Nama : Syarifah Makshum Hidayattullah NIM : B200164001 A. Hakekat dan makna ilmu ekonomi islam Ilmu ekonomi islam merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat islam representatif dalam masyarakat muslim modern, tentunya berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Berdasarkan komposisinya, ia bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut prepektif islam. Ekonomi islam sebagai ilmu ekonomi didasarkan atas sumber hukum islam : Al Qur’an dan Al Hadits. Pada hakikatnya ekonomi Islam adalah metamorfosa nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur persoalan ubudiyah atau komunikasi vertikal antara manusia (makhluk) dengan Allah (khaliq)nya. Dengan kata lain, kemunculan ekonomi Islam merupakan satu bentuk artikulasi sosiologis dan praktis dari nilai-nilai Islam yang selama ini dipandang doktriner dan normatif. Dengan demikian, Islam adalah suatu dien (way of life) yang praktis dan ajarannya tidak hanya merupakan aturan hidup yang menyangkut aspek ibadah dan muamalah sekaligus, mengatur hubungan manusia dengan rabb-nya (hablum minallah) dan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum minannas). Ilmu ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumbersumber daya langka yang seirama dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama (li hifdz al din), jiwa manusia (li hifdz al nafs), akal (li hifdz al 'akl), keturunan (li hifdz al nasl), dan menjaga kekayaan (li hifdz al mal) (Syatibi, tt. 12) tanpa mengekang kebebasan individu (Chapra, 2001). Salah satu definisi yang mengakomodasi unsur-unsur maqasyid asy syariah di atas adalah definisi ekonomi Islam yang dirumuskan Yusuf al Qardhawi. Ia mengatakan ekonomi Islam memiliki karakteristik tersendiri. Dan keunikan peradaban Islam yang membedakannya dengan sistem ekonomi lain. Ia adalah ekonomi rabbaniyah, ilahiyah (berwawasan kemanusiaan), ekonomi berakhlak, dan ekonomi pertengahan. Sebagai ekonomi ilahiyah, ekonomi Islam memiliki aspek transendensi yang sangat tinggi suci (holy) yang memadukannya dengan aspek materi, dunia (profanitas). Titik tolaknya adalah Allah dan tujuannya untuk mencari fadl Allah melalui jalan (thariq) yang tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah. Ekonomi Islam seperti dikatakan oleh Shihab (1997) diikat oleh seperangkat nilai iman dan ahlak, moral etik bagi setiap aktivitas ekonominya, baik dalam posisinya sebagai konsumen, produsen, distributor, dan lain-lain maupun dalam melakukan usahanya dalam mengembangkan serta menciptakan hartanya. Sebagai ekonomi kemanusiaan, ekonomi Islam melihat aspek kemanusiaan (humanity) yang tidak bertentangan dengan aspek ilahiyah. Manusia dalam ekonomi Islam merupakan pemeran utama dalam mengelola dan memakmurkan alam semesta disebabkan karena kemampuan manajerial yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Artinya, Allah telah memuliakan anak Adam dan mendesainnya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan desain itu pula Allah menyertakan kepada manusia orientasi spiritual (ruh al ilahiyat) sebagai aspek yang sangat fundamental dalam diri manusia yang disebut dengan fitrah
manusia sebagai "al makhluk al hanief" atau mahluk oleh Syed Heidar Nawab Naqvi (1981) disebut "Teomorfis". Secara epistemologis, ekonomi islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu; Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan hartabenda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannyaadalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang digunakan dalamproses produksi barang dan jasa. Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni: 1. 2.
3. 4.
Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. AlBaqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10); Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183) Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32); Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
B. Dasar – dasar etika ekonomi islam 1. Kesatuan (Unity) Konsep kesatuan disini adalah kesatuan sebagaimana terefleksi dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek–aspek kehidupan muslim baik dalam ekonomi, politik, sosial menjadi satu. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal yang memadukan segi politik, sosial dan ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan yang homogen dan konsisten dari dalam dan luar sekaligus terpadu dengan alam luas. Konsep tauhid, aspek sosial, ekonomi, politik dan alam, semuanya milik Allah, dimensi vertikal menghindari diskriminasi di segala aspek dan menghindari kegiatan yang tidak etis. 2. Keseimbangan (Keadilan) Keseimbangan (keadilan) menggambarkan dimensi horizontal jujur dalam bertransaksi, tidak merugikan dan dirugikan sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan”. (Qs. Al Ma’idah : 8)
3. Kehendak Bebas (Free will) Manusia dianugerahi kehendak bebas untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati atau melanggarnya. Dengan demikian kebebasan kehendak berhubungan erat dengan kesatuan dan keseimbangan. 4. Pertanggung jawaban (Responsible) Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawabkan tindakannya, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: ”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. An Nisa’ : 85).
