Laporan Kasus Portofolio
EPISTAKSIS
OLEH : dr. Eka Wijaya Warmandana
PENDAMPING : dr. EDWIN dr. HARRY
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG 2017
Topik : Epitaksis Tanggal Kasus
:15 Juli 2017
Presenter
Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry
Tanggal Presentasi : Tempat Presentasi
: dr. Eka Wijaya Warmandana
: Ruang Pertemuan RS Palang Biru Gombong
Obyektif Presentasi : Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus Bayi Deskripsi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
: Laki-laki, 75 tahun, dengan Episktasis
Tujuan : Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan episktasis Bahan Bacaan
Tinjauan Pustaka
Riset
Kasus
Cara Membahas
Diskusi
Data Pasien
Identitas : Tn. S/75 tahun / L
Nama Klinik
Rumah Sakit Palang Biru Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
Presentasi dan Diskusi
Email
Audit Pos
Nomor Registrasi : 120029
Data Utama Untuk Bahan Diskusi 1. Anamnesis (Autoanamnesis) Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung sebelah kanan Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kanan + 1 jam SMRS, yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak + ¼ gelas belimbing, berwarna merah segar. Keluhan ini dirasakan baru pertama kali oleh pasien. Keluhan dirasakan saat sedang istirahat di rumah. Pasien sudah memencet hidung tetapi darah tidak kunjung berhenti. Pasien menyangkal riwayat trauma ringan dan berat sebelumnya, pasien juga menyangkal adanya benda asing yang masuk ke dalam hidung. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan sakit jantung tetapi rutin kontrol dan mengkonsumsi obat. Pasien mengatakan jika luka dan keluar darah, darah cepat berhenti. Selain itu pasien mengeluh dada berdebar-debar, nyeri kepala dan batuk tidak berdahak. Demam (-), trauma (-), konsumsi obat-obat warung (-).
2. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit gula: disangkal Riwayat darah tinggi: diakui Riwayat sakit jantung: diakui Riwayat asma: disangkal Riwayat minum alkohol: disangkal 3. Riwayat Alergi Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat, maupun bahanbahan alergen lainnya. 4. Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat sakit gula, darah tinggi, asma: disangkal 5. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Compos Mentis b. Vital Sign TD
: 170/110 mmHg
HR
: 80 x/menit
RR
: 18 x/menit
S
: 36,4oC (peraksiler)
c. Kepala Normocephal d. Mata Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) e. Hidung Dilihat status lokalis f. Mulut Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-) faring hiperemis (-) g. Thoraks Simetris (+), retraksi (-)
h. Cor Iktus cordis tidak tampak, iktus cordis tidak kuat angkat, bunyi jantung I-II irreguler, bising (-) i. Pulmo Pengembangan dada kanan=kiri, perkusi sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-) j. Abdomen Dinding perut sejajar dinding dada, turgor kulit normal, bising usus normal, supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) di epigastrium k. Kulit Ikterik (-) ptekie (-) l. Ekstremitas Oedem (-) akral hangat (+/+)
Status Lokalis: Hidung dan Sinus Paranasal Inspeksi, Palpasi : -
Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)
-
Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)
Rinoskopi Anterior : Rinoskopi anterior
Cavum nasi dextra
Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung
Edema (-), berwarna pucat,
Edema (-), berwarna pucat,
darah(+).
darah (+).
Septum
Deviasi (-), dislokasi (-).
Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior
Membesar (-).
Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-). media
Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan pemeriksaan.
Sekret (-), polip (-).
6. Pemeriksaan Penunjang (15/07/2017) leukosit
: 8800/ul
Hemoglobin: 9,6 g/dl cek ulang tanggal 16/9/16 Hb: 7,9 transfusi 1 kolf Hb: 9,8 (19/9/16) eritrosit
: 3,15 x 106 /ul
Trombosit : 162.000 mg/dl GDS
: 134 mg/dl
Creatinin
: 1 mg/dl
Ureum
: 29 mg/dl
CT
: 2’ 30’’
BT
: 10’ 15’’
EKG
: aritmia
7. Diagnosis Epistaksis ec Hipertensi dan HHD 8. Penatalaksanaan 1. Nifedipin SL 5mg 2. Tampon Lidocain 2% (posisi duduk) Epinefrin Lidocain 2% 3. Inf RL 20 tpm 4.
