Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
Ekonomi Politik1 oleh Aulia Djatnika Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
Ekomomipolitik adalah ilmu sekaligus pendekatan yang bersifat multidisiplin dalam ilmu sosial yang berbasis pada dua sub disiplin, yakni ekonomi, dan politik. Pendekatan eoknomi politik, akan sangat banyak berbicara tentang konflik, yang kerangka konseptual untuk analisisnya banyak disumbangkan dengan sosiologi. Ekonomi politik juga akan sangat sulit sekali mengesampingkan pendekatan sejarah karena sulit mengesampingkan proses sosial yang kompleks dan panjang dalam sejarah. Sub disiplin pertama dari ekonomi politik, adalah ilmu politik. Ilmu politik, adalah bermacam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan tersebut (Buriarjo, 2004, p. 8). Konsep pokok dalam ilmu politik, adalah negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan alokasi distribusi (Buriarjo, 2004, p. 9). Konflik politik, adalah manifestasi dari ketidakpuasan terhadap pembagian kekuasaan atau cara penggunaan kekuasaan (Chaniago, p. 2). Secara n ormatif, ukuran kemajuan yang digunakan adalah sejauh mana penggunaan konsensus dalam penyelesaian konflik. Sedangkan secara kelembagaan, sejauhmana kelembagaan berperan dalam penyelesaian konflik (Chaniago, p. 2). Sub disiplin selanjutnya dari ekonomi politik, adalah ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi, mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam menentukan pilihan untuk menggunakan sumberdaya yang langka, dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya (Manurung, 2004, pp. 23). Ilmu ekonomi, dibagi menjadi dua, yaitu, makroekonomi (proses ekonomi keseluruhan dan hasil agregat yang dicapainya dalam level negara) dan mikroekonomi ( proses ekonomi yang 1
Disusun dari kumpulan tugas review, Matakuliah Ekonomi Politik. Perkuliahan Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ekonomi Politik || Page 1 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
terjadi di tigkat individu, pribadi, perorangan, rumahtanga atau perusahaan) (Manurung, 2004, pp. 10-11). Hubungan makroekonomi dan mikroekonomi, dapat terlihat pada perilaku ekonomi mikro, yang tidak terlepas dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan di tingkat ekonomi makro, dan sebaliknya (Chaniago, p. 4). Selanjutnya, hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik, terintegrasi dalam ekonomi politik. Kajian perspektif dari ekonomi politik, salah satunya adalah dengan melakukan upaya mengukur motif berpolitik dengan menggunakan indikator politik dan ekonomi sekaligus (Chaniago, p. 5). Ekonomi, baik mikro maupun makro, tidak dapat terlepas dari masalah politik. Terdapat dua pemikiran dalam mengkaji ekonomi politik, asumsi rasional, mengasumsikan bahwa seseorang yang memutuskan pilihan politik didasari oleh keinginan memaksimalkan kepuasannya dengan menggunakan logika perilaku individu menurut teori ekonomi pasar dan mahzab liberalisme; selanjutnya adalah asumsi teoritis, yaitu tindakan manusia banyak ditentukan oleh kondisi diluar dirinya, seperti tuntutan kolektif, sistem budaya yang kurang rasional, atau karena kendali struktur (Chaniago, p. 6). Namun perlu diperhatikan, bahwa istilah new political economi, adalah pendekatan yang memperlihatkan ciri khusus untuk membedakannya dengan pendekatan lain, dalam ekonomi politik. Jadi, pendekatan ini, bukanlah bentuk ilmu baru dari ilmu ekonomi politik. Contoh Kasus: Thailand Di thailand pada bulan november tahun 1977, perdana menteri thailand Thanin Kraivichien, dikudeta oleh lawan politiknya. Setelah kraivichien berhasil dijatuhkan, lawan politiknya, Kriangsak Chomanan, menjadi perdana menteri. Pada masa jabatannya tersebut, pada tahun 1977 kemudian ia menerapkan kebijakan ekonomi bebas yang menyebabkan perkembangan ekonomi yang luas di negara tersebut. Kasus diatas menjadi kasus ekonomi politik, karena Chomanan menggunakan kekuatan politiknya untuk mengglingkan lawan politiknya, berkuasa lalu menerapkan kebijakan yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi di negara tersebut.
