Ekonomi

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ekonomi as PDF for free.

More details

  • Words: 6,195
  • Pages: 18
KEJAYAAN EKONOMI PADA MASA KHILAFAH ISLAMIYAH Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi Pendahuluan Pada umumnya manusia lebih mudah percaya pada fakta daripada konsep atau teori. Sebab apa yang diindera manusia secara langsung, akan lebih menancap dan berkesan daripada konsep yang tersusun dari kata-kata semata (Al-Qaradhawi, 1995). Dalam dunia jurnalistik dikenal adagium bahwa sebuah gambar (potret) dapat bercerita lebih banyak daripada ribuan kata. Karena itulah, pada kesempatan ini akan disajikan "potret" kejayaan ekonomi pada masa Khilafah Islamiyah yang telah lalu. Beberapa fragmen sejarah yang gemilang perlu diketahui, semisal masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M) atau masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M). Tujuannya agar kita lebih menyadari bahwa ekonomi Islam sesungguhnya bukan konsep baru sama sekali apalagi utopia, melainkan sebuah konsep praktis yang prestasi dan kesuksesannya telah dicatat dengan baik menggunakan tinta emas dalam lembaran sejarah. Namun sebelumnya perlu ditandaskan, bahwa keberhasilan ekonomi Islam itu tidak muncul secara kebetulan atau tanpa syarat, melainkan ada syarat mutlaknya. Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah), baik di bidang ekonomi itu sendiri maupun di bidang-bidang lainnya seperti politik, sosial, pendidikan, budaya, dan lain-lain (Al-Qaradhawi, 1995). Sebab sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi. Islam tidak menerima pemilah-milahan ajaran sebagaimana dogma sekularisme yang kufur, di mana sebagian sistem Islam diamalkan dan sebagian lainnya dibuang ke tong sampah peradaban. Maka jika ekonomi Islam diterapkan secara sepotong-sepotong dalam masyarakat yang menganut konsep ekonomi kafir dari penjajah, yakni kapitalisme, ia tidak mungkin efektif. Allah SWT memerintahkan kita untuk menghormati persyaratan mutlak ini, yakni penerapan Islam secara komprehensif, sesuai firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya..." (QS Al-Baqarah [2] : 208) Masa Khalifah Umar bin Khaththab Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (propinsi) yang menerapkan islam dengan baik, kaum muslimin menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Kesejehteraan merata ke segenap penjuru. Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada

masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata,"Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga." Muadz menjawab,"Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu." Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata,"Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut." (AlQaradhawi, 1995) Subhanallah! Betapa indahnya kisah di atas. Bayangkan, dalam beberapa tahun saja, sistem ekonomi Islam yang adil telah berhasil meraih keberhasilan yang fantastis. Dan jangan salah, keadilan ini tidak hanya berlaku untuk rakyat yang muslim, tapi juga untuk yang non-muslim. Sebab keadilan adalah untuk semua, tak ada diskriminasi atas dasar agama. Suatu saat Umar sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Umar berpapasan dengan orang Nashrani yang menderita penyakit kaki gajah. Keadaannya teramat menyedihkan. Umar pun kemudian memerintahkan pegawainya untuk memberinya dana yang diambil dari hasil pengumpulan shadaqah dan juga makanan yang diambil dari perbekalan para pegawainya (Karim, 2001). Tak hanya Yaman, wilayah Bahrain juga contoh lain dari keberhasilan ekonomi Islam. Ini dibuktikan ketika suatu saat Abu Hurairah menyerahkan uang 500 ribu dirham (setara Rp 6,25 miliar) (1) kepada Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj propinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada saat itu Umar bertanya kepadanya, "Apa yang kamu bawa ini?" Abu Hurairah menjawab, "Saya membawa 500 ribu dirham." Umar pun terperanjat dan berkata lagi kepadanya, "Apakah kamu sadar apa yang engkau katakan tadi? Mungkin kamu sedang mengantuk, pergi tidurlah hingga subuh." Ketika keesokan harinya Abu Hurairah kembali maka Umar berkata, "Berapa banyak uang yang engkau bawa?" Abu Hurairah menjawab, "Sebanyak 500 ribu dirham" Umar berkata,"Apakah itu harta yang sah?" Abu Hurairah menjawab, "Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya." (Karim, 2001; Muhammad, 2002) Selama masa kekhalifahan Umar (13-23 H/634-644 M), Syria, Palestina, Mesir (bagian kerajaan Byzantium), Iraq (bagian kerajaan Sassanid) dan Persia (pusat Sassanid) ditaklukkan. Umar benar-benar figur utama penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad. Tanpa jasanya dalam menaklukkan daerah-daerah tersebut, sulit dibayangkan Islam dapat tersebar luas seperti yang kita lihat sekarang ini (Karim, 2001, Ash-Shinnawy, 2006).

Dari sudut pandang ekonomi, berbagai penaklukan itu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Ghanimah yang melimpah terjadi di masa Umar. Setelah Penaklukan Nahawand (20 H) yang disebut fathul futuh (puncaknya penaklukan), misalnya, setiap tentara berkuda mendapatkan ghanimah sebesar 6000 dirham (senilai Rp 75 juta), sedangkan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian 2000 dirham atau senilai Rp 25 juta. (Ash-Shinnawy, 2006). Bagian itu cukup besar. Bandingkan dengan ghanimah Perang Badar, dimana setiap tentara muslim hanya mendapat 80 dirham (senilai Rp 1 juta) (Karim, 2001). Meski rakyatnya sejahtera, Umar tetap hidup sederhana. Umar mendapatkan tunjangan (ta’widh) dari Baitul Mal sebesar 16.000 dirham (setara Rp 200 juta) per tahun, atau hanya sekitar Rp 17 juta per bulan (Muhammad, 2002). Ini berkebalikan dengan sistem kapitalisme-demokrasi sekarang, yang membolehkan penguasa berfoya-foya --dengan uang rakyat-- padahal pada waktu yang sama banyak sekali rakyat yang melarat dan bahkan sekarat. Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz Khalifah Umar yang ini juga tak jauh beda dengan Khalifah Umar yang telah diceritakan sebelumnya. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,"Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (AlQaradhawi, 1995). Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid dalam Al-Amwal hal. 256 mengisahkan, Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata,"Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang." Umar memerintahkan,"Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya." Abdul Hamid kembali menyurati Umar,"Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang." Umar memerintahkan lagi, "Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya." Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,"Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang." Akhirnya, Umar memberi pengarahan,"Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya.

Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih." (AlQaradhawi, 1995). Sementara itu Gubernur Basrah pernah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz,"Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabbur dan sombong." Umar dalam surat balasannya berkata,"Ketika Allah memasukkan calon penghuni surga ke dalam surga dan calon penghuni neraka ke dalam neraka, Allah Azza wa Jalla merasa ridha kepada penghuni surga karena mereka berkata,"Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya..." (QS Az-Zumar : 74). Maka suruhlah orang yang menjumpaimu untuk memuji Allah SWT." (Al-Qaradhawi, 1995). Meski rakyatnya makmur, namun seperti halnya kakeknya (Umar bin Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat Khalifah, beliau telah menunjukkan kejujuran dan kesederhanaannya. Ini dibuktikan dengan tindakannya mencabut semua tanah garapan dan hak-hak istimewa Bani Umayyah, serta mencabut hak mereka atas kekayaan lainnya yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan Khilafah Bani Umayyah. Khalifah Umar memulai dari dirinya sendiri dengan menjual semua kekayaannya dengan harga 23.000 dinar (sekitar Rp 12 miliar) lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Baitul Mal (Al-Baghdadi, 1987). Subhanallah! Penutup Begitulah gambaran kemakmuran dan kesejahteraan di bawah sistem ekonomi Islam yang adil. Semua individu rakyat mendapatkan haknya dari Baitul Mal dengan tanpa perlu mengemis, menangis, mengeluh, dan memohon. Bandingkan itu dengan realitas yang mengiris-iris hati saat ini. Betapa banyak rakyat jelata yang mengemis-ngemis, meraung-raung, dan bahkan melolong-lolong hanya untuk mendapat kesempatan mengais sesuap nasi dan seteguk air. Bukankah Anda sering melihat aparat penguasa yang zalim lagi arogan menggusur dengan kejam pedagang kaki lima yang melarat? Inilah kekejaman sekaligus kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan detik ini. Sistem kafir ini wajib segera kita hancurkan untuk kemudian kita ganti dengan sistem ekonomi Islam yang adil. Wallahu a’lam [ ] CATATAN : (1) 1 dirham kurang lebih senilai Rp 12.500 (per akhir Januari 2007). Standar 1 dirham = 2,975 gram perak. Harga perak 26 Januari 2007 (http://www.analisadaily.com/6-3.htm) adalah $13,27 per ounce (1 ounce = 28,35 gram). Dengan asumsi $1 = Rp 9.000,- akan diperoleh 1 dirham = Rp 12.532,DAFTAR BACAAN

Al-Baghdadi, Abdurrahman, Serial Hukum Islam, (Bandung : PT Alma’arif), 1987 Al-Basya, Abdurrahman Raf’at, Sosok Para Sahabat Nabi (Shuwar min Hayat ashShahabah), Penerjemah Abdulkadir Mahdamy, Jakarta : Qisthi Press, 2005 ----------, Jejak Para Tabi’in (Shuwar min Hayat at-Tabi’in), Penerjemah Abu Umar Abdillah, Solo : At-Tibyan, Tanpa Tahun Al-Qaradhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Musykilah al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam), Penerjemah Syafril Halim, Jakarta : Gema Insani Press, 1995 ----------, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami), Penerjemah Zainal Arifin & Dahlia Husin, Jakarta : Gema Insani Press, 1997 Ash-Shinnawy, Abdul Aziz, Pembebasan Islam (Al-Futuhat al-Islamiyah/Islamic Opening), Penerjemah Abu Faiz, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2006 Karim, Adiwarman Azwar (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : IIIT, 2001 Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siyasah alMaliyah li ‘Umar ibn al-Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002 Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam (‘Ilaajul Musykilah al-Iqtishadiyah bi al-Islam), Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, Bandung : PT Alma’arif, 1985

MENCIPTAKAN IKLIM BISNIS YANG SEHAT DAN KONDUSIF Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi Fakta Iklim Bisnis Bisnis adalah segala kegiatan produsen untuk memproduksi dan memasarkan barang/jasa kepada konsumen untuk memperoleh laba (profit) (Straub & Attner, 1994). Sedangkan iklim bisnis --dimodifikasi dari definisi "iklim investasi" Stern (2002)-- adalah semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan, yang dapat mempengaruhi kegiatan bisnis (Kuncoro, 2006). Iklim bisnis dipengaruhi banyak faktor. Berdasarkan survei, faktor utama yang mempengaruhi iklim bisnis adalah tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik, dan institusi (Kuncoro, 2006). Faktor institusi yang dimaksud, terutama ialah institusi birokrasi (pemerintah).