O2 3 lpm
5. Inj Asam tranexamat 3x500mg IV 6. Inj. Vit K 1 amp extra 7. Insaar 2x1/2 tab 8. ISDN 3x5mg 9. Sanadril DMP 3xCI 10. Transfusi 1 kolf prc 11. EKG 12. Lab: Darah Rutin, CT/BT, creatinin, ureum, GDS 9. Prognosis Ad sanam : dubia Ad vitam : dubia
RANGKUMAN PORTOPOLIO
1. Subyektif : Laki-laki usia 75 tahun dengan keluar darah dari hidung sebelah kanan, riwayat hipertensi dan sakit jantung 2. Obyektif : TD
: 170/110 mmHg
Cor
: Bunyi jantung I-II irreguler
Hemoglobin: 9,6 g/dl cek ulang tanggal 16/9/16 Hb: 7,9 transfusi 1 kolf Hb: 9,8 (19/9/16) EKG: aritmia Status Lokalis: Hidung dan Sinus Paranasal Inspeksi, Palpasi
: dbn
Rinoskopi Anterior : Rinoskopi anterior
Cavum nasi dextra
Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung
Edema (-), berwarna Edema (-), berwarna pucat, pucat, darah(+).
darah (+).
Septum
Deviasi (-), dislokasi (-).
Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior
Membesar (-).
Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-).
Sekret (-), polip (-).
media 3. Assesment Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien keluar darah hidung sebelah kanan + 1 jam SMRS, yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak + ¼ gelas belimbing, berwarna merah segar. Keluhan ini dirasakan baru pertama kali oleh pasien. Keluhan dirasakan saat sedang istirahat di rumah. Pasien sudah memencet hidung tetapi darah tidak kunjung berhenti. Pasien menyangkal riwayat trauma ringan dan berat sebelumnya, pasien juga menyangkal adanya benda asing yang masuk ke
dalam hidung. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan sakit jantung tetapi rutin kontrol dan mengkonsumsi obat. Pasien mengatakan jika luka dan keluar darah, darah cepat berhenti. Selain itu pasien mengeluh dada berdebar-debar dan nyeri kepala. Demam (-), trauma (-), konsumsi obat-obat warung (-). Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa tekanan darah di atas normal yaitu 170/110 mmHg (hipertensi tingkat 3). Pada pemeriksaan hidung mukosa tampak pucat dan terdapat darah, pada thorax bunyi jantung I-II irreguler. Pada pemeriksaan lab darah ditemukan penurunan hemoglobin dan pada pemeriksaan EKG didapatkan aritmia. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis mengarah kepada Epistaksis ec Hipertensi dan HHD. Terapi segera yang diberikan pada pasien berupa nifedipin 5mg SL sebagai anti hipertensi dan tampon lidocain 2% (posisi duduk) ditunggu 15 menit, darah masih keluar diganti tampon epinefrin, darah masih keluardiganti tampon Lidocain 2% untuk menghentikan perdarahan hidung pada pasien dan mengurangi rasa nyeri. Kemudian dipasang IV line berupa RL 20 tpm diberikan O2 3 lpm. Diberikan inj. Asam traneksamat 500 mg dan inj vit K 1 amp untuk menghentikan perdarahan hidung pada pasien secara sistemik. Dilanjutkan pemberian obat oral insaar ½ tab sebagai obat anti hipertensi dan juga diberikan ISDN 5 mg untuk mengurangi dada berdebar-debar serta sanadryl DMP syrup sebagai obat batuk tidak berdahak. 4. Planing Diagnosis
:
Epistaksis ec Hipertensi dan HHD Penatalaksanaan
:
1.
Nifedipin SL 5mg
2.
Tampon Lidocain 2% (posisi duduk) Epinefrin Epinefrin Lidocain
3.
Inf RL 20 tpm
4.
O2 3 lpm
5.
Inj Asam tranexamat 3x500mg IV
6.
Inj. Vit K 1 amp extra
7.
Insaar 2x1/2 tab
8.
ISDN 3x5mg
9.
Sanadril DMP 3xCI
10.
EKG
11.
Transfusi 1 kolf prc
12.
Lab: Darah Rutin, CT/BT, creatinin, ureum, GDS
Epistaksis A. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik), merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit. B. Anatomi Vaskuler Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna. Arteri carotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :7 1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung. 2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung yaitu pleksus Kiesselbach dan pleksus Woodruff 1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada dinding anterior-inferior septum yang memberikan lebih dari 90% episode perdarahan. Dibentuk oleh pleksus dari arteri sphenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan perdarahan anterior lebih mudah untuk dikontrol. 2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior, arteri sphenopalatina dan pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari bagian posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sphenopalatina.
