kedaulatan Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan kewenangannya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, terutama di wilayah dia ditugaskan.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan -
Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan: Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan -
Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan : Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : (a) Perairan Indonesia ; (b) ZEEI; dan (c) Sungai. danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
-
Pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan : Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polls! Negara Republik Indonesia.
UU No. 26 Tahun 2007 tentana Penataan Ruang -
Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan : Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai
96
penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penaelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil -
Pasal 70 ayat (1) yang menyebutkan : Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang H ukum Acara Pidana.
UU No. 17 Tahun:2008 tentang. Pelayaran -
Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan : Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup fugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
-
Pasal 282 ayat (2) yang menyebutkan : Da/am pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
c.
Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan – DKP
Institusi PSDKP mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara dan laut teritorial ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UNCLOS 1982, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan -
Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan : Wilayah pengeiolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : (a) Perairan Indonesia ; (b) ZEEI; dan (c) Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
-
Pasa! 73 ayat (1) yang menyebutkan; Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
97
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penaelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil -
Pasal 70 ayat (1) yang menyebutkan : Se/a/n pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang H ukum Acara Pidana.
-
Pasal 70 ayat (2) yang menyebutkan: Pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai negeri sipil.
d.
Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai
Institusi Penjaga Laut dan Pantai mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara dan laut teritorial, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran -
Pasal 1 butir 9 yang menyebutkan : Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
-
Pasal 276 ayat (1) yang menyebutkan : Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.
-
Pasal 276 ayat (2) yang menyebutkan : Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
-
Pasal 276 ayat (3) yang menyebutkan : Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
-
Pasal 277 ayat (1) yang menyebutkan : Da/am melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas :(a) melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; (b) melakukan pengawasan, pencegahan. dan penanggulangan pencemaran di laut; (c) pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; (d) pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut; (e) pengamanan Sarana Bantu Navigasi-
98
Pelayaran; dan (f) mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut. -
Pasal 278 ayat (1) yang menyebutkan; Da/am melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk : (a) melaksanakan patroli laut; (b) melakukan pengejaran seketika (hot pursuit); (c) memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan (e) melakukan penyidikan.
-
Pasal 278 ayat (2) yang menyebutkan' : Da/am melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai pejabat PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
Pasal 279 ayat (1) yang menyebutkan ; Da/am rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.
-
Pasal 282 ayat (1) yang menyebutkan: Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
-
Pasal 282 ayat (2) yang menyebutkan : Da/am pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi negara Republik Indonesia.
e.
Ditjen Bea dan Cukai
Institusi Bea Cukai mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedaiaman, perairan nusantara dan laut teritorial ditambah dengan zona tambahan sebagaimana yang tertuang dalam UNCLOS 1982, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan -
f.
Pasal 112 ayat (1) yang menyebutkan : Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. Imigrasi
Institusi Imigrasi mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan. pedataman, perairan
99
nusantara dan laut teritorial ditambah dengan zona tambahan sebagaimana yang tertuang dalam UNCLOS 1982, adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian -
g.
Pasal 47 ayat (1) yang menyebutkan : Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Badan Koordinasi Keamanan Laut
Institusi Bakorkamla mempunyai kewenangan dalam menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia yang meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara dan laut teritorial. Adapun dasar hukumnya yaitu: UU No. 6 Tahun j 996 tentang Perairan Indonesia -
Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan: apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
-
Perpres No.. 81 Tahun 2005 tentang Perairan Indonesia Pasal 3 yang menyebutkan : BAKORKAMLA mempunyai tugas mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operas! keamanan laut secara terpadu.
-
Pasal 4 yang menyebutkan : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BAKORKAMLA menyelenggarakan fungsi : (a) Perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut; (b) Koordinasi kegiatan dalam pelaksanaaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran, dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia; (c) Pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu
100
Tabel 5. Aspek-aspek kelembagaan dari “Instansi Maritim” No.
Instansi
ASPEC
1.
TNI AL
Tugas Pokok
2.
POLAIR
Deskripsi (1) Menyiapkan dan membina kekuatan untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi kepentingan nasional di laut yurisdiksi nasional. (2) Menegakkan hukum di laut sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. (3) Melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Fungsi dan Peran
Fungsi : Pengendalian laut dan proyek kekuatan Peran : Peran militer, polisionil, dan diplomasi
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, ZEEI, ZT, LK
Struktur
Mabes (Pusat) – Kotama (Pelaksana)
Sarana-Prasarana Patroli
Ada, 113 unit
Tugas Pokok
Membina dan melaksanakan fungsi kepolisian dalam batas kewenangan yang ditentukan, menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan tingkat pusat dalam rangka melayani, melindungi, mengayomi, serta pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum di wilayah perairan Republik Indonesia.
Fungís
(1) fungsi penegakan hukum, (2) fungsi organik, (3) fungsi teknis, dan (4) fungsi khusus
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial
Struktur
Direktorat polair Mabes POLRI (Pusat) – Direktorat Polda (Wilayah)
101
No.
3.
4.
Instansi
Ditjen PSDKP
Direktorat KPLP
ASPEC
Deskripsi
Sarana-Prasarana Patroli
Ada, 228 unit
Tugas Pokok
Pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan
Fungsi dan Peran
(1) Penyiapan perumusan kebijakan dep. Kelautan dan Perikanan di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan prikanan. (2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan. (4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, ZEE
Struktur
Pusat : Dirjen, bidang-bidang UPT : Pangkalan Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Sarana-Prasarana Patroli
Ada, 23 unit
Tugas Pokok
Penyiapan perumusan kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur, serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai
Fungsi
(1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamtan dan penyidik pegwai negeri sipil, tertib pelayaran, pennggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana
102
No.
Instansi
ASPEC
Deskripsi penjagaan laut dan pantai. (2) Penyusunan norma, standar, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang patroli dan pengamanan, pengawasan keselamtan dn penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai. (3) Penyiapan perumusan dan pemberian bimbingan teknis di bidang patroli dabn pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai. (4) Penyiapan pelaksanaan di bidang patroli dabn pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai. (5) Pembinaan teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut serta penyusunan dan pemberian kualifikasi teknis sumber ya manusia di bidang patroli dabn pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai. (6) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang patroli dabn pengamanan, pengawasan keselamatan dan penyidik pegawai negeri sipil, tertib pelayaran, penanggulangan musibah dan pekerjaan bawah air, sarana dan prasarana penjagaan laut dan pantai.
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial
Struktur
Pusat : Direktur, bidang-bidang
103
No.
Instansi
ASPEC
Deskripsi UPT
: Administrator Pelabuhan- Bidang Penjagaan dan Penyelamatan
Sarana-Prasarana Patroli 5.
Ditjen Cukai
Bea Tugas Pokok Fungsi
Menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan di bidang kepabeanan dan cukai. (1) (2)
(3)
(4)
6.
BASARNAS
Penyiapn penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan di bidang kepabeanan dan cukai. Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan dibidang patroli dan operasi dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran peraturan perundangundangan kepabeanan dan cukai. Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan dibidang penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai. Penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis evaluasi dan pelaksanaan penyediaan dan pemeliharaan sarana operasi.
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Tambahan
Struktur
Pusat : Dirjen, Sekjen, Direktorat-direktorat Wilayah : Kantor Wilayah (Bagian Penindakan dan penyidikan) dan Pelayanan (Seksi Penindakan dan Penyidikan)
Kantor
Sarana-Prasarana Patroli
Ada, 207 unit
Tugas Pokok
Membina, mengkoordinasikan dan mengendalikan potensi SAR dalam kegiatan
104
No.
Instansi
ASPEC
Deskripsi SAR terhadap orang dan material yang hilang atau menghadapi bahaya dalam dan atau penerbangan serta memberikan bantuan SAR dalam bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional.
Fungsi
(1) Menyusun perumusan kebijaksanaan teknis, membina dan mengkoordinasikan Pusat-pusat SAR dan Kantor SAR untuk melaksanakan kegiatan pencarian, pemberi pertolongan dan penyelamatan terhadap orang dan material yang hilang, dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam penerbangan, pelayaran dan bencana alam sesuai dengan peraturan SAR Nasional dn SAR Internasional. (2) Membina, mengkoordinasikan pengendalian pengerahan operasi SAR atas Instansi/pihak-pihak lain baik tenaga SAR maupun peralatannya. (3) Menilai dan mengevaluasi keseluruhan hasil operasi SAR. (4) Menyusun rencana dan program kerja operasional SAR. (5) Melaksanakan hubungan kerjasama
7.
Bakorkamla
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial.
Struktur
Pusat UPT
Sarana-Prasarana Patroli
Ada (N/A)
Tugas Pokok
Mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu.
Fungsi
: Kepala BASARNAS, Setjen, Pusat-pusat : Kantor SAR (24 Kantor)
(1) Perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut.
105
No.
Instansi
ASPEC
Deskripsi (2) Koordinasi kegiatan dalam elaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia. (3) Pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.
Wilayah Operasi
Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teitorial
Struktur
Pusat : Ketua, Anggota, Pelaksana Harian (Kalakhar, Tim Korkamla, Sekretariat Lakhar, pusat-pusat) Lapangan : Satgas Kamla
Sarana-Prasarana Patroli
Ada
106
Badan Koordinasi Keamanan Laut
II.4
Sebelum terbentuknya Bakorkamla RI yang sekarang ada, di tahun 1972 telah dibentuk sebuah Badan Koordinasi Keamanan Laut melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut. Dalam rangka meningkatkan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di bidang keamanan laut, pada tahun 2003 melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003 dibentuk kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Melalui proses koordinasi lintas sektoral ditetapkan pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut yang baru melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) pada tanggal 29 Desember 2005 yang menjadi dasar hukum dari BAKORKAMLA RI yang ada sekarang. Secara institusional, BAKORKAMLA merupakan lembaga/instansi pusat yang mengoordinasikan sejumlah instansi terkait dalam hal kegiatan pengamanan laut baik kebijakan maupun operasional dengan cakupan wilayah laut yang sangat luas. II.4.1
Visi dan Misi
Visi dan misi Badan Koordinasi Keamanan Laut adalah sebagai berikut. VISI Terwujudnya upaya penciptaan keamanan, keselamatan , dan penegakan hukum dalam wilayah perairan indonesia secara terpadu. MISI II.4.2
Merumuskan dan menetapkan kebijakan umum di bidang keamanan laut. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan dan operasi keamanan laut di wilayah perairan Indonesia. Merumuskan dan menetapkan penyelenggaraan dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut. Membantu peningkatan kapasitas kelembagaan di bidang keamanan laut. Mendorong peningkatan peran serta masyarakat di bidang keamanan laut. Tugas dan Fungsi
Sedangkan tugas-tugasnya adalah mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu. Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) adalah instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut. Tugas pokok Bakorkamla adalah mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu. Sedangkan Fungsi Bakorkamla sesuai pasal 4 adalah menyelenggarakan :
107
(1)
perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut;
(2)
koordinasi kegiatan dalam peiaksanaaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan I ndonesia;
(3)
pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.
II.4.3
Struktur Organisasi
Secara nasional Bakorkamla adalah lembaga non-struktural berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Bakorkamla diketuai oleh Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta beranggotakan 12 menteri/pejabat setingkat menteri yaitu: -
Menteri Dalam Negeri Menteri Luar Negeri Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Menteri Keuangan Menteri Perhubungan Menteri Kelautan dan Perikanan Jaksa Agung Panglima TNI Kepala Kepolisian Negara RI Kepala BIN dan Kepala Staf TNI AL
Untuk mendukung kelancaran tugas dan fungsi Bakorkamla, dibentuk Pelaksana Harian Bakorkamla yang diketuai oleh seorang Kepala Pelaksana Harian/Kalakhar. Kalakhar bertanggunjg jawab kepada Ketua Bakorkamla dan dibantu oleh Sekretaris Pelaksana Harian dan Tim Koordinasi Keamanan/Tim Korkamla serta 3 Pusat. Pelaksana Harian tersebut bertugas memberikan dukungan teknis dan administrasi kepada Bakorkamla dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam rangka pelaksanaan tugas, Bakorkamla memiliki Satuan Tugas Koordinasi Keamanan Laut (Satgas Korkamla) yang bersifat adhoc dan dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu dalam rangka operasi bersama keamanan laut. Tim Korkamla adalah unsur staf yang membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Kalakhar Bakorkamla yang beranggotakan 12 pejabat eselon I/setingkat eselon I dari masing-masing kantor anggota Bakorkamla, yaitu: -
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri Staf Ahli Menhan Bidang Keamanan Dephan Dirjen Imigrasi Dep Hukum dan HAM Dirjen Bea Cukai Depkeu
108
-
Dirjen Perhubungan Laut Dephub Dirjen Wasdal, Dep Kelautan dan Perikanan Jamintel Kejagung RI Asops Kasum TNI Waka Babinkam Polri Staf Ahli Bidang Hukum BIN Asops Kasal
Sedangkan Pusat-pusat terdiri dari : -
Pusat Koordinasi Operasi Keamanan Laut Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut Pusat Informasi Hukum dan Kerjasama Keamanan Laut
Bagan Organsisasi Bakorkamla disajikan di halaman berikut.
