Etika Bisnis dan Profesi “Ekonomi dan Keadilan” Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Resume Etika Bisnis yang Diampu Oleh Dosen : Prof. Dr. Unti Ludigdo, Ak.,
Oleh : Haifa Shabirah HS
165020300111040
Rifkha Annisa Nirmala A F
165020300111047
Brilyan Nurnaningsih
165020307111041
Etika Bisnis dan Profesi CG
AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2019
Ekonomi dan Keadilan Keadilan merupakan suatu topik dalam etika. Sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh pada ketidakadilan. Keadilan itu penting dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja tetapi menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh berbagai pihak. Antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan erat, karena dua-duanya berasal dari sumber yang sama. Sumber tersebut adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbul karena keterbatasan sumber daya. Barang yang tersedia selalu langkah, maka dari itu mencarikan cara untuk mendistribusikan secara baik dan adil. Kelangkaan adalah asal-usul dari ekonomi dalam dua arti, yaitu tentang barang yang tersedia dalam keadaan melimpah ruah tidak mungkin muncul masalah ekonomi, karena barang itu tidak akan dijual belikan dan akibatnya tidak akan diberi harga. Jika barang berlimpah maka tidak perlu lagiada ekonomi dan juga tidak perlu keadilan. Semakin barang langka maka semakin besar problem distiribusinya, dan semakin besar problem keadilan yang ditimbulkan. Hakikat Keadilan Penjelasan hukum Roma tentang keadilan, Keadilan pada hakikatnya adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (to give everybody his own). Ada tiga ciri khas yang selalu menandai kedilan. Keadila tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini : 1. Keadilan selalu tertuju pada orang lain. Masalah keadilan hanya bisa timbul dalam konteks antar manusia, dengan kata lain konteks keadilan kita selalu berurusandengan orang lain. 2. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Keadilan tidak hanya diharapkan atau dianjurkan tapi mengikat kita, sehingga kita mempunyai kewajiban. Dalam konteks keadilan kita selalu berurusan dengan hak orang lain. 3. Keadilan menuntut persamaan (equality) atas dasar keadilan kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya tanpa kecuali. Pembagian Keadilan 1. Pembagian Klasik Pembagian klasik karena mempunyai tradisi yang panjang. Pembagian klasik ini mudah bisa dikaitkan dengan pengertian keadilan dari zaman Kekaisaran Roma. Keadilan berdasarkan pada pembagian klasik ada tiga macam, yaitu : 1. Keadilan Umum (General Justice) : Berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat di&ajibkan untuk memberi kepadamasyarakat (negara) apa yang menjadi haknya. 2. Keadilan Distributif (Distributive Justice) : Berdasarkan keadilan ini negara (pemerintah) harus membagi segalanya dengan carayang sama kepada para anggota masyarakat.
3. Keadilan Komutatif (Commutative Justice) : Berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal itu berlaku pada taraf individual maupun sosial. 2. Pembagian Pengarang Modern Menurut John Boatright dan Manuel Velasquez, keadilan dibagi menjadi tiga : 1. Keadilan Disributif (Distributive Justice) : Benefit and burdens, hal-hal yang enak untuk didapat dan hal-hal yang menuntut pengorbanan harus dibagi dengan adil. 2. Keadilan Retributif (Retributive Justice) : Berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepadaorang yang bersalah harus bersifat adil. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi supaya hukuman dapat dinilai adil, yaitu: a. Orang atau instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukannya dan harus dilakukannya dengan bebas. b. Harus dipastikan bahwa orang yang dihukum benar-benar melakukan perbuatan yang salah dan kesalahannya harus dibuktikan dengan meyakinkan. c. Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yangdilakukan. 3. Keadilan Kompensatoris (Compensatory Justice) Menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain. Berdasarkan keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atauganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan. Kewajiban kompensasi akan berlaku jika terpenuhi tiga syarat: a. Tindakan yang mengakibatkan kerugian harus salah atau disebabkan kelalaian. b. Perbuatan seseorang harus sungguh-sungguh menyebabkan kerugian. c. Kerugian harus disebabkan oleh orang yang bebas. Keadilan Individual dan Keadilan Sosial Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Sedangkan palaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung daristruktur-struktur masyarakat dibidang sosial ekonomi, politik budaya dan sebagainya. Keadilan individual terlaksana bila hak-hak individual terpenuhi. Keadilan sosial terlaksana bila hak-hak sosial terpenuhi. Keadilan individual sering dapat dilakukan secara sempurna, namun keadilan sosial tidak pernah dapat dilakukan secara sempurna karena kompleksitas masyarakat modern. Keadilan sosial menjadi penting khususnya di negara berkembang dimanakesenjangan tampak nyata di masyarakat. Kesenjangan antara masyarakat kalangan atas dan masyarakat kalangan bawah. Kesenjangan seperti ini dapat
