Ekonomi Kerakyatan Dan Politik Keberpihakan

  • Uploaded by: ari nabawi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ekonomi Kerakyatan Dan Politik Keberpihakan as PDF for free.

More details

  • Words: 931
  • Pages: 3
Ekonomi Kerakyatan dan Politik Keberpihakan Oleh Thomas Koten Isu ekonomi, khususnya ekonomi kerakyatan, telah menjadi sebuah tema kampanye pilpres 2009. Adalah tema kampanye yang dikumandangkan dengan sangat keras dan bergelora oleh pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo (Mega-Pro). Entah apa yang dimaksudkan dengan ekonomi kerakyatan, tidak diketahui secara jelas atau masih cukup membingungkan karena dipahami secara terbatas. Oleh para ahli ekonomi, dikatakan tidak ada dalam literatur ekonomi. Jadi, mungkin ini hanya sebagai suatu rumusan istilah atau “paham” ekonomi yang memberi arti keberpihakan kepada kaum miskin, rakyat kecil atau masyarakat kebanyakan. Mencuatnya gagasan ekonomi kerakyatan yang tentu bertujuan sebagai sebuah tawaran bagi kemakmuran masa depan negara ini, setidaknya terlontar dari ide atau cara berpikir bahwa pembangunan itu sesungguhnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi dalam realitasnya, rakyat kebanyakan, khususnya rakyat kecil tidak menikmatinya. Bahwasanya, pembangunan yang menyejahterakan rakyat harus ditempatkan ke dalam inti masyarakat, yaitu masyarakat banyak yang dinamis, namun kurang beruntung dalam memperoleh pendapatan riil dan ikut mencicipi hasil-hasil pembangunan. Persoalannya, ekonomi kerakyatan yang bagaimana dan kaum miskin atau rakyat kecil yang mana, serta bagaimana bentuk keberpihakan negara lewat kebijakan ekonomipolitik yang hendak diterapkan? Realitas rakyat kecil Di tengah bergeloranya pengumandangan “ekonomi kerakyatan”, tentu diharapkan tidak hanya sebagai slogan politik yang disodorkan untuk menarik simpati rakyat dalam upaya memenangkan pilpres. Artinya, suatu paham ekonomi yang bukan hanya diangkat untuk melawan ekonomi yang kurang berpihak kepada rakyat kecil yang belakangan ini mencuat lewat paham neoliberalisme, melainkan suatu paham sekaligus kebijakan ekonomi politik yang benar-benar berpihak kepada rakyat kecil, dus menciptakan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat, yang selama ini kurang mencicipi hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian, ekonomi kerakyatan diharapkan sebagai sebuah “paham” dengan semangat baru yang dirumuskan dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Tujuannya, agar kelompok ini dapat ikut menikmati pertumbuhan ekonomi, atau “kue pembangunan”. Akhirnya, mereka pun dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pembangunan negara dan terlibat dalam penciptaan kemakmuran bangsa. Persoalannya, wajah atau sosok kaum miskin, rakyat kecil yang bagaimana yang ada di negara ini, dan apa latar belakang kemiskinan mereka. Pertama, kemiskinan di negeri ini, termasuk di negara mana pun di dunia, merupakan akibat dari struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat, bangsa dan negara. Maksudnya, kemiskinan bukan akibat kehendak jelek orang-orang miskin, tetapi akibat strukturisasi proses-proses ekonomi dan politik. Sehingga, kemiskinan-kemiskinan yang ada di negara ini sebagaimana juga di negara-negara lain, disebut sebagai kemiskinan struktural. Dan