Gambar 21. Struktur Organisasi Bakorkamla II.4.4
Kegiatan Bakorkamla
Dalam Kuartal I tahun 2007 (Januari 2007 – April 2007) kegiatan Bakorkamla telah melakukan kegiatan yang secara garis besar meliputi: 1. Rapat Tim Korkamla 4 (empat) kali yang merupakan rapat koordinasi yang secara rutin dan berkala dilakukan setiap bulan sekali dengan melibatkan 12 (dua belas) stakeholder. 2. Pusat Kebijakan Keamanan Laut menyelenggarakan pengkajian, penyiapan perumusan dan evaluasi baik kebijakan kegiatan maupun operasi keamanan laut. Sehubungan dengan penyiapan kebijakan ini telah dilaksanakan
109
kegiatan sebagai berikut: Kajian terhadap KM Levina 1, Kajian KMP Senopati Nusantara, Kajian Tangkapan Operasi Gurita I, dan Tim Berita IMB 3. Pusat Koordinasi Operasi Keamanan Laut menyelenggarakan penyusunan perencanaan latihan dan operasi terkoordinasi, pelaksanaan dukungan komunikasi dan logistik dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut: Gladi Posko I, Operasi Gurita I maupun Operasi Perbantuan. 4. Pusat Informasi, Hukum dan Kerjasama Keamanan Laut menyelenggarakan pelaksanaan pemberian informasi maupun hukum untuk kegiatan, latihan dan operasi keamanan laut serta pelaksanaan kerjasama di bidang keamanan laut dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut: Sosialisasi Bakorkamla baik di dalam negeri maupun di luar negeri serta pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang disebut Bakorkamla Integrated System (BIS) berbasis system peringatan dini 5. Oleh Sekretariat diselenggarakan penyusunan program, anggaran, evaluasi dan laporan; pelaksanaan ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan rumah tangga; serta pelayanan persidangan dan humas serta protocol dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut: Optimasi personil dan sarana prasarana kantor; pagu dan anggaran Bakorkamla, penyusunan laporan triwulan I dan II, penyusunan laporan kinerja kuartal Pertama, kegiatan kehumasan dan protokol, penyusunan Renstra Bakorkamla, kerjasama JICA, Tim Cluster serta kunjungan ke luar negeri. Kegiatan Badan Koordinasi Keamanan Laut pada kuartal kedua tahun 2007 (Mei 2007 –Agustus 2007) secara garis besar sebagai berikut: 1. Tim Korkamla menyelenggarakan rapat yang merupakan rapat koordinasi yang secara rutin dan berkala dilakukan setiap bulan sekali dengan melibatkan 12 (dua belas) stakeholder, terselenggara 4 (empat) kali. 2. Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut menyelenggarakan pengkajian, penyiapan perumusan dan evaluasi baik kebijakan kegiatan maupun operasi keamanan laut berupa kegiatan sebagai berikut : 3. Kajian hasil tangkapan Operasi Gurita 02, 4. Evaluasi Tindak Lanjut Operasi Gurita 01, 5. Penyusunan Protap Penanganan Berita "Marabahaya’ /lnformasi dari IMB serta 6. Pelaksanaan Forum Koordinasi dan Konsultasi Operasi Keamanan Laut dan Penegakan Hukum dengan tema " Bersatu Klta Ciptakan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut " Pusat Koordinasi Operasi Keamanan Laut menyelenggarakan penyusunan perencanaan latihan dan operasi terkoordinasi, pelaksanaan dukungan komunikasi dan logistic dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut :
110
1. Gladi Posko 02, 2. Operasi Gurita 02 diwilayah Indonesia Tirmur dengan hasil Pemberhentian, Pemeriksaan, dan Penahanan 151 kapal 3. Operasi Perbantuan 02 Pusat Informasi, Hukum dan Keriasama Keamanan Laut menyelenggarakan pelaksanaan pemberian informasi maupun hukum untuk kegiatan, latihan dan operasi keamanan laut serta pelaksanaan kerjasama dibidang keamanan laut dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut : Kunjungan Tamu Mitra Kerja dari Negara Sahabat serta MOU Bakorkamla dengan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung Sekretariat menyelenggarakan penyusunan program, anggaran, evaluasi dan laporan; pelaksanaan ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan rumah tangga, serta pelayanan persidangan dan humas serta protocol denga melaksanakan kegiatan sebagai berikut : Optimalisasi Personil, Penatausahaan Surat, Keuangan dan Sarana dan Prasarana Kantor, Pagu dan Anggaran Bakorkamla, Penyusunan Laporan Triwulan I dan II, Penyusunan Laporan Kinerja Kuartal Kedua, Kegiatan Kehumasan dan Protokoi termasuk Penyusunan Strategi/Skenario Humas, Kerjasama Bakorkamla dengan JICA, Penerbitan Renstra Bakorkamla, Tim Cluster, Hasil Analisis Kunjungan ke Luar Negeri dan Asistensi Perundang-undangan serta Implementasi Forum Koordinasi Keamanan Laut di Provinsi Bangka Belitung. Di kuartal terakhir tahun 2007 (September 2007 – Desember 2007) Bakorkamla melakukan kegiatan yang secara garis besar 1. Tim Korkamla menyelenggarakan rapat yang merupakan rapat koordinasi yang secara rutin dan berkala dilakukan setiap bulan sekali dengan melibatkan 12 (dua belas) stakeholder, terselenggara 4 (empat) kali. 2. Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut menyelenggarakan pengkajian, penyiapan perumusan dan evaluasi baik kebijakan kegiatan maupun operasi keamanan laut berupa kegiatan sebagai berikut : 3. Kajian hasil tangkapan Operasi Gurita 03, 4. Telaah kasus KM. Putra Bima 2, tenggelamnya KM Acita 03 dan kasus KM Sarlina Indah 5. Penyelenggaraan Seminar Nasional Reformasi Birokrasi Keamanan Laut menyongsong 10 Tahun Reformasi menuju Indonesia Maju Pusat Koordinasi Operasi Keamanan Laut menyelenggarakan penyusunan perencanaan latihan dan operasi terkoordinasi, pelaksanaan dukungan komunikasi dan logistic dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Gladi Posko 03 dan Posko 04, 2. Operasi Gurita 03 3. Operasi Perbantuan 03
111
Pusat Informasi, Hukum dan Keriasama Keamanan Laut menyelenggarakan pelaksanaan pemberian informasi maupun hukum untuk kegiatan, latihan dan operasi keamanan laut serta pelaksanaan kerjasama dibidang keamanan laut dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Kunjungan ke Italia, Perancis dan Singapura 2. Dukungan intelijen untuk pelaksanaan Operasi Gurita 03 3. Meneima kunjungan Tamu dari Perancis, Australia, Amerika, norwegia dan Jepang. 4. Penandatanganan MoU antara Bakorkamla dan Pemda Provinsi Sulawesi Utara 5. Fasilitasi koordinasi Bakorkamla dangan Instansi Pemerintah dan Swasta dalam mendukung Operasi Gurita 03 6. Kerjasama pada Forum Maritim Sekretariat menyelenggarakan penyusunan program, anggaran, evaluasi dan laporan; pelaksanaan ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan rumah tangga, serta pelayanan persidangan dan humas serta protocol denga melaksanakan kegiatan sebagai berikut : Optimalisasi Personil, Penatausahaan Surat, Keuangan dan Sarana dan Prasarana Kantor, Pagu dan Anggaran Bakorkamla, Penyusunan Laporan Triwulan I, II dan III, Penyusunan Laporan Kinerja Kuartal Ketiga, Kegiatan Kehumasan dan Protokoi termasuk Penyusunan Strategi/Skenario Humas, Kerjasama Bakorkamla dengan JICA, Penerbitan Renstra Bakorkamla, Tim Cluster, Hasil Analisis Kunjungan ke Luar Negeri, Round Table, Forum Koordinasi Keamanan Laut di Provinsi Bangka Belitung, Peringatan 1 tahun Bakorkamla dan Pembangunan Kapal.
112
BAB III A N A L I S I S II.5 II.5.1
Analisis Perundang-undangan dan Dokumentasi Undang-undang no 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah ini di bahas secara khusus mengingat salah satu tujuan kajian adalah untuk menganalisa hasil monitoring dan evaluasi mengenai pengamanan wilayah laut di daerah serta menghubungkannya dengan urgensi pembentukan Bakorkamla daerah/wilayah. Dengan berlakunya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintahan daerah, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian tanggung jawab dan wewenang pemerintahan daerah berada di pemerintah daerah, yaitu Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal-hal yang berhubungan dengan laut dan sumber daya alam di laut diuraikan dalam Pasal 18 sebagai beriku. (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. (4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
113
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh neIayan kecil. (7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangperundangan. Menurut UU No 32/2004 ini pemerintah daerah yang memiliki wilayah laut berwenang menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Namun kewenangan ini haru diikuti dengan penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selain itu juga harus diikuti dengan langkah koordinasi dengan daerah lainnya yang mempunyai wilayah laut berbatasan dengan daerah tersebut. II.5.2
Peraturan Perundang-undangan lainnya
Peraturan perundang-undangan yang ada menunjukkan bahwa ditemui beberapa instansi yang memperoleh kewenangan untuk penegakan hukum di laut. Dengan demikian saat ini penegakan hukum dan keamanan di laut nusantara masih tumpang-tindih (overlapping). Kegiatan penegakan hukum, penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pelayaran di laut diselenggarakan oleh berbagai instansi yang berbeda berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing instansi tersebut. Hingga saat ini setidaknya ada 15 instansi pemerintah terlibat dalam penegakan hukum di laut (Bab II). Laporan lain menyebutkan setidaknya ada 24 peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada berbagai instansi pemerintah untuk menegakkan hukum di laut Beberapa contoh dari Bab II, di antaranya, UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan kewenangan penegakan hukum di laut kepada Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kemudian, contoh lain, UU No. 9/1992 Tentang Keimigrasian memberikan kewenangan kepada Departemen Hukum dan HAM (dalam hal ini Ditjen Imigrasi) untuk juga menegakkan hukum di laut. Ada juga UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara RI yang memberikan kewenangan kepada korps polisi untuk menegakkan hukum di laut. Di antara 15 instansi yang telibat pada pelaksanaan penegakan hukum, keamanan dan keselamatan di laut tersebut 8 instansi memiliki satuan tugas patroli di laut dan 7 lainnya tanpa satuan tugas di laut. Dengan banyaknya instansi yang terlibat tersebut telah menimbulkan kebingungan bagi obyek penegakan hukum di laut seperti kapal niaga, kapal penangkap ikan, nelayan, pelaut dan mereka yang karena sifat pekerjaannya harus bersinggungan dengan laut. Situasi yang diungkapkan menunjukkan bahwa bila suatu instansi tertentu memberhentikan dan naik ke kapal di tangah lautan untuk memeriksa berbagai persyaratan yang harus ada di atas kapal atau dokumen/surat yang harus dimiliki oleh ABK, namun di saat berkutnya ada instansi lain lagi yang
114
memberhentikan dan naik ke kapal tak lama kemudian dengan maksud yang sama atau maksud lainnya. Kebingungan untuk melapor juga timbul bila terjadi gangguan keamanan di laut yang dialami oleh obyek hukum di laut. Pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa pelaporan kejadian gangguan di laut disampaikan ke beberapa instansi. Laporan IMO (International Maritime Organization) Juni 2007 dan Agustus 2007 menunjukkan bahwa laporan untuk suatu kasus gangguan keamanan laut di Indonesia ditujukan ke pelbagai instansi, yaitu Port Authority, Bakorkamla, Indonesian Navy Headquarters/TNI-AL, Marine Police Headqauarter/Polair, Puskodal and SAR. II.6
Issue Keamanan Laut
Karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah menempatkan keselamatan dan keamanan sangat vital bagi Indonesia termasuk dunia internasional. Isu tersebut meliputi ancaman navigasi (kekurangan dan pencurian sarana bantu navigasi), ancaman sumber daya (perusakan serta pencemaran laut dan ekosistemnya), ancaman kekerasan (pembajakan, perompakan dan sabotase), serta ancaman kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam secara ilegal) yang dapat mengancam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Wilayah perbatasan dan pulau-pulau terpencil merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan territorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Apabila tidka dikelola dengan baigk akan berdampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat wilayah maupun internasional, baik secara langsung dan tidak langsung. Sebagian besar wilayah perbatasan dan pulau-pulau terkecil di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas, sehingga daerah tersebut menjadi tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan serta masyarakatnya pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga, dan dalam jangka panjang dapat berdampak pada kedaulatan wilayah negara. Hal lain yang dapat mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah, terutama ke kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis. Kehidupan sosial ekonomi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di Negara tetangga, sehingga berpotensi mengundang kerawanan di bidang politik yang juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena
115
mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. II.6.1
Zonasi dan alternatifnya
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, untuk memudahkan dan memperlancar proses kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia telah ditetapkan zonasi wilayah laut Indonesia dalam 6 zona. Merujuk pada informasi yang ada, zona-zona tersebut ditetapkan berdasarkan frekuensi gangguan keamanan laut di wilayah Indonesia dan dimaksudkan untuk mengefektifkan penanggulangan gangguan keamanan laut. Walau pembagian wilayah menjadi 6 zona dimaksudkan untuk mengefektifkan penanggulangan gangguan keamanan laut, namun belum sepenuhnya menunjukkan liputan wilayah yang mencakup perairan antara elemen-elemen zona. Hanya zona Pontianak (meliput perairan laut Jawa), Tarakan (meliput perairan Selat Sulawesi dan Selat Bali serta ALKI) dan Bitung (meliput perairan Maluku) yang secara geografis meliput wilayah perairan. Sesungguhnya sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, bangsa Indonesia merupakan bangsa berjiwa bahari yang memiliki filosofi “hidup dengan dan dari laut”. Pada jaman kedua kerajaan tersebut, kebudayaan maritim dan arus perdagangan di laut mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi pemersatu bangsa. Kondisi Negara berwawasan bahari yang memanfaatkan laut sebagai urat nadi perdagangan juga digunakan oleh bangsa Belanda yang menjajah dan menguasai bumi nusantara. Karena Belanda berhasil menguasai perairan dan wilayah pesisir di seluruh Nusantara maka mereka dapat mengambil kekayaan sumber daya alam (yang pada waktu itu berupa rempah-rempah) untuk dibawa dan dijual ke Eropa melalui jalur laut. Langkah-langkah yang ditempuh Belanda untuk menguasai lautan tersebut ternyata sekaligus menghilangkan jiwa kebaharian (melalui pendekatan kultural). Alhasil, Belanda berhasil melumpuhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadi besar sebagai bangsa bahari. Melalui Dewan Kelautan Nasional (yang menjadi Dewan Maritim Indonesia dan sekarang Dewan Kelautan Indonesia) yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 77 tahun 1996, ditetapkan Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI) sebagai usaha untuk mengembalikan jiwa kebaharian dalam pembangunan kelautan di Indonesia. BMI adalah bagian dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alamiah antara darat, laut dan udara di atasnya, yang tertata secara unik. BMI menampilkan ciri-ciri benua dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca (klimataologi dan metereologi), keadaan air (oceanografi), tatanan kerak bumi (geologi dan geofisika), keragaman biota (biologi) serta tatanan sosial budaya (antropologi), yang menjadi wilayah jurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.
116
Dalam kaitan dengan pengendalian keamanan wilayah pesisir dan laut, tiga bidang utama perlu mendapat perhatian yaitu: 1. Bidang kewilayahan, diperlukan suatu penataan ruang pesisir laut terpadu. 2. Bidang ekosistem, diperlukan suatu keseimbangan ekosistem di laut. 3. Bidang fisik (geologi/geografi/geomorfologi laut), dan dinamik (interaksi obyek di laut) pesisir dan laut. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan sistem keamanan laut adalah: 1. Ekonomi (perikanan, pariwisata, sumber daya mineral, perhubungan, kehutanan). 2. Keamanan (TNI-AL, Polisi, Bea Cukai, Imigrasi). 3. Lingkungan (Lingkungan Hidup, DKP/perikanan yang berkelanjutan, Dephut/mangrove yang berkelanjutan, ESDM/pasir laut) Dengan mengingat posisi geografis, ekosistem serta karakteristik fisik dan dinamik pesisir dan laut Indonesia, dapat pula dikembangkan pembentukan zonasi alternatif yang menekankan pada posisi geografis yang menunjang filosofi bahari sebagai perekat keindonesiaan di wilayah nusantara selain pembagian ke dalam 6 zona seperti tersebut di atas. II.6.2
Aspek-aspek Keamanan dan Keselamatan Laut
Sehubungan dengan permasalahan keamanan laut di perairan Indonesia serta aspek Ekonomi, Keamanan dan Lingkungan Hidup, aspek keamanan dan keselamatan laut yang perlu menjadi perhatian dan pertimbangan dalam penyusunan alternatif organisasi keamanan dan keselamatan laut dapat dirinci sebagai berikut: 1. Pembalakan, penyelundupan dan pencurian ikan Apek ini yang paling sering dibicarakan di media publik yang dikenal dengan illegal logging, illegal trading dan illegal fishing. 2.
Lingkungan
3.
Pertahanan dan keamanan nasional
4.
Perbatasan
5.
Bea cukai
6.
Imigrasi
7.
Narkoba
8.
Perompak
9.