menimbulkan gejolak sosial, akibat ketidakadilan yang dirasakan oleh kalangan bawah yang mayoritas. Keadilan sosial diperlukan untuk mempersempit atau meminimalisir terjadinya kesenjangan antara masyarakat kalangan atas dan masyarakat kalangan bawah. Dengan demikian, maka gejolak sosial bisa dihindari. Keadilan Distributif pada Khusunya Dalam teori etika modern sering disebut dua macam prinsip untuk keadilan distributive : prinsip normal dan prinsip material. Prinsip normal hanya ada satu, yang menyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yangsama sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan carayang tidak sama “equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequally”. Prinsip material keadilan distributive melengkapi prinsip formal. Prinsip material menunjuk pada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Mnurut Beauchamp dan Bowie ada enam prinsip material : 1. Kepada setiap orang bagian yang sama. 2. Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individunya. 3. Kepada setiap orang sesuai dengan haknya. 4. Kepada setiap orang sesuai demgan usaha individunya. 5. Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat. 6. Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit). Keadilan distributif terwujud kalau setiap orang diberikan : a. Bagian yang sama Prinsip ini kita membagi dengan adil jika kita membagi rata : kepada semua orang yang berkepentingan diberi bagian yang sama. b. Kebutuhan Prinsip ini menekankan bahwa kita berlaku adil jika kita membagi sesuai kebutuhan. c. Hak Hak merupakan hal yang penting bagi keadilan pada umumnya, termasuk keadilan distributive. d. Usaha Mereka yang mengeluarkan banyak usaha dan keringat untuk mencapai suatu tujuan pantas diperlakukan dengan cara lain daripada orang yang tidak berusaha. e. Kontribusi kepada masyarakat Orang yang karena kontribusinya besar kepada masyarakat. f. Jasa Jasa menjadi alasan untuk memberikan sesuatu kepada satu orang yang tidak diberikan kepada orang lain.
Berdasarkan prinsip material tersebut, dibentuk tiga teori keadilan distributive : 1. Teori Egalitarianisme Teori egalitarianisme berdasar atas prinsip yang pertama, bahwa kita baru membagidengan adil bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). 2. Teori Sosialistis Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Masyarakat diatur dengan adil jika kebutuhan semua harganya terpenuhi. 3. Teori Liberalistis Liberalisme menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil. Karenamanusia adalah mahluk bebas, kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dariindividuindividu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pulauntuk memperoleh sesuatu.'alam teori liberalisme tentang keadilan distributif digaris bawahi pentingnya dari prinsip hak, prinsip usaha, khususnya prinsip jasa atau prestasi. John Rawls Tentang Keadilan Distributif Menurut pandangan Rawls, yang harus dibagi dengan adil dalam masyarakat adalah the social primary goods (nilai-nilai social yang primer). Artinya hal-hal yang sangat dibutuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Yang termasuk nilai-nilai sosial primer adalah kebebasan-kebebasan dasar, kebebasan bergerak dan kebebasan memilih profesi, kuasa dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang penuh tanggung jawab, pendapatan danmilik serta dasar-dasar sosial dari harga diri (self respect). Prinsip-prinsip keadilan menurut Rawls : a. Prinsip Pertama Kebebasan yang sedapat mungkin berlaku sama untuk semua. )ontoh kebebasan beragama. b.Prinsip Kedua Disebut prinsip perbedaan. Untuk mengatur masyarakat secara adil, tidak perlu semua orang mendapat hal-hal yang sama. Contoh: memberikan kursus ketrampilan hanya pada mereka yang miskin. Disebut prinsip persamaan peluang yang Fair. Artinya, setiap orang harusmendapat peluang yang sama dalam meraih sesuatu. Robert Nozick Tentang Keadilan Distributive Teorinya tentang keadilan distributive disebutnya "entitlement theory" atau landasan hak. Menurutnya, memiliki sesuatu dengan adil jika pemilikan itu berasal dari keputusan yang memiliki landasan hak. Ada tiga kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip : a. Prinsip Transfer (Principle of Transfer) Apapun yang diperoleh secara adil dapat ditransfer dengan bebas. b. Prinsip perolehan awal yang adil (Principle of Just Initial Acquision) Penilaian tentang bagaimana orang pada awalnya sampai memiliki sesuatu yang dapat ditransfer menurut prinsip pertama. c. Prinsip pembetulan ketidakadilan (Principle of Rectification of Injustice)