Ekonomi Politik || Page 2 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
Perjalanan Ekonomi Politik Dalam berbagai perkembangan, ekonomi politik terus dijelaskan dan diperbaharui. Pada awalnya, ekonomi politik merupakan kaitan antara fakta produksi, keuangan dan perdagangan kebijakan pemerintah dibidang moneter, fiskal dan komersial (Taylor, 1966, p. 231). Perspektif awal tentang ekonomi politik adalah, meningkatkan kekayaan masyarakat lewat negara dengan cara mengatur masyarakat itu sendiri (Lane, 1994, p. xi). Selanjutnya, menurut smith, ada dua tujuan dari ekonomi politik, yaitu: menciptakan suatu sumber pendapatan atau swasembada bagi masyarakat, atau membantu mereka dalam mencari pendapatan dan mengupayakan swasembada; dan selanjutnya untuk menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik (Smith, 1976, p. 138). Pada perkembangan selanjutnya, ekonomi politik berusaha merumuskan cara bagaimana memperkaya rakyat sekaigus pemerintah (Smith, 1976, p. 138). Kriteria identifikasi dari ekonomi politik adalah ada tidaknya uraian tentang interaksi sistem antara ekonomi dan politik dalam teori tersebut. Interaksi yang dimaksudkan adalah, kausalitas antar proses (deterministik), hubungan timbal balik (interaktif), dan perilaku yang terus menerus (Lane, 1994, p. xiv). Terdapat banyak pendekatan atas analisis interaksi ilmu politik. Salah satunya adalah pendekatan marxis atau neomarxis. Pendekatan ini bersifat holistik, dan menekankan pada pentingnya aspek makro dari sistem ekonomi dan sistem politik, antara lain model ketergantungan, model sistem dunia, dan model negara (Lane, 1994, p. xv). Ekonomi politik, dilain sisi melahirkan sejumlah hipothesis yang menjelaskan bagaimana ekonomi dan politik dapat berkaitan satu sama lain. Hipothesis kelimpahan ekonomi, menjelaskan: kemakmuran atau kelimpahan ekonomi merupakan syarat keberadaan kehidupan demokrasi; Teori yang menonjolkan arti penting politik, menyatakan bahwa politik itu menentukan output kebijakan; Teori lain, yaitu teori determinisme, berpendapat bahwa output kebijakan ditentukan oleh tingkat kemakmuran; Yang terakhir, hipothesis pertumbuhan ekonomi, yang menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi itu ditentukan tidak hanya oleh faktor ekonomi, tapi juga oleh faktor sosial-politik (Lane, 1994, p. xvi). Pada dasarnya, pemahaman mengenai interaksi dan keterkaitan antara sistem politik dan sistem ekonomi di suatu negara hanya bisa terwujud jika kita sudah berhasil mengidentifikasikan Ekonomi Politik || Page 3 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
struktur sistem ekonomi dan politik berikut segenap karakteristiknya (Lane, 1994, p. xvii). Terdapat banyak pola perkembangan yang selalu berubah pada suatu negara, yaitu: tema pembangunan politik, yang menawarkan perspektif yang menarik untuk menganalisis negara berkembang, mengandung bias teknologis, dan mengesankan seolah-olah semua negara harus membangun agar menjadi negara maju yang demokratis (ala barat) dan sekaligus kapitalis; dan tema modernisasi, yang mengandung hubungan sebab-akibat antara pembangunan sosi-ekonomi dan pembangunan politik. Dari banyak pola dan teori tersebu, sistem ekonomi dunia dikelompokkan menjadi dua kategori pokok: sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi terencana. Ada banyak faktor politik yang mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi di suatu negara, yaitu pertumbuhan investasi, pembangunan ekonomi, kekuatan sosia, kebijakan pemerintah dan institusi politik, serta sistem ekonomi politik seperti sistem kapitalis murni atau desentralistik, sistem etatisme kapitalis, sistem kapitalis campuran dan sistem kapitalis murni (Lane, 1994, p. xxiv).