Keselamatan laut
117
II.6.3
Instansi Keamanan Laut
Sampai saat ini secara institusional, BAKORKAMLA-lah yang merupakan lembaga/instansi pusat yang mengoordinasikan sejumlah instansi terkait dalam hal kegiatan pengamanan laut baik kebijakan maupun operasional dengan cakupan wilayah laut yang sangat luas. Sejak terbentuknya Bakorkamla dengan Perpres no.81 tahun 2005 instansi ini telah melakukan kegiatan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yaitu koordinasi kegiatan dalam peiaksanaaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia. Dalam hal Operasi Keamanan Laut, melalui Pusat Koordinasi Keamanan Laut telah menyelenggarakan operasi keamanan laut terpadu bersama instansi terkait yang disebut sebagai Operasi Gurita. Operasi Gurita telah dilaksanakan 4 (empat) kali sejak tahun 2007 sampai triwulan 1 tahun 2008. Selain itu juga melaksanakan Gladi Posko maupun Operasi Berbantuan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan terjauh yang dapat dilakukan memang berbentuk koordinasi. Demikian pula sudah banyak kegiatan koordinatif yang dilakukan oleh Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut serta Pusat Informasi, Hukum dan Kerjasama Keamanan Laut. Walau belum dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindihnya wewenang penegakan hukum di laut (Bab II dan Bab VI.2) secara menyeluruh, namun dengan fungsinya sebagai koordinator penanganan keamanan laut, masalah sudah sebagian diatasi. Namun Undang-undang no 17/2008 tentang Pelayaran Pasal 276 menyebutkan bahwa: (1) Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. (2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai. (3) Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Dengan demikian akan ada institusi lain yang disebut penjaga laut dan pantai tersendiri dengan segala wewenangnya. Penjaga Laut dan Pantai (yang dalam undang-undang tersebut juga disebut Sea and Coast Guard) mempunyai wewenang yang luas, termasuk memberhentikan, menaiki, memasuki, memeriksa surat-surat dan dokumen kapal dan memerintahkan kapal yang disangka melanggar hukum menuju pelabuhan yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Kewenangan yang lebih luas itu mencakup, antara lain penjaga laut dan pantai/sea and coast guard menjadi tempat berkoordinasi semua institusi yang memiliki kewenangan menegakkan hukum di laut.
118
Maka timbul masalah, dengan kewenangan koordinasi tersebut berarti mempunyai kewenangan sama dengan kewenangan koordinasi yang berada di tangan Bakorkamla. Walau tidak secara explicit bahwa Penjaga Laut dan Pantai adalah KPLP/Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai yang merupakan perangkat dari Departemen Perhubungan, namun juga juga tidak dinyatakan bahwa instansi tersebut adalah Bakorkamla. Di samping hal tersebut, ternyata yang dapat dijangkau oleh Bakorkamla dalam kegiatan koordinasi operasinya hanya sebagian wilayah perairan Indonesia. Operasi Gurita yang dilaksanakan hanya di wilayah Timur atau Barat saja di satu waktu operasi. II.7
Analisis Hasil Survey
Pada bagian ini dikemukakan berbagai hasil temuan terkait dengan kondisi secara umum tentang manajemen keamanan laut dan sejauh mana manfaat yang telah diperoleh selama ini oleh berbagai instansi yang terkait langsung maupun instansi yang terkait tidak langsung dalam menangani kemanan laut Indonesia di bawah koordinasi BAKOKAMLA. Temuan ini berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di 6 (enam) Zona wilayah yakni: 1) Zona BABEL meliputi: Aceh, Sumut, Jambi, Riau, Sumsel, Lampung, Sumbar, Bengkulu, Banten, dan Kepri (Kepulauan Riau), 2).Zona PONTIANAK meliputi: Kalbar, Kalsel, Kalteng, Jabar, Jateng dan Jatim; 3) Zona TARAKAN meliputi: Kaltim, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Bali, dan NTB; 4) Zona BITUNG meliputi: Sulut, Sulgara, Maluku Utara, Maluku dan Biak; 5) Zona MERAUKE meliputi: Papua Barat & Papua Selatan; dan 6) Zona TUAL meliputi: NTT, Dobo & Perbatasan Australia. Berbagai instansi baik yang terkait langsung maupun yang terkait tidak langsung dengan keamanan laut Indonesia serta masyarakat nelayan yang dalam hal ini diwakilkan oleh suatu wadah organisasi HNSI dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui sekaligus mengevaluasi manajemen keamanan laut Indonesia. Untuk mengetahui sejauh mana manajemen dan manfaat yang sudah diperoleh terkait dengan kemanan laut Indonesia, penelitian survey ini menggunakan enam indikator yang dijadikan sebagai bahan kajian dalam mengumpulkan berbagai informasi. Enam indikator dimaksud adalah sebagai berikut: kesesuaian program antara pusat dan daerah, Input, proses, output, outcome dan Impact yang terakumulasi ke dalam 40 butir instrument, dengan gambaran sebagai berikut: 1) indikator kesesuaian program antara daerah dan pusat meliputi: kesesuaian visi dan misi organisasi, kesesuai bentuk organisasi, kesesuian strategi, keinginan adanya kesesuaian atau keterpaduan visi dan misi; 2) indikator input meliputi: kesiapan tenaga pelaksana dan perencana, kesiapan organiasasi dan manajemen, kesiapan dana pendukung program, dukungan sarana dan prasarana, ketersediaan waktu, 3) indikator proses meliputi: efektifitas metode yang digunakan, efesiensi waktu, efektifitas kesiapan tenaga pelaksana, efektifitas penggunaan sarana dan prasarana, efektifitas dalam koordinasi, efektifitas dalam pengendalian pelaksanaan kegiatan, dan efektifitas dalam penilaian keberhasilan program; 4) indikator output meliputi: efektifitas pencapaian tujuan, efektifitas pencapaian sasaran, efektifitas pembuatan
119
laporan, efektifitas dalam deseminasi/sosialiasi program, efektifitas dalam penerapan hasil-hasil kegiatan, dan efektifitas dalam mencapai hasil, 5) indikator outcome, meliputi: manfaat yang diperoleh untuk, keorganisasian keamanan laut, masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksana progam dan stakeholders bidang kelautan. 6) Indikator impact, meliputi: terciptanya acuan kebijakan, keterpaduan kegiatan, terjadinya koordinasi pelaksanaan kegiatan, kelancaran tugas pengembangan program, peningkatan mutu hasil pembinaan, terbentuknya komunikasi pusat dan daerah, peningkatan mutu SDM dan adanya peningkatan hubungan tenaga pelaksana kegiatan dengan masyarakat. Setelah data terkumpul, selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan kebutuhan kajian.
1. Kesesuaian Kegiatan/Program Keamanan Laut Antara Daerah dan Pusat. Kesesuaian program meliputi: kesesuaian visi dan misi organisasi, kesesuaian bentuk organisasi, kesesuian strategi, keinginan adanya kesesuaian atau keterpaduan visi dan misi antara daerah dan pusat, dapat diinformasikan melalui grafik dan table berikut. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui indikator ini, terangkum dalam bentuk pertanyaan: “Apakah bentuk program, visi dan misi keorganisasian, serta strategi yang dimiliki terkait dengan pengembangan keamanan laut di daerah anda telah sesuai dengan bentuk program, visi dan misi keorganisasian serta strategi yang dilakukan oleh Badan koordinasi keamanan laut dari pusat?” Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut Pilihan Jawaban
Frekwensi prosentasi
Tidak sesuai
6
2.78%
Kurang sesuai
28
12.96%
Sesuai
61
28.24%
Sangat sesuai
121
56.02% 100.00%
120
Kesesuaian pogram Daerah dan Pusat 60%
56.02%
50% 40% 28.24%
30% 20%
12.96%
10% 2.78% 0% Tidak sesuai
Kurang sesuai
Sesuai
Sangat sesuai
Hasil analisis menunjukkan bahwa, sebanyak 2,8 % menyatakan tidak sesuai, 13,0 % menyatakan kurang sesuai, 28,2 % menyatakan sesuai sedangkan sisanya sebanyak 56,0 % menyatakan program, visi dan misi serta strategi yang dijalankan di daerah sudah sangat sesuai dengan program, visi dan misi serta strategi yang berasal dari Pusat (Bakorkamla). Jika kita amati dari persentase setiap pilihan pernyataan yang dikemukakan responden terkait dengan pertanyaan sebelumnya, seperti tidak ada ditemukan satupun permasalahan yang cukup berarti terkait dengan kesesuaian program yang dijalankan oleh berbagai instansi di setiap daerah yang menangani langsung maupun instansi yang tidak langsung keamanan laut Indonesia. Namun dalam kenyataannya sering kita mendengar adanya berbagai persoalan yang muncul terkait dengan permasalahan keamanan laut yang telah dilaksanakan d setiap daerah di Indonesia ketika dihadapkan dengan luasnya wiilayah territorial laut, perbedaan undang-undang yang dimiliki oleh masing-masing instansi, dan sejumlah permasalahan klasik lainnya yang terkait dengan ego sektoral. Permasalahan tersebut harus disadari, bahwa hal itu hanya membuat Indonesia menjadi sebuah Negara yang rapuh. Sedangkan tuntutan kebutuhan saat ini mengharuskan kita memiliki satu wadah organisasi dengan visi dan misi yang sama dalam hal manajemen keamanan laut di Indonesia. Keinginan dari seluruh instansi untuk segera mengwujudkan diadakannya sebuah wadah organisasi dari tingkat pusat sampai ketingkat wilayah/daerah yang kapasitas dan keberadaannya tidak hanya mampu memberikan koordinasi keseluruh instansi terkait, namun lebih jauh diharapkan dapat menjadi sebuah badan di barisan terdepan dalam hal keamanan laut dengan visi dan misi yang sama mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat wilayah/daerah di seluruh Indonesia, dikarenakan hal itu sudah merupakan tuntutan kebutuhan melihat luasnya wilayah laut yang kita miliki.
121
Amanah seperti yang disampaikan oleh berbagai instansi yang terkait langsung maupun terkait tidak langsung dengan keamanan laut yang menginginkan adanya kesesuaian kebijakan program keamanan laut dengan visi dan misi yang sama dari sebuah keorganisasian pusat untuk diterapkan di setiap wilayah/daerah tersebut, terkuak dari sebuah tabir pertanyaan: “Apakah anda menginginkan adanya kesesuaian program keamanan laut dari sebuah keorganisasi pusat untuk diterapkan ke setiap wilayah/daerah anda terkait dengan kebutuhan saat ini bahwa system keamanan laut Indonesia harus memiliki visi dan misi yang sama.?” Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut: Pilihan pernyataan
Frekwensi prosentase
Sangat tidak menginginkan
8
3.70%
Tidak menginginkan
8
3.70%
Menginginkan
12
5.56%
Sangat menginginkan
188
87.04%
jumlah
216
100%
Keinginan adanya kesesuaian program 100% 87.04% 80% 60% 40% 20% 3.70%
3.70%
5.56%
Sangat tidak menginginkan
Tidak menginginkan
Menginginkan
0% Sangat menginginkan
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa, sebanyak 3,7 % sangat tidak menginginkan adanya kesesuaian, 3,7 % tidak menginginkan adanya kesesuaian program, 5,6 % menginginkan adanya kesesuaian, sedangkan sisanya sebesar 87,0 % sangat menginginkan adanya kesesuaian program keamanan laut dari sebuah organisasi pusat untuk diterapkan ke setiap wilayah/daerah yang terkait sesuai dengan kebutuhan saat ini bahwa system keamanan laut Indonesia harus memiliki visi dan misi yang sama.
122
Beberapa informasi yang dapat dikemukakan melalui data kualitatif yang merupakan rangkuman dari berbagai jawaban responden terkait dengan pertanyaan yang diajukan dapat dilihat pada table berikut:
Menginginkan adanya terpaduan kebijakan (3,7% )
Menginkan Kesesuaian (56 %)
Sangat Menginkan Kesesuaian (87 %)
Tabel 6. Data kualitatif pada permasalahan kesesuaian program Agar terjadi kesamaan kebijakan antara pusat dan daerah dalam hal keorganisasian yang dibutuhkan untuk keamanan laut Indonsia Jelas sangat diperlukan, untuk terciptanya pemisahan tugas keamanan laut dan tugas pelayaran sipil, agar terjadi tugas dan fungsi yang jelas dan tidak overlap, sehingga masyarakat pelayaran menjadi tidak bingung mana tugas keamanan laut secara militer dan mana pelayaran sipil yang jelas-jelas memiliki UU No. 17 Thn 2008 tentang pelayaran sipil murni. Sangat menginginkan adanya suatu kebijakan program keamanan laut dengan satu garis komando yang sesuai dengan kebutuhan di daerah, sehingga diharapkan antara daerah dan pusat tidak ada terjadi perbedaan tentang visi dan misi keamanan laut Untuk mensinkronkan kebijaksanaan antara pusat dan daerah keberadaannya tidak hanya mampu memberikan koordinasi keseluruh instansi terkait, namun lebih jauh diharapkan dapat menjadi sebuah badan dibarisan terdepan dalam hal keamanan laut dengan visi dan misi yang sama mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat wilayah/daerah di seluruh Indonesia, dikarenakan hal itu sudah merupakan tuntutan kebutuhan melihat luasnya wilayah laut yang kita miliki. Dengan adanya kesamaan visi dan misi diharapkan tidak ada perbedaan persepsi antara pusat dan daerah dalam hal penyelenggaraan keamanan laut Bahwa sistem keamanan laut Indonesia harus memiliki visi dan misi yang sama agar strategi kebijakan yang dilakukan merupakan suatu rangkaian yang utuh serta tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan. Agar visi dan misi keamanan laut tingkat pusat dan daerah sama/seragam dalam hal melaksanakan tugas dan kegiatan khususnya terkait dengan kegiatan KAMLA Dapat mengakomodasi masukan dari seluruh stakeholders Perlu dipertimbangkan mengenai kearifan lokal sesui dengan amanat Undang-undang no 31 tentang perikanan. Jika tidak adanya keterpaduan kebijakan antara pusat dan daerah, maka akan sulit memperoleh satu visi dan misi yang sama antara pusat dan daerah dalam mewujudkan pencapaian secara optimal terkait dengan keamanan laut. Keterpaduan program pusat dan daerah terkait dengan keamanan laut merupakan kebijakan yang dianggap sesuai pada era otonomi daerah, hal ini dikarenakan terdapat sisi-sisi tertentu yang dalam penyelesaiannya susah terjangkau atau diprediksi jika hanya mengandalkan kebijakan yang diberlaku dari pusat saja. Oleh karenanya sangat dperlukan keterpaduan keijakan tersebut
2. Input Terkait Dengan Manajemen Keamanan Laut. Aspek-aspek yang yang terkait dengan indikator input meliputi: kesiapan tenaga pelaksana dan perencana, kesiapan organiasasi dan manajemen, kesiapan dana pendukung program, dukungan sarana dan prasarana, ketersediaan waktu.
123
Dari berbagai aspek yang terkait dengan indikator input ini, dapat dirangkum pertanyaan sebagai berikut: ” Bagaimana kesiapan tenaga perencana dan pelaksana program, organisasi dan manajemen, dana, sarana dan prasarana, serta waktu yang tersedia dalam mendukung kegiatan program pengembangan keamanan laut di daerah anda.?” Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut. Pilihan pernyataan
Frekwensi Prosentase
Sangat tidak memadai
5
2.31%
Tidak memadai
38
17.59%
Kurang Memadai
90
41.67%
Memadai
68
31.48%
Sangat memadai
15
6.94%
Jumlah
216
100%
Tersedianya input
50% 41.67% 40% 31.48% 30% Input 17.59%
20%
6.94%
10% 2.31% 0% Sangat tidak memadai
Tidak memadai
Kurang Memadai
Memadai
Sangat memadai
Hasil analisis menunjukkan bahwa, sebanyak 2,31 % mengemukakan bahwa tenaga perencana dan pelaksanaan program, organisasi dan manajemen, dana, sarana dan prasarana, dan waktu yang tersedia sangat tidak memadai dalam mendukung kegiatan program pengembangan keamanan laut di daerah, 17,59 % menyatakan tidak memadai, 41,67% menyatakan kurang memadai, sebanyak 31,48% menyatakan memadai, sedangkan sisanya sebanyak 6,94 % menyatakan sangat memadai.
124
Dari berbagai data kualitatif yang dirangkum pada permasalahan input yang dilaksanakan terkait dengan manajemen keamanan laut, dapat kami informasi sebagai berikut.
