Essay.docx

  • Uploaded by: PUTRI AYUNDA DIPTA ARVIOLLISA
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Essay.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 944
  • Pages: 4
Putri Ayunda Dipta Arviollisa Universitas Brawijaya [email protected] 081258089643

TEKNOLOGI ATAP HIJAU MENGGUNAKAN TANAMAN PANGAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM UPAYA MENGHADAPI DEGRADASI LINGKUNGAN Pada saat ini, pembangunan dan perkembangan berbagai sektor di Indonesia semakin pesat. Perkembangan tersebut membutuhkan sarana prasarana yang memadai guna mengakomodasi dan mendukung pembangunan serta perkembangan tersebut. Pada tahap awal perkembangan, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Akan tetapi, upaya pembangunan dan perkembangan menyebabkan konversi ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Berkurangnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik yang terdapat di perkotaan, terutama ruang terbuka hijau (RTH), telah mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, meningkatnya kriminalitas, dan menurunnya produktivitas masyarakat akibat stres karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk melakukan interaksi sosial. Selain itu, kondisi lingkungan yang diperburuk penggunaan teknologi seperti air conditioner (AC), kendaraan bermotor, dan kegiatan industri yang mempengaruhi pola tingkah laku dan kondisi kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, sehingga ruang terbuka hijau yang ada harus diperhatikan dan diperluas serta diintensifkan fungsinya. Harmonisasi ruang terbuka hijau dengan laju pembangungan kota akan menunjang kelestarian dan kesejahteraan makhluk hidup, khususnya manusia. Akibat lain dari degradasi kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik adalah terjadinya pemanasan global. Berkurangnya ruang terbuka publik mengurangi vegetasi yang ada di perkotaan, sehingga terjadi peningkatan CO2 yang menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global diperburuk oleh energi listrik berkonsumsi bahan bakar tak terbarukan. Hal tersebut memicu peningkatan emisi CO2. International Energy Agence melaporkan di tahun 2006, bahwa penyebab emisi CO2 19% disebabkan

karena konsumsi listrik dan sisanya yang terparah sekitar 70% karena emisi kendaraan bermotor[2]. Namun, sebagaimana telah dijelaskan, ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai penyerap CO2 terus menurun baik kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya suhu secara global tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga membahayakan ketahanan pangan. Iklim yang tidak stabil memicu menurunnya hasil produksi pertanian dan perkebunan baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini mendorong pola hidup masyarakat untuk mengonsumsi bahan pangan sintetis sebagai alternatif. Akan tetapi, pada umumnya nilai gizi bahan pangan sintetis berada jauh di bawah bahan pangan alami sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit kronis. Kondisi tersebut membuat bumi semakin panas dan mempengaruhi keseimbangan ekosistem di masa mendatang. Apabila kita membiarkan kondisi lingkungan seperti itu, berarti kita siap menelantarkan masa depan anak cucu dengan memberikan warisan lingkungan yang tidak layak. Maka, diperlukan pemikiran jauh ke depan, yang berorientasi pada pemenuhan pembangunan

tujuan kota

berjangka lebih

panjang,

yang

memerlukan

reorientasi

visi

mempertimbangkan

faktor-faktor

lingkungan

dan

keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi lahan dari kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif dapat dikendalikan. Salah satu strategi pemanfaatan ruang yang dapat dilakukan adalah teknologi atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal. Atap hijau adalah istilah yang merujuk pada atap dari suatu bangunan dimana sebagian atau seluruh permukaan atapnya ditutupi dengan vegetasi atau media tanaman yang dilapisi oleh membran penghalang air[3]. Dalam pengaplikasiannya, atap hijau belum banyak dibudidayakan di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki potensi tinggi untuk menggunakan atap hijau dalam rancang bangunannya sebab Indonesia memiliki iklim dan cuaca yang mendukung pertumbuhan berbagai jenis flora. [2]

Prianto, E., 2007. Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming. Jurnal Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, 1(1), pp.1-10. [3] Limas, A.V., Perdana, A., Nandhika, W. and Tannady, H., 2014. PEMBAHASAN MENGENAI EFEK URBAN HEAT ISLAND DAN SOLUSI ALTERNATIF BAGI KOTA JAKARTA. J@ TI UNDIP: JURNAL TEKNIK INDUSTRI, 9(1), pp.29-34.