untuk membasmi kemiskinan, diperlukan kebijakan-kebijakan ekonomi politik yang sanggup membongkar struktur-struktur yang adil itu, agar dapat terbangun strukturstruktur yang lebih adil. Kedua, kemiskinan di Indonesia juga sebagai akibat dari mentalitas bangsa Indonesia sendiri. Karena, dilihat dari sumber daya alam, rakyat Indonesia tidak pantas menjadi miskin. Banyak hutan belukar dan tanah kosong nan subur, terbentang luas di negeri ini, yang tidak diproduktifkan. Terlepas dari segala persoalan yang menyangkut tanah, jelas bahwa tanah di negeri ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, kemiskinan di Indonesia dapat dikatakan hanyalah kamuflase dari keterpurukan mentalitas bangsa sebagai bagian dari pengembangan mitos pribumi malas. Mungkin karena sejak semula bangsa ini dididik menjadi bangsa lebah atau semut yang rajim dan terus beraktivitas untuk memperoleh kemakmuran, melainkan sebagai bangsa kuli yang selalu tunduk dan pasrah, atau sebagai nyamuk yang suka menghisap darah dan menyebarkan penyakit, atau sebagai bangsa lintah yang selalu menghisap darah korban, dan bekas gigitannya tidak henti-hentinya meneteskan darah. Namun, persoalannya, kemiskinan sebagai akibat dari mentalitas bangsa kuli ini mencuatkan persoalan baru yang lebih parah lagi tatkala petani dan hasil-hasil pertanian tidak didistribusikan secara adil alias kalah dalam persaingan pasar bebas. Realitas sosialekonomi telah membuktikan pula bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah dijalankan selama dua dasawarsa terakhir telah menggiring rakyat untuk tetap berkembang dalam kemiskinannya. Semangat ekonomi liberal yang sudah dijalankan secara sistematis yang mengerahkan ekonomi pada mekanisme pasar telah meminggirkan masyarakat petani, yang berujung pada ketidaktertarikan masyarakat dan bangsa pada kehidupan bertani. Ini yang membuat tali-temali persoalan yang sulit terpecahkan bagi kaum miskin dus persoalan kemiskinan riil bagi negeri ini. Kiblat utama kebijakan Persoalan lebih lanjut, adalah bagaimana ekonomi kerakyatan ini menjelma menjadi sebuah kebijakan ekonomi politik yang diterapkan negara dengan berkiblat kepada kebebasan rakyat dari tali-temali struktural yang senantiasa mencekiknya, dan pengembangan mentalitas bangsa yang membuatnya menjadi miskin tersebut? Pembebasan dalam konteks ini tentu menuntut partisipasi seluruh rakyat dalam pembangunan dapat dimungkinkan berkembang. Artinya, perlu perombakan struktur yang selama ini tidak adil, sehingga dimungkinkan terciptanya keadilan karena semua anggota masyarakat bangsa memiliki peluang yang sama untuk mencapai kesejahteraannya. Di samping itu, adalah diperlukan penggodokan mentalitas bangsa kuli menjadi bangsa semut atau lebah agar bisa lebih kreatif dalam usaha mencapai kemakmurannya. Dalam hal ini mutlak didukung oleh keterlibatan negara secara penuh dalam mengatur mekanisme pasar agar petani tidak terpinggirkan dalam persaingan bebas yang akhirnya semakin banyak warga yang tergerak untuk menjadi petani yang handal. Maka, program ekonomi kerakyatan yang digelorakan saat ini pun mencapai sasarannya, bukan hanya mengawang dalam retorika belaka. Artinya, negara dalam penerapan ekonomi kerakyatan bukan hanya sebagai pencipta dan penggalang ekonomi rakyat seperti membuka areal pertanian yang seluas-

luasnya, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah serta perbaikan nasib buruh dan nelayan, tetapi juga langsung sebagai pembimbing pasar. Karena pilihan untuk menyerahkan proses ekonomi ke dalam mekanisme pasar merupakan bentuk dari pengabaian tanggung jawab negara atas hak ekonomi warga yang miskin. Ini pula yang merupakan makna dari praksis demokrasi sebagai bentuk perwujudan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak akonomi rakyat. Demokrasi biarbagaimanapun harus dikembangkan dan dimaknai secara utuh, yaitu pemenuhan hak sosial dan politik serta hak ekonomi sehingga kesejahteraan dapat tercipta Maka, ekonomi kerakyatan bukan hanya dikatakan sebagai sebuah slogan politik yang muluk demi menggugah simpati rakyat, tetapi secara komprehensif akan benarbenar tereralisasi dalam praksis politik keberpihakan pada kehidupan rakyat kecil. Penulis, Direktur Social Development Center

Related Documents


More Documents from ""