C. Dasar – dasar hukum ekonomi Islam 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir melalui malaikat Jibril dari mulai surat Al-Fatihah diakhiri surat An-Nas dan membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan dasar hukum ekonomi Islam yang abadi dan asli, dan merupakan sumber serta rujukan yang pertama bagi syari'at Islam, karena di dalamnya terdapat kaidah - kaidahyang bersifat global beserta rinciannya. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya: “Barang siapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. Ayat di atas menyatakan bahwa al-Qur'an menjelaskan hukum-hukum syara’ itu secara keseluruhan, karena penjelasan-penjelasan as-Sunnah berasal dari al- Qur'an. Al-Qur'an sebagai sumber pokok bagi semua hukum Islam telah menjelaskan dasar-dasar hukum, seperti memerintahkan kepada manusia agar memenuhi janji (perikatan) dan menegaskan halalnya jual beli beserta haramnya riba. 2. As – Sunnah As- Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti yang sama, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa ucapan, perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan sangat tipis sekali, as-Sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja, sedang AlHadits disandarkan bukan saja kepada Nabi Muhammad SAW. akan tetapi kepada para sahabat Nabi. As-Sunnah7 merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur'an, dasar pokok as-Sunnah sebagai sumber hukum, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya”. 3. Ijtihad Ijtihad adalah merupakan semua kemampuan dalam segala perbuatan, guna mendapatkan hukum syara’ dan dalil terperenci dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan). Dasar hukum ditetapkannya ijtihad sebagaimana firman Allah SWT : Artinya:“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”. Lapangan ijtihad yaitu masalah-masalah yang belum diatur hukumnya secara pasti oleh al-Qur'an dan as-Sunah. Maka dalam masalah-masalah yang hukumnya sudah diatur secara pasti dan jelas dalam nash al-Qur'an dan as-Sunah tidak perlu lagi berijtihad, melainkan diwajibkan untuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam konsep Islam urusan mu’amalah ini harus berpedoman pada sumbersumber hukum yang telah ditetapkan di atas. Al-Qur'an telah memberikan prinsipprinsip pokok tentang hubungan manusia dengan harta benda sekelilingnya, yaitu dalam tiga hal : a. Cara mendapatkan hak milik atas harta benda (Qs Al-Baqarah : 188) b. Penegasan tentang fungsi hak milik (Qs Adz-Zariyat : 19) c. Kewajiban membelanjakan harta benda (Qs At-Taubah : 34) 4. Ijma’ dan Qiyas Ijma’ ialah kebulatan pendapat Fuqoha Mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Rasulallah SAW.19 Dan merupakan salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al-Qur'an dan Hadits). Dasar ditetapkannya ijma sebagai hukum yang ketiga setelah al-Qur'an dan as-sunah, yaitu dalam surat An-Nisa [4] ayat 115:
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” Qiyas adalah mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan antara keduanya yang disebut illat. Qiyas merupakan sumber hukum yang keempat setelah al-Qur'an, As-sunnah dan Ijma’. Dasar hukum ditetapkannya qiyas yaitu surat an-Nisa [4] ayat 59:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
D. Kaidah perilaku ekonomi dalam islam Seperti yang diketahui bahwasanya perilaku ekonomi kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi seperti konsumsi , produksi serta distribusi . Berikut merupakan perilaku ekonomi dalam islam menurut Mannan : 1. Konsumsi Adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan, kebutuhan konsumen merupakan insentif pokok dari kegiatan ekonomi mereka. Menurut Mannan perbedaan utama antara ekonomi islam dengan ekonomi moden dalam hal konsumsi terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang, dalam islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dalam pola konsumsi modern. Menurutnya dalam islam kebutuhan itu sangat sederhana, namun peradaban modern telah mengahancurkan pola kebutuhan yang sangat sederhan, dan cenderung pada pengukuran kesejahteraan seseorang terletak pada bermacam-macam kebutuhan yang sanggup ia penuhi dan upayakan. Sudah saatnya menurut Mannan etika ekonomi islam menjadi satu filter bagi manusia modern agar dapat mengurangi pemenuhan kebutuhan secara berlebihan dan luar biasa.
Artinya : Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS Al Mulk:15) Dalam pandangan Mannan, ada lima prinsip mengenai komsumsi yang harusdiperhatikan oleh seorang muslim, prinsip-prinsip itu adalah :
Prinsip keadilan, Prinsip kebersihan Prinsip kesederhanaan Prinsip kemurahan hati Prinsip moralitas
Disamping prinsip konsumsi, Mannan juga membicarakan mengenai skala prioritas dalam hal konsumsi, menurutnya skala prioritas dalam hal konsumsi adalah keperluan, kesenangan, kemewahan. Menurutnya memakai barang-barang mewah tidaklah salah, hanya saja dilakukan dengan se efisien mungkin sehingga tidak melanggar aturan-aturan dan prinsip konsumsi. Karena menurut Mannan larangan-larangan yang ada dalam islam sesungguhnya tidaklah mengekang kehidupan muslim secara kaku, tetapi sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku konsumen. 2. Produksi
Mannan berpendapat prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah kesejahteraan ekonomi, konsep kesejahteraan ekonomi dalam islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang di akibatkan oleh meningkatnya produksi dari barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada secara maksimum, baik manusia maupun benda, selanjutnya diiringi dengan perbaikan sistem produksi, ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan maksimal dengan usaha minimal namun dalam hal konsumsi tetap berpedoman pada nilai-nilai keislaman. Sistem produksi di negara muslim menurut Mannan tidak hanya menaruh perhatian pada volume produksi, tetapi juga menjamin terlibatnya tenaga maksimum dalam proses produksi, dan ini menjadi sebuah kecaman dinegara kapitalis karena proses produksi hanya mellibatkan sejumlah pemilik modal saja, sehingga menghaabat proses distribusi pendapatan yang berujung pada kesenjangan ekonomi. Disamping itu menurut Mannan, sistem produksi dalam sebuah negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria subyektif diukur dengan kesejahteraan material, sedangkan kriteria obyektif harus tercermin dalam kesejahteraan dari segi etika ekonomi Islam yang didasarkan pada perinth-perintah kitab suci Al-Quran maupun Sunnah Nabi. Hadits tentang Produksi : “ Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya “ (HR. Muslim).