Memadai (31,5%)
Sangat memadai (6,9 %)
Tabel 7. Data kualitatif pada permasalahan input Karena masalah organisasi dan manajemen dipimpin langsung oleh BAKORKAMLA daerah (TNI AL) secara tertib dan baik, yang pelaksanaannya berkoordinasi dengan unsur-unsurnya. Kesiapan organisasi dan manajemen keselamatan laut sudah diatur oleh UU PP dan keputusan menteri Dana yang tersedia khusus untuk pengamanan dilaut bahkan tidak ada Dinas kelautan dan perikanan prov. Kalimantan Barat sudah memiliki SDM pengawas perikanan dalam hal untuk mendukung kegiatan pengamanan laut disekitar kelautan dan perikanan. Karena KODIM telah merencanakan program keamanan laut terpadu sesuai dengan kemampuan sarana dan prasarana yang dimiliki. Jelas tugas kesiapan tenaga kami memiliki potensi khusus dibidang keselamatan pelayaran niaga yang diatur oleh UU Nasional maupun International. Sedangkan untuk keamanan laut secara militer tidak ada diatur secara international. Kesiapan tenaga perencana pelaksanaan kegiatan program oleh Bakorkamla Daerah memadai, sedangkan unsur-unsur KAMLA lainnya tinggal melaksanakan sesuai kebijakan oleh Bakorkamla dalam hal ini TNI AL. Kalimantan Barat. Kelengkapan personel di bidang operasi Lanal Pontianak sudah dapat terpenuhi, sehingga perencanaan dan pelaksanaan program operasi dapat berjalan dengan baik Namun masih perlu penyempurnaan Dinas kelautan dan perikanan Prov. Kalimantan Barat telah memiliki bidang menangani kegiatan pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan di Prov. Kalimantan Barat. Telah didukung dengan dana yang berasal dari APBN maupun APBD meskipun dengan anggaran yang terbatas Untuk dana pengawsan keselamatan pelayaran yang kami lakukan sesuai dengan wilayah kewenangan kerja kami.
Kurang Memadai (41,7%)
Perlu diadakannya koordinasi lintas sektoral /lintas laut. Masalah waktu dalam melaksanakan kegiatan yang sesuai jadwal yang ditetapkan oleh BAKORKAMLA selanjutnya dilakanakan secara rutrin, suai dengan Setiap saat dapat dilakukan dan pelaksanaannya sesuai sasaran Job diskription yang dikerjakan belum sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh sumber daya manusia yang ditugaskan dalam rangka perencanaan dan pengembangan keamanan laut yang ada di daerah Masih perlu sosialisasi secara intensif secara dini. Hanya melekat pada sub bidang/ seksi dengan SDM yang terbatas. Masih kurangnya SDM yang ada Minimumnya dana pelaksanaan pengawasan, karena SDM yang tersedia masih kurang memadai dan masih sangat terbatas jumlahnya, demikian ula
125
dengan kapal patroli home bass di maroke tidak ada. Kesiapan tenaga perencana program dalam pengembangan keamanan laut pada dinas kelautan dan perikanan kurang memahami disebabkan disebabkan kurangnya SDM yang membidanginya. Kesiapan organisasi dan menajemen di LANAL pontianak sudah didukung dengan kelengkapan personel yang cukup, namun perlu adanya pemenuhan jabatan dibidang operasional. Lebih memfokuskan pada kegiatan pelayanan dan pengaturan sesuai dengan fungsi dan tugas organisasi Perlu dibentuk satuan kerja pengawasan di daerah-daerah Sumber daya manusia yang ada sangat terbatas dalam hal jumlah dan kemampuan/skill yang dibutuhkan Masih memerlukan rumusan bentuk (design yang tepat ) dan perlu kajian dan evaluasi Karena organisasi dan manajemen yang ada masih belum memadai dihadapkan dengan permasalahan laut yang ada. Masih kurangnya pemahaman pada tingkat pengambilan kebijakan terhadap pentingnya kegiatan pengawasan, sehingga alokasi dana kurang memadai. Karena untuk melaksanakan keamanan laut sangat memerlukan biaya yang besar, sedangkan anggaran yang ada masih sangat minim. Dana pendukung program keamanan laut kurang memadai hal ini disebabkan alokasi dana baik dari pusat maupun daerah sangat kecil. Operasinal kegiatan kelautan sangat membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Perlu adanya perombakan anggaran dari Pemda setempat guna mendukung pelaksanaan tugas keamanan laut. Jika dikaitkan dengan wilayah tugas peraian Kalimantan Barat, masalah dana untuk mendukung kegiatan program tersebut kurang memadai, maka dalam peningkatan program perlu adanya tambahan/dukungan dana demi terciptanya keamanan laut yang maksimal. Anggaran dana operasional yang didukung dari pusat belum cukup untuk menyelenggarakan Ops kamla secara maksimal. Perlu perhatian dari pemerintah pusat atas kaitannya dengan masalah pendanaan kegiatan pengawasan dan monitoring Sumber daya perikanan dan kelautan. Sarana Patroli di Lanal Pontianak sudah cuku tua untuk dihadapkan dengan Medan operasi yang ada diwilayah Kalimantan Barat, sehingga tidak maksimal dalam pelaksanaan operasi Sarana dan prasarana pendukung yang dimiliki baru terbatas pada sistem jaringan informasi. Belum adanya POS mengamanan terpadu Belum tersedianya lahan untuk tampat kapal tangkapan hasil operasi. Belum adanya dermaga tambak kapal pengawas Waktu untuk melaksanakan dan menyelesaikan kegiatan keamanan laut kurang memadai, dari pengesahan anggaran sampai dengan dilaksanakannya kegiatan (antara januari – maret) pada bulan April baru mulai jalan. Pada bulan januari sampai bulan maret tidak ada kegiatan waktu yang tersedia untuk melekasanakan kegiatan Karena waktu yang ada lebih mengutamakan penyelarasan program sesuai dengan fungsi organisasi
126
Sangat Tidak Memadai (2,3%)
Tidak Memadai (17,6 %)
Waktu untuk melaksanakan dan menyelesaikan kegiatan keamanan laut kurang memadai, dari pengesahan anggaran sampai dengan dilaksanakannya kegiatan (antara januari – maret) pada bulan April baru mulai jalan. Pada bulan januari sampai bulan maret tidak ada kegiatan waktu yang tersedia untuk melekasanakan kegiatan Karena waktu yang ada lebih mengutamakan penyelarasan program sesuai dengan fungsi organisasi Sarana pendukung dalam melaksanakan KAMLA di KALBAR dirasakan tidak memadai, sarana pendukung dimaksud berupa dermaga dan kapal untuk melakukan operasi. Dikarenakan nminimnya sarana dan prasarana tersebut, maka tidak seluruhnya dari unsur-unsur KAMLA yang terdiri dari beberapa instansi dapat melaksanakan operasional secara ,aksimal Perlu ada penambahan sarana dan personil yang cukup memadai Sarana dan prasarana pendukung untuk melaksanakan keamanan di laut belum ada khusus untuk wilayah timur Indonesia Sarana yang ada dihadapkan dengan luas maupun permasalahan yang tidak seimbang Dengan adanya sarana patroli yang cukup tua, dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai daerah patroli. Bagi kami, waktu yang tersedia untuk kemanan laut Tidak ada , tetapi menurut pandangan kami untuk kegiatan keamanan laut yang dilaksanakan Lanal dan polisi Marouke cukup memadai yang bertugas dengan sarana dan prasana yang tersedia Karena di Tarakan banyak disibukkan dengan luas maupun permasalahan yang ada tidak seimbang. Sarana dan prasarana pendukung pengembangan keamanan laut kurang memadai, ini berkaitan erat dengan luasnya wilayah laut dan banyaknya pelabuhan ikan.
Karena ketergantungan musim dan sarana prasarana pendukung yang tidak tersedia di daerah
3. Proses Terkait Dengan Manajemen Keamanan Laut. Aspek-aspek yang yang terkait dengan indikator proses meliputi: Efektifitas metode yang digunakan, efesiensi waktu yang digunakan, efektifitas tenaga pelaksana, efektifitas penggunaan sarana dan prasarana, efektifitas dalam berkoordinasi, efektifitas dalam pengendalian, efektifitas penilaian keberhasilan. Dari berbagai aspek yang terkait dengan indikator input ini, dapat dirangkum pertanyaan sebagai berikut: ” Apakah metode, waktu, sarana dan prasarana yang digunakan oleh tenaga pelaksana dalam melaksanakan koordinasi dan pengendalian sistem keamanan laut hingga membuat penilaian keberhasilan program yang telah dilaksanakan dinyatakan efektif , .?”
127
Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut. Pilihan pernyataan
Frekwensi Prosentase
Sangat tidak efektif
0
0.0%
Tidak efektif
50
23.1%
Kurang efektif
85
39.4%
Efektif
66
30.6%
Sangat efektif
15
6.9%
216
100%
Efektifitas proses
50% 39.4% 40% 30.6% 30%
23.1%
20% 6.9%
10% 0.0% 0% Sangat tidak Tidak efektif efektif
Kurang efektif
Efektif
Sangat efektif
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada yang menyatakan sangat tidak efektif, sebanyak 23,1% menyatakan proses tidak efektif, sebanyak 39,4% menyatakan kurang efektif, 30,6% menyatakan proses yang dlaksanakan efektif, sedangkan sisanya sebanyak 6,9 % menyatakan proses yang dilaksanakan sangat efektif. Dari berbagai data kualitatif yang dirangkum pada permasalahan proses yang dilaksanakan terkait dengan manajemen keamanan laut, dapat kami informasi sebagai berikut.
128
Tabel 8. Data kualitatif pada permasalahan proses Dapat menekan terjadinya pelanggaran di laut Pemenuhan kebutuhan operasional dibidang operasi sudah cukup. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Koordinasi yang kami alami berjalan efektif seperti operasi Bakorkamla, semua pihak diajak bekerja sama dalam program yang dlakukan di marauke Adanya dukungan dari instansi lain yang memiliki program yang sama Koordinasi kegiatan program keamanan laut telah efektif, ini terlihat dari tingkat koordinasi dari tingkat kecamatan, tetapi ini masih sangat perlu ditingkatkan
Efektif (23,1%)
Sudah ada koordinasi antara DKP Prov Kalbar dengan instansi terkait dalam pelaksanaan prog. Pengawasan SDKP Pengendalian pelaksanaan kegiatan/program keamanan laut sudah efektif, ini terlihat dari tiap tahun diadakan sosialisasi pengendalian keamanan laut, tiap kab. Di Prov, Kep. Babel Dengan adanya petugas rutin dan adanya Pos Polisi air di seluruh pantai perairan Poda Kalbar. Kegiatan/program keamanan laut di LANAL Pontianak sudah terjadwal dengan baik, hal ini disesuaikan antara jadwal operasi dan jadwal perawatan maupun perbaikan sarana operasi. Adanya komunikasi yang baik antar pelaksana program tetapi perlu peningkatan pengendalian. Semakin sering intensitas pengawasan, maka illegal fishing semakin menurun. Tingkat kejahatan di wilayah perairan Kalbar dinilai sudah menurun, persentasenya pada tahun anggaran 2008 dibanding dengan tahun 2007 Dengan banyaknya tindakan-tindak pidana diwilayah Kalbar yang ditangi oleh Polisi air
Kurang Efektif (39,4 %)
Efektivitas penilaian kegiatan/program pengembangan keamanan laut dinilai efektif, dikarenakan nelayan di tingkat desa telah dapat melaporkan kalau ada pelanggaran di laut, tetapi laporan tersebut kurang di respon oleh pihak keamanan Kecepatan deteksi dini dalam pelanggaran di bidang KAMLA sangat diperlukan untuk diambil tindakan selanjutnya, LANAL Pontianak belum memiliki sarana sarana deteksi dini yang diperlukan untuk mengetahui pelanggaran yang sedang terjadi Pengawasan masih dilakukan secara sektoral, belum ada keterpaduan dari instansi yang ada Karena belum dibentuk Satgas keamanan laut secara terpadu Karena keterbatasan sarana dan prasarana pendukung serta anggaran biaya Efektifitas motode dalam pelaksanbaan kegiatan kurang efektif disebabkan
129
kurangnya SDM kelautan Menurut pandangan kami, kurang efektifnya metode yang dgunakan dikarenakan hanya mengandalkan bahan bakar minyak oleh kapal Kri dan patroli yang hasilnya kurang maksimal, di sarankan agar menggunakan teknologi satelit dan radar pemantau untuk pendeteksian pelanggaran keamanan laut yang mungkin sangat efektif untuk dilaksanakan. Sedangkan penggunaan bbm saat ini harganya lebih mahal. Metode yang digunakan selama ini belum melibatkan kelompok masyarakat pengawas terutama yang berasal dari kelompok nelayan. Karena kurangnya sarana dan prasarana pengembangan keamanan laut di daerah
pendukung
program
Efisiensi waktu dalam melaksanakan kegiatan/program pengembangan keamanan laut kami nyatakan kurang efektif, hal ini dikarenakan masih kurangnya koordinasi dalam pelaksanaannya Karena keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran biaya operasional. Karena belum semua aparat yang ada memiliki kemampuan dalam mengatasi permasalahan keamanan laut Efisiensi waktu tidak ada masalah, perlu ditingkatkan dukungan OPS Pelaksanaan kurang efektif dikarenakan bulum adanya keterpaduan kegiatan/program Sarana operasi Lanal Pontianak yang cukup tua tidak sebanding dengan cakupan daerah operasi yang luas di perairan wilayah KALBAR Perlu Maping/SOP Karena anggaran hanya dapat membiayai operasional pengawasan maksimal selama 5 hari. SDM pelaksana terbatas sehingga dalam setiap operasi selalu melibatkan personil dari instansi lain Terikat birokrasi masing-masing Kurangnya SDM dan PPNS yang ada. Sarana yang ada belum menjangkau/menjangkau apa yang diinginkan. Kesiapan yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas. Masih perlu arahan dan pola yang jelas Dikarenakan masih terdapatnya perompakan di laut, maraknya barangbarang sembako dan makanan dari malaysia (Tawao) Efektifitas tenaga pelaksana dalam kegiatan/program pengembangan keamanan laut kurang efektif dikarenakan SDM kelautan masih kurang Tenaga pelaksana belum ada dan kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengembangan keamanan laut Peralatan yang sudah tua tentunya akan membutuhkan lebih banyak konsumsi bahan bakar, sehingga kurang efektif.
130
Sarana dan prasarananya belum ada Efektifitas penggunaan sarana dan prasarana kegiatan/program keamanan laut kurang efektif disebabkan kurangnya SDM Terbatasnya anggaran biaya operasional Dalam melaksanakan kegiatan keamanan laut belum dapat dilaksanakan secara rutinitas karena dukungan BBM belum dapat memenuhi program keamanan, sementara saat ini baru didukung untuk pemanasan mesin saja sedangkan opersional belum. Penggunaan sarana dan prasarana sudah dilaksanakan, hanya saja kurang memadai, kecepatan maupun keadaan kapal. Sarana yang ada tidak dapat lebih luas. Tidak maksimal dan sangat terbatas Sarana dan prasarana sangat minim Dapat dimanfaatkan sesuai penggunaannya Yang bisa kami sarankan adalah gunakan satelit dan radar pemantau yang dipasang di setiap daerah kerja yang saling terpantau sehingga sasaran pelanggaran keamanan laut dapat terdeteksi untuk penentuan sarana yang mana untuk digunakan sehingga biaya dapat hitung dan hasilnya nyata. Belum terlaksananya kegiatan keamanan laut secara gabungan antara TNI dan Polri (KODIM Tarakan) Karena koordinasi antar lintas sektoral sudah dilaksanakan, namun belum meilbatkan masyarakat pengawas/kelompok nelayan (POKMASWAS) Koordinasi kegiatan pengembangan keamanan laut perlu lebih ditingkatkan koordinasi criminal crime justice perlu lebih sering dilakukan Masih terdapat ego sektoral Masih kurangnya koordinasi dengan instansi terkait. Sistem pengendalian keamanan laut di Kabupaten Marauke masih bersifat temporer, dan belum bersifat kontinu Kegiatan keamanan laut belum dilaksanakan secara rutin Tidak maksimal dan tidak singkron Implementasinya belum jelas. Terbatasanya sarana dan prasarana serta anggaran biayauntuk melakukan monev terhadap kegiatan pengawasan. Karena penilaian keberhasilan pengembangan laut perlu ditinjau dari beberapa aspek.