Negara, Pasar dan Pertumbuhan Ekonomi Review kali ini, akan membahas tentang bab 7 dan 9, tulisan Jan-Erik Lane dan Svante Ersson dalam Ekonomi Politik Komparatif. Untuk mempelajari hubungan ekonomi politik secara praktis, Lane dan Ersson melakukan penelitian terhadap 78 negara di dunia dengan beragam karakteristik (Lane, 1994, p. 237). Salah satu yang diteliti adalah peran antara negara dan pasar dalam perekonomian terutama dalam penyediaan barang publik. Bagi Lane dan Ersson, politik merupakan determinan penting dalam pemilihan mendasar antara pasar dengan negara (Lane, 1994, p. 233). Salah satu determinasi politik yang sangat berpengaruh adalah kebijakan yang dihasilkan melalui pertimbangan politik, yang ternyata juga tidak dapat terlepas dari pertimbangan ekonomis. Lane dan Ersson menjelaskan bahwa dalam hal pertumbuhan ekonomi, Hukum Wagner -semakin tinggi tingkat kemakmuran suatu negara, maka akan semakin besar belanja pemerintahnya- tidak dapat dipergunakan. Terdapat beberapa aliran yang dapat menentukan peran negara atau pasar dalam sektor ekonomi. Pertimbangan pertama adalah Perubahan social yang dapat turut mengubah struktur sosial yang berarti mengubah demografi secara luas. Yang harus terus di pantau dari berubahan sosial adalah pengembangan kebijakan publik yang berkaitan dengan pengadaan barang publik. Ekonomi Politik || Page 4 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
Aliran yang lebih mempertimbangkan dampak politik, berupa ideologi dan tingkat institusionalisasi, seperti belanja pemerintah atau keterbukaan ekonomi. Lane dan Ersson menyimpulkan bahwa pemerintah atau pasar dapat mengalokasikantidak hanya barang publik karena ditentukan oleh kapasitas dan tingkat modernitas dari negara tersebut. Dalam negara modern yang memiliki institusionalisasi baik, pemerintah akan lebih mudah menentukan pilihan, sedangkan dalam negara berkembang atau negara yang ada dalam proses nation building, peran pemerintah akan sangat menentukan alokasi barang, baik publik maupun semi publik. Pertumbuhan Ekonomi Dalam berbagai kasus, tingkat pertumbuhan ekonomi sering dianggap berhubungan erat dengan tingkat kemakmuran negara. Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari fenomena pembangunan yang lebih umum atau luas yang secara strategeis dipengaruhi oleh institusi-intitusi dan perilaku politik (Lane, 1994, p. 275). Namun, Penelitian Lane dan Ersson menyimpulkan bahwa tingkat kemakmuran negara tidak menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara makmur, karena proporsi investasi di negara makmur sudah memadai, tenaga kerja sudah cukup, sehingga ekspansi ekonomi tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan oleh Lane dan Ersson, bahwa peningkatan investasi secara tajam selalu ditemui di negara yang pertumbuhan ekonominya pesat, terutama di negara Dunia Ketiga (Lane, 1994, p. 283). Faktor politik yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan dan iklim politik. Kebijakan yang dibuat harus mampu mendorong terjadinya investasi serta iklim politik harus mendukung. Selain itu, faktor politik lainnya yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi, yaitu sklerosa institusional, atau kekakuan institusi. Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata bisa didikte pemerintah (Lane, 1994, p. 290). Di negara-negara berkembang sekalipun, peran pemerintah hanya sampai pada perilaku investasi dan besarannya. Mekanisme alokasi sumber daya serta distribusinya dalam rangka investasi tersebut, kemudian akan melibatkan pasar atau Negara, atau memerlukan peran keduanya.
Ekonomi Politik || Page 5 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
Teori Perubahan Kelembagaan Seperti halnya interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan, sistem kelembagaan tidaklah statis melainkan dinamis. Perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi yang akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan, dan perubahan kelembagaan yang sengaja di disain untuk mempengaruhi dan mengatur kegiatan ekonomi. Perubahan kelembagaan tidak dapat terlepas dari proses transfomasi permanen yang merupakan bagian dari pembangunan dan rekayasa sosial yang mungkin dilakukan sebagai cara untuk mengubah struktur ekonomi, politik, hukum dan budaya agar berjalan kearah yang diharapkan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumberdaya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Tantangan mendasar untuk menciptakan kelembagaan yang efisien, adalah bagaimana menyingkirkan aspek informal dan menciptakan serta merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan yang efisien. Menurut North, karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan adalah interaksi, kompetisi, kerangka kelembagaan, persepsi, dan cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks dari kelembagaan itu sendiri. Perubahan kelembagaan, sesungguhnya terjadi bukan hanya karena kelangkaan –bukan hanya keterbatasan sumberdaya (ekonomi) yang tersedia tapi juga kebijakan- dan perilaku individu yang sulit ditebak. Perubahan kelembagaan dapat pula muncul dari perubahan tuntutan pemilih (dalam hal ini masyarakat) atau perubahan kekuasaan pemasok kelembagaan (pemerintah). North percaya, terdapat dua faktor utama untuk memahami dinamika perunahan kelembagaan, yaitu perubahan kelembagaan sebagai suatu hubungan simbiosis, dan perubahan kelembagaan sebagai proses umpan balik. Terdapat dua teori untuk menganalisis perubahan kelembagaan. Teori Naif, adalah teori yang memfokuskan pada hasil perubahan kelembagaan dan efisiensi dapat muncul secara otomatis walau akhirnya semu. Pendekatan ini melihat perubahan kelembagaan terbentuk dari aspek biaya dan manfaat dan meyakini bahwa kekuatan motif dapat membangun kelembagaan yang lebih efisien. Teori Kelompok Kepentingan, disisi lain menekankan pada proses yang mendorong kearah perubahan dari kelembagaan tersebut. Model perubahan kelembagaan dapat di denskripsikan sebagai proses interaksi antara dua entitas, yakni wirausahawan ekonomi (pengusaha) dan Ekonomi Politik || Page 6 of 7
Aulia Djatnika || Universitas Indonesia
wirausahawan politik (pemerintah). Pada negara yang sedang berkembang, terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Di tingkat mankro ekonomi, terdapat lima isu penting yang sering ditelaah, yaitu kontrol terhadap inflasi, pengurangan anggaran defisit, stabilisasi nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dalam level mikro, isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi, pengembangan pasar modal dan mempromosikan kompetisi. Target dari perubahan kelembagaan mikro adalah mencoba menurunkan biaya transaksi. Tantangan bagi reformasi ekonomi adalah munculnya penunggang gelap, kebijakan yang diasumsikan sebagai hal yang didukung oleh kelompok pemenang, dan biaya reformasi yang hanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu saja. Dalam konteks ini, marx berkesimpulan bahwa selamanya suprastruktur tidak akan pernah dapat mengikuti perubahan dari infrastruktur. Jadi, perubahan kelembagaan dapat dipetakan dalam dua tahapan, peningkatan pendapatan, dan pasar tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi. Selain itu, koordinasi organisasi juga dapat dikerjakan melalui penguatan kapasitas pengetahuan dan informasi yang dapat menekan pasar untuk bekerja secara sempurna.
Daftar Bacaan Buriarjo, M. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Chaniago, A. A. (n.d.). Pengantar: Mengenal Ekonomi Politik. Lane, J.-E. d. (1994). Ekonomi Politik Komparatif (Terj.). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Manurung, M. d. (2004). Pengantar Ilmu Ekonomi: Mikroekonomi dan Makroekonomi. Jakarta: FEUI. Smith, A. (1976). Systems of Political Economy. Taylor. (1966). A New Dictionary of Economics.
Ekonomi Politik || Page 7 of 7