/ Gambar 2. Perdarahan Hidung
Atas a.karotis interna
a.oftalmikus
a.etmoidalis anterior
a.etmoidalis posterior
Bawah a.karotis eksterna a.maksilaris interna
a.sfenopalatina
a.palatina mayor
C. Klasifikasi Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan. Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung.
Epistaksis Anterior Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
Epistaksis Posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff, dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Pasien terus mengeluhkan darah mengalir dibelakang tenggorokkannya. Epistaksis ini sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Gambar 3. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah) D. Etiologi Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. 1) Lokal a. Trauma Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung. Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa, biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung. c. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
Gambar 3 - Epistaksis pada pasien neoplasma d. Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).
Juga
sering
terjadi
pada
Von
Willendbrand
disease.
Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalahkelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
Gambar 4 - Osler’s Disease e. Deviasi Septum Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat
menyebabkan
turbulensi
udara
yang
dapat
menyebabkan
terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung. f. Pengaruh lingkungan Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah. 2) Sistemik a. Kelainan darah Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan
serotonin
dan
tromboksan
A(prostaglandin),
hal
ini
menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak danmembentuk plugtrombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh
tubuh
trombositopenia.
sehingga
dapat
terjadi
epistaksis
pada
keadaan
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
Aspirin mempunyai efek
antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis. b. Penyakit kardiovaskuler Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
o Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis. o Arteriosklerosis Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah. c. Sirosis hepatis Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan yang dapat menyebabkan epistaksis pada penderita sirosis hepatis. d. Diabetes mellitus Terjadi
peningkatan
gula
darah
yang
menyebabkan
kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus. e. Infeksi akut (Demam berdarah) Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks
antigen-antibodi
pada
membran
trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah. f. Gangguan hormonal Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. g. Alkoholisme Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan
peningkatan
tekanan
intravascular
yang
dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis. E. Diagnosis Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebabsebab perdarahan.Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa.Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan
alat
penghisap.
Kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.
penunjang
a. Anamnesis Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan epistaksis secara tepat . Beberapa hal penting yang harus ditanyakan pada pasien epistaksis, antara lain:
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat perdarahan sebelumnya dan gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat trauma hidung yang belum lama
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit hati
Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan fenilbutazon atau penggunaan anti koagulan Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat
perdarahan bisa didapat dengan menanyakan : 1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung? (menggambarkan sumber perdarahan anterior) 2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda? (menggambarkan perdarahan dari sisi posterior cavitas nasalis) Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang harus ditanyakan mengenai riwayat keluarga dengan kelainan perdarahan, riwayat perdarahan berlebihan pasca pencabutan gigi atau sirkumsisi, serta riwayat menstruasi berlebihan. Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien epistaksis. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk.
b. Pemeriksaan Fisik Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa: a. Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. b. Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. d. Rontgen sinus e. Skrining terhadap koagulopati f. Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis F. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni : -
A (airway)
: pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk -
B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah
yang mengalir ke belakang tenggorokan
C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi. Menghentikan Perdarahan Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, speculum hidung dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung. Perdarahan Anterior Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dnegan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotic. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotic. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru. Perdarahan Posterior Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rhinoskopi posterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior, yang disebut tampon bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah disatu sisi dan sebuah disisi berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum molle masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior kedalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar melalui hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien, gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop. G. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infuse atau transfuse darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba eustachius, dan airmata berdarah akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolacrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum molle atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum. H. Mencegah Perdarahan Berulang Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke penyakit dalam atau tht bila dicurigai ada kelainan sistemik.
I. Prognosis Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
Adult epistaxis management
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012: 96-100. 2. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;173-85. 3. Ichsan M. Penatalaksanaan Epistaksis. Aceh: FK Universitas Syah Kuala. 2001.
Available
at:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_PenatalaksanaanEpistaksis.pdf/15_P enatalaksanaanEpistaksis.html. 4. Stapczynki, JS et al. Tintinallis Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide_8th. California; 1591-1594 5. Budiman, Bestari J, Hafidz, Al. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya. 2012.Surabaya (http://jurnal.fk.unand.ac.id) Page, Cyril et al. Epistaksis Spontan Serius dan Hipertensi Pada Pasien Rawat Inap. 2011. Springer-Verlag