131
Tidak Efektif (6,9 %)
Pada tataran implementasi masih banyak ditemukan permasahan bidang operasional Masalahnya sangat keterbatasan sarana dan prasarana Pengendalian sementara berada pada Dansat, belum adanya keterpaduan koordinasi dalam bentuk patroli gabungan. Tidak jelas dan masih bersifat sentralistik Implementasinya masih mencari bentuk
4. Output Terkait Dengan Manajemen Keamanan Laut. Aspek-aspek yang yang terkait dengan indikator Output meliputi: efektifitas pencapaian tujuan, efektifitas pencapaian sasaran, efektifitas pembuatan laporan, efektifitas dalam deseminasi/sosialiasi program, efektifitas dalam penerapan hasilhasil kegiatan, dan efektifitas dalam mencapai hasil kegiatan secara berkelanjutan,
Dari berbagai aspek yang terkait dengan indikator output ini, dapat dirangkum pertanyaan sebagai berikut: ” Dalam pencapaian sasaran, pencapaian tujuan, pembuatan laporan, penerapan hasil-hasil kegiatan, deseminasi/sosialisasi untuk memperoleh kualitas hasil kegiatan pengembangan keamanan laut secara berkelanjutan apakah sudah dinilai efektif. ?” Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut. Pilihan pernyataan
Frekwensi Prosentase
Tidak efektif
51
23.6%
5
2.3%
Sangat efektif
26
12.0%
Kurang efektif
73
33.8%
Jumlah
216
100%
Efektif
61
28.2%
Sangat efektif
tidak
132
Efektifitas proses
40% 33.8% 28.2%
30% 23.6% 20%
12.0% 10% 2.3% 0% Sangat tidak Tidak efektif efektif
Kurang efektif
Efektif
Sangat efektif
Hasil analisis menunjukkan bahwa, sebanyak 2,3 % menyatakan sangat tidak efektif, sebanyak 23,6% menyatakan tidak efektif, 33,8% menyatakan proses yang dlaksanakan kurang efektif, 28,2% efektif sedangkan sisanya sebanyak 12,0% menyatakan proses yang dilaksanakan sangat efektif. Dari berbagai data kualitatif yang dirangkum pada permasalahan output yang dilaksanakan terkait dengan manajemen keamanan laut, dapat kami informasi sebagai berikut. Tabel 9. Data kualitatif pada permasalahan output Efektif namun belum dapat dikatakan efisien Di wilayah perairan Kalbar sudah tercipta keamanan laut yang cukup kondusif, sehingga aman untuk melaksanakan pelayaran Illegal fishing mengalami penurunan setiap tahunnya
Efektif (28,2 %)
Setiap kegiatan operasi yang dilaksanakandi Lanal Pontianak sudah tercatat dengan baik dan dilaporkan secara terus-menerus kepada komando atas Dapat dijadikan tolak ukur untuk pencapaian sasaran selanjutnya Sesuai dengan hasil pelaksanaan yang ada
kegiatan pengawasan yang direncanakan dengan
Sesuai sasaran operasional dengan rencana awal kegiatan dan tujuan yang diinginkan Dengan adanya sosialisasi hasil-hasil kegiatan/program tersebut akan menjadi bahan evaluasi guna optimalisasi kegiatan pengembangan keamanan laut ke depan Memberikan penyuluhan kepada para nelayan baik di pantai maupun di pulaupulau agar dalam melaksanakan penangkapan ikan sesuai dengan UU yang berlaku. Efektivitas deseminasi/sosialisasi efektif dan ini kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun 2007.
133
Penerapan hasil kegiatan/program sudah mulai efektif, karena telah terbentuknya kelompok masyarakat pengawas di kecamatan. Karena penerapan hasil-hasil kegiatan/program tersebut akan menjadi suatu landasan dalam mengembangkan potensi yang ada guna mewujudkan keamanan laut Karena kualitas/hasil program pengembangan keamanan di laut akan menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi dalam penuyusunan rencana program pengembangan sektor kelautan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas Kualitas hasil cukup memadai tetapi perlu peningkatan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat nelayan/ rasa aman Berkurangnya nelayan-nelayan asing yang beroperasi Telah terbentuk dan berkembangnya sistem pengawasan berbasis masyarakat Pengembangan keamanan laut yang diperoleh sebelumnya masih lebih sering dilakukan dibanding dengan yang diperoleh saat ini Efektifitas pencapaian tujuan kegiatan kurang efektif disebabkan oleh tingkat pendidikan para nelayan. Belum menyentuh keseluruh masyarakat terutama pada petambak-petambak yang berdomisili dil luar Pulau Jawa Program keamanan laut belum mencapai sasaran yang diharapkan
Kurang Efektif (33,8 %)
Kurang jelaspencapaian sasaran kurang efektif, hal ini daei masih adanya kegiatan penangkapan ikan (illegal fishing) di perairan wilayah Kalbar. Efektivitas pencapaian sasaran kurang efektif dengan rencana awal kegiatan/program pengembangan keadaan laut, hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan dari pelaksananya Saasran pengamanan laut sering tidak tercapai Tidak adanya dukungan data dan informasi yang lengkap. Efektivitas pembuatan laporan kurang efektif, sebab laporan yang dibuat berdasarkan laporan di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Kegiatan laporan kamla hanya dibuat oleh TNI AL selaku bakorkamla, sedangkan kegiatan laporan lainnya dibuat oleh masing-masing instansi terkait Kurang jelas Belum efisien dalam memberdayakan sumberdayanya. Dikarenakan Sarana dan prasarana kurang memadai Kualitas kegiatan/program pengembangan keamanan laut masih kurang efektif, hal ini disebabkan tingkat kesadaran msyarakat nelayan masih rendah Tidak efektif (23,6 %)
Sudah baik tetapi perlu peningkatan pengendalian Laporan sering didahului oleh media cetak yang mengetahui terlebih dahulu, ini dikarenakan adanya keterbatasan kegiatan rutin Karena sering kali dari kasus-kasus yang ada tidak ditindaklanjuti sampai tuntas. Pelaksanaan keamanan di laut yang dilaksanakan oleh unsur-unsur Kamla, baik darin masing-masing instansi atau secara gabungan. Masih belum ada kesamaan laporan
134
Di sini perlu kami informasikan bahwa, jawaban berupa alasan responden dalam memilih pilihan pertanyaan sangat efektif dan sangat tidak efektif dalam pencapaian sasaran, pencapaian tujuan, pembuatan laporan, penerapan hasilhasil kegiatan, deseminasi/sosialisasi untuk memperoleh kualitas hasil kegiatan pengembangan keamanan laut secara berkelanjutan, tidak dapat terungkap. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan pengisian angket yang diajukan, responden hanya memilih pilihan pernyataan yang bersifat tertutup dan tidak menyertakan alasan apa yang menyebabkan responden memilih kedua pilihan pertanyaan yang diajukan. Banyaknya responden yang tidak memberikan alasan secara kualitatif atas kedua pilihan yang diajukan ini mencapai 15,3 % 5. Outcome Terkait Dengan Manajemen Keamanan Laut. Aspek-aspek yang yang terkait dengan indikator Outcome meliputi: manfaat yang diperoleh untuk, keorganisasian keamanan laut, masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksanaan progam dan stakeholders bidang kelautan
Dari berbagai aspek yang terkait dengan indikator input ini, dapat dirangkum pertanyaan sebagai berikut: ” Apakah sistem keamanan laut yang sudah anda laksanakan selama ini di daerah anda, memperoleh manfaat untuk: kepentingan keorganisasian keamanan laut anda, masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksanaan program dan stakeholders bidang kelautan.?” Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut: Pilihan pernyataan
Frekwensi Prosentase
Tidak bermanfaat
26
12.0%
Kurang bermanfaat
90
41.7%
Bermanfaat
72
33.3%
Sangat bermanfaat
28
13.0%
Jumlah
216
100%
135
Efektifitas outcome
50% 41.7% 40%
33.3%
30% 20%
13.0%
12.0% 10% 0% Tidak bermanfaat
Kurang bermanfaat
Bermanfaat
Sangat bermanfaat
Hasil analisis menunjukkan bahwa, sebanyak 12 % memilih menjawab keorganisasian keamanan laut yang sudah dilaksanakan selama ini di daerah tidak bermanfaat kepada masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksanaan program dan stakeholders bidang kelautan, sebanyak 41,7 % memilih menjawab kurang bermanfaat, sebanyak 33,3% memilih menjawab bermanfaat, sedangkan sisanya menyatakan bahwa sangat bermanfaat untuk kepentingan unit-unit yang bersangkutan. Dari berbagai data kualitatif yang kami rangkum pada permasalahan Outcome yang dilaksanakan terkait dengan manajemen keamanan laut, dapat kami informasi sebagai berikut:: Tabel 10. Data kualitatif pada permasalahan outcome Jaminan keamanan yang diberikan dengan penerapan sistem keamanan laut telah memberikan keleluasaan bagi para nelayan dalam berusaha meningkatkan taraf hidup.
Sangat Bermanfaat (13,0 %)
Program pengembangan keamanan laut sangat bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup nelayan karena terjaganya sumber daya laut dan ikan sehingga bagi melayan untuk menangkap ikan di laut merasa terlindungi (merasa aman) dan hasil laut dapat di manfaatkan oleh nelayan secara optimal Hasil diperoleh adalah dengan sendirinya masyarakat nelayan dapat melaksanakan penangkapan ikan dengan aman, dikarenakan tidak ada beroperasinya kapal nelayan asing sehinga bagi para nelayan khususnya diwilayah Kalbar dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Kegiatan/program keamanan laut bagi pengusaha perikanan sangat bermanfaat sebab, dengan pengendalian keamanan laut baik, nelayan dapat secara leluasa memanfaatkan sumber daya laut untuk menagkap ikan. Dari hasil tersebut pengusaha perikanan juga dapat berjualan dari hasil tangkapan nelayan, sehingga dapat meingkatkan pendapatan dari hasil ekspor ikan. Karena terwujudnya keamanan akan ikut berperan dalam kelancaran dunia usaha guna mendongkrak peningkatan hasil produksi perikanan laut
136
Karena kelancaran usaha perorangan yang dibangun secara swadaya secara otomatis akan ikut mengembagkan usaha perkoperasian yang akan mewadahi penyaluran hasil produksi kepada konsumen Pembinaan usaha perkoperasian sangat bermanfaat bagi nelayan, dengan adanya kegiatan/program pengembangan keamanan laut, karena dengan amannya laut, nelayan dapat berusaha mendapatkan hasil yang memuaskan. Disamping itu nelayan dalam membutuhkan modal dapat memanfaatkan jasa koperasi yang selama ini sudah dilakukan. Karena sangat strategis untuk keamanan laut dengan negara tetangga khususnya negara Malaysia
Nelayan merasa terlindungi dari gangguan pelaku pencurian ikan (illegal fishing) Karena dengan upaya yang dikembangkan dalam menciptakan sistem keamanan laut akan memberikan jaminan keamanan bagi keorganisasian HNSI dalam menjalankan aktivitasnya HNSI di wilayah Kalbar secara terus menerus akan berkoordinasi dengan Lanal Pontianak untuk masalah keamanan laut. Cukup bermanfaat tetapi perlu peningkatan pengembangan program keamanan laut sehingga dapat menyentuh harapan nelayan seluruhnya (bukan kelompok-kelompok) Taraf hidup masyarakat mengalami kenaikan seiring dengan semakin menurunnya tindak pidana illegal fishing.