Untuk kasus Indonesia, birokrasi banyak disorot karena justru melahirkan iklim bisnis yang tidak kondusif. Studi Bank Dunia (2004) menunjukkan, alasan utama investor khawatir berbisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh pemerintah daerah maupun pusat), perizinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (Kuncoro, 2006). Ketidaksabilan ekonomi makro itu misalnya diindikasikan dengan berbagai kebijakan makro yang justru melumpuhkan dunia bisnis, besar maupun kecil. Seperti kenaikan harga BBM yang rata-rata lebih dari 120 %, kenaikan suku bunga, kenaikan upah minimum, dan segera menyusul kenaikan tarif dasar listrik dan gas. Ketidakpastian kebijakan contohnya adalah pemberlakuan PP No. 63/2003 yang diberlakukan surut sejak 1995 di Batam. PP mengenai pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN) tersebut mengakibatkan 25 perusahaan penanaman modal asing (PMA) dikabarkan akan hengkang dari Batam. Mengenai pungli, reputasi birokrasi Indonesia tak usah diragukan lagi. Pungli telah ada sejak mencari bahan baku, memproses input menjadi output, hingga tahapan ekspor. Ratarata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun adalah 7,5 % yang diperkirakan sebesar Rp 3 triliun atau sekitar 153 juta dolar AS! (Kuncoro, 2006). Perizinan usaha juga sering dikeluhkan. Kegiatan bisnis sering tertunda karena untuk melakukan bisnis di Indonesia butuh waktu 168 hari untuk mengurus perizinan berbelitbelit dengan biaya yang dapat mencapai rata-rata 14,5 % dari rata-rata pendapatan pengusaha. Inilah gambaran sekilas fakta iklim bisnis, sekaligus fakta iklim bisnis yang tidak kondusif dalam kasus perekonomian Indonesia. Para birokrat dan pejabat Indonesia baik di pusat maupun daerah lebih bangga berperilaku sebagai predator daripada menjadi fasilitator bagi penciptaan iklim bisnis yang sehat dan kondusif. Pangkalnya Sistem Kapitalisme Iklim bisnis Indonesia yang tidak kondusif tersebut, tak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme yang ada. Karakter-karakter dasar sistem kapitalisme yang destruktif telah menjadi faktor determinan (menentukan) terhadap penciptaan iklim bisnis. Sebagai contoh, mengapa banyak pungli dan korupsi? Ke mana larinya komitmen moral dan tanggung jawab sosial birokrat? Jawabannya dapat dikembalikan pada salah satu karakter dasar kapitalisme, yaitu menomorsatukan self-interest (kepentingan pribadi) (Chapra, 2000). Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) hal. 27 menegaskan bahwa self-interest merupakan kekuatan pembimbing bagi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi. Kata Adam Smith,"Bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti kita berharap dapat makan malam, melainkan karena

mereka mengejar kepentingan pribadi masing-masing." (Jalaluddin, 1991). Ketidakjelasan kebijakan seringkali membuat akses terhadap informasi dan pasar, permodalan, dan teknologi hanya dinikmati para pengusaha besar yang berkolusi dengan birokrat yang korup. Pengusaha kecil harus rela mati akibat kompetisi tidak fair ini. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya juga dapat dikembalikan pada salah satu karakter dasar kapitalisme, yaitu penerapan prinsip Darwinisme Sosial yang kejam ala Thomas R. Malthus (w. 1834). Esensi prinsip itu, yang berhak bertahan hidup hanyalah yang terkuat (survival for the fittest) (Chapra, 2000). Walhasil, iklim bisnis yang tidak kondusif itu sebenarnya hanya gejala (symptom) luar dari sebuah masalah inheren yang lebih mendasar, yakni eksistensi sistem ekonomi kapitalistik yang pada dasarnya destruktif. Maka solusinya tidak cukup kita hanya melakukan reformasi pelayanan publik (seperti perizinan) atau perbaikan moral birokrat. Sistem kapitalismenya sendiri juga harus dibongkar total dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang konstruktif dan rahmatan lil ‘alamin. Menciptakan Iklim Bisnis Kondusif Berikut ini akan dijelaskan solusi Islam yang akan dijalankan Negara Khilafah menyangkut metode dan strategi dalam menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif. Metode tersebut adalah kebijakan Khilafah menerapkan hukum-hukum syariah yang menyangkut kegiatan ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi Islam. Segala kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individu, baik kebutuhan primer maupun sekunder, wajib terikat dengan hukum syariah. Metode wajib dan baku yang diterapkan Khilafah inilah yang oleh Syaikh an-Nabhani (1963) diistilahkan dengan Politik Ekonomi dalam Islam (siyasah al-iqtishad fi al-islam). Metode tersebut secara kontras berbeda dengan kebijakan negara penganut kapitalisme yang melepaskan aktivitas ekonomi dari agama, dan hanya mengkaitkannya dengan nilai manfaat (an-naf’iyah). Pornografi, pornoaksi, riba, judi, dan khamr, semuanya dianggap sah dalam kapitalisme karena bermanfaat dan dapat memuaskan kebutuhan sebagian individu masyarakat. Namun dalam Islam, semua itu tidak boleh ada dalam masyarakat, karena walau bermanfaat namun syariah Islam telah mengharamkannya. Metode ini, dengan demikian, mendeskripsikan logika sistem yang unik dalam ekonomi Islam, yang sangat berbeda secara fundamental dengan sistem kapitalisme. Berdasarkan metode tersebut, dibangun berbagai strategi syar’i untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif. Di antara strategi yang terpenting adalah : 1. Negara wajib menjamin keamanan dan stabilitas masyarakat. Keamanan dan stabilitas merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi.

Tanpanya, tidak akan ada investasi atau aktivitas ekonomi lainnya yang signifikan (Jalaluddin, 1991). Negara bertanggung jawab mewujudkan keamanan dan stabilitas ini atas seluruh rakyatnya. Nabi SAW bersabda, "Imam adalah (ibarat) penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya [rakyatnya]." (HR Muslim). 2. Negara wajib memberantas kerusakan moral (moral corruption) birokrat dan pengusaha. Pengalaman pembangunan Dunia Ketiga menunjukkan, kerusakan moral birokrat dan juga pengusaha berkontribusi besar terhadap buruknya iklim bisnis (Jalaluddin, 1991). Berbagai suap, korupsi, pungli, manipulasi, dan sebagainya tak hanya menciptakan iklim bisnis yang payah dan menurunkan daya saing, tapi juga suatu dosa di mata Allah SWT. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia sedekahkan harta itu, maka dia tidak akan mendapat pahala dan bahkan dia mendapat dosanya." (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim). (AlQaradhawi, 1990:40) Maka negara wajib melakukan upaya penanggulangan komprehensif, antara lain : (1) memperbaiki mentalitas (nafsiyah) birokrat dengan Aqidah Islam, (2) menciptakan standar rekrutmen yang jelas atas dasar integritas moral dan kapabilitas, (3) meningkatkan kesejahteraan birokrat, (4) meningkatkan pengawasan, dan (5) memberikan sanksi yang tegas dengan Sistem Pidana Islam. 3. Negara wajib mengawasi segala kegiatan bisnis Pengawasan mutlak adanya agar seluruh elemen sistem terhindar dari penyimpangan syariah. Pengawasan ini dilakukan oleh negara sebagai amar ma’ruf nahi mungkar (QS 3:110) yang dijalankan oleh institusi hisbah (Ahmad, 2001). Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang menjalankan amanah tersebut bertugas memelihara hak-hak masyarakat, misalnya bertugas keliling pasar memeriksa takaran dan timbangan. Muhtasib dapat melakukan sidang di tempat, dan dalam tugasnya disertai polisi untuk mengeksekusi vonis. Rasulullah SAW telah mengangkat Said bin Said bin al-’Ash bin Umayyah sebagai petugas pengontrol pasar di Makkah (Ahmad, 1991). Pengawasan juga wajib dilakukan oleh masyarakat sebab mereka juga berkewajiban amar ma’ruf nahi mungkar (QS 9:71). 4. Negara wajib menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung bisnis. Dalam kebijakan fiskal, negara misalnya tidak dibenarkan menarik pajak kecuali memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : (1) dipungut untuk menjalankan kewajiban bersama negara dan kaum muslimin; (2) hanya diambil dari orang kaya; (3) diambil sesuai kadar kebutuhan (temporal); (4) diambil hanya dari muslim (An-Nabhani, 1990). Kaidah fikih menyatakan : laa yajuuzu an yu`khadza min maalil muslim syai`un illa bi-haqqin syar’iy. (Tidak boleh memungut harta muslim sedikit pun kecuali berdasarkan hak yang dibenarkan syar’i) (An-Nabhani, 1990). Dalam kebijakan moneter, negara misalnya wajib mencetak dinar dan dirham saja, dan melarang mata uang lain misalkan dolar jika

membahayakan stabilitas moneter negara (An-Nabhani, 1963). 5. Negara wajib menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang Islami Negara tidak boleh menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Islam. Penetapan upah buruh, misalnya, wajib berdasarkan kadar manfaat (jasa) yang diberikan oleh buruh, bukan berdasarkan daya beli upah untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidup minimum buruh, seperti dalam kapitalisme. Jika buruh tetap miskin dengan upah itu, maka yang bertanggung jawab atas kesejahteraannya adalah negara (Baitul Mal), bukan pengusaha (An-Nabhani, 1990). Negara juga wajib melindungi buruh dari eksploitasi pengusaha yang secara sepihak memaksakan upah yang tidak layak. Pada dasarnya, besarnya upah ditentukan sendiri oleh buruh dan pengusaha secara suka rela. Jika tidak ada titik temu, buruh dan pengusaha masing-masing menunjuk seorang ahli sebagai wakil masing-masing untuk membicarakan besaran upah. Jika tidak ada titik temu juga, negaralah yang akan menunjuk para ahli yang akan mewakili buruh dan pengusaha untuk menentukan besaran upah (An-Nabhani, 1994). 6.Negara wajib menerapkan sistem administrasi birokrasi yang sederhana, cepat, dan profesional Negara dibolehkan melakukan pencatatan administratif atas lembaga bisnis dan berbagai kegiatannya. Kaidah fikih menyatakan : al- ashlu fi al-af'aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh). Birokrasinya harus sederhana, cepat, dan profesional. Namun negara tidak boleh sama sekali mengambil segala macam pungutan. Kaidah fikih menyatakan : laa yajuuzu an yu`khadza min maalil muslim syai`un illa bi-haqqin syar’iy. (Tidak boleh memungut harta muslim sedikit pun kecuali berdasarkan hak yang dibenarkan syar’i) (An-Nabhani, 1990:240, Bab AdhDhara`ib) 7. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang diharamkan Negara melarang dan menindak segala bentuk bisnis yang haram, baik bisnis barang haram seperti daging babi, darah, bangkai, patung, dan khamr; maupun bisnis jasa haram seperti riba, judi, prostitusi, dan sebagainya. Allah SWT berfirman : "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perdagangan berdasarkan saling ridha daripada kamu.." (QS An-Nisaa` [4] : 29) 8. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang berbahaya (dharar) Negara akan melarang bisnis yang walaupun asalnya mubah namun menimbulkan bahaya. Misalnya menangkap ikan dengan dinamit, atau mengoperasikan pabrik yang menimbulkan polusi udara, suara, atau bau. Nabi SAW bersabda, "Laa dharara wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh menimbulkan bahaya bagi

diri sendiri maupun orang lain. 9. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat Negara akan melarang hal-hal yang meski asalnya mubah namun membuat harta beredar di kalangan orang-orang kaya saja (QS 59:7). Misalnya membangun mal di dekat pasar tradisional yang dapat mematikan pasar tradisional itu. [ ]

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam (Business Ethics in Islam), Penerjemah Samson Rahman, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001 Al-Qaradhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam (al-Halal wa al-Haram fi al-Islam), Penerjemah Muammal Hamidiy, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1990 An-Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis (al-Iqtishadi al-Islami), Penerjemah Muhadi Zainuddin, Yogyakarta : UII Press, 2002 An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah al-Dustur, T.tp : Hizbut Tahrir, 1963 ----------, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1990 ----------, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz II, Beirut : Darul Ummah, 1994 Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi (Islam and The Economic Challenge), Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Jakarta : Gema Insani Press, 2000 Husaini, S. Waqar Ahmed, Islamic Sciences, New Delhi : Goodwork Books, 2002 Jalaluddin, Abul Khair Mohd, The Role of Government in An Islamic Economy, Kuala Lumpur : A.S. Noordeen, 1991 Kuncoro, Mudrajad, "Reformasi Iklim Investasi", Kompas, Sabtu 4 Pebruari 2006 Yusanto, M. Ismail & Widjajakusuma, M. Karebet, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta : Gema Insani Press, 2002

MEREKONSTRUKSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM

(Telaah Kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah) Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi Pengantar Kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah ini (selanjutnya disingkat al-Amwal) ditulis oleh Amir kedua Hizbut Tahrir, Syaikh Abdul Qadim Zallum (w. 2003). Kitab al-Amwal (1983) dapat dikatakan merupakan syarah (penjelasan) dan perincian dari kitab anNizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani (1990), khususnya yang menyangkut segala kekayaan publik yang dikelola oleh negara Khilafah (Baitul Mal), seperti ghanimah, fai`, khumus, jizyah, dan kharaj. Karenanya, kitab ini sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai kitab tentang keuangan publik (public finance), bukan sekedar tentang keuangan. Istilah "publik" sangat penting di sini, karena keuangan dan keuangan publik merupakan dua wilayah studi yang sangat berbeda dalam studi ekonomi kontemporer (Suharto, 2004). Fokus studi keuangan (finance) adalah kekayaan atau kepemilikan dalam arti umum, misalnya harga barang modal (capital assets). Sedang keuangan publik (public finance) fokusnya lebih khusus, yaitu mengenai pendapatan dan belanja pemerintah. Dengan kata lain, fokusnya adalah kekayaan publik, yaitu kekayaan atau hak milik yang dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat. (Suharto, 2004). Kitab al-Amwal karya Syaikh Zallum ini, dengan demikian, melengkapi karya-karya fuqaha terdahulu tentang keuangan publik Islam dalam negara Khilafah. Di antaranya adalah dua kitab yang sama-sama berjudul al-Kharaj, masing-masing karya Abu Yusuf (w.182 H/789 M) dan Yahya bin Adam (w. 203 H/818 M). Juga empat kitab yang samasama berjudul Al-Amwal, masing-masing karya Abu Ubaid (w. 224 H/838 M), Ibnu Zanjawaih (w. 251 H/865 H), Qudamah bin Ja’far (w. 320 H/932 M), dan Abu Ja’far alDawudi (402 H/1011 M) (Suharto, 2004). Isi Kitab Kitab al-Amwal tersusun dari satu bab Mukadimah dan 4 (empat) bab batang tubuh, yaitu : (1) Baitul Mal dan Diwan-Diwannya, (2) Harta Kekayaan Negara Khilafah, (3) HartaHarta Zakat, dan (4) Mata Uang. Berikut deskripsi dan analisisnya. 1. Mukadimah Bab Mukadimah walau singkat (h. 11-12), sangat penting dibaca untuk memahami pokokpokok pikiran penulisnya dan keterkaitan satu bab dengan bab lainnya. Bab ini menerangkan empat hal. Pertama, keharusan negara Khilafah guna menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Khilafah itulah yang bertugas mengelola segala pendapatan dan belanja negara, demi melaksanakan ri’ayah al-syu`un (pengaturan kepentingan rakyat)

dan dakwah Islam. Kedua, penjelasan substansi kitab, yakni hukum-hukum syariah tentang kekayaan negara baik yang merupakan pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat). Ketiga, keharusan untuk mengetahui konversi satuan-satuan zaman dulu yang terkait harta – yaitu satuan panjang, jarak, takaran, dan timbangan-- ke dalam satuan modern. Keempat, penjelasan tentang mata uang dinar dan dirham yang mempunyai posisi strategis berkaitan dengan kekayaan negara. Kelima, sumber hukum dan metodologi ijtihad dan tarjih yang digunakan penulisnya untuk menyusun kitab. 2. Baitul Mal dan Diwan-Diwannya Dari Mukadinah di atas, dapat dipahami mengapa ada bab tentang Baitul Mal. Sebab institusi negara yang bertugas mengelola segala pemasukan dan pengeluaran negara tiada lain adalah Baitul Mal. Baitul Mal ini dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir nampak terlihat semakin strategis. Memang an-Nabhani telah menerangkan hukum-hukum Baitul Mal, baik hukum tentang pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat). Namun beliau tidak merinci aspek pengorganisasiannya. Zallum-lah yang melakukan pengorganisasiannya lebih jauh. Baitul Mal, setelah dirinci Zallum, terbagi menjadi dua departemen utama, yaitu Departemen Pendapatan (qism al-waridat) dan Departemen Pembelanjaan (qism al-nafaqat). Departemen Pendapatan itu oleh Zallum dirinci lagi menjadi 3 diwan (kantor) sedangkan Departemen Pembelanjaan dirinci menjadi 8 diwan (h. 7). Namun an-Nabhani dan Zallum sama-sama belum memposisikan Baitul Mal sebagai struktur negara tersendiri. Barulah di masa Amir Hizbut Tahrir sekarang, Syaikh Atha` Abu ar-Rusytah, Baitul Mal dijadikan struktur tersendiri yang langsung berada di bawah Khalifah, sejajar dengan struktur lainnya seperti peradilan (al-Qadha`) dan wali (gubernur). Pengorganisasian Baitul Mal ini merupakan kontribusi khusus Syaikh Zallum, menyempurnakan kontribusi Syaikh an-Nabhani yang telah menjelaskan hukum-hukum Baitul Mal. Sedang Syaikh ar-Ruystah berjasa memposisikan Baitul Mal sebagai struktur negara tersendiri dalam Khilafah. 3. Harta Kekayaan Negara Khilafah Bab ini menerangkan pendapatan (waridat) maupun belanja (nafaqat) negara (Baitul Mal). Mengenai pendapatan, sumber-sumbernya ada 12 yaitu : (1) ghanimah/anfal, fai`, khumus; (2) kharaj, (3) jizyah, (4) kepemilikan umum, (5) kepemilikan negara, (6) ‘usyur, (7) harta sitaan dari kekayaan gelap (maal al-ghulul), (8) khumus rikaz dan tambang, (9) harta orang yang tidak punya ahli waris, (10) harta orang murtad, (11) pajak, dan (12) zakat. (h. 35-36). Sedang aspek pembelanjaannya, tidak dipisahkan menjadi bab tersendiri, tapi langsung dijelaskan pada masing-masing pendapatan tersebut, di bagian akhirnya. Setelah selesai

menjelaskan definisi anfal/ghanimah, misalnya, Zallum langsung menjelaskan,"Adapun pengelolaannya, bergantung pada pandangan khalifah terhadap kepentingan kaum muslimin, sesuai keputusan hukum-hukum syara’…" (h. 38). Sumber-sumber pendapatan Baitul Mal di atas, jika dibandingkan dengan gagasan awal an-Nabhani dalam an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (1990), menunjukkan kontribusi berharga Zallum untuk memperluas gagasan an-Nabhani itu. Bandingkan dengan sumbersumber pendapatan menurut an-Nabhani, yang hanya 9 yaitu : (1) ghanimah/anfal, fai`, khumus; (2) kharaj, (3) jizyah, (4) kepemilikan umum, (5) kepemilikan negara, (6) ‘usyur, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) pajak, dan (9) zakat. (an-Nabhani, 1990:227 & 239). Kontribusi lain yang berharga dari Syaikh Zallum adalah menjadikan praktik pengelolaan harta negara ini semakin praktis dan mudah. Ini disebabkan beliau telah mengkonversi dengan teliti satuan-satuan zaman dulu yang terkait harta – yaitu satuan panjang, jarak, takaran, dan timbangan-- ke dalam satuan yang digunakan masa kini. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, satuan luas tanah dalam pemungutan kharaj (pajak tanah), adalah jarib. Setelah dikonversi, 1 jarib ternyata ekivalen dengan 1366 meter persegi (h. 59). Satuan fidyah, yakni 1 mud, sama dengan 544 gram takaran gandum, sedang satuan zakat fitrah, yakni 1 sha`, sama dengan 2.176 gram takaran gandum (h. 62). Pada saat menjelaskan kepemilikan umum, Zallum juga memberikan kontribusi yang penting, khususnya mengenai cara pengelolaan hasilnya. Zallum menerangkan bahwa harta yang dihasilkan dari kepemilikan umum, seperti hutan dan berbagai tambang, dapat dikelola dalam 3 cara, yakni digunakan untuk : Pertama, melakukan pembelanjaan (infaq), yakni membiayai segala kegiatan yang terkait kepemilikan umum, seperti membayar gaji pegawai pertambangan. Kedua, melakukan pendistribusian (tauzi’), yakni membagikan hasil kepemilikan umum kepada rakyat, misalnya bensin dan tenaga listrik, secara murah dan gratis jika memungkinkan. Ketiga, melakukan hima, yaitu kebijakan khalifah mengkhususkan pemanfaatan suatu aset milik umum untuk suatu kepentingan tertentu. Misalnya mengkhususkan hasil tambang minyak dan gas untuk membeli persenjataan militer, bukan untuk kepentingan lainnya (h. 81-89). 4. Harta-Harta Zakat Bab ini sebenarnya masih satu rangkaian dengan bab sebelumnya. Sebab zakat termasuk salah satu sumber pendapatan negara. Namun harta zakat memang harus disendirikan, karena pengelolaannya sudah ditentukan syariah secara khusus, yaitu hanya diberikan kepada 8 golongan (QS 9 : 60). Zakat tidak boleh disalurkan kepada selain mereka, baik untuk kepentingan negara maupun umat. Jadi, harta zakat tidak dicampur jadi satu dengan harta-harta lain semisal ghanimah dan kharaj, tapi ditempatkan dalam kas tersendiri yang terpisah (An-Nabhani, 1990:227-228). Bab ini isinya menerangkan macam-macam zakat, pembayaran zakat, dan golongangolongan penerima zakat. Mengenai pembayaran zakat, Zallum menegaskan bahwa zakat

wajib dibayarkan oleh rakyat kepada khalifah (h. 147), karena firman Allah SWT : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS At-Taubah [9] : 103) Namun, Zallum memberi perkecualian, untuk harta yang tergolong al-amwal al-bathinah (harta tak terlihat), yakni maksudnya uang (nuqud), zakatnya boleh dibagikan sendiri oleh individu. Sedang al-amwal al-zhahirah (harta yang terlihat), seperti binatang ternak dan barang dagangan, zakatnya wajib dibayarkan kepada khalifah atau amil zakat yang mewakilinya. (h. 188). 5. Mata Uang Pembahasan mata uang (al-nuqud), yaitu dinar dan dirham, menjadi bab terakhir kitab alAmwal ini. Namun ini tidak mengurangi posisi strategisnya, sebab dinar dan dirham terkait dengan banyak hukum dalam pengelolaan kekayaan negara. Misalnya nishab zakat emas adalah 20 dinar (85 gram emas) dan nishab zakat perak adalah 200 dirham (595 gram perak). Diyat dalam kasus pembunuhan, besarnya adalah 1000 dinar (4,25 kilogram emas). (h. 208). Dalam bab ini Syaikh Zallum menjelaskan : (1) sejarah dinar dan dirham, termasuk satuan-satuannya jika dikonversi menjadi satuan modern, (2) sistem uang logam dan uang kertas, (3) pencetakan mata uang oleh negara, (4) faidah-faidah sistem uang emas dan perak (h. 199-227). Keistimewaan Siapa saja yang mencermati kitab al-Amwal ini, akan mendapati banyak keistimewaan. Yang menonjol ada 2 (dua) : Pertama, kecenderungan kuat penulisnya untuk mengamalkan kandungan kitabnya secara praktis dalam realitas saat ini. Ini terbukti dari usaha keras Syaikh Zallum untuk mengkonversi satuan-satuan zaman dulu ke dalam satuan sekarang. Ini terbukti pula dari usaha beliau menerapkan kategorisasi tanah kharajiyah dan usyriyah pada negeri-negeri Islam saat ini (h. 52), serta dari usaha beliau menerapkan jizyah untuk kaum kafir modern, seperti kaum komunis (h. 66). Kedua, ketegasan eksplisit Syaikh Zallum yang mengharuskan eksistensi negara Khilafah untuk mengimplementasikan konsep keuangan publik Islam ini. Pada saat Umer Chapra (2000) masih secara samar menggunakan istilah "negara muslim", dan Ugi Suharto (2004) masih malu-malu menggunakan istilah "pemerintahan muslim", Zallum nampak istimewa karena tegas-tegas memakai istilah "negara Khilafah". Bagi Zallum nampaknya Islam dan Khilafah itu adalah kesatuan alamiah bagaikan kesatuan ikan dengan air. Sebagaimana mustahil ikan itu dapat hidup tanpa air, Islam pun

tidak mungkin dijalankan dengan baik tanpa negara Khilafah. Karena itu, gagasan keuangan publik Islam ala Zallum ini menuntut proyek raksasa untuk mewujudkannya. Proyek itu bukan semata proyek reformasi keuangan publik secara parsial seperti gagasan Chapra (2000), melainkan sebuah upaya membangun kembali sesuatu dari keruntuhannya yang total. Itulah proyek rekonstruksi keuangan publik Islam dalam wadah negara Khilafah. Wallahu a’lam [ ] DAFTAR BACAAN Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi (Islam and The Economic Challenge), Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, Jakarta : Gema Insani Press, 2000 Jalaluddin, Abul Khair Mohd, The Role of Government in an Islamic Economy, Kuala Lumpur : A.S. Noordeen, 1991 Al-Khathib, Muhammad bin Ibrahim, Min Mabadi` al-Iqtishadi al-Islami, Riyadh : T.p., 1989 al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, T.tp. : Hizbut Tahrir, 1963 al-Nabhani, Taqiyuddin, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1990 Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta : Karim Business Consulting, 2001 Masyhuri (Ed.), Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005 Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (as-Siyasah almaliyah li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahamd Syarifuddin Shaleh, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002 Suharto, Ugi, Keuangan Publik Islam : Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Studi Kitab AlAmwal Abu Ubayd), Yogyakarta : Pusat Studi Zakat STIS Yogyakarta, 2004 Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Beirut : Darul ‘Ilmi lil Malayin, 1983.

DUSTA LIBERALISME Umaruddin Masdar (Pemerhati Masalah Geopolitik Internasional) Perang Irak akibat agresi Amerika Serikat telah tiga tahun berjalan. Ribuan korban jiwa melayang. Seperti dilaporkan dari hasil penelitian Sekolah Kesehatan Masyarakat the

John Hopkins Bloomberg di Maryland, AS, tercatat lebih dari 655 ribu warga Irak meninggal. Sementara di pihak AS lebih dari 2.600 tentara tewas. Dan lebih dari 120 wartawan dari berbagai negara meninggal dalam tugas. Setelah berjalan dan memakan korban cukup banyak, Presiden AS George W akhirnya mengakui bahwa Saddam Hussein sama sekali tak terkait dengan serangan 11 September 2001. Padahal alasan utama AS menginvasi Irak adalah karena pemerintahan Saddam dituding terlibat serangan 11 September di AS. Sebelumnya Bush juga menyatakan bahwa AS menyerang Irak karena negara itu memiliki senjata pemusnah massal. Namun, tuduhan itu juga hanya kedok belaka dan tidak pernah dapat dibuktikan. Irak telah menjadi korban keangkuhan AS dan ideologi liberalisme. Dalam retorika AS, perang Irak ditempatkan sebagai 'perjuangan ideologi yang menentukan' di masa depan, apakah abad ke-21 akan dikuasai oleh kebebasan atau teror. Padahal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat dan dibungkus secara ilmiah-rasional untuk mencegah krisis ekonomi dan politik AS yang terus mengalami tekanan dari para pesaing. Yang lemah terjerat Dalam konteks sejarah struktural, ideologi liberalisme dibangun untuk melegitimasi penjajahan dan eksploitasi negara besar atas negara yang lemah. Ada dua hal yang bisa menjelaskan hal ini. Pertama, sistem internasional menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara kapitalis maju tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neokolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara di pinggiran. Kedua, kebijakan neokolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia. Dengan demikian, nilai-nilai dan ideologi yang terus direproduksi rezim kapitalisme internasional, seperti kebebasan (liberalisme), demokrasi dan globalisasi, tidak sematamata merupakan nilai-nilai atau diskursus pengetahuan yang bersifat akademik. Ideologi tersebut juga menjadi strategi negara maju untuk menaklukkan negara lemah agar masuk dalam jebakan hegemoni pengetahuan dan dominasi politiknya. Karena alasan untuk menegakkan demokrasi misalnya, AS melakukan intervensi politik di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Padahal tujuan sesungguhnya bukanlah menegakkan demokrasi, tetapi mengganti penguasa yang tidak pro-AS, atau di negara bersangkutan ada banyak kepentingan AS yang harus dilindungi. Seperti yang terjadi di Irak, demokratisasi hanyalah kedok untuk menguasai sumber-sumber energi, terutama minyak, sekaligus memutus jalur pasokan minyak ke Cina. Bahwa ideologi liberalisme penuh tipu muslihat dan cenderung menjerumuskan, bisa disimak dalam dua contoh berikut. Pertama, konsep utang yang diperuntukkan bagi negara-negara berkembang sepenuhnya merupakan mekanisme eksploitasi dan alat politik untuk mengintervensi negara berkembang. Konsep utang yang diberikan kepada

negara debitor (berkembang) untuk memacu meningkatkan ekspor dan pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi. Negara debitor melunasi utangnya dengan jalan meningkatkan nilai ekspornya agar melebihi nilai impor, termasuk di dalamnya perebutan dalam kompetisi pasar global. Menurut Michael Rowbotham, keberatan-keberatan atas konsep utang tersebut bermunculan, baik dipandang dari segi empiris maupun teoritis. Jika dilihat dari segi empiris, negara-negara debitor telah gagal untuk mencapai tahap surplus dalam perdagangan sesuai dengan apa yang diinginkan agar mereka bisa melunasi hutang mereka. Secara teoretis, bentuk ini sebenarnya telah gagal dalam berbagai hal. Negara sedang berkembang harus bisa mencapai surplus perdagangan agar bisa melunasi utangnya, tapi tidak hanya negara sedang berkembang yang mengejar target surplus, negara-negara makmur pun (negara pusat) berusaha untuk menjaga nilai surplus perdagangannya. Nilai perdagangan mungkin meningkat, volume aliran barang mungkin juga meningkat, tapi surplus perdagangan satu negara merupakan defisit perdagangan bagi negara lain. Kelemahan dari model perekonomian seperti itu ada pada asumsi bahwa negara debitor dapat memperoleh surplus perdagangan dengan mengekspor barang ke negara kreditor. Tapi dengan begitu negara debitor akan langsung berhadapan dengan negara kapitalis yang kuat dan sudah pasti melakukan hal yang sama. Konsep ekonomi liberal, termasuk konsep tentang utang, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat menipu. Sayangnya para elite modern sering terkena mental yang meyakini bahwa yang bisa menolong dan menyelamatkan kita hanyalah pihak asing atau negara lain. Kedua, ketika beberapa negara terkena krisis moneter pada 1997, termasuk Indonesia, rezim kapitalisme internasional melalui IMF yang bermarkas di Washington AS 'membantu' beberapa negara yang terkena krisis. Namun kredibilitas IMF terus disorot karena kegagalan menyelesaikan krisis moneter. Bahkan beberapa negara terjebak dalam krisis ekonomi dan politik yang bertambah parah setelah mengikuti resep IMF. Terus dianut Meski liberalisme merupakan nilai dan ideologi nyata-nyata menipu, para ekonom dan penguasa di negeri ini tampaknya tetap setia mengikuti resepnya dan cenderung menjaganya dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Dalam pikiran para ekonom kita, hampir tidak ada varian bagi sistem ekonomi kita kecuali kapitalisme pasar. Padahal, seperti ditegaskan ahli ekonomi mazhab regulasi dari Prancis, Robert Boyer, dalam sebuah tulisannya How and Why Capitalism Differ, yang dipresentasikan pada Seminar Internasional Ekonomi Regulasi di Jakarta, 5-6 Juli 2006 yang lalu, ada beberapa varian kapitalisme yang dipraktikkan berbagai negara di dunia. Pertama, kapitalisme berorientasi pasar, seperti telah disebutkan. Kedua, meso-corporatist capitalism yang dipraktikkan negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Ketiga, state-driven capitalism,

seperti yang menjadi ciri khas negara-negara Uni Eropa. Keempat, social democratic capitalism, seperti dipraktikkan di negara-negara Skandinavia. Monoloyalitas para ekonom dan penguasa kita terhadap kapitalisme pasar tentu menimbulkan tanda tanya besar, bukan saja karena sikap demikian jelas-jelas mengabaikan varian-varian dan keberhasilan dari bentuk kapitalisme yang lain. Lebih dari itu, kapitalisme yang berorientasi pasar telah nyata-nyata gagal dipraktikkan di negeri ini. Mungkin benar apa yang dikatakan David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia, bahwa elite modern Indonesia memang dididik dan dilatih bekerja di bawah kendali dan untuk kepentingan AS. Amerika Latin, Cina, India dan Uni Eropa telah mulai bangkit. Tapi kita cenderung menutup mata dan takut untuk belajar -apalagi meniru- dari keberhasilan mereka. Ikhtisar - Amerika Serikat dengan liberalismenya telah mengecoh negara-negara berkemampuan ekonomi lemah. - Liberalisme dibangun untuk melegalkan penjajahan dan eksploitasi negara besar atas negara yang lemah. - Meski mengandung banyak muslihat, banyak ekonom dan penguasa di Indonesia tetap menganut liberalisme dengan menjalankan ekonomi beraliran kapitalisme pasar. - Kapitalisme berorientasi pasar telah nyata-nyata gagal dijalankan di Indonesia. Sumber : http://republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16 (31 Okt 2006) Komentar redaksi khilafah1924.org : Artikel ini cukup baik mengkritik kapitalisme pasar saat ini. Meski demkkian, varianvarian kapitalisme lainnya seharusnya tidak usah ditawarkan oleh penulis (andaikata dia muslim). Sebab walau berhasil, tetaplah semuanya kufur alias tidak berdasarkan Islam. Keberhasilan seperti itu hanya berdimensi dunia, tidak menjamin sama sekali keberhasilan akhirat. Hanya sistem ekonomi Islam yang menjamin keberhasilan duniaakhirat. (MSJ)

Related Documents

Ekonomi
June 2020 32
Ekonomi
May 2020 51
Ekonomi
May 2020 44
Ekonomi
May 2020 41
Ekonomi
August 2019 70
Ekonomi
November 2019 70