PRESENTASI KASUS
HEMATEMESIS MELENA EC RUPTUR VARISES ESOFAGUS ANEMIA EC BLOOD LOSS SIROSIS HEPATIS ASCITES
Disusun oleh :
Pembimbing : dr. Tiara Paramita, Sp. PD
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
1
2016 LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS ENSEFALOPATI HEPATIKUM GRADE IV PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS CHILD C
Disusun oleh : Emma Puspadhini
G4A015161
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo
telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal:
Purwokerto,
2016
2016 Pembimbing,
dr. Tiara Paramita, Sp. PD
2
3
BAB I PENDAHULUAN
I.
STATUS PASIEN
A. Identitas Penderita Nama
: Ny. R
Umur
: 50 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jatilawang
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Islam
Tgl masuk RS
: 5 Juni 2017
Tgl periksa
: 5 Juni 2017
B. Anamnesis 1. Keluhan utama Muntah darah 2. Keluhan tambahan Badan lemas 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan muntah darah. Muntah darah sudah sebanyak 4 x sejak 1 hari SMRS. Muntah dengan konsistensi cair berwarna merah segar dan keluar bersama makanan. Pasien mengatakan sesaat sebelum dan setelah muntah, dada dan ulu hati nya terasa perih serta panas. Pasien muntah darah biasanya saat perut nya terasa begah dan penuh. Mual dan muntah membaik saat pasien minum obat anti mual. Keluhan muntah tidak disertai dengan keluhan nyeri dada, demam, nyeri perut dan nyeri kepala. Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma pada kepala atau perut. Selain muntah darah, pasien juga mengeluhkan badannya terasa lemas dan tidak
4
bertenaga serta perut nya membesar. Keluhan lemas muncul setelah pasien mengalami muntah darah 2 x. Keluhan perut membesar diakui pasien sudah dirasakan sejak lama sekitar 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sering terasa begah dan mual. Menurut pengakuan pasien, pasien sudah lama menderita penyakit liver dan memang terdapat masalah pada kerongkongan pasien. Pasien mengaku sudah pernah menjalani pemeriksaan teropong pada kerongkongan dan sudah pernah di lakukan tindakan ligaai sebanyak 3 kali. Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa sebelumya. 4. Riwayat penyakit dahulu Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat anemia
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat stroke
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat penyakit liver
: Diakui
Riwayat penyakit kuning
: Diakui
5. Riwayat penyakit keluarga Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat anemia
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat stroke
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure a. Community Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk bukan perumahan. Hubungan pasien dengan tetangga sekitar baik, pasien aktif dalam kegiatan sosial setempat.
5
b. Home Pasien tinggal berdua dengan suaminya.
c. Occupational Pasien seorang ibu rumah tangga yang sehari-sehari mengurus rumah dan suami d. Personal habit Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum-minuman beralkohol. Pasien terbiasa masak makanan sendiri untuk dikonsumsi oleh dirinya dan suaminya. Jenis makanan yang dimakan oleh pasien dan suaminya termasuk makanan yang berlemak seperti goreng-gorengan, bersantan dan makanan dengan bahan penguat rasa.
Obyektif 1. Keadaan umum
: Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign Tekanan Darah
: 83/51 mmHg
Nadi
: 120 x/menit
Respiration Rate
: 22 x/menit
Suhu
: 36,5 0C
4. Berat badan
: 60 kg
5. Tinggi badan
: 170 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 20,7 kg/m2 (normal) 7. Status generalis a. Pemeriksaan kepala 1) Bentuk kepala Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-) 2) Rambut Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
6
3) Mata Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) 4) Telinga Discharge (-), deformitas (-) 5) Hidung Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-) 6) Mulut Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-) b. Pemeriksaan leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Palpasi : JVP 5 + 2 cm H2O c. Pemeriksaan thoraks Paru Inspeksi
: Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi
: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi
: Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler +/+ Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/-
Jantung Inspeksi
: Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi
: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS dan kuat angkat (-)
Perkusi
: Batas atas kanan Batas atas kiri
: SIC II LPSD : SIC II LPSS
7
Auskultasi
Batas bawah kanan
: SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC V 2 jari medial LMCS