Bermanfaat (33,3 % )
Dengan kondisi keamanan yang sudah kondusif, akan sangat bermanfaat bagi nelayan untuk bekerja dilaut Meningkatnya produktivitas hasil tangkapan Dengan adanya pengembangan keamanan laut meningkatkan pendapatan nelayan. Karena dengan adanya pengembangan laut maka pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara tertib dan teratur. Meningkatnya hasil tangkapan perkapalan dan perkapalan illegal tidak beroperasi Keamanan berusaha serta kepastian hukum bagi pengusaha perikanan laut semakin meningkat Anggota koperasi perikanan umumnya berasal dari masyarakat kelas bawah sehingga terbantu dengan adanya program pengembangan keamanan laut. Koperasi dapat berperan maksimal bermitra dengan nelayan Seiring dengan semakin seringnya operasi keamanan laut, mental tenaga pelaksana semakin terash, terampil dan siap Dengan adanya pengembangan keamanan laut maka mental tenaga pelaksana program dapat meningkat Kegiatan program pengembangan keamanan laut dalam pembinaanmental tenaga pelaksana program sangat bermanfaat bagi tenaga pelaksana program sebab dengan keamanan laut yang terkendali kegiatan/program tahunan tidak mendapat kendala, sehingga pelaksanaan kegiatan dapat lebih berjalan dengan lancar
137
Manfaat pembinaan mental agar para unsur keamanan laut, dapat melaksanakan tugas dengan baik. Dapat dijadikan sebagai pengembangan selanjutnya
parameter
untuk
menetapkan
program
Dengan rutinitas pelaksanaan program keamanan laut, secara terus menerus diberikan kepada tenaga pelaksana program untuk meningkatkan moralitas dalam bekerja. Karena hasil-hasil pengembangan keamanan laut yang tepat akan dapat menciptakan pengembangan dunia usaha dengan cara pemberian pinjaman lunak bagi anggota koperasi HNSI, sehingga Pemda dalam hal ini dapat meyalurkan bantuan pendanaan guna kemajuan usaha perkoperasian HNSI Pengembangan keamanan laut yang selama ini sudah dilakukan menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat nelayan melalui wadah HNSI Adanya pinjaman modal dari koperasi HNSI kepada nelayan Dengan pola pengembangan keamanan laut yang efektif akan membuka kesempatan bagi dunia usaha khususnya bidang pemanfaatan potensi kelautan dalam membuka lapangan kerja produktif yang pengelolaannya di wadahi oleh badan usaha perkoperasian HNSI Dengan pengembangan sistem keamanan laut yang terkoordinasi dengan baik diharapkan bidang usaha perkoperasian dapat menerapkan manajemen yang baik dalam memanfaatkan setiap peluang secara tepat dan meminimalisasi setiap kemungkinan ancaman guna kemajuan usaha yang telah dikelola Pembinaan dan koordinasi tenaga pelaksana program semakin siap, trampilan dan cekatan. Dapat langsung berkoordinasi dengan berbagai pihak yang terkait apabila keamanan laut dapat terjamin Untuk koordinasi dengan tenaga pelaksana program selalu dilaksanakan untuk menunjang tugas dan fungsi Pol Air selaku unsur keamanan laut. Hasil-hasil kegiatan program telah dijadikan sebagai langkah strategis dalam menetapkan koordinasi untuk menentukan suatu kebijakan Dengan pola pengembangan keamanan laut yang diterapkan secara tepat akan memudahkan koordinasi antara satuan satuan pelaksana yang berada di lapangan dengan adanya suatu pedoman pelaksanaan tugas dan kesamaan visi Dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan Dengan adanya koordinasi antar instansi yang baik akan tercipta kerja sama dalam menciptakan situasi kondusif di wilayah perairan Mulai terkjalin komunikasi dan koordinasi antar stakeholders terkait dengan pengawasan dan pengamanan laut
138
Karena manfaat yang diperoleh belum menyentuh ke seluruh nelayan di Kalbar Untuk koordinasi dengan HNSI selama ini belum dilaksanakan, namun komunikasi para nelayan dapat dilaksanakan pada saat melaksanakan tugas Bimmas Polri dan pada masyarakat nelayan di pulau-pulau kecil. HNSI belum mewakili keberadaan nelayan yang sebenarnya. HNSI lebih berfokus memperjuangkan organisasinya Belum sesuai dengan harapan warga Karena belum optimalya pengawasan sehingga hasil kegiatan belum menyentuh kepada peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan terutama nelayan kecil
Kurang Bermanfaat (41,7% )
Belum sesuai dengan harapan masyarakat (Pemda Kota Tarakan) Untuk usaha perkoperasian merupakan tugas dan tanggungjawab koperasi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan hasil melaut yang selama ini dirasakan belum dapt membantu keanggotaan koperasi sersebut. Dan untuk Dit.Pol Air juga tidak pernah melaksanakan kegiaan yang berkaitan dengan perkoperasian perikanan Belum adanya pembinaan terhadap koperasi yang mempunyai unit usaha bidang perikanan (Marauke) Koperasi HNSI tidak berjalan optimal HNSI kurang bersinergi dengan keberadaan nelayan sehingga nelayan kurang berpartisipaso aktif terhadap pendanaan HNSi Belum jelas dan perlu dijelaskan Dit. Pol air tidak pernah melaksanakan pendanaan pada pihak HNSI Pembinaan pendanaan usaha koperasi HNSI belum pernah dilaksanakan dan disi belum terbentuk HNSI Belum terbentuknya HNSI (Marouke) Pengurus HNSI tidak berjalan optimal (Tarakan) Tidak pernah bermanfaat bagi nelayan dan HNSI Manfaatnya belum dikatakan maksimal untuk kepentingan nelayan dan HNSI Manfaat hasil-hasi kegiatan/program pengembangan keamanan laut dalam melaksanakan pembinaan kewirausahaan koperasi HNSI di daerah anda Hasil kegiatan/program belum signifikan menyentuh organisasi HNSI. Usaha koperasi HNSI masih dikuasi kelompok tertentu Kegiatan program pengembangan keamanan laut tidak pernah berhasil dalam membina disiplin usaha HNSI didaerah Pengurus HNSI tidak berjalan optimal (Tarakan) Belum terbentuknya HNSI (Marauke)
139
Tidak bermanfaat (12,0%)
Koordinasi dalam melaksanakan program pengembangan keamanan laut sering tidak dilakukan. Hasil pengembangan program keamana laut Belum ada dirasakan manfaatnya bagi pembinaan koordinasi tenaga pelaksana untuk program yang akan dilaksanakan berikutnya. Masih simpang siur dalam hal kebijakan pelaksanaan kegiatannya Tidak semua stakeholders merasakan manfaatnya Karena dalam pelaksanaan pengembangan keamanan laut tidak pernah melibatkan stakeholders
6. Impact Terkait Dengan Manajemen Keamanan Laut. Aspek-aspek yang yang terkait dengan indikator impact meliputi: terciptanya acuan kebijakan, keterpaduan kegiatan, terjadinya koordinasi pelaksanaan kegiatan, kelancaran tugas pengembangan program, peningkatan mutu hasil pembinaan, terbentuknya komunikasi pusat dan daerah, peningkatan mutu SDM dan adanya peningkatan hubungan tenaga pelaksana kegiatan dengan masyarakat. Dari berbagai aspek yang terkait dengan indikator impact ini, dapat dirangkum pertanyaan sebagai berikut. ” Apakah acuan kebijakan, keterpaduan kegiatan, koordinasi pelaksanaan kegiatan, kelancaran tugas pengembangan program, peningkatan mutu hasil pembinaan, terbentuknya komunikasi pusat dan daerah, peningkatan mutu SDM dan hubungan tenaga pelaksana kegiatan dengan masyarakat, sudah dinyatakan efektif dan memadai sehingga dapat memberikan manfaat, meningkatkan mutu serta membantu kelancaran tugas pada saat di lapangan?”
Untuk mengukur manfaat, meningkatkan mutu serta membantu kelancaran tugas diberi skor 1 sampai dengan 5. Hasil survey memberikan informasi sebagai berikut. Skor
Frekwensi
Prosentase
1
0
0.0%
2
12
5.6%
3
83
38.4%
4
91
42.1%
5
30
13.9%
Jumlah
216
100%
140
Efektifitas impact
42.1%
45% 38.4%
40% 35% 30% 25% 20%
13.9%
15% 10% 5%
5.6% 0.0%
0% 1
2
3
4
5
Dari berbagai data kualitatif yang kami rangkum pada permasalahan Impact yang dilaksanakan terkait dengan manajemen keamanan laut, dapat kami informasi sebagai berikut.
Efektif , Bermanfaat, Meningkat, Memadai dan Lancar (42,1 %)
Sangat Efektif dan Bermanfaat 13,9%)
Tabel 11. Data kualitatif pada permasalahan impact Karena pada saat ini memang sangat diperlukan sekali koordinasi antara pusat dan daerah untuk menentukan kebijakan di daerah, sehingga permasalahan koordinasi memang sudah merupakan suatu kebutuhan dan itu terlihat sangat efektif Karena dengan adanya kebijakan program dapat mempercepat hubungan pelaksana dengan masyarakat Karena hubungan pelaksana dan masyarakat untuk mendapatkan informasi maupun keterangan yang diperlukan Kebijakan kegiatan/program daerah akan efektif bila ada koordinasi. Dengan adanya koordinasi akan timbul kesamaan persepsi Masyarakat semakin menyadari arti pentingnya keamanan laut sehingga diharapkan timbul kesadaran untuk bersama-sama turut menjaga sumber daya laut yang ada. Dengan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran dapat kita sampaikan kepada masyarakat melalui media masa, sehingga khususnya masyarakat yang lewat laut menjadi merasa aman. Menambah wawasan bagi para nelayan melalui sosialisasi yang pernah diberikan dan telah tercipta keakraban antara pelaksana dan masyarakat Hal ini dapat dicermati dari program-program yang direncanakan masyarakat terkait dengan keamanan laut sudah pernah diajukan oleh masyarakat kepada pelaksana program dan telah pula direalisasikan beberapa program yang telah diajukan masyakarat tersebut Bertambahnya jumlah pengawas perikanan/PPNS dan meningkatnya wawasan pengawasan dalam kegiatan penegakan hukum Hal ini dapat dicermati dari apa yang telah direncanakan dapat diaplikasikan dilapangan sehingga kegiatan/program antara pusat dan daerah dapat terakomodir. Hal ini dapt dicermati dari sering diadakannya pelatihan terkait dengan kegiatan program pengembangan keamanan laut oleh masing-masing instansi Dengan adanya pelatihan-pelatihan dalam dinas yang dilaksanakan oleh Lanal Pontianak sehingga dapat meningkatkan kualitas Sdm di bidang operasional. SDM pelaksana di daerah perlu lebih sering berkoordinasi, berkomunikasi serta
141
Kurang Efektif , Kurang Bermanfaat, Kurang Meningkat, kurang Memadai dan Kurang Lancar (38,4 %)
ditingkatkan keahliannya dengan melaksanakan rakor, coaching clinic atau sinkronisasi program Dengan adanya program pusat tentang penilaian Pokmaswas didaerah Peningkatan dan pengembangan kegiatan keamanan laut khususnya di kewilayahan telah mencapai hasil yang maksimal, namun masih perlu terus diadakan koordinasi dengan instansi terkait untuk mencapai hasil yang lebih baik Terlhat dari angka turunnya jumlah angka pelanggaran penangkapan ikan di laut Dicermati dari mutu hasil pembinaan dan pengembangan program keamanan laut, terlihat adanya peningkatan Kebijakan pengembangan kelautan yang ada sangat mendukung pelaksanaan kegiatan program pengembangan keamanan laut Pelaksanaan pengembangan keamanan laut dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau perundangan yang berlaku dengan berpedoman pada kebijaksanaan yang diberikan Dasar hukum yang digunakan sebagai payung hukum dalam kegiatan keamanan laut diperbaharui dengan dasar hukum terakhir Sebagai arah dalam pencapaian tujuan Namun perlu dukungan dari pusat kaitannya dengan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kegiatan/program agar dapat berjalan lebih optimal. Masing-masing Kamla dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan yang telah diberikan. Keamanan laut cukup terjamin sehingga dalam pengembangan kegiatan/program keamanan laut dapat dikerjakan sesuai dengan kegiatan program yang direncanakan sebelumnya dan tidak menemukan hambatan Adanya keterpaduan antar instansi dalam pengembangan kegiatan/program Namun demikian kamunikasi perlu lebih ditingkatkan seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi serta koordinasi agar lebih terjalin suatu kerja sama yang baik antara pusat dan daerah Dukungan sarana dan prasarana komunikasi yang dimiliki lanal pontianak cukup baik, sehingga dapat memperlancar koordinasi dengan komando atas. Terlihat dari adanya rencana kegiatan dan program tahunan antara pusat dan daerah dengan visi satu tujuan dan program yang diajukan sudah sesuai dengan rencana pengembangan keamanan laut Melalui program monev yang dilaksanakan oleh pusat. Sering kebijakan dari pusat tidak sesuai dengan kondisi daerah serta belum dapat mengakomodir kebutuhan pengembangan keamanan laut di daerah Kebijakan dan acuan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan keamanan laut memadai tetapi implementasi di lapangan terkait dengan kebijakan yang kita adopsi kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga daerah tersebut lamban dalam pelaksanaannya seakan-akan tidak ada kegiatan. Belum lengkap dan masih perlu spesipikasi yang dapat dijadikan acuan kebijakan Belum adanya kesepakatan wilayah teritorial laut yang jelas Kurang keterpaduan pusat dan daerah dikarenakan kebijakan pusat sangat terbatas. Sehingga dianggap perlu melakukan singkronisasi atau keterpaduan antara pusat dan daerah karena hal itu merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Aturan perlu diperjelas untuk menghindari ego sektoral yang masih juga terjadi saat ini Karena dengan keterpaduan ini diharapkan akan terjadi koordinasi yang baik diantara seluruh instansi dalam menjalankan keterpaduan program antara pusat dan daerah tersebut. Dalam pelaksanaan keamanan laut tidak pernah melaksanakan hubungan dengan tingkat pusat, sedangkan untuk tingkat daerah Kalbar selalu berhubungan dan berkoordinasi dengan pihak Kamla setempat. Dikarenakan adanya kerangka otonomi daerah yang salah sehingga kegiatan/program pusat dan daerah dalam hal pengembangan kegiatan/program keamanan laut terasa sangat sulit untuk dilakukan keterpaduannya. Perlu adanya singkronisasi keterpaduan kegiatan untuk tahun-tahun mendatang
142
Tidak Efektif, Tidak Bermanfaat, Tidak Meningkat, Tidak Memadai dan Tidak Lancar (5,6 %)
agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan lagi Karena program pusat tidak sesuai dengan kondisi di daerah serta belum dapat mengakomudir kebutuhan keamanan laut di daerah. Terbatasnya sarana dan prasarana pembinaan dan pengembangan kegiatan/program keamanan laut Disebabkan ketidaktahuan dan ketidakjelasan tentang Kamla bagi warga masyarakat neleyan dan pengertian Kamla menurut warga adalah kemanan laut dengan sistem meliter yang cenderung ditakuti warga masyarakat nelayan. Kurang tersedianya fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam rangka keamanan laut Karena selama ini belum pernah diadakan komunikasi antara pusat dan daerah terkait dengan kegiatan keamanan laut. Karena terbatasnya sarana dan prasarana komunikasi Dikarenakan tidak pernah diadakan komunikasi tekait dengan program pembinaan dan pengembangan keamanan laut di daerah. Aturan perlu diperjelas. Hal ini dikarenakan terjadi stagnasi bidang peningkatan SDM (Marauke) Karena terbatasnya kegiatan peningkatan mutu SDM pelaksana kegiatan program di daerah (Marauke) Mutu SDM dalam pelaksanaan ini kurang meningkat karena belum adanya bujuk maupun piranti lunak yang diperlukan dalam pengembangan keamanan laut (Tarakan) Masyarakat semakin berperan aktif dalam memberikan informasi yang terkait dengan pengawasan sumber daya ikan. Karena terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia didaerah Kurangnya perhatian berupa koordinasi antara pusat dan daerah dalam pembangunan dan pengembangan sistem keamanan laut yang seharusnya dilaksanakan secara komprehensif Dikarenakan masih kentalnya budaya ego sektoral dikalangan masing-masing instansi yang terkait dengan keamanan laut. Di setiap daerah juga memiliki program tersendiri dalam hal pengembangan kelautan, dan ironisnya terkadang program yang dilaksanakan daerah tersebut bertolak belakang dengan keadaan di lapangan. Sehingga program yang seharusnya dapat dilaksanakan oleh pusat dan daerah secara bersamaan malah timbul masalah sebaliknya dan implementasinya di lapangan selalu saja dilaksanakan sendiri-sendiri oleh daerah yang akhirnya program tersebut tidak pernah selesai dilaksanakan oleh daerah (Babel) Koordinasi hanya dilaksanakan sampai tingkat Bakorkamla daerah (TNI AL) Karena pelaksanaan kegiatan/program antara pusat dan menjangkau ke setiap distrik dan kampung-kampung pesisir.
