“Endometriosis”
Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Endometriosis merupakan suatu kelainan ginekologik jinak yang sering diderita oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula
dan
stroma
endometrium
diluar
letaknya
yang
normal.
Endometriosis pertama kali diidentifikasi pada pertengahan abad 19 (Von Rockitansky, 1860). Endometriosis sering didapatkan pada peritoneum pelvis tetapi juga didapatkan pada ovarium, septum rektovaginalis, ureter, tetapi jarang pada vesika urinaria, perikardium, dan pleura. Penyakit ini pertumbuhannya bergantung pada hormon estrogen. Insiden endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena sering gejala asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis sensitifisitasnya rendah. Perempuan dengan endometriosis bisa tanpa gejala, subfertil atau mendarita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu menstruasi (dismenorea). Pada perempuan endometriosis yang asimtomais prevalensinya sekitar 2-22% tergantung pada populasinya. Oleh karena berkaitan dengan infertilitas dan rasa sakit di rongga panggul, prevalensinya bisa meningkat 20-50%. Diagnosis endometriosis dibutuhkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat pula.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
1
“Endometriosis”
Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Endometriosis adalah kelainan ginekologik jinak yang sering diderita oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stroma endometrium diluar letaknya yang normal. Endometriosis pertama kali diidentifikasi pada pertengahan abad 19 (Von Rockitansky, 1860). Endometriosis sering didapatkan pada peritoneum pelvis tetapi juga didapatkan pada ovarium, septum rektovaginalis, ureter, tetapi jarang pada vesika urinaria, perikardium, dan pleura. Penyakit ini pertumbuhannya bergantung pada hormon estrogen. Jaringan endometrial yang terdapat didalam myometrium disebut adenomiosis, atau disebut juga endometriosis in situ.
2.2 Etiologi Meskipun penyebab pasti endometriosis masih tidak diketahui, beberapa teori dengan bukti yang mendukung pernah dikemukakan. Menstruasi Retrograde Teori yang paling awal dan paling luas diterima adalah teori yang menjelaskan tentang menstruasi retrograde melalui tuba falopi dan kemudian diikuti oleh penyebaran jaringan endometrial didalam kavum peritoneal (Sampson,1927). Fragmen Endometrial yang mengalami refluks menempel dan menginvasi mesotelium peritoneal dan mengembangkan suplai darah yang mana digunakan untuk
melanjutkan
kelangsungan
hidup
implantasi
dan
pertumbuhan
(Giudice,2004). Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
2
“Endometriosis”
Penyebaran Limfatik danVaskular Bukti yang juga mendukung konsep dari endometriosis berasal dari penyebaran jaringan endometrial secara limfatik atau vaskular yang menyimpang (Ueki 1991). Menemukan endometriosis dilokasi yang tidak biasa misalnya di perineum atau selangkangan, mendukung teori ini (Mitchell,1991;Pollack 1990). Regio Retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang sangat banyak.
Dengan
demikian, kasus yang mana tidak ditemukan implantasi di peritoneal dan sematamata terisolasi lesi di retroperitoneal, member kesan merupakan suatu penyebaran limfatik (Moore,1988). Sebagai tambahan, kecenderungan adenocarcinoma endometrial menyebar melalui rute limfatik mengindikasikan endometrium dapat ditransportasikan melalui metode ini (McMeekin,2003). Meskipun teori ini masih menarik, masih sedikit
penelitian
yang
secara
eksperimental
mengevaluasi
transmisi
endometriosis dengan cara ini. Metaplasia Coelomic Teori metaplasia coelomic menyatakan bahwa peritoneum parietal adalah jaringan pluri potensial yang mengalami transformasi metaplastik pada jaringan histologinya tidak dapat dibedakan dari endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor endometrium, duktus mullerian, keduanya berasal dari epitel coelomic, metaplasia mungkin menjelaskan mengenai perkembangan dari endometriosis ovarium. Sebagai tambahan, teori ini telah diperluas mencakup peritoneum karena proliferasi dan diferensiasi potensial dari mesotelium peritoneal. Teori ini menarik karena adanya contoh endometriosis pada tidak adanya menstruasi, misalnya wanita premenarke dan postmenopause dan pada pria yang diobati dengan estrogen dan orchiectomy pada karsinoma prostatic (Dictor 1988; Pinkert 1979). Akan tetapi, tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel coelomic membantah teori ini. Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
3
“Endometriosis”
Teori Induksi Teori induksi mengusulkan bahwa beberapa faktor hormonal dan biologi mungkin menyebabkan diferensiasi dari sel yang tidak terdiferensiasi menjadi jaringan endometrial (Vinatier,2001). Substansi ini mungkin berupa substansi eksogen ataupun dilepas langsung dari endometrium (Bontis,1997). Penelitian secara in vitro mendemonstrasikan potensial dari epitel permukaan ovarium, sebagai respon terhadap estrogen, untuk mengalami transformasi untuk membentuk lesi endometriotik (Matsuura,1999).
Hormonal Dependence Estrogen telah dinyatakan secara definitive sebagai penyebab dari berkembangnya endometriosis (Gurates,2003). Meskipun sebagian besar estrogen diproduksi secara langsung oleh ovarium, beberapa jaringan perifer juga diketahui membentuk estrogen melalui aromatisasi ovarium dan androgen adrenal. Implan Endometriotik menghasilkan aromatase dan 17β-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 1, enzim ini bertanggung jawab untuk konversian drostenedion emenjadi estrone dan estrone menjadi estradiol. Implantasi ini tetapi mengalami defisiensi 17 β-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2, yang mana digunakan untuk inaktivasi estrogen (Kitawaki,1997; Zeitoun,1998). Kombinasi enzimatik memastikan bahwa implantasi ini akan dipaparkan pada lingkungan estrogenik. Selain itu, estrogen yang diproduksi secara local didalam lesi endometriotik akan berusaha memberikan efek biologic didalam jaringan atau
sel
yang sama
dimana mereka diproduksi,
proses
ini
disebutintracrinology. Sebaliknya,
endometrium
normal
tidakmenghasilkan
aromatase
danproduksi 17β-hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 meningkat sebagai respon terhadap
progesterone
(Satyaswaroop,1982).
Hasilnya,
progesterone
mengantagonis efek estrogen pada endometrium normal selama fase luteal dari siklus
menstruasi.
Endometriosis,
bermanifestasi
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
sebagai
tahap
resisten
4
“Endometriosis”
progesterone, yang mana berfungsi sebagai pencegahan terjadinya pelemahan dari stimulasi estrogen pada jaringan (Attia,2000) Prostaglandin E2 (PGE2) adalah pemicu aktivitas aromatase yang paling poten di selstroma endometrial, bekerja melalui reseptor subtipe Prostaglandin EP2 (Noble,1997;Zeitoun 1999). Estradiol diproduksi sebagai respon terhadap peningkatan aktivitas aromatase diikuti oleh peningkatan produksi PGE2 dengan menstimulasi enzim cyclooxygenase tipe 2 (COX-2) pada sel endothelial uterus (Bulun 2002; Gurates 2003). Hal ini menyebabkan feedback positif dan menyebabkan efek estrogen pada proliferasi dari endometriosis. Konsep produksi estrogen secara local dan estrogen intrakrin ini yang bekerja pada endometriosis berfungsi sebagai dasar untuk penggunaan inhibitor aromatase. Agen ini mengurangi aktivitas aromatase dalam kasus endometriosis yang refrakter terhadap terapi standar.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
5
“Endometriosis”
Peran Sistem Imun Meskipun sebagian besar wanita mengalami menstruasi retrograde, yang mana merupakan penyebab dari penyebaran benih dan pembentukan dari implantasi, hanya sedikit yang menjadi endometriosis. Jaringan menstrual dan endometrium yang mengalami refluks kedalam kavum peritoneal biasanya dibersihkan oleh selimun seperti makrofag, sel natural killer (NK), dan limfosit. Untuk alasan ini, disfungsi system imun adalah salah satu kemungkinan mekanisme dari pembentukan endometriosis ketika adanya menstruasi retrograde (Seli,2003). Kerusakan imunitas selular dan humoral dan perubahan dari growth factor dan sinyal sitokin masing-masing telah diidentifikasi pada jaringan endometriotik. Makrofag adalah sel scavenger pada berbagai jaringan dan jumlahnya yang meningkat ditemukan pada kavum peritoneal pada wanita dengan endometriosis (Haney,1981; Olive 1985b). Peningkatan ini mungkin dapat dilogika sebagai aksi untuk menekan proliferasi dari endometrial. Akan tetapi, makrofag pada wanita-wanita ini justru memiliki efek stimulasi terhadap jaringan endometriotik. Pada sebuah penelitian, monosit yang bersirkulasi yang didapat dari wanita dengan endometriosis menambah proliferasi in vitro dari sel endometrial yang dikultur, sebaliknya monosit dari wanita tanpa endometriosis memiliki efek sebaliknya (Braun,1994). Sel natural Killer adalah selimun yang memiliki aktivitasi toksik melawan sel asing. Meskipun jumlah sel NK tidak berubah pada cairan tubuh wanita dengan endometriosis, penurunan sitotoksisitas sel NK terhadap endometrium telah didemonstrasikan (Ho,1995;Wilson 1994). Secara spesifik cairan peritoneal dariwanitadengan endometriosis ditemukan tampak mensupresi aktivitas sel NK, hal ini menunjukkan faktor soluble mungkin memiliki peran dalam supresisel NK (Oosterlynck,1993).
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
6
“Endometriosis”
Imunitas selular mungkin dapat juga mengalami kekacauan pada wanita dengan endometriosis, dan berimplikasi pada Limfosit T. Contohnya, pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita yang tidak terkena, jumlah limfostit total atau rasio subpopulasi helper/suppressor tidak berbeda pada daraf perifer, tetapi jumlahnya pada cairan peritoneal meningkat (Steele,1984). Dan juga aktivitas sitotoksik dari limfosit T melawan autologous endometrium pada wanita dengan endometriosis terganggu (Gleicher,1984). Imunitas Humoral juga menunjukkan perubahan pada wanita dengan endometriosis
dan
ini
menunjukkan
peranannya
pada
perkembangan
endometriosis. Antibodi endometrial dari kelas IgG adalah yang paling sering terdeteksi pada serum wanita dengan endometriosis (Odukoya,1995). Pada satu penelitian, dideteksi pula autoantibodi IgG dan IgA melawan jaringan endometrial dan ovarium pada serum, servikal dan sekresi vagina pada wanita dengan endometriosis (Mathur 1982). Hasil ini menunjukkan bahwa endometriosis dapat merupakan bagian dari suatu penyakit autoimun. Hal ini dapat menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kehamilan dan implantasi in vitro fertilization (IVF) pada wanita dengan endometriosis (Dmowski,1995). Sitokin merupakan
faktor yang kecul, dan factor imun yang terlarut
(soluble) yang memerlukan sinyal parakrin dan autokrin dari selimun lainnya. Banyak sekali sitokin, terutama interleukin yang terlibat dalam pathogenesis dari endometriosis. Peningkatan kadar interleukin-1β telah diidentifikasi pada cairan endometrial pada wanita dengan endometriosis (Mori,1991). Sebagai tambahan pula, kadar Il-6 meningkat pada sel stroma endometrial pada wanita dengan endometriosis (Tseng,1996). Sitokin lain selain interleukin dan growth factor juga terkait dengan petogenesis endometriosis. Contohnya baik monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan RANTES (Regulated on activation,normal T-cell expressed and secreted) adalah kemoatraktan untuk monosit. Kadar sitokin ini meningkat pada cairan peritoneal pada wanita dengan endometriosis dan berkorelasi positif Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
7
“Endometriosis”
terhadap tingkat keparahanya (Arici,1997;Khorram,1993). Sebagai tambahan vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah factor pertumbuhan angiogenik, yang mana diregulasi oleh akrofag cairan peritoneal. Kadar dari factor ini meningkat pada cairan peritoneal pada wanita dengan endometriosis (McLaren, 1996). Meskipun peran pasti dari sitokin-sitokin ini masih belum jelas, gangguan dari ekspresi dan aktivitasnya mendukung peranan imunologi pada pathogenesis dari endometriosis.
2.3 Gejala Klinis Dismenorea Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin dalam rongga peritoneum, akibat pedarahan lokal pada sarang endometriosis dan oleh adanya infiltrasi endometriosis kedalam saraf pada rongga panggul. Nyeri Pelvik Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh kedalam panggul, punggung, dan paha bahkan menjalar bila sampai kerektum dan diare. Dipareunia Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh disekitar Cavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi. Diskezia Keluhan sakit buang air besar bila endomeriosis sudah tumbuh dalam dinding rektosigmoid dan terjadi hemaoskezia pada saat siklus haid.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
8
“Endometriosis”
2.5 Pemeriksaan dan Diagnostik Ultrasonografi (USG) USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista endometriosis) >1cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik endometriosis ataupun perlengketan. Dengan menggunakan USG transvaginal dapat melihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan bentuk kistik dan adanya interval eko didalam kista. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa ekstraperitoneal, adanya invasi ke usus dan septum rektovagina. Pemeriksaan serum CA 125 Serum CA 125 adalah petanda tumor yang sering digunakan pada kanker ovarium. Pada endometriosis juga terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun, pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitifisitas yang rendah. Kadar CA 125 juga meningkat pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan trimester awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai monitor prosgnostik kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125 > 65 mIU/ml praoperatif menunjukkan derajat beratnya endometriosis. Bedah Laparoskopi Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk mendiagnosis endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya berwarna cokelat kehitaman sehingga disebut endometrioma. Sering endometriosis ditemukan pada laparoskopi diagnostik, tetapi pasien tidak mengeluh.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
9
“Endometriosis”
Pemeriksaan Patologi Anatomi Pemeriksaan pasti dari lesi endometriosis adalah didapatkan adanya kelenjar dan stroma endometrium. 2.6 Tatalaksana 2.6.1 Penanganan Medis Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena adanya resiko kekambuhan. Tujuan pengobatan endomeriosis lebih disebabkan oleh akibat endometriosis itu, seperti nyeri panggul dan infertilitas. -Pengobatan Simtomatik Pengobatan dengan memberikan antinyeri seperti parasetamol 500 mg 3 kali sehari, Non steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen 400 mg 3x1, asam mefenamat 500 mg 3x1. Tramadol, paracetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin. -Kontrasepsi Oral Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi dosis rendah. Kombinasi pil kontrasepsi apa pun dalam dosis rendah yang mengandung 30-35 ug etinilestradiol yang digunakan secara terus-menerus bila menjadi efektif terhadap penanganan endometriosis. Tujuan pengobatan adalah induksi amenorea dengan pemberian berlanjut selama 6 - 12 bulan. Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri panggul dirasakan oleh 60 - 95% pasien. Tingkat kambuh pada tahun pertama terjadi sekitar 17 – 18%. Kontrasepsi oral merupakan pengobatan dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan lainnya dan bisa sangat membantu terhadap penanganan endomatriosis jangka pendek, dengan potensi keuntungan yang bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
10
“Endometriosis”
Progestin Progestin merupakan pilihan utama terhadap penanganan endometriosis karena efektif mengurangi rasa sakit seperti danazol, lebih murah tetapi mempunyai efek samping lebih ringan daripada danazol. Hasil dari pengobatan telah dievaluasi pada 3-6 bulan setelah terapi. Medroxyprogesterone Acetate (MPA) adalah hal yang paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri. Dimulai dengan dosis 30 mg per hari dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan respon klinis dan pola perdarahan. MPA 150 mg yang diberikan inramuskuler setiap 3 bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada endometriosis. Pengobatan dengan suntikan progesteron. Pemberikan suntikan pregesteron depot seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Efek samping progestin adalah peningkatan berat badan, dan nausea. Pilihan lain dengan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mengandung progesteron, levonogestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat digunakan untuk pengobatan endometriosis. Strategi pengobatan lain meliputi didrogestron (20-30 mg perhari baik itu terus menerus maupun pada hari k 5-25) dan lynesterol 10 mg per hari. Efek samping progestin meliputi nausea, bertambahnya berat badan, depresi, nyeri payudara.
Danazol Danazol suatu turunan 17 alpha ethinyltestosteron yang menyebabkan level androgen dalam jumlah yang tinggi dan estrogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan berkembangnya endometriosis dan timbul amenorea yang diproduksi untuk mencegah implan baru pada uterus sampai ke rongga peritoneal.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
11
“Endometriosis”
Cara praktis pengunaan danazol adalah memulai perawatan dengan 400-800 mg per hari, dapat dimulai dengan memberikan 200 mg dua hari sehari selama 6 bulan. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk mencapai amenorea dan menghilangkan gejala-gejala. Tingkat kambuh pada endometriosis tejadi kira-kira 5-20% per tahun sampai ketingkat kumulatif yaitu 40% setelah 5 tahun. Efek samping yang paling umum adalah peningkatan berat badan, akne, hirsutisme, vaginitis atrofik, kelelahan, pengecilan payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar LDL kolesterol, dan kolesterol total.
2.6.2 Penanganan Pembedahan pada endometriosis Tujuannya untuk menangani efek endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul, subfertilitas,dan kista. Pembedahan`bertujuan menghilangkan gejala, meningkatan kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju kekambuhan. -Penanganan Pembedahan Konservatif Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat sarang endomeriosis dan melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter ataupun laser. Sementara iu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter dinding kista, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang sehat. -Penanganan Pembedahan Radikal Dilakukan dengan histeroktomi dan bilateral salfingo-oovorektomi. Biasanya pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormon.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
12
“Endometriosis”
-Penanganan Pembedahan Simtomatik Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy aau LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation).
2.7 Prognosis Endometriosis sulit disembuhkan kecuali perempuan sudah menopause. Setelah diberikan penanganan bedah konservatif angka kesembuhan 10-20% per tahun. Endomtriosis sangat jarang menjadi ganas.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
13
“Endometriosis”
Bab 3 KESIMPULAN Endometriosis merupakan suatu kelainan ginekologik jinak yang sering diderita oleh perempuan usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stroma endometrium diluar letaknya yang normal. Endometriosis sering didapatkan pada peritoneum pelvis tetapi juga didapatkan pada ovarium, septum rektovaginalis, ureter, tetapi jarang pada vesika urinaria, perikardium, dan pleura. Penyakit ini pertumbuhannya bergantung pada hormon estrogen. Insiden endometriosis sulit dikuantifikasi oleh karena sering gejala asimtomatis dan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis sensitifisitasnya rendah. Perempuan dengan endometriosis bisa tanpa gejala, subfertil atau menderita rasa sakit pada daerah pelvis terutama waktu menstruasi (dismenorea). Diagnosis endometriosis dibutuhkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat pula.
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
14
“Endometriosis”
DAFTAR PUSTAKA
Kepaniteraan Ilmu Kandungan dan kebidanan RSUD Kudus Periode : 14 Desember - 20 Februari 2016
15