: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi
: Cembung
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Pekak, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (+), undulasi (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas Pemeriksaan
Ekstremitas superior Dextra Sinistra + + -
Edema Sianosis Akral dingin Reflek fisiologis Reflek patologis
Ekstremitas inferior Dextra + + -
Sinistra + + -
C. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah Pemeriksaan
27/05/2016
27/05/2016
30/05/2016
31/05/2016
Hemoglobin
8,1 L
7L
Leukosit
21.730
6570
33
20
Eritrosit
3,2 x 106
3,0 x 106
Trombosit
173.000
121.000
Total protein
5,78 L
5,30 L
Albumin
1,84 L
2,11 L
Globulin
3,94 H
3,19
Bilirubin total
8,98 H
Hematokrit
8
Bilirubin direk
4,87 H
Bilirubin indirek
4,11 H
SGOT
50
29
SGPT
37
27
Ureum
79,6 H
Creatinin
0,82
GDS
98
Natrium
122 L
121 L
Kalium
4,2
3,7
Klorida
89
89
Kalsium HbsAg
7,7 L Non reaktif
D. Diagnosa Kerja Hematemesis melena ec rupture varises esophagus Anemia ec blood loss Syok Hipovolemik Sirosis Hepatis
E. Terapi 1. Farmakologi a. IVFD NaCl 0.9% 30 tpm b. Inj. Cefotaxim 1 gr/8 jam c. Inj. Omeprazole 1 g/24 jam d. Lactulac syr 3x10cc e. Tranfusi PRC hingga Hb 8-9 f. Bila Hb >8, pro endoskopi dan ligasi g. Spool NGT sampai jernih Ulsafat 10 cc Diit cair 2. Non Farmakologi a. O2 3 lpm (NK) 9
b. Edukasi menghindari faktor pencetus seperti obstipasi dan dehidrasi c. Mobilisasi saat kesadaran compos mentis
F. Prognosis Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia ad bonam
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang 1. Prothrombin time (PT) : untuk menentukan derajat sirosis hepatis 2. CT Scan kepala : untuk menghilangkan kemungkinan cedera kepala atau lesi pada otak yang menyebabkan penurunan kesadaran 3. Elektroensefalogram (EEG) : untuk menilai perubahan status kesadaran dan status kejiwaan 4. Number Connection Test : untuk menilai perubahan kognitif pasien dan menentukan tingkatan klasifikasi EH minimal 5. Feses rutin : untuk mencari kemungkinan perdarahan gastrointestinal sebagai faktor pencetus EH 6. Benzidin test : untuk mencari kemungkinan perdarahan samar sebagai faktor pencetus EH 7. Kerokan kulit KOH/Pewarnaan KOH-Parker : untuk menegakkan diagnosis tinea corporis dengan mengembangkan biakan jamur pada kulit yang gatal
10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Ensefalopati hepatikum (EH) didefinisikan sebagai sekumpulan kelainan neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hati setelah dipastikan tidak ada kelainan otak (Butterworth, 2015). Ensefalopati hepatikum muncul dengan tanda seperti perubahan kepribadian, penurunan kecerdasan, dan penurunan kesadaran (Shawcross, 2015). Terdapat tiga tipe EH terkait kelainan hati yang mendasarinya. Tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminant, tipe B berhubungan dengan jalur pintas porta dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C berhubungan dengan sirosis dan hipertensi porta sekaligus merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
B. Etiologi Terjadinya ensefalopati hepatikum adalah karena adanya pengalihan darah sistem porta ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah kolateral portosistemik. Ensefalopati hepatikum muncul pada pasien dengan sirosis hepatis dan dapat muncul pada pasien tanpa sirosis hepatis dengan portosystemic shunt yang terbentuk secara spontan maupun akibat operasi. Perkembangan ensefalopati hepatikum disebut sebagai efek zat neurotoksik yang muncul pada perkembangan sirosis hepatis dan hipertensi portal (Shawcross, 2015).
C. Epidemiologi Ensefalopati hepatikum ditemukan pada 70% penderita sirosis hepatis. Gejala yang muncul dapat menyebabkan perburukan keadaan yang signifikan pada sebagian pasien. Sebanyak 30% pasien dengan end-stage liver disease mengalami ensefalopati yang ditunjukkan dengan keadaan koma (Ferenci, 2014).
11
D. Patogenesis Beberapa teori hipotesis patogenesis EH yang sering dijadikan acuan penatalaksanaan adalah : 1) Hipotesis amonia, 2) Hipotesis neurotoksi sinergis, 3) Hipotesis neurotransmiter palsu, 4) Hipotesis GABA/benzodiazepin (Budihusodo, 2002). Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus (Wakim, 2011). Terjadinya EH merupakan akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak. Proses ini merupakan proses intoksikasi otak akibat isi saluran cerna yang tidak dimetabolisme oleh hepar karena kerusakan hepar. Proses selanjutnya adalah intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus tersebut. Amonia merupakan molekul toksik yang dihasilkan oleh usus terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya juga meningkat pada pasien sirosis hati (Riggio, 2010; Frederick, 2011).
Gambar 1. Patofisiologi EH (Frederick, 2011).
Amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia merupakan hasil metabolisme bakteri usus dengan aktivitas enzim urase, terutama bakteri gram
12
negatif anaerob, Enterobacteriae, Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase (Frederick, 2011). Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia. Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea melalui siklus KrebsHenseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin (Wakim, 2011; Frederick, 2011). Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati (Chatauret, 2004). Peningkatan kadar amonia dalam darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase
13
glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas sinyal intraselular (Norenberg, 2009).
E. Gejala dan Tanda Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan, EH memperlihatkan gangguan pada tes psikometrik terkait dengan atensi, memori jangka pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan berjalannya penyakit, pasien EH mulai memperlihatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan disorientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma (Vilstrup, 2014). Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1.
14
Tabel 1. Klasifikasi derajat EH menurut West Haven (Zhan, 2012) Derajat
Kognitif dan Perilaku
0 (subklinis Asimtomatik
Fungsi Neuromuskular Tidak ada
minimal) 1
Gangguan tidur, penurunan Suara
monoton,
tremor,
konsentrasi, depresi, ansietas penurunan kemampuan menulis, dan iritabilitas 2
apraksia
Letargi,
disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat 3
Somnolen,
4
kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot, hiper
amnesia, gangguan emosi
atau hiporeflek
Koma
Pupil dilatasi, reflex patologis dijumpai
Pasien EH seringkali merupakan pasien dengan sirosis hepatis. Penentuan diagnosis sirosis hepatis juga dapat menentukan derajat keparahan serta prognosis dan angka mortalitas dari penyakit sirosis hepatis. Berikut merupakan tabel klasifikasi sirosis hepatis menurut Child-Turcotte-Pugh (CTP) (Cholongitas, 2012): Tabel 2. Klasifikasi sirosi hepatis Child-Turcottte-Pugh (CTP) Parameter/Skor
1
2
3
Bilirubin serum (mg/dl)
< 2,0
2,0 – 3,0
> 3,0
Albumin serum (gr/dl)
> 3,5
3,0 – 3,5
< 3,5
Protrombin time (detik)
1,0 – 4,0
4,0 – 6,0
> 6,0
atau INR*
<1,7
1,7 – 2,3
> 2,3
Asites
Tidak ada
Minimal-sedang
Banyak
Ensefalopati hepatikum
Tidak ada
Stage I-II
Stage III-IV
*INR : International Normalised Ratio Skor atau poin digunakan dan dijumlah berdasarkan klinis dan laboratoris pada pasien. Jumlah poin 5-6 merupakan kelas A menurut klasifikasi CTP yang 15
artinya memiliki one-year-survival rate 100% dan two-year-survival rate 85% atau 15-20 tahun harapan hidup. Skor 7-9 termasuk dalam kelas B yang berarti memiliki one-year-survival rate 80% dan two-year-survival rate 60% atau harapan hidup 414 tahun. Sedangkan skor 10-15 dikategorikan kelas C dengan one-year-survival rate 45% dan two-year-survival rate 35% atau harapan hidup 1-3 tahun (Cholongitas, 2012).
F. Penegakkan Diagnosis 1. Anamnesis a. Riwayat penyakit hati b. Riwayat kemungkinan adanya faktor pencetus c. Perubahan neuropsikiatri, intelektual, kemampuan bicara 2. Pemeriksaan fisik a. Tingkat kesadaran b. Tanda-tanda penyakit hati c. Kelainan neurologi seperti inkoordinasi, tremor, refleks patologi, kekakuan d. Kejang e. Disartria f. Gejala infeksi berat g. Perdarahan gastrointestinal 3. Pemeriksaan penunjang a. Hemoglobin, hematokrit b. Faal hepar c. Ureum serum d. Kreatinin serum e. Kadar amonia darah f. Petanda infeksi dah sirosis hepar g. Urin rutin
16
h. Elektroensefalogram (EEG) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada pasien dengan sirosis i. CT scan kepala untuk menyingkirkan lesi pada otak
G. Tata Laksana Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik. 1. Tata laksana faktor presipitasi Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah
terjadinya
dehidrasi.
Pemberian
antibiotik
spektrum
luas
diindikasikan pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofagus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membutuhkan penanganan yang adekuat (Frederick, 2011; Cordoba, 2010). Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipitasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. 2. Tatalaksana farmakologis Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar
17
amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine LAspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya. a. Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa) Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH. Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin (Frederick, 2011; Zhan, 2012; Sanyal, 2010). Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik (Frederick, 2011). Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien dengan EH minimal. Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia (Zhan, 2012). b. Antibiotik Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH (Riggio, 2010; Frederick, 2011; Zhan, 2012). Selain itu, antibiotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase (Frederick, 2011). Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap
18
secara minimal (Perazzo, 2012; Ahmad, 2008). Dosis yang diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan (Frederick, 2011; Wright, 2011). Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, seperti neomisin, metronidazole, paromomisin, dan vancomisin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan antibiotik lainnya (Frederick, 2011). c. L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) L-Ornithine L-Aspartate (LOLA) merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamin. Obat ini meningkatkan metabolisme amonia di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah (Riggio, 2010). Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. Sebagai subtrat perantara pada siklus urea, LOLA dapat menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT), berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine synthetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia kembali. Suatu RCT (Randomized Clinical Trial) double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara (Zhan, 2012). Beberapa penelitian RCT (Kirchets, 1997; Ahmad, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada (Kircheis, 1997; Ahmad, 2008). Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009; Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt
19
dan EH minimal dalam perbaikan EH dengan menurunkan konsentrasi amonia serum. d. Probiotik Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat untuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neurotoksik telah lama dipikirkan berperan penting dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Mekanisme kerja probiotik dalam terapi EH dipercaya terkait dengan menekan substansi untuk bakteri patogenik usus dan meningkatkan produk akhir fermentasi yang berguna untuk bakteri baik (Solga, 2003; Bongaerts, 2005). Liu, et al. melakukan studi terhadap feses pasien EH minimal dan menemukan pemberian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik) berhubungan dengan menurunnya jumlah bakteri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium, dan Staphylococcus dengan peningkatan pada Lactobacillus penghasil nonurease. Penelitian metaanalisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH (Shukla, 2011). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan dalam penggunaan probiotik pada tatalaksana dan prevesi sekunder EH overt (Sharma, 2013). 3. Terapi potensial lainnya Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain amonia scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Amonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat, natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja menyerap molekul kecil, diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja
20
menurunkan kadar amonia dengan berfungsi sebagai substrat pembentukan glutamin dari amonia pada otot rangka (Wakim, 2011).
H. Prognosis Progonis penderita EH tergantung dari : 1. Penyakit hati yang mendasarinya 2. Faktor-faktor pencetus 3. Usia 4. Keadaan gizi 5. Derajat kerusakan parenkim hati 6. Kemampuan regenerasi hati
21
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisa Diagnosis Kasus Kasus Anamnesis
- Terdapat
Teori riwayat - Ada riwayat penyakit
Hepatitis B (1992) - Terdapat
hati
riwayat - Ada riwayat
Hepatitis C (2016)
kemungkinan faktor
- Sakit kepala
pencetus
- Pasien
sulit - Perubahan
berkomunikasi sejak 5
neuropsikiatri,
hari SMRS
intelektual, kemampuan
- Pasien
disorientasi
bicara
tempat sejak sadar dari koma atau hari pertama perawatan di RS - Pasien tidak mengerti waktu sejak sadar dari koma atau hari pertama perawatan di RS Pemeriksaan Fisik
Compos mentis Urin berwarna seperti teh
- Penurunan tingkat kesadaran
Sklera ikterik
- Tanda penyakit hati
Jari-jari ikterik
- Inkoordinasi
Tremor ekstremitas
- Tremor
superior
- Reflek patologi
Kaki sulit dan berat untuk - Kekakuan berjalan karena bengkak
- Kejang
22
- Disartria - Perdarahan gastrointestinal Pemeriksaan Penunjang
Hb : 7
- Hemoglobin turun
AL : 6570
- Hematokrit
Ht : 20
- Faal hepar meningkat
Total protein : 5,3
- Ureum serum
Albumin : 2,11
meningkat
Globulin : 3,19
- Kreatinin serum
SGOT 29
meningkat
SGPT : 27
- Kadar amonia darah
Ureum : 79,6
meningkat
Kreatinin : 0,82
- Petanda infeksi sirosis
Na : 121
hepar
K : 3,7
- Urin rutin
Cl : 89
- EEG
Ca : 7,7
- CT scan kepala
HbsAg : non reaktif
Derajat keparahan dan prognosis sirosis hepatis dapat dihitung dengan kriteria Child-Turcotte-Pugh (CTP) sebagai berikut (Cholongitas, 2012) : Parameter/Skor
1
2
3
Bilirubin serum (mg/dl)
< 2,0
2,0 - 3,0
> 3,0
Albumin serum (gr/dl)
> 3,5
3,0 - 3,5
< 3,5
Protrombin time (detik)
1,0 – 4,0
4,0 – 6,0
> 6,0
atau INR
< 1,7
1,7 – 2,3
> 2,3
Asites
Tidak ada
Minimal-sedang
Banyak
Ensefalopati hepatikum
Tidak ada
Stage I-II
Stage III-IV
Skor atau poin digunakan dan dijumlah berdasarkan klinis dan laboratoris pada pasien. Jumlah poin 5-6 merupakan kelas A menurut klasifikasi CTP yang 23
artinya memiliki one-year-survival rate 100% dan two-year-survival rate 85% atau 15-20 tahun harapan hidup. Skor 7-9 termasuk dalam kelas B yang berarti memiliki one-year-survival rate 80% dan two-year-survival rate 60% atau harapan hidup 414 tahun. Sedangkan skor 10-15 dikategorikan kelas C dengan one-year-survival rate 45% dan two-year-survival rate 35% atau harapan hidup 1-3 tahun (Cholongitas, 2012). Pada kasus ini didapatkan kadar bilirubin serum 8,89 mg/dl (poin 3), albumin serum 1,84 gr/dl (poin 3), prothrombin time dan/atau INR tidak diperiksa (dianggap poin 1), asites tidak ada (poin 1), ensefalopati hepatikum grade IV (poin 3) sehingga jumlah poin adalah 11 dan termasuk kelas C menurut klasifikasi CTP sehingga memiliki harapan hidup 1-3 tahun (Cholongitas, 2012). Penentuan derajat EH menurut klasifikasi West Haven (Perazzo, 2012): Derajat
Kognitif dan Perilaku
0 (subklinis Asimtomatik
Fungsi Neuromuskular Tidak ada
minimal) 1
Gangguan tidur, penurunan Suara konsentrasi,
depresi, penurunan
ansietas dan iritabilitas 2
Letargi,
monoton,
tremor,
kemampuan
menulis, apraksia
disorientasi, Ataksia, disartria, asteriksis
penurunan daya ingat 3
4
Somnolen,
kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot, hiper
amnesia, gangguan emosi
atau hiporeflek
Koma
Pupil dilatasi, reflex patologis dijumpai
Gejala yang diberi warna merah merupakan gejala yang dijumpai saat pasien masuk ke RS Wonosobo, sehingga diagnosis pada saat itu adalah EH grade 4 atau koma hepatikum. Gejala yang diberi warna kuning adalah gejala yang ditemukan saat pasien sadar dari koma di RSUD Margono Soekarjo sehingga diagnosis membaik menjadi EH grade 2. Saat diperiksa pada tanggal 31 Mei 2016 24
pasien menunjukkan gejala yang diberi warna hijau sehingga diagnosis saat itu adalah EH grade 1. Pasien ini menunjukkan perbaikan derajat EH sehingga memperbaiki prognosis.
B. Analisa Terapi Kasus 1. Infus D5% Infus D5% berisi glukosa, pada pasien ini digunakan karena pasien masih sering merasa mual sehingga asupan nutrisi enteral pasien kurang. Asupan nutrisi yang kurang dapat memperlambat proses penyembuhan. Sehingga diberikan glukosa secara parenteral. 2. Drip LOLA L-Ornithine L-Aspartate pada pasien ini digunakan untuk mengurangi amonia dalam darah. Amonia dalam darah merupakan faktor pencetus terjadinya ensefalopati hepatikum. LOLA akan meningkatkan metabolisme amonia dalam darah di hati dan otot dengan hasil akhir berkurangnya amonia dalam darah. 3. Injeksi Ceftriaxon Ceftriaxon sebagai antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri dalam tubuh. Bakteri dalam tubuh berperan menghasilkan amonia yang dapat memicu EH. 4. Injeksi Ranitidin Pemberian obat-obatan terlalu banyak dan kuat dapat berbahaya bagi saluran cerna terutama lambung. Ranitidin diberikan untuk menurunkan asam lambung yang mungkin akan meningkat karena konsumsi obat-obatan. 5. Injeksi Furosemid Diuretik kuat seperti furosemid digunakan untuk membantu eliminasi amonia dalam darah. Darah akan dicuci melalui ginjal dan diharapkan akan cepat membuang dan mengurangi kadar amonia dalam darah.
25
6. Lactulac Lactulac atau laktulosa digunakan sebagai lini pertama penatalaksanaan EH untuk menurunkan sintesis amonia dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon.
26
BAB V KESIMPULAN
1. Ensefalopati hepatikum (EH) adalah kelainan neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hati 2. EH terjadi karena adanya kegagalan fungsi hati sehingga zat toksik teralirkan ke peredaran darah sistemik 3. EH terjadi pada 70% penderita sirosis hepatis 4. Gejala EH meliputi gangguan tidur, ansietas, tremor, disorientasi, distartria, hingga koma 5. Tata laksana EH adalah mengurangi faktor pencetus EH yaitu dehidrasi, infeksi, dan keberadaan toksik sistemik 6. Prognosis EH tergantung dari penyakit hati yang mendasari, faktor pencetus, usia, dan keadaan gizi 7. Pasien dalam kasus terdiagnosis ensefalopati hepatikum grade IV dengan perbaikan dan sirosis hepatis child C menurut anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 8. Prognosis pasien dalam kasus tidak baik karena memiliki latar belakang penyakit hati dan harapan hidup 1-3 tahun.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, I., Khan, AA., Alam, A. 2008. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and SurgeonsPakistan 18(11) : 684-687. Bai, M., Yang, Z. 2013. L-ornithine-l-aspartate for hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis: a meta-analysis of randomized cotrolled trials. J Gastroenterol Hepatol 28(5) : 783-792. Bongaerts, G., Severijnen, R. 20055. Effect of antibiotics, prebiotics and probiotics in the treatment for hpatic encephalopahy. Med Hypothesses 64 : 64-68. Chatauret, N., Butterworth RF. 2004. Effects of liver failure on inter-organ traficking of amonia: implications for the treatment of hepatic encephalopathy. J Gastroenterol Hepatol 19: 219-223. Cholongitas, E., Papatheodoridis, BV., Vangeli, M., Terreni, N. 2012. Systematic review: The model for end-stage liver disease should it replace Child-Pugh’s Classiification for assessing prognosis in chirrosis?. Alimentary pharmacology&Therapeutics 22: 1079-1089. Cordoba, J. 2010. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepatol 54(5) : 10301040. Frederick, RT. 2011. Current concepts in the patophysiology and management of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol 7(4) : 222-233. Jiang, Q., Jiang, XH. 2009. L-Ornithine-L-Aspartate in the management of hepatic encepahlopathy: a meta-analysis. J Gastroenterol Hepatol 24(1) : 9-14. Kircheis, G., Nilius, R. 1997. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-laspartate infusions in patients with cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placeebo-controlled, double -blind study. Hepatology 25(6) : 1351-1360. Liu, Q., Duan, ZP.. 2004. Synbiotic modulation of gut flora : Effect on minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology 39 : 1441-1449. Norenberg., Rama Rao., Jayakumar. 2009. Signaling factors in the factors in the mechanism of amonia neurotoxicity. Metab Brain Dis 24(1) : 103-117.
28
Perazzo, JC., Tallis S. 2012. Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathopfysiological features. World J Hepatol 4(3): 50-65. Riggio, O., Ridola L., Pasquale. 2010. Hepatic encephalopathy theraphy: An overview. World J gastrointest Pharmacol Ther 1(2) : 54-63. Sanyal, A., Bass, N., Mullen, K. 2010. Recent advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol 6(7) : 5-13. Sharma, V., Garg, S. 2013. Probiotics and liver disease. Perm J 17(4) : 62-67. Shukla, S., Shukla, A., Mehboob, S., Guha, S. 2011. Meta-analysis: the effects of gut flora modulation using prebiotics, probiotics, and synbiotics on minimal hepatic encepahlopathy. Aliment Pharmacol Ther 33(6): 66-71. Solga, SF. 2003. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses 61 : 307-313. Vilstrup, H., Amodio, P., Bajaj, J. 2014. Hepatic encephalopathy in chrocnic liver isease: 2014 practice guideline by the European Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol. Wakim, FJ. 2011. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cirrhosis. Cleve Clin J Med 78 (9) : 597-605). Wright, G., Chatree, A. 2011. Management of hepatic encephalopathy. Int J Hepatol. Zhan, T., Stremmel W. 2012. The diagnosis and treatment of minimal hepatic encephalopathy. Dtsch Arztebl Int 109(10) : 180-187.
29