daerah
belum
II.7.1 ANALISIS LANJUT Jika melihat besarnya persentase jawaban responden, yang menyatakan adanya kesamaan dan kesesuaian program, visi dan misi keorganisasian, serta strategi yang dimiliki antar organisasi/lembaga keamanan laut di daerah dengan Badan koordinasi keamanan laut pusat yang persentasenya mencapai 56%. Kemudian kita bandingkan dengan jawaban responden yang menyatakan bahwa sangat menginginkan adanya kesesuaian program keamanan laut yang dimiliki oleh masing-masing instansi/organisasi dari sebuah keorganisasi pusat untuk diterapkan ke setiap wilayah/daerah di indonesia yang mencapai 87 %. Keadaan ini sungguh bertolak belakang. Adanya dugaan bahwa, kegiatan pengamanan laut
143
yang selama ini dilakukan di setiap wilayah/daerah masih dominan dilakukan secara sendiri-sendiri seperti yang diatur dalam undang-undang yang dimiliki oleh masing-masing instansi. Beberapa alasan yang mendasari dugaan tersebut, menurut tinjauan data kuantitatif telah terbukti bahwa, besarnya nilai persentase sangat menginginkan adanya kesesuaian program keamanan laut dari sebuah organisasi pusat untuk diterapkan ke setiap wilayah/daerah di Indonesia yang mencapai 87 % ini melebihi besarnya persentase pada pernyataan adanya kesesuaian bentuk program, visi dan misi keorganisasian, serta strategi yang dimiliki terkait dengan pengembangan keamanan laut di daerah sudah sesuai dengan bentuk program, visi dan misi keorganisasian serta strategi yang dilakukan Badan koordinasi keamanan laut dari pusat dengan persentase sebesar 56%. Berikut merupakan petikan data kualitatif yang diperleh dari 87 % responden.: ” Sangat menginginkan adanya suatu kebijakan program keamanan laut dengan satu garis komando yang sesuai dengan kebutuhan di daerah, sehingga diharapkan antara daerah dan pusat tidak ada terjadi perbedaan tentang visi dan misi keamanan laut, yang keberadaannya tidak hanya mampu memberikan koordinasi keseluruh instansi terkait, namun lebih jauh diharapkan dapat menjadi sebuah badan di barisan terdepan dalam hal keamanan laut dengan visi dan misi yang sama mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat wilayah/daerah di seluruh Indonesia, dikarenakan hal itu sudah merupakan tuntutan kebutuhan melihat luasnya wilayah laut yang kita miliki ”. Dari petikan pernyataan ”keberadaannya tidak hanya.........dst” tersirat ada sesuatu masalah, bahwasanya permasalahan keamanan laut di Indonesia tidak pernah dapat terselesaikan jika hanya mengedepankan dan mengandalkan satu bentuk wadah yang tugasnya hanya melakukan koordinasi. Tetapi menuntut diciptakannya sebuah lembaga kemanan laut yang memiliki tanggungjawab lebih besar dan mampu menyatupadukan berbagai kekuatan yang ”Dapat mengakomodasi masukan dari seluruh stakeholders” seluruh instansi/lembaga keamanan laut yang telah ada saat ini dengan satu visi dan misi. Seperti tersirat oleh pernyataan berikut: ” Jelas sangat diperlukan, untuk terciptanya pemisahan tugas keamanan laut dan tugas pelayaran sipil, agar terjadi tugas dan fungsi yang jelas dan tidak overlap, sehingga masyarakat pelayaran menjadi tidak bingung mana tugas keamanan laut secara militer dan mana pelayaran sipil yang jelas-jelas memiliki UU No. 17 Thn 2008 tentang pelayaran sipil murni.” Jika dikaji lebih jauh tentang kesesuaian program koordinasi keamanan laut di setiap daerah seperti dikatakan responden, yakni: keberadaan visi dan misi program keamanan laut yang terdapat di daerah sudah sesuai dengan visi dan misi program yang terdapat pada program keorganisasian pusat. Walaupun dalam tekstual tidak menemukan suatu permasalahan. Namun proses pelaksanaannya di lapangan selalu saja timbul permasalahan klasik adanya ”ego sektoral” dari masing-masing instansi. Permasalahan tersebut tergambar pada data adanya ketidaksesuaian antara program pusat dengan daerah sehinga menimbulkan
144
kesenjangan dalam proses pelaksanaan kegiatan kemanan laut. Seperti dalam gambar berikut ini. Gambar 22. Kesesuaian program dan Efektifitas proses Kesesuaian program pusat dengan daerah dan Proses 100% kmulatif perentase
80% 60%
Kesesuaian pogram Proses
40% 20% 0% 1
2
3
4
60
56,0 %
PERSENTASE
50
39,4 %
40
30
23,1 %
20
30,6 %
28,2 %
Key: Adanya ketidaksesuaian visi dan misi serta program yang diimiliki oleh setiap daerah terkait dengan keamanan laut, dinilai kurang mampu myelesaikan proses yang terjadi di lapangan
KESESUAIAN PROG. DAE 10
RAH DAN PUSAT
0 1
2,8 % 2
13,0 % 3
6,9 % 4
PROSES
5
OPTION JAWABAN Berdasarkan grafik di atas dapat diinformasikan bahwa, kesesuaian program koordinasi keamanan laut di setiap wilayah/daerah yang telah dikatakan responden sebagai sudah sesuai dengan visi dan misi program yang terdapat pada program keorganisasian dari pusat, ternyata dinyatakan belum mampu mengakomodir berbagai persoalan yang muncul ketika terjadinya proses pelaksanaan yang terkait dengan aspek metode, waktu, sarana dan prasarana yang digunakan oleh tenaga pelaksana dalam melaksanakan koordinasi dan pengendalian sistem keamanan laut hingga membuat penilaian keberhasilan program yang dilaksanakan menjadi tidak efektif. Kesesuaian program koordinasi keamanan laut di setiap wilayah/daerah yang telah dikatakan responden sebelumnya bahwa keberadaan visi dan misi program
145
keamanan laut yang terdapat di daerah sudah sesuai dengan visi dan misi program yang terdapat pada program keorganisasian pusat, ternyata menurut tinjauan kajian ini, dinyatakan belum mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan di berbagai aspek-aspek pada Output seperti: Dalam pencapaian sasaran, pencapaian tujuan, pembuatan laporan, penerapan hasil-hasil kegiatan, deseminasi/sosialisasi untuk memperoleh kualitas hasil kegiatan pengembangan keamanan laut secara berkelanjutan yang dinilai kurang memperoleh keberhasilan. Fenomena ini dapat dilihat berdasarkan illustrasi yang digambarkan melalui grafik berikut. Gambar 23. Kesesuaian program dan Efektifitas output
Kesesuaian program dan Efektifitas output
Kumulatif persentase
100% 80% 60% Kesesuaian pogram output
40% 20% 0% 1
2
3
4
60 56,0 %
50
PERSENTASE
Key: Adanya ketidaksesuaian visi dan misi serta program yang diimiliki oleh setiap daerah terkait dengan keamanan laut, dinilai kurang mampu memberikan output yang diharapkan
40 33,8 %
30
28,2 %
28,2 %
23,6 %
20 12,0 %
13,0 %
10
KESESUAIAN PROG. DAE RAH DAN PUSAT
2,8 % 2,3 %
0
OUTPUT
1
2
3
4
5
OPTION JAWABAN Demikian halnya dengan tingkat keberhasilan outcome keamanan laut di daerah, dinilai masih belum mampu sepenuhnya dapat menjangkau berbagai manfaat
146
untuk kepentingan aspek-aspek yang dapat menopang keberhasilan outcome di setiap daerah, diantaranya: manfaat untuk masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program keamanan laut, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksanaan program keamanan laut dan stakeholders bidang kelautan. Kurang berhasilnya outcome dalam memberikan manfaat pada berbagai aspek tersebut, disinyalir oleh ketidaksesuaian antara visi dan misi ysng dimiliki oleh masing-masing lembaga/organisasi keamana laut yang terdapat di setiap daerah dengan visi dan misi badan kemanan laut (BAKORKAMLA) yang berkedudukan di pusat. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil kajian yang menunjukkan adanya kesenjangan dalam ilustrasi melalui grafik berikut: Gambar 24. Kesesuaian program dan efektifitas outcome
Kesesuaian program dan Outcome
Kumulatif persentase
100% 80% 60%
Series1 Series2
40% 20% 0% 1
2
3
4
5
60 56,0 %
50
PERSENTASE
41,7 %
40
Key: Adanya ketidaksesuaian visi dan misi serta program yang diimiliki oleh setiap daerah terkait dengan keamanan laut, dinilai kurang mampu menghasilkan outcome yang diharapkan
33,3 %
30 28,2 %
20 12, %
13,0 %
10
13,0 %
KESESUAIAN PROG. DAE RAH DAN PUSAT
2,8 %
0 1
2
OUTCOME
3
4
5
OPTION JAWABAN
147
Namun, tidak demikan halnya dengan keberadaan input yang dimiliki oleh setiap instansi di setiap daerah, walapun di atas telah dinyatakan bahwa kesiapan tenaga perencana dan pelaksana program, organisasi dan manajemen, dana, sarana dan prasarana, dan waktu yang tersedia dalam mendukung kegiatan program pengembangan keamanan laut di daerah keberadaan masih lebih dominan kurang memadai, namun menurut hasil kajian terbukti masih tetap dapat menyelesaikan berbagai proses pelaksanaan tugas yang dilaksanakan terkait dengan keamanan laut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dalam hal metode, waktu, sarana dan prasarana yang digunakan oleh tenaga pelaksana dalam melaksanakan koordinasi dan pengendalian sistem keamanan laut hingga membuat penilaian keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Keberadaan input yang dimiliki juga dapat diprediksi mampu menghasilkan aspek-aspek yang terdapat pada output yang dilaksanakan terkait dengan keamanan laut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, seperti dalam pencapaian sasaran, pencapaian tujuan, pembuatan laporan, penerapan hasil-hasil kegiatan, deseminasi/sosialisasi untuk memperoleh kualitas hasil kegiatan pengembangan keamanan laut secara berkelanjutan, seperti terungkap melalui illustrasi grafik yang menggambarkan tidak adanya kesenjangan sebagai berikut: Gambar 25. Input dan Efektifitas proses
Input dan Efektifitas proses
Kumulatif persentase
100.0% 80.0% 60.0%
Input efektifitas proses
40.0% 20.0% 0.0% 1
2
3
4
5
148
50
Key:
40
Kesiapan input yang dimiliki instansi di setiap daerah keberadaannya masih tetap dapat diandalkan untuk menyelesaikan setiap proses terkait dengan keamanan laut
PERSENTASE
41,7 %
39,4 %
31,5 %
30
30,6 % 23,1 %
20 17,6 %
10
6,9 %
INPUT
2,3 %
0
PROSES 1
2
3
4
5
Gambar 26. Input dan Efektifitas output
OPTION JAWABAN
Kumulatif perentase
Input dan Efektifitas output 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Input efektifitas output
1
2
3
4
5
149
50 41,7 %
PERSENTASE
40 31,5 % 33,8 %
30 23,6 %
28,2 %
Key:
20 17,1 %
10 2,3 %
0 1
2
Kesiapan input yang dimiliki instansi di setiap daerah keberadaannya masih tetap dapat diandalkan untuk menghasilkan output yang diharapkan terkait dengan keamanan laut
3
12,0 %
INPUT
6,9 %
OUTPUT 4
5
OPTION JAWABAN
II.7.2
Structural Equation Modeling (SEM)
Informasi tentang keorganisasian keamanan laut diungkap dengan menggunakan metode kuantitatif. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik analysis structural equation modeling (SEM). Rangkuman hasil analisis diperlihatkan seperti gambar 22 dan gambar 23 sebagai berikut. Pembahasan seluruh indikator yang merupakan landasan untuk melihat secara komfrehenship permasalahan yang terjadi terkait dengan kegiatan manajemen keamanan laut yang telah dilaksanakan selama oleh berbagai instansi pada seluruh daerah/wilayah di Indonesia, dapat dikaji berdasarkan illustrasi analisis rancangan manajemen proses seperti berikut ini.
150
Key: Secara langsung maupun tidak langsungIndikator INPUT yang dimiliki oleh setiap daerah/wilayah secara signifikan dapat 7.12 berpengaruh posisitif terhadap keberhasilan proses, output, outcome dan impact
T-VALUES 6.71 6.27 6.53
B13
B15
B12
6.96 7.74
B11
6.98 B16
6.84
5.45
B10
7.27
6.64
B1 B2
6.00
B3
7.45
B4
B25
PROSES 7.29
5.23
7.17
5.67
7.33 3.69
6.70
B14
10.56
B26
7.38
0.98
B24
9.39 8.56
4.43 4.38 4.04 4.65
0.41
KESPROG
7.16
B33
7.08
B34
7.13
B35
7.35
B36
7.38
B37
5.90
B38
7.33
B39
7.26
B40
7.08
B23
B27
7.13 3.52
3.15 -0.49
3.48 3.16 3.07
4.69
4.09
OUTCOME
2.93
IMPACT
3.78 4.44 7.18
3.19
B5
4.72 1.35
6.36
B6
4.82
0.87
4.49
4.36 4.74
B7
7.36
B8
7.02 0.41
7.30
B31
B28
7.10
B29
5.31 B30
OUTPUT 7.83 7.72
5.84 6.99
3.52 7.11
4.38
INPUT
8.90 4.96
B32
3.66 7.04
6.19
3.32
B9 B17
6.13
B22
5.49 6.53
7.21 7.28
7.29
7.21 6.27
B21 B18
7.03
B20
6.71
B19
Chi-Square=975.55, df=729, P-value=0.00000, RMSEA=0.054
Gambar 27. Hasil Analisis T-Values Berdasarkan hasil analisis dari rangkaian struktur model pada gambar di atas, memberikan informasi secara umum dapat dikatakan bahwa, visi dan misi program manajemen keamanan laut yang dikoordinasikan oleh berbagai instansi di berbagai daerah di Indonesia diyakini belum memiliki kesamaan visi dan misi dengan program manajemen keamanan laut seperti yang dikoordinasikan dari tingkat pusat. Akibat dari kondisi ini, keberadaan dari manajemen keamanan laut yang berbentuk koordinasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses pelaksanaan tugas yang dilaksanakan terkait dengan keamanan laut dalam hal pemanfaatan metode, waktu, sarana dan prasarana yang digunakan oleh tenaga pelaksana dalam melaksanakan koordinasi dan pengendalian sistem keamanan laut hingga membuat penilaian keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Keberadaan pada output yang dihasilkan pencapaian sasaran, pencapaian tujuan, pembuatan laporan, penerapan hasil-hasil kegiatan, deseminasi/sosialisasi untuk memperoleh kualitas
151
hasil kegiatan pengembangan keamanan laut secara berkelanjutan. Jika diamati secara teliti, antara jalur yang menghubungkan indicator kesesuai program dengan indikator outcome, selain menunjukkan nilai besaran yang berwarna merah juga memberikan nilai besaran yang negative. Ini artinya indicator kesesuaian program yang terdiri dari aspek kesesuaian visi dan misi organisasi, kesesuai bentuk organisasi, kesesuian strategi yang dimiliki setiap wilayah/daerah di Indonesia saat ini, bukan hanya tidak mampu memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian keberhasilan yang diharapkan diberbagai aspek-aspek pada outcome seperti: manfaat yang diperoleh untuk: kepentingan keorganisasian keamanan laut, manfaat untuk masyarakat nelayan, keorganisasian HNSI, pengusaha perikanan, pembinaan mental pelaksana program, kewirausahaan dan perkoperasian nelayan, koordinasi pelaksanaan program dan stakeholders bidang kelautan, tetapi justru akan menimbulkan pengaruh negative pada berbagai aspek yang terdapat pada outcome tersebut. Sedangkan pada indicator input yang meliputi :kesiapan tenaga pelaksana dan perencana, kesiapan organiasasi dan manajemen, kesiapan dana pendukung program, dukungan sarana dan prasarana, ketersediaan waktu keberadaannya diprediksi dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaksanaan yang terdapat pada indicator proses yang meliputi: efektifitas metode yang digunakan, efesiensi waktu, efektifitas kesiapan tenaga pelaksana, efektifitas penggunaan sarana dan prasarana, efektifitas dalam koordinasi, efektifitas dalam pengendalian pelaksanaan kegiatan, dan efektifitas dalam penilaian keberhasilan program. Keberhasilan yang diperoleh dari indicator proses ini, secara tidak langsung berpengaruh secara positif terhadap pencapaian output seperti: efektifitas pencapaian tujuan, efektifitas pencapaian sasaran, efektifitas pembuatan laporan, efektifitas dalam deseminasi/sosialiasi program, efektifitas dalam penerapan hasil-hasil kegiatan, dan efektifitas dalam mencapai hasil dan untuk selanjutnya secara tidak langsung memiliki pengaruh positif terhadap aspek-aspek yang terdapat pada indicator impact seperti: terciptanya acuan kebijakan, keterpaduan kegiatan, terjadinya koordinasi pelaksanaan kegiatan, kelancaran tugas pengembangan program, peningkatan mutu hasil pembinaan, terbentuknya komunikasi pusat dan daerah, peningkatan mutu SDM dan adanya peningkatan hubungan tenaga pelaksana kegiatan dengan masyarakat. Hasil kajian lebih lanjut menginformasikan besarnya kontribusi yang diberikan oleh indicator input baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap masingmasing indicator proses, output, outcome dan impact sebagai berikut: (1) kontribusi yang diberikan secara langsung oleh indicator input terhadap indicator proses sebesar 36 %. (2) kontribusi yang diberikan secara langsung oleh indicator proses terhadap indicator output sebesar 53,29 %. (3) kontribusi yang diberikan secara langsung oleh indicator output terhadap indicator outcome sebesar 67,24 %, dan (4) kontribusi yang diberikan secara langsung oleh indicator outcome terhadap indicator impact sebesar 88,36 %. Secara tidak langsung kontribusi yang diberikan indictor input terhadap indicator impact sebesar 33,76 %. Gambaran kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang diperoleh yang diberikan, diperoleh
152
berdasarkan setiap nilai berikut:
parameter yang ditunjukkan oleh grafik struktur model
STANDARDIZED SOLUTION
0.55
0.50
B13
B12
B11
0.67 0.74
0.26
B16
0.55
B25
B2
0.46
B3
0.66
PROSES 0.68
0.38
0.72
0.53
0.64
B1
0.70
B15
0.67
0.71
B10
0.59
0.55
B14
0.45
B26
0.11
0.86
B24
0.75
0.79 0.50
0.31
B4
0.58
0.60
OUTCOME
IMPACT
0.94
B6 B7 B8
0.53
INPUT
0.67
0.68
B35
0.80
B36
0.82
B37
0.38
B38
0.79
B39
0.75
B40
0.65
0.59 0.57
B32
B28 B31
0.05
0.56
0.68
B29
OUTPUT
0.51
B30
0.59 0.74
B34
0.50
0.56 0.66 0.57
0.82
0.78 0.40
0.66
0.69
0.14
0.44 0.64
0.55
0.57 0.45 0.43 0.46
B5 0.08
0.58
0.65
0.79
0.73 0.81
B33
0.59 0.65
-0.04 0.90
B27
0.58 0.57 0.64
0.06
KESPROG
0.73
0.59
B23
0.55 0.66
B17
B9
0.68
0.82 0.80 0.74
0.33
B22
0.65 B18
B21
0.70 0.56
B19
B20
0.36
0.45
Chi-Square=975.55, df=729, P-value=0.00000, RMSEA=0.054
Gambar 28. Hasil Analisis T-Values, Standardized Solution
II.8
Aternatif Bagan organisasi
Ada 3 alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk bagan organisasi Bakorkamla Daerah/Zona. Alternatif 1 terdiri dari Kepala dengan 3 Bagian: Sarana, ICT dan Penangkapan dan Investigasi dibantu seksi yang menangani kekerasan, pencemaran, pelayaran dan pelanggaran hukum. Sedangkan Alternatif 2 memecah bagian Penangkapan dan Investigasi menjadi bagian-bagian yang setingkat untuk menangani kekerasan, pencemaran, pelayaran dan pelanggaran hukum. Namun kedua alternative itu bertanggung jawab ke Bakorkamla pusat dan mempunyai petugas penyelidik dan penyidk agar perkara yang ditemui dapat diteruskan ke pengadilan. Bagian ICT/Information and Communication Technology menjadi bagian utama agar komunikasi ke pusat dapat terselenggara dengan baik. Bagan organisasi yang dimaksud disampaikan di halaman berikut. Alternatif ke tiga, organisasi yang dihubungkan dengan aspek keamanan dan keselamatan laut sehubungan dengan permasalahan keamanan laut di perairan
153
Indonesia serta aspek Ekonomi, Keamanan dan Lingkungan Hidup yang dirinci sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pembalakan, penyelundupan dan pencurian ikan Lingkungan Pertahanan dan keamanan nasional Perbatasan Bea cukai Imigrasi Narkoba Perompak Keselamatan laut
Organisasi Bakorkamla Daerah merupakan kepanjangan tangan Bakrkamla Pusat yang berfungsi sebagai pelaksana harian di daerah. Bakorkamla Daerah dipimpin oleh Kepala Pelaksana Harian Derah (yang bertanggung jawab ke Kepala Pelaksana/Kalakhar pusat) dengan 5 (lima) Kepala Operasi yang jumlahnya dapat disesuaikan kembali biladiperlukan. Kepala Operasi ini bertanggung jawab pada masalah keamanan dan keselamatan laut di atas dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing adalah sebagai berikut. 1.
