KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini, yaitu tugas praktikum mata kuliah Ekologi Laut. Laporan praktikum ini merupakan penilaian secara pribadi oleh para asisten Ekologi Laut. Praktikum ini ditulis dari hasil penyusunan literatur yaitu buku – buku yang berkaitan dengan Ekologi Laut dan data – data dari media elektronik seperti internet. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada para asisten dan dosen yang telah membantu dalam menjalankan bimbingan dan arah pada saat praktikum mata kuliah Ekologi Laut ini. Kami harap, dengan membaca laporan praktikum ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Ekologi Laut. Memang laporan praktikum ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Semarang, 11 Mei 2016
Penulis
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan produsen
yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air. Tanpa tumbuhtumbuhan laut sebagai penghasil makanan primer, perkembangan kehidupan hewan laut umumnya tidak akan mungkin berjalan. Tumbuhan tingkat tinggi tersebut sering disebut lamun (sea grass), sedangkan untuk tumbuhan tingkat rendah disebut rumput laut (sea weed). Tumbuhan yang hidup di daerah pantai yang berlumpur biasanya adalah bakau (mangrove). Semua elemen yang terdapat pada ekosistem pesisir termasuk mangrove mempunyai peranan yang sangat penting baik bagi alam maupun manusia. Mangrove memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat di dalam ekosistem tersebut, oleh karena itu mempelajari dan melakukan studi mengenai mangrove perlu dilakukan dan ditingkatkan. Oleh karena itulah dilakukan praktikum Ekologi Laut mengenai mangrove untuk mengetahui lebih banyak mengenai mangrove.
1.2
Tujuan 1. Mengetahui struktur komunitas mangrove, menghitung indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominasi.
1.3
Manfaat 1. Mengetahui cara mengidentifikasi mangrove secara benar. 2. Mengetahui komponen dan zonasi mangrove. 3. Mengetahui cara mendata mangrove menggunakan metode transek kuadran. 4. Dapat menganalisis data indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mangrove 2.1.1. Pengertian Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger, dkk, 1983). Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
2.1.2. Morfologi Morfologi dan struktur ekosistem mangrove dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Morfologi dan struktur ekosistem mangrove Menurut Usman (2014), ciri – ciri tumbuhan mangrove adalah sebagai berikut : 1. Tumbuhan berpembuluh (vaskuler).
2. Menggunakan air garam sebagai sumber air, daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam. 3. Mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam. 4. Menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar) dan dapat tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta dapat mengapung. 5. Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob. 6. Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang.
2.2. Komponen Mangrove Vegetasi mangrove dapat dikelompokan menjadi dua kategori (Chapman 1984), yaitu: 1) Vegetasi inti, yakni vegetasi mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove. 2) Vegetasi peripheral pinggiran yakni vegetasi yang secara ekologi mempunyai peran ganda, baik itu dalam formasi mangrove maupun hutan lain. Jenis vegetasi ini biasanya tidak berkumpul atau tidak membentuk suatu komunitas atau tegakan. Berbeda dengan Tomlison 1986, yang membagi vegetasi mangrove menjadi tiga komponen yaitu: 1) Komponen utama Komponen utama terdiri dari vegetasi yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekanisme fisiologi khusus lainnya untuk mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi kelompok tumbuhan ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat. Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergabung dengan kelompok tumbuhan darat.
2) Komponen tambahan Komponen ini tidak dominan di dalam komunitas mangrove sehingga keberadaannya tidak begitu mencolok. Mereka banyak tumbuh ditepi atau batas luar habitat mangrove dan jarang sekali membentuk tegakan murni. 3) Komponen asosiasi Kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat.
2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi menurut Usman (2014) adalah : 1) Fisiografi pantai Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. 2) Pasang Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut: a. Lama pasang, lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme
b. Durasi pasang, Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada. c. Rentang pasang (tinggi pasang), Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi. 3. Gelombang dan Arus Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar
biasanya
hutan
mangrove
mengalami
abrasi
sehingga
terjadi
pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove 4. Iklim Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Cahaya Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove
Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol. b. Curah hujan Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun c. Suhu Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi) Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C. Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C d. Angin Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove. 5. Salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas
air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air 6. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis.Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari 7.
Substrat Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan. Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/ Sonneratia/ Rhizophora/ Bruguiera Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca.
8.
Hara Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik. Inorganik : P, K, Ca, Mg, Na, Organik: Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).
2.4. Fauna Mangrove Menurut Bengen (2001), komunitas fauna ekosistem mangrove membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok: 1. Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut pada bagian
pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan laut pada saat air surut. 2. Kelompok fauna perairan / akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu :
Yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.
Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Menurut Nybakken (1988) dalam Buwono (2015), kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove (bakau) adalah moluska, udang-udangan, dan beberapa jenis ikan. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, yang umumnya hidup pada akar dan batang pohon bakau. Kelompok kedua dari moluska termasuk pelecypoda/bivalvia, yaitu tiram, mereka melekat pada akar-akar bakau. Selain itu hewan yang hidup di bakau adalah sejumlah kepiting dan udang. Kawasan bakau juga berguna sebagai tempat pembesaran udang penaied dan ikan-ikan seperti belanak, yang melewatkan masa awal hidupnya pada daerah ini sebelum berpindah ke lepas pantai. Para ahli mengelompokkan ikan di ekosistem mangrove ke dalam empat kelompok, yaitu (a) Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya berada di daerah ekosistem mangrove, seperti ikan gelodok; (b) Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove selama 15 periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung bergerombol di sepanjang pantai berdekatan dengan ekosistem mangrove, seperti ikan belanak; (c) Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke ekosistem mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, seperti ikan gulamah; (d) Ikan pengunjung musiman, yaitu ikan-ikan yang menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat memijah dan asuhan, serta tempat perlindungan musiman dari predator (Nirarita et al. (1996) dalam Buwono, 2015). Ekosistem mangrove juga merupakan habitat bagi biota crustasea dam molusca. Menurut Kartawinata et al. (1979) dalam Buwono (2015), tercatat 80 spesies crustasea yang hidup di ekosistem mangrove. Spesies penting yang hidup atau terkait dengan ekosistem mangrove adalah udang (Penaeus, Metapenaeus) dan kepiting bakau (Syclla). Kemudian, biota molusca yang tercatat sekitar 65 spesies yang terdiri dari gastropoda dan pelecypoda/bivalvia. Beberapa spesies molusca penting di ekosistem mangrove yaitu
kerang bakau atau tiram bakau (Crassotrea sp.), kerang hijau (Mytilus sp.), kerang alang (Gelonia sp.), kerang darah (Anadara sp.), dan popaco atau kerang teleskop (Telescopium sp.).
2.5. Metode Analisa Vegetasi Cara mempelajari komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan mangrove umumnya dilakukan dengan pengambilan contoh. Identifikasi dan analisis vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi jenis tumbuhan. Identifikasi dan analisis ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi yang ada di wilayah yang diidentifikasi (Fachrul (2007) dalam Usman, 2014). Menurut Setyobudiandi et al. (2009) dalam Usman, 2014). Cara yang perlu diperhatikan dalam identifikasi komposisi dan struktur vegetasi mangrove secara langsung di lapangan yaitu: 1. Nama spesies (nama lokal dan ilmiah). 2. Jumlah individu suatu spesies untuk mengitung kerapatan. 3. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar yang diantaranya sangat berguna untuk memprediksi volume pohon dan tegakan. 4. Tinggi pohon baik tinggi pohon bebas cabang maupun tinggi pohon total. Tinggi pohon ini cukup penting untuk mengetahui stratifikasi dan menduga volume pohon serta volume tegakan. 5. Pemetaaan lokasi individu pohon untuk mendeteksi pola distribusi spasial (spatial distribution pattern) pada berbagai luasan mangrove yang berbeda. Setyobudiandi et al. (2009) dalam Usman, 2014) menyatakan bahwa secara ekologis untuk membedakan tumbuhan kedalam stadium pertumbuhan semai, pancang, dan pohon untuk tumbuhan mangrove cukup penting, oleh karena itu diperlukan kriteria sebagai berikut: 1. Semai yaitu permudahan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5m. 2. Pancang yaitu permudahan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan yang berdiameter kurang dari 10 cm.
3. Pohon yaitu pohon dewasa yang memiliki tinggi lebih dari 1,5 m dengan diameter 10 cm atau lebih. Khusus untuk mangrove stadium pohon diukur pada ketinggian 20 cm diatas akar tunjang (Rhizophora sp) dan ketinggian 10 cm diatas akar tunjang untuk jenis non Rhizophora sp. Bagi pohon-pohon yang tidak berakar tunjang, pengukuran diameter pohon dilakukan pada ketinggian 1,3 m diatas permukaan tanah.
2.6. Metode Identifikasi Mangrove Keberadaan hutan mangrove di ekosistem sangat penting karena mereka memiliki potensi ekologis dan ekonomi. Hutan mangrove memiki peran penting sebagai nursery area dan habitat dari berbagai macam ikan, udang, kerangkerang dan lain-lain. Di hutan ini pula banyak sumber-sumber nutrient yang penting sebagai sumber makanan banyak species khususnya jenis migratory seperti burung-burung pantai. Hutan mangrove juga berperan sebagai green belt yang melindungi pantai dari erosi karena gelombang laut atau badai tsunami juga memerangkap sediment sebagai aktivitas akresi. Lebih lanjut, mangrove memberikan kontribusi yang signifikan pada produktifitas estuarine dan pesisir melalui aliran energi dari proses dekomposisi serasah. Rantai makanan yang tergantung pada mikroba dan hasil dekomposisi tumbuhan sangat mendukung berbagai jenis hewan yang tinggal di dalamnya. Dan habitat yang ada di sekitarnya (Usman, 2014). Secara umum, ada 4 (empat) cara dalam mengenal suatu jenis flora, yaitu (a) bertanya kepada orang yang ahli, (b) mencocokkan dengan herbarium yang telah diidentifikasi, (c) membandingkan dengan gambar dan deskripsi yang terdapat pada buku flora, dan (d) menggunakan kunci identifikasi. Karakter yang digunakan dalam pengenalan suatu jenis adalah karakter morfologi yang bersifat khas dan mantap. Oleh karena itu, setiap yang ingin mengenal jenis flora, termasuk mangrove, minimal memiliki pengetahuan tentang morfologi tumbuhan (Usman, 2014).
DAFTAR PUSTAKA Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). IPB. Bogor. Buwono, Yanuar Rustrianto. 2015. Potensi Fauna Akuatik Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Universitas Udayana. Chapman, V. J. 1984. Mangrove Vegetation. Setrauss and Cramer Gmbh. German. Mastaller, M. 1997. Mangrove: The Forgotten Forest Between Land and Sea. Kuala Lumpur, Malaysia. Hal 5. Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 39. Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press,Cambridge, U.K., 419 hal. Usman, Laila. 2014. Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kec. Anggrek Kab. Gorontalo Utara. Universitas Negeri Gorontalo: Gorontalo.