Putri Ayunda Dipta Arviollisa Universitas Brawijaya [email protected] 081258089643

Tumbuhan yang digunakan untuk membuat atap hijau tidak memiliki kriteria khusus, namun disarankan untuk menggunakan tumbuhan merambat agar tidak membebani media atap hijau dan mencegah kerusakan media yang dikarenakan oleh pertumbuhan akar tanaman. Untuk memaksimalkan fungsi dari atap hijau, dapat digunakan tanaman pangan lokal seperti krokot, poh-pohan, garut, kemangi, dan ubi jalar. Penggunaan tanaman pangan lokal pada atap hijau akan menambah fungsi menjadi atap hijau produktif. Selain itu, penggunaan tanaman pangan lokal ini sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena di samping keragaman tanaman pangan lokal yang berlimpah, hal ini mendorong masyarakat untuk membudidayakan dan mengonsumsi bahan pangan lokal yang tentunya berkhasiat bagi kesehatan. Bangunan dengan atap hijau dapat membuat ruangan menjadi lebih sejuk. Hal ini dapat mengurangi penggunaan AC yang memiliki dampak negatif bagi lingkungan yakni menyebabkan pemanasan global. Atap hijau dapat menyaring air hujan menjadi air tanah secara alami sehingga menghemat energi dan ruang untuk instalasi penyaringan air. Pengurangan penggunaan AC akan menghemat jauh lebih banyak energi listrik yang digunakan. Dalam sektor lingkungan, atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal dapat menjadi sebuah solusi terbaik untuk degradasi lingkungan. Sebab, atap hijau dapat menyaring air hujan menjadi air tanah yang terbebas dari zat asam maupun polusi, mengurangi volume air yang memenuhi saluran drainase sehingga mampu mengurangi banjir, mengurangi konversi lahan hijau menjadi lahan pertanian, mengurangi karbon dioksida, dan mengurangi berbagai dampak negatif perubahan iklim. Atap hijau dengan menggunakan tanaman pangan lokal juga dapat menyediakan habitat baru bagi serangga dan burung. Dalam sektor ekonomi, atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal memberikan banyak keuntungan. Atap hijau dengan tanaman pangan lokal dapat menjadi peluang bisnis baru bagi penyedia bibit-bibit tanaman lokal maupun penghasil bahan pangan lokal. Atap hijau multifungsional tersebut dapat menaikkan nilai produksi dari hasil tanaman pangan lokal.

Bangunan dengan atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal akan merangsang masyarakat untuk mengolah lahannya secara mandiri. Penggunaan tanaman pangan lokal pada atap hijau akan mendorong perlahan perubahan pola makan masyarakat menjadi lebih baik dengan tingkat gizi lebih berkualitas. Budidaya tanaman pangan lokal

[2]

Prianto, E., 2007. Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming. Jurnal Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, 1(1), pp.1-10. [3] Limas, A.V., Perdana, A., Nandhika, W. and Tannady, H., 2014. PEMBAHASAN MENGENAI EFEK URBAN HEAT ISLAND DAN SOLUSI ALTERNATIF BAGI KOTA JAKARTA. J@ TI UNDIP: JURNAL TEKNIK INDUSTRI, 9(1), pp.29-34.

More Documents from "PUTRI AYUNDA DIPTA ARVIOLLISA"

Essay.docx
August 2019 20
Esai Imm Ayunda.docx
April 2020 16
Askep Jiwa Napza
October 2019 42
Pengirim.docx
November 2019 23