Kepala Operasi I bertanggung jawab pada masalah pembalakan liar, penyelundupan, pencurian ikan, serta lingkungan kehidupan laut dan pantai. Koordinasi dengan instansi berikut sangat diperlukan: Dep. Kelautan dan Perikanan, Dep Kehutanan dan KLH
2.
Kepala Operasi II bertanggung jawab pada masalah pertahanan dan keamanan nasional serta masalah perbatasan. Kepala Operasi II akan sangat erat berkoordinasi dengan TNI AL dalam tugasnya sehari-hari.
3.
Kepala Operasi III bertanggung jawab pada masalah bea cukaui dan imigrasi
4.
Kepala Operasi IV bertanggung jawab pada masalah narkoba, perompakan dan penyelundupan tenaga kerja
5.
Kepala Operasi V bertanggung jawab pada masalah keselamatan laut dan pelayaran
Bagan organisasi disampaikan di halaman berikt.
154
Gambar 29. Alternatif 1 Bakorkamla Daerah
Gambar 30. Alternatif 2 Bakorkamla Daerah
155
Kepala Bakorkamla Daerah/zona
Daerah/Zona
Sekretariat
Ka. Ops I
Ka. Ops II
Ka. Ops III
Ka. Ops IV
Ka. Ops V
Gambar 31. Alternatif 3 Bakorkamla Daerah
156
BAB IV REKOMENDASI III
REKOMENDASI
III.1 Simpulan Umum
1. Kedudukan Bakorkamla sehubungan dengan berlakunya Undang-undang no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran menjadi rancu dengan penjaga laut dan pantai. 2. Organisasi Bakorkamla sebagai instansi pusat tidak dapat menjangkau seluruh wilayah perairan Indonesia dan memerlukan perwakilan di daerah. 3. Dari analisis kuantitatif keorganisasian keamanan laut diperoleh simpulan bahwa program keamanan laut yang kesesuaiannya diupayakan oleh pemerintah daerah, bukan hanya tidak berpengaruh secara signifikan dalam membantu kinerja pada proses, output, outcome dan impact bahkan menimbulkan kekhawatiran yang cukup serius berupa penurunan kualitas pada aspek outcome seiring dengan perjalanan waktu ketika program tersebut direalisasikan di lapangan. 4. Kebijakan koordinasi keamanan dan keselamatan di laut secara nasional merupakan kewenangan pemerintah pusat yang secara prinsip bahwa ruang lingkup tugas dan fungsi Bakorkamla sebagai institusi pusat mencakup seluruh wilayah laut dan tata ruang laut yang menjadi wilayah kedaulatan RI. Namun sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diperlukan adanya suatu upaya pemantapan koordinasi, konsultasi, dan kerja sama keamanan laut untuk menyelaraskan kebijakan dan kewenangan antar instansi baik pusat maupun daerah 5. Ada keinginan dari seluruh stakeholders di daerah tentang adanya satu kebijakan program keamanan laut dengan satu garis komando yang sesuai dengan kebutuhan di daerah, sehingga diharapkan antara daerah dan pusat tidak ada terjadi perbedaan tentang visi dan misi keamanan laut. 6. Keberadaan kebijakan tersebut tidak hanya mampu memberikan koordinasi keseluruh instansi terkait, namun lebih jauh diharapkan dapat menjadi landasan bagi sebuah badan/organisasi di barisan terdepan dalam hal keamanan laut dengan visi dan misi yang sama mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat wilayah/daerah di seluruh Indonesia.
157
Hubungan antara indikator-indikator survey 1. Ada kesesuaian visi dan misi serta program yang dimiliki oleh setiap daerah dengan pusat yang terkait dengan keamanan laut, tetapi dinilai kurang mampu meyelesaikan proses yang terjadi di lapangan. 2. Ada kesesuaian visi dan misi serta program yang diimiliki oleh setiap daerah dengan pusat yang terkait dengan keamanan laut, tetapi dinilai kurang mampu memberikan output yang diharapkan maupun menghasilkan outcome yang diharapkan. 3. Bahwa kesiapan Input baik secara langsung maupun tidak langsung yang dimiliki oleh setiap daerah/wilayah secara signifikan dapat berpengaruh posisitif terhadap keberhasilan proses, output, outcome dan impact
III.2 Saran
1. Sesuai amanat Undang-undang no. 17 th 2008, kedudukan Bakorkamla dan Penjaga Laut dan Pantai diperjelas sehingga perwakilan Bakorkamla di daerah (lihat saran 2) juga jelas kedudukannya 2. Bakorkamla RI/pusat mengambil inisiatif pembentukan Bakorkamla Daerah dengan koordinasi dan konsultasi dengan pemerintah daerah sesuai amanat undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bakorkamla Daerah merupakan perwakilan Bakorkamla di daerah sesuai zonasi yang sudah ada dan bertanggung jawab secara vertikal kepada Bakorkamla RI. Bagan Organisasi di halaman berikut. 3. Zonasi alternatif menjadi bahan pemikiran dalam waktu yang akan datang 4. Membentuk organisasi badan pelaksana Bakorkamla RI di daerah/zona sesuai dengan alternatif 3 di atas, dengan bagan organisasi seperti halaman berikut.
158
Bagan Organisasi Bakorkamla Daerah/Zona
Pusat Presiden
Ketua Bakorkamla MENKOPOLHUKAM
Anggota Bakorkamla
KALAKHAR Sekretariat Pelaksana Harian
Tim Korkamla
Pusat Koordinasi Operasi Kamla
Pusat Penyiapan Kebijakan Kamla
Pusat Informasi, Hukum, dan Kerjasama Kamla
SATGAS KAMLA
Kepala Bakorkamla Daerah/zona
Daerah/Zona
Sekretariat
Kepala Operasi I
Kepala Operasi II
Kepala Operasi III
Kepala Operasi IV
Kepala Operasi V
159
Lampiran Foto – Foto BANGKA BELITUNG
Gambar: Dari kiri ke kanan, Dr. Indra Jaya, Ketua Bakorkamla Bangka Belitung dan Paling Kanan kepala Dinas Pariwisata dan Asisten I BPPT
Gambar : Dr. Indra Jaya, Sedang Mengamati Sistem Keamanan Laut Zona Bangka Belitung Lewat Monitor Digital System yang dimiliki Indonesian saat ini
160
Gambar: Struktur Pengurus Badan Koordinasi Keamanan Laut Indonesia
Gambar: Dari kiri ke kanan, Ketua Bakorkamla Bangka Belitung, Ketua HNSI Bangka Belitung, Dr. Indra Jaya dan Asisten 1 BBPT Pusat Jakarta.
161
BITUNG
Gambar: Dr. Indra Jaya sedang meminta keterangan lengkap kepada Kepala kantor Departemen Kelautan dan Perikanan Bitung tentang situasi keamanan laut Bitung, sembari menunggu pengisian angket selesai diisi oleh seluruh personil
162
Gambar: Kapal Pelacak dan Peralatan yang dimiliki oleh Departemen Kelautan dan perikanan Biting
163
TARAKAN
Gambar: Foto Atas: Bapak Roni dari BPPT, Sedang Mempersentasekan maksud dan tujuan kegiatan penelitian Keamanan Laut Indonesia kepada seluruh personil angkatan dan beberapa personil dari Departemen yang terkait dengan Kelauatan di TARAKAN. Foto Bawah: Slait Analysis Struktural Equation Modeling yang digunakan untuk menganalisis/evaluasi keamanan laut Indonesia
164
Gambar: Struktur Keorganisasian POL AIR tarakan
Dr. Anton Leonard,MM Direktur Eksekutif PT.Meredian Kreatama Mandiri
165
DAFTAR BACAAN
Adam Indrajaya, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, (Bandung: Sinar Baru, 1989) Dahuri. Makna Hari Nusantara bagi Kedaulatan dan Kemakmuan Indonesia, Kompas Newspaper, December 17, 2008 Derek Torrington, Jane Weightman dan Kristy Johns. Effective Management People and Organization, (UK: Prectice hal International Ltd., 1989) James A Stoner, R. Edward Freeman and Daniel R.Gilbert, Management (Englewood Cliffs: Prentice-Hall Inc, 1995) Jenderal TNI Djoko Santoso (Panglima Tentara Nasional Indonesia), Netralitas TNI, (Jakarta, Agustus 2008) John A. Wagner, John R. Hollenbeck, Manajemen Organizational Behavior (New yersey:bPrentice Hall,995) Karl Joreskog and Dag Sorbon. Interactive LISREL. User’s Guide, Scientific Software International, Inc., (New Jersey, 1999). Karl Joreskog and Dag Sorbon,. Interactive LISREL. User’s Guide, Scientific Software International (1996). Lisrel 8: Structural Equation Modeling With the Simplis Commond Language, Scientific Sofware International, Inc., (Nort Lincoln, 1999) Karl Joreskog and Dag Sorbon. Interactive LISREL. User’s Guide, Scientific Software Internatio (1998). Prelis: A Program for Multivariate Data Sceening and Data Summarization, Second edition, Scientific Software International, Inc., Mooresville. 1999) Kenneth Schatz and Linda Schatz. Managing by Influence (New Jersey : Prentice-Hall,Inc.Englewood Cliffs, 1986) Kenneth Stout, Alan Walker. Teams, Teamwork and Teambuilding. The managers Guide to Team in Organizations (singapore: Prentice-hall, 1995) Kepala Staf Angkatan Laut, Pokok,Pokok Pikiran TNI AL tentang Kamla, Jakarta, 2002 Koontz H. & O’ Donnel, Principle of Management an Analysis of Management Fungtion (New York: McGraw-Hill Co., 1968). Koontz, Harold. Principles of management. New York: McGrraw Hill Book. 1972) 166
Koontz, Harold. et.al,, Management, a System and Contingency Analysis of Managerial Function. (Tokyo: Mcgraw Hill, Kogakusha, 1972) Laksamana TNI Slamet Subiyanto, Menuju Angkatan Laut yang Besar, Kuat dan Profesional (BKP), Patriot, Edisi Khusus, 2006 Lusthaus, Charles, et al.. Organizational Assessment, (Washington, D.C: Inter-American Development Bank. 1988) Lusthaus, Organization Behavior, on Existential Systems Approach. (San Fransisco: Jossey Bass Publication, 2002) Michael A. Hitt, R. Duane Ireland, Robert E. Hoskisson, Manajemen Strategis Daya Saing dan Globalisasi (Jakarta: Salemba Empat, 2001) Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut ( BAKORKAMLA ) Randall. Shumacker Richard G. Lomax. Beginner’s Guide to Structural Equation Modeling. (New Jersey. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, 1996). Stephen P. Robbin, Teori Organisasi: Struktur, Disain dan Aplikasi, terjemahan Yusuf Udaya. (Jakarta: Arcan, 1995) Supriatna, Tyahya.. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. (Jakarta: Rineka Cipta 2000) William B. Werther and Keith Davis, Human Resources Management, (New York: Mc Graw hill Inc, 1981) UUNo. 1 Tahun 1973, Landas Kontinen Indonesia UUNo. 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia UUNo. 17 Tahun 1985 Pengesahan UNCLOS 1982 UUNo. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya UUNo. 9 Tahun 1992 Keimigrasian UUNo. 16 Tahun 1992 Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan UUNo. 10 Tahun 1995 Kepabeanan UUNo. 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
167
UU No. 23Tahun1997 Lingkungan Hidup UU No 22 Tahun 2001 Minyak dan Gas Bumi UU No. 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Rl UU'No. 31 Tahun 2004Perikanan UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
UU No. 34 Tahun 2004, Undang-undang tentang TNI, Jakarta, 2004 UU.no.17 Tahun 1985 Pengesahan UNCLOS UU No. 26 Tahun 2007 Penataan Ruang UU No. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Pelayaran Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil UUNo. 17 Tahun 2008 Penjagaan laut dan Pantai
UU No. 20 Tahun 2002, Jakarta, 2002
Undang-undang tentang pertahanan negara,
168