Bagaimana berhubungan dengan pemilikan (holding) jika hal ini diperoleh atau ditransfer melalui cara yang tidak adil. Nozick mengkritik pendapat Rawls sebagai ahistoris dan memiliki pola yang ditentukan sebelumnya (patterned). Sementara ketiga teori Nozick tersebut bersif athistoris, karena tidak hanya mempertimbangkan hasil tetapi juga memperhatikan proses. Rawls hanya melihat keadaan aktual dari masyarakat yang minimal beruntung, tidak memperhatikan mengapa mereka sampai terjerat dalam keadaan itu. Sebagai contoh, bisa saja seseorang menjadi miskin karena malas atau bermain judi.Selanjutnya, menurut Nozick pola patterned hanya bisa dipakai pada keadaan awal, ketika masing-masing orang ada dalam kondisi yang sama. Namun ketika situasisudah berbeda, dimana masingmasing orang memiliki kekayaan yang berbeda, pola ini tidak dapat dilakukan. Keadilan Ekonomis Keadilan memiliki peran yang sangat penting dalam ekonomi dan bisnis. Karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk memiliki atau memakai. Dalam sejarahnya, wacana keadilan ekonomi mengalami pasang surut. Pada zaman kuno keadilan ekonomis mendapat tempat yang amat penting khususnya pada Aristoteles. Perhatian serupa juga tampak pada zaman pertengahan, khususnya pada tokoh Thomas Aquinas. Keadilan dalam relasi-relasi ekonomis dianggap sebagai sesuatu yang harus diusahakan, karena tidak terjadi secara otomatis. Pada masa modern, keadilan ekonomis tidak mendapat perhatian hingga pada abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada abad ke-20. Ketidakadilan merupakan akibat ulah manusia, oleh karenanya harus diperbaiki oleh manusia sendiri. Masyarakat tidak mungkin dikatakan well ordered (teratur dengan baik) kalau tidak ada keadilan. Masyarakat yang makmur sekalipun belum dikatakan baik jika terjadi ketidakadilan. Keadilan, sebagaimana kemakmuran merupakan tujuan yang dicita-citakan dan terus-menerus diupayakan. Karena keadilan sosial tidak mungkin mencapai kesempurnaan. Masyarakat bisa hidup dengan baik jika memberi tempat kepada nilai-nilai moral. Dan dalam konteks ekonomi dan bisnis salah satu nilai moral terpenting adalah keadilan Liberalisme dan sosialisme sebagai perjuangan moral Masalah keadilan muncul antara lain dalam kaitannya dengan milik. Dalam liberalisme dan sosialisme mempunyai padangan yang sangat berbeda. Liberalisme memiliki padangan yang menenkankan milik pribadi sebagai salah satu hak manusia yang terpenting, sedangkan sosialisme berpendapat bahwa milik tidak boleh dibatasi pada kepentingan individu saja, melainkan mempunyai fungsi sosial. Ada beberapa pandangan dari orang-orang yang meletakkan dasar untuk teori liberalistis dan sosialistis tentang milik, yaitu : 1. John Locke dan milik pribadi John Locke(1632-1704), seorang filsuf yang banyak mendalami masalah-masalah sosial politik, yang secara umum diakui sebagai orang yang pertama kali mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke, manusia memiliki tiga “hak kodrat” : “ Life, Freedom, and Property”. Yang paling penting adalah hak atas milik karena kehidupan dan kebebasan kita miliki juga. Jadi, hak atas milik menyediakan pola untuk memahami kedua
hak lain juga. Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa ciri kapitalisme liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. 2. Adam Smith dan pasar bebas Adam Smith(1723-1790) menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar bebas di bidang ekonomi. Sistem pasar bebas tentu mengandaikan milik pribadi. Karena itu, tidak heran jika Smith pun mengikuti Locke dengan menggarisbawahi pentingnya milik pribadi. Pemikiran Adam Smith tentang sistem ekonomi pasar bebas mempunyai beberapa implikasi etika yang menarik. Motivasi untuk mengambil bagian dalam kegiatan tukar-menukar di pasar adalah kepentingan diri. 3. Marxisme dan kritiknya atas milik pribadi Marxisme merupakan pemikiran Karl Marx (1818-1882) bersama dengan Friedrich Engels (1820-1895). Marxisme merupakan ajaran sosial-ekonomis-politik yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk disingkatkan tanpa mengorbankan cukup banyak unsur yang sebenarnya hakiki juga. Menurut marxisme, dalam sistem kapitalisme liberal manusia itu terasing dari dirinya sendiri, terasing dari kodratnya sebagai manusia. Hal itu terutama tampak jika ia bekerja. Liberalisme dan sosialisme juga merupakan dua ideologi yang untuk sebagian besar menentukan keadaan di bidang ekonomi-politik selama abad ke-19 dan ke-20. Liberalisme menekankan hak untuk mempunyai milik pribadi sebagai suatu kebebasan dasar bagi setiap manusia, inti pemikiran liberalisme adalah tekanannya pada kebebasan individual sedangkan sosialisme menilai masyarakat diatur tidak adil, terutama karena lembaga milik pribadi. Sosialisme menempatkan masyarakat di atas individu. Masyarakat yang diatur secara liberalistis ditandai egoisme, sedangkan masyarakat yang diatur secara sosialistis ditandai solidaritas atau kesetiakawanan. Jika liberalisme menekankan hak atas milik pribadi, maka sosialisme ingin mengatur lembaga milik sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Antara liberalisme dan sosialisme memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kekuatan liberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa mereka kurang memperhatikan nasib kaum miskin dan orang yang kurang beruntung dalam perjuangan hidup, seperti kaum buruh dalam masyarakat berindustri. Sosialisme mempunyai kekuatan di samping kelemahan. Kekuatan sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividual dari milik. Milik selalu mempunyai suatu fungsi sosial dan tidak pernah boleh dibatasi pada kepentingan pribadi saja. Tetapi, sosialisme memiliki kelemahan yang cukup besar bahkan menjadi fatal untuk sistem pemerintah sosialistis. Selain liberalisme dan sosialisme, terdapat ideologi kapitalisme dan demokratisasi. Ideologi di belakang kapitalisme adalah liberalisme yang dapat menjelaskan tiga unsur hakikinya: lembaga milik pribadi, pencarian untung, dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Motor penggerak bagi sistem kapitalisme adalah akumulasi kapital. Melalui cara berproduksi industri, modal dimanfaatkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, yang kemudian diinvestasikan lagi dalam usaha produktif sehingga dapat menghasilkan kekayaan lebih besar lagi, dan seterusnya. Berbicara mengenai etika pasar bebas, David Gauthier pernah mengemukakan pendapat bahwa pasar yang sempurna tidak membutuhkan moralitas. Dengan pasar sempurna
dimaksudkan pasar dimana kompetisi berjalan dengan sempurna. Dari situlah akan diatur menggunakan invisible hand-nya Adam Smith yang mana mekanisme pasar berjalan dengan sendirinya. Setiap orang mengejar kepentingan diri yang selalu sejalan dengan kepentingan diri dari pihak lain. Namun pada kenyataannya, proses-proses di pasaran selalu disertai macam-macam kegagalan dan kekurangan. Tetapi, sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi yang paling unggul, terutama karena menjamin efisiensi ekonomi dengan cara paling memuaskan. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari segi keadilan sosial, supaya kepada semua peserta dalam kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetensi berjalan dengan baik dari sudut moral. Sebagaimana lazimnya dalam etika, tuntutan moral ini bisa dirumuskan dengan cara positif dan negatif. Secara positif kompetisi harus berjalan dengan fair dan secara negatif dalam kompetisi orang tidak boleh merugikan orang lain. Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a profit”. Dalam rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk kemudian menjual barang itu dengan cara besar-besaran. Profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sitem keuangan. Benarlah dikatakan Robert Solomon bahwa profit merupakan buah hasil suatu tansaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian. Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi not for profit pun pasti sewaktu-waktu berurusan dengan etika. Perspektif baik/buruk secara moral selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Apabila keuntungan menjadi tujuan bisnis , pebisnis mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya, baik menggunakan cara yang baik atau sesuai dengan etika ataupun dengan cara tidak baik seperti halnya mencuri atau menipu. Perusahaan sebagai organisasi for profit menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat dielakan keberatan dari pihak etika. Perdagangan memiliki arti yang luas hingga meliputi kegiatan ekonomis seperti barter. Sedangkan bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan finansial. Robert Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua pihak menggunakan uang. Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat uapaya khusus dari orang yang mempergunakan uang. Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Dan keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tidak semua kegiatan usaha menguntungkan’, merupakan salah satu contoh penjelasan tentang keuntungan sebagaimana dibahas dalam beberapa poin dibawah ini:
a. Tidak bisa dikatakan bahwa setiap kegiatan bisnis menghasilkan keuntungan b. Keuntungan atau profit baru muncul dalam kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuangan c. Dalam penukaran barang dengan barang (barter) tidak diperoleh profit, walaupun kegiatan itu bisa menguntungkan kedua belah pihak. Profit diperoleh tidak secara kebetulan, tetapi berkat upaya khusus dari orang yang mempergunakan uang. d. Uang diperoleh berdasarkan kupon undian atau karena main judi tidak bisa dikatakan profit, berbeda dengan uang yang dihasilkan dengan perdagangan saham. e. Profit berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil, tetapi tidak berarti seluruhnya tergantung pada kepiawaian si pebisnis, untuk sebagian orang perolehan profit tergantung juga pada faktor mujur atau sial. Karena hubungan dengan transasksi uang, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. f. Menurut pandangan ini, kapitalis meliputi 3 unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. g. Keuntungan hanya dapat diperoleh dengan menggunakan modal yang menjadi milik pribadi, dan perolehan keuntungan hanya dimungkinkan dalam rangka pasar bebas. h. Akumulasi modal merupakan inti kapitalis, dengan meningkatnya keuntungan bobot modal akan bertambah besar, kemudian dapat diinvestasikan dalam usaha produktif, sehingga menghasilkan kekayaan yang lebih besar lagi. Maksimalisasi Keuntungan sebagai Cita-Cita Kapitalisme Liberal Profit maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan memiliki kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang keuntungan sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang mungkin. Kalau memaksimalkan keuntungan perusahaan menjadi satu–satunya tujuan dari perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena jika hanya keuntungan saja yang menjadi target utama suatu perusahaan maka akan ada banyak sumber daya yang dimanfaatkan secara berlebihan dan tidak etis untuk mencapai tujuannya. Seperti halnya pemanfaatan sumber daya manusia ( tenaga kerja ) yang akan diperlakukan dengan semena – mena tanpa memperhatikan etis atau tidak asal tujuan utama perusahaan tercapai. Tentu saja, para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Artinya dimaksud sebagai sekedar model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil. Salah besar, kalau orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Menjadi pemakluman karena hal itu tidak pernah dimengerti secara konkret, sampai meliputi semua seluk-beluk kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan norma moral. Padahal sejarah mencatat di era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas secara tidak manusiawi yang kemudian makin lama dibentuk negara kesejahteraan dengan sistem jaminan sosial. Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagi tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di negara-negara industri perlakuan
kurang etis terhadap kaum buruh lama-kelamaan teratasi. Kini industri baru sebetulnya tidak boleh dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengmbangkan juga koreksian terhadap bahaya penindasan dari industri modern. Masalah Pekerja Anak Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktorfaktor budaya dan sosial. Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya “dibawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Dalam Convention on the Rights of the Child yang diterima dalam sidang umum PBB 1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menetapkan usia minimum/usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja (pasal 32,2a). ILO 1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Sebagai patokan harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Di Indonesia baru mengesahkan konvensi tersebut tahun 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun. Sebelumnya berdasarkan UU dari 1951, batas minimum usia pekerja ditentukan pada 14 tahun. Kenyataannya di berbagai negara anak-anak harus bekerja pada umur terlalu muda yang sering kali dalam kondisi penuh risiko. Tidak mengherankan, dalam Declaration of the Rights of the Child yang diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB 1959 dikatakan bahwa “anak harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju pada maksud yang sama seperti pendidikan” . Dalam rangka itu ditegaskan antara lain : “anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur minimum yang tepat; ia sekali-kali tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan / pekerjaan apa saja yang bisa merugikan kesehatan / pendidikannya / mengganggu perkembangan fisik, psikis atau moralnya”. Dalam etika pekerjaan anak ditolak terutama karena 2 alasan. a. Bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Masa anak adalah periode pertama dalam hidup seseorang manusia dengan segala ciri khasnya. b. Bahwa pekerjaan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak dan bisa memperparah masalah pengangguran. Karena itulah mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Dalam zaman sekarang pekerja anak tampil sebagai suatu masalah khusus dalam hubungan dengan industri garmen, sepatu/alat olahraga, mainan anak dll, yang mempercayakan pembuatan produknya kepada kontraktor dalam kuantitas besar, yang pada gilirannya mencari lagi subkontraktor untuk kuantitas terbatas yang dapat menjamin harga yang paling murah. Cara mengatasi masalah pekerja anak adalah dengan kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen, kode etik yang dibuat dan ditegakan juga oleh perusahaan dan melengkapi garmen jualan atau produk lain.
Untuk membentuk pandangan yang seimbang tentang masalah pekerja anak, sebaiknya tidak melupakan kasus-kasus yang pernah terjadi di belahan dunia. Penderitaan anak-anak itu harus dinilai sudah keterlaluan. Tetapi disisi lain harus dipertimbangkan bahwa anak-anak itu bekerja kerena terdesak oleh keadaan ekonomi keluarganya. Pemerintah Indonesia khususnya mengakui itu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987 yang mengizinkan anak dibawah usia 14 tahun bekerja sebagai buruh di sektor formal, kalu keadaan ekonomi keluarga mendesak. Peraturan itu disertai dengan syarat-syarat, sebagai berikut : a. anak-anak itu hanya boleh bekerja 4 jam sehari. b. tidak boleh diperkerjakan di tempat yang berisiko khusus seperti pertambangan/ bekerja dengan alat-alat yang berbahaya. c. tidak boleh dipekerjakan malam hari atau pukul 18.00-06.00. Intinya adalah bahwa kebaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis. Relativasi Keuntungan Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan sebagai manajement by objectives. Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis. Semua itu bisa diterima asalkan disertai pertimbangan etis. Perlu ditekankan, keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska menegaskan bahwa purpose dan motive itu harus dibedakan. Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu, tetapi maksud membenarkan perbuatan kita itu. Maksud bisnis adalah menyediakan produk/jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang semata-mata mengejar keuntungan dalam bisnisnya dapat dibandingkan dengan pemain tenis yang hanya memperhatikan papan angka dan tidak memperhatikan bola. Maksudnya bisnis memiliki nilai intinsik sendiri, misalnya memproduksi sesuatu yang berguna untuk masyarakat dan tidak baru menjadi bernilai karena membawa untung. Pebisnis Max DePree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita hidup tidak untuk bernafas tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis. Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan kebahagiaan dalam hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi diri sendiri tetapi kebahagiaan adalah akibat sampingan kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anaknya. Demikian keuntungan pun merupakan akibat sampingan dari bisnis, bukan tujuan yang sebenarnya. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya : 1. Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan / efisiensi manajemen dalam perusahaan. 2. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk / jasanya dihargai oleh masyarakat. 3. Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha.
4. 5.
Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan. Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.
Keuntungan Merupakan Efek Samping dari Bisnis Menurut Norman Bowie, bahwa kebahagiaan merupakan efek samping dari kerja; seorang suami hidup dan bekerja demi isteri dan anaknya, dia memperoleh gaji, yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama isteri dan anaknya, dia bahagia. Demikian pula dengan keuntungan, apabila suatu bisnis berjalan dengan baik, sesuai rencana, serta memperhatikan hal-hal etis dalam menjalankannya keuntungan adalah timbal balik atau efek dari kegiatan tersebut. Manfaat Bagi Stakeholders Cara lain untuk mendekatkan tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu sebagai the stakeholders benefit. Konon, istilah itu muncul tahun1963 dalam sebuah memorandum internal dari Stanford Research Institute, California. Sukses istilah itu sebagian disebabkan, karena bahasa Inggris di sini main kata. Istilah itu mirip dengan stockholders, tetapi merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu mengagungkan pentingnya pemegang saham / pemilik dari suatu perusahaan. Jadi, stakeholders adalah orang / instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis / perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah orang dalam dari suatu perusahaan seperti pemegang saham, manajer dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah orang luar dari suatu perusahaan : orang / instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Namun garis pemisah stakeholders kedua itu tidak selalu bisa ditarik dengan tajam. Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan perusahaan. Bisa dikatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders.