Ekonomi Ibnu Chaldun.docx

  • Uploaded by: Arias
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ekonomi Ibnu Chaldun.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 21,712
  • Pages: 62
A. PENDAHULUAN Salah satu ajaran yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek kehidupan (muamalahiqati shodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar, ayat yang terpanjang dalam Al Qur’an justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu adalah ayat 282 dalam surat alBaqarah, yang menurut Ibnu ‘arabi ayat ini mengandung 25 hukum/masalah ekonomi . Pada masa kenabian & kekahalifahan, Islam menguasai semua bidang termasuk di dalamnya ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya, disisi lain ternyata abad kegelapan yang dialami oleh dunia barat ternyata berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia Islam. Pada masa tersebut adalah masa keemasan Umat Islam, dimana banyak ilmuan muslim yang menulis, meneliti, dan menghasilkan teori-teori ekonomi yang hasilnya hingga sekarang masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan . Beberapa ilmuan muslim yang berhasil menghasilkan karya fenomenal pada teori ekonomi diantaranya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rushd, Ibnu Kholdun, al-Ghazali dan masih banyak lagi. Pada pembahasan masalah ini Penulis akan lebih spesifik membahas mengenai pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun, dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian sekarang ini terutama perekonomian di Indonesia. B. PEMBAHASAN 1. Biografi Ibnu Khaldun Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Wali Ad-Din’ Abd Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn AlHasan Ibnu Al-Jabir, Ibnu Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Al-Rahman Ibn Khaldun. Ulama ini lahir di Tunisia pada tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 808 H/1406 M. Leluhurnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Mereka hijrah ke Spanyol pada abad ke delapan bersamaan gelombang penaklukan Islam di Semenanjung Andalusia. Bani Khaldun lahir dan tumbuh di kota Qaramunah di Andalusia. Disana ia menetap bersama kakeknya, Khalid bin Usman. Keluarga ini pertama kali dikenal dengan disebut-sebut setelah Daulah Muwahidin yang menguasai Andalusia lemah. Ayah Ibnu Khaldun seorang ulama yang ahli dalam ilmu agama. Banyak dintara keturunannya menjadi ulama terkemuka di Magribi dan Andalusia. Diantaranya adalah Umar bin Khaldun (wafat 3 abad sebelum lahirnya Ibnu Khaldun) yang terkenal dalam ilmu matematika dan astronomi. Seluruh nenek moyangnya merupakan orang-orang istana yang pandai dan mereka juga seorang ilmuwan yang bekerja di Istana Hafsid di Bone dan Tunisia. Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasti Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dari tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah]. Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu

Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis. Sejak kecil Ibnu Khaldun telah belajar menghafal Al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan lain dari guru-gurunya. Tempat belajar Ibnu Khaldun, yaitu masjid Al-Quba. Ayahnya adalah guru pertama yaitu kewajiban orang tua mengurus pendidikan anaknya sebaik mungkin. Kemudian Ibnu Khaldun mempelajari bahasa pada sejumlah guru kemudian ia belajar tentang hadits, fiqh, dan ilmu-ilmu rasional/filosofis yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi. Pendidikan formal tersebut hanya sempat ditempuh sampai usia 18 tahun karena ketika Ibnu Khaldun berusia 18 tahun terjadi 2 peristiwa penting yang menyebabkan berhenti belajar secara formal. Pada tahun 789 H/1349 M disebagian besar belahan timur dan barat terjangkit wabah penyakit pes ganas. Dalam bencana itu Ibnu Khaldun kehilangan orang tuanya dan sejumlah guru-gurunya. Dalam usia yang relatif muda Ibnu Khaldun telah menguasai berbagai disiplin ilmu Al-Aqliyyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf, dan metafisika). Dalam bidang fiqh dia berafiliasi ke mazhab maliki. Disamping itu dia tertarik pada ilmu-ilmu sosial termasuk ilmu pendidikan. Setelah itu, Ibnu Khaldun memasuki masa belajar mandiri, Ibnu Khaldun mendalami setiap disiplin ilmu yang berkembang pada saat itu disamping tugasnya sebagai diplomat, hakim agung, guru besar pada beberapa perguruan tinggi terkenal pada masa itu. Diantara jabatan yang pernah dipegangnya yaitu: Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai perdana mentri pada masa Dinasti Bani Hafidz yang berkuasa di Tunisia kemudian dia menjabat perdana mentri di Maroko pada masa dinasti Bani Marin yang berkuasa setelah itu dia menjabat sebagai penasehat Khalifah pada dinasti Abd Al-Wad di Al-Jazair. Selain itu Ibnu Khaldun juga merupakan seorang guru besar di Universitas Qasabah. Dengan demikian dia telah memadukan antara kegiatan ilmu dalam saat yang bersamaan. 2. Karya-karya Ibn Khaldun Banyak sekali karya Ibnu Khaldun, dan uraian karya karya beliau yang masih banyak dibahas para ahli sampai saat ini adalah: a. Al-I’bar Al-I’bar merupakan karya utama Ibnu Khaldun. Lengkapnya buku tersebut berjudul Al-I’bar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-Barbar wa man ‘Atsharahum min Dzawi al-Sultan al-Akbar. Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia: “Kitab I’tibar dan catatan sejarah terdahulu dan kemudian, tentang peristiwa bangsa arab, asing, dan barbar serta penguasapenguasa besar yang semasa dengan mereka”. Karena nama kitab tersebut begitu panjang, dalam berbagai referensi pada umumnya disingkat dengan sebutan kitab al-I’bar saja. Kitab ini diselesaikan Ibnu Khaldun ketika bermukin di Qal’ah Ibn Salamah, daerah Al-Jazair sekarang. Ditengah kesunyian padang pasir, ia memulai hidup baru. Ditempat itu ia menghabiskan waktunya selama empat tahun (776-780 H). Ia mengisolasi diri dari dunia politik dan berkonsentrasi menulis Al-I’bar sebagai suatu karya sosiohistoris yang terkenal. Beberapa penjelasan yang berkaitan dengan buku tersebut, baik isi, metode maupun karakteristiknya diutarakan sendiri oleh Ibnu Khaldun. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menulis: “Dengan buku ini, aku berusaha menyingkap tabir keadaan dari berbagai generasi. Aku menyusunnya dengan metode teratur. Dalam menyusun dan membagi bab-babnya aku

menggunakan metode yang tak pernah digunakan selama ini.” b. Muqaddimah Pada awalnya buku muqaddimah hanyalah merupakan muqaddimah (pendahuluan) dalam pengertian sesungguhnya yaitu suatu pendahuluan untuk buku utama al-I’bar, namun bagian ini kemudian dipisahkan dari bagian-bagian lain kitab al-I’bar hingga akhirnya menjadi karya yang berdiri sendiri, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan nama muqaddimah Ibnu Khaldun. Muqaddimah diselesaikan pada november 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut, Muqaddimah secara harfiyah berarti “pembukaan” atau “introduksi” dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku “The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persian and Barbers and Their Poweful Contemporaries.” Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsipprinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban (‘umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik. Yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan printis dari beberapa formula teori modern. c. Al-Ta’rif Al-Ta’rif merupakan buku autobiografi Ibnu Khaldun. Beliau menyelesaikan penulisan buku tersebut pada awal tahun 797 H. semula buku tersebut berjudul Al-Ta’rif Ibnu Khaldun Mu’alif Hadza Al-Kitab. Kitab ini kemudian direvisi ibnu Khaldun dan dilengkapi dengan hal-hal baru hingga akhir tahun 808 H, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Dengan demikian karya itu menjadi lebih tebal dan kemudian ia beri judul Al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun Muallif Hadza al-kitab wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan. Karya lainnya adalah berupa komentarnya terhadap beberapa buku, seperti Al-Burdah, dia juga mengikhtisarkan banyak karangan Ibnu Rusyd, Al-Muhassal karya Al-Razy, menyusun sebuah karya dibidang ushul fiqh dengan uraian yang benar-benar bermutu. Sebenernya masih banyak karya-karya Ibnu Khaldun, namun tidak sampai keterangan kita, antara lain Al-Syifa’ Al-Sa’il li tahzib al masa’il dan Lubab al-Muhassal fi Ushul al-din. 3. Cara Pemikiran Ibnu Khaldun Suatu ciri yang spesifik latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun adalah dilahirkan dari keluarga politikus dan sekaligus intelektual. Meskipun hukum-hukum realitas telah berpola di dalam kerangka pikir ilmiahnya, akan tetapi gagasan-gagasannya tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an sebagai akar pikir Islamnya. Kontruksi teoritiknya atas dasar observasi yang realitas juga berdasarkan pemikiran filosofit yang dijiwai Al-Qur’an. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam pengertian luas adalah hasil proses perkembangan yang terus menerus dari filsafat dan pemikiran Islam. Menurut beberapa penulis, Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghazali, menurut yang lainnya, Ibnu Khaldun adalah pengikut Ibnu Rusyd. Sementara lainnya lagi mengatakan Ibnu Khaldun sekaligus pengikut Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Dia mengambil dari Al-Ghazali permusuhannya terhadap logika aristoteles, pada saat yang sama mengambil sikap baik Ibnu Rusyd terhadap massa, dengan kombinasi yang unik, ia membangun teorinya yang modern.

Sebagaimana Al-Ghazali, Ibnu Khaldun menyerang filosof-filosof Hellenistik yang mencoba merekonsiliasi syarat dan wahyu dengan rasio dan filsafat. Orang merekonsiliasi umumnya adalah bahwa keduanya berbeda jauh, karena itu berbeda pula daya-daya dan metode-metode yang diterapkan untuk menjelaskan keduanya. Dalam hal ini menurut Ibnu Khaldun, para filosof mencoba mempertemukan (reconcile) sesuatu yang tidak dapat dipertemukan (isreconcilable). Akal (reason) tidak akan pernah menjangkau kebenaran-kebenaran spiritual, karena kebenarankebenaran spiritual itu bukanlah Objek (akal)nya. Sebagaimana halnya mata tidak mungkin menangkap suara, atau telinga tak mungkin menangkap cahaya. Semua kebenaran transendental hanya dapat diterima melalui kenabian bukan melalui akal. Dalam muqaddimah, Ibnu Khaldun menerangkan keterbatasan akal lewat diskusi masalahmasalah filsafat serta beberapa teori ilmu pengetahuan yang dianggapnya mempunyai kelemahan karena terlalu mengandalkan akal. Masih banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh akal. Yang tak dapat dijangkaunya itu bukan berarti tidak ada seperti soal-soal ketuhanan, eskatologi, kerohanian, wahyu dan kenabian. Meskipun demikian, akal dalam pandangan Ibnu Khaldun ini memang lebih radikal dari pada ahli fiqh. Akan tetapi, akal dalam pandangannya mempunyai daya yang tidak lebih besar dari wahyu. Dalam hal ini ia sejalan dengan al-kindi filosof muslim pertama, berpendapat agama dan filosof membahas persoalan yang sama: sedangkan perbedaan terletak pada sasaran yang dipergunakannya. Filsafat memperoleh kebenaran melalui wahyu yang ditutunkan pada nabi. Keduanya menghasilkan dalil-dalil yang kuat. Ibnu Rusyd menjelaskan penelitian akal tidak menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dibawa agama, sebab kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran tetapi sesuai dan saling memperkuat. Tampaknya dalam hal ini Ibnu Khaldun sepaham dengan Ibnu Rusyd, menurut Ibnu Rusyd filsafat itu benar dan Islam juga benar, dan kebenaran itu tidak mungkin dapat dipisahkan dengan sesamanya. Al-Ghazali terkenal dengan mempertahankan tasawuf dan menentang filsafat, sedangkan ibnu Khaldun menguraikan tasawuf itu hanya dari segi ilmiyah saja tanpa menunjukan sikap suka atau tidak suka. “hanya Ibnu Khaldunlah yang memasuki tasawuf dengan sepenuhnya berjiwa ilmiyah.” Tetapi Ibnu Khaldun sangat menghargai Al-Ghazali yang dinilainya sebagai orang yang paling berjasa mengembalikan tasawuf ketempat semestinya. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun tidak pernah mengkritik tasawuf yang dikembangkan Al-Ghazali. Dari kenyataan tersebut, dapat ditegaskan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar dan ilmuwan yang kritis dan objektif, rasional tetapi juga agamawan yang taat. Dilandasi oleh iman yang kuat dengan penuh kesadaran. Suatu kehidupan yang berimbang dalam dirinya. Dalam menghayati agama dan imu. 4. Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun Diantara sekian banyak pemikiran masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, ibnu khaldun merupakan salah satu ilmuan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja bapak sosiologi tetapi juga bapak ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Richardo. Akhirnya, ia lebih dari 3 abad mendahului para pemikir barat tersebut. Muhammad hilmi murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abdul Iqtishad: ibnu khaldun artinya-Bapak ekonomi : Ibnu Khaldun (1962) dalam tulisan tersebut ibnu khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya itu disampaikannya pada symposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.

Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan ada pula dan perspektif filsafat, karya-kaya tentang ekonomi oleh para ilmuan barat, seperti ilmuan yunani dana zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikiran zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.Sedangkan Ibn Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara-negara secara empiris, ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Ibnu Khaldun menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Richardo. Ia telah telah mengolah teori tentang sebelum Maltuis dan mendesak peran negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, ibnu Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami dimana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi Fluktuasi jangka panjang. Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau, tetapi sangat disayangkan dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad (sejak abad 13 sampai dengan pertengahan abad 20), ajaran-ajaran Islam tentang ekonomi diterlantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam limbo sejarah dan mengalami kebekuan (stagnasi). Dampak selanjutnya umat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi demikian, masalah kolonialisme mendesakkan dan mengajarkan doktrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sampai dengan abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibgah umat Islam terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malan sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam mau ditawarkan kembali kepada umat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan. Adapun diantara teori-teori ekonomi ibnu kaldun adalah sbb: Teori tentang harga 1) Tingkat keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, tingkat keuntungan yang rendah jika berlanjut perniagaan akan macet, dan pasar menjadi hancur serta modal tidak kembali (Muqaddimah, h. 398) 2) Kemerosotan harga dari produk pertanian akan membawa kegoncangan petani, jika berlanjut petani akan jatuh pada kemiskinan modal mereka tidak kembali 3) Kerendahan harga yang melampaui batas, serta kemahalan harga yang ekstrim akan merugikan kaum pedagang (muqaddimah) 4) Emas dan perak merupakan logam mulia yang menjadi ukuran harga dan akumulasi modal/kapital, serta menjadi simpanan dan kekayaan bagi penduduk (muqaddimah) Sektor pertanian Pertanian pada dasarnya merupakan sektor penghidupan yang dapat mendorong pertumbuhan sektor lain (muqaddimah, h. 383) Sektor industri Industri akan berkembang, jika permintaan konsumen meningkat dan industri akan bangkrut jika permintaan konsumen merosot (muqaddimah, h. 408)

Faktor Tumbuhnya Produksi – Alam (kekayaan alam) – Pekerja – Modal – Pasar (muqaddimah, h. 403) Teori tentang mata uang 1) Mata uang sebagai alat pengukur harga barang 2) Fungsi uang yang pertama sebagai alat penukaran dan kedua sebagai nilai kekayaan (muqaddimah, h.381) 3) Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang disuatu negara melainkan ditentukan oleh tingkat produksi suatu negara. Kaitan pertumbuhan penduduk dan pertambuhan ekonomi Bertambahnya penduduk akan menciptakan kreatifitas kerja, dan menambah kebutuhan kerja di masyarakat. Ibnu Khaldun mengaitkan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, seperti halnya Ibnu Taimiyah. Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonominya tidak bisa dilepaskan pula dengan pemikiran politiknya, menurutnya manusia itu pada dasarnya adalah: 1. Makhluk Politik (Zoon Politicon) Artinya manusia itu harus hidup bermasyarakat 2. Manusia tidak bisa hidup sendiri secara individual dia membutuhkan orang lain. a. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya b. Dalam mempertahankan dirinya dia harus hidup berkelompok keduanyabisa terpenuhi dengan adanya kerjasama dengan sesamanya. Uang menurut ibnu khaldun Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dalam neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi misalnya pertumbuhan sektor produksi. Uang yang melimpah itu tidak ada nilainya, sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukan pula bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama ketika itu. Negara yang telah mengekspor berarti mempunyai kemampuan berproduksi lebih besar dari kebutuhan domestiknya. Sekaligus menunjukkan bahwa negara tersebut lebih efisien dalam produksinya. Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah menetapkan nilainya. Karena itu, pemerintah tidak boleh mengubahnya (muqaddimah, 1: 407) Ibnu khaldun selai menyarankan digunakannya uang standar emas/perak, beliau juga menyarankan konstannya harga emas dan perak. Harga-harga lain boleh berfluktuasi, tetapi tidak untuk harga emas perak (muqaddimah, 2: 274) Dalam keadaan uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga

keseimbangan bila lebih banyak makanan dan yang diperlukan disatu kota, harga makanan menjadi murah demikian sebaliknya (muqaddimah 2:240) Keseimbangan harga menurut ibnu khaldun Didalam muqaddimah, Khaldun menulis secara khusus sati Bab berjudul “harga-harga di kotakota” ia membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Nah, menurut dia bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, hargaharga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas pengadaannya. Akibatnya, penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaan akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup akibatnya, harga barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme, penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara rinci, ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah itu, ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran (muqaddimah 11: 276) Ibnu Khaldun menjelaskan secara rinci, menurut dia keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang akan kehilangan motivasi. Sebaliknya bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen (muqaddimah 340-341) C. KESIMPULAN Paparan diatas menunjukkan bahwa tak disanksikan lagi Ibnu Khaldun adalah bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya bapak ekonomi Islam, tetapi bapak ekonomi dunia, dengan demikian, sesungguhnya beliau lah yang lebih layak disebut bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang dikalaim Barat sebagai bapak ekonomi melalui buku The Wealfh of Nation. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar umat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual umat Islam. Makalah ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secara detail, karenanya ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan tekhnis jika dipaparkan disini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok dimuat dalam journal atau buku. DAFTAR PUSTAKA Al-faruqi. 1984.Ismail Raj’i Islamisasi Ilmu Pengetahuan.(alih bahasa anas mahyudin).Bandung: Perpustakaan salman ITB. Farrukh,Umar.1962.Tarikh al-fikr al-arabi.Beirut: Matba’ah al-tijari. Iqbal,Muhammad. 1981.The Reconstruction of Religion Though in Islam.New Delhi :kitab bauana. Iqbal,Muhammad. 1981.The Reconstruction of Religion Though in Islam.New Delhi :kitab bauana. Jayyusi,Salma Khandra.1994.The Legacy of Muslim Spain. Leiden: Brill. Jum’ah,Luthfi.tarikh al-falasifah al-Islami fi al-masyriq wa al-maghrib.Mesir: AIN Syams .t.t. Mahdi,Muhsin. 1971.Ibnu Khaldun pilosophy of history.Chicago: the university of chicago press.

Nasution,Harun.1986.Akal dan Wahyu dalam Islam.Jakarta:Universitas Indonesia press https://pistaza.wordpress.com/2011/10/11/pemikiran-ekonomi-ibnu-khaldun/

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pasar, negara, individu dan masyarakat selalu menjadi topik pembahasan yang hangat dalam ilmu ekonomi. Pasar merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dalam suatu negara yang secara umum keberhasilannya bisa dilihat dari mekanisme pasar yang dijalankan. Riilnya ekonomi negara yang baik itu digerakkan oleh mekanisme pasar yang menjunjung kebebasan dan keadilan, karenanya pasar itu bebas dan tidak berpihak.1Berjalannya sebuah pasar akan ditentukan oleh beberapa faktor, pertama tentang harga, permintaan dan penawaran, distribusi dan spesialisasi pekerja, yang mana ketika faktor di atas berjalan sesuai aturan yang ada dalam negara tersebut, maka bisa dipastikan perekonomian dalam negara tersebut akan stabil. Dalam penentuan harga suatu barang di suatu kota misalnya, akan tergantung oleh berkembang atau tidaknya populasi dalam daerah tersebut, bilamana populasi meningkat maka dengan sendirinya pengadaan akan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas, sehingga penawaran meningkat dan 1 Ulfa Jamilatul Farida,’Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme Pasar Dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian’ dalam La_Riba-Jurnal Ekonomi Islam, (Sleman: Universitas Islam Indonesia, 2012), 257-270 1

2 berakibat pada penurunan harga barang tersebut. Sedangkan untuk barang mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan perkembangan kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya harga barang mewah tersebut pun menjadi naik.2Pengaruh naik turunnya penawaran terhadap harga tergantung pada ketersediaan barang, karena ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antara kota dekat dan aman, maka akan banyak barang yang di impor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.3Dalam sejarah ekonomi di dunia muncul beberapa ekonom Islam dan konvensional yang mengangkat tema keilmuan tentang

mekanisme pasar, seperti pemikiran Ibnu Khaldun4 dan Adam Smith5. Teori atau pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang dikontribusikan oleh para sarjana-sarjana muslim karya-karya mereka sangat monumental sekaligus berbobot, karena mereka mendasarkan karyanya pada argumentasi religius dan sekaligus intelektual yang sama-sama kuat pun didukung oleh fakta empiris dan dikaji dengan kajian komparatif di zaman tersebut (sebelumnya baik ilmuwan 2 P3EI, Ekonomi Islam , (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), 310-311 3Ibid 4 Cendekiawan muslim yang hidup pada tahun 732 H hingga 808 H, lahir di Tunis. Lihat Mohammad Abdullah Enan, Life and Work of Ibn Khaldun , (Kitab Bhavan : New Delhi, 1997), 2-3 5 Ekonom Eropa berkebangsaan Skotlandia yang lahir pada tahun 1723 M M di Kirkcaldy. Lihat Mark Skousen, Sang Maestro”Teori-Teori Ekonomi Modern” : Sejarah Pemikiran Ekonomi, (Jakarta : 2009, Kencana), 33

3 muslim atau bukan belum pernah melakukannya). Dalam ekonomi Islam, ekonomi didefinisikan sebagai suatu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang atau lebih (bersama) dengan cara yang halal dan t{ayyib serta berlaku adil dalam usaha yang dilakukannya dengan prinsip saling rid}a dan menguntungkan.6Berbeda jika dibandingkan dengan apa yang lebih dulu dikaji oleh ilmuan Barat/Eropa (Yunani, Romawi maupun pemikir Abad pertengahan) yang mana mereka melakukannya dengan memasukkan masalah-masalah ekonomi kedalam kajian-kajian moral (filsafat) atau hukum, dengan kata lain masalah-masalah ekonomis selalu dikaji secara normatif oleh mereka. Selain itu banyak pula dari karya para sarjana muslim tersebut yang sangat futuristik, di mana para ilmuan Barat/Eropa baru mengkaji keilmuan tersebut ratusan abad kemudian. Salah seorang tokoh Muslim yang merupakan pelaku studi pemikiran ekonomi pertama yang menerapkan metode (kajian empiris-komparatif) tersebut adalah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengkaji masalah-masalah ekonomi dengan jalan mengkaji sebab-sebabnya secara empiris, memperbandingkannya, untuk 6 Mohamad Hidayat, an Introduction to The Sharia Economic, ( Jakarta : Zikrul Hakim, 2010), 28

4 kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum yang menjelaskan fenomena tersebut. Dengan demikian ia dapat disebut sebaga penggagas ekonomi ilmiah pertama.7Ibnu Khaldun yang hidup pada tahun 732 hingga 808 H adalah salah seorang cendekiawan muslim yang juga turut menelurkan konsep pemikiran ekonomi Islam. Beliau yang lahir di Tunis tanggal 27 Mei 1332M mempunyai nama lengkap Abdurrahman Abu> Zaid Waliuddin Ibnu Khaldun.8 Ia lebih popular dengan sebutan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris, ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual, seperti yang ia ungkapkan dalam kitab Muqaddimah-nya dalam bab ‘harga-harga di kota’. Dalam bukunya Muqaddimah itu pula Ibnu Khaldun memberikan bahasan yang luas tentang teori nilai, pembagian kerja

dan perdagangan internasional, hukum permintaan dan penawaran, konsumsi, produksi, uang, siklus perdagangan, keuangan publik dan berbagai bahasan makro ekonomi lainnya yang utamanya berkaitan dengan mekanisme pasar.9Barulah sekitar empat abad kemudian setelah wafatnya Ibnu Khaldun, ilmuwan Eropa menerapkan metode yang sama. Tokoh yang melakukannya adalah Adam Smith, seorang ilmuwan kelahiran Skotlandia yang dalam sejarah Muhammad Nejatullah Siddiqy, Muslim Economic Thinking, (United Kingdom : ICRIEKAAJ and The Islamic Foundation, 1976), 261 8 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 246 9 P3EI, Ekonomi Islam , (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), 310-311 7

5 dianggap sebagai Bapak Ekonomi.10 Kelak di masa depan, di dalam kajian bidang ilmu ekonomi, Smith akan dianggap sebagai tokoh terbesar dalam bidang ekonomi konvensional. Adam Smith yang dijuluki sebagai Bapak Ekonomi Dunia, lahir pada tahun 1723 M di Kirkcaldy-Skotlandia. Ia adalah seorang guru besar dalam bidang ilmu falsafah di Universitas Edinburgh. Karena perhatiannya yang tekun terhadap bidang logika dan etika, ia pun kemudian mulai mengarahkan juga perhatian keilmuannya terhadap masalahmasalah ekonomi.11 Adam Smith adalah salah seorang tokoh ekonom liberal yang menganut azas laissez faire atau paham kebebasan dalam berekonomi. Ia adalah tokoh yang getolmemasyarakatkan paham pasar bebas-nya kepada masyarakat. Dalam teori ekonominya, Smith menganggap bahwa pasar bebas adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan ekonomi. Unsur-unsur pokok dalam teori ekonomi Adam Smith adalah mengenai pembagian kerja, teori nilai kerja dan teori harga alamiah.12Ibnu Khaldun dan Adam Smith mereka adalah dua tokoh beda zaman dan ideologi. Ibnu Khaldun mewakili ideologi Islam yang hidup pada tahun 1300-an, sedangkan Adam Smith adalah tokoh KristenProtestan yang hidup pada tahun 1700-an. Walau berbeda latar belakang, keduanya masih memiliki pemikiran 10 George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, (Yogjakarta : Kanisius, 1994), 61 11Ibid, 6112 Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan & Peran Pemerintah, (Yogjakarta: Kanisius, 1996), 221

6 yang sama dalam beberapa hal diantaranya tentang sistem mekanisme pasar, keduanya pendukung asas pasar bebas dan menolak intervensi pemerintah dalam hal harga. Bagi Ibnu Khaldun dan Adam Smith pasar memiliki sesuatu yang istimewa yaitu kebebasan. Dalam mekanisme kerjanya pasar yang bebas akan menghasilkan harga yang adil. Pasar yang bebas akan menyuburkan lapangan kerja. Pasar yang bebas bertujuan meraih keadilan sekaligus kesejahteraan masyarakat umum. Seperti itulah bayangan pasar bebas menurut keduanya. Akan tetapi kebebasan di sini dipahami dengan definisi yang berbeda oleh keduanya. Bagi Ibnu Khaldun kebebasan adalah sebuah variable yang tidak

dapat berjalan tanpa pengaruh variable yang lain. Baginya keadilan dalam berekonomi tidak semata-mata dapat terwujud hanya dengan terimplementasinya mekanisme pasar yang bebas saja, masih ada variable lain yang menunjang untuk terciptanya keadilan dalam mekanisme pasar yang bebas tersebut. Variable pendukung tersebut di antaranya adalah negara, syari’ah, masyarakat, kekayaan, pembangunan dan keadilan.13Sedangkan bagi Adam Smith kebebasan dalam pasar adalah suatu hal yang mutlak demi tercapainya keadilan dan kemakmuran. Smith menginginkan perdagangan bebas tanpa ada campur tangan pemerintah.14 Bagi Adam Smith 13 Agustianto, “Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun”, dalam http://shariaeconomics. wordpress.com /2011/02/26/pemikiran-ekonomiibnu-khaldun/ (21 November 2013) 14 Apridar, Ekonomi Internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 88

7 dengan tidak adanya campur tangan pemerintah dalam perdagangan bebas akan mengakibatkan orang bekerja keras untuk kepentingan negaranya sendiri dan sekaligus mendorong terciptanya spesialisasi. Dengan terciptanya spesialisasi maka negara akan menghasilkan suatu produk yang memiliki keunggulan mutlak.15Berangkat dari berbagai persamaan dan perbedaan nilainilai dan prinsip yang terkandung dalam ide dan gagasan tentang mekanisme pasar di atas, menjadikan asumsi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi skripsi dengan judul “Studi Komparatif Tentang Mekanisme Pasar Ibnu Khaldun & Adam Smith” B.Identifikasi dan Batasan Masalah 1.Identifikasi Masalah Sesuai latar belakang di atas penulis mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul tentang mekanisme pasar diantaranya adalah sebagai berikut : a.Pemikiran Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang teori harga b.Pemikiran Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang pembagian kerja c.Pemikiran Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang hukum permintaan dan penawaran d.Pemikiran Ibnu Khaldun tentang teori konsumsiproduksi 15 Syamsurijal Tan, Esensi Ekonomi Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), 16-17

8 e.Pemikiran Ibnu Khaldun tentang teori uang f.Pemikiran Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang politik/negara g.Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perdagangan internasional h.Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pajak i.Pemikiran Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang teori nilai j.Pemikiran Ibnu Khaldun tentang distribusi 2.Batasan Masalah Agar tidak keluar dari pembahasan, maka perlu kiranya batasan masalah dalam masalah mekanisme pasar, batasan masalahnya adalah sebagai berikut : 1)Penulis membatasi pada konsep tentang teori harga, teori nilai, spesialisasi kerja dan negara dalam mekanisme pasar Ibnu Khaldun dan Adam Smith 2)Penulis akan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran tentang mekanisme pasar Ibnu Khaldun dan Adam Smith

C.Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah untuk hal-hal tersebut adalah : 1.Bagaimana pandangan Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang teori harga, teori nilai, spesialisasi kerja dan negara dalam mekanisme pasar? 2.Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran tentang mekanisme pasar menurut Ibnu Khaldun dan Adam Smith? 9 D.Kajian Pustaka Kajian pustaka ini dibutuhkan untuk membedakan hasil skripsi ini dengan hasil penelitian yang sebelumnya, penulis telah menelusuri kajian pustaka yang menurut penulis permasalahannya sedikit hampir sama dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis. Beberapa penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut : Skripsi yang berjudul “Teori Ekonomi Adam Smith Tentang Peran Pemerintah dalam Pengembangan Ekonomi Ditinjau dari Sistem Ekonomi Islam” yang ditulis oleh Insofi pada tahun 2003 ini merupakan hasil studi pustaka. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa Islam dengan sistem syariahnya tidak setuju dengan pandangan Adam Smith mengenai peran pemerintah. Karena menurut penulis pemerintah berperan sebagai pengawas moralitas pengembangan ekonomi bukan pelaksana teknis operasional.16Selanjutnya terdapat pula skripsi yang lain berjudul “Studi Komparasi Tentang Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah dan Philip Kotler” yang ditulis oleh Muhimatul Kibtiyah pada tahun 2004 ini merupakan hasil kajian/studi pustaka. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa ada perbedaan mengenai definisi tentang mekanisme pasar menurut Ibnu Taimiyah dan Philip Kotler. Menurut pemahaman penulis Ibnu Taimiyah mendeskripsikan mekanisme pasar sebagai pasar yang berlandaskan pada kebebasan dan alamiah Insofi, “Teori Ekonomi Adam Smith Tentang Peran Pemerintah dalam Pengembangan Ekonomi Ditinjau dari Sistem Ekonomi Islam”, Muamalah, 2003. 16

10 serta tanpa campur tangan pemerintah, sedangkan untuk Philip Kotler mekanisme pasar adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai pemecah masalah yang terkait dalam hal pemasaran barang/kebutuhan dalam pasar.17Skripsi terakhir yang ditemukan oleh penulis adalah skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Tentang Penetapan Harga Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyah dan Adam Smith” yang ditulis oleh Kholishotul Fitriyah pada tahun 2005 ini juga hasil studi/kajian pustaka. Hasil penelitian ini menjelaskan ada perbedaan teori/paham dari kedua tokoh tersebut. Sebagaimana pemaparan penulis, menurut Ibnu Qayyim penetapan harga itu berasal dari harga barang yang diperdagangkan yang berkembang sesuai mekanisme pasar dengan adanya campur tangan pemerintah, sedang Adam Smith berpendapat sebaliknya yaitu penetapan harga itu berasal dari harga barang yang diperdagangkan yang berkembang sesuai mekanisme pasar tanpa adanya campur tangan

pemerintah.18Dari penelusuran di atas, penelitian yang dilakukan oleh penulis yang berjudul “Studi Komparasi Tentang Mekanisme Pasar Ibnu Khaldun & Adam Smith” berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, sehingga tidak ada pengulangan. Kemudian berdasarkan sumber yang diteliti yaitu pemikiran dari Ibnu Khaldun dan Adam Smith tentang mekanisme pasar tersebut, penulis Muhimatul Kibtiyah, “Studi Komparasi Tentang Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah dan Philip Kotler”, Muamalah, 2004.18 Kholishotul Fitriyah, “Studi Komparasi Tentang Penetapan Harga Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyah dan Adam Smith”, Muamalah, 2005. 17

Halal Guide -- Ibnu Khaldun dalam buku karyanya “Muqaddimah” latar belakang belum layak mengemukakan sebuah teori “Model Dinamika” yang mempunyai pandangan jelas bagaimana faktorfaktor dinamika sosial, moral, ekonomi, dan politik saling berbeda namun saling berhubungan satu dengan lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran sebuah lingkungan masyarakat atau pemerintahan sebuah wilayah (negara). Ibnu Khaldun telah menyumbangkan teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah. Dalam penentuan harga di pasar atas sebuah produksi, faktor yang sangat berpengaruh adalah permintaan dan penawaran. Ibnu Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan penurunan harga. Penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan pedagang serta mendorong mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis akan menyusahkan konsumen. Harga “danai” dalam kasus seperti ini sangat diharapkan oleh kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan kegairahan pasar dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan kemakmuran tertentu. Akan tetapi, harga yang rendighgehgrjewgh dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi Dengan demikian, tingkat harga yang stabil dengan biaya hidup yang relatif rendah menjadi pilihan bagi masyarakat dengan sudut pandang pertumbuhan dan keadilan dalam perbandingan masa inflasi dan deflasi. Inflasi akan merusak keadilan, sedangkan deflasi mengurangi insentif dan efisiensi. Harga rendah untuk kebutuhan pokok seharusnya tidak dicapai melalui penetapan harga baku oleh negara karena hal itu akan merusak insentif bagi produksi. Faktor yang menetapkan penawaran, menurut Ibnu Khaldun, adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif, tingkat usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik serta perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Jika harga turun dan menyebabkan kebangkrutan modal menjadi hilang, insentif untuk penawaran menurun, dan mendorong munculnya resesi, sehingga pedagang dan pengrajin menderita. Pada sisi lain, faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah pendapatan, jumlah penduduk, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat, serta pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum. Menurut Ibnu Khaldun, seorang individu tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri, melainkan mereka harus bekerjasama dengan pembagian kerja dan spesialisasi. Apa yang dapat dipenuhi melalui kerjasama yang saling menguntungkan jauh lebih besar daripada apa yang

dicapai oleh individu-individu secara sendirian. Dalam teori modern, pendapat ini mirip dengan teori comparative advantage. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering. Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak. Kemudian, dengan berlalunya waktu, kebutuhan-kebutuhan negara akan meningkat dan nilai pajak naik untuk meningkatkan hasil. Apabila kenaikan ini berlangsung perlahan-lahan rakyat akan terbiasa, namun pada akhirnya ada akibat kurang baik terhadap insentif sehingga aktivitas usaha mengalami kelesuhan dan penurunan, demikian pula terhadap hasil perpajakannya. Perekonomian yang makmur di awal suatu pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dari tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif yang lebih tinggi. Alasan terjadinya hal tersebut adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam kemakmuran mereka akan mengurangi keinginan mereka untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran. Apabila keinginan itu hilang, maka mereka akan berhenti bekerja karena semakin besar pembebanan maka akan semakin besar efek terhadap usaha mereka dalam berproduksi. Akhirnya, jika rakyat enggan menghasilkan dan bekerja, maka pasar akan mati dan kondisi rakyat akan semakin memburuk serta penerimaan pajak juga akan menurun. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menganjurkan keadilan dalam perpajakan. Pajak yang adil sangat berpengaruh terhadap kemakmuran suatu negara. Kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan pemerintah, dari pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah, sehingga pemerintah tidak dapat menjauhkan belanja negara dari rakyat karena akan mengakibatkan rakyat menjauh dari pemerintah. Kontribusi Ibnu Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan cukup signifikan, namun sayang beliau lahir pada saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Menurut Chapra (2001) kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat,

peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut. Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada, maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini. Faktor utama untuk menghindari kemunduran tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Pemikiran Ibnu Khaldun (1) Ditulis oleh Administrator Thursday, 31 August 2006 Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)

Artikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya. Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah] Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern. Model Dinamika Interdisiplin Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan: Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk) Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal) Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl) Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya dan Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan. Nasihat Ibnu Khaldun disebut ' eight wise principles [kalimat hikamiyyah]', atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual, dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat Hikamiyyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan interdisiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu faktor sahaja, melainkan pada semua variabel penting sosial, ekonomi dan politik, termasuk Shari'ah (S), pemegang kekuasaan politik atau wazi' (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau mal (W), pembangunan atau 'imarah (g), dan keadilan atau 'adl (j), dalam suatu hubungan sirkular dan interdependen, masing-masing faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana faktor-faktor moral, psikologi, politik, sosial, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban. Dalam analisis jangka panjang, tidak ada klausa 'cateris paribus' karena tidak satupun faktor dan variabel yang tetap konstan. Salah satu variabel bertindak sebagai mekanisme pemicu, variabel lain mungkin bereaksi searah pemicunya, tetapi mungkin juga tidak bereaksi. Jika variabel lain tidak beraksi pada arah yg sama dengan faktor pemicunya, maka kerusakan di satu sektor mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity. Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek pembangunan manusia sehingga

setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya. Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j), pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N). Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j) Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara. Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak harus reversibel, tetapi dalam masyarakat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang dalam analisis Ibnu Khaldun adalah kegagalan G) bisa tidak sama untuk setiap masyarakat. Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian integral dari N dalam model diatas. Disintegrasi keluarga membawa pendidikan yang tidak tepat kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas sumber daya manusia (N) yang merupakan dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga bisa disebabkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)

Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati

Pemikiran Ibnu Khaldun (1) Ditulis oleh Administrator Thursday, 31 August 2006

Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)

Artikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya. Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah]

Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern. Model Dinamika Interdisiplin

Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan: Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk) Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal) Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl) Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya dan Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan. Nasihat Ibnu Khaldun disebut ' eight wise principles [kalimat hikamiyyah]', atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual, dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat Hikamiyyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan interdisiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu faktor sahaja, melainkan pada semua variabel penting sosial, ekonomi dan politik, termasuk Shari'ah (S), pemegang kekuasaan politik atau wazi' (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau mal (W), pembangunan atau 'imarah (g), dan keadilan atau 'adl (j), dalam suatu hubungan sirkular dan interdependen, masing-masing faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana faktor-faktor moral, psikologi, politik, sosial, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban. Dalam analisis jangka panjang, tidak ada klausa 'cateris paribus' karena tidak satupun faktor dan variabel yang tetap konstan. Salah satu variabel bertindak sebagai mekanisme pemicu, variabel lain mungkin bereaksi searah pemicunya, tetapi mungkin juga tidak bereaksi. Jika variabel lain tidak beraksi pada arah yg sama dengan faktor pemicunya, maka kerusakan di satu sektor mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity. Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya. Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j),

pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N). Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j) Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara. Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak harus reversibel, tetapi dalam masyarakat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang dalam analisis Ibnu Khaldun adalah kegagalan G) bisa tidak sama untuk setiap masyarakat. Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian integral dari N dalam model diatas. Disintegrasi keluarga membawa pendidikan yang tidak tepat kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas sumber daya manusia (N) yang merupakan dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga bisa disebabkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)

Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati

Belajar Dari Ibnu Khaldun Ditulis oleh didinkaem Wednesday, 21 March 2007

Oleh Marsudi Fitro Wibowo

Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu

Khaldun. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawancendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula. Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.

Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-'ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-'Ibar wa Diwanul Mubtada' awil Khabar fi Ayyamil 'Arab wal 'Ajam wal Barbar wa Man 'Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Kitab al-i'bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d'Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-

sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta'riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-'ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar alMutaqaddimiin wa al-Muta'akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi). DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya "The Islamic Review & Arabic Affairs" di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, "Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris)." Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat. Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alatalatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah. Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya. ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.

Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, "Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain." Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilainilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.***

Memposisikan Ekonomi Islam Ditulis oleh Administrator Tuesday, 29 August 2006 (Kejayaan yang Pernah dan Akan Gemilang)

Oleh: Didin Kristinawati Misnu

Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme dan sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat poin kesamaan tertentu dalam mekanismenya dengan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik hingga konsep pembangunan. Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat dengan ekonomi konvensional yaitu alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas, tetapi kurang tepat anggapan yang menyatakan ekonomi Islam adalah ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Karena visi dan tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional. Demikian pula pendefinisan well-being atau kesejahteraan dalam subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional.

Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan

jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya untuk melayani kecenderungan pribadi, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada selera dan preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sehingga individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini pula yang menyebabkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali pada tingkat yang diperlukan untuk mengefektifkan performansi individu dan pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun berpendapat kesejahteraan tidak saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan juga kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling penting adalah keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga dan masyarakat, persaudaraan umat manusia, kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hidup, minimisasi kejahatan dan penekanan. Kesejahteraan merupakan produk akhir dari interaksi faktor-faktor ekonomi (seperti pendapatan) dengan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya tidak akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil" Rosululloh saw juga menyatakan ketidakadilan sebagai kegelapan yang sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Karena ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut konflik, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan manusia. Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan kepada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan mempercepat pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan meningkatkan solidaritas, penegakan hukum, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk dan keamaan negara. Dinyatakan pula "tidak ada yang dapat merusak dunia dan kemanusiaan manusia lebih cepat dari ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan adalah produk inti dari ketauhidan. Ibnu Khaldun juga menyatakan tidak mungkin membangun tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan adalah hasil dari pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu masyarakat, akan membawa perbedaan konfigurasi dan mekanisme alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas tersebut. Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang dan redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan oleh bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) sebagai muslim yang sadar akan fenomena kemerosotan umat, membuat analisa komprehensif dalam Muqadimah, yang bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup

multidisiplin, yang sekarang --diantaranya-- digagas oleh Amartya Sen dalam Freedom as Development.Sesudahnya tidak terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam untuk bisa 'keluar' dari arus utama sistem ekonomi saat ini bukan pekerjaan yang bisa diharapkan selesai dalam waktu singkat. Apalagi jika kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung sekitar 40 tahun terakhir, dimulai dari beberapa waktu sebelum pendirian IDB pada 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung dari 1762 hingga 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun jika ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan lembaga riset yang berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan di negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan dengan kapitalisme yang sudah berjalan lebih dari satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar jelas dari jurnal-jurnalnya yang tidak terhitung lagi, buku, laporan dan riset di seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis' bangkrut dan hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan sudah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? masih cukup relevan atau esensiilkah dalam tahapan globalisasi ekonomi saat ini? Sedikit romantisme sejarah, ketika peradaban madani telah terbangun, di sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat untuk pembiayaan perang, sehingga menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara wilayah dibawah pengaturan Islam menjadi pangsa pasar yang luas dan terbuka dengan pajak minimum, perputaran uang yang pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar manusia yang bebas dan aman. Mengapa bisa demikian? karena keadilan dan kepatutan dalam interaksi umat manusia adalah komponen inheren dalam ekonomi Islam. Iklim tersebut mendorong perdagangan yang membentang dari Maroko dan Spanyol di barat, ke India dan China di timur, Asia Tengah di utara, hingga Afrika di selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan tidak hanya dari dokumen sejarah, melainkan juga melalui koin atau mata uang Islam dari abad 7 dan 8 yang ditemukan di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British dan Scotland. Negeri-negeri yang notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan di seluruh dunia, tidak hanya trading produk pertanian, tetapi juga kerajinan, dan barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan. Tidak saja di negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran bersama bukan sesuatu yang baru dalam peradaban Islam. Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan bisa kita bangun kembali, karena pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, kemudian gejala kemerosotan umat berlangsung 200

tahun hingga sejak abad 14 umat benar-benar jadi bulan-bulanan hingga sekarang. Peradaban yang – pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan dan terpasungnya pemikirpemikir peradaban. Tetapi dengan kerja keras dan kerja umat yang bersama-sama membangun konsepsi ekonomi Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan menjadi gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Referensi: Chapra, Journal of Socio-Economics 2000 Bruno S. Frey and Alois Stutzer, Journal of Economic Literature (June, 2002), 403

Pengajian Shoutcast

Halaman Utama

Ekonomi Syariah

Implementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam

Kaffah

Tiap Kamis Malam dan

Implementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam Kaffah

Ahad Malam 18.00 WIB Oleh: Agustianto

Halaman Utama Islam Kontemporer Futuhul Ghaib Hikmah Ekonomi Syariah Seputar Zakat Konsultasi Tanya Jawab Buletin Jum'at

(Materi Khutbah Jum’at di Mesjid Al-Balagh Kompleks Bulog, 17 April 2006 dan Mesjid Al-Ikhwan Depertemen Luar Negeri,12 Mei 2006 )

‫من شريعة على جعلناك ثم‬ ‫ال الذين أهواء تتبع وآل فاتبعها األمر‬ ‫يعلمون‬ Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :

Seputar Ramadhan Tentang Kami

”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak

Kepengurusan Bahtsul Masail Download Tambah Pesantren Cari Produk Halal

Search Produk Halal

search

Klik indohalal.com Pengajian Virtual

Via: Subscribe e-mail anda

mengetahui” Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna ( syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89). Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.” Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi). C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Alquran memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang

DAFTAR

sebanyak 720 kali.

Kirim Artikel Kami menerima kiriman tulisan untuk melengkapi referensi Islam yang termuat di website ini. Silahkan kirim ke redaksi

Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain, 1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. dharb/mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. waraq (mata uang).

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

‫الرزق اعشار تسعة فيها فان بالتجارة عليكم‬ ( ‫)احمد رواه‬

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu bisnis”. (H.R.Ahmad)

rezeki ada dalam

‫التجار كسب الكسب أطيب ان‬

”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat alAhkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topiktopik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976) Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam, Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : AlUmm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana IAIN Medan, bahwa 1/3 ajaran

Islam tentang muamalah. Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan : “Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc. He discussses the various stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour” (Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam buku Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976, hlm. 261.) (Artinya, “Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur). Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus. Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation.....[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118

(Artinya, “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang

kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)

Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Quran Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 : ”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”

Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah AshShiddiqi mengatakan dalam buku ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut

“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to

this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264) Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.

Memasuki Islam Secara Kaffah Dari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah ( menyeluruh ). “ Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ). Dalam ayat lain Allah berfirman , “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ). Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh. Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam. Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era

tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah. Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah. Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam. Bank Syariah di Indonesia Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.

Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.

Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi. Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlangsung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%). Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.

Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel. Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba.. Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ah Mengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang

besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usahausaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.

Penutup Dengan hadirnya lembaga- lembaga keauangan syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah,dll, maka menjadi keharusan bagi umat Islam, untuk hijrah dari sistem ekonomi konvensional kepada sistem ekonomi syariah dalam rangka menuju Islam yang kaffah.

Oleh : Agustianto,MA Muballigh dan Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana

Serba Waspada - Mimbar Jumat

17 Jun 05 09:43 WIB

Ibnu Khaldun: Bapak Ekonomi WASPADA Online Oleh Agustianto Marak dan berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan, khususnya mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta, ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa klasik hingga saat ini. Melihat melimpahnya literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan. Pertama, dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu, tak satupun diantaranya ada hasil karya tokoh Indonesia. Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic Economics and Finance; A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan. Buku ini berisi 1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian pula daftar buku dalam Muslim Economic Thinking tulisan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, yang meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya ulama Indonesia. Kedua, yang paling disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam yang telah dirintis dan dibangun oleh para ulam terdahulu. Intelektual dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemikiran Islam dan tasawauf, disamping ilmu-ilmu tafsir dan hadits. Maka tak heran jika mereka dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik. Fenomena itulah yang disesalkan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, guru besar ekonomi Univ. King Abdul Aziz Saudi. Ia mengatakan, "The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the wold scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Thusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, goverment expenditure, home economic, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centers of academic research in economics. (Muslim Economic Thinking, Islamic Fondation United Kingdom". (Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18), kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi). Dimasa klasik Islam, yang sejak abad 2 Hijriah s/d 9 hijriah, banyak lahir ilmuwan Islam yang mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand), public finance, Kebijakan fiskal dan moneter, pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului pemikir Barat modern seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus. Bapak Ekonomi Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, Ia lebih dari tiga Abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul iqtishad: Ibnu Khadun. Artinya, Bapak Ekonomi: Ibnu Khaldun (1962). Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai pengagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikan pada simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir

1978. Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan ada pula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para ilmuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi. (Ibnu Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur). Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran "resminya" (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami dimana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan kepada fluktuasi jangka panjang. Lafter, penasehat economi president Ronald Reagen, yang menemukan teori Lafter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan , maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar. S.Colosia berkata dalam bukunya, Contribution A L'Etu-de D'Ibnu Khaldun Revue Do Monde Musulman, Sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan. "Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern". (1974, hlm. 477). Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, "Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi." Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam) (Shiddiqy, hlm. 260). Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khsususnya dalam ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertai tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun's Writing dan Nasha't menulis "al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the prolegomena of Ibn Khaldun). Selain itu kita masih memiliki konstribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran Briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the muqaddimah : An Introduction to History, Spengler menulis buku Ekonomic Thought of Islam: Ibn Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fi'l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma'ashi khalayat". (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifa'at menulis Ma'ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat" (Ibn Khaldun's Views on Economic) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtishad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh. (Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B Irving menulis Ibn khaldun on Agriculture"' Abdul Satar menulis buku Ibn Khaldun's

Contribution to economic Thought " in: Contemporary Aspects of economic and Social Thingking in Islam. Penutup Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim barat sebagai bapak ekonomi melalui buku The Wealth of nation. Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar umat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual umat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secara detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku. * Penulis adalah dosen IAIN-SU kini sedang kuliah Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Jakarta.

Friday, September 09, 2005 Dari Ibnu Khaldun, Peradaban Islam, sampai Kebangkitan Islam Dulu, pada waktu yang saya sendiri lupa kapan, Tepo alias Otep Kurnia dengan saya pernah jalan bareng dari kampus ke Simpang Dago. Untuk mengusir sepi, kami berniat ngobrol. Kami sepakat, topiknya ga boleh beratberat. Iyalah, buat ngusir sepi sambil jalan doang aja pake yang beratberat! Dan akhirnya kami sepakat untuk ngobrol tentang... Peradaban ! (Dhian Coek !! yang kaya gini ama dia dianggap ringan!) Obrol punya obrol, singkat kata, kami tiba-tiba jadi ngomongin Ibnu Khaldun, seorang budayawan dan ilmuwan Muslim yang pemikiranpemikirannya cukup dominan pada masanya (waktu Islam sedang jayajayanya), dan kurang lebih, mungkin masih relevan sampai sekarang. Pemikiran-pemikirannya dalam hal sosiologi sebenarnya, sedikit banyak, mendasari berdirinya ilmu sosiologi modern seperti yang sekarang ini kita kenal. Saya masih ingat, beberapa buku referensi Sosiologi SMA ada yang mencantumkan nama Ibnu Khaldun sebagai salah seorang "bapak sosiologi". Tentu, predikat ini ga terdapat di SEMUA buku sosiologi, terutama yang sudah terlanjur didominasi dengan nama-nama "barat". Terkait dengan peradaban, Otep menceritakan tentang sebuah buku, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai naskah, karangan Ibnu Khaldun, yang judulnya Muqodimah. Okelah, ga semua isi naskah itu berbicara tentang peradaban. Tapi ada satu teori, atau analisis, yang disusunnya mengenai peradaban. Ibnu Khaldun (IK) ga ngomongin peradaban dari sisi historis, ato time-line, ato perkiraan-perkiraan menakutkan tentang benturan antar peradaban seperti Huttington. IK secara gamblang justru membahas benang merah kemunculan dan kematian peradaban-peradaban, dari segi ciri-ciri

dan humanismenya, dalam pengertian, dia banyak membahas tentang faktor manusia yang mempengaruhi peradaban itu. Secara eksplisit, IK menceritakan (kata Otep loh) bahwa orang-orang yang kemudian memimpin peradaban itu adalah orang-orang (kaum) yang telah melalui tempaan, hidup yang KERAS, makan daging (eksplisit : makan daging), dan melalui berbagai "ujian" dalam kehidupannya. Dan peradaban biasanya mengalami kemunduran, biasanya, saat orang-orangnya mulai hidup nyaman, tenang, menyibukkan diri dengan musik dan makan/minum, dan yang paling penting, ga punya musuh. Wah, lucu juga analisisnya dia. Meskipun mungkin analisis semacam ini udah sering kita denger, ato mungkin kita pikirkan, tapi pada masa itu (waktu IK masih idup maksudnya), analisis semacam ini bisa dibilang... langka (kalo ga mau dibilang "ngapain juga mikirin ginian...") Selepas obrolan dengan Otep, dengan ditemani segelas kopi dan sebatang Dji Sam Soe (gila, promosi!) dalam dinginnya malam, ternyata obrolan itu belom lepas dari pikiran saya. Karena kalau dipikir-pikir, bener juga ya... Oke, mari kita lihat, peradaban mana yang mau kita ambil jadi contoh? Mongol? Mongol adalah sebuah bangsa pengembara. Mereka hidup di lahan yang tandus, dan harus berjuang keras hanya untuk sekedar mencari makan untuk koloni-koloninya. Tapi karena kultur pengembara itu, mereka jadi terkenal dengan pasukan berkudanya yang kuat. Bisa kita anggap, bahwa hari-hari (abad-abad sih sebenernya) bangsa mongol mengarungi kehidupan dengan cara begini adalah tempaan seperti yang dimaksud oleh IK. Dan mereka sukses menghancurkan kekaisaran China waktu itu, juga sesuai dengan analisis IK, selain karena mongol telah melalui ujiannya, juga karena peradaban cina sedang berada di puncak. perdagangan maju, negara besar, musuh ga ada yang sepadan. Akibatnya, kekaisaran cina waktu itu dipenuhi oleh korupsi dan rakyat yang tidak terbiasa untuk hidup keras. Dua-duanya klop. Maka terjadilah kemunculan peradaban Mongol dan turunnya peradaban Cina. Lalu dalam perkembangannya, masa-masa dibawah penjajahan Mongol adalah masa-masa ujian dan penempaan bagi Cina. Mongol yang sudah menyebar sampai eropa mulai mencapai puncak peradabannya. Dan setelah di puncak, satu-satunya jalan adalah turun, bukan? Ya, dan pergeseran peradaban pun terjadi lagi, dengan arah terbalik. Romawi? Kekaisaran roma dimulai dengan darah dan peperangan. Inilah masa penempaan untuk Roma. bahkan, dalam mitosnya, konon nenek moyang/asal-usul Bangsa Roma adalah dua orang anak (Romus dan

Romulus) yang yatim piatu dan harus menyusu pada seekor serigala. Jadi sejak lahirnya pun, setiap anak bangsa roma sudah dicekoki pemikiran bahwa hidup adalah perjuangan. Dan romawi hancur setelah mereka sudah di puncak dan tidak ada lagi yang bisa mengalahkan mereka. Mereka bahkan mengalahkan Mesir (yang sudah lebih dulu berada di puncak sampai2 tidak punya lagi bala tentara yang kuat). Korupsi merajalela, dan peradaban roma dipenuhi ketimpangan ekonomi, musik, sastra, dan minuman keras. Kekaisaran romawi kemudian dibagi 2, di konstantinopel dan di Roma, yang ternyata sama saja bobroknya, dan tidak bisa bertahan ketika peradaban Islam mulai merangsek maju. Amerika? Bangsa Amerika yang saat ini menjadi negara adidaya itu sebenarnya tidak mengenal istilah "pribumi". Karena memang, pada dasarnya mereka adalah pilgrims dari eropa. Tempaan untuk mereka sudah dimulai sejak pertemuan mereka dengan bangsa2 Indian di Amerika Tengah dan Utara. Bahkan setelah negara Amerika berdiri pun, mereka dilanda perang saudara utara-selatan dan peperangan-peperangan tak berkesudahan dengan Perancis, Inggris, dsb2... BElum lagi, kalau pernah nonton film Gangs of New York, bagaimana peperangan antar kelas ekonomi dan antar kelompok urban telah menjadi keseharian orang2 Amerika abad 16-18. Bangsa mereka dibangun dengan darah, dan itu satu tempaan untuk mereka. Jepang? setelah dibom atom oleh Amerika, kita tau sama tau bagaimana jadinya Jepang sekarang. Tapi lebih dari itu, kita juga bisa melihat bagaimana kerasnya hidup, budaya/adat dan tradisi orang2 jepang, yang seakan2 memang mempersiapkan mereka untuk menjadi salah satu penguasa peradaban. Secara eksplisit, dapat kita lihat bahwa sejarah memang selalu menceritakan terlebih dahulu perjuangan, pergulatan, dan pengorbanan sebuah bangsa sebelum bangsa itu maju dan menjadi salah satu pemimpin perubahan peradaban. Lalu bagaimana dengan peradaban Islam? Sepertinya akan menjadi kurang afdol bila kita membicarakan peradaban Islam tanpa sekaligus menganalisis peradaban Eropa (dan "barat" secara keseluruhan) yang timbul tenggelamnya lebih banyak saling berkaitan. Mengapa Islam bisa begitu menguasai peradaban selama 7 abad? kaum muslim awal dan Rasulullah pun mengalami tempaan dan ujian dalam konteksnya sendiri. Sepertinya memang ada sebuah prakondisi yang ditetapkan Allah bagi suatu kaum sebelum kaum/bangsa itu bisa maju dalam peradaban. Dan peradaban Islam pun demikian. Peristiwa pengusiran

Rasulullah dan umat muslim pertama dari mekkah sehingga mereka hidup di gurun selama 8 tahun... bukankah itu sebuah tempaan? lalu peperangan yang terjadi pada masa2 awal kekhalifahan, itu pun menjadi sebuah tempaan bagi peradaban Islam. Oke, dari segi waktu, memang agak2 "tidak adil" misalnya apabila kita membandingkan tempaan umat Muslim awal dengan... sebulah bangsa viking, yang harus ditempa alam yang dingin dan keberanian mengarungi lautan dengan peperangan2 mengerikan selama berabad-abad sebelum menjadi kaum yang unggul dalam masa mereka. Disinilah teori relativitas Einstein dalam konteks waktu menjadi relevan. Karena kita tidak tahu perbedaan antara "lama" dengan "sebentar". Tapi yang jelas, Allah sepertinya tidak berkehendak untuk memberikan satu privelege pada umat Islam untuk tidak memenuhi prakondisi itu. Lalu bagaimana dengan kemunduran peradaban Islam? Kemunduran peradaban Mongol dan Romawi sudah disinggung sedikit di atas. Selain karena faktor kehidupan urban masyarakatnya, sedikit banyak kemunduran 2 peradaban tersebut juga disebabkan oleh hilangnya figur pemimpin ideal di mata peradaban tersebut (Jengis Khan di Mongol dan Julius Caesar di Romawi). Tetapi selain itu, kemunduran sebuah peradaban juga biasanya ditandai oleh menyeruak naiknya peradaban yang baru. Demikian juga dengan peradaban Islam. Selama 700 tahun, peradaban Islam begitu dominan di dunia kala itu. Bangsa-bangsa eropa yang memasuki negeri-negeri muslim seperti Baghdad atau Turki atau Cordoba dan Barcelona di Spanyol tidak berbeda layaknya orang udik yang melihat Jakarta untuk pertama kalinya. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik yang bersifat eksak maupun sosial begitu pesatnya. Sebagai contoh, tidakkah nama2 Al-jabar atau Al-khemi berbau2 Arab yang notabene merupakan bangsa yang mendominasi kaum Muslim awal? Al Jabar memang adalah seorang jenderal perang yang menemukan bilangan 0 yang kemudian menjadi dasar berkembangnya disiplin ilmu Aljabar dan matematika secara umum. Perkembangan dan kekuatan Islam saat itu memang tidak tertandingi. Akan tetapi, setelah periode 700 tahun itu, negeri2 Islam memang mencapai titik puncaknya, dan sebenarnya (apabila kita masih merujuk pada analisis IK), inilah awal dari kemunduran suatu peradaban. Dan memang benar, pola hidup urban, dikuranginya bala tentara, berkurangnya semangat jihad karena memang musuhnya sudah tidak ada, menjadi pola hidup yang dominan di negeri-negeri Islam.

Pada saat yang sama, pada abad 6/7-15 itu, dataran dan peradaban bangsa2 eropa sedang berada pada era yang (oleh orang2 eropa) disebut sebagai "zaman kegelapan" (dark ages). Ilmu-ilmu mistik berkembang pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat mandek karena dianggap bertentangan dengan agama, kehidupan beragama yang kacau balau, disorientasi visi, dan peperangan-peperangan di kalangan kerajaan2 eropa mewarnai era ini di Eropa. Kehidupan menjadi tidak manusiawi di Eropa, dan banyak masyarakat Eropa yang menemukan pencerahan dan "pelarian" di negeri-negeri muslim. Masa kegelapan inilah, yang nampaknya menjadi masa penempaan yang digariskan Allah pada bangsa-bangsa Eropa. Ini sebenarnya sudah menjadi prakondisi bahwa bangsa Eropa, pada waktunya, akan memimpin peradaban. Dan benarlah, masyarakat dan bangsa Eropa yang sepertinya sudah muak dan jenuh dengan kehidupan mereka mulai membuat revolusi2 mental dan pemikiran yang radikal. Pencurian ilmu-ilmu pengetahuan dari peradaban Islam dan perombakan revolusioner kehidupan beragama menjadi awal dari era yang kemudian mereka sebut Renaissance/Aufklarung (masa pencerahan). Masa ini juga ditandai dengan kemunculan agama Kristen Protestannya Marthen Luther di Jerman sebagai bentuk revolusi terhadap kehidupan beragama katholik ortodoks Roma yang dinilai sudah ternoda dan terlalu mengekang perubahan. Dua peradaban yang kondisinya bertolak belakang ini (Islam dan Eropa) kemudian "berbenturan" dalam peperangan-peperangan, baik perang pemikiran maupun perang secara fisik. Semangat Eropa untuk menyebarkan agama Katholik dan Kristen melalui misi-misi misionaris berbenturan dengan akidah Islam di negeri-negeri muslim. Sedikit banyak, faktor adanya "musuh bersama" ini juga yang menjadi salah satu perekat bangsa-bangsa Eropa. Rasulullah Muhammad SAW yang oleh bangsa Eropa namanya diplesetkan menjadi "Mahound" (tukang sihir) atau "the great pretender"(terkait dengan sebuah ramalan dalam Alkitab mengenai kedatangan seorang "anti-kristus" yang akan memutarbalikkan ajaran2 Yesus dengan muslihat2 yang rasional), menjadi sebuah ikon yang mempersatukan Eropa. Ini kemudian menjadi sebab berkobarnya Perang Salib. Dalam Perang Salib inilah sebenarnya dapat kita lihat wujud nyata dari benturan antar peradabannya Huttington. Dalam Perang Salib I, kekuatan Eropa ternyata belum mampu menggoyahkan dominasi negara-negara Muslim, tetapi itu sudah cukup untuk mengobarkan semangat lebih banyak lagi orang Eropa untuk berperang.

Kondisi peradaban Islam sendiri, karena memang sudah terlena dengan kemajuan peradaban dan tidak adanya musuh yang dapat menandingi mereka, menjadi lemah dan rentan terhadap godaan-godaan pemikiran. Kelemahan akidah dan semangat ukhuwah inilah yang kemudian memberi jalan bagi kemenangan Eropa pada Perang Salib II. Peperangan brutal dan aliran darah menandai benturan yang kedua ini. Contoh nyatanya mungkin dapat kita lihat pada Cordoba (Spanyol) dan Turki. Kita tahu betapa melekatnya citra alat musik Gitar dengan negeri Spanyol. Konon, Gitar sebenarnya baru muncul di Spanyol pada sekitar abad 13-15. Alat musik inilah yang konon membuat pemuda-pemuda Muslim terlena dengan musik dan kehidupan duniawi. Mereka mulai menciptakan tariantarian dengan diiringi wanita dan gitar, dan larut dalam hedonisme sehingga meninggalkan sholat dan latihan fisik untuk mempersiapkan diri menghadapi jihad Perang Salib. Inilah yang kemudian membuat Cordoba takluk setelah selama 400 tahun menjadi salah satu negara Muslim terbesar di Eropa. Begitu juga dengan Turki yang dibuat mati secara pemikiran/semangat, sehingga arus sekulerisme begitu mudah masuk, yang dimulai oleh Mustapha Kemal Pasha (Kemal Attatuurk/Kemal sang Pembangun) dengan revolusinya yang sebenarnya tidak lebih dari penyusupan nilai-nilai sekuler kedalam akidah umat muslim Turki. Penaklukan Cordoba menandai berakhirnya dominasi peradaban Muslim di Eropa, dan praktis, peradaban Muslim yang kala itu tidak mampu ditembus oleh Eropa hanya tersisa di jazirah Arab. Itupun, terus dikacaukan dengan perang-perang pemikiran sampai saat ini. Memang banyak yang mengkambinghitamkan Eropa dalam kemunduran peradaban Islam. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan oleh umat muslim sebenarnya adalah bahwa kemajuan Eropa itu sebenarnya tidak akan bisa terjadi kalau prakondisi2nya tidak terpenuhi. Dan salah satu prakondisi itu adalah kemunduran/kelemahan dari peradaban yang akan digantikan. Dalam konteks ini berarti, saham terbesar dari kejatuhan peradaban Islam tidak terletak pada kemajuan Eropa, tapi justru pada melemahnya akidah dan semangat jihad di peradaban Islam sendiri, atau notabene, umat muslim yang mengusung peradaban itu. Terakhir, satu analisis lagi adalah dari konteks waktu. Bisa kita lihat bahwa "umur" sebuah peradaban biasanya tidak jauh dari selang waktu 5-7 abad, yang dimulai dari peradaban Mesir lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Begitupun umur kejayaan peradaban Islam yang berusia kurang lebih 7 abad.

Artinya, kalau kita melihat bahwa umur kejayaan peradaban Eropa yang saat ini sudah mencapai 7 abad, seharusnya Eropa saat ini sedang berada di titik jenuh, titik puncak. Adapun saat ini, satu-satunya peradaban yang bisa kita anggap mampu menyaingi Eropa adalah Islam. Masa 7 abad itu juga seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi masa penempaan bagi Umat Islam. Artinya, seharusnya saat ini, peradaban Islam sedang bergerak untuk kembali muncul sebagai pemimpin dunia. Bangsa2 barat (termasuk AS dan Eropa) sepertinya menyadari betul analisis dari IK ini. Inilah sebabnya perang peradaban yang sedang terjadi saat ini adalah berupa perang pemikiran/ideologi. Tujuannya tidak lain, adalah untuk membuat umat Islam lupa, bahwa mereka sedang dijajah. Dengan demikian, umat Islam tidak akan tergerak untuk bangkit. Apabila ummat Islam tidak secepatnya menyadari hal ini... Sebenarnya, dewasa ini, pemikiran Ibnu Khaldun sepertinya telah mengilhami sebuah konsep yang kemudian akan berperan besar dalam teori-teori konspirasi. Konsep itu adalah konsep "manajemen konflik". Loh? kok manajemen konflik? Mungkin akan saya bahas dalam posting lain yang secara spesifik akan bercerita tentang... Amerika Serikat. Terakhir... Hal lain yang membuat saya penasaran dengan pemikiran Ibnu Khaldun adalah... Masih ingat, judul naskah yang saya dan Otep bicarakan sebelum saya memikirkan hal ini adalah "Muqodimah". Dalam bahasa Indonesia, kata itu kira-kira berarti "Pembukaan". Artinya, naskah itu sebenarnya hanya merupakan pengantar, pembuka dari sesuatu yang tentunya lebih besar. Naskah Muqodimah sendiri, konon dalam versi bahasa Inggrisnya, diterbitkan sebanyak 3 jilid, dengan masing-masing jilid lumayan tebal. Bayangkan ilmu yang terkandung dari apa yang diantarkan oleh Muqodimah itu... Ditulis oleh : Awan Diga Aristo pada 4:26 PM Kategori : Wacana wacini

Shaliba dan Semangat Filsafat Arab Sunaryo Apa yang anda rasakan ketika mengkaji filsafat Arab jika dibandingkan dengan filsafat Barat? Pada umumnya akan menjawab kurang menarik. Berangkat dari kenyataan ini, Jamil Shaliba, penulis buku al-Falsafah al-‘Arabiyyah (Filsafat Arab, 1970), berusaha menampilkan kajian filsafat Arab agar lebih menarik. Menurut Shaliba, ketaktertarikkan para pembaca terhadap filsafat Arab bukan karena pada filsafat Arab itu sendiri, melainkan pada masalah penyajian. Dalam pandangannya, kegagapan para pengajar dan penulis filsafat Arab dalam memahami maksud filsuf Arab dan kesulitan memaknai teks-teks arab menjadi kendala utama agar dapat menampilkan filsafat Arab secara menarik (h.11). Buku yang diberi judul al-Falsafah al-Arabiyyah berupaya mengatasi persoalan-persoalan teknis ini.

Jamil Shaliba menyajikan al-Falsafah al-Arabiyyah dengan bahasa yang lebih mengalir dan mudah dipahami bila dibandingkan dengan buku-buku sejenis, seperti al-Turats alYunani fi al-Hadarat al-Islamiyah Abdurrahman Badawi yang diterjemahkan dari bahasa Italia, atau buku al-Fikr al-Arabi karya De Lacy O 'Leary. Shaliba merangsang gairah pembaca agar tertarik mengkaji dan mendalami filsafat Arab dengan mengangkat kembali teks-teks asli para filsuf dan disertai dengan kemungkinan mengusung tematema baru dari filsuf tersebut. Menurutnya, pengaruh filsafat Arab terhadap filsafat Barat modern lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh filsafat Barat modern terhadap filsafat Arab kontemporer (h.12). Karenanya, kajian atas perkembangan filsafat dalam dunia Arab dan Islam bukanlah kajian yang remeh-temeh.

Tema-tema tentang Ada, yang satu (monistik), yang banyak (pluralistik), hubungan antara Tuhan dan makhluknya, ruang dan waktu, gerak dan diam serta jiwa dan akal adalah tema-tema yang kerap didiskusikan dan diperdebatkan oleh filsuf-filsuf Arab dan kemudian menjadi tema-tema filsafat di dunia Barat modern. Atas dasar pertautan pemikiran ini maka sulit sekali membayangkan perkembangan filsafat di Barat tanpa

peran para filsuf-filsuf Arab sebelumnya. Hal yang sama juga dapat dialamatkan pada filsafat Arab klasik. Sulit membayangkan gairah filsafat di dunia Arab tanpa penerjemahan buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani dan Suryani oleh para penerjemah Kristen Nestorian, Yahudi dan kaum Shabi’ yang kebetulan menguasai dua bahasa tersebut.

Shaliba mencatat ciri persamaan dan perbedaan antara filsafat Arab dan filsafat Yunani. Persamaan antara dua filsafat ini ada pada kepercayaan yang sangat besar terhadap peran rasio sebagai sumber pengetahuan dan sebagai metode. Keduanya percaya bahwa dengan rasio maka hakikat sesuatu dapat ditangkap (h.23). Filsuf seperti al-Farabi yang dijuluki guru kedua, di mana yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles, dan Ibnu Rushd yang juga sangat tergila-gila pada filsafat Aristoteles adalah filsuf-filsuf yang sangat gigih memperjuangkan peran rasio sebagai sumber pengetahuan alat untuk memahami agama. Sementara titik perbedaanya ada pada tujuan dan maksud kaduanya dalam menggumuli filsafat. Bagi filsuf Yunani, filsafat semata-mata dipandang sebagai sesuatu yang estetis, sementara bagi filsuf Arab, filsafat dipandang dengan kerangka agama. Karenaya tema-tema yang sempat berkembang dan dikembangkan oleh filsuf Arab adalah tentang relevansi filsafat bagi agama, seperti harmonisasi hubungan agama dan filsafat serta pembuktian adanya Tuhan (24-25).

Dari judul yang dibuat oleh Shaliba, para pembaca akan tergelitik untuk bertanya, mengapa Shaliba memberi judul bukunya filsafat Arab bukan filsafat Islam? Bukankah para filsuf yang dibahas dalam buku ini lebih dikenal sebagai filsuf Islam bukan filsuf Arab. Dengan menyebut Arab, seharusnya ia mengekslusikan Ibnu Sina dan alGhazali yang berasal dari Persia dan al-Farabi yang berasal dari Turki. Dan bukankah juga motif para filsuf ini lebih didorong oleh motif dan semangat peradaban Islam dibandingkan semangat kearaban. Atas pertanyaan-pertanyaan ini, Shaliba memberikan jawabannya. Pertama, gairah filsafat di dunia Arab bukanlah jerih payah orang Islam saja. Sumbangan yang juga tidak boleh dilupakan adalah peran besar para penerjemah yang hampir sembilanpuluh persen bukan orang Islam. Mereka adalah orang-orang Kristen Nestorian, Yahudi dan kaum Shabi’. Kedua, karya-karya filsuf yang dibahas dalam buku ini ditulis dalam bahasa Arab. Ketiga, bahasa agama yang dianut oleh para filsuf ini, kitabnya dan nabinya adalah berbahasa Arab. Dan keempat, bila buku ini diberi judul filsafat Islam maka ada keharusan bagi penulis untuk

memasukkan filsuf-filsuf Islam yang tidak menulis dalam bahasa Arab. Namun setelah memberikan jawabannya ini, Shaliba menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak terlalu mempersoalkan judul bukunya ini. Filsafat Arab atau filsafat Islam menurutnya sama saja. Ia mengatakan, pemikiran filsafat yang ada dalam bukunya ini adalah filsafat Arab yang dibentuk oleh Islam atau filsafat Islam yang ditulis dalam bahasa Arab (10-11). ***

Tesis utama yang ingin disampaikan oleh Shaliba dalam bukunya adalah pertautan erat filsafat Yunani bagi filsafat Arab. Tesis ini ia sajikan dalam bentuk studi tokoh dengan menampilkan dua filsuf Yunani yang paling berpengaruh bagi dunia Arab atau Islam, Plato dan Aristoteles, empat filsuf Islam yang berasal dari wilayah timur dan dua dari wilayah barat. Filsuf yang berasal dari wilayah timur adalah al-Farabi, Ibnu Sina, Abu al-‘Ala al-Ma’arry dan al-Ghazali, sementara yang berasal dari wilayah barat adalah Ibnu Rushd dan Ibnu Khaldun.

Bila melihat tokoh-tokoh filsuf Islam yang dikaji, tampak ada sesuatu yang baru yang ingin ditampilkan oleh Shaliba. Kehadiran Abu al-‘Ala al-Ma’arry, al-Ghazali dan Ibnu Khladun sebagai filsuf memberikan makna bahwa yang dimaksud filsafat oleh Shaliba adalah pengertian filsafat dalam arti luas. Hal ini dikarenakan Abu al-‘Ala al-Ma’arry kurang dikenal sebagai tokoh filsuf, ia lebih dikenal sebagai penyair, Al-Ghazali sebagai teolog dan Ibnu Khaldun sebagai sejarawan Islam. Mereka bukanlah para tokoh seperti al-Farabi yang begitu giat mengomentari karya-karya klasik Yunani dan menghasilkan karya utama tentang filsafat politik, al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama), atau Ibnu Sina yang asik dengan keruwetan membaca metafisika Aristoteles yang ia bacanya berpuluh-puluh kali, atau bahkan seperti Ibnu Rushd, Sang Rasionalis Islam, yang berupaya keras mengharmonisasikan hubungan filsafat dan agama.

Tentu saja tidak buruk bila Shaliba menampilkan Abu al-Ala al-Ma’arry, al-Ghazali dan Ibnu khaldun sebagai filsuf Arab, bahkan memang sudah selayaknya seperti itu. Dalam sebuah artikel tentang pemikiran Arab kontemporer, Luthfie Syaukani mencatat tiga gerakan utama yang dilakukan oleh intelektual Arab kontemporer untuk

membangkitkan kembali gairah filsafat di dunia Arab. Pertama, penerjemahan karyakarya filsafat Islam ke bahasa non-Arab, menyunting dan menerbitkannya kembali. Kedua menerjemahkan karya-karya filsuf barat ke dalam bahasa Arab, dan ketiga adalah membuat tema-tema baru tentang filsafat.i[i] Dari tiga gerakan ini, Shaliba masuk dalam gerakan pertama yang berusaha keras memperkenalkan khazanah filsafat klasik Arab yang di antaranya adalah tiga tokoh tadi.

Abu al-‘Ala al-Ma’arry, adalah seorang penyair yang sangat pesimis terhadap dunia. Keyakinannya yang begitu kuat tentang dunia adalah “inna al-syarr fi al-dunya ghalibun ‘ala al-khair”, sesungguhnya keburukan akan selalu menang di dunia ini. Begitu banyak faktor yang melatarbelakangi paham pesimismenya ini. Pada umur tiga tahun ia terkena penyakit yang mengakibatkan penglihatan mata kirinya menjadi hilang, dan kematian ayahnya juga telah membuat ia terpuruk dalam derita kesedihan hilangnya orang yang paling ia cintai. Sementara faktor lainnya adalah pergolakan politik kotor yang memenuhi situasi sosial pada masanya. Sedemikian pesimisnya ia mengatakan tentang dirinya “aku bagaikan sayap yang patah, sehingga aku tak mampu bangkit…” Ungkapan ini menggambarkan ketakberdayaan al-Ma’arry karena kebutaanya. Bukan hanya itu yang membuatnya tak berdaya menghadapi dunia, karakternya yang lemah juga turut mempengaruhi pandangannya itu (295).

Kekecewaan al-Ma’arry terhadap dunia ia ekspresikan dengan anjuran untuk berzuhud, tidak memakan daging dan selibat (tidak menikah). Menurutnya, hidup ini adalah derita, bila seseorang menikah dengan lawan jenisnya dan kemudian melahirkan anak maka ia telah menambah derita hidup ini (298-300). Baginya, fitrah dunia adalah jahat dan derita. Apa yang kita idealkan tentang dunia selalu bertentangan dengan realitas yang ada. Pesimismenya menyimpulkan bahwa kematian lebih baik dari pada kehidupan dan kehancuran dibandingkan kekekalan. Hanya ada satu titik cahaya yang membuatnya tenang. Titik cahaya itu adalah imannya kepada Tuhan (301).

Selain itu, Shaliba juga memotret polemik antara al-Ghazali dengan Ibnu Rushd tentang tiga masalah filsafat yang menyebabkan filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dianggap kafir. Al-Ghazali mempermasalahkan duapuluh masalah filsafat, tiga di

antaranya dapat membuat orang yang meyakininya menjadi kafir dan tujuhbelas yang tersisa masuk dalam wilayah bid’ah. Tiga proposisi yang membuat filsuf kafir itu adalah tentang ke-qadim-an alam (keyakinan bahwa alam tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir), ketakpercayaan tehadap kebangkitan jasad (jasmani) beserta perhitungannya dan keyakinan bahwa Allah tidak mengetahui kejadian-kejadian yang pertikular (365).

Ada empat argumen yang dibangun oleh para filsuf (sebagian besar) untuk membuktikan ke-qadim-an alam. Pertama, kemustahilan munculnya sesuatu yang bukan qadim (ada awal dan akhir) dari yang qadim. Dari argumen pertama dilanjutkan pada argumen kedua. Menurut para filsuf, jika Sang Pencipta yang qadim hadir lebih dahulu dibandingkan dengan alam yang qadim, seperti lebih dahulunya satu atas dua atau gerak tangan atas bayangan tangan, maka tidak mungkin yang satu qadim sementara yang lainnya bukan qadim. Yang mungkin adalah kedua-duanya itu qadim atau kedua-duanya bukan qadim, namun kesimpulan yang terakhir ini mustahil bagi Tuhan, berarti yang benar adalah kesimpulan pertama (bahwa dua-duanya qadim). Argumen yang ketiga dan yang keempat menggunakan teori kemungkinan sebagai pembuktian atas qadimnya alam (365-369).

Al-Ghazali membantah semua argumen yang dibangun oleh para filsuf tadi dengan argumen yang filosofis dan cukup rigorus (ketat) juga. Sebagai contoh bagaimana alGhazali menanggapi argumen para filsuf ini adalah tanggapannya atas argumen yang pertama. Menurutnya “alam itu bukanlah qadim dan ia disebabkan oleh kehendak yang qadim. Dari kehendak yang qadim ini maka muncul alam yang bukan qadim. Jika adanya alam ini tidak bermula (qadim) maka tidak ada kehendak. Sedangkan adanya alam tidak bergantung pada kehendak yang bukan qadim melainkan pada kehendak yang qadim” (h.366). Semua perdebatan ini ditulis oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filsuf) yang kemudian dikritik oleh Ibnu Rushd, filsuf dari Andalusia (Spanyol saat ini), lewat buku Tahafut al-Tahafut (kerancuan buku Tahafut al-Ghazali).

Dan tak ketinggalan, Shaliba juga menguraikan metode sejarah Ibnu Khaldun. Menurutnya, Ibnu Khaldun sangat memperhatikan ilmu tentang sejarah dan kritik sejarah namun agak menghindar dari kajian metafisika dan filsafat peripatetik (564). Di antara metode sejarah Ibnu Khaldun yang diangkat adalah teorinya tentang perkembangan masyarakat dan ‘ashabiyah (fanatisme). Menurut Ibnu Khaldun, faktorfaktor yang melatarbelakangi adanya perkembangan adalah kondisi alam dan lingkungan, ekonomi serta faktor pribadi dan sosial (h.576).

Buku setebal 691 halaman ini membahas dengan cukup panjang lebar pemikiran filsafat tokoh-tokoh yang diangkat: Plato tentang dunia ide dan epistemologinya, Aristoteles dengan filsafat pertama, fisika dan konsepnya tentang jiwa; al-Farabi tentang hubungan Allah dengan alam, dan filsafat politiknya yang ditulis dalam buku utamanya, al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama); Ibnu Sina tentang ontologi dan jiwa (psikologi). Karenanya dengan uraiannya yang cukup menyeluruh dalam membahas setiap tokoh, buku ini sangat layak dijadikan referensi untuk tema filsafat Islam dalam persinggungannya dengan pemikiran Yunani.

Dalam uraian yang cukup menyeluruh tentang pemikiran filsafat setiap tokoh yang dibahas, sayangnya Shaliba tidak menyertakan tokoh-tokoh lain yang juga mengisi peradaban baik di Yunani dan terlebih di dalam Islam secara menyeluruh pula. Sebut saja al-Kindi, filsuf Arab yang berasal dari wilayah timur tidak disajikan dengan menyeluruh, padahal sebagai filsuf pertama yang ada dalam Islam, perannya tidak kalah penting dengan filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Begitu juga Ibnu Tufail dan Ibnu Bajah yang berasal dari wilayah barat. Memang bila Shaliba menyajikan filsuf-filsuf ini seperti yang ia sajikan tentang al-Farabi dan lain-lain, maka hasilnya adalah buku yang berjilid-jilid. Namun, bukankah hasil itu yang ditunggu-tunggu untuk pengembangan filsafat Islam atau Arab dalam bidang filsafat. Catatan yang lain, Shaliba tidak mejelaskan dengan begitu detail bagaimana proses peralihan pemikiran Yunani ke dalam dunia Islam. Yang ia uraikan hanya proses penerjemahan besarbesaran pada awal abad ketujuh masehi hingga akhir abad kedelapan. Padahal selain uraian ini, pembaca juga mengharapkan uraian tentang peran para filsuf abad pertengahan seperti Agustinus dan Plotinus dengan neo-platonismenya. ‘Ala kulli hal,

karya Shaliba ini patut disambut dengan sikap optimis bagi kebangkitan dan perkembangan filsafat dalam dunia Islam.

Download Save To Library Share Report

STUDI PEMIKIRAN IBN KHALDUN TENTANG EKONOMI ISLAM Nova Yanti Maleha Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah Indo Global Mandiri (STEBIS IGM) Palembang Email : [email protected] ABSTRAK ”Ibn Khaldun merupakan salah satu ulama besar Islam yang hidup pada zaman kegelapan Islam atau permulaan masa renassance di Eropa. Pemikiran beliau dalam konetks ekonomi Islam banyak ditemukan dalam karya monumentalnya ”Muqadimmah” di mana di dalamnya banyak memberikan gambaran konsep kekayaan nasional, keseimbangan ekonomi makro, teori upah, perdagangan internasional, uang, pajak dan mekanisme pasar serta lainnya yang sangat berguna bagi pengkajian dan perkembangan ekonomi Islam. Ibn Khaldun juga berhasil melanjutkan pemikiran ekonomi Islam yang telah menjadi tradisi pemikiran intelektual Islam mulai dari zaman kenabian sampai kegelapan Islam” . Kata Kunci;

Ibn Khaldun, Ekonomi, Uang, Pasar DASAR PEMIKIRAN Pembahasan mengenai sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam berbagai literature keislaman, masih sangat jarang ditemukan. Literatur mengenai sejarah peradaban dan kejayaan Islam sebenarnya banyak ditemukan, namun sangat sedikit yang secara khusus membahas pemikiran ekonomi muslim pada masa kejayaan tersebut. Padahal beberapa sarjana Muslim besar yang pemikirannya masih sangat relevan untuk dikembangkan pada saat ini sangat banyak seperti Abu Yusuf, Abu Ubaid, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan Al-Maqrizi. Para tokoh ini telah merumuskan pemikiran ekonomi tentang permintaan dan penawaran, mekanisme dan regulasi pasar, penetapan harga yang adil, konsep uang dan pelarangan riba, konsep pertumbuhan Negara, konsep inflasi dan pemikiran lainnya di lapangan ekonomi (Amalia, 2010: vii). Berangkat dari persoalan di atas maka mengkaji pemikiran Ibn Khaldun menjadi sangat penting, selain karena Ibn Khaldun dikenal sebagai bapak ekonomi ( father of economic ), ia juga dikenal sebagai sejarawan ulung yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai bapak Sosiologi dari kawasan Afrika Utara. Selain itu, perkembangan ekonomi modern sekarang ini sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi sebelumnya tanpa terkecuali ekonomi Islam. BIOGRAFI IBN KHALDUN

Ibn Khaldun nama lengkapnya Wali al-Din Abdurrahman bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Abdrurahman Ibn Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H bertepatan dengan 27 Mei 1332 M, dan meninggal di Kairo Mesir pada tanggal 26 Ramadhan 808 H/ 16 Maret 1406 M (alAzmeh, 1982: 1). Gelar Wali al-Din adalah gelar yang diberikan kepada Ibn Khaldun sewaktu menjabat sebagai Qadi Mesir, dan selanjutnya lebih populer dengan sebutan Ibn Khaldun (Al-Khundairi, 1987: 9). Nama Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ke sembilan, yaitu al-Khalid. Khalid ibn Usman adalah nenek-moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada. Kemudian keturunan Khalid di Andalusia ini dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun. Berdasarkan silsilah keluarga, Ibn

Khaldun masih bersilsilah dengan Wail Bin Hajar salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW terkemuka (Karim, 2014: 391). Nenenk moyang Ibn Khaldun berasal dari Hadramaut. Ayahnya bernama Abu „Abdullah Muhammad juga berkecimpung dalam bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik dan menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Beliau ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Meninggal dunia pada tahun 749 H/1348 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak termasuk „Abd al -Rahman ibnu Khaldun yang pada waktu itu berusia 18 tahun (Chamid, 2010: 246). Ibnu Khaldun mengawali pendidikannya dengan membaca dan menghafal AlQur‟an dengan ayahnya, sekaligus belajar membaca, menulis dan bahasa Arab. Kemudian baru menimba berbagai ilmu dari guru-guru terkenal sesuai dengan bidangnya masing-masing seperti Abu „Abdullah Muhammad ibnu Sa‟ad bin Burral al -Ansari, darinya ia belajar alQur‟an dan al Qira‟at al -Hasayiri, Muhammad al-Syawwasy al-Zarzali, Ahmad ibnu al-Qassar dari mereka Ibnu Khaldun belajar bahasa Arab. Di samping nama-nama di atas Ibnu Khaldun menyebut sejumlah ulama, seperti Syaikh Syams adDin Abu „Abdullah Muhammad al -Wadiyasyi, darinya ia belajar ilmuilmu hadits, bahasa Arab, fiqh, dan dari „Abdullah Muhammad ibnu „Abd as -Salam ia mempelajari kitab alMuwatta‟ karya Imam Malik (al -Azmeh, 1982: 3). Selain itu, guru-guru terkenal lainnya yang ikut serta membentuk kepribadian Ibnu Khaldun, Muhammad ibnu Sulaiman alSatti „Abd al -Muhaimin al-Hadrami, Muhammad ibnu

Ibrahim al-Abili. Darinya ia belajar ilmu-ilmu pasti, logika dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran di samping dua ilmu pokok (Qur‟an dan Hadits).

Ibnu Khaldun tinggal di Tunisia sampai tahun 751 H. Ia tekun belajar dan membaca serta menghadiri majlis gurunya Muhammad Ibrahim al-Abili. Pada waktu berusia 20 tahun Ibnu Khaldun dipanggil oleh Abu Muhammad ibnu Tarafkin penguasa Tunisia untuk memangku jabatan sekretaris Sultan Abu ishaq ibnu Abu Yahya al-Hafsi. Ia menerima tawaran tersebut dan untuk pertama kali pada tahun 751 H memangku jabatan pemerintahan. Sejak itu Ibnu Khaldun mulai mengikuti jejak dan tradisi keluarga dan nenek moyangnya yang bekerja pada jabatan-jabatan tertinggi Negara. Adapun yang mendorong Ibnu Khaldun menerima jabatan tersebut karena ia merasa tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pelajarnnya di Tunisia, terutama setelah gurunya Muhammad Ibrahim al-Abili meninggalkan Tunisia menuju Fez. Ia merasa sedih karena ditinggalkan guru-gurunya, akibatnya Ibnu Khaldun tidak dapat melanjutkan pelajarnnya. Ibnu Khaldun tetap memangku jabatan sekretaris sampai ia hijrah ke kota Fez pada tahun 755 H/1354 M. Pada tahun 752 H Sultan al-Magrib al-Aqsa Abu al Hasan meninggal, ia digntikan oleh anaknya Abu Inan. Ibnu Khaldun dipanggil oleh Abu Inan ke kota Fez pada tahun 755 H dan diangkat sebagai seorang anggota majlis ilmu (majlis ulama Abu Inan), kemudian diangkat sebagai salah seorang sekretaris sultan. Pada tahun 758 H, Ibnu Khaldun ditangkap oleh Sultan Abu Inan dengan tuduhan melakukan sabotase terhadap sultan. Ia dipenjara selama 2 tahun dan setelah Abu Salim ibnu Abu al-Hasan menjadai sultan alMagrib alAqsa pada bulan Sya‟ban 760 H Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris pribadi sultan. Pada tannggal 19 Jumadil as-Tsani 786 H, Sultan mengangkat Ibn Khaldun sebagai ketua pengadilan kerajaan menggantikan Jamaluddin Abdurrahman Ibn Sulaiman Ibn Khair yang dipecat. Namun karena banyak ganggungan, fitnah dan hasutan pada tahun 787 H, Ibn Khaldun mengundurkan diri, dan tidak lama kemudian Sultan memintanya untuk menjadi guru di Madrasah Zahiriyah Burquqiyah dalam ilmu fiqh Maliki. Pada tahun 803 H, pada masa pemerintahan Sultan Nashir Faraj Ibn Khaldun ikut menemaninya ke Damaskus dalam satu pasukan untuk menahan serangan pasukan Kerajaan Mongol, Timur Lenk. Setelah kembali ke Kairo, ia kembali ditunjuk untuk menduduki jabatan ketua Pengadilan kerajaan dan tetap dalam jabatannya itu hingga akhir hanyatnya (Amalia, 2010: 228-229).

Ibn Khaldun banyak menghasilkan karya yang sangat berguna bagi perkembangan peradaban Islam dalam berbagai aspek, seperti Kitab alI’bar wa Diwan al

Mubtada’ wa al - Khabar fi alA’yan wa al ’Arab wa al ’Ajam wa al Barbar wa man ’Asrahum min Zawi as -Sulthan al-Akbar. Kitab al-Muqadimmah, Kitab atTa’rif bi Ibn Khaldun Mua’llif haza al -Kitab, dan Kitab Lubab al-Muhassal fi Usul ad-Din (Amalia, 2010: 230-233) . PEMIKIRAN EKONOMI IBN KHALDUN Ibn Khaldun merupakan salah seorang cendekiawan Muslim yang hidup pada masa kegelapan Islam dan permulaan zaman Renaissance di Eropa. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan Muslim yang tetap kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada periode Pertengahan. Ibn Khaldun dalam lintasan sejarah tercatat sebagai ilmuwan Muslim pertama yang serius menggunakan pendekatan sejarah (historis) dalam wacana keilmuan Islam. Ibn Khaldun juga dikenal sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar pada bidang pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan tentang al-ummah ( civilization) . Konstribusinya yang sangat signifikan pada bidang ekonomi membuatnya layak ditempatkan dalam sejarah pemikiran ekonomi sebagai father of economic (bapak ekonomi). Konsep dan analisis ekonomi Ibn Khaldun banyak dijumpai dalam Magnum Opusnya ”Muqadimmah”

yang sesungguhnya merupakan volume pertama dari tujuh volume karya besarnya, Kitab al’Ibar, atau judul lengkapnya alI’bar wa Di wan alMubtada’ wa al -Khabar fi alA’yan wa al ’Arab wa al ’Ajam wa al Barbar wa man ’Asrahum min Zawi as -Sulthan al- Akbar. (Buku Pelajaran-pelajaran dan rekaman sebab dan akibat dalam sejarah orangorang Arab, Persia, Barbar dan kekuatan kontemporer mereka) (Chapra, 2001: 173). Di dalam karya tersebut Ibn Khaldun banyak memberikan bahasan tentang teori nilai, pembagian kerja dan perdagangan internasional, hukum permintaan dan penawaran, konsumsi, produksi, uang, silkurasi perdagangan, keuangan publik, dan bahasan ekonomi makro lainnya (P3EI, 2013: 112). Untuk lebih jelas tentang pemikiran ekonomi Ibn Khaldun akan dijabarkan di bawah ini sebagai berikut : 1. Kekayaan Nasional Ibn Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu bangsa terletak pada kegiatankegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduknya, bukan pada jumlah emas dan perak yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemakmuran, maka harus ada usaha-usaha

untuk menggerakkan kegiatan ekonomi yang lebih tinggi lagi, misalnya dengan memperbanyak jumlah tenaga kerja efektif. Pendapat Ibn Khaldun ini tentu saja menarik, karena madzhab merkantilis yang datang kurang lebih dua abad setelah Ibn Khaldun justru sangat bernafsu mengumpulkan cadangan emas mereka sebagai tanda dari kemakmuran bangsa. Padahal, pemikiran ekonomi modern setelah madzhab merkantilis ternyata lebih sepakat dengan pandangan dan teori kemakmuran Ibn Khaldun ini. Dalam muqadimah, Ibn Khaldun menyatakan; ” Pertanyaan yang harus dijawab adalah; di manakah letak kekayaan nasional itu...? {(jawabnya) harus diketahui bahwa emas, perak, dan batu-batuan berharga lainnya tidak ada bedanya dengan mineral-mineral (lainnya) dan kapital, yang diperoleh dari biji besi, tembaga, dan mineral-mineral biasa lainnya. Adalah karena peradaban yang menyebabkan semuanya itu ditemukan dan menentukan jumlahnya naik atau turun. Penduduk umumnya berfikir bahwa kemakmuran bangsa ditentukan oleh seberapa besar cadangan emas dan perak yang dimilikinya, padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Sebuah peradaban yang hebat mampu menghasilkan keuntungan yang besar, itu karena jumlah tenaga kerja efektifnya tersedia dengan cukup.” Dari pendapat tersebut tampak bahwa kekayaan nasional yang dimaksud oleh Ibn Khaldun mirip dengan konsep pendapatan nasional yang biasanya ada dalam literatur ekonomi makro modern. Oleh karena itu, kekayaan suatu bangsa bisa saja mengalami peningkatan atau penurunan, bergantung pada kemampuan penduduk dalam menggerakkan roda perekonomian melalui kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika terdapat tenaga kerja efektif yang lebih banyak dan mereka dimanfaatkan sepenuhnya, maka kemakmuran bangsa itu pun meningkat, dan demikian pula sebaliknya (Hoetoro, 2008: 148). 2. Keseimbangan Ekonomi Makro ( ma c r o e c o n o mi c e q u i l i b r i u m)

Menurut Ibn Khaldun, setiap Negara akan cenderung menyeimbangkan kondisi ekonomi mereka dengan cara membuat penyesuaian antara permintaan agregat dan penawaran agregat. “ Pendapatan dan pengeluaran di suatu kota atau negeri satu sama lain saling menuju keseimbangan. Apabila pendapatan kota itu besar, maka pengeluarannya juga besar dan demikian pula sebaliknya. Kemudian, apabila kedua-duanya (pendapatan dan pengeluaran) besar, maka penduduknya sungguh sangat menikmatai situasi ini, dan kota itu pun menjadi tumbuh berkembang.” Argumentasi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun mengenai tingkat kekayaan dan keseimbangan ekonomi makro itu mirip dengan efek multiplier dari tenaga kerja efektif menurut teori Keynes. Ketika suatu negeri memiliki pendapatan dan pengeluaran yang tinggi, maka akan banyak orang yang datang ke negeri itu. Implikasinya adalah permintaan agregat meningkat dan

beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap orang bebas memperjualbelikan emas, sistem ini berlaku antara tahun 1890-1914 M (Amalia, 2010: 201-202). Disinilah terlihat ketajaman analisis Ibnu Khaldun tentang standar mata uang. Ia sebagaimana al-Ghazali, memprediksi bahwa pada saatnya nanti seiring dengan perkembangan perekonomian, maka standar uang atau standar moneter juga akan mengalami perubahan. 6. Pajak Peningkatan pajak terkait langsung bagaimana peranan perusahaan swasta dan negara dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga faktor penting dalam produksi. Melalui pembelanjaannya, negara mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya mampu melemahkan produksi. Karena pemerintah membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan, penurunan dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinan semakin baik bagi perekonomian. Belanja tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan dan politik. Tanpa stabilitas peraturan dan

politik, produsen tidak mempunyai insentif untuk memproduksi (Chapra, 2001: 167). Menurut Ibnu Khaldun insentif bekerja dipengaruhi oleh pajak. Pajak yang tinggi akan menurunkan produksi dan populasi. Pajak yang tinggi menyebabkan dis-insentif bagi masyarakat untuk berproduksi dikarenakan bertambahnya struktur biaya yang akan dibebankan ke konsumen. Selain itu pajak yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya populasi penduduk karena mendorong terjadinya emigrasi ke wilayah atau negara lain. Sehingga pada akhirnya akan menurunkan pendapatan pajak akibat menurunnya basis pajak (baik objek maupun subjek pajak). Ia juga menyimpulkan bahwa “faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan lebih besar (setelah pajak)”. Disini ia menjelaskan de ngan menyatakan bahwa “ketika pajak dan bea cukai ringan, rakyat akan memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha. Bisnis bagaimanapun juga akan mengalami kemajuan, membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat karena pajak yang rendah dan penerimaan pajak juga meningkat, secara total dari jumlah keseluruhan penghitungan pajak.” (Chapra, 2001: 167 -171). Ibnu Khaldun menulis bahwa pajak harus dikenakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Dalam konteks perpajakan modern, berarti progressive tax seperti pajak penghasilan harus digalakkan melalui perbaikan data base dan administrasi perpajakan; sedangkan pajak tak langsung seperti PPN yang mengikis daya beli seluruh rakyat harus segera dihapuskan. Penghapusan PPN akan menurunkan harga barang secara spontan, sehingga permintaan akan meningkat. Naiknya permintaan, sepanjang didukung iklim investasi yang kondusif, akan mengundang investor untuk menanamkan modalnya dan menciptakan penawaran. Berinteraksinya permintaan dengan penawaran akan menciptakan keuntungan pada perusahaan, yang selanjutnya akan dipungut pajaknya oleh administrasi perpajakan yang rapi dan jujur, sehingga penerimaan negara pun meningkat.

7.Mekanisme Pasar Mekanisme pasar merupakan sebuah sistem yang menentukan terbentuknya harga, yang di dalam prosesnya dapat dipengaruhi oleh berbagai hal di antaranya; permintaan dan penawaran, distribusi, kebijakan pemerintah, pekerja, uang, pajak dan keamanan (P3EI, 2013: 301-345). Dalam proses mekanisme pasar tersebut, diharuskan adanya asas moralitas antara lain; persaingan sehat ( fair play), kejujuran ( honesty), keterbukaan (transparancy),dan keadilan (justice) (Farida, 2012: 257). Ibn Khaldun dalam kitabnya al-Mukadimah menyatakan bahwa jika suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, penuh dengan kemewahan, maka barang-barang pokok akan menurun, sedangkan barang mewah akan menaik. Ini disebabkan penduduk kota memiliki surplus tinggi akan bahan makanan melebihi kebutuhan mereka, sedangkan penawaran bahan pangan akan naik seiring dengan meningkatnya gaya hidup yang mengakibatkan peningkatan permintaan terhadap barang mewah. Ketika barang-barang kebutuhan ketersediaannya sedikit, maka harga akan naik. Namun, terjadi impor barang kebutuhan tersebut sehingga ketersediaannya melimpah maka harga akan turun (Rozalinda, 2014: 151). Ini berarti bahwa kekuatan permintaan dan penawaranlah yang menentukan keseimbangan harga. Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa keuntungan yang kecil akan membuat perdagangan lesu karena penjual tidak bergairah. Sebaliknya, bila harga tinggi pasar juga menjadi lesu karena pembeli tidak bersemangat. Maka akan sangat berbahaya bagi pemerintah mengintervensi dan memonopoli pasar yang malah justru akan mempersempit ruang industri dan perniagaan

rakyatnya. Prinsip kesempatan yang sama bagi siapa pun untuk berproduksi haruslah dianut. Kehidupan perekonomian menjamin terjadinya proses saling memberi antar sektor atau antara produsen ke konsumen dalam kesempatan yang sama (Nasution, et.al. 2010: 166). PENUTUP Ibn Khaldun dikenal sebagai bapak ekonomi (father of economic) yang hidup pada zaman kegelapan Islam dan permulaan zaman Renaissance di Eropa. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan Muslim yang tetap kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada periode Pertengahan. Kitab

”Muqadimmah” yang sesungguhnya merupakan volume pertama dari tujuh volume karya besarnya, Kitab al- ’Ibar, atau judul lengkapnya al- I’bar wa Diwan al - Mubtada’ wa al Khabar fi al- A’yan wa al - ’Arab wa al -’Ajam wa al -Barbar wa man ’Asrahum min Zawi as-Sulthan al-Akbar. (Buku Pelajaran-pelajaran dan rekaman sebab dan akibat dalam sejarah orangorang Arab, Persia, Barbar dan kekuatan kontemporer mereka) merupakan salah satu kitab yang secara komprehensif membahas tentang teori-teori dalam ekonomi Islam seperti kekayaan nasional, keseimbangan ekonomi makro, teori upah, perdagangan internasional, uang, pajak dan mekanisme pasar dalam konteks permintaan dan penawaran serta lainnya yang sangat berguna bagi pengembangan dan perkembangan ekonomi Islam. Selain itu, Ibn Khaldun mangajukan solusi untuk resesi, dengan mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar yang berkaitan dengan besarnya pendapatan dan penerimaan. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka pasar yang lainnya pun akan menurun bahkan dalam agregat yang lebih besar. DAFTAR PUSTAKA Al-Azmeh, Aziz, 1982, Ibn Khaldun, London dan New York: Routledge. Al-Khundairi, Zainab, 1987, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rafi‟ Usmani, Bandung: Pustaka. Karim, Adiwarman Azwar, 2014, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press. Chamid, Nur, 2010, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. P3EI UII, 2013, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM.

Umar Chapra, 2001, The Future of Islamic Economic; An Islamic Prespective, (Edisi Terjemah) , Jakarta: SEBI. Amalia, Euis, 2010, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta, Granada Press. Rozalinda, 2013, Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya Pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hoetoro, Arif, 2007, Ekonomi Islam; Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Brawijaya. Nasution, Mustafa Edwin, et.al, 2010, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana. Fauzia, Ika Yunia, 2014., Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Kencana. Jurnal dan Majalah Farida, Jamilatul Ulfa, 2012, “Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme Pasar Dalam Konteks Ekonomi Islam Kekinian”, dalam La-Riba-Jurnal Ekonomi Islam, Sleman: Universitas Islam Indonesia

Related Documents

Ekonomi Ibnu Chaldun.docx
November 2019 39
Ibnu
November 2019 53
Ibnu Haitham
June 2020 31
Ibnu Sina
October 2019 53
Ibnu Bajjah.docx
June 2020 27
Ibnu Sina
October 2019 58

More Documents from "Firda"

Ekonomi Ibnu Chaldun.docx
November 2019 39
Tablas.docx
May 2020 0
November 2019